Skip to main content

Jaka Lola 15 -> karya : kho ping hoo

Kini Siu Bi yang tiba-tiba menjadi merah sekali wajahnya. Celaka, pikirnya. Pemuda ini benar-benar tak tahu malu, terang-terangan bilang suka dan kagum dan ingin menjadi sahabat baik! Sekarang dia yang kebingungan dan tidak segera dapat membuka mulut.

"Sejak aku melihat kau menolong petani-petani miskin, dengan gagar kau melawan tukang-tukang pukul jahat di Pau-ling itu, aku amat kaguin dar tertarik kepadamu, Nona. Aku tahu, juga ayah tentu yakin bahwa dalam urusan ini kau tidak bersalah malah kau berjasa bagi prikemanusiaan, bagi kebenaren dan keadilan, kau menolong yang tergeocet menghajar yang menindas. Akan setapi, hukum tetap hukum yang harus dilaksa-nakan dengan tertib. Kalau ayah meng-ambil keputusan begitu saja tanpa meng-adili terus membenarkan kau, apakah akan kata orang? Terhadap urusan di Pau-ling itu, aku tidak khawatir sama sekali. Akan tetapi urusan ke dua im..... ah, kau tidak tahu, Nona. Ayah pasti akan mencegah maksud hatimu itu, bukan hanya karena menjadi sahabat baik, melainkan masih ada ikatan keluarga. Ke-tahuilah bahwa isteri Pendekar Buta adalah enci angkat dari ibuku. Nah, kau tahu betapa tidak bijaksananya kau meng-, aku akan hal itu di depan ayah!"

"Ah, begitukah? Jadi kau masih ke-ponakan isteri musuh besarku? Wah, celaka, aku terjebak. Tentu kau mengajak-ku ke sini untuk menipuku..... ah, ineng-apa aku begitu bodoh?"

"Nona, harap jangan bicara begitu. Urusan itu baru kami ketahui setelah kau berada di sini dan mengaku di depan ayah. Aku..... aku fidak memandang kau sebagai musuh, sebaliknya daripada itu. Aku bersedia menolongmu, Nona. Aku akan membujuk ayah untuk membebaskan-mu, asal saja kau suka berjanji kepada ayah bahwa kau takkan memusuhi Pen-dekar Buta....."

"Aku mau memusuhi siapapun juga, apa pedulinya dengan kau?"
"Nona....." suara Bun Hui penuh penyesalan, akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu berkelebat bayangan orang dan seorang wanita setengah tua yang cantik telah berdiri di sebelah Bun Hui.

"Ibu...... kau di sini.....?" Bun Hui bertanya gagap."
"Hui-ji (anak Hui), aku mendengar dari ayahinu bahwa seorang gadis yang liar mengancam hendak menyerbu Liong-thouw-san dan membuntungi lengan Kun Hong dan enci Hui Kauw? Mana dia? Apakah ini?" telunjuk yang runcing me-nuding ke arah Siu Bi yang memandang dengan bengong. Wanita itu luar biasa cantiknya, suaranya nyaring, matanya bersinar-sinar, pakaiannya amat indah namun tidak mengurangi gerakannya yang gesit tanda bahwa nyonya ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Siu Bi kagum. Alangkah jauh bedanya dengan ibu-nya sendiri. Ibunya wanita lemah.

"Betul, Ibu. Aku..... aku sedang rnem-bujuknya supaya maksud hatinya itu tidak dilanjutkan," kata Bun Hui sambil menundukkan muka, khawatir kalau-kalau ibunya akan dapat membaca isi hatinya. Wanita itu adalah Giam Hui Siang. Seperti telah diceritakan di bagian de-pan, wanita ini adalah puteri dari Ching-toanio, ilmu kepandaiannya tinggi dan di waktu mudanya la sendiri merupakan seorang gadis yang selain cantik dan lihai, juga amat ganas, malah pernah bentrok dengan cici angkatnya dan Kwa Kun Hong (baca Pendekar Buta). Kini ia melangkah maju dan, rnemandang Siu Bi penuh perhatian.

"Kau anak siapa? Kenapa hendak memusuhi Pendekar Buta dan isterinya?" la bertanya memandang tajam. Ditanya tentang orang tuanya, hati Siu Bi menjadi panas dan jengkel. la bu-kan anak The Sun yang semenjak kecil ia anggap seperti ayah sendiri. Semenjak rahasia balrwa ia bukan anak The Sun ia ketahui dari ucapan Hek Lojin, ia tidak mau mengaku The Sun sebagai ayahnya lagi. la sendiri tidak tahu siapakah orang tuanya, atau lebih tepat lagi, siapa ayahnya. la tidak pernah meragu bahwa ia bukan anak ibunya. Mudah saja diketahui akan hal ini. Wajahnya serupa benar dengan wajah ibunya. Akan tetapi ayah-nya? la tidak tahu! Karena pertanyaan itu membuatnya mendongkol, ia men-jawab seenaknya.
"Sudah kukatakan bahwa orang tuaku tak perlu disebut-sebut di sini. Aku memusuhi Pendekar Buta karena aku benci kepadanya, karena ia memang musuhku. Habis perkara'."

Giam Hui Siang tercengang mendengar jawaban dan melihat sifat berandalan ini. Teringat ia akan masa mudanya. Dia dahulu juga seperti nona ini, penuh keberanian, penuh kepercayaan akan kepandaian sendiri. Apakah nona ini selihal dia? Mungkinkah dapat mengalahkan Pendekar Buta dan cicinya yang amat lihai itu? Diam-diam ia mengharapkan akan ada orang yang dapat mengalahkan Pendekar Buta, kalau perlu dapat membuntungi lengannya dan lengan Hui Kauw! Diam-diam nyonya ini masih merasa mendendam dan benci kepada Pendekar ' Buta dan isterinya. Hal ini ada sebabnya. Pertama karena ketika ia masih muda, dua orang itu pernah menjadi musuhnya. Kedua kalinya, karena suaminya, Bun Wan, menjadi buta sebelah matanya karena Pendekar Buta pula. Sungguhpun suaminya itu membutakan sebelah mata sendiri karena malu dan menyesal atas perbuatannya sendiri yang menyangka buruk kepada Pendekar Buta, namun secara tidak langsung, suaminya buta karena Pendekar Buta (baca cerita Pendekar Buta)! Inilah sebabnya terselip rasa dendam di sudut hati kecil nyonya ini. Akan tetapi, dara remaja yang masih setengah kanak-kanak ini, mana mungkin dapat melawan Kun Hong?

"Lihat senjata!" tiba-tiba Giam Hui Siang berseru nyaring, tangannya ber-gerak dan sinar hijau menyambar ke arah Siu Bi, melalui sela-sela jeruji baja. Itulah belasan batang jarum Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau), senjata raha-sia maut dari Ching-coa-to yang aroat ditakuti lawan karena selain halus dan amat cepat menyannbarnya, juga racun-nya amat ampuh. Lebih hebat lagi, serangan ini masih ia susul dengan pukulan jarak jauh oleh sepasang lengannya yang didorongkan ke depan!

"Ibu.....!" Bun Hui terkejut bukan main, namun tidak sempat mencegah karena gerakan ibunya itu sama sekali tidak pernah diduga sebelumnya. la maklum akan kehebatan serangan ibunya ini, maka dengan muka pucat ia melnandang kepada Siu Bi. Siu Bi juga terkejut menghadapi Serangan mendadak itu. Akan tetapi karena sejak tadi ia sudah mengambil sikap bermusuh, tentu saja ia waspada dan tidak kehilangan akal. la mengerahkan Hek-in-kang dan menggerakkan kedua lengannya menyampok sambil mendoyong-kan tubuh ke kiri, kemudian ia susul dengan dorongan ke muka yang mengandung tenaga Hek-in-kang yang amaf kuat.

Giam Hui Siang dan Bun Hui hanya melihat uap menghitam bergulung darl kedua lengan Siu Bi dan di lain saat tubuh Hui Siang sudah terhuyung-huyung ke belakang. Hampir saja nyonya ini roboh terjengkang kalau saja ia tidak lekas-lekas melompat dan berjungkir balik. Wajahnya nienjadi pucat, akan tetapi mulutnya tersenyum.

"Hebat.....! Kau cukup lihai untuk menghadapi dia! Hui-ji, hayo kita pulang."

Bun Hui menghadapi Siu Bi, suaranya terdengar sedih, "Nona, harap Kau suka maafkan ibuku yang sebetulnya hanya hendak mencoba kepandaianmu."

"Hemmm.....!" Siu Bi mendengus, masih belum hilang kagetnya. Nyonya itu benar-benar ganas dan galak, juga lihai sekali. Jarum-jarum yang lewat di dekat tubuhnya tadi mengandung hawa panas yang luar biasa, juga pukulan jarak jauh tadi amat kuat. Baiknya ia memiliki Hek-in-kang, kalau tidak, tentu ia akan menjadi korban jarum atau pukulan sin- kang.

Setelah ibu dan anak itu pergi, Siu Bi kembali duduk di atas pembaringan di sudut, berusaha untuk istirahat mengum-pulkan tenaga. la dapat duduk tenang, kemudian nnenjelang tengah malam yang sunyi, tiba-tiba ia berjungkir balik, ke-pala di bawah, kaki yang tetap bersila itu di atas, untuk melatih Iweekang me-nurut ajaran Hek Lojin. Belum ada setengah jam ia berlatih, terdengar suara orang perlahan,

"Selagi kesempatan lari terbuka, mengapa membiarkan diri terkurung?" Cepat sekali gerakan Siu Bi, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke dekat jeruji. Di luar jeruji berdiri seorang laki-laki yang mengeluarkan seruan kagum akan gerakannya yang memang luar biasa tadi. Laki-laki ini berdiri tegak, bersedakap dan memandang kepadanya dengan alis berkerut. Sukar menduga apa yang berada dalam pikiran laki-laki ini. Siu Bi memandang tajam, memperhatikan dan siap untuk memaki atau menyerang melalui sela-sela jeruji. Akan tetapi ia mendapat kenyataan bahwa laki-laki itu bukanlah seorang penjaga atau pengawal, pakaiannya serba putih sederhana, rambutnya digelung ke atas dan dibungkus kain putih. Muka yang membayangkan ke-tenangan luar biasa dengan sepasang mata yang sayu, membayangkan kematangan jiwa dan penderitaan lahir batin. Orang ini bukan lain adalah Si Jaka Lola, Yo Wan.

Seperti kita ketahui, Yo Wan melihat bagaimana gadis yang luar biasa dan mengagumkan hatinya itu merobohkan para tukang pukul, kemudian ikut dengan pemuda yang memimpin barisan. la tidak turun tangan menolong karena ingin ia melihat apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, dan apa pula yang akan dilakukan oleh gadis itu untuk menolong diri sendiri. Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu membiarkan dirinya ditahan.

Malam tadi dia diam-diam memasuki bagian belakang gedung ini dan ia sem-pat melihat betapa ibu pemuda itu me-nyerang dengan jarum hijau dan pukulan sinkang. la kaget sekali, akan tetapi kembali ia dibuat kagum oleh kepandaian Siu Bi. la tidak sempat mendengar per-cakapan mereka tentang niat Siu Bi mem-buntungi lengan Pendekar Buta, karena kedatangannya tepat pada saat Giam Hui Siang melakukan penyerangan tadi. la benar-benar merasa heran akan sikap tiga orang itu. Lebih-lebih lagi rasa herannya mengapa gadis ini membiarkan dirinya dijebloskan kamar tahanan, maka ketika menyaksikan sampai jauh malam betapa gadis itu tidak berusaha melari-kan diri, melainkan berlatih Iweekang secara aneh, dia tidak dapat menahan keheranannya dan muncul sambil mengucapkan kata-kata tadi.

Mengapa ia terlambat muncul? Yo Wan tadi ketika berhasil memasuki gedung, diam-diam menculik seorang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya. la melompati tembok dan membawa lari penjaga itu ke luar kota, lalu memaksanya bercerita tentang gadis itu. Si penjaga ketakutan setengah mati karena ia tidak dapat melihat siapa penculiknya dan baru dilepaskan ketika berada di tempat yang gelap dan sunyi di luar kota, di bawah pohon yang besar. la, hanya merasa tubuhnya tak mampu berkutik dan seakan-akan dibawa terbang. Saking takutnya, mengira bahwa ia diculik iblis tubuhnya menggigil dan tak berani ia membantah. Dengan suara gemetar ia menceritakan betapa Bun-goanswe menahan gadis itu karena urusan ini akan diselidiki ke Pau-ling pada esok hari oleh Goanswe sendiri, dan besok baru akan diberi keputusannya. Juga ia menceritakan betapa gadis itu tidak membantah, malah menyerahkan pedangnya.

Demikianlah, dengan penuh keheranan Yo Wan lalu kembali ke dalam gedung setelah menotok penjaga itu dan me-ninggalkan di tempat sunyi. la tahu bahwa penjaga itu tak mungkin akan dapat melepaskan diri sebelum besok pagi. la tidak langsung mencari tempat gadis itu ditahan melainkan mencuri masuk secara diam-diam ke dalam kamar Bun-goanswe dan dengan kepandaiannya yang luar biasa ia berhasil mencuri pedang Siu Bi yang disimpan di dalam kamar itu! Setelah menyimpan pedang di balik jubah-nya, baru ia nnencari tempat tahanan di belakang dan tepat kedatangannya pada isaat Hui Siang menyerang Siu Bi. Siu Bi kini berdiri dekat jeruji. Mere-ka saling pandang dan gadis itu berdebar jantungnya karena merasa serem melihat laki-laki itu berdiri seperti patung di luar kamar tahanan.

"Kau siapa? Apa maksud ucapanmu tadi?" Akhirnya ia menegur, sambil menatap wajah yang tampan dan agak pucat, tubuhnya yang kurus sehingga tulang pundaknya tampak menjendul di balik bajunya yang sederhana.

"Maksud ucapanku tadi sudah jelas, Nona. Selagi ada kesempatan untuk lari, mengapa membiarkan dirimu terkurung disini”.

Siu Bi merasa heran. Apa kehendak orang ini dan siapa dia? Apa yang diucapkan orang ini memang menjadi suara hatinya. Memang ingin ia melarikan diri, tidak sudi ditahan seperti binatang buas. Akan tetapi bagaimana ia dapat melari-kan diri kalau ia tidak kuat membongkar daun pintu dan jeruji baja? Bahkan pedangnya pun ditahan, bagaimana ia suka pergi tanpa mendapatkan pedangnya kembali? Akan tetapi untuk men]awab se-perti ini, tentu saja ia tidak sudi. Hal itu hanya akan merendahkan dirinya sen-diri, mengakui kebodohan dan kelemah-annya. Maka ia menjawab dengan suara ketus,

"Kau peduli apa? Aku harus tunduk kepada hukum, aku bukan manusia liar yang tidak mengenal hukum." Laki-laki rnuda itu tertawa, hanya sebentar saja. Akan tetapi dalam waktu beberapa detik itu, selagi tertawa, laki-laki itu dalam pandang mata Siu Bi kelihatan tampan dan lenyap semua kekeruhan pada mukanya. Akan tetapi hanya sebentar saja, senyum dan tawa itu melenyap, kembali wajah itu tampak suram muram.

"Hukum, kau bilang? Nona, aku lebih banyak mengalami hal-hal mengenai hukum. Semua pembesar bicara tentang hukum, bersembunyi di belakang hukum, dan tahukah kau apa arti hukum sebenarnya? Hukum hanya menjadi alat penye-lamat mereka belaka, bahkan alat penin-das mereka yang lebih lemah! Hukum dapat mereka putar balik, dapat ditekuk-tekuk ke arah yang menguntungkan dan memenangkan mereka. Kau akan kecewa kalau kau mempercayakan keselamatan-mu kepada hukum, Nona. Karena itu, pokok terpenting, kau tidak bersalah dalam suatu persoalan. Perbuatanmu membela para petani miskin yang tertindas itu adalah perbuatan orang gagah, sama sekali tidak seharusnya dihukum atau ditahan." Di dalam hatinya, Siu Bi setuju seribu prosen. Akan tetapi bagaimana ia dapat menyatakan setuju kemudian menyatakan bahwa ia tidak mampu keluar?

"Eh, kau ini siapakah, berlagak pandai dan membelaku? Hemmm, lagaknya saja hendak menolong. Apa sih yang dapat kaulakukan untuk menolongku? Pula, aku pun tidak membutuhkan pertolonganmu, dan andaikata kau mau menolong, mengapa pula kau yang sama sekali tidak kukenal ini hendak menolongku? Apakah bukan maksudmu untuk mencari muka belaka?"

Yo Wan tersenyum kecut. la kagum menyaksikan sepak terjang gadis ini, juga senang menyaksikan ketabahan dan kelincahannya, akan tetapi watak gadis ini amat sombong. Yo Wan sudah nnencapai tingkat tinggi, baik dalam ilnnu silat maupun ilmu batin, berkat gemblengan selama sepuluh tahun di puncak Pegunungan Himalaya. Maka ia tidak menjadi marah oleh sikap kasar dan ketus dari gadis itu. Dengan tenang ia lalu mengeluarkan pedang Cui-beng-kiam dari balik jubahnya, menaruh pedang itu di atas lantai, kemudian ia menggunakan kedua tangannya mernegang jeruji baja, menge-rahkan sedikit sinkang dan..... jeruji-jeruji itu melengkung, membuka lubang yang cukup lebar untuk dilalui tubuh orang!

"Aku datang sekedar memenuhi kewajiban membantu yang benar, tak perlu bicara tentang pertolongan. Tentang kau mau ke luar atau tidak, adalah menjadi haknnu untuk menentukan, Nona. Pedangmu ini tadi kuambil dari kamar Bun-goanswe. Tidak baik seorang gagah berjauhan dari senjatanya. Selamat tinggal."

Siu Bi bengong terlongong. la berdiri seperti patung memandang bayangan laki-laki itu yang berjalan perlahan, mening-galkannya dan menghilang di dalam ge-lap. Setelah bayangan orang itu tidak tampak, baru ia sadar. Kerangkeng terbuka, pedangnya di situ, mau tunggu apa lagi? Cepat ia menyelinap ke luar di antara dua jeruji yang sudah melengkung, disambarnya pedang Cui-beng-kiam dan di lain saat ia sudah melompat ke atas genteng, memandang ke sana ke mari. Namun sunyi di atas gedung itu, tidak tampak bayangan laki-laki tadi. Hatinya bimbang. Apakah ia akan pergi melarikan diri sekarang juga ke luar kota Memang sesungguhnya lebih baik dan lebih aman begitu. Akan tetapi, setelah Jenderal Bun itu melakukan hal yang tak patut ter-hadapnya, mengurungnya dalam kerangkeng, seperti binatang, kemudian nyonya jenderal itu tanpa sebab menyerangnya dengan jarum dan pukulan, masa ia harus pergi begitu saja seperti orang lari ke-takutan? Tidak, tidak ada penghinaan yang tidak dibalas. Sebelum ia pergi meninggalkan kelihaiannya dan memberi sedikit hajaran kepada Jenderal Bun dan isterinya yang galak. Tentu saja Bun Hui tidak „ termasuk dalam daftarnya untuk diberi hukuman karena pemuda itu ber-sikap baik sekali kepadanya. Pikiran ini mendorong Siu Bi membatalkan niatnya untuk melarikan diri. la lalu bergerak-gerak seperti seekor kucing ringannya, meloncati genteng di atas gedung itu menuju ke bangunan besar, kemudian ia mengintai untuk mencari di mana adanya kamar Jenderal Bun clan isterinya, mendekam dan mendengarkan. la mendengar suara Jenderal Bun dan isterinya.

"Masa tengah malam begini hendak pergi? Urusan bagaimana pentingnya pun, kan dapat diurus besok pagi?" terdengar suara nyonya Jenderal Bun, suara yang merdu dan halus.

"Harus sekarang kuselesaikan. Selain menyelidiki ke Pau-ling, aku juga harus cepat menyuruh seorang pengawal yang tangkas untuk mengabarkan kepada Kwa Kun Hong di Liong-thouw-san tentang ancaman gadis liar itu." suara yang berat dari Jenderal Bun ini mendebarkan hati Siu Bi yang mendengarkan terus.

"Ah, tentang urusan itu, apa sangkut pautnya dengan kita? Kalau dia mempunyai dendam pribadi dengan Kun Hong, biarlah ia menyelesaikannya sendiri. Urusan pribadi orang lain, bagaimana kita dapat ikut campur?" Isterinya mencela.

"Orang lain? Kurasa Kwa Kun Hong dengan keluarganya tidaklah dapat dikata orang lain!" Bun-goanswe berseru keras, suaranya mengandung penasaran. "Bukankah isterinya adalah cicimu (kakakmu)?"

"Enci Hui Kauw hanyalah saudara pungut." Hening sejenak, lalu terdengar suara jenderal itu penuh penyesalan.

"Hui Siang, isteriku, harap kau jangan merusak perasaan hatiku dengan sikapmu seperti ini terhadap mereka. Aku tahu bahwa kau masih menaruh dendam akan urusan lama, bukankah itu - merupakan sifat kanak-kanak? Kita bukan kanak-kanak lagi. Perbuatanmu tadi mendatangi kamar tahanan dan menyerang gadis itu, juga nnerupakan sisa daripada sifat waktu mudamu. Ah, Hui Siang, aku dapet menduga isi hatimu, setelah kau menguji, gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa dia cukup lihai, kau ingin sekali melihat dia itu mengacau Liong-thouw-san. Begitukah?"

Nyonya itu berseru kaget. "Kau..... kau mengintai.....?" Kemudian disusul suaranya menantang,
"Betul, aku ... aku memang masih benci kepada Kun Hong dan enci Hui Kauw!" Disusul isa tangis tertahan dan tarikan napas panjang Jenderal itu,

"Hui Siang, mengapa kau masih juga belum dapat memadamkan api dendam terhadap mereka? Lupakah kau bahwa Kun Hong adalah penolong kita? Dia seorang pendekar besar yang telah terkenal kegagahan dan budi pekertinya. Dia merupakan penolong kita!"

Isak tangis itu makin keras. "Aku..... aku pun tidak bisa lupa..... bahwa kau..... kau membutakan mata kananmu karena dia ...?”.
Bun-goanswe tertawa. "Ha-ha-ha, itukah yang membuat dendammu tak dapat hilang? Tak usah dipusingkan, isteriku. Kebutaan sebelah mataku dapat membuka kebutaan mata hatiku, bukankah itu baik sekali?"

"Lalu. apa yang hendak kaulakukan terhadap gadis itu?"
"Aku akan membujuknya agar supaya ia membatalkan niatnya mengacau tem-pat tinggal Kun Hong. Kalau ia bersikeras, apa boleh buat, aku akan memasukkannya ke dalam tahanan sampai ia bertobat."

"Jenderal busuk, kau benar-benar hendak mempergunakan hukum untuk mencari kebenaran dan kemenangan sendiri. Aku, Cui-beng Kwan Im, mana sudi kau perlakukan demikian?" Sesosok bayangan melayang turun dari jendela dan sinar pedang hitam menerjang Bun-goanswe, Jenderal ini kaget sekali, cepat dia menghunus pedangnya dan menangkis. Adapun Hui Siang, isteri jenderal itu, kaget dan khawatir, untuk sejenak hanya dapat memandang dengan kaget. Akan tetapi, beberapa menit kemudian nyonya im sudah mendapatkan pedangnya lalu menyerbu dan mengeroyok Siu Bi. Dara ini tidak menjadi gentar, malah berseru keras dan segera pedangnya berubah menjadi gulungan sinar kehitaman, diseling pukulan-pukulannya yang mengandung tenaga Hek-in-kang! Memang hebat gadis ini, ilmunya tinggi nyalinya sebesar nyali harimau, akan tetapi dia terlalu memandang rendah orang lain. Terjangnya yang dahsyat dan ganas memang , membuat suami isteri itu kaget dan terdesak mundur. Akan tetapi, jenderal itu adalah Bun Wan putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya juga hebat. Dan isterinya adalah puteri dari Ching-toanio yang memiliki ilmu silat segolongan dengan Siu Bi, yaitu goiongan hitam. Biarpun tingkat ilmu silat kedua orang suami isteri ini tidak sedahsyat ilmu silat Siu Bi warisan dari kakek sakti Hek Lojin, namun gadis itu kalah ulet dan kalah pengalaman sehingga ter-jangan-terjangannya biarpun mendesak dan mengejutkan, namun belum mampu merobohkan mereka. Pada saat itu, Bun Hui datang berlari-lari dengan muka pucat. Cepat pemuda yang juga lihai ini memutar pedangnya menahan pedang Cui-beng-kiam, lalu berkata, suaranya menggetarkan penuh perasaan,
"Nona.....! Kenapa kau tidak memegang janji, malah melarikan diri dan menyerbu ke sini? Ah..... Nona, mengapa kau menyerang ayah bundaku? Mengapa kaulakukan hal ini..... Kau, yang kupandang gagah perkasa....." Getaran suara yang terkandung dalam ucapan Bun Hui ini tidak menyembunyikan perasaannya. Jelas terdengar dan terasa, baik oleh Siu Bi maupun oleh ayah bunda pemuda itu, bahwa Bun Hui menaruh hati cinta kepada gadis ini!

"Hui-ji, mundur kau!" bentak Jenderal Bun.

"Hui-ji, kenapa kau merengek-rengek kepada bocah ini?" seru pula ibunya penuh teguran dan suami isteri itu sudah me-nerjang Siu Bi dengan hebat. Terpaksa Siu Bi mundur tiga langkah karena ter-jangan kedua orang itu dalam serangan balasan bukanlah main-main. Namun de-ngan Hek-in-kang, ia dapat mengusir mundur lagi kedua orang pengeroyoknya. Ternyata Hek-in-kang amat ampuh, hawanya saja cukup membuat kedua orang suami isteri tokoh persilatan yang ber-kepandaian tinggi itu tergetar mundur dan tidak berani terlalu mendekat. Mendengar suara ribut-ribut ini, beberapa orang pengawal menerjang masuk dan melihat betapa Jenderal Bun dan isterinya bertempur melawan gadis ta-hanan yang entah bagaimana kini telah berada di situ, mereka cepat mencabut senjata masing-masing dan siap. Semen-tara itu, dengan hati hancur saking me-nyesal dan kecewanya, Bun Hui menggunakan pedangnya membantu ayah bundanya sambil berkata lirih,

"Betapapun berat bagiku, aku harus memihak ayah bundaku, Nona'."

"Cih, cerewet amat'. Mau keroyok, keroyoklah. Hayo semua orang di sini boleh mengeroyokku. Aku Cui-beng Kwan Ini tidak gentar seujung rambutpun!"

Bukan main marahnya Bun-goanswe. "Hayo tangkap dia! Jangan bunuh, tangkap kataku. Mana akal kalian Masa tidak mampu menangkap hidup-hidup seorang bocah nakal?"

Belasan orang pengawal yang cukup tinggi kepandaiannya datang, mereka membawa tali-tali yang besar dan kuat. Dengan senjata ini mereka mengurung Siu Bi dari segala penjuru, kemudian mereka mengayunkan tambang itu ke arah kaki untuk merobohkan Siu Bi. Gadis ini kaget sekali karena suami isteri yang kosen itu, dibantu puteranya yang tak boleh dipandang ringan, membuat ia cukup repot menjaga diri. Sekarang ada tambang-tambang yang nnenyambar dari segala jurusan melibat dan menjegal kedua kaki. la terpaksa berlonoatan untuk menyelamatkan diri, menendang sana-sini sambil tetap melayani tiga orang lawannya. Akan tetapi, mana mungkin gadis yang kurang pengalamandbertempur ini memecah perhatiannya menghadapi serangan yang sekian banyaknya. Tiga batang pedang dengan dahsyat mengurung-nya dan mengancamnya dari atas, ini saja sudah membutuhkan pemusatan perhatian karena tiga batang pedang itu digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Belasan jurus ia masih dapat bertahan, akan tetapi karena kebingungannya, akhirnya kakinya terlibat tambang dan tak dapat ia pertahankan lagi, kakinya kena dijegal dan ia terguling dengan pedang masih di tangan. Pada saat itu, selagi Bun-goanswe dan para pengawalnya siap menubruk dan menangkap Siu Bi, mendadak mereka kelabakan karena lampu penerangan tiba-tiba menjadi padam. Perubahan serentak antara keadaan terang benderang menjadi gelap hitam ini benar-benar membingung-.g kan mereka.

"Pasang lampu.....! Lekas pasang lampu.....!" bentak Bun-goanswe. Tak seorang pun berani menubruk ke depan untuk meringkus Siu Bi. Mereka cukup maklum akan kelihaian nona itu yang masih memegang pedang. Di dalam keadaan gelap itu, mana ada yang berani mempertaruhkan nyawa?

Setelah suasana gelap yang hiruk-pikuk ini diakhiri dengan penerangan lampu, keributan lain timbul ketika me-reka melihat bahwa gadis yang tadinya terguling miring itu sudah tiada di tem-patnya lagi. Gadis itu lenyap seperti ditelan bumi, tidak meninggalkan bekas, Bun-goanswe cepat memerintah para pengawalnya melakukan pengejaran. 'Dia sendiri menjatuhkan diri di atas kursi, penasaran, malu dan marah. Hui Siang dan Bun Hui saling pandang.

"Wah, dia dapat melarikan diri!" Kata Hui Siang, diam-diam girang karena sesungguhnya la ingin sekali mendengar gadis itu menyerbu rumah tangga Kun Hong apalagi setelah sekarang ia yakin benar akan kelihaian gadis itu.

"Siapa bilang lari?" Jawab jenderal itu marah. "Terang ada orang sakti yang menolong dan membawanya lari. Siapa yang memadamkan lampu serentak seperti itu tadi? Tentu bukan gadis itu. Dan cara ia meloloskan diri, sama sekali 'tidak terdengar olehku."

"Mudah-mudahan ia tidak membikin ribut lagi...." Bun Hui menggumam seorang diri.

"He, kau Hui-ji'. Sikapmu tadi sungguh memalukan! Apa maksudmu? Apakah kau sudah tergila-gila kepada gadis liar itu?" Bentakan ayahnya ini membuat Bun Hui merah mukanya dan ia tergagap mencari jawaban,

"Aku..... aku..... tidak begitu, Ayah. Aku hanya..... kagum akan sepak terjangnya dan aku..... aku kasihan

"Hemmm, menilai seseorang, apalagi wanita, jangan sekali-kali dari kecantikan wajah atau kepandaiannya. Akan tetapi wataknya! Gadis itu wataknya keranjing-an, seperti iblis betina. Hui-ji, besoK kau berangkat pagi-pagi ke Liong-thouw-san, menemui pamanmu Kwa Kun Hong dan berikan sepucuk suratku. Urusan ini terlampau penting untuk kuserahkan kepada seorang pengawal, maka harus kau sendiri yang membawanya ke Liong-thouw-san."
"Baik, Ayah." Diam-diam pemuda ini menjadi girang juga, karena memang sudah amat lama ia ingin berten u de-ngan orang yang selalu disebut-sebut ayahnya dengan penuh penghormatan, yaitu Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta.

****

Siu Bi mencoba tenaganya untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi sia-sia. Orang itu memanggulnya dengan menekan tengkuk dan punggung, di mana pusat tenaganya ditekan dan menjadi hilang kekuatannya. la merasa dibawa lari cepat sekali dan angin dingin membuat ia mengantuksekali. Akhirnya, saking lelahnya bertempur tadi dan semalam tidak tidur sedikit pun juga, ia tertidur di atas pundak orang yang memanggulnya itu'.

Ketika Siu Bi sadar dari tidurnya, sedetik ia tertegun, hendak mengulet (menggeliat) tidak dapat, tubuhnya serasa kesemutan dan pipi kanannya yang ber-ada di atas panas. Kiranya matahari sudah menyorot agak tinggi juga. Segera ia teringat. la masih berada di atas pundak orang, masih dipanggul! Sejak lewat tengah malam sampai sekarang, lewat pagi! Dan ia tertidur di dalam pondongari orang! Dan selama itu ia masih belum tahu siapa orangnya yang menculiknya ini, yang membawanya lari dari dalam gedung Jenderal Bun selagi ia roboh dalam keroyokan para pengawal.

"Hemmm, perawan apa ini? Dipondong orang sejak malam, enak-enak tidur men-dengkur. Malas dan manja, ihhh, benar-benar celaka....." Orang yang memanggulnya itu terdengar bersungut-sungut. Kemarahan memenuhi kepala Siu Bi. "Siapa mendengkur? Aku tidak pernah mendengkur kalau tidur. Hayo lepasKan kau laki-laki kurang ajar!"

"He? Kau sudah bangun? Nah, turunlah!" Dengan gerakan tiba-tiba orang itu melepaskan pondongan sambil mendorong sedikit sehingga Siu Bi terlempar dan jatuh berdiri di depannya dalam jarak dua meter. Dapat dibayangkan betapa kaget, heran, dan marahnya ketika me-lihat bahwa orang yang memanggulnya tadi adalah laki-laki muda sederhana berpakaian putih yang semalam mengun-junginya di dalam kerangkengnya!

"Heeeiiiii! Kenapa kau memondongku? Aku bukan anak kecil!" Siu Bi membanting kaki dengan gemas. Yo Wan, orang itu, tersenyum kecil. Matahari pagi serasa lebih gemilang cahayanya menghadapi seorang dara lincah nakal ini.

"Kau masih kanak-kanak," katanya tenang.

"Siapa bilang? Aku bukan anak Kecil, aku bukan kanak-kanak lagi!" Siu Bi bersitegang. Disebut kanak-kanak baginya sama dengan penghinaan. Masa dia yang sudah mempunyai julukan Cui-beng Kwan Im sekarang di "cap" kanak-kanak?
"Aku Cui-beng Kwan Im, aku seorang dewasa. Jangan kau main-main!"

"Bagiku kau masih kanak-kanak," kata pula Yo Wan, memalingkan muka seperti seorang yang tidak acuh. Padahal pemuda ini memalingkan muka karena merasa "silau" akan kecantikan wajah Siu Bi. Kebetulan sekali cahaya matahari yang menerobos melalui celah-celah daun pohon, menyoroti muka dan rambut itu, sehingga wajah gadis itu gemilang dan rambutnya membayangkan warna indah, benar-benar seperti Dewi Kwan Im turun melalui sinar matahari pagi. Yo Wan memalingkan muka agar jangan melihat keindahan di depannya ini, yang membuat isi dadanya tergetar.

"Wah, kau ini kakek-kakek, ya? aksinya!" Siu Bi membentak gemas.

"Aku jauh lebih tua dari padamu." Suara Yo Wan perlahan, seperti berkata kepada diri sendiri. Memang ini suara hatinya yang membantah gelora di dalam dada, untuk memadamkan api aneh yang mulai menyala dengan peringatan bahwa dia jauh lebih tua daripada gadis remaja yang berdiri di depannya dengan sikap menantang itu.

"Hanya beberapa tahun lebih tua. Hemmm, lagakmu seperti kakek-kakek berusia lima puluh tahun saja. Kurasa kau belum ada tiga puluh."

"Dua puluh enam tahun umurku, dan kau ini paling banyak lima belas....."

"Siapa bilang? Ngawur! Sudah tujuh belas lebih, hampir delapan belas aku'"

"Ya itulah, masih kanak-kanak kataku."

"Setan kau. Delapan belas tahun kau-anggap kanak-kanak? Kau baru umur dua puluh enam tahun sudah berlagak tua bangka. Biarlah kusebut kau lopek (paman tua) kalau begitu. Heh, Lopek yang sudah pikun, kenapa kau tadi memondongku? Siapa yang beri ijin kepadamu?" Yo Wan panas perutnya. Masa ia disebut lopek? Ngenyek (ngece) benar bo-cah ini! la mengebut-ngebutkan ujung lengan bajunya pada leliernya, seakan-akan kepanasan, memang ada rasa panas, tapi bukan di kulit melainkan di hati. Lalu ia memilih akar yang bersih, akar pohon besar yang menonjol keluar dari tanah. Didudukinya akar itu tanpa menjawab pertanyaan Siu Bi.

"He, Lopek' Apakah kau sudah terlalu tua sehingga telingamu sudah setengah tuli?" bentak Siu Bi dengan suara nyaring.
"Kau anak kecil jangan kurang ajar terhadap orang tua. Duduklah, anakku, duduk yang baik dan kakekmu akan mendongeng, kalau kau mendengarkan baik-baik, nanti kuberi mainan."

Siu Bi meloncat-loncat marah. "Nak-nak-nak? Aku bukan anakmu, aku bukan cucumu. Jangan sebut nak, aku bukan anak kecil'" la menjerit-jerit, kedua pipinya merah padam, kemarahannya melewati takaran.

Yo Wan bersungut-sungut, "Kalau kau bukan anak kecil, aku pun bukan kakek-kakek yang sudah tua renta, kenapa kau-sebut aku lopek?"

"Kau yang mulai dulu"

"Siapa mulai? Kau yang mulai," jawab Yo Wan mulai mendongkol hatinya.

"Kau yang mulai."

"Kau."

"Kau! Kau! Kau! Nah, aku bilang seribu kali, kau yang mulai, mau apa?", Siu Bi menantang. Yo Wan mengeluh, lalu menarik napas panjang, menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar dara lincah nakal ini telah menyeretnya kembali ke alam kanak-kanak dan berhasil mengaduk isi dada dan isi perutnya menjadi panas. Sepuluh tahun ia bertapa di Himalaya menguasai tujuh macam perasaan, sekarangperasaan-nya diawut-awut oleh gadis remaja ini.

"Dibebaskan dari bahaya, dipondong sampai setengah malam suntuk, tahu-tahu upahnya hanya diajak bertengkar. Di dunia ini mana ada aturan bocengli tidak benar macam ini?" Ia mengomel panjang pendek.

"Siapa suruh kau mondong aku? Si-apa? Aku tidak sudi kaupondong, tahu?"
"Tidak sudi masa bodoh, pokoknya aku gudah nnemondongmu sampai setengah malam, tangan dan pundakku sampai njarem (pegel) rasanya".
Siu Bi makin marah, kedua tangannya dikepal,
"Aku tidak sudi, tidak sudi, ti-dak sudi! Hayo jawab, kenapa kau memondongku? Kalau kau tidak jawab, jangan menyesal kalau aku marah dan menghajarmu. Aku Cui-beng Kwan Im, ingat?"
"Kenapa aku memondongmu? Habis kalau tidak dipondong, apa minta digendong? Atau harus kuseret? Kau dikepung, berada dalam bahaya maut, tapi masih membuka mulut besar.

Tak tahu diri benar!"

"Biar aku dikepung, biar dicengkeram maut, apa pedulimu? Aku tidak sudi pertolonganmu, mengapa kau tolongaku?"
"Aku pun tidak bermaksud menolongmu. Aku hanya tidak senang melihat seorang gadis dikeroyok oleh para pengawal jenderal itu, maka aku berusaha menggagalkan pengeroyokan tnereka dah membawamu pergi." Siu Bi seakan-akan tidak mendengarkan omongan Yo Wan, ia termenung lalu berkata penuh penyesalan,
"Celaka betul, karena kau membawaku pergi, pedangku hilang! Ah, Cui-beng- kiam itu tentu ketinggalan di tempat pertempuran dan....." Siu Bi menghentikan kata- katanya karena melihat sinar kehitaman ketika pedang itu dicabut oleh Yo Wan dari balik jubahnya. Tanpa berkata sesuatu Yo Wan memberikan pedang kepada Siu Bi yang eepat menyambarnya.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed