Skip to main content

Posts

Showing posts from January 13, 2010

Raja Pedang 22 (Kho Ping Hoo)

Lian Bu Tojin mendapat kenyataan dari rabaan tangannya pada pundak anak itu bahwa memang anak itu kosong tubuhnya, tidak memiliki tenaga dalam maka lenyaplah kecurigaannya bahwa I cucu-cucu muridnya roboh oleh peng-| gunaan tenaga dalam yang luar biasa. la tertawa sambil melepaskan tangannya.   "Ha, kau tidak apa-apa, tidak terluka. Beng San, sekarang ceritakan, apa kehendakmu datang ke Hoa-san mencarit pinto." "Teecu datang membawa sepucuk surat dari sahabat lama Totiang. Inilah suratnya." Beng San menyerahkan surat tulisan Lo-tong Souw Lee dengan meng-ucapkan kata-kata seperti yang dipesan oleh kakek itu. Memang kakek tua itu memesan kepadanya agar jangan mengucapkan namanya di depan Lian Bu Tojin. Lian Bu Tojin tersenyum dan menerima surat itu. Jantung kakek ketua Hoa-san-pai ini berdetak keras ketika dia melirik ke arah nama pengirim surat itu akan tetapi kekuatan batinnya yang su-dah tinggi itu membuat wajahnya tetap tersenyum, sama sekali tidak memper-lih

Raja Pedang 21 (Kho Ping Hoo)

Dua orang anak laki-laki itu saling pandang. Mereka ingin memperlihatkan di depan Kwa Hong bahwa mereka gagah dan tidak kalah oleh yang lain. Sekarang Kwa Hong tidak mau melihat mereka mengadu kepandaian, untuk apa mereka lanjutkan? Akar tetapi kalau tidak pergi mencari tempat lain, juga dapat dianggap takut atau pengecut. Kwa Hong yang melihat keraguan mereka lalu tertawa. "Sudahlah, simpan pedang kalian. Kalau mau menentukar» siapa yang lebih unggul, mudah saja. Kalian pergunakan ranting yang tidak berbahaya, aku akan menyediakan tinta. Ujung ranting diberi tinta dan ranting itu dimainkan seperti ujung pedang. Siapa yang lebih dulu terkena tinta bajunya dialah yang kalah." Usul ini didukung oleh Thio Bwee yang tentu saja juga tidak menghendaki pertempuran sungguh-sungguh antara kakaknya dan Kui Lok. Dua orang anak itu pun setuju dan masing-masing men-cari sebatang ranting yang lembek. Segera mereka membasahi ujung ranting masing-masing dengan tinta dan mulailah mereka

Raja Pedang 20 (Kho Ping Hoo)

Sementara itu, para tosu yang telah roboh oleh Souw Kian Bi, menjadi makin khawatir menyaksikan betapa sumoi mereka yang terkenal gagah itu pun belum berhasil rnerobohkan lawan itu dengan sepasang pedangnya. Diam-diam mereka lalu berunding, kemudian seorang di antara lima tosu itu lari naik ke puncak untuk melaporkan hal itu kepada Lian Bu Tojin. Dapat dibayangkan betapa marah dan kagetnya ketua Hoa-san-pai itu, belum pernah ada anak murid Hoa-san-pai yang berani mengganggunya di waktu dia sedang bersamadhi. Kali ini tosu itu memaksa dia sadar dari samadhinya dan menceritakan tentang serbuan seorang laki-laki muda yang kurang ajar dan lihai rlmu silatnya. Biarpun sedang marah, tosu tua itu mengelus jenggotnya dan menahan napas untuk menekan kemarah-an sehingga dia tenang dan sabar kembali. "Kau bilang dia bernama Souw Kian Bi?" Kakek ini mengingat-ingat akan tetapi tidak merasa mempunyai musuh ber she Souw. Jangan-jangan sebangsa jai-hwa-cat (penjahat cabul), pikirnya. Ini

Raja Pedang 19 (Kho Ping Hoo)

"Kalian pulanglah, akan tetapi anak- I anak itu biarkan di sini saja. Bukankah lima bulan lagi kalian datang? Aku ingin melihat sendiri kemajuan mereka, terutama membimbing watak mereka. Tin Siong dan kau, Wan It dan Kui Keng, tentu rela meninggalkan anak-anak kalian di sini untuk lima bulan lagi, bukan?" "Tentu saja, Suhu. Malah teecu meng- 'l haturkan banyak terima kasih bahwa Suhu sendiri berkenan membimbing me- 'l reka," jawab tiga orang murid itu serempak. "Suheng sekalian, jangan khawatir, aku berada di sini menemani rnereka," kata Sian Hwa. Makin gembira hati mereka, juga Lian Bu Tojin girang sekali mendengar bahwa Sian Hwa yang sudah tidak ada keluarga lagi itu hendak ikut menanti di Hoa-san selama lima bulan. Demikianlah, Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng turun dar Hoa-san untuk pulang ke rumah masing-masing sedangkan Sian Hwa tinggal di Hoa-san bersama murid-murid keppnakannya. Gadis yang sedang menderita tekanan batin ini meng

Raja Pedang 18 (Kho Ping Hoo)

"Kwa Hong, bagaimana bunyi larangan ke tiga dari Hoa-san-pai?" Berubah wajah Kwa Hong, agak pucat. Kalau kakek gurunya sudah memanggil namanya dengan penuh, tidak Hong Hong seperti biasanya, itu dapat diartikan bahwa kakek gurunya benar-benar marah. Setelah menjura ia berkata sambil menundukkan muka, "Larangan ke tiga berbunyi : Setiap orang murid Hoa-san-pai tidak boleh mempelajari ilmu silat dari luar Hoa-san-pai tanpa seijin gurunya. "Hemmm, baik kau masih ingat. Tapi, kenapa kau tadi mempelajari Jing-tok-ciang yang amat keji itu dari Koai Atong?" Suara tosu tua itu makin marah kedengarannya membuat Kwa Hong kaget dan takut sekali. la memang paling takut' kepada kakek gurunya ini. Akan tetapi ia pun merasa heran mengapa orang tua ini marah-marah, padahal biasanya amat sabar. "Saya..... saya mengaku salah, Sukong. Siap menerima hukuman!" Anak perempuan ini menjatuhkan diri berlutut di depan kakek gurunya. Tiga orang anak yang lain melihat i

Raja Pedang 17 (Kho Ping Hoo)

Tiga orang tua menghampiri Kwa Hong sambil tersenyum, "Ayahmu dan bibi gurumu tidak berada di sini, belum kembali. Kau baik segera pergi menghadap kakek gurumu, Hong Hong." Para tosu itu biasa memanggil Kwa Hong dengan sebutan Hong Hong dan mer6ka-amat menyayang bocah yang mungil selalu gembira ini. Memang, di antcr'a para cucu murid Lian Bu Tojin, hanya Kwa Hong yang paling sering berdiam di puncak itu karena ia amat dimanja1 ayahnya dan sering kali ikut pergi mengembara dengan ayahnya. Sambil berlari dan tertawa-tawa Kwa Hong hendak memasuki bangunan besar yang berbentuk kelenteng untuk menghadap sukongnya (kakek gurunya).   "Enci Hong, jangan tinggalkan aku! Aku ikut!" Koai Atong juga lari mengejar. "Hong Hong, kenapa kaubawa-bawa orang tolol ini? Eh, orang gila, jangan kurang ajar kau. Tidak boleh masuk!" Tiga orang tosu itu tentu saja hendak melarang Koai Atong yang seenaknya saja hendak memasuki kelenteng itu. Mereka melangkah maju menghadan