Skip to main content

Jaka Lola 8 -> karya : kho ping hoo

Demikianlah, setelah lewat delapan tahun, suami isteri ini sudah melupakan murid mereka yang mereka kira tentu sudah pergi dari Liong-thouw-san dan tidak mau ikut mereka di Hoa-san. Sama sekali mereka tidak mengira bahwa murid mereka itu selama ini tak pernah meninggalkan puncak Liong-thouw-san. Dan sama sekali mereka tidak pernah menduga bahwa pada pagi hari, orang muda tampan sederhana yang berdin termenung di kaki Gunung Hoa-san, adalah Yo Wan.
Yo Wan amat kagum melihat keadaan Gunung Hoa-san. Alangkah jauh bedanya dengan Liong-thouw-san. Gunung ini be-nar-benar terawat. Tidak ada bagian yang liar. Hutan-hutan bersih dan penuh pohon buah dan kembang. Sawah ladang terpelihara, dhanami sayur-mayur dan pohon obat. Malah jalan yang cukup le-bar dibangun, memudahkan orang naik mendaki gunung.
Derap kaki kuda dari sebelah kanan terdengar, diiringi suara ketawa yang nyaring, ketawa kanak-kanak. Yo Wan mengangkat kepala memandang ke se-belah kanan dan dia menjadi kagum se-kali. Ada tiga orang penunggang kuda. Kuda mereka adalah kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan nampak kuat. Akan tetapi bukan binatang-binatang itu yang mengagumkan hati Yo Wan, melainkan penunggangnya yang berada di tengah-tengah, di antara dua orang penunggang kuda. Penunggang kuda ini adalah se-orang anak laki-lakl yang kelihatannya ada sepuluh tahun usianya. Seorang anak laki-laki yang amat tampan, yang pakaiannya serba indah, kepalanya ditutypi topi sutera yang bersulam kembang dan terhias burung hong dari mutiara. Anak laki-laki itu pandai sekali menunggang kuda dan pada saat itu dia menunggang kuda tanpa memegang kendali, karena kedua tangannya memegangi sebuah gen-dewa dan beberapa batang anak panah. Dua orang yang menglringi anak ini adalah dua orang laki-laki berusia empat puluhan, dandanannya seperti tosu dan kelihatannya amat mencinta anak itu.
"Ji-wi Susiok (Dua Paman Guru), lihat, burung yang paling gesit akan kupanah jatuh!"
"Swan Bu...... jangan.....! Itu bukan burung walet....." Seorang di antara kedua tosu itu mencegah. Akan tetapi anak itu sudah mengeprak kudanya dengan kedua kakinya yang kecil. Kudanya lari congklang dengan cepat ke depan Dengan gerakan yang tenang namun cepat anak itu sudah memasang dua batang anak panah pada gendewanya, dan menarik tali gendewa, terdengar suara menjepret dan Yo Wan melihat seekor burung kecil melayang jatuh di dekat kakinya. Ia merasa kasihan sekali melihat burung itu, sebatang anak panah menembus dada. Burung kecil berbulu kuning amat cantik. Yo Wan menekuk lutut, membungkuk untuk mengambil bangkai bucung itu. Tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu sebuah tangan yang kecil telah mendahuluinya, me-nyambar bangkai burung itu. Yo Wan berdiri dan melihat anak kecil yang pandai main anak panah tadi telah berdiri di depannya, bangkai burung di tangan kanan sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.
"Eh, kau mau curi burungku? Burung ini aku yang panah jatuh, enak saja kau mau mengambilnya. Hemmm, kau orang dari mana? Mau apa berkeliaran di sini?"
Yo Wan tertegun. Anak ini masih kecil, akan tetapi sikapnya amat gagah dan berwibawa, sepasang matanya tajam penuh curiga, akan tetapi juga membayangkan watak tinggi hati. la tahu bahwa dia berada di tempat orang, karena Gunung Hoa-san tentu saja menjadi wilayah orang-orang Hoa-san-pai. Dengan senyum sabar dia menjura dan berkata.
“Aku tidak bermaksud mencuri, hanya kasihan melihat burung ini....."
Sementara itu, dua orang tosu juga sudah melompat turun dan kuda dan menghampiri.
“Swan Bu, kau terlalu. Ilmu ,memanah yang kau pelajari bukan untuk membunuh burung yang tidak berdosa. Kalau ayah bundamu tahu, kau tentu akan mendapat marah," tegur seorang tosu.
“Susiok, apakah urusan begini saja Susiok hendak mengadu kepada ayah dan ibu Kalau tidak melatih memanah burung kecil terbang, mana bisa mahir? Anggap saja burung ini seorang penjahat. Susiok, orang ini mencurigakan, aku belum pernah melihatnya. Jangan-jangan dia pencuri”.
Dua orang tosu itu memandang Yo Wan. Tosu ke dua segera menegur, "Orang muda, kau siapakah ? Agaknya kau bukan orang sini .. eh, apalagi kau pemuda yang hendak bekerja sebagai tukang mengurus kuda di Hoa-san? Kemarin kepala kampung Lung-ti-bun menawarkan tenaga seorang pemuda tukang kuda....."
Yo Wan menggeleng kepala. Dia sejak kecil tinggal di gunung, tentu saja tidak tahu akan tata susila umum, dan gerak-geriknya agak kaku dan kasar. "Aku bukan tukang kuda, akan tetapi kalau Lo-pek (Paman Tua) suka memberi pekerja-an, aku mau mengurus kuda, asal mendapat makan setiap hari."
Entah bagaimana, melihat anak laki-laki yang sombong dan yang dia tahu tentu anak Hoa-san-pai ini, tiba-tiba hati Yo Wan menjadi tawar untuk bertemu dengan suhunya. Bukankah suhunya itu putera Hoa-san-pai dan sekarang mondok di situ? Bagaimana kalau orang-orang Hoa-san-pai memandang rendah kepadanya dan tidak suka mengangkatnya sebagai murid Pendekar Buta? Lebih baik dia menjadi tukang kuda dan tidak usah mengaku" sebagai murid gurunya agar tidak merendahkan nama gurunya. De-ngan pekerjaan ini, dia hendak melihat gelagat, melihat dulu suasana, di Hoa san-pai sebelum mengambil keputusanuntuk menehadap suhunya.
"Baik, kau boleh bekerja men)adl pengurus kuda. Setiap hari kau harus mencari rumput yang segar dan gemuk untuk dua belas ekor kuda, memberi makan dan menyikat bulu kuda. Tidak hanya makan, kau juga akan diber pakaian dan upah.Eh, siapa namamu? Di mana rumahmu?"
"Namaku A Wan, Lopek, dan aku tidak mempunyai rumah. Terima kasih atas kebaikanmu, aku akan merawat kuda dengan baik-baik”.
“Bekerjalah dengan baik, ketua kami tentu akan menaruh kasihan kepadamu. Jangan sekali-kali suka mencuri, apalagi melarikan kuda," kata tosu ke dua.
"Susiok, kenapa takut dia mencuri dan lari? Kalau dia jahat, anak panahku akan merobohkannya!"
"Hush, Swan Bu, jangan bicara begitu ....”
"Aku paling benci penjahat, Susiok, tiap kali melihat penjahat, pasti akan panah mampus. Kelak kalau aku sudah besar, aku akan basmi semua penjahat di permukaan bumi ini."
Hemmm, bocah manja dan amat besar mulut, pikir Yo Wan. Heran sekali dia mendengar omongan seorang anak kecil seperti itu. Anak siapa gerangan bocah ini? Apakah anak ketua Hoa-san-pai? Akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, karena nanti pun dia akan tahu sendiri. ....'
"Swan Bu kita pulang berlari sambll melatih ilmu lari cepat," kata tosu pertama kepada anak itu.
"Biar tiga ekor kuda ini dituntun naik oleh A Wan. A Wan, kau tuntun kuda tiga ekor kuda ini ke puncak, sampai di sana bawa ke kandang, gosok badannya sampai kering dari keringat dan beri makan." Setelah berkata demikian, tosu itu memberikan kendali tiga ekor kuda itu kepada A Wan, kemudian dia mengajak tosu ke dua dan Swan Bu untuk berlari cepat. Mereka berkelebat dan seperti terbang mereka lari mendaki gunung. Memang tosu itu sengaja tidak memberi penjelasan karena hendak menguji kecerdikan kacung kuda itu, apakah mampu dan dengan baik mengantar binatang-binatang itu ke kandang ataukah tidak. la masih ragu-ragu melihat pemuda yang bodoh itu.
Adapun Yo Wan sambil memegangi kendali tiga ekor kuda, melihat mereka berlari-lari cepat. Biasa saja kepandaian mereka itu, pikirnya, lalu dituntunnya tiea ekor kuda mendaki gunung. Sambil berjalan perlahan, dia bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan bocan yang bernama Swan Bu itu. Bocah tampan dan bersemangat, memiliki dasar watak yang eaeah dan pembenci penjahat, akan tetapi rusak oleh kemanjaan dan kesombongan. Pertemuannya dengan anak laki-laki tadi membuat Yo Wan makin tidak enak lagi hatinya. la merasa bahwa orang-orang Hoa-san-pai kurang bijaksana, terbukti dari watak bocah tadi yang agaknya terlalu manja. Heran dia mengapa suhunya yang jujur dan budiman, subonya yang berwatak halus dan penuh pribudi itu bisa tinggal di situ sampai bertahun-tahun. Akan tetapi dia teringat lagi bahwa suhunya adalah putera ketua Hoa-san-pai, tentu saja harus berbakti kepada orang tua, dan orang dengan watak sehalus subonya, tentu dapat menghadapi segala macam watak dengan penuh kesabaran. la menank na-pas. Dasar kau sendiri yang iri agaknya melihat bocah tadi demikian manja, pa-kaiannya demikian indah, dia mencela diri sendiri. Betapapun juga, Yo Wan adalah seorang pemuda yang masih re- maja dan kurang sekali pengalaman, ku-rang pula pendidikan, maka rasa iri itu adalah wajar. Iri karena dia tidak pernah merasa bagaimana dicinta orang tua, dimanja orang tua. la teringat akan ke-adaan sendlri, seorang jaka lola yang tidak punya apa-apa di dunia ini. Alang-kah jauh bedanya dengan Swan Bu tadi, bagai bumi dan langit.
Selagi dia melamun sambil menuntun kudanya di jalan yang cukup lebar tapi menanjak itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang dan disusul ben-takan nyaring,
"Minggir.....! Minggir.....!!" Lalu terdengar bunyi cambuk di udara.
Kalau saja A Wan tidak sedang melamun, agaknya dia tidak begitu kaget dan dapat menuntun tiga ekor kuda itu ke pinggir. Akan tetapi bentakan nyanng ini seakan-akan menyeretnya tiba-tiba dari dunia lamunan, membuat dia Kaget dan tak sempat menguasai seekor di antara kudanya yang kaget dan meion]ak ke tengah jalan. Karena dua ekor kuda yang lain juga melonjak-lonjak ketakutan, terpaksa Yo Wan hanya menenangkan dua ekor yang masih dia pegang kendalinya, sedangkan yang seekor telah terlepas kendalinya dan kini berloncatan di te-neah jalan. Pada saat itu, dua orang penuneeang kuda sudah datang membalap dekat sekali. Yo Wan berteriak kaget, karena kudanya yang mengamuk itu tidak menghindar, malah meloncat dan me-nubruk ke arah seorang di antara pe-nunggang-penunggang kuda itu.
"Setan.....!" Penunggang kuda yang di'tubruk itu memaki, dia seorang laki-laki yang berkumis panjang, berusia ku-rane lebih empat puluh tahun, pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi sepatunya baru dan mengkilap. Sambil memaki, dia menggerakkah kakinya, menendang ke arah perut kuda yang menubruknya.
"Krakkk!" Tendangan itu keras sekali dan mendengar bunyinya, agaknya tulang-tulang rusuk kuda yang menubruknya itu telah ditendang patah. Kuda itu meringkik, terjengkang ke belakang lalu roboh dan berkelojotan, tak mampu bangun lagi.
"Wah-wah-wah, Sute (Adik seperguruan), kau telah membunuh seekor kuda Hoa-san-pai!" tegur orang ke dua, usia-nya hampir lima puluh, rambutnya putih semua digelung ke atas, mukanya licin tanpa kumis, pakaiannya juga penuh tam-balan seperti orang pertama.
"Habis, apakah aku harus membiarkan kuda itu menubrukku, Suheng? Salahnya bocah ini, menuntun kuda kurang hati-hati!" Mereka berdua melompat turun dari kuda dan memandang kepada Yo Wan.
Bukan main kagetnya hati Yo Wan melihat betapa seekor di antara tiga kuda yang dia tuntun itu kini telah berkelojotan hampir mati di tengah jalan. Baru saja dia diterima menjadi kacung kuda, sudah terjadi hal ini. Karena kaget dan bingung, dia segera berkata,
"Kau membunuh kudaku. Hayo ganti kudaku!'
Si kumis tersenyum. "Bocah, ketahul-ijah. Aku dan suhengku ini adalah dua orang utusan dari Sin-tung-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti). Urusan kuda adalah urusan kecil, tak perlu kau ribut-ribut."
"Urusan kecil bagaimana?" Yo Wan berteriak.
"Mungkin kecil untuk kau, akan tetapi amat besar bagiku. Kau ha-rus mengganti kuda ini!"
Muka si kumis menjadi merah. la heran sekali. Biasanya, orang-orang Hoa-san-pai tentu
akan bersikap hormat kalau mendengar bahwa mereka adalah utusan dari Sin-tung-kai-pang. Akan tetapi bocah ini, tentu hanya seorang anak murid yang masih rendah, sama sekali tidak meng-hormat, malah agak kasar sikap dan bicaranya.
"Kau siapa? Apakah kuda ini bukan milik Hoa-san-pai?" tanya si kumis.
"Memang kuda Hoa-san-pai, dan aku adalah kacung kuda yang baru. Bagai-mana aku harus pulang kalau kuda yang kutuntun berkurang seekor? Lopek, kau harus menggantinya!"
Sambil berkata demikian, Yo Wan menuntun dua ekor kudanya di tengah jalan, menghadang perjalanan karena dia khawatir kalau dua orane itu akan melarikan diri. Si kumis menjadi makin merah muka-nya karena marah ketika mendengar bahwa bocah ini hanya seorang kacung kuda saja'. Seorang kacung kuda bagai-mana berani bersikap sekasar itu ter-hadap dia, anak murid Sin-tung-kai-pang vanesudah bersepatu baru? Di perkumpul-an pengemis ini terdapat peraturan yang aneh. Tingkat seseorang ditandai dengan sepatu. Yang terendah tidak memakai sepatu, yang iebih tinggi memakai alas kaki, makin tinggi .makin baik, dan san-dal kayu sampai sepatu kulit yang meng-kilap seperti yang dipakai oleh kedua orang penunggang kuda ini. Maklumlah, mereka berdua adalah murid-mund dan ketua Sin-tung-kai-pang, maka kepandaiannya sudah amat tinggi dan "pangkatnya" sudah pemakai sepatu baru.
"Hemmm, bujang rendah! Kau hanya1 tukang kuda, banyak cerewet. Urusan seekor kuda saja kau ribut-ribut! Ming-gir! Biar nanti kubicarakan dengan orang-orang Hoa-san-pai tentang kuda ini, kau boleh pulang ke kandangmu!"
"Betul kata-kata, Suteku, bocah tu-kang kuda, jangan kau takut. Biar nanti kami bicarakan urusan kuda ini dengan majikanmu," sambung orang ke dua yang rambut putih.
"Tidak!" Yo Wan membantah karena dla takut kedua orang ini akan mengadu kepada ketua
Hoa-san-pai dan membalik-kan duduknya perkara sehingga dia yang akan dipersalahkan.
"Kau harus ganti sekarang juga!"
"Bujang rendah, kaubuka matamu j baik-baik dan lihat dengan siapa kau ' bicara!" bentak si kumis, marah sekali.
"Aku sudah melihat, kalian adalah dua orang pengemis aneh."
Dua orang itu tertawa. Memang aneh orang-orang dari Sin-tung-kai-pang. Kalau orang lain menyebut mereka pengemis, har itu berarti suatu penghormatan bagi me-reka! Inilah sebabnya mereka menjadi senang mendengar Yo Wan menyebut mereka pengemis aneh dan hal ini me-reka anggap bahwa Yo 'Wan met^nai^ siapa mereka dan takut.
"Bocah! Kaulihat sepatu kami!"
Yo Wan mendongkol juga. Orang ini terlalu menghinanya, akan tetapi dia memandang juga ke arah sepatu mereka.
"Ada apa dengan sepatu kalian? Sepatu baru, akan tetapi penuh debu!" jawabnya.
"Ha-ha-ha, anak baik, kau mengenal sepatu baru kami!" Si kumis tertawa senang.
"Hayo kaubersihkan debu sepatu kami, dan nanti kami akan minta kepada majikanmu agar kau jangan dihukum karena kelalaianmu menuntun kuda."
Yo Wan menegakkan kepalanya, me-mandang tajam. "Harap kalian tidak main-main. Aku pun tidak ingin main-main dengan kalian. Lebih baik sekarang kautinggalkan seekor di antara kudamu untuk mengganti kudaku yang mati, baru kalian melanjutkan perjalanan."
“Apa.....??" Dua orang itu berteriak kaget, heran dan juga marah.
"Kau ini kacung kuda berani bicara begitu kepada kami? Kami adalah dua orang utusan terhormat dari Sin-tung-kai-pang, tahu? Minggir dan jangan banyak cerewet kalau kau tidak ingin mampus seperti kuda itu!"
Yo Wan adalah seorang yang memiliki watak suka merendah, hal ini terbentuk oleh keadaan hidupnya semenjak kecil. la suka mengalah dan mempunyai rasa diri rendah dan bodoh, akan tetapi betapapun juga, dia adalah seorang muda yang berdarah panas. Melihat sikap dan mendengar ucapan menghina itu, kesabarannya patah.
"Biarpun kalian utusan dari Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sekalipun, karena kau membunuh kudaku, kau harus meng-gantinya!"
Dua orang itu mencak-mencak saking marahnya. Kalau saja mereka tidak ingat bahwa kacung itu adalah seorang bujang Hoa-san-pai dan bahwa mereka berada di wilayah Hoa-san-pai, tentu sekali pukul mereka membikin mampus bocah ini.
"Sute, jangan layani dia, Dorong minggir!"
Si kumis tertawa dan melangkah maju mendekati Yo Wan, tangan kirinya men-dorong pundak pemuda itu sambil membentak, "Tidurlah dekat bangkai kudamu!"
la menggunakan tenaga setengahnya karena tidak ingin membunuh Yo War, hanya ingin membuat kacung itu
terjeng-kang dekat bangkai kuda tadi.
Akan tetapi dia salah besar kalau mengira bahwa dengan hanya sebuah dorongan seperti itu saja dia akan mampu merobohkan Yo Wan. Tangannya mendorong pundak Yo Wan yang sengaja tidak mau mengelak, akan tetapi tenaga dorongannya bertemu dengan pundak yang kokoh kuat seperti batu karang. Jangankan membuat kacung itu roboh, nnembuat pundak itu bergoyang saja tidak mampu!
"Kau ganti kudaku yang mati" kata Yo Wan tanpa bergerak.
Si kumis terheran, penasaran lalu timbul kemarahannya.
"Kau kepala batu", bentaknya dan kini dia menggunakan seluruh tenaganya untuk mendorong dada Yo Wan.
Yo Wan tidak mau mengalah sampai dua kali, apalagi sekarang yang didorong adalah dadanya. Tak mungkin dia mau membiarkan dadanya didorong orang karena hal ini berbahaya. Selama tiga ta-hun, terus-menerus siang malam dia ber-main silat menurut petunjuk Stn-eng-cu dan Bhewakala, Umu silat tingkat tinggi yang membuat Umu itu mendarah daging di tubuhnya dan di pikirannya, seluruh panca inderanya sudah matang sehingga segalanya bergerak secara oto-matis, karena memang demikianlah ke-hendak dua orang sakti itu. Sekarang, menghadapi dorongan kedua tangan si kumis ke arah dadanya, secara otomatis kaki Yo Wan melangkah dengan gerak tipu Ilmu Langkah Si-cap-it Sin-po, yang dia warisi dari Pendekar Buta. Ketika tubuh si kumis yang mendorongnya itu lewat dekat tubuhnya, otomatis pula tangannya bergerak ke punggung dan pantat. Seperti sehelai layang-layang putus talinya, tubuh si kumis itu "melayang" ke depan dan memeluk bangkai kuda yang tadi ditendangnya!
"Bukkk! Uh-uhhh....." Si kumis terbanting pada bangkai kuda, karena dia tadi mencium hidung kuda yang mancung dan keras, hidungnya mengeluarkan darah dan kepalanya menjadi pening. Temannya yang berambut putih, se-jenak berdiri melongo. Hampir saja dia tak dapat percaya bahwa sutenya begitu mudah dirobohkan. Oleh seorang kacung kuda! Padahal dia makiun. bahwa ilmu kepandaian sutenya itu sudah tinggi, patutnya kalau dikeroyok oleh dua puluh orang kacuftg seperti ini saja tak mungkin kalah. Tapi mengapa sampai hidung- nya mengeluarkan kecap?
"Kau berani melawan kami?" bentaknya marah setelah dia sadar kembali dari keheranannya. Sambil membentak begitUjj pengemis rambut putih ini pun menerjang maju. la memukul ke arah muka Yo Wan dengan tangan kiri, sedangkan ta-ngan kanannya diam-diam melakukan gerakan susulan, yaitu serangan yang sesungguhnya dan tersembunyi di belakang serangan pertama yang merupakan pancingan. Maksudnya hanya ingin mem-banting roboh Yo Wan sebagai pembalas-an atas kekalahan temannya, karena dia masih belum berani membunuh seorang bujang Hoa-san-pai.
Yo Wan tersenyum. Setelah melatih diri dengan tipu-tipu yang luar biasa hebatnya secara berganti-ganti dari Sin-eng-cu dan Bhewakala, di mana dua orang sakti itu menggunakan gerakan-gerakan yang penuh tipu muslihat, penuh pancing-an dan amat tinggi tingkatnya, jurus yang dipergunakan oleh si rambut putih ini baginya merupakan gerakan main-main yang tidak ada artinya sama sekali. Agaknya boleh dikatakan bahwa Yo Wan telah mengetahui lebih dulu sebelum pengemis itu bergerak! Dengan tenang dia miringkan kepala dan tangannya men-dahului digerakkan ke depan menyambut tangan kanan kakek pengemis yang hen-dak membantingnya, dipegangnya per-gelangan tangan itu dan sekali tekan tangan itu seakan-akan nnenjadi lumpuh. Di lain saat, tubuh pengemis rambut putih ini pun sudah melayang ke depan dan..... menimpa tubuh pengemis berkumis yang baru krengkang-krengkang hendak merangkak bangun. Tentu saja dia roboh lagi dan keduanya bergulingan dekat bangkai kuda!
"Lebih baik kalian pergi dart tinggal-kan seekor kuda untuk mengganti yang mati," kata Yo Wan menyesal dia sama sekali tidak ingin berkelahi, takut kalau-kalau hal ini akan membikin marah suhunya.
"Kalau kau merasa rugi boleh kau bawa bangkai kuda itu. Aku tidak mau mencari perkara.."
Akan tetapi dua orang pengemls itu sudah memuncak kemarahannya. Mereka adalah murid-murid yang terkenal dari ketua Sin-tung-kai-pang, maka apa yang terjadi tadi merupakan penghinaan yang hanya dapat dicuci dengan darah dan nyawa! Seorang kacung kuda membuat mereka jatuh bangun macam itu. Mana mereka ada muka untuk memakai sepatu baru lagi?
"Keparat, lihat golok kami merenggut nyawamu!" bentak si kumis. Sinar golok berkelebat ke arah leher Yo Wan, disusul bacokan golok si rambut putih ke arah pinggangnya. Memang keistimewaan para anak murid Sin-tung-kai-pang adalah permainan golok. Ketuanya terkenal dengan tongkatnya, maka perkumpulan pe-ngemis itu dinamakan Sin-tung (Tongkat Sakti), namun agaknya si ketua ini tidak mau menurunkan ilmu tongkatnya kepada para murid dan anggautanya. Sebaliknya dia lalu menciptakan ilmu golok dari ilmu tongkat itu dan ilmu golok inilah yang dipelajari oleh semua murid dan anggauta Sin-tung-kai-pang.
Yo Wan menggerakkan kedua kakinya, mainkan langkah ajaib dan..... dua orang pengemis itu seketika menjadi bingung karena pemuda itu lenyap di belakang. Kalau mereka membalik dan menerjang lagi, pemuda itu menggerakkan kedua kaki secara aneh, lenyap lagi dan tiba-tiba belakang siku kanan mereka ter-kena sentilan jari tangan Yo Wan. Seketika kaku rasanya lengan itu dan golok mereka terlepas tanpa dapat dipertahan kan lagi. Sebelum mereka tahu apa yang terjadi, untuk kedua kalinya tubuh mere-ka melayang karena kaki Yo Wan oto-matis telah mengirim dua buah tendangan.
"Aku tidak mau berkelahi, lebih baik kalian pergi. Ganti kudaku dan perkara ini habis sampai di sini saja,” kembali Yo Wan berkata.
Akan tetapi kedua orang pengemis itu menjadi begitu kaget, heran dan ketakut-an sehingga tanpa berkata apa-apa iagi mereka berdua lalu merangkak bangun dan..... lari turun gunung! Yo Wan ber-diri tertegun, mengikuti mereka dengan pandang mata heran. Kemudian dia meng-angkat pundak, lalu memegang kendali dua ekor kuda mereka itu. Kini ada em-pat ekor kuda di tangannya. Kuda-kuda itu dia cancang pada sebatang pohon dan dia segera menggali lubang di pinggir jalan untuk mengubur bangkai kuda tadi. Setelah selesai, Yo Wan menuntun empat ekor kuda, melanjutkan perjalanannya mendaki puncak. Kiranya jalan yang sengaja dibangun menuju ke puncak itu berliku-liku me-ngelilingi puncak. Memang, satu-satunya cara untuk membuat jalan yang dapat dilalui kuda dan manusia biasa, hanya membuatnya berliku-liku seperti itu se-hingga jalan tanjakannya tidak terlalu sukar dilalui. Dengan mempergunakan ilmu lari cepat, tentu saja dapat men- daki dengan melalui jalan yang lurus dan dapat cepat sampai di puncak. Akan tetapi melalui jalan buatan ini, apalagi menuntun empat ekor kuda yang kadang-kadang rewel dan mogok di jalan, benar-benar memakan waktu setengah hari lebih. Menjelang senja barulah Yo Wan tiba di pintu gerbang tembok yang me-ngelilingi Hoa-san-pai yang merupakan kelompok bangunan besar di puncak.
Seorang tosu yang menjaga pintu gerbang menyambut Yo Wan dengan pertanyaan, "Apakah kau tukang kuda baru?"
Yo Wan mengangguk. "Aku harus membawa kuda-kuda ini ke kandang. Dapatkah kau menunjukkan di mana ada-nya kandang kuda?"
Tosu itu kelihatan tidak senang mendengar kata-kata Yo Wan yang sederhana tanpa penghormatan sama sekali itu. Benar-benar seorang anak muda dusun yang bodoh, pikirnya.
"Kandang kuda berada di luar tembok sebelah barat. Kau kelilingi saja tembok ini ke barat, nanti akan sampai di sana," jawabnya lalu duduk kembali, sama sekali tidak mengacuhkan Yo Wan yang ber-peluh dan amat lapar itu. Yo Wan me-mandang ke barat. Benar saja, di dekat tembok sebelah sana kelihatan kandang kuda, terbuat daripada papan sederhana. Tanpa mengucap terima kasih karena di-anggapnya tanya jawab itu sudah tB-mestinya, dia pergi dari situ, menuntun empat ekor kudanya.
Tosu yang menyambutnya di kandang kuda lebih peramah. Tosu ini bertubuh gemuk pendek, mukanya bundar dan n»a-tanya seperti dua buah kelereng. "Ha-ha-ha, ada tukang kuda baru!" serunya.
"Orang muda, mana kuda tunggangan Swan Bu yang berbulu hitam? Dan ini ada empat ekor, eh, bagaimana ini, Bong-suheng tadi bilang bahwa kau membawa kuda mereka bertiga, kenapa sekarang ada empat ekor?" Kuda siapa yang dua ekor ini dan mana kuda Swan Bu?"
"Lopek, kuda yang hitam itu sudah kukubur di pinggir jalan sana," kata Yo Wan sambil menyusut peluh dengan ujung lengan baju. la merasa lelah dan lapar sekali, juga amat haus. Sejak kemarin dia tidak makan, dan tadi dia tidak be-rani berhenti untuk mencari buah atau air. Sekarang dia masih menghadapi urus-an kuda dan tentu akan mendapat marah lagi.
Tosu gendut itu melongo, sepasang matanya makin bundar, memandangnya dengan bingung dan heran. "Kaukubur? Bagaimana ini? Maksudmu, kaupendam kuda itu?"
Yo Wan mengangguk, "Benar, karena dia mati."
la berhenti sebentar lalu ber-kata, "Lopek, aku lapar dan haus, apa kau bisa menolong aku?"
Tosu itu mengangguk-angguk, masih bingung. "Ah, tentu..... tentu..... tunggu sebentar. Aneh, bagaimana kuda bisa mati dan dikubur? Aneh....."
tapi dia berjalan memasuki kandang kuda sambil mengomel panjang pendek, keluar lagi membawa bungkusan makanan dan se-kaleng air minum. Tanpa banyak sungkan lagi Yo Wan menerima kaleng air dan minum dengan lahapnya. Tosu itu me-mandangnya penuh kaslhan dan tidak mengganggunya ketika Yo Wan mulai makan. Berbeda dengan ketika minum tadi, kini Yo Wan makan dengan lambat dan tenang. Melihat tosu itu memandangr nya, Yo Wan bercerita sambil makan.
"Kuda hitam dibunuh orang, Lopek. Untungnya mereka berdua itu lari me-hinggalkan dua ekor kuda mereka ini, lalu kubawa ke sini dan bangkai kuda hitam itu kukubur di pinggir jalan."
Tosu itu mendengarkan dengan melongo. "Kuda dibunuh orang? Siapa mereka yang begitu berani main gila di Hoa san?"
"Mereka mengaku utusan-utusan dan Sin-tung-kai-pang. Tadinya mereka tidak mau ganti, aku tetap tidak mau terima. Akhirnya mereka mengalah dan lari pergi, meninggalkan dua ekor kuda ini."
Tosu itu melebarkan matanya. "Sin-tung-kai-pang? Mereka mengalah? Hem, kau masih untung, orang muda. Mereka itu jahat. Kalau mereka tidak memandang kebesaran Hoa-san- pai, kiranya bukan hanya kuda itu yang mereka bunuh dan saat ini kau takkan dapat makan minum lagi."
Yo Wan diam saja, pikirannya melayang ke arah Swan Bu. Jangan-jangan anak itu akan menjadi marah sekali karena kuda kesayangannya dibunuh orang dan akan membuat gara- gara dengan pembunuh kuda. "Lopek, tadi aku sudah melihat anak yang bernama Swan Bu itu. Dia tampan dan pandai main panah. Si-apakah dia? Apakah putera Hoa-san-pai?"
Tosu itu menggeleng kepala. "Kau orang baru, agaknya bukan orang sekitar Hoa-san. Memang Swan Bu tampan dan gagah. Ah, kasihan dia, tentu akan sedih dan marah kalau mendengar kudanya dibunuh orang..... hemmm, aku tidak akan tega menyampaikan berita ini ke-padanya. Anak malang....."
Hemmm, benar-benar orang Hoa-san-pai amat memanjakan anak itu. Lopek, kalau dia bukan putera Hoa-san-pai, apakah dia itu anak raja yang sedang bermain-main di sini?"
Tosu itu memandangnya dengan mata terbelalak. "Putera raja? Ha-ha-ha, sama sekali bukan, tapi memang dia patut menjadi putera raja! Dia itu cucu tunggal dari Kwa-lo- sukong, jadi masih terhitung keponakan dari ketua kami yang sekarang”.
Berdebar jantung Yo Wan. Cucu guru besar she Kwa? Suhunya juga she Kwa! Lopek, dia itu anak siapakah? Aku belum mengenal orang-orang di sini, keteranganmu tadi sama sekali tidak jelas. Tosu itu kini tertawa dan mengangkat jempol tangan kanannya ke atas.
"Dia keturunan orang-orang gagah, karena itu, dia harus menjadi seorang calon tokoh Hoa-san-pai yang nomor satu' Ayahnya adalah tokoh sakti yang terkenal dengan julukan Pendekar Buta, ibunya juga memiliki kepandaian setinggi langlt. Kakeknya adalah Hoa-san It-kiam. Kwa Tin Siong bekas ketua Hoa-san-pai, pamannya adalah Kui-san-jin (Orang Gu-nung she Kui) yang sekarang menjadi ketua kami. Paman-paman gurunya ada-lah orang-orang sakti di samping tokoh-tokoh sakti yang bersama-sama meng-gemblengnya, bukankah dia kelak akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan?"
Tosu gendut itu nampak bangga sekali sehingga tidak tahu betapa wajah kacung kuda ini menjadi pucat. Kiranya Swan Bu yang pagi tadi memakinya dan hendak memanahnya kalau dia lari, adalah putera suhunya! Pantas saja demikian gagah dan tampan. Ah, aku kurang hati-hati, pikirnya. Dia anak suhu, dan diam-diam dia merasa bangga Juga. Akan tetapi dia kecewa sekali teringat bahwa kuda anak itu telah terbunuh.
"Malam sudah tiba..... eh, siapa nama-mu tadi?"
"A Wan, Lopek."
"A Wan, kau jaga baik-baik kuda di kandang ini. Rumput masih cukup di sudut kandang sana, kauberi makan mereka, lalu kau boleh tidur. Kau bikin sendiri tempat tidurmu, banyak rumput kering di kandang kosong sebelah kiri. Beberapa malam ini pinto (aku) juga tidur di sana, lebih enak danpada tidur di ranjang. Kalau perlu mandi, tuh di bawah pohon besar itu ada sumber air. Besok saja pinto ajak kau ke dalam, bertemu dengan para pemimpin. Maiam ini kau mengaso saja."
"Baik, terima kasih, Lopek." Yo Wan berterima kasih sekali sekarang karena memang dia membutuhkan istirahat un-tuk memutar otak. Bermacam perasaan teraduk di dalam hatinya. Jadi suhunya sudah mempunyai putera yang demikian tampan dan gagah. Putera itu dididik di Hoa-san-pai. Mungkin saking senangnya mendapatkan putera ini, suhu dan subo-i nya sampai lupa kepadanya. Besok dia I harus menghadap suhu dan subonya. Ten-tu saja dia dapat bekerja di situ, men-jadi tukang kuda atau apa saja. Tapi..... dia ragu-ragu apakah dia akan suka ting-gal di sini selamanya. Apakah suhunya mau menurunkan Umu silat setelah mempunyai putera yang amat dlsayang? Bu-kankah tosu gendut tadi menyatakan bahwa cita-cita mereka semua adalah membuat Swan Bu menjadi jago nomor satu di dunia? Mungkin suhu dan subonya mau mengajarnya, dia cukup mengenal watak mereka yang budiman. Akan tetapi apakah para orang tua di Hoa-san-pai akan suka menerimanya?
Pusing pikiran Yo Wan. Betapapun juga, besok aku akan menghadap suhu dan lihat saja bagaimana perkembangan-nya. Kalau tak mungkin tinggal di situ, pikirnya, dia akan tanya kepada suhunya tentang musuh besarnya, The Sun. Akan dicari dan dilawan dengan apa yang dia miliki sekarang. Berpikir sampai di sini dia teringat akan pertempuran tadi dan diam-diam dia menjadi girang. Tadinya dia menganggap bahwa dua orang itu ha-nya dua manusia sombong yang tidak becus apa-apa, orang-orang lemah yang hanya mengandalkan aksi dan mungkin kedudukan, yang sama sekali tidak me-miliki kepandaian silat yang berarti. Apakah tosu gendut tadi yang melebih-lebihkan? Tidak mungkin dua orang yang begitu lemah bisa merajalela berbuat kejahatan. Orang dengan kepandaian serendah itu mana bisa mengganggu orang / lain? Sampai dia tertidur pulas di atas rumput kering yang nyaman ditiduri, Yo Wan tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri itu. Memang, pemuda mi sama sekali tidak tahu bahwa bukan dua orang itu yang terlalu lemah, melainkan dia sendirilah yang terlalu tinggi tingkat ilmunya bagi dua orang tadi. la sama sekali tidak menyadari bahwa dalam diri-nya telah terkandung ilrnu silat tingkat tinggi yang sudah mendarah daging de-ngan dirinya. la menganggap dirinya be-lum pandai silat, sama sekali tidak sadar bahwa setiap gerakannya adalah mengan-dung inti sari ilmu silat tinggi yang di-wariskan oleh Sin-eng-cu dan Bhewakala! Tentu saja Yo Wan yang sederhana jalan pikirannya ini tidak merasa pandai Umu silat karena ketika selama tiga tahun dia mainkan jurus-jurus sakti, sama sekali bukanlah "belajar", melainkan hanya menjadi perantara kedua orang sakti mengadu ilmu.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed