"Kwa Hong, bagaimana bunyi larangan ke tiga dari Hoa-san-pai?"
Berubah wajah Kwa Hong, agak pucat. Kalau kakek gurunya sudah memanggil namanya dengan penuh, tidak Hong Hong seperti biasanya, itu dapat diartikan bahwa kakek gurunya benar-benar marah.
Setelah menjura ia berkata sambil menundukkan muka, "Larangan ke tiga berbunyi : Setiap orang murid Hoa-san-pai tidak boleh mempelajari ilmu silat dari luar Hoa-san-pai tanpa seijin gurunya.
"Hemmm, baik kau masih ingat. Tapi, kenapa kau tadi mempelajari Jing-tok-ciang yang amat keji itu dari Koai Atong?" Suara tosu tua itu makin marah kedengarannya membuat Kwa Hong kaget dan takut sekali. la memang paling takut' kepada kakek gurunya ini. Akan tetapi ia pun merasa heran mengapa orang tua ini marah-marah, padahal biasanya amat sabar.
"Saya..... saya mengaku salah, Sukong. Siap menerima hukuman!" Anak perempuan ini menjatuhkan diri berlutut di depan kakek gurunya. Tiga orang anak yang lain melihat ini menjadi ketakutan dan mereka pun serta-merta menjatuhkan diri berlutut iclan berkata hampir berbareng.
”Teecu juga mengaku salah dan siap menerima hukuman”.
Melihat cucu-cucu muridnya berlutut menerima hu-puas di mulut tup kumis dan sikap anak-ketaatan akan peraturan Hoa-san-pai, sikap yang memang sudah terkenal dari murid-murid Hoa-san-pai.
"Kalian tahu," katanya, suaranya masih keren, "apa hukuman bagi murid yang melanggar larangan ke tiga itu?" Empat orang anak itu mengangguk.
"Si pelanggar harus membuang ilmu yang dipelajarinya di luar Hoa-san-pai, kalau perlu badannya dirusak agar ilmu itu tak dapat dipergunakan. Baiknya kali-an belum pandai mempergunakan Jing-tok-ciang, kalau sudah pandai, pinto (aku) takkan segan-segan mematahkan tangan kiri kalian!" Jelas tampak betapa empat orang anak itu pucat dan gemetar mendengar ini.
"Hong Hong, kelancanganmu belajar dari Koai Atong masih belum berbahaya kalau dibandingkan dengan perbuatanmu membujuk saudara-saudara seperguruan untuk mempelajarinya pula. Perbuatan itu buruk sekali." Biarpun ia dimarahi, na-mun Kwa Hong yang cerdik menjadi lega mendengar cara kakek itu menyebut namanya. Itu berarti bahwa kakek guru-nya tidak marah lagi kepadanya.
"Teecu tidak membujuk, Sukong. Mereka memang suka mempelajari setelah melihat Koai Atong memukul pohon."
"Betul, Sukong. Teecu yang bersalah, ingin belajar, sama sekali tidak dibujuk oleh Adik Hong," kata Kui Lok cepat-cepat.
"Teecu juga tidak dibujuk," sambung Thio Ki. Thio Bwee diam saja, hanya melirik ke arah Kui Lok.
"Sudahlah," kata kakek itu. "Kalian anak-anak harus ingat baik-baik. Sebetulnya bagi aku sendiri yang menjadi ketua Hoa-san-pai, mempelajari ilmu silat dari lain golongan bukanlah hal yang amat j buruk. Akan tetapi mengapa diadakan peraturan dan larangan di Hoa-san-pai?
Bukan lain untuk menjaga dan mencegah anak-anak murid Hoa-san-pai menyeleweng mempelajari ilmu yang sesat. Kalau sampai terjadi demikian, kalau sam-pai ada anak murid Hoa-san-pai mem-pelajari ilmu yang sesat kemudian me-nyeleweng dan melakukan perbuatan ja-hat, bukankah hal itu akan merusak nama baik Hoa-san-pai?"
"Sukong," kata Kwa Hong yang se-karang sudah timbul keberaniannya. "Apakah ilmu silat dari Koai Atong termasuk ilmu sesat?"
Kakek itu menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya. "Sesungguhnya, kalau mau berkata secara jujur, di dunia ini tidak ada ilmu yang sesat. Semua ilmu itu baik tergantung kepada si pe-makai ilmu. Ilmu dapat menjadi baik kalau dipergunakan untuk kebajikan. Sebaliknya, biarpun ilmu yang amat bersih, apabila dipergunakan untuk kejahatan, dapat menjadi ilmu yang kotor dan buruk."
Empat orang anak itu saling pandang tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh sukong mereka. Kakek inipun maklum agaknya, maka sambil tersenyum dia berkata lagi, "Biarlah kujelaskan. Misalnya ilmu bun (kesusastraan), siapa bilang bahwa ilmu membaca dan menulis inija»a bersifat buruk? Akan tetapi tetap saja baik buruknya tergantung daripada pemakai ilmu. Ilmu. ini baik apabila pergunakan untuk membuat sajak-sajak indah, menuliskan ilmu-iimu yang tinggi dan sebagainya. Akan tetapi bukankah menjadi ilmu yang amat buruk dan jahat apabila dipergunakan orang untuk mem-buat surat-surat fitnah, membuat laporan-laporan palsu, dan lain-lain seperti yang sekarang ini sering kali dilakukan orang?"
Barulah Kwa Hong dan teman-ternan-nya mengerti. Memang pada waktu itu, sebagian besar rakyat tidak pandai mem-baca menulis. Sepucuk surat fitnah saja cukup untuk mencabut nyawa seorang yang buta huruf. Apalagi di kota-kota besar dan terutama di kota raja, kepan-daian menulis menjadi senjata yang iebih ampuh daripada selaksa pedang dan lebih , jahat dan keji daripada ular-ular berbisa.
"Nah, jelaskah sekarang? Baru ilmu menulis saja sudah begitu jahat, apalagi ilmu silat. Aku tidak mau bilang bahwa ilmu yang diajarkan oleh Koai Atong itu jahat, akan tetapi sifat daripada 3ing-t tok-ciang amatlah berbahaya. Ilmu pukul-an itu tidak ada ampunnya, sekali di-pergunakan, kalau yang menerima kurang kuat, bisa merenggut nyawa. Kalau tadi aku tidak kuat menahan pukulannya, apakah sekarang aku tidak sudah menggeletak : mampus? Ha-ha-ha!"
Kwa Hong dan teman-temannya ber-gidik dan baru terbuka mata mereka akan perbedaan ilmu silat Hoa-san-pai dan Ilmu Jing-tok-ciang. Dari kata-kata kakek gurunya itu mereka tahu bahwa sebetulnya ilmu silat Hoa-san-pai tidak usah kalah oleh Jing-tok-ciang, sungguhpun Jing-tok-ciang kelihatan luar biasa dan mujijat.
"Kalian yang tekun belajar ilmu silat kita sendiri, yang rajin berlatih. Kalau ilmu silat kalian sudah mencapai tingkat setaraf dengan tingkat Koai Atong, kalian takkan kalah olehnya." Kakek ini menarik napas panjang dan berkata lagi, perlahan seperti pada diri sendiri, "Sayangnya..... sampai sekarang tidak ada tulang cukup baik untuk menjadi ahli waris Hoa-san-pai..... yang sebaik Koai Atong saja tidak ada....." Setelah berkata demikian, dengan muka sedih kakek ini meninggalkan taman.
Terbangkit semangat Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok mendengar wejangan-wejangan Lian Bu Tojin tadi. Mereka lalu berlatih dengan giat, setiap saat mereka berempat dapat terlihat berlatih silat di dalam taman atau di lian-bu-thia (ruang berlatih silat) di ba-wah petunjuk Lian Bu Tojin sendiri. Ten-tu saja di dalam beberapa bulan mereka mendapatkan kemajuan yang luar biasa. Dengan adanya teman-teman berlatih, mereka seakan-akan berlomba untuk me-lebihi temannya dan hal ini pula" yang mempercepat kemajuan mereka.
Akan tetapi, terjadi keganjilan yang menyolok. Hal ini hanya dapat diketahui oleh Kwa Hong dan Thio Bwee. Anak-anak perempuan tentu saja lebih halus perasaannya dan tahu membedakan sikap anak laki-laki. Baik Kwa Hong maupun Thio Bwee dapat melihat bahwa selain berlumba dalam latihan, agaknya antara Thio Ki dan Kui Lok juga ada lain per-lombaan lagi, yaitu berlomba menyenang-kan atau merebut perhatian Kwa Hong, si gadis cilik yang lincah gembira, ber-mata bintang dan agak galak itu! Kwa Hong menghadapi kenyataan ini dengan bangga dan sikapnya menjadi makin man-ja, tinggi hati, dan agaknya memper-mainkan dua orang anak laki-laki itu. Sebaliknya, Thio Bwee yang pendiam, hanya sering nampak murung kalan melihat Kui Lok bermain-main dengan sikap bermuka-muka di depan Kwa Hong, mencarikan bunga, mernbuat mainan dari rumput dan lain-lain.
Waktu berlalu cepat. Ariak-anakitu ditinggal orang tua mereka di puncak Hoa-san-pai sudah ada empat bulan lebih. Ketika Hoa-san Sie-eng datang ke puncak Hoa-san, anak-anak itu rnerasa gernbira, akan tetapi ternyata bahwa orang tua mereka itu masih belum nriau meninggalkan Hoa-san.
Kwa Tin Siong dan tiga orang adik seperguruannya menceritakan kepada Lian Bu Tojin tentang pertemukan mereka dengan dua orang saudara Bun, malah memberitahukan pula bahwa Kun-lun Sam-hengte akan datang ke Hoa-san dalam waktu lima bulan lagi.
Lian Bu Tojin rnengelus jenggot dan menggeleng kepala. "Tidak disangka sama sekali akan terjadi hal yang begini tak menyenangkan," katanya. "Selama puluhan tahun, hubunganku dengan Pek Gan Sian-su ketua Kun-lun-pai adalah hubungan saudara. Malah kami ingin mempererat hubungan dengan menjodohkan murid-murid kami. Siapa tahu malah malape-taka timbul karena ini."
Dengan air mata berlinang Sian Hwa berkata, "Ampunkan teecu Suhu. Teecu telah menimbulkan kedukaan di hati Suhu, akan tetapi..... apakah daya teecu? Ayah teecu dibunuh oleh..... oleh..... keparat itu....."
Lian Bu Tojin mengangkat tangannya. "Kau tidak salah Sian Hwa, kau tidak salah. Malah pinto yang sebetulnya merasa berdosa. Pinto yang menjodohkan kau dengan murid Kun-lun-pai, siapa tahu....." Kakek itu berulang kali menarik napas panjang.
"Persoalan ini tentu akan segera dibikin terang setelah Kun-lun Sam-hengte tiba di sini lima bulan lagi, Suhu. Kwa Tin Siong menghibur. "Biarlah lima bulan lagi teecu bersama datang lagi dan berkumpul di sini untuk menghadapi murid-murid Kun-lun-pai."
Comments