Skip to main content

Jaka Lola 14 -> karya : kho ping hoo

Karena sikap Bun Hui ramah dan halus sopan, Siu Bi mengalah. la pikir, tidak ada gunanya mengamuk di sini. la melihat jenderal mata satu itu amat berwibawa, juga tampaknya gagah perkasa, demikian pula pemuda ini. Dan di situ tampak barisan pengawal yang ber-senjata lengkap, sungguh tak boleh di-pandang ringan. Melawan seorang pem-besar tinggi sama dengan memberontak, pengetahuan ini sedikit banyak ia dapatkan dari ayah dan mendiang kakek gurunya.
"Boleh, andaikata tidak dikembalikan, apakah aku tidak akan dapat mengambilnya kembali?"
katanya sambil meloloskan pedang berikut sarung pedangnya. Pedang Cui-beng-kiam ia letakkan di atas meja depan Bun-goanswe yang memandangnya penuh selidik. Bun-goanswe memerintah orang-orangnya untuk menggiring Bhong Ciat dan enam orang petani ke dalam kamar tahanan, kemudian setelah semua orang itu dibawa pergi, dia berkata kepada puteranya, "Bawa Nona ini ke kamar tahanan di belakang, suruh jaga, jangan boleh dia bermain gila sebelum urusan ini selesai."
Mendongkol juga hati Siu Bi mendengar ini, "Orang tua, kuharap saja besok urusan ini sudah harus selesai. Aku tidak punya banyak waktu untuk tinggali sini, apalagi menjadi orang tahanan. Aku mempunyai urusan penting di Liong thouw-san!"
Mendengar ini makin terkejutlah Bun-goanswe. Liong-thouw-san adalah tempat tinggal Pendekar Buta, sahabat dan penolongnya. Mau apa murid Hek Lojin ini pergi ke Liong-thouw-san?
"Hemrnm, ke Liong-thouw-san, ada urusan apakah? Atau, kau tidak berani mengatakan kepadaku karena di sana hendak melakukan sesuatu yang jahat?" Ternyata jenderal ini mempergunakan akal seperti yang digunakan puteranya, memancing dengan menggunakan ketinggian hati gadis itu!
"Mengapa tidak berani? Apa yang hendak kulakukan di sana, siapapun di dunia ini tidak bisa melarangku! Aku akan..... membuntungi lengan beberapa orang di sana!"
Gadis itu memandang Bun-goanswe dengan pandang mata berkata, "kau mau apa!"
Bun-goanswe tercengang. "Lengan siapa yang hendak kaubuntungi lagi? Agaknya kau mempunyai penyakit ingin membuntungi lengan orang!" serunya, akan tetapi tanpa dijawab dia sudah dapat menduga. Lengan siapa lagi kalau bukan lengan Pendekar Buta yang akan dibuntungi gadis itu? la sudah mendengar tentang pertempuran hebat antara Pen-dekar Buta dan mUsuh-musuhnya, dan betapa lengan Hek Lojin buntung dalam pertandingan itu oleh Pendekar Buta. Mengingat betapa gadis yang masih hijau ini mengancam hendak membuntungi lengan Pendekar Buta, tak dapat ditahan lagi Bun-goanswe tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kau hendak membuntungi lengannya dengan pedang ini?" la mencabut pedang itu dan tiba-tiba dia terbelalak. Pedang itu adalah pedang yang mempunyai sinar hitam dan mengandung hawa dingin yang jahat.
biam-diarr dia bergidik dan memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya. "Hui-ji (anak Hui), antarkan ia ke dalam tahanan besar."
"Mari, Nona," ajak Bun Hui yang mukanya berubah pucat.
Pemuda ini tadi juga kaget sekali mendengar maksud gadis ini pergi ke Liong-thouw-san untuk membuntungi lengan orang. la telah mendengar dari ayahnya; tentang Pendekar Buta, pendekar besar yang menjadi sahabat dah penolong ayahnya, orang yang paling dihormati ayahnya di dunia ini. Dan gadis ini hendak pergi ke sana membuntungi lengan pendekar itu! la mengerti kehendak ayahnya, gadis ini ber-bahaya dan merupakan musuh besar Pendekar Buta, harus ditahan di dalam ka-mar tahanan besar, yaitu kamar tahanan di belakang yang paling kuat, berpintu besi dengan jeruji baja yang amat kuat, cukup kuat untuk mengeram seekor harimau yang liar
sekalipun! Bun Hui berduka. la amat tertarik kepada gadis ini, ingin dia melihat gadis ini menjadi sahabat baik, melihat gadis ini berbahagia. Siapa duga, keadaan meng-hendaki lain. Gadis ini harus dikeram dalam kamar tahanan, dan justeru dia yang harus melakukannya. la sedih, akan tetapi tanpa bicara sesuatu dia mengan-tarkan Siu Bi ke belakang. Gadis itu pun tanpa banyak cakap mengikuti, menga-gumi gedung besar yang menjadi kantor dan rumah tinggal Jenderal Bun.
"Silakan masuk, Nona. Jangan khawatir, ayah adalah seorang yang adil. Nona akan diperlakukan dengan baik,"" katanya, akan tetapi suaranya agak gemetar karena dia tidak percaya kepada omongannya sendiri.
Begitu Siu Bi masuk, pintu ditutup dan dikunci dari luar oleh Bun Hui Siut Bi kaget dan marah. "Kenapa harus dikurung seperti binatang liar? Tempat apa ini?" teriaknya.
Bun Hui menjawab sambil menunduk. "Nona, aku menyesal sekali. Akan tetapi, kau..... kau....." Bun Hui tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan segera lari pergi dari situ, wajahnya pucat, napasnya terengah dan dia langsung lari ke kamarnya untuk menenteramkan hatinya yang tidak karuan rasanya.
Siu Bi membanting-banting kedua kakinya. Didorongnya daun pintu, akan tetapi daun pintu yang dicat seperti daun pintu kayu itu ternyata terbuat darH pada besi yang amat kuat. la memeriksa ruangan tahanan itu, cukup luas, akan tetapi di kanan kiri tembok tebal di sebelah belakang terbuka dan dihaiangi jeruji baja yang besar dan kokoh Kuat.
Tak mungkin dia dapat merusak pintu atau jeruji untuk membebaskan diri hanya mengandalkan tenaganya saja. Namun Siu Bi masih penasaran. la mengerahkan tenaga Hek-in-kang, lalu menghantamkan kedua tangan ke arah jeruji. Terdengar suara berdengung keras dan bergema, seluruh kamar tahanan itu tergetar, namun jeruji tidak menjadi patah.
la mencoba pula untuk menarik jeruji agar lebar lubangnya supaya ia dapat lolos keluar, namun sia-sia. jeruji baja itu amat kuat dan tenaga gwakang (tenaga luar) yang ia miliki tidak cukup besar. Tenaga Iweekang (tenaga dalam) memang tiada artinya lagi kalau menghadapi benda mati yang tak dapat bergerak seperti pintu dan jeruji yang terpasang
mati di tempat itu.
Siu Bi membanting-banting kedua kakinya, berjalan hilir-mudik seperti seekor harimau liar yang baru saja di-masukkan kerangkeng. Biarpun besok ia akan dibebaskan, ia merasa terhina de-ngan dimasukkan dalam kamar tahanan seperti kerangkeng binatang ini. Sore hari itu, ttanya beberapa jam kemudian, seorang pengawal datang dan mengulur-kan
sebuah baki terisi mangkok nasi dan masakan, juga nmnuman yang cukup ma-hal. Namun
hampir saja pengawal itu remuk lengannya kalau saja dia udak cepat-cepat menariknya keluar karena Siu Bi sambil memaki telah menerkam" tangan itu untuk dipatahkan! Siu Bi marah sekali, memaki-maki sambil menyambar baki dan isinya. Mangkok dan sumpit beterbangan menyambar keluar dari sela-sela jeruji, menyerang pengawal itu yang lari tunggang-langgang! Siu Bi makin ? jengkel kalau mengingat betapa dia me-nyerahkan pedangnya kepada Jenderal Bun. Andaikata pedang Cui-beng-kiam berada di tangannya, tentu dia dapat membabat putus jeruji-jeruji ini.
Malam tiba dan Siu Bi menjadi agak tenang. la akhirnya berpendapat bahwa semua kemarahannya itu tiada gunanya sama sekali. Tubuhnya menjadi letih, pikirannya bingung dan..... perutnya lapar! Mengapa ia tidak menerima sabar saja sampai besok. Kalau ia sudah bebas dan mendapatkan pedangnya kembali, mudah saja baginya untuk mengumbar nafsu
amarah. Sedikitnya ia akan memaki-maki jenderal dan puteranya itu sebelum ia melanjutkan perjalanannya.
Pikiran ini membuat ia tenang. Dibaringkannya tubuhnya yang amat lelah itu di atas sebuah dipan kayu yang berada di ujung kamar tahanan. Lebih baik mengaso dan memulihkan tenaga, siapa tahu besok ia harus menggunakan banyak tenaga, pikirnya. la lalu bangkit dan duduk bersila, bersamadhi mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasan.
"Nona...... maafkan aku....."
Sejak tadi memang agak sukar bagi Siu Bi untuk dapat bersamadhi dengan tenang. Perutnya amat terganggu, ber-keruyuk terus! la membuka mata dan menoleh. Biarpun tahanan itu buruk, sedikitnya di. waktu malam tidak gelap, mendapat sinar . lampu besar yang dipasang di luar. Bun Hui berdiri di luar jeruji, membawa sebuah baki terisi makanan dan minuman.
"Mau apa kau?" bentak Siu Bi timbul kembali kemarahannya.
"Nona, maafkan kalau tadi pelayan yang mengantar makanan kurang sopan. Sekarang aku sendiri yang mengantar makanan dan minuman, harap Nona sudi menerima. Tak baik membiarkan perut kosong. Silakan, Nona." Dengan kedua tangannya Bun Hui mengulurkan dan memasukkan baki itu ke dalam kamar tahanan melalui sela-sela jeruji yanp cukup lebar untuk dimasuki baki yang, kecit panjang itu. Sejenak timbul niat di hati Siu Bl untuk membikin celaka pemuda putera Jenderal Bun ini dengan menangkap dan mematahkan kedua lengannya. Akan tetapi segera niat ini diurungkan ketika dia memandang wajah yang ramah, tampan dan kelihatan agak bersedih ini.
"Ayahmu menahanku dalam kerangkeng, mengapa kau pura-pura berbaik hati kepadaku? Jangan kira kau akan dapat menyuapku hanya dengan rnakanan dan minuman. Apa artinya kau mengantar sendiri ini? Hayo katakan. kalau hendak menyuap, lebih baik aku mati elaparan!"
"Ah, kau terlalu berprasangka yang bukan-bukan dan yang buruk terhadap diriku, Nona. Di antara kita tidak ada permusuhan, mengapa kami akan mencelakakanmu? Hanya karena persoalan ini baru beres besok, terpaksa ayah menahanmu, juga lurah Bhong dan para saksi. Harap Nona suka memaafkan aku dan suka bersabar untuk semalam ini."
รข€Hemmmm, begitukah? Muak aku akan segala aturan dan hukum ini!" kata Siu Bi, akan tetapi suaranya tidak seketus tadi. Bun Hui girang hatinya, lalu berkata,
"Silakan makan, Nona, aku tidak akan mengganggumu lagi." Dan pemuda itu segera pergi dari situ. Andaikata pemuda itu tetap berada di tempat itu, agaknya Su Bi takkan sudi menyentuh makanan dan minuman itu. Akan tetapi sekarang, ditinggalkan seorang diri, matanya mulai melirik baki dan melihat masakan mengebulkan uap yang sedap dan gurih, perutnya makin menggeliat-geliat. Setelah celingukan ke kanan kiri dan yakin bahwa di situ tidak ada orang yang melihatnya, mulailah Siu Bi makar Setelah kenyang, ia sengaja melemparkan baki dan semua isinya keluar jeruji sehingga pecahlah mangkok-mangkok itu, isinya, yaitu sisa yang ia makan, tumpah tidak karuan. Dengan begitu, takkan ada yang tahu apakah tadi ia makan dan minum isi baki ataukah tidak!
Suara berisik ini diikuti datangnya Bun Hui. "Kenapa.....! kenapa kau buang makanan dan minuman itu, Nona?"
"Ih, siapa sudi?" Siu Bi tidak melanjutkan kata-katanya dan diam-diam ia mengusap pinggir mulutnya dengan lengan baju.
"Nona, maafkan aku. Aku sengaja datang untuk bicara sedikit denganmu."
"Mau bicara, bicaralah, mengapa ba-t' nyak cerewet?" Siu Bi sengaja bersikap galak.
Pemuda itu makin bingung dibuatnya, tampak maju mundur untuk mengeluarkan isi hatinya. "Nona Siu Bi, aku tidak tahu mengapa kau berniat mengacau ke Liong-thouw-san. Akan tetapi, ketahuilah bahwa yang tinggal di sana adalah pendekar besar Kwa Kun Hong yang terkenal dengan julukan Pendekar Buta. Beliau seorang pendekar besar yang menjagoi dunia persilatan, tidak hanya terkenal karena kesaktiannya, juga karena kegagahan dan pribudinya. Oleh karena itu Nona, kuharap dengan sangat, apa pun juga alasan, kau batalkan niatmu itu.
Siu Bi melotot. "Apa? Apa peduhmu? Apamukah Pendekar Buta?"
"Bukan apa-apa, hanya dia satu-satunya manusia yang paling dihormati ayah!
"Wah, celaka! Aku masuk perangkap musuh! He, orang she Bun. kalau memang kau dan ayahmu orang-orang gagah, kalau memang mau membela Pendekar Buta, hayo lepaskan aku, kembalikan pedangku dan kita bertempur secara orang-orang gagah. Mengapa menggunakan akal curang untuk menahanku dsini?"
"Wah, harap Nona bersabar dan jangan salah sangka. Maksudku hanya untuk menolongmu keluar daripada kesulitan, Nona. Aku tidak akan mencempuri urusanmu dengan siapapun juga, sungguhpun sedih hatiku melihat kau memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san. Maksudku, kalau saja besok kau suka berkata kepada ayah bahwa kau membatalkan niatrnu memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san, tentu kau akan mudah dibebaskan. Setelah bebas, terserah ke-padamu. Ini hanya untuk menolongmu, Nona.,..."
"Ihhh, apa maksudmu dengan pertolonganmu ini? Hayo bilang, orang she Bun, jangan bersembunyi di balik kata-kata manis. Kenapa kau begini ngotot hendak menolongku?"
Wajah pemuda itu merah seluruhnya. Sukar sekali menjawab pertanyaan yang merupakan penyerangan tiba-tiba ini. "Kenapa? Ah...... kenapa, ya? Aku sendiri tidak tahu pasti, Nona...... hanya agaknya..... aku tidak suka melihat kau mendapatkan kesukaran. Aku kagum ke-padamu, Nona..... aku..... aku ingin menjadi sahabatmu. Nah, itulah! Aku ingin menjadi sahabat baikmu karena aku kagum dan suka padamu."

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed