Skip to main content

Raja Pedang 20 (Kho Ping Hoo)


Sementara itu, para tosu yang telah roboh oleh Souw Kian Bi, menjadi makin khawatir menyaksikan betapa sumoi mereka yang terkenal gagah itu pun belum berhasil rnerobohkan lawan itu dengan sepasang pedangnya. Diam-diam mereka lalu berunding, kemudian seorang di antara lima tosu itu lari naik ke puncak untuk melaporkan hal itu kepada Lian Bu Tojin.





Dapat dibayangkan betapa marah dan kagetnya ketua Hoa-san-pai itu, belum pernah ada anak murid Hoa-san-pai yang berani mengganggunya di waktu dia sedang bersamadhi. Kali ini tosu itu memaksa dia sadar dari samadhinya dan menceritakan tentang serbuan seorang laki-laki muda yang kurang ajar dan lihai rlmu silatnya. Biarpun sedang marah, tosu tua itu mengelus jenggotnya dan menahan napas untuk menekan kemarah-an sehingga dia tenang dan sabar kembali.



"Kau bilang dia bernama Souw Kian Bi?" Kakek ini mengingat-ingat akan tetapi tidak merasa mempunyai musuh ber she Souw. Jangan-jangan sebangsa jai-hwa-cat (penjahat cabul), pikirnya. Ini berbahaya, kalau sampai Sian Hwa benar-benar kalah oleh penjahat itu akan cela-kalah muridnya. la segera bangkit, menyeret tongkatnya dan berkata, "Antar-kan pinto ke sana."



Ketika Lian Bu Tojin tiba di tempat pertempuran, dia menahan seruan kagetnya. Sian Hwa sudah terdesak hebat. Pedangnya yang kiri sudah terlepas dan kini gadis itu dengan napas tersengal-sengal mempertahankan diri dari serang-an pemuda tampan itu yang tersenyum-senyum dan mengeluarkan kata-kata menggoda. Jelas sekali terlihat bahwa kepandaian pemuda itu lebih tinggi, malah dengan amat mudahnya akan dapat merobohkan Sian Hwa kalau dia mau« Ketika diam-diam Lian Bu Tojin memperhatikan ilmu pedang yang dimainkap pemuda itu, dia mengangguk-angguk. Itulah ilmu pedang utara yang sudah tinggi tingkatnya. Juga gerakan-gerakan pemuda itu menyatakan bahwa tenaga dalamnya sudah kuat sekali. Pantas saja Sian Hwa terdesak. Andaikata yang melawan pemuda ini bukan Sian Hwa, melainkan Kwa Tin Siong, mungkin akan seimbang dan lebih ramai.



"Sian Hwa, mundurlah. Orang muda ada urusan boleh dirunding dengan pinto!" Seruan Lian Bu Tojin ini biarpun per-lahan, namun mengandung tenaga yang amat berpengaruh. Tentu saja sukar bagi Sian Hwa untuk mundur karena ia sudah dikurung sinar pedang lawannya. Kalau | bukan lawannya yang menghentikan per-tandingan ini, ia sendiri sudah tidak ber-daya melepaskan diri. Sambil mengelLiar-kan suara ketawa bergelak, Souw Kian Bi menggetarkan pedangnya dan "tringgg.....!" pedang kanan Sian Hwa terlepas pula, terlempar ke udara.



Lian Bu Tojin menggerakkan tongkatnya dan tahu-tahu pedang yang terbang itu sudah tertempel oleh tongkat bambunya. Sedangkan Souw Kian Bi melangkah maju mendekati Sian Hwa sambil cengar-cengir dan berkata, "Nona manis, apakah sekarang kau masih belum ? mau mengaku kalah padaku? Apakah dengan kepandaianku kau masih meng-anggap tak pantas kalau aku menjadi sahabat baikmu?"



Sian Hwa merasa malu sekali. Dengan kemarahan yang membuat dadanya seolah-olah akan meledak, ia menerjang maju, menghantam kepalan tangan kanan-nya ke dada pemuda itu. Souw Kian Bi cepat mengelak sambil tertawa dan ber-kata, "Sayang tanganmu yang halus kalau sampai mengenai dadaku, Manis." Sekali,. lagi dia mengelak ketika pukulan ke dua datang dan kini sambil mengelak dia mempergunakan tangan kirinya untuk mencekal pergelangan tangan kanan Sian Hwa. Gerakan ini amat cepatnya dan sekali melihat saja Lian Bu Tojin tahn ? bahwa pemuda itu pun mahir sekali akan ilmu tangkap dan ilmu cengkeram semacam Eng-jiauw-kahg. Sian Hwa kaget g sekali karena percuma saja ia berusaha melepaskan tangannya.



"Orang muda, jangan kurang ajar. Lepaskan!" Tiba-tiba Lian Bu Tojin melangkah maju untuk mencegah kekurang-ajaran pemuda itu terhadap muridnya.



Akan tetapi Souw Kian Bi hanya ter tawa. Mana dia mau memandang mata ,kepada kakek tua ini? Sambil tangan kiri masih memegangi tangan Sian Hwa, pedang di tangan kanannya bergerak ke arah dada Lian Bu Tojin dan dia membentak.



"Tosu bau jangan ikut campur. Menggelindinglah kau!"



Tetapi kali ini diasalah hitung. Pedangnya yang meluncur ke arah dada tosu tua itu tiba-tiba bertemu dengan tongkat bambu, pedangnya menggetar-getar dan..... "krakkk!" pedang itu patah menjadi dua, tubuhnya sendiri menggigil, pegangannya pada tangan Sian Hwa terlepas dan dia masih terhuyung-huyung ke belakang lima enam tindak. Mukanya menjadi pucat sekali.



"Kau..... kau siapakah.....?'1 ia memandang kepada kakek tua itu dengan mata terbelalak.



Lian Bu Tojin tidak menjawab, hanya berdiri tegak sambil memandang dengan tajam. Souw Kian Bi menggerak-gerak-kan biji matanya, memandangi kakek itu dari atas ke bawah. Agaknya jenggot panjang dan tongkat bambu itu yang menarik perhatiannya dan membuat dia dapat menduga siapa yang berhadapan dengannya.



"Ah, kiranya Totiang adalah Lian Tojin sendiri? Pantas saja aku tak dapat melawannya. Kiranya ketua yang terhormat dari Hoa-san-pai sendiri yang turun tangan!" Ucapan ini merupakan sindiran hebat. Memang sebetulnya amat memalukan bagi Lian Bu Tojin, seorang ciangbunjin (ketua) dari partai besar harus turun tangan sendiri menghadapi seorang muda seperti Souw Kian Bi! Mau tak mau kedua pipi kakek itu menjadi merah. Pemuda ini ternyata bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi jiiga amat tajam kata-katanya.



"Orang she Souw," katanya sabar "murid-muridku sedang turun gunung maka tidak ada yang menyambutmu sehingga terpaksa pinto sendiri menjenguk ke sini. Tak tahu apakah yang menjadi sebabnya maka engkau mengacau disini?"



Souw Kian Bi tertawa mengejek. ”Siapa mengacau? Aku lewat di sini, bertemu Nona ini, tertarik dan ingin bersahabat, apa salahnya? Sudahlah, lain kali dia tetap akan menjadi sahabat baikku....." Setelah berkata demikian pemuda itu membalikkari tubuhnya dan pergi. "Sian Hwa yang masih marah sekali cepat rnenyambar pedangnya yang tadi ter-pukul jatuh, hendak mengejar. Akan tetapi gurunya mencegahnya.



"Jangan kejar, Sian Hwa. Kulihat orang itu bukan orang sernbarangan. Sudah jelas bahwa dia itu dari utara. Akan tetapi mengapa sengaja datang mengacau Hoa-san-pai? Hemmm, kita harus berhati-hati, makin banyak saja musuh-musuh rahasia yang hendak memusuhi kita." Kakek ini lalu mengajak semua muridnya naik ke puncak Hoa-san lagii sambil memesan kepada para muridnya yang menjadi tosu agar supaya mulai saat itu melakukan penjagaan yang kuat siang malam, akan tetapi tidak boleh lancang turun tangan menyerang orang luar.



Kalau di kaki Gunung Hoa-san terjadii hal yang aneh ini, di puncak Hoa-san terjadi pula hal yang ganjil. Pada waktu Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok sedang berlatih silat di dalam taman bunga. Antara Thio Ki dan Kui Lok jelas sekali terjadi perlombaan, bukan hanya untuk kemajuan ilmu silat, akan tetapi terang sekali keduanya berlomba untuk bersikap manis kepada Kwa Hong. Keduanya memiliki watak yang hampir sama, yaitu gagah dan tabah, akan tetapi keduanya juga angkuh sekali. Mungkin hal ini timbul karena mereka merasa menjadi putera-putera pendekar Hoa-san-pai. Bahkan Thio Bwee yang pendiam juga tampak sifat angkuh ini dan me.rasa seakan-akan mereka adalah anak-anak orang gagah yang berbeda dengan anak-anak lain. Hanya Kwa Hong seorang yang wataknya tetap lincah jenaka, galak akan tetapi tidak angkuh.



Pada saat itu, tiba giliran Kui Lok untuk bersilat pedang disaksikan oleh tiga orang temannya. Kui Lok benar-benar memiliki bakat yang amat baik. Selama beberapa bulan ini kepandaiannya sudah meningkat banyak, ketika dia bersilat tidak saja gerakan pedangnya antep dan kuat, akan tetapi juga cepat sekali. Tentu saja dia bersilat pedang dengan tangan kiri, karena memang dia lebih pandai mempergunakan tangan kirinya daripada tangan kanannya. Setelah dia selesai bersilat, Kwa Hong bersorak.



"Bagus sekali Lok-ko (kakak Lok), kepandaianmu benar-benar sudah maju pesat!" ia memuji dengan sejujurnya. Juga Thio Bwee mengangguk-angguk membenarkan pujian Kwa Hong. Akan tetapi, pujian itu tidak menyenangkan hati Thio Ki.



”Sayangnya pedang itu dimainkan tangan kiri, jadi tentu saja kurang kuat dan kurang tepat seperti kalau dimainkan tangan kanan," Thio Ko berkata dengan lagak seakan-akan seorang yang lebih pandai menilai permainan orang yang lebih rendah tingkatnya.



Ucapan ini diterima oleh Kui Lok dengan muka merah. la merasa disindir dan ditegur karena sifat tangannya yang kidal. "Biarpun dengan tangan kiri kurasa tidak kalah oleh permainan pedang tangan kanan," jawabnya sambil menatap wajah Thio Ki penuh tantangan.



"Phuah.....!" Thio Ki mengejek, membuang muka.



"Phuah.....!" Kui Lok juga mengeluarkan suara mengejek.



Thio Ki naik darah, dirabanya gagang pedang di punggungnya. "Kalau begitu, mari kita buktikan, siapa lebih pandai, si tangan kanan atau si tangan kidal!"



"Begitu? Baiklah, tapi kau yang me-nantang, saudara Ki, bukan aku!" Kui Lok menjawab, pedangnya siap ditangan kiri.



Kwa Hong memperhatikan kejadian ini dengan mata berseri. "Baik sekali begitu!" ia bersorak. "Gembira sekali kalau diadakan pibu persaudaraan." Yang di-maksudkan dengan pibu (adu kepandaian silat) adalah pertandingan untuk menentukan siapa kalah siapa menang. "Dari pada setiap hari kalian bercekcok saja tentang tingkat kepandaian, lebih baik diputuskan dengan bukti."



Dua orang anak laki-laki itu sekarang sudah berhadapan dengan pedang di tangan. Thio Bwee membelalakkan matanya yang iebar, penuh kekhawatiran.



"Jangan!" teriaknya memohon. "Bagai-mana kalau ada yang terluka? Sukong akan marah sekali."



Kwa Hong tertawa dan melangkah di antara dua orang jago muda itu. "Kalian ini sudah bernafsu untuk saling serang," godanya, "jangan begitu, ah! Kita ini kan saudara-saudara seperguruan. Masa mau main tusuk dengan pedang."



"Habis bagaimana untuk menentukan Siapa lebih unggul?" tanya Kui Lok.



"Biarkan saja, Hong-moi (adik Hong). lok-te (adik Lok) ini sombong sekali, tidak mau mengalah terhadap aku yang lebih tua," kata Thio Ki.



"Mana bisa saudara seperguruan saling hantam? Kalau diketahui sukong, apa kaukira aku tidak ikut dipersalahkan? Aku tidak mau! Ralau kalian berkelahi, pergilah jauh-jauh dari sini agar aku tidak terbawa-bawa," kata Kwa Hong.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed