Skip to main content

Posts

Showing posts from January 1, 2009

Raja Pedang 16 (Kho Ping Hoo)

"Kau hendak ke mana, Beng San?" tanya Tan Hok ketika melihat anak ini agak pucat dan nampak berduka. "Aku hendak pergi ke Hoa-san," jawab Beng San singkat. "Mari kau ikut saja denganku. Kau akan kumasukkan sebagai anggauta Pek-lian-pai....." "Tidak.....! Tidak Aku tidak sudi menjadi pembunuh!" Tan Hok memandang heran, akan tetapi hanya sebentar saja. la maklum bahwa anak ini tadi merasa ngeri me-nyaksikan pembunuhan terhadap musuh-musuh itu. la menggandeng tangan Beng San. "Baiklah, kalau kau belum kuat perasaanmu untuk maju berpera'ng. Mari kuantar kau ke Hoa-san. Setelah apa yang terjadi di sini, amat berbahaya melakukan perjalanan seorang diri di daerah ini. Kalau kau berjumpa dengan serdadu, kau akan ditangkap, dipukuL dan dipaksa mengaku di mana adanya orang-orang Pek-lian-pai. Mari kau ikut aku, mengambil jalan rahasia untuk menuju ke Hoa-san." Beng San menurut saja dan wajahnya yang cemberut dan muram dapat di-mengerti oleh T

Raja Pedang 15 (Kho Ping Hoo)

Akan tetapi, setelah mereka tt&a di tempat yang lebih tinggi, Beng San kaget melihat betapa pasukan besar di belakang itu pun kini sudah turun dari kuda dan mengejar mereka sambil berJoncat-loncat-an dan berlarian. Dilihat dari atas, enam puluh orang itu seperti semut yang me-rayap-rayap naik! "Tan-twako, mereRa mi&ifr mengejar tanpa kuda! kata Beng San khawatir sekali. Tan Hok hanya tersenyum. "Jangan i khawatir, Adik Beng San. Kita kaum Pek-lian-pai sudah biasa menghadapi rnusuh banyak. Musuh yang mengejar itu tidak ada seratus dan kita..... bersama kau dan kita ada tiga belas orang. Takut apa? Diam-diam Beng San menghitung. Tiga belas orang melawan enam puluh orang lebih. Berarti seorang melawan lima orang musuh! Bagaimana raksasa ini masih bicara begitu enak? Beng San me-rasa heran, dan juga kagum. "Aku jangan dihitung, T^ako. Melawan satu orang saja belum tentu aku menang, bagaimana harus melawan lima orang?" Tan Hok hanya tertawa. "Kaulihat

Raja Pedang 14 (kho Ping Hoo)

"Hemmm, saudara Bun. Urusan sumoiku yang ayahnya dibunuh mati orang ini kiranya takkan puas kalau hanya kau beri keyakinan bahwa sutemu tidak mungkin melakukannya. Habis, karena hal ini menyangkut nama baik sutemu, apa yang hendak kaulakukan selanjutnya? Kami masih memandang muka Kun-lun Sam-hengte, memandang muka Kun-lun-pai ciangbunjin (ketua Kun-lun-pai) maka kami tidak tergesa-gesa dan secara sembrono mencari dan mengadili sendiri kepada Kwee Sin." Bun Si Teng mengangguk-angguk. "Baiklah. Kami akan mencari Kwee-sute dan dalam waktu lima bulan karm bertiga Kun-lun Sam-hengte akan menghadap ke Hoa-san. Kami harus membersihkan nama baik Kwee-sute di depan ketua Hoa-san-pai sendiri." "Bagus. Lirha bulan sesudah hari ini, Hoa-san Sie-eng akan menanti kedatangan Kun-lun Sam-hengte di puncak Hoa-san," kata Kwa Tin Siong yang segera mengajak pergi tiga orang adik seperguruannya, meninggalkan tempat itu. Bun Si Teng dan Bun Si Liong setelah ditinggal pergi

Raja Pedang 13 (Kho Ping Hoo)

Kata-kata ini seperti halilintar menyambar bagi dua orang saudara Bun itu. Bun Si Teng yang lebih sabar menekan dada dan mukanya agak pucat, adapun Bun Si Liong sudah meraba gagang pe-dang dan goloknya sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau terluka, matanya tajam menyapu keempat orang tamu itu. Baiknya Bun Si Teng memberi isyarat kepada adiknya supaya beissabar dan dia sendiri lalu berkata. "Segala urusan dapat diurus, segala penasaran dapat diadili, akan tetapi harus diberi penjelasan lebih dulu apa sebabnya Sie-wi (Tuan Berempat) seperti marah-marah. Sute kami, Kwee Sin, bukan kami hendak menyombong, akan tetapi Kwee-sute sudah terkenal di empat penjuru langit sebagai seorang gagah yang tak pernah meninggalkan sifat-sifat satria. Siapakah yang tak pernah men-dengar nama Pek-lek-jiu Kwee Sin murid termuda dari Kun-lun-pai yang selalu menjunjung tinggi keadilan dan membela kebenaran? Sekarang Sie-wi datang-datang menyatakan sute kami itu melakukan perbuatan yang ama

Raja Pedang 12 (Kho Ping Hoo)

Mustahil dia takkan mau menerimamu. Dia orang baik dan suratku akan menjamin dirimu. Kau boleh bekerja apa saja di sana. Atau, andaikata kau tidak suka di sana setelah kau melihat keadaan, kau boleh saja pergi turun gunung, tapi jangan muncul di tempat umum. Lebih baik kau kembali menjadi kacung di Hok-thian-tong, bersembunyi sambil melatih diri sampai menjadi kuat betul. Setelah itu, baru kau boleh datang ke sini. Kau sudah kuberi tahu Gua Ular yang berada di lereng itu. Nah, di sanalah kaucari pedang ini. Sementara ini sebelum kau kuat, kau tidak boleh membawa pedang ini dan juga aku perlu untuk menjaga diri. Kelak, pedang ini kuberikan kepadamu. Nah, kau berangkatlah, Beng San. Letak Hoa-san-pai sudah kuterangkan kepadamu. Sedih hati Beng San. Akan tetapi apa daya? la harus memenuhi permintaan kakek ini. la datang sebagai tamu, kalau tuan rumah sudah mengusirnya, apa yang dapat dia lakukan? Setelah menerima sehelai surat yang ditulis secara cakar ayam oleh kakek buta ini, Beng Sa

Raja Pedang 11 (Kho Ping Hoo)

Kakek yang bernama Tan Sam itu tertawa lagi. "Heh-heh-heh, tukang pancing.... ya betul, kami tukang pancing. Kalau bukan tukang pancing, mana dapat menikmati ikan gemuk?" Berubah wajah Ang-bin Piauw-to yang merah, kini menjadi agak pucat. Timbul dugaannya bahwa mungkin sekali kakek dan pembantunya ini adalah tokoh bajak sungai yang terkenal. Siapa tahu? Akan tetapi dia ragu-ragu, karena andaikata betul bajak sungai, tak mungkin Phang Kwi tidak mengenalnya. Akan tetapi kalau betul seorang bajak sungai, mau apakah dia beraksi di darat? "Tan-lopek, kalau begitu, kau mencari rejeki sepanjang Sungai Yang-ce?" Ia mencoba untuk menyelidik. Kakek itu mengangguk-angguk. "Tidak hanya di Yang-ce, di Huang-ho, atau pun di lautan, di darat, dimana saja ada ikan besar tentu akan kudatangi untuk kupancing. Bukankah begitu, Hok-ji (anak Hok)?" Kakek itu menepuk pundak pembantunya sambil terkekeh-kekeh. Tan Hok, pemuda raksasa itu, hanya mengangguk diam. "Kalau b