Skip to main content

Jaka Lola 9 -> karya : kho ping hoo

Tiba-tiba Yo Wan bangkit dari rumput kering. Dia mendengar kuda meringkik dan menyepak-nyepak. Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia menjadi tukang kuda dan kewajibannya menjaga kuda, tentu dia tidur lagi. la terlalu lelah. Dengan malas dia bangun dan keluar dari kandang kosong yang menjadi kamar tidurnya, menghampiri kandang kuda. Tidak ada sesuatu. Malam gelap dan kuda-kuda itu masih berada di kandang.
"Ah, kiranya benar hanya tukang kuda....." terdengar suara lirih, dari atas.
Yo Wan terkejut. Kiranya ada orang di atas kandang kuda. Mendadak dia mendengar sambaran halus dari belakang. Cepat dia miringkan tubuhnya dan "tak!" sebuah benda kecil menyambar lewat, menghantam tiang kandang dan mengeluarkan sinar. Dia lain saat, tiang itu dan rumput kering di bawah yang terkena pecahan benda itu sudah terbakar.
Yo Wan kaget bukan main. Cepat dia menggunakan rumput basah untuk memadamkan api. Dengan marah dia menggerakkan tubuh melompat ke atas kandang. Akan tetapi sunyi di situ, tidak ada bayangan orang. la menduga bahwa orang yang menyambitnya tadi tentu sudah melarikan diri. Kembaii dia memasuki kandang kosong, akan tetapi kali im dia tidak dapat tidur pulas. Agaknya yang datang itu adalah dua orang Sin-tung-kai-pang tadl, atau boleh jadi teman temannya. Mereka itu datang menyerangnya dengan benda yang dapat membakar tiang dan rumput, ataukah memang se-ngaja hendak membakar kandang? Tapi mendengar ucapan lirih tadi, agaknya mereka ingin pula melihat apakah ben ir-benar seorang tukang kuda. Benar-benar aneh. Apa artinya ini semua?
Pada keesokannya, pagi-pagi sekali serombongan orang yang semua berpakaian tambalan mendaki puncak Hoa-san. Yang berjalan di depan sendiri adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kurus kering seperti tinggal tulang terbungkus ktilit saja tanpa daging sedikit pun, namun tubuh itu ma-sih tegak berdiri kaku seperti perajurit bersikap di depan komandannya. la memegang sebatang tongkat yang aneh. Tongkat ini entah terbuat daripada bahan apa, tidak dapat dikenal begitu saja, tapi warnanya aneka macam, belang-bonteng ada warna hijau, merah, kuning, hitam dan putih. Lebih hebat lagi sepatunya, karena sepatu ini pun terbuat daripada kulit mengkilap yang warnanya juga macam-macam. Dilihat begitu saja dia lebih pantas menjadi seorang pemain lawak di atas panggung wayang. Akan tetapl, ja-ngan dikira bahwa dia itu orang gila atau seorang biasa saja, karena kakek ini adalah Sin-tung-kai-pangcu (Ketua Per-kumpulan Pengemis Tongkat Sakti) yang amat terkenal sebagai raja pengemis. Permainan tongkatnya hebat dan ditakuti orang. Memang ketua pengemis ini pandai sekali main tongkat dan dia menerima kepandaian ini fjari dua orang hwesio pelarian dari Siauw-lim-si yang terkenal dengan nama julukan Hek-tung Hwesio dan Pek-tung Hwesio, Si Hwesio Tongkat Hitam dan Hwesio Tongkat Putih.
Di kanan kirinya berjalan dua orang pengemis tua, lima puluh lebih usianya, yang seorang membawa sebatang pedang tergantung di pinggang, yang ke dua memegang sebatang toya panjang. Kedua orang pengemis ini memakai sepatu yang berwarna, akan tetapi warnanya tidak sebanyak pada sepatu pangcu itu. Ini menjadi tanda bahwa mereka itu seting-kat lebih rendah daripada pangcu mereka. Mereka adalah kedua orang pembantu ketua itu, dan merupakan orang ke dua darfke tiga dalam Sin-tung-kai-pang.
Di belakang tiga orang tokoh Sin-tung-kai-pang ini, berbarislah murid-murid mereka bertiga yang jumlahnya lima belas orang, di antara mereka ini tampak dua orang yang kemarin ribut-ribut dengan Yo Wan. Melihat cara mereka mendaki puncak dengan kecepatan luar biasa dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi.! Memang sesungguhnya, delapan belas orang pengemis yang dengan muka marah mendaki puncak Hoa-san ini merupakan orang-orang terpenting dalam Sin-tung-kai-pang! Para tosu yang beker)a di luar dan menjaga pintu, segera mengenal mereka dan tergesa-gesa para tosu yang melihat datangnya rombongan ini menyampaikan laporan ke dalam. Kaget dan heran juga Kui-san-jin, ketua Hoa-san-pai ketika mendengar laporan ini. Cepat dla keluar menyambut dan berturut-turut keluar pula isterinya, suhengnya yaitu Thian Beng Tosu, malah Kwa Kun Hong ber-sama isterinya, Kwi Hui Kauw, dan pu-teranya, Kwa Swan Bu, juga keluar untuk melihat apa kehendak rombongan pengemis itu.
Ketua Hoa-san-pai, Kui-san-jin, diam-diam merasa tidak enak hatinya. Memang ada sesuatu antara Hoa-san-pai dan Sin-tung-kai-pang yang menjadi ganjalan hati. Dimulai dengan bentrokan kecil antara seorang anak murid Hoa-san-pai yang pergi ke kota dengan seorang anggauta Sin-tung-kai-pang. Sebrang pengemis yang sombong dan memandang rendah Hoa-san-pai telah bentrok dengan seorang aneeauta Hoa-san-pai yang berwatak keras. Si pengemis dipukul roboh, datang banyak pengemis yang mengeroyok sehingga anak murid Hoa-san-pai itu ter-luka dan lari. Akan tetapi urusan ini sudah diselesaikan oleh suhengnya, Thian Beng Tosu sehingga tidak menjalar lagi menjadi permusuhan antara kedua fihak. Betapapun juga, diam-diam kedua fihak menaruh ganjalan hati. Kini ketua Sin-tung-kai-pang beserta rombongan, paei-paei mendaki puncak Hoa-san, ada keperluan apakah"? Karena mendengar bahwa yang memimpin rombongan adaian ketuanya sendiri, maka Kui-san-jin sendiri menyambut ke luar, khawatir kalau anak murid yang menyambut, akan ter-jadi bentrokan yang lebih besar. Senga)a dia menyambut di luar tembok, sesuai dengan keadaan tamu yang bukan merupakan sahabat.
Ketika melihat rombongan tuan rumah ke luar dari pintu gerbang. Sin-tung-kai-pangcu memberi tanda kepada rombongannya untuk berhenti. la melihat dua orang kakek yang berpakaian pendeta, seorang wanita tua yang masih cantik, seorang laki-laki muda yang buta di samping seorang wanita jelita, dan seorang anak laki-laki yang tampan dan membawa gendewa. Di belakang rombongan ini tampak beberapa orang tosu yang mengikuti dari jauh, agaknya bukan anggauta-anggauta rombongan penyambut. Ketua pengemis yang sebutannya Sin-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Sak-ti) berdiri memandang dengan sikap galak dan angkuh. la sama sekali tidak gentar biarpun dengan sudut. matanya dia lihat betapa puluhan orang tosu kelihatan ke-luar pula seperti rayap. Malah dia berdiri tegak saja, sama sekali tidak menghor" mat tuan rumah sebagai layaknya tamu» Melihat sikap seperti ini, Kui-san-jin hanya tersenyum-senyum sabar dan be-gitu sampai di depan rombongan tamu, dia mengangkat tangan ke depan dada sebagai penghormatan. 3uga suhengnya, Thian Beng Tosu, mengangkat kedua tangan memberi hormat. Namun Sin-tung Lo-kai sama sekali tidak membalas penghormatan ini, malah langsung bertanya, suaranya kaku,
"Yang manakah ketua Hoa-san-pai?"
Para tosu anak buah Hoa-san-pai marah sekali mendengar pertanyaan yang memandang rendah ini, namun rombongan pemimpin Hoa-san-pai itu tersenyum sabar. Hoa-san-pai adalah sebuah partai besar, patut mempunyai pimpinan yang bijaksana dan memiliki kesabaran tinggi, sikap orang-orang besar. Kui-san-jin me-langkah maju dan menjawab,
"Sayalah yang mendapat kehormatan menjadi ketua Hoa-san-pai. Kalau saya tidak keliru sangka, sahabat ini tentu ketua dari Sin-tung-kai-pang, bukan?"
Sin-tung Lo-kai tidak segera men-jawab, melainkan menatap tuan rumah penuh selidik.. Seorang kakek kurang lebih enam puluh tahun, pakaiannya sederhana seperti pertapa, sikapnya lemah-lembut dan tidak kelihatan sesuatu yang aneh pada dirinya. Biarpun demikian Sin-tung Lo-kai tidak berani memandang rendah karena dia sudah mendengar akan kebesaran Hoa-san-pai.
"Bagus! Ketua Hoa-san-pai, kami se-ngaja datang mengunjungimu dengan mak-sud hendak minta penjelasan mengapa Hoa-san-pai amat menghina Sin-tung-kai-pang? Apakah Hoa-san-pai merasa sebagai perkumpulan yang paling besar sehingga boleh malang-melintang dan melakukan penghinaan sesuka hatinya kepada perkumpulan lain?"
Kui-san-jin mengerutkan alisnya, bertukar pandang dengan Thian Beng Tosu, lalu menjawab, "Sin-tung-kai-pangcu, saya harap kau suka bicara yang jelas, karena sesungguhnya kami tidak mengerti apa yang kaumaksudkan dengan penghinaan itu. Memang harus kami akui bahwa telah terjadi bentrokan karena salah faham antara beberapa anak muridmu dengan anak murid kami, akan tetapi hal itu sudah diselesaikan dan didamaikan, malah oleh Suhengku ini, Thian Beng Tosu sendiri. Kami anggap urusan kecil antara anak murid yang masih berdarah panas itu sudah selesai. Mengapa kau sekarang datang menyatakan bahwa kami melakukan penghinaan? Penghinaan yang mana harap kaujelaskan."
"Hemmm, bagus .sekali! Hoa-san-pai kabarnya adalah perkumpulan yang besar dan berpengaruh, kiranya ketuanya tidak tahu apa yang terjadi di depan matanya sendiri! Paicu (Ketua) karena ingin mem-perbaiki hubungan antara perkumpulan kita yang pernah retak oleh perbuatan anak-anak murid kita, aku sengaja meng-utus dua orang anak muridku kemarin pagi untuk naik ke Hoa-san-pai dan me-nyampaikan undangan penghormatan dari Sin-tung-kai-pang kepadamu."
"Akan tetapi, kami tidak pernah menerimanya, Pangcu," jawab Kui-san-jin.
"Hemmm, tentu saja tidak pernah menerimanya!' Sin-tung-kai-pangcu ber-kata sambil membanting ujung tongkatnya sampai menancap ke atas tanah berbatu di depan kakinya.
"Di tengah jalan, dua orang utusanku itu diserang oieh tukang kuda Hoa-san-pai, malah dua ekor kuda tunggangan mereka pun dirampas!"
Semua orang menjadi kaget sekali mendengar ini. "Ah, imana bisa terjadi hal itu?" Kul-san-jin berseru, tidak per-caya. Tak mungkin anak muridnya ada yang berani melakukan perbuatan seperti itu. Merampas kuda? Tidak bisa jadi!
"Hemrnm, tentu saja tidak percaya!" Sin-tung Lo-kai mendengus, lalu melambaikan tangan kepada dua orang anak buahnya.
"Ceritakan kepada mereka!" , perintahnya.
Dua orang pengemis melangkah maju dan berdiri membungkuk. Seorang di antara mereka yang berkumis panjang lalu bercerita, sedangkan temannya yang berambut putih hanya menundukkan muka.
"Kami berdua sedang menunggang kuda mendaki kaki gunung ketika tiba-tiba seorang pemuda melepaskan kuda yang hampir menubruk kami. Karena kaget dan untuk menyelamatkan diri daripada tubrukan, terpaksa saya meng-gerakkan kaki menendang kuda yang menubruk kami itu. Kuda itu mati. Tukang kuda Hoa-san-pai itu marah-marah, biarpun kami sudah berjanji hendak membicarakan hal itu dehgan ketua Hoa-san-pai, karena kami adalah utusan dari Sin-tung-kai-pang untuk menyampaikan undangan. Akan tetapi orang muda itu tetap tidak mau melepaskan kami, malah segera menyerang kami dan merampas dua ekor kuda tunggangan kami. Terpaksa kami kembali turun gunung dan melapor kepada ketua kami." Setelah berkata demikian, dua orang pengemis ini cepat-cepat mengundurkan diri lagi ke belakang ketua mereka, karena mereka merasa malu sekali harus bercerita bah-wa mereka kalah oleh seorang kacung kuda Hoa-san-pai.
Kui-san-jin tertegun. Cerita ini benar-benar tidak masuk akal. Dua orang per ngemis tadi dia lihat memiliki gerakan? gerakan yang tangkas dan kuat, dan sudah dapat menendang seekor kuda sekali saja mati cukup membuktikan kepandaiannya. Masa mereka berdua kalah bleh tukang kuda Hoa-san-pai? Padahal tukang kuda Hoa-san-pai yang sudah tua telah meninggal dunia dan selama belum mendapatkan tukang kuda baru, pekerjaan merawat kuida dilakukan oleh seorang tosu, kalau tidak salah Can Tosu yang gendut dan yang dia tahu- kepandaiannya rendah sekali.
Kui-san-jin menoleh ke belakang, nnencari-cari dengan pandang matanya, mencari Can-tojin, sedangkan mulutnya berkata, "Kami tidak mempunyai kacung kuda yang masih muda....."
Ketua Sin-tung-kai-pang mengeluarkan suara ketawa mengejek. Pada saat Itu dua orang tosu maju dan berlutut di depan Kui-san-jin. Itulah dua orang tosu yang kemarin bersama Kwa Swan Bu menyerahkan kuda mereka kepada Yo Wan.
"Mohon ampun sebesarnya kepada Suhu," kata seorang di antara mereka,
"sesungguhnya teecu berdua yang telah menerima kacung itu. Kemarin pagi ketika teecu berdua mengantar Swan Bu berlatih panah dan sampai di kaki gunung, teecu melihat seorang pemuda yang keadaannya miskin dan seperti kelaparan. Tadinya teecu kira dia itu tukang kuda baru yang dijanjikan oleh lurah dusun, akan tetapi ternyata bukan dan dia menyatakan suka bekerja membantu kita. Karena teecu kasihan kepadanya, maka teecu lalu menerimanya sebagai tukang kuda, dan teecu baru akan melaporkan hari ini kepada Suhu. Siapa duga bocah itu menimbulkan onar. Mohon ampun sebesarnya, Suhu." Kui-san-jin kaget mendengar ini. Akan tetapi sebelum dia bicara, Swan Bu sudah melangkah maju dan dengan suara lantang berkata kepadanya,
"Supek, benar kata kedua muridmu ini. Memang tadinya sudah kucurigai dia." la lalu menoleh ke arah kakek pengemis dan berkata,
suaranya tetap lantang, "Hai, Pangcu dari Sin-tung-kai-pang! Kau dengar sendiri, tukang kuda itu bukanlah anak murid Hoa-san-pai dan ketua kami tidak tahu-menahu tentang keributan itu. Namun, kami dapat memberi hajaran kepada pengacau itu, jangan kau merembet-rembet nama Hoa-san-pai'."
"Swan Bu, diam kau.....'." Kwa Kun Hong membentak dan seketika Swan Bu diam. Akan tetapi tiba-tiba bocah ini meloncat ke depan, tangan kiri meraih anak panah, dipasangnya pada gendewanya dan menjepretlah tali gendewa dan anak panahnya meluncur ke kiri Yo Wan sejak tadi sudah mendengarkan semua pembicaraan itu.
Pagi-pagi tadi dia sudah pergi mencari rumput dan ketika dia melihat rombongan pengemis yang tampak marah mendaki naik puncak, hatinya berdebar tidak enak. Tentu ada hubungannya dengan.urusan kemarin, pikirnya. Karena dia merasa bahwa dia yang menjadi biang keladinya, maka dia lalu pergi mengikuti mereka sampai ke puncak. la bersembunyi di balik pohon dan mengintai semua perdebatan tadi. Setelah dirinya di-sebut-sebut oleh dua orang tosu dan Swan Bu, dia segera muncul dengan maksud untuk mengakui kesemuanya dan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dari balik batang pohon tadi Yo Wan merasa terharu dan sedih melihat suhu dan subonya. Sekarang, maklum bahwa perbuatannya itu akan mengakibatkan keributan, dia mengambil keputusan untuk mempertanggungjawabkan sendiri agar Hoa-san-pai, terutama suhu dan subonya jangan sampai terbawa-bawa. Dengan pikiran ini, dia lalu muncul keluar dari tempat persembunyiannya dan berjalan menuju ke tempat pertemuan.
Sama sekali tidak diduganya bahwa Swan Bu yang pertama melihat dan mengenalnya, malah bocah itu sudah melepaskan sebatang anak panah kepadanya. Para tokoh Hoa-san-pai yang tidak mengenal siapa dia, hanya bisa tertegun dan heran, juga kaget melihat Swan Bu memanah orang muda itu, tanpa sempat mencegah lagi.
Yo Wan tentu saja akan dapat mengelak dengan mudah. Namun dia sedang berduka bahwa dalam pertemuan dengan suhunya ini dia sudah mendatangkan keributan hebat, apalagi mengingat bahwa bocah itu adalah putera suhunya yang dibangga-banggakan, dia tidak tega untuk mengelak dan mendatangkan malu. Sambil mengerahkan tenaga sinkang yang dia latih dari Sin-eng-cu dan Bhewakala, dia sengaja menerima anak panah itu dengan pundak kirinya, akan tetapi cepat-cepat dia menutup jalan darah pada bagian ini sehingga anak panah yang menancap satu dim dalamnya itu hanya melukai kulit daging saja. Dengan anak panah menan-cap di pundak, dia berjalan terus meng-hampiri mereka.
"Swan Bu, kau lancang..l”. Yo Wan mendengar subonya berteriak mencela puteranya. Di dalam hatinya dia bersyukur bahwa subonya masih tetap seorang wanita budiman seperti dulu, dan lebih-lebih dia menjadi tidak tega untuk membiarkan suhu, subo dan putera mereka itu menanggung akibat daripada perbuatannya. la pura-pura tidak melihat pandang mata subonya yang diarahkan kepadanya dan seakan-akan subonya itu hampir mengenalnya! ia juga ndak peduli akan pandang mata semua orang di situ yang memandangnya dengan heran dan tercengang. Yo Wan langsung menghampiri Kui-san-jin dan membungkuk sampai dalam sambil berkata,
"Lopek (Paman Tua), memang betul seperti dikatakan oleh kedua Lopek tadi, saya menerima pekerjaan sebagai kacung kuda. Di tengah jalan saya bertengkar dengan dua orang pengemis. Akan tetapi hal itu adalah urusan saya sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Hoa-san-pai. Ini adalah urusan seorang kacung kuda dengan para pengemis, harap para lopek di sini legakan hati karena sekarang juga saya akan bereskan urusan ini dengan para pengemis.
"Dia..... dia..... A Wan....." terdengar Kun Hong berseru.
"Yo Wan.....!" Hui Kauw juga menahan teriakannya.
Akan tetapi Yo Wan yang kaget sekali mendengar suhu dan subonya telah mengenalnya, cepat menghampiri rombongan pengemis dan dengan berdiri tegak dia berkata lantang,
"Kakek pengemis, kalau benar kau ketua dari Sin-tung-kai-pang, sebaiknya kau memeriksa keadaan anak-anak murid-mu sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Urusan anak muridmu dengan aku si kacung kuda sama sekali berada di luar tanggung jawab Hoa-san-pai karena aku belum diterima secara resmi menjadi tukang kuda Hoa-san-pai. Kenapa kalian ini tak tahu malu membikin ribut di Hoa-san-pai? Akulah yang bertanggung jawab!" Sin-tung Lo-kai marah bukan main. Ingin dia sekali gebuk membikin remuk kepala bocah itu, akan tetapi sebagai seorang ketua kai-pang yang tersohor, tentu saja dia tidak mau melakukan hal yang akan merendahkan namanya. la hanya melotot memandang Yo Wan lalu membentak,
"Bocah setan! Apa kau mengaku telah merampas dua ekor kuda anak muridku?"
Yo Wan menggeleng kepala, tersenyum mengejek. "Siapa yang merampas? Aku sedang menuntun tiga ekor kuda naik puncak, tiba-tiba dua orang pengemis itu membentak dari belakang. Kuda yang kupegang kaget, seekor meloncat dan hampir menubruk pengemis kumis panjang. Eh, si kumis itu memamerkan ke-pandaiannya, kuda itu ditendang mati. Tentu saja aku minta ganti dan siapapun mereka itu, harus mengganti kuda yang mati karena aku bertanggung jawab atas keselamatan kuda-kuda itu."
"Apa kau tidak dengar bahwa mereka itu utusan Sin-tung-kai-pang?" Ketua ini membentak.
"Baik mereka itu utusan dari raja pengemis atau raja neraka sekalipun, karena sudah membunuh kuda yang menjadi tanggung jawabku, mereka harus menggantinya. Eh, mereka marah-marah sehingga terpaksa aku membela diri ka-rena mereka menyerangku. Kemudian mereka berdua lari meninggalkan kuda mereka. Apakah yang begini dapat disebut aku merampas kuda?"
"Keparat, kau tukang kuda mulutmu besar dan sombong! Kau telah menghina murid-muridku, menghina Sin-tung-kai-pang, apakah nyawamu rangkap?"
"Kakek pengemis, kau mau menang sendiri. Kau bilang aku yang menghina, tapi dua orang muridmu itu hendak membunuhku, malahan malam tadi, siapa yang melepas api hendak membakar kandang kalau bukan orang-orangmu? Hemmm, sebetulnya, kalau aku akan mempertanggungjawabkan perbuatan anak-anak muridmu."
"Suheng, menghadapi anak anjing menggonggong seperti ini, mengapa pakai banyak aturan? Banting saja mampus, habis perkara!" tiba-tiba seorang penge-mis yang hidungnya bengkok ke kiri, yang memegang toya, berkata marah.
"Pangcu, harap kau bersabar," tiba-tiba Kui-san-jin berkata lembut.
"Setelah pinto (aku) mendengar omongan bocah ini, kiranya harus diselidiki dulu apakah betul dia yang bersalah. Dalam segala hal, tidak baik untuk bertindak sembrono, menghukum orang yang tidak bersalah." Ternyata ketua Hoa-san-pai ini telah dibikin kagum oleh sikap Yo Wan. la maklum bahwa pemuda itu adalah se-orang pemuda yang bodoh dan sederhana, agaknya tidak pandai ilmu silat karena kalau memang pandai Umu silat, bagaimana tidak mampu mengelak dari anak panah yang dilepaskan Swan Bu tadi? Akan tetapi, jelas bahwa pemuda itu nnennlliki daya tahan yang amat luar biasa dan memiliki rasa tanggung jawab yang kiranya jarang dimiliki orang-orang yang mengaku dirinya gagah perkasa. Buktinya, dengan anak panah menancap di pundak, pemuda itu sama sekali tidak mengeluh, bahkan tidak tampak nyeri, malah menghadapi para pengemis dengan penuh ketabahan dan penuh rasa tanggung jawab, agaknya jelas hendak mencuci nama Hoa-san-pai daripada urusan itu.
"Hoa-san-ciangbunjin (ketua Hoa-san)! Apamukah bocah ini? Apakah anak murid Hoa-san-pai? Ataukah dia ini menjadi tanggung jawab Hoa-san-pai maka kau hendak membelanya?" bentak Sin-tung Kai-pangcu.
"Dia..... A Wan....." kembali terdengar suara perlahan Kwa Kun Hong,
"Ssttt....." dengan sudut matanya Yo Wan melihat betapa subonya menyentuh lengan tangan suaminya. la melemparkan kerling penuh terima kasih kepada Hui Kauw yang memandangnya penuh pengertian. Memang Hui Kauw amat cerdik dan haius perasaannya. Agaknya nyonya muda inl sudah dapat menduga apa yang menjadi maksud hati murid itu, maka dia hendak rnembantu, memberi kebebasan kepada Yo Wan untuk melanjutkan maksud hatinya, akan tetapi tentu saja nyo-nya muda ini bersiap sedia untuk mem-bantu muridnya. la dapat melihat lebih jelas daripada apa yang dapat didengar oleh telinga suaminya yang buta.
"Heh, Pangcu dari para pengemis! Kenapa kau selalu mendesak Hoa-san-pai? Agaknya kau jerih untuk menjatuh-kan hukuman kepada diriku, maka kau selalu berpaling dan mencari-cari ke-salahan kepada Hoa-san-pai! Huh, tak tahu malu. Kalau kalian para pengemis hendak membalas dendam kepadaku, lekas turun tangan. Apa kaukira aku takut menghadapi kematian?"
"Sin-tung-kai-pangcu, jangan ladeni omongan seorang bocah nekat!" fiba-tiba Thian Beng Tosu berseru keras.
"He, bocah tak melihat keadaan, apakah kau sudah menjadi gila? Jangan main-main terhadap Sin-tung-kai-pang!"
Akan tetapi dengan tenang Yo Wan memberi hormat sambil membungkuk kepadanya, lalu berkata, "Urusan ini adalah urusan saya sendiri, harap para lopek yang terhormat dari Hoa-san-pai jangan ikut campur. He, pengemis kelaparan, masih tidak berani turun tangan terhadap kanak-kanak seperti aku? Memalukan benar!"
Terdengar teriakan marah dan si pe-ngemis hidung bengkok yang memegang toya sudah melompat maju. Dia ini adalah sute (adik seperguruan) dari ketua pengemis itu, lihai sekali permainan toya besinya dan dia diberi julukan Tiat-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Bertoya Besi). Wataknya lebih keras berangasan dari-pada para tokoh Sin-tung-kai-pang yang lain. Mendengar ucapan yang menantang-nantang dari Yo Wan, dia tidak mau bersabar lagi.
"Ada hubungan dengan Hoa-san-pai atau tidak, kau bocah setan harus mam-pus sekarang juga!" bentaknya dan toya-nya yang berat itu menyambar cepat, mendatangkan desir angin gemuruh.
Yo Wan sudah bertekad tidak akan membawa-bawa suhu dan subonya, sungguhpun tadi dia bersikap seakan-akan hendak membersihkan Hoa-san-pai, padahal sesungguhnya dia tidak hendak menyeret suami isteri itu. Maka sekarang meng-hadapi sambaran toya, dia tidak mau mempergunakan langkah-langkah ajaib yang dia pelajari dari Kun Hong. la siapmenerima kematian karena memang ha-nya kematian yang dapat dia harapkan dalam menghadapi orang-orang berilmu tinggi seperti pimpinan Sin-tung-kai-pang ini. Namun dia juga tidak mau mati konyol begitu saja tanpa perlawanan. Melihat datangnya toya, otomatis kaki tangannya bergerak dan dengan amat mudah dia membiarkan toya itu menyam-bar lewat tanpa dapat menyentuh tubuh-nya sedikit pun juga. Karena tanpa disadarinya dia sudah memiliki kesaktian ilmu silat yang mendarah daging, maka sesuai dengan . daya tahan dan daya serang yang berganti-ganti diturunkan Sin-eng-cu dan Bhewakala kepadanya, tentu saja setiap kali menghadapi serangan, begitu mengelak terus saja Yo Wan membalas serangan itu. Dan bukan hal kebetulan kalau pada saat itu dia menggunakan sebuah jurus dari Ilmu Silat Ngo-sin-hoan-kun (Lima Lingkaran Sakt!) yang dia pelajari atau lebih tepat dia "mainkan" menurut petunjuk Bhewakala. Hal ini adalah karena jurus penyerangan toya yang dilakukan oleh Tiat-pang Sin-kai tadi sifatnya hampir sama dengan jurus-jurus penyerangan Sin-eng-cu, maka otomatis tubuhnya lalu bergerakmainkan jurus ilmu yang diturunkan oleh Bhewa-kala kepadanya sebagai lawannya. Ilmu Silat Ngo-sin-hoan-kun adalah ilmu silat ciptaan pendeta Nepal pertapa Gunung Himalaya yang sakti itu, gerakannya dahsyat dan aneh, Tiat-pang Sin-kai me-lihat betapa kedua lengan pemuda itu membuat lingkaran-lingkaran yang me-ngaburkan pandangan matanya dan dia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.
Ingin dia memukul dengan toya, na-mun ujung toyanya seakan-akan terlibat oieh sebuah di antara lingkaran itu dan tak dapat digerakkan. Tiba-tiba dia merasa tubuhnya berpusing seperti tenggelam dalam pusingan angin dan sebelum dia tahu apa yang terjadi dengan dirinya, tubuhnya itu terlempar sambil berputaran dan robohlah dia dengan kepala di bawahkaki di atas. la menjadi pening, kepala-nya benjol, toyanya terlempar entah ke mana dan sampai lama dia hanya rebah sambil menggerak-gerakkan kepala mengusir kepeningan dengan mata menjadi juling!
"Ah.....!"
"Hebat.....!"
"Aneh.....!"
Seruan-seruan ini keluar dari mulut para tokoh Hoa-san-pai. Benar-benar mengejutkan peristiwa itu. Kui-san-jin dan yang lain-lain memang sudah siap untuk menolong orang muda yang tabah itu kalau fihak Sin-tung-kai-pang hendak membunuhnya. Siapa tahu, dalam dua gebrakan saja seorang tokoh Sin-tung-kai-pang yang cukup lihai dibikin melayang seperti itu dengan gerakan tangan dan kaki yang luar biasa, ilmu silat yang membentuk lingkaran-lingkaran ajaib. Ilmu apakah yang dipergunakan pemuda ini? Hanya Hui Kauw dan Kun Hong yang tidak mengeluarkan suara apa-apa- Hui Kauw memandang kagum dan juga heran. karena sepanjang pengetahuannya, murid ini hanya baru menerima dasar-dasar ilmu silat dan yang terakhir hanya ditinggali ilmu Langkah Si-cap-it Sin-po oleh Kun Hong. Tadi Hui Kauw sengaja memperhatikan gerak kaki anak itu untuk melihat apakah Yo Wan sudah mahir rrielakukan langkah-langkah itu, karena kalau sudah mahir, tentu anak itu mampu menyelamatkan diri dengan langkah-langkah ajaib. Anehnya, langkah yanc dipergunakan Yo Wan sama sekali bukan langkah ajaib ajaran Kun Hong, sungguh-pun gerak dan langkah yang dilakukan anak itu pun amat aneh dan asing!
Ketika Hui Kauw melirik ke arah suaminya, ia melihat suami ini miringkan kepala mengerutkan kening dan bibirnya meng-gumam, "Hemmm..... hemmm...,."
Sebetulnya, robohnya Tiat-pan Sin-kai hanya dalam di satu jurus ini bukan semata-mata karena kelihaian Yo Wan, melainkan sebagian besar dikarenakan kesalahan pengemis itu sendiri. la terlalu memandang rendah bocah itu, dianggap-nya sekali pukul dengan toya akan remuk kepalanya. Oleh karena memandang ren-dah inilah maka sekali balas saja Yo Wan berhasil merobohkannya. Andaikata pengemis itu lebih hati-hati, biarpun tak mungkin dia dapat mengalahkan Yo Wan yang sudah mewarisi ilmu-ilmu sakti, namun kiranya tidak akan roboh hanya dalam satu dua jurus saja!
"Bocah setan! Berani kau menghina saudaraku?" Kakek pengemis di sebelah kiri ketua pengemis meloncat ke depan, menghadapi Yo Wan dengan mencabut pedang di pinggangnya.
"Hayo keluarkan senjatamu dan kaulawan aku!"
Sikap pengemis inl jauh lebih gagah daripada Tiat-pang Sin-kai dan memang dia tidak memandang rendah kepada Yo Wan, karena dia menduga bahwa Yo Wan tentu memilikikepandaian yang tinggi. Memang dia seorang yang cukup ber-pengalaman dan tidak sembrono seperti temannya tadi. Pengemis ini menjadi pembantu Sin-tung Lo-kai karena ilmu pedangnya membuat dia jarang menemu-kan tanding. Dia bernama Souw Kiu, seorang ahli pedang dan ahli tenaga Iweekang.
Hati Yo Wan tergetar. la tidak per-nah mengalami pertandingan-pertandingan, yaitu pertandingan yang sungguh-sungguh, karena pertandingan yang dia saksikan selama tiga tahun di puncak Liong-thouw-san adalah pertandingan "teori". Ketika dia merobohkan dua orang pengemis ke-marin dan pengemis bertoya tadi, dia sama sekali tidak mengira bahwa demiki-an mudah dia mencapai kemenangan. Disangkanya bahwa memang tiga orang pengemis itu hanya orang-orang sombong yang tidak ada gunanya. Sekarang, meng-hadapi Souw Kiu yang tenang, fc»ermata tajam dan memegang pedang dengan sikap yang kokoh kuat, mau tak mau dia menjadi gentar puia untuk menghadapi-nya dengan tangan kosong.
"Tukang kuda, kaupakailah pedangku ini!" Tiba-tiba Swan Bu berseru sambil mencabut pedangnya yang amat indah.
Yo Wan tersenyum. Lenyap sudah rasa sakit di pundaknya oleh anak panah yang masih menancap itu. Sikap Swan Bu ini sekaligus telah menjatuhkan hatinya dan meluapkan maafnya terhadap putera dari suhunya itu. la tersenyum lebar sambil menoleh ke arah Swan Bu.
"Tuan Muda, terima kasih. Tidak berani aku merusakkan pedangmu," jawabnya dengan sungguh-sungguh dan jujur, sama sekall dia tidak tahu bahwa jawabannya ini membuat wajah Hui Kauw dan Kun Hong menjadi merah karena ayah dah ibu ini mterasa terpukul oleh jawaban muridnya kepada puteranya yang tadi memperlakukan Yo Wan dengan sewenang-wenang.
Yo Wan maklum bahwa untuk meng-hadapi pedang lawan, dia harus meng-gunakan senjata pula dan dia anggap bahwa senjata terbaik adalah melawan dengan pedang pula. Lupa bahwa pedang-nya hanya sebatang pedang kayu saja, dia segera membuka jubah mengeluarkan pedang kayunya yang panjangnya hanya tiga puluh sentimeter, terbuat daripada kayu cendana yang harum itu.
Meledak suara ketawa dari anak buah Hoa-san-pai dan anak buah pengemis, akan tetapi tokoh-tokohnya sama sekali tidak tertawa, bahkan memandang dengan tercengang. Gilakah anak ini? Ataukah memang dia begitu sakti sehingga cukup menghadapi lawan dengan pedang kayu saja?
"Itukah senjatamu?" bentak Souw Kiu dengan suara kecewa.
"Apakah kau hen-dak main-main?" Dia seorang tokoh ilmu silat, mana enak hatinya kalau dihadapi seorang lawan begini muda yang mempergunakan pedang kayu?
"Memang inilah senjataku dan aku tidak main-main, pengemis tua."
"Jangan menyesal nanti dan bilang aku berlaku sewenang-wenang!" kata pula Souw Kiu, masih meragu. Pertandingan ini disaksikan banyak tokoh Hoa-san-pai, dia harus memperlihatkan kegagahannya.
"Aku tidak akan menyesal. Kalian memang sudah bertekad untuk membunuhku, tentu saja aku pun bertekad untuk mempertahankan nyawaku sedapat mungkin. Aku tidak biasa memegang pedang tulen, biasa main-main dengan pedangku ini. Kalau kau memang berkukuh hendak membunuhku, silakan."
"Awas pedang!" Dengan cepat setelah mengeluarkan bentakan ini, Souw Kiu menerjang dengan pedangnya. Gerakan pedangnya amat cepat dan mengeluarkan suara berdesing mengerikan. Namun bagi Yo Wan, gerakan pengemis itu tidaklah terlalu hebat, apalagi cepat. Kalau di-bandingkan dengan jurus-jurus yang dikeluarkan Sin-eng-cu dan Bhewakala, gerakan itu seperti anak kecil main-main belaka! Dengan tenang, dia lalu mainkan jurus-jurus yang sesuai dengan pedang yang dipegangnya, yaitu Ilmu Silat Liong-thouw-kun yang ditucunkan oleh Sin-eng-cu kepadanya. Memang pedang kayu itu adalah senjata buatan Sin-eng-cu yang dahulu dia pakai untuk menghadapi cam-buk dari Bhewakala, maka ketika dia bersilat pedang dengan jurus-jurus dari Sin-eng-cu, seketika pedang kayu di ta-ngannya itu berubah menjadi puluhan batang banyaknya dalam pandang mata lawannya! Angin yang diterbitkan pedang kayu ini berbunyi "whir-whir-whirrr....." dibarengi kilatan sinar pedang kayu yang membingungkan hati Souw Kiu. Karena maklum bahwa bocah ini be-nar-benar pandai, Souw Kiu mengerahkan seluruh tenaga dalam dan mengeluarkan semua jurus simpanannya untuk r encapai kemenangan. la sengaja hendak .nengadu senjata, karena dia merasa yakin bahwa sekali pedang kayu itu bertemu dengan pedangnya, tentu akan patah dan dia akan mudah merobohkan lawan. Hui Kauw memandang kagum sekali. Ilmu pedang yang dimainkan Yo Wan itu benar-benar merupakan ilmu pedang yang selain indah, juga amat luar biasa. Dia sendiri belum tentu dapat mainkan pedang kayu seperti itu!" Ketika dia melirik ke arah suaminya, wajah Kun Hong tegang sekali dan bibir Pendekar Buta ini menggumam lirih,
" Ah..... mana mungkin.....?" Memang, dapat dibavangkan keheranan hati Kun Hong ketika telinganya menangkap gerakan ilmu silat Yo Wan yang kali ini cara bersilatnya sama sekali berlawanan dengan dua gerakan ketika merobohkan lawan pertama tadi, tidak demikian saja, malah ilmu pedang yang dimainkan ini mengandung jurus-jurus Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, yaitu ilmu silatnya sendiri! Padahal dia sama sekali belum pernah mengajarkan ilmu itu meskipun hanya sejurus kepada muridnya.
Para tokoh Hoa-san-pai adalah tokoh-tokoh yang berilmu tinggi. Apalagi ketuanya, Kui-san-jin terkenal sebagai se-orang ahli pedang Hoa-san-kiam-sut, di samping isterinya yang juga hadir di situ. Mereka semua kini berdiri bengong, kagum bukan main. Siapa orangnya yang tidak kagum kalau melihat betapa kacung kuda itu dengan hanya sebatang pedang kayu dapat menghadapi seorang ahli pedang seperti Souw Kiu? Dan kadang-kadang pedang di tangan pengemis itu dengan hebatnya menggempur pedang kayu, akan tetapi jangan kata pedang kayu menjadi patah karenanya, malah tampak jelas betapa lengan dan tangan Souw Kiu yang memegang pedang ter-getar hebat. Ini hanya menjadi bukti bahwa bocah itu memiliki tenaga sinkang yang ampuh sekali, tenaga yang bukan sewajarnya dimiliki seorang pemuda tang-gung berusia enam belas tahun. Diam-diam mereka menduga-duga murid siapakah gerangan pemuda ini dan apa maksud orang muda yang memiliki kesaktian itu naik ke Hoa-san-pai? dengan berpura-pura menjadi tukang kuda, mengandung maksud tersembunyi yang bagaimanakah? Mereka juga merasa gelisah, menduga bahwa tentu pemuda itu mengandung suatu maksud tertentu.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed