Yo Wan mengerutkan kening. Orang asing ini kasar sekali, akan tetapi mung-kin kekasarannya itu karena bahasanya yang kaku. "Locianpwe, saya tidak tahu urusannya, bagaimana saya berani turut campur? Suhu selalu berpesan agar supaya saya menjauhkan diri daripada per-musuhan-permusuhan, agar supaya saya jangan lancang mencampuri urusan orang lain, dan agar saya selalu siap menolong siapa saja yang patut ditolong, tanpa memandang bulu, tanpa pamrih untuk' mendapat jasa. Saya lihat susiok-couw tak bergerak lagi, dan saya tidak tahu bagaimana harus menolongnya, maka saya segera membantu Locianpwe."
Sinar mata yang mengeras sekarang menjadi lunak kembali. Kumis di atas bibir itu bergerak-gerak. "Wah, suhu-mu hebat! Kau patut menjadi muridnya. Mana dia suhumu? Mengapa sampai se-karang dia belum muncul?"
"Suhu tidak berada di sini, Locianpwe. Sudah Uma tahun suhu pergi dari sini, ke Hoa-san. Yang berada di sini hanya saya seorang diri."
Mata yang kebiruan itu melotot, wa-jah itu berubah agak pucat. "Celaka benar.....! Heee, Sin-eng-cu, celakai Kwa Kun Hong tidak berada di sini!!"
Yo Wan menoleh dan melihat susiok-couwnya bergerak-gerak hendak bangkit, namun sukar sekali dan mengeluh pan-jang. "Maaf, Locianpwe, saya harus menolongnya." Orang asing itu mengangguk dan se-karang dia sudah bersila, kuat duduk sen-diri. Yo Wan melepaskan rangkulannya dan tergesa-gesa menghampiri Sin-eng-cu Lui Bok, cepat merangkul dan membangunkannya. Napas kakek ini terengah-engah dan dia terkekeh senang melihat Yo Wan.
"Wah, kau kan bocah yang dulu itu? 'Kau masih di swi?, Siapa namamu, aku kipa lagi."
"Teecu (murid) Yo Wan , Susiok-couw....."
"Ha-ha-ha, kau terus menjadi murid Kun Hong? Selama tujuh tahun ini?" "Sin-eng-cu, kita akan mampus di sini. Pendekar Buta ternyata tidak berada di sini lagi."
Sin-eng-cu Lui Bok menggerakkan alisnya yang sudah putih. "Apa??" la memandang Yo Wan.
"Mana gurumu?"
"Susiok-couw, suhu dan subo telah pergi semenjak lima tahun yang lalu, pergi ke Hoa-san meninggalkan teecu seorang diri di sini. Tadi teecu sedang turun dari puncak untuk menyusul karena sudah terlalu lama suhu dan subo pergi."
"Lima tahun? Wah-wah, guru macam apa dia itu? Eh, Yo Wan, jadi kau menjadi muridnya hanya untuk dua tahun saja? Ha-ha-ha, kutanggung kau belum becus apa-apa. Murid Pendekar Buta yang sudah belajar tujuh tahur belum becus apa-apa. Ha-ha-ha, bukar main" Orang asing itu mencela dan mengejek.
Namun Sin-eng-cu tidak mempedulikannya. "Yo Wan, apakah suhumu pernah mengajar ilmu pengobatan kepadamu Selama dua tahun itu?"
Yo Wan menggeleng kepalanya dan lagi-lagi orang asing itu yang mengeluar-kan suara mengejek, "Sin-eng-cu, kau sudah terlalu tua, maka menjadi pikun. Lima tahun yang lalu anak ini paling-paling baru berusia delapan tahun. Dari usia enam sampai delapan tahun, mana bisa belajar ilmu pengobatan? He, tua bangka, umurmu hampir dua kali umurku. Apakah kau takut mampus? Tak usah takut, ada aku yang akan mehemanimu ke alam halus"
Akan tetapi Sin-eng-cu sudah bersila dan diam saja, kakek ini sudah bersama-dhi untuk menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh, mengobati lukanya. Dalam hal ini Yo Wan mengerti maka :ia pun lalu mundur dan membiarkan kakek itu tanpa berani menanggungnya. Ketika dia menoleh, orang asing yang tadinya bicara sambil bergurau itu pun sudah meramkan mata bersamadhi.
Yo Wan pernah mendengar keterangan Suhunya bahwa dengan hawa murni dalam tubuh yang sudah terlatih dengan samadhi, orang tidak hanya dapat memperkuat itubuh, namun juga dapat mencegah atau mengobati luka-luka sebelah dalam, maka dia maklum bahwa dua orang aneh ini sedang mengobati luka masing-masing, maka dia pun lalu duduk bersila, me-nanti dengan sabar.
Para pembaca cerita "Pendekar Buta" ! tentu mengenal dua orang ini. Dua orang tokoh besar yang sakti. Sin-eng-cu Lui Bok adalah seorang aneh yang suka merantau, dia adalah sute (adik seperguruan) Idari Bu Beng Cu, mendiang guru Kwa .Kun Hong. Tujuh tahun yang lalu dia Ifneninggalkan puncak Liong-thouw-san ini, pergi merantau dengan burung rajawali emas menuju ke utara. Kakek aneh ini merantau ke bagian paling utara dari dunia, menjelajah daerah-daerah salju dan di tempat itulah burung rajawali emas yang sudah amat tua itu menemui kematiannya, tidak kuat menahan serangan salju yang dingin sekali. Ketika kakek ini kembali ke Liong-thouw-san, di tempat ini dia berjumpa dengan Bhewakala. Orang asing ini ada-lah seorang pendeta yang sakti pula, tokoh dari barat, seorang pertapa di puncak Anapurna di Pegunungan Hima-laya. Dia adalah seorang pendeta ber-bangsa Nepal yang banyak rneiakukan perantauan di Tiongkok. Tujuh tahun yang lalu pernah dia bertanding dengan Kwa Kun Hong dan dikalahkan. Akan tetapi karena melihat sifat-sifat baik dari pendeta ini, Kun Hong tidak mem-bunuhnya dan Bhewakala yang amat ka-gum terhadap Kun Hong ini berjarus akan belajar lagi dan kelak mencari Kun Hong untuk diajak mengadu ilmu.
Keduanya adalah orang-orang sakti yang berwatak aneh. Begitu bertemu, mereka tidak mau saling mengalah dan keduanya setuju untuk mengadu ilmu disitu. Mereka adalah orang-orang yang selain sakti, juga mempunyai pribadi yang baik. Tentu saja mereka tidak bermaksud mengadu ilmu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi setelah bertempur dengan hebat dari tengah malam sampai pagi, belum juga ada yang kalah atau menang. Akhirnya mereka setuju untuk mengeluarkan senjata dan menggunakan pukulan-pukulan yang dapat mendatang-kan luka hebat.
"Takut apa dengan luka hebat?" kata Bhewakala ketika Sin-eng-cu menolak.
"Bukankah
PendekarButa berada di sini? Kalau seorang di antara kita terluka, dia pasti akan dapat menyembuhkan." Memang, di samping kepandaiannya yang amat tinggi, Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta juga amat terkenal akan kepandai-annya mengobati. Dengan jaminan inilah Sin-eng-cu menerima tantangan Bhewa-kala dan bertempurlah mereka dengan lebih hebat lagi karena kini Bhewakala menggunakan cambuknya yang beracun sedangkan Sin-eng-cu mempergukan pu-kulan-pukulan maut. Dan seperti telah diketahui akibatnya, Sin-eng-cu terluka oleh cambuk sebaliknya Bhewakala juga terkena pukulan yang mendatangkan luka dalam hebat sekali. Keduanya rebah, namun tidak putus asa karena rnereka yakin bahwa Kun Hong akan dapat neng-obatr mereka. Dan mereka meraso lega di samping penasaran, bahwa keadaan mereka tetap seimbang, tiada yang kalah tiada yang menang! Siapa sangka, Kun Hong tidak berada di situ! Hal ini berarti bahwa mereka akan mati, karena masing-masing cukup maklurn bahwa luka yang diabitatkan oleh pukulan masing-masing itu tak mungkin dapat diobati kalau tidak oleh Kuri Hong yang memiliki kepandaian luar biasa dalam hal pengobatan. Maka, seperti telah diberi komando, keduanya lalu cepat-cepat mengerahkan sinkang di tubuhnya untuk menjaga agar luka itu ti-dak menjalar lebih hebat, setidaknya mereka dapat memperpanjang nyawa untuk tinggal lebih lama di dalam tubuh yang sudah terluka berat di sebelah dalam. Kesabaran Yo Wan mendapat ujian pada saat itu. Sudah tiga jam lebih dia bersila di situ menanti. Tiba-tiba awan tebal menyelimuti tempat itu, menjadi halimun yang amat dingin. Pakaian Yo Wan basah semua, juga pakaian dan tu-buh dua orang aneh itu. Namun, Bhewakala dan Sin-eng-cu tetap duduk bersila seperti patung, tidak bergerak-gerak. Berkali-kali Yo Wan merasa khawatir, jangan-jangan dua orahg itu sudah men-jadi mayat, pikirnya. Akan tetapi tiap kali dia menjamah tubuh mereka masih hangat, malah sekarang wajah mereka tidak segelap tadi. Setelah lewat enam jam, matahari sudah naik tinggi dan halimun sudah terusir habis, dua orang itu membuka mata dan menarik napas panjang. Malah keduanya saling pandang.
"Bagaimana, Sin-eng-cu?" Bhewakala bertanya sambil tertawa lebar.
"Hebat pukulan cambukmu, Bhewa-kala. Racun dapat kuhalau atau setidak-nya kucegah untuk menjalar, akan tetapi-pukulanmu merusak pusat. Karena Kun Hong tidak berada di sini, tamatlah su-dah riwayatku sebagai seorang ahli silat. Tiap kali aku mengerahkan Iweekang untuk mengeluarkan tenaga, pusarku ter-pukul dan kalau kupaksa, tentu aku akan mampus. Kau hebat! Dan bagaimana denganmu?"
Bhewakala menggelehg kepala. "Kau pun luar biasa. Pukulanmu meremukkan tulang iga. Hal ini masih tidak mengapa, akan tetapi menggetarkan pusat pengen-dalikan tenaga Kundalini. Karena itu, tenagaku musnah dan mungkin akan da-pat kembali sesudah minum obat dan berlatih sedikitnya sepuluh tahun! Hemmm, apa artinya bagi seorang seperti aku?"
Kini keduanya merasa menyesal, na-mun sudah terlambat. Ketika rnereka menoleh dan melihat bahwa Yo Wan nnasih bersila tak jauh dari sltu, mereka tercengang.
"Kau masih berada di sini?" Sin-eng-cu bertanya kaget.
Yo Wan mengangguk dan menghampiri kakek itu. "Ha-ha-ha, Sin-eng-cu, bocah ini hebatl Sayang bakat dan sifat begini baik tidak dipupuk oleh Pendekar Buta. Ha-ha-ha, Pendekar Buta, kali ini benar-benar kau telah buta, menyia-nyiakan anak orang begini rupa. Sin-eng-cu, kau jrnenjadi saksi, selama hidup aku tidak suka menerima murid, akan tetapi kali ani aku ingin sekali meninggalkan kepandaianku kepada anak ini sebelum aku bikin 'mampus." Sin-eng-cu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Yo Wan, lekas kau berlutut menghaturkan terima kasih kepada Bhe-wakala Locianpwe, untungmu baik sekali."
Yo Wan cepat berlutut di depan Bhe-wakala sambil berkata, suaranya nyaring dan tetap, "Saya menghaturkan banyak terima kasih atas maksud hati yang mu-lia dan kasih sayang Locianpwe kepada saya, akan tetapi saya tidak berani nrie-nerima menjadi murid Locianpwe, karena saya adalah murid suhu. Bagaimana saya berani mengangkat guru lain tanpa perkenan suhu?"
"Yo Wan, hal itu tidak apa-apa, adaJ taku di sini yang menjadi saksi!" kata Sin-eng-cu Lui Bok.
"Ha-ha-ha, anak baik, anak baik. ini namanya ingat budi dan setia, teguh seperti gunung karang, tidak murkei dan tamak! Eh, Yo Wan, siapakah orang tuamu?"
Yo Wan menggigit bibir, mafanya di-meramkan untuk menahan keluarnya dua butir air mata. Pertanyaan yang tiba-tiba dan merupakan ujung pedang yang tnenusuk ulu hatinya. Sampai lama dia tidak tnenjawab, kemudian dia membuka mata dan berkata periahan, "Saya yatim piatu, Locianpwe...."
Kedua orang tua ittl saling pandang, diam tak bersuara. Mereka itu sudah kenyang akan pengalaman pahit getir, perasaan mereka sudah kebal. Namun, membayangkan seorang bocah yang tinggal seorang diri di tempat sunyi itu» bergulang-gulung dengan mega, tak ber-ayah ibu pula, benar-benar mereka nne-rasa kasihan
"Yo Wan, aku pun tldak bermaksud mengambil murid kepadamu, hanya mgin meninggalkan atau mewariskan kepandai-anku saja. Gurumu tentu takkan rnarah."
"Mohon maaf sebesarnya, Locianpwe, Saya cukup maklum bahwa Locianpwe memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan hanya Tuhan yang tahu betapa ingin hati saya memilikinya. Akan tetapi, tanpa perkenan suhu, bagaimana saya berani menerimanya? Suhu adalah tuan penolong saya dan mendiang ibu saya, suhu adalah pengganti orang tua saya, harap Locianpwe maklum....." suara Yo Wan tergetar saking terharu, dan kini tak dapat tertahan lagi olehnya, dua butir air matanya tergantung pada bulu matanya. Namun cepat dia menggunakan punggung kepalan tangannya mengusap air mata itu.
Tiba-tiba Sin-eng-cu tertawa bergelak dan suaranya terdengar gembira sekali ketika dia berkata, "He! Bhewakala pen-deta koplok (goblok)! Dia seorang bocah yang tahu akan setia dan bakti, mana bisa dibandingkan dengan kau yang biar-pun bertapa puluhan tahun dan belajar segala macam filsafat, kekenyangan pengetahuan lahirnya saja tanpa berhasil menyelami dan melaksanakan isinya sedikit pun juga? Lebih baik kita lanjutkan adu ilmu. Ingat, aku tua bangka belum kalah!"
"Huh, tua bangka tak tahu diri. Kau-kira aku pun sudah kalah? Hayo kita pergunakan tenaga terakhir untuk men-cari penentuan!" Bhewakala bangki ber-diri dengan susah payah, tapi berdirinya tidak tegak, punggungnya tiba-tiba men-jadi bongkok dan dia pringisan, menahan sakit. juga Sin-eng-cu tertatih-tatih bang-kit berdiri, namun dia juga tidak bisa berdiri tegak, kedua kakinya meriggigij seakan-akan tubuh atasnya terlalu berat bagi tubuh bawahnya.
Yo Wan bingung dan gugup sekali. "Susiok-couw...... Locianpwe...... ji-wi (Kalian) sudah terluka hebat, bagaimana mau bertempur lagi? Harap suka saling mengalah, harap sudahi pertempuran ini.....!" Yo Wan berdiri di antara mereka berdua dengan sikap melerai.
Sinar mata yang mengeras sekarang menjadi lunak kembali. Kumis di atas bibir itu bergerak-gerak. "Wah, suhu-mu hebat! Kau patut menjadi muridnya. Mana dia suhumu? Mengapa sampai se-karang dia belum muncul?"
"Suhu tidak berada di sini, Locianpwe. Sudah Uma tahun suhu pergi dari sini, ke Hoa-san. Yang berada di sini hanya saya seorang diri."
Mata yang kebiruan itu melotot, wa-jah itu berubah agak pucat. "Celaka benar.....! Heee, Sin-eng-cu, celakai Kwa Kun Hong tidak berada di sini!!"
Yo Wan menoleh dan melihat susiok-couwnya bergerak-gerak hendak bangkit, namun sukar sekali dan mengeluh pan-jang. "Maaf, Locianpwe, saya harus menolongnya." Orang asing itu mengangguk dan se-karang dia sudah bersila, kuat duduk sen-diri. Yo Wan melepaskan rangkulannya dan tergesa-gesa menghampiri Sin-eng-cu Lui Bok, cepat merangkul dan membangunkannya. Napas kakek ini terengah-engah dan dia terkekeh senang melihat Yo Wan.
"Wah, kau kan bocah yang dulu itu? 'Kau masih di swi?, Siapa namamu, aku kipa lagi."
"Teecu (murid) Yo Wan , Susiok-couw....."
"Ha-ha-ha, kau terus menjadi murid Kun Hong? Selama tujuh tahun ini?" "Sin-eng-cu, kita akan mampus di sini. Pendekar Buta ternyata tidak berada di sini lagi."
Sin-eng-cu Lui Bok menggerakkan alisnya yang sudah putih. "Apa??" la memandang Yo Wan.
"Mana gurumu?"
"Susiok-couw, suhu dan subo telah pergi semenjak lima tahun yang lalu, pergi ke Hoa-san meninggalkan teecu seorang diri di sini. Tadi teecu sedang turun dari puncak untuk menyusul karena sudah terlalu lama suhu dan subo pergi."
"Lima tahun? Wah-wah, guru macam apa dia itu? Eh, Yo Wan, jadi kau menjadi muridnya hanya untuk dua tahun saja? Ha-ha-ha, kutanggung kau belum becus apa-apa. Murid Pendekar Buta yang sudah belajar tujuh tahur belum becus apa-apa. Ha-ha-ha, bukar main" Orang asing itu mencela dan mengejek.
Namun Sin-eng-cu tidak mempedulikannya. "Yo Wan, apakah suhumu pernah mengajar ilmu pengobatan kepadamu Selama dua tahun itu?"
Yo Wan menggeleng kepalanya dan lagi-lagi orang asing itu yang mengeluar-kan suara mengejek, "Sin-eng-cu, kau sudah terlalu tua, maka menjadi pikun. Lima tahun yang lalu anak ini paling-paling baru berusia delapan tahun. Dari usia enam sampai delapan tahun, mana bisa belajar ilmu pengobatan? He, tua bangka, umurmu hampir dua kali umurku. Apakah kau takut mampus? Tak usah takut, ada aku yang akan mehemanimu ke alam halus"
Akan tetapi Sin-eng-cu sudah bersila dan diam saja, kakek ini sudah bersama-dhi untuk menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh, mengobati lukanya. Dalam hal ini Yo Wan mengerti maka :ia pun lalu mundur dan membiarkan kakek itu tanpa berani menanggungnya. Ketika dia menoleh, orang asing yang tadinya bicara sambil bergurau itu pun sudah meramkan mata bersamadhi.
Yo Wan pernah mendengar keterangan Suhunya bahwa dengan hawa murni dalam tubuh yang sudah terlatih dengan samadhi, orang tidak hanya dapat memperkuat itubuh, namun juga dapat mencegah atau mengobati luka-luka sebelah dalam, maka dia maklum bahwa dua orang aneh ini sedang mengobati luka masing-masing, maka dia pun lalu duduk bersila, me-nanti dengan sabar.
Para pembaca cerita "Pendekar Buta" ! tentu mengenal dua orang ini. Dua orang tokoh besar yang sakti. Sin-eng-cu Lui Bok adalah seorang aneh yang suka merantau, dia adalah sute (adik seperguruan) Idari Bu Beng Cu, mendiang guru Kwa .Kun Hong. Tujuh tahun yang lalu dia Ifneninggalkan puncak Liong-thouw-san ini, pergi merantau dengan burung rajawali emas menuju ke utara. Kakek aneh ini merantau ke bagian paling utara dari dunia, menjelajah daerah-daerah salju dan di tempat itulah burung rajawali emas yang sudah amat tua itu menemui kematiannya, tidak kuat menahan serangan salju yang dingin sekali. Ketika kakek ini kembali ke Liong-thouw-san, di tempat ini dia berjumpa dengan Bhewakala. Orang asing ini ada-lah seorang pendeta yang sakti pula, tokoh dari barat, seorang pertapa di puncak Anapurna di Pegunungan Hima-laya. Dia adalah seorang pendeta ber-bangsa Nepal yang banyak rneiakukan perantauan di Tiongkok. Tujuh tahun yang lalu pernah dia bertanding dengan Kwa Kun Hong dan dikalahkan. Akan tetapi karena melihat sifat-sifat baik dari pendeta ini, Kun Hong tidak mem-bunuhnya dan Bhewakala yang amat ka-gum terhadap Kun Hong ini berjarus akan belajar lagi dan kelak mencari Kun Hong untuk diajak mengadu ilmu.
Keduanya adalah orang-orang sakti yang berwatak aneh. Begitu bertemu, mereka tidak mau saling mengalah dan keduanya setuju untuk mengadu ilmu disitu. Mereka adalah orang-orang yang selain sakti, juga mempunyai pribadi yang baik. Tentu saja mereka tidak bermaksud mengadu ilmu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi setelah bertempur dengan hebat dari tengah malam sampai pagi, belum juga ada yang kalah atau menang. Akhirnya mereka setuju untuk mengeluarkan senjata dan menggunakan pukulan-pukulan yang dapat mendatang-kan luka hebat.
"Takut apa dengan luka hebat?" kata Bhewakala ketika Sin-eng-cu menolak.
"Bukankah
PendekarButa berada di sini? Kalau seorang di antara kita terluka, dia pasti akan dapat menyembuhkan." Memang, di samping kepandaiannya yang amat tinggi, Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta juga amat terkenal akan kepandai-annya mengobati. Dengan jaminan inilah Sin-eng-cu menerima tantangan Bhewa-kala dan bertempurlah mereka dengan lebih hebat lagi karena kini Bhewakala menggunakan cambuknya yang beracun sedangkan Sin-eng-cu mempergukan pu-kulan-pukulan maut. Dan seperti telah diketahui akibatnya, Sin-eng-cu terluka oleh cambuk sebaliknya Bhewakala juga terkena pukulan yang mendatangkan luka dalam hebat sekali. Keduanya rebah, namun tidak putus asa karena rnereka yakin bahwa Kun Hong akan dapat neng-obatr mereka. Dan mereka meraso lega di samping penasaran, bahwa keadaan mereka tetap seimbang, tiada yang kalah tiada yang menang! Siapa sangka, Kun Hong tidak berada di situ! Hal ini berarti bahwa mereka akan mati, karena masing-masing cukup maklurn bahwa luka yang diabitatkan oleh pukulan masing-masing itu tak mungkin dapat diobati kalau tidak oleh Kuri Hong yang memiliki kepandaian luar biasa dalam hal pengobatan. Maka, seperti telah diberi komando, keduanya lalu cepat-cepat mengerahkan sinkang di tubuhnya untuk menjaga agar luka itu ti-dak menjalar lebih hebat, setidaknya mereka dapat memperpanjang nyawa untuk tinggal lebih lama di dalam tubuh yang sudah terluka berat di sebelah dalam. Kesabaran Yo Wan mendapat ujian pada saat itu. Sudah tiga jam lebih dia bersila di situ menanti. Tiba-tiba awan tebal menyelimuti tempat itu, menjadi halimun yang amat dingin. Pakaian Yo Wan basah semua, juga pakaian dan tu-buh dua orang aneh itu. Namun, Bhewakala dan Sin-eng-cu tetap duduk bersila seperti patung, tidak bergerak-gerak. Berkali-kali Yo Wan merasa khawatir, jangan-jangan dua orahg itu sudah men-jadi mayat, pikirnya. Akan tetapi tiap kali dia menjamah tubuh mereka masih hangat, malah sekarang wajah mereka tidak segelap tadi. Setelah lewat enam jam, matahari sudah naik tinggi dan halimun sudah terusir habis, dua orang itu membuka mata dan menarik napas panjang. Malah keduanya saling pandang.
"Bagaimana, Sin-eng-cu?" Bhewakala bertanya sambil tertawa lebar.
"Hebat pukulan cambukmu, Bhewa-kala. Racun dapat kuhalau atau setidak-nya kucegah untuk menjalar, akan tetapi-pukulanmu merusak pusat. Karena Kun Hong tidak berada di sini, tamatlah su-dah riwayatku sebagai seorang ahli silat. Tiap kali aku mengerahkan Iweekang untuk mengeluarkan tenaga, pusarku ter-pukul dan kalau kupaksa, tentu aku akan mampus. Kau hebat! Dan bagaimana denganmu?"
Bhewakala menggelehg kepala. "Kau pun luar biasa. Pukulanmu meremukkan tulang iga. Hal ini masih tidak mengapa, akan tetapi menggetarkan pusat pengen-dalikan tenaga Kundalini. Karena itu, tenagaku musnah dan mungkin akan da-pat kembali sesudah minum obat dan berlatih sedikitnya sepuluh tahun! Hemmm, apa artinya bagi seorang seperti aku?"
Kini keduanya merasa menyesal, na-mun sudah terlambat. Ketika rnereka menoleh dan melihat bahwa Yo Wan nnasih bersila tak jauh dari sltu, mereka tercengang.
"Kau masih berada di sini?" Sin-eng-cu bertanya kaget.
Yo Wan mengangguk dan menghampiri kakek itu. "Ha-ha-ha, Sin-eng-cu, bocah ini hebatl Sayang bakat dan sifat begini baik tidak dipupuk oleh Pendekar Buta. Ha-ha-ha, Pendekar Buta, kali ini benar-benar kau telah buta, menyia-nyiakan anak orang begini rupa. Sin-eng-cu, kau jrnenjadi saksi, selama hidup aku tidak suka menerima murid, akan tetapi kali ani aku ingin sekali meninggalkan kepandaianku kepada anak ini sebelum aku bikin 'mampus." Sin-eng-cu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Yo Wan, lekas kau berlutut menghaturkan terima kasih kepada Bhe-wakala Locianpwe, untungmu baik sekali."
Yo Wan cepat berlutut di depan Bhe-wakala sambil berkata, suaranya nyaring dan tetap, "Saya menghaturkan banyak terima kasih atas maksud hati yang mu-lia dan kasih sayang Locianpwe kepada saya, akan tetapi saya tidak berani nrie-nerima menjadi murid Locianpwe, karena saya adalah murid suhu. Bagaimana saya berani mengangkat guru lain tanpa perkenan suhu?"
"Yo Wan, hal itu tidak apa-apa, adaJ taku di sini yang menjadi saksi!" kata Sin-eng-cu Lui Bok.
"Ha-ha-ha, anak baik, anak baik. ini namanya ingat budi dan setia, teguh seperti gunung karang, tidak murkei dan tamak! Eh, Yo Wan, siapakah orang tuamu?"
Yo Wan menggigit bibir, mafanya di-meramkan untuk menahan keluarnya dua butir air mata. Pertanyaan yang tiba-tiba dan merupakan ujung pedang yang tnenusuk ulu hatinya. Sampai lama dia tidak tnenjawab, kemudian dia membuka mata dan berkata periahan, "Saya yatim piatu, Locianpwe...."
Kedua orang tua ittl saling pandang, diam tak bersuara. Mereka itu sudah kenyang akan pengalaman pahit getir, perasaan mereka sudah kebal. Namun, membayangkan seorang bocah yang tinggal seorang diri di tempat sunyi itu» bergulang-gulung dengan mega, tak ber-ayah ibu pula, benar-benar mereka nne-rasa kasihan
"Yo Wan, aku pun tldak bermaksud mengambil murid kepadamu, hanya mgin meninggalkan atau mewariskan kepandai-anku saja. Gurumu tentu takkan rnarah."
"Mohon maaf sebesarnya, Locianpwe, Saya cukup maklum bahwa Locianpwe memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan hanya Tuhan yang tahu betapa ingin hati saya memilikinya. Akan tetapi, tanpa perkenan suhu, bagaimana saya berani menerimanya? Suhu adalah tuan penolong saya dan mendiang ibu saya, suhu adalah pengganti orang tua saya, harap Locianpwe maklum....." suara Yo Wan tergetar saking terharu, dan kini tak dapat tertahan lagi olehnya, dua butir air matanya tergantung pada bulu matanya. Namun cepat dia menggunakan punggung kepalan tangannya mengusap air mata itu.
Tiba-tiba Sin-eng-cu tertawa bergelak dan suaranya terdengar gembira sekali ketika dia berkata, "He! Bhewakala pen-deta koplok (goblok)! Dia seorang bocah yang tahu akan setia dan bakti, mana bisa dibandingkan dengan kau yang biar-pun bertapa puluhan tahun dan belajar segala macam filsafat, kekenyangan pengetahuan lahirnya saja tanpa berhasil menyelami dan melaksanakan isinya sedikit pun juga? Lebih baik kita lanjutkan adu ilmu. Ingat, aku tua bangka belum kalah!"
"Huh, tua bangka tak tahu diri. Kau-kira aku pun sudah kalah? Hayo kita pergunakan tenaga terakhir untuk men-cari penentuan!" Bhewakala bangki ber-diri dengan susah payah, tapi berdirinya tidak tegak, punggungnya tiba-tiba men-jadi bongkok dan dia pringisan, menahan sakit. juga Sin-eng-cu tertatih-tatih bang-kit berdiri, namun dia juga tidak bisa berdiri tegak, kedua kakinya meriggigij seakan-akan tubuh atasnya terlalu berat bagi tubuh bawahnya.
Yo Wan bingung dan gugup sekali. "Susiok-couw...... Locianpwe...... ji-wi (Kalian) sudah terluka hebat, bagaimana mau bertempur lagi? Harap suka saling mengalah, harap sudahi pertempuran ini.....!" Yo Wan berdiri di antara mereka berdua dengan sikap melerai.
Comments