Skip to main content

Jaka Lola 12 -> karya : kho ping hoo

Akan tetapi dua orang mandor itu tidak berpendapat dermkian. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, yang tahu akan wanita-wanita pandai ilmu silat seperti Siu Bi. Mereka malu dan marah sekali, akan tetapi untuk beberapa menit mereka tak berdaya ka-rena ketika terbanting tadi, muka mere-ka mencium lumpur sehingga sibuk mereka membersihkan lumpur dari mata, hidung, dan mulut, meludah-ludah dan menyumpah-nyumpah.
Empat orang kawan mereka sudah datang berlari, diikuti para pekerja yang ingin melihat apa yang terjadi di situ. Para pekerja ketika melihat teman-temannya berlutut menghadapi Siu Bi dan me-lihat dua orang mandor merangkak dengan muka penuh lumpur seperti monyet, segera mengerti atau dapat menduga duduknya perkara. Tanpa banyak komen-tar lagi mereka segera menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukkan ke-pala kepada Dewi Kwan Im yang menjelma sebagai gadis cantik dan sedang menolong mereka itu!
Empat orang mandor tadinya masih belum menduga apa yang terjadi, akan tetapi dua orang mandor yang merangkak di lumpur itu segera berkaok-kaok, 'Tangkap gadis setan itu, berikan padaku nanti'"
Mendengar ini, empat orang mandor lari menghampiri Siu Bi. Seorang di antara mereka yang berkumis tikus mem-bentak, "Bocah, siapa kau dan apa yang kaulakukan dl sini?"
"Apa yang kalian lakukan, bukan apa yang aku lakukan, yang menjadi persoalan," suara Siu Bi merdu dan nyaring sehingga para pekerja miskin itu makin percaya bahwa dara ini, tentulah penjelmaan Kwan Im Pouwsat!
"Kalian berenam ini manusia ataukah binatang-binatang buas, menekan orang-orang miskin ini, mencambuki mereka, menghina wanitanya. Yang kulakukan tadi hanya menendang dua orang kawanmu itu sebagai pelajaran. Kalau kalian serupa dengan mereka, kalian berempat pun akan kuberi tendangan seorang sekali."
Dapat dibayangkan, betapa marahnya empat orang itu. Mereka adalah mandor-mandor jagoan alias tukang-tukang pukul dari Bhong-loya (tuan tua she Bhong) yang menjadi lurah dan manusia paling kaya di Pau-ling. Semua sawah ladang adalah milik Bhong-loya, semua perahu ! besar adalah milik Bhong-loya. Siapa berani menentang Bhong-loya yang mempunyai pengaruh besar pula di kota raja? Para pembesar dari kota raja adalah teman-temannya, para buaya darat adalah kaki tangannya, dan para mandor adalah bekas-bekas jagoan dan perannpok yang memiliki kepandaian. Kini anak perempuan yang masih hijau iru berani memandang rendah mereka?
"Bocah setan, kau harus diseret ke depan Bhong-loya dan ditelanjangi, terus dipecut seratus kali sampai kau menjerit-jerit minta ampun, baru tahu rasa" bentak seorang di antara mereka. Akan tetapi baru saja tertutup mulutnya, tu-buhnya sudah terlempar ke dalam lumpur oleh sebuah tehdangan kaki kiri Siu Bi!
Gerakan Siu Bi tadi cepat bukan ma-in, tendangannya hanya tampak perlahan saja akan tetapi akibatnya terlihat oleh semua orang. Tubuh si tukang pukul yang tinggi besar itu melayang bagaikan sehelai daun kering tertiup angin. Tiga mandor yang lain dengan marah mener-kam maju. Mereka tidak menggunakan aturan perkelahian lagi, karena di sam-ping kemarahan mereka, juga mereka kagum dan tergila-gila akan kecantik-jelitaan yang jarang bandingannya di ota Pau-ling. Maka mereka berusaha mering-kus dan memeluk gadis galak itu untuk memuaskan kemarahan dan kegairahan mereka.
"Brukkk!" tiga orang itu mengaduh karena mereka saling tabrak dan saling adu kepala. Dalam kegemasan tadi, mereka menubruk berbareng, seperti tiga ekor kucing menubruk tikus. Tapi ang ditubruk hilang, yang menubruk saiing beradu kepala. Siu Bi tidak mau bertindak kepalang tanggung. Dengan gerakan yang cepat sekali kedua kakinya menendang dan di lain saat tiga orang tukang pukul itu juga sudah terpelanting masuk ke dalam lumpur di sawah.
"Lopek, mengapa mereka itu amat kejam terhadap kalian?" Siu Bi bertanya kepada seorang petani tua yang berlutut paling dekat di depannya, sama sekali ia tidak peduli lagi pada enam orang mandor yang kini sibuk berusaha membuka mata yang kemasukan lumpur.
"Pouwsat (Dewi) yang mulia...... kami adalah petani-petani dusun yang sengsara dan miskin..... tolonglah kami, karena sekarang sekedar untuk dapat makan kami telah diperas dan ditekan oleh Bhong-loya..... mereka itu adalah tukang-tukang pukul Bhong-loya....."
"Tan-pek, kenapa kau begitu lancang mulut.....?" tegur seorang petani di belakangnya yang nampak ketakutan sekali.
"Apa kau tidak takut akan akibatnya kalau Pouwsat sudah kembali ke kahyangan?"
Siu Bi menahan senyum geli hatinya mendengar bahwa ia disebut Pouwsat. Dianggap Kwan Im! Mengapa tidak? Kwan Im Pouwsat adalah seorang dewi yang penuh kasih terhadap manusia. Kata kong-kongnya, dunia kang-ouw banyak orang-orang pandai yang rnempunyai nama julukan. Dia telah mewarisi kepandaian tinggi, sudah sepatutnya mempunyai nama julukan pula. Kwan Im? Nama julukan yang baik sekali.
"Jangan takut. Aku akan membela kalian dan memberi hajaran kepada mereka yang jahat. Apakah mandor-mandor ini jahat terhadap kalian?"
"Jahat?" Petani tua yang disebut Tan-lopek oleh temannya tadi mengulang kata-kata ini, mukanya memperlihatkan bayangan kemarahan yang memuncak.
"Mereka itu lebih jahat daripada Bhong-loya sendiri! Mereka itu seperti serigala-serigala kelaparan, entah berapa banyak dl antara kami yang mereka bunuh, mereka aniaya menjadi manusia-manusia cacad dan selanjutnya hidup sebagai jembel."
Makin panas hati Siu Bi. Orang-orang jahat yang suka menganiaya dan mem-bunuh orang patut dihukum, pikirnya. Ketika ia membalikkan tubuh ke arah enam orang mandor itu, ternyata rnereka sudah bangkit dari lumpur, berhasi? mencuci muka dengan air sawah, lalu kini mereka melangkah lebar sambil mencabut pedang. Dengan sikap mengancann mereka menghampiri Siu Bi, pedang di tangan, nafsu membunuh tampak pada mata mereka yang merah.
"Setan betina. Berani kau main gila dengan para ngohouw (tukang pukul) dari Bhong-loya? Bersiaplah untuk mampus dengan tubuh tercincang hancur!" teriak si kumis tikus sambil menerjang lebih dulu dengan ayunan pedangnya.
Melihat gerakan mereka, Siu Bi memandang rendah. Mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan kekuasaan saja, sama sekali tidak memiliki ilmu kepandaian yang berarti. Oleh karena ini ia merasa tak perlu harus menggunakan pedangnya. Tanpa mencabut pedang, ia menghadapi serangan si kumis tikus. Dengan ringan ia miringkan tubuh, tangan kirinya menyambar. Pada waktu itu, tangan kiri Siu Bi telah terlatih dan penuh terisi hawa Hek-in-kang. Ada bayangan sinar hitam berkelebat ketika tangan kirinya bergerak. Tahu-tahu si kumis tikus berteriak keras dan terpelanting roboh, pedang di tangan kanannya sudah berpindah ke tangan Siu Bi. Cepat bagaikan kilat menyambar, pedang itu membabat ke bawah dan buntunglah tangan kanan si kumis tikus itu sebatas siku. Orangnya menjerit dan pingsan!
Lima orang kawannya segera menerjang dengan marah. Namun kali ini Siu Bi tidak inau memberi ampun lagi. Pedang rampasan di tangannya berkelebatan dan .lenyap bentuknya sebagai pedang, berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Jerit susul-menyusul dan dalam beberapa jurus saja, lima orang itu sudah kehilangan lengan kanan mereka sebatas siku. Agaknya, teringat akan janjinya kepada kakeknya, Hek Lojin, gadis ini kalau marah terdorong oleh nafsu membuntungi lengan orang, terutama orang-orang jahat, seperti enam orang mandor inl, seperti Pendekar Buta Kwa Kun Hong dan anak isterlnya! Dengan tenang Siu Bi membalikkan tubuh menghadapi para petani yang masih berlutut dan yang kini semua pucat wajahnya karena ngeri menyaksikan peristiwa pembuntungan enam orang mandor itu. Di dalam hati mereka puas karena ada "Sang Dewi" yang membalaskan dendam mereka terhadap mandor-mandor yang kejam itu, akan tetapi mereka juga amat takut akan akibatnya. Alangkah akan marahnya Bhong-loya, pikir mereka.
"Para paman dan bibi, jangan kalian takut. Sekarang mari antarkan aku ke rumah orang she Bhong yang sewenang-wenang itu, jangan takut, aku akan menanggung semua perkara ini, kalian hanya mengantar dan menonton saja."
Mula-mula para petani itu ketakutan. Mendatangi rumah Bhong-loya? Sama dengan mencari penyakit, mencari celaka. Akan tetapi petani tua itu bangkit berdiri.
"Mari, Pouwsat, saya antarkan. Biar aku akan dipukul sampai mati, aku sudah puas melihat ada yang berani membela kami dan memberi hajaran kepada manu-sia-manusia berwatak binatang itu."
Melihat semangat, empek tua ini banyak pula yang ikut bangkit. Akan tetapi hanya beberapa belas orang saja dan semua laki-laki. Yang lain-lain tetap berlutut tak berani mengangkat muka. Akan tetapi bukan maksud Siu Bi untuk mengajak banyak orang, karena yang ia kehendaki hanya petunjuk jalan agar ia tidak usah mencari-cari di mana rumah manusia she Bhong itu.
Dengan wajah membayangkan perasaan geram dan nekat, belasan orang laki-laki yang sebagian besar bertelanjang kaki dan berpakaian penuh tambalan itu mengantar Siu Bi menuju ke dalam dusun. Rombongan ini tentu saja menarik perhatian banyak orang, apalagi ketika mereka mendengar dari para pengiring Siu Bi tentang perbuatan gadis jelita itu membuntungi lengan enam orang mandor di sawah. Gempar seketika keadaan dusun Pau-ling, lebih-lebih ketika para petani miskin itu menyatakan. tanpa keraguan bahwa dara jelita yang mereka iringkan ini adalah penjelmaan Kwan Im Pouwsat! Segera banyak orang ikut meng-iringkan walaupun dari jarak agak jauh sebagai penonton karena mereka tidak ingin menimbulkan kemarahan Bhong-loya, maka tidak menggabungkan diri dengan rombongan petani itu, melainkan sebagai rombongan penonton. Gedung besar yang menjadi tempat tinggal Bhong-loya memang amat besar dan amat menyolok kalau dibandingkan dengan kemelaratan di sekelilingnya. Bhong-loya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, menjadi lurah di du-sun itu sudah bertahun-tahun. Karena korupsi besar-besaran dan penghisapan atas tenaga murah para tani yang sebagian besar dahulunya merupakan pelari-an daripada banjir besar Sungai Huang-ho, maka dia menjadi kaya.raya. Betapa-pun juga, harus diakui bahwa Bhong-loya (tuan tua Bhong) yang sebenarnya ber-hama Bhong Ciat itu tidaklah seganas dan sekeji orang-orangnya. Bukan menjadi rahasia lagi bahwasannya anjing-anjing peliharaan penjaga rumah jauh lebih ga-lak dan ganas daripada majikannya. Para petugas rendahan merupakan serigala-serigala buas yang selalu mengganggu rakyat miskin, tentu saja dengan bersandar kepada kekuasaan dan pengaruh Bhong Ciat. Ransum untuk para pekerja kasar yang sudah ditentukan oleh Bhong Ciat, hanya sebagian kecil saja sampai di tangan para pekerja itu. Upah pun demikian pula, dicatut, dipotong, dikurangi banyak tangan-tangan kotor sebelum sisanya yang tidak berapa itu masuk ke kantong para pekerja. Celakanya, Bhong Ciat sudah terlalu mabuk akan kesenangan dan kemuliaan, sama sekali tidak memperhatikan keadaan rakyatnya, sama sekali tidak tahu bahwa orang-orangnya melakukan tekanan yang amat keu,di-kiranya bahwa semua berjalan lancsr dan licin, dan dia merasa bahagia di dalam rumah gedungnya, setiap hari menikmati makanan lezat dilayani oleh .selir-selir muda dan cantik. Lebih celaka lagi bagi para penduduk miskin di Pau-ling, lurah Bhong itu mempunyai seorang anak laki-laki, bukan anak sendiri melainkan anak pungut karena Bhong Ciat tidak mempunyai keturunan sendiri, seorang anak laki-laki yang sudah dewasa bernama Bhong Lan. Pe-muda inilah yang membuat keadaars men-jadi makin berat bagi para penduduk karena Bhong Lam merupakan pemuda yang selalu mengumbar nafsu-nafsu buruknya. Tidak ada seorang pun wanita yang muda dan cantik di dusun itu yang dapat hidup aman. Tidak peduli anak orang, isteri orang, siapa saja asal gadis itu termasuk keluarga miskin, pasti akan dicengkeramnya. Untuk maksud-maksud keji ini, Bhong Lam tidak segan-segan menghambur-hamburkan uang ayah angkatnya. Setiap hari dia berpesta-pora kadang-kadang kalau sudah bosan di dusun lalu pergi pesiar ke kota-kota lain diikuti rombongan tukang pukulnya dan di kota. Inilah dia menghamburkan uang dan main gila. Bhong Lam tidak hanya ditakuti karena dia putera angkat Bhong-loya, akan tetapi juga karena dia merupakan seorang pemuda yang lihai ilmu silatnya. la pernah belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim perantauan, dan terutama sekali permainan toyanya amat kuat dan semua tukang pukul keluarga Bhong tidak seorang pun dapat mengalahkannya. Agaknya kepandaian inilah yang membuat Bhong Lam makin bertingkah, merasa seakan-akan dia sudah menjadi seorang pangeran!
Sebagai keluarga yang paling berkuasa di Pau-ling, tentu saja banyak kaki tangannya. Banyak pula petani-petani miskin yang berbatin rendah sehingga suka menjadi penjilat. Oleh karena itu, peristiwa di sawah tadi sudah pula sampai kabarnya di rumah gedung Bhong Ciat sebelum rombongan yahg mengiringkan Siu Bi tiba di situ. Ada saya petani miskin yang lari lebih dulu dan dengan mak-sud menjilat mencari muka, melaporkan kepada Bhong-loya. Pada saat itu, ke-betulan sekali Bhong Lam juga berada di rumah. Mendengar tentang peristiwa itu» marahlah pemuda ini. Cepat dia me-nyambar toyanya dan menyatakan kepada ayah angkatnya bahwa orang tua itu tidak perlu khawatir karena dia sendiri yang akan memberi hajaran kepada "dewi palsu" itu. Dengan geram Bhong Lam melompat dan lari keluar dari dalam ge-dung ketika mendengar suara ribut-ribut di luar gedung karena rombongan petani itu memang sudah tiba di sana. Kemarahan Bhong Lam memuncak. Akan dia bunuh wanita jahat itu dan semua petani yang mengiringkannya. Tak seorang pun akan diberi ampun karena hal ini perlu untuk menakuti hati para petani agar tidak memberontak lagi.
"Setan betina, berani kau main gila....?" Bhong Lam melompat keluar sambil menudingkan telunjuknya. Akan tetapi tiba-tiba dia berdiri terpaku dan biarpun telunjuk kirinya masih menuding dan toyanya dipegang di tangan erat-erat, namun matanya terbelalak mulutnya ternganga. la melongo tak dapat nnengeluar-s kan suara memandang wajah Siu Bi bagaikan terpesona dan kehilangan sema-ngat. Sungguh mati dia tidak mengira sama sekali bahwa wanita yang telah membuntungi lengan enam orang man-dornya itu adalah dara secantik bidadari. Pantas saja. disebut-sebut sebagai Dewi Kwan Im! Belum pernah selama hidupnya dia melihat dara secantik ini, kecuali dalam alam mimpi dan dalam gambar. Lebih suka dia rasanya untuk maju ber-lutut dan menyatakan cinta kasihnya daripada harus menghadapi dara ini sebagai lawan yang harus dibunuhnya. Dibunuh? Wah, sayang Lebih baik ditangkap dan..... ah, belum pernah dia mendapatkan seorang dara pendekar'. Alangkah baiknya kalau dia berjodoh dengan gadis yang pandai ilmu silat pula seperti dia! Senyum lebar menghias wajahnya yang tampan juga dan kini mulutnya dapat bergerak.
"Nona..... eh, kau siapakah dan..... eh, kudengar kau bertengkar dengan orang-orang kami? Kalau mereka. berbuat salah terhadap Nona, jangan khawatir, aku yang akan menegur dan menghukum mereka!"
Kalau saja Siu Bi dalam perjalanan ke rumah keluarga Bhong itu tidak men-dengar penuturan petani tua tentang keadaan Bhong Ciat dan putera angkat-nya, Bhong Lam, tentu ia akan terce-ngang dan heran menyaksikan sikap dan mendengar omongan pemuda ini. Karena ia sudah mendengar bahwa pemuda yang menjadi putera angkat keluarga Bhong, seorang ahli main toya, adalah pemuda yang paling jahat dan yang mata kerajang, maka sikap Bhong Lam sekarang ini baginya merupakan sikap ceriwis, bukan sikap ramah tamah. Berkerut aiisnya yang kecil panjang ketika Siu Bi menodongkan pedang rampasannya sambitt bertanya,
"Kaukah yang bernama Bhong Lam?"
"Aduh mati aku...." Bhong Lam bersambat dalam batinnya mendengar suara yang merdu itu. Bertanya dengan nada marah saja sudah begitu merdu, apalagi kalau suara itu dipergunakan untuk merayunya.
"Hayo jawab!" Siu Bi tak saba" lagl melihat pemuda itu memandangnya tak berkedip.
Bhong Lam sadar dan tersenyum di-buat-buat. "Betul, Nona. Silakan Nona masuk."
Pada para petani itu Bhong Lam berseru, "Kalian pergilah, kembali ke sawah. Tidak ada urusan apa-apa di sini. Nona ini adalah tamu agung kami, kesalahfahaman di sawah tadi habis sampai di sini saja."
"Siapa sudi mendengar omongan manismu yang beracun?" Siu Bi membentak.
"Kau seorang yang amat jahat, mengan-dalkan kedudukan orang tua, mengandal-kan harta benda dan kekuasaan untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang. Orang macam engkau ini tidak ada harga-nya diberi hidup lebih lanna lagi."
Memang Siu Bi amat marah dan benci kepada pemuda ini setelah tadi ia mendengar penuturan para petani betapa pemuda ini telah menghabiskan semua gadis muda dan cantik di dusun itu, me-rampasi isteri orang sehingga banyak timbul hal-hal yang mengerikan, banyak di antara wanita-wanita itu membunuh diri. Sekarang melihat sikap pemuda ini yang ceriwis, matanya yang berminyak itu menatap wajahnya dengan lahap, kemarahannya memuncak.
"Nona, antara kita tidak ada permusuhan. Aku mengundang Nona menjadi tamu....."
"Jahanam perusak wanita! Tak usah berkedok bulu domba karena aku sudah tahu bahwa kau adalah seekor serigala yang busuk dan jahat!"
Bhong Lam adalah seorang pemuda yang selalu dihormat dan ditakuti orang. Selama hidupnya, baru sekali ini dia dimaki-maki dan dihina. Biarpun dia tergila-gila akan kecantikan Siu Bi, namun darah mudahnya bergolak ketika dia dimaki-maki seperti itu. Mukanya menjadi merah sekali, apalagi melihat betapa para petani itu masih belum mau pergi, memandang kepadanya dengan mata penuh kebencian.
"Keparat, kau benar-benar lancang mulut, tidak bisa menerima penghormat-an orang. Kaukira aku takut kepadamu? Kalau belum dihajar, belum tahu rasa kau, dan biarlah aku memaksamu tunduk kepadaku dengan jalan kekerasaan!" Se-telah berkata demikian, Bhong Lam menerjang maju sambil memutar toyanya.
Dengan senyum mengejek Siu Bi berkelebat, menghindarkan terjangan toya dan balas menyerang. la mendapat ke-nyataan bahwa kepandaian pemuda ini memang jauh lebih tinggi daripada para mandor dan tukang pukul yang tiada gunanya tadi, namun baginya, pemuda inipun rherupakan lawan yang empuk saja. Pada saat itu, terdengar suara berisik dan para tukang pukul berdatangan ke tempat itu sambil membawa senjata. Tukang-tukang pukul keluarga Bhong ada dua puluh orang jumlahnya, kini mendengar berita bahwa gedung majikan mereka didatangi seorang wanita yang mengamuk, tergesa-gesa mereka lari mendatangi. Ketika mendengar bahwa ada enam orang teman mereka yang dibuntungi lengannya, mereka itu marah sekali. Apalagi ketika melihat betapa Bhong-siauw-ya (tuan muda Bhong) mereka sekarang sedang bertempur melawan wanita itu dan berada dalam keadaan terdesak, kemarahan mereka memuncak dan tanpa diberi komando lagi, empat belas orang tukang pukul itu serentak maju mengeroyok. Siu Bi tadi sudah mendengar keterangan para petani bahwa lurah itu mem-punyai dua puluh orang tukang pukul, maka melihat serbuan ini, maklumlah ia bahwa mereka semua sudah lengkap berkumpul di situ. Memang inilah yang ia kehendaki, maka tadi ia tidak lekas-lekas merobohkan Bhong Lam, yaitu hendak memancing datangnya semua tukang pukul, baru ia hendak turun tangan.
"Para paman, lihatlah aku membaias-kan dendam kalian!" terdengar bentakan merdu dan nyaring di antara hujan senjata itu. Para petani sudah gelisah sekali dan menggigil, maka mereka menjadi girang mendengar suara ini.
Seiring dengan bentakan merdu dan nyaring itu, lenyaplah tubuh Siu Bi, berubah menjadi bayangan berkelebat dibungkus sinar kehitaman. Pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang digunakan oleh gadls itu, dan akibatnya mengerikan se-kali. Jerit dan tangis terdengar susul-menyusul. Tubuh para tukang pukul roboh bergelimpangan satu demi satu dengan cara yang cepat sekali. Paling akhir Bhong Lam yang tadinya mainkan toya dengan ganas itu pun roboh tersungkur tak dapat berkutik lagi. Tidak sampai seperempat jam lamanya, empat belas orang tukang pukul itu roboh semua dengan lengan kanan terbabat putus sedangkan Bhong Lam sendiri roboh tak berkutik, darah mengucur dari dadanya yang sudah tertembus pedang. Mandi darah dan hujan rintihan memenuhi halaman itu. Para petani yang tadinya menonton dengan jantung berdebar, kini tidak be-rani memandang lagi. Mereka adalah kor-ban-korban kekejaman dan sering kali mereka itu disiksa, akan tetapi menyak-sikan ini membuat mereka menggigil dan tidak berani memandang lagi. Mereka memang menaruh dendam dan ingin sekali menyaksikan penyiksa-penyiksa' mereka itu terbalas dan terhukum, namun apa yang dilakukan oleh "Dewi Kwan Im" ini benar-benar amat menyeramkan. Em-pat belas orang dan enam orang mandor di sawah, dibuntungi lengannya sedangkan Bhong-kongcu tewas. Semua tukang pukul merihtih-rintih memegangi lengan kanan yang buntung dengan tangan kiri, bingung melihat darahnya sendiri mengucur se-perti pancuran.
Siu Bi seperti seekor harimau betina mencium darah. Dengan sikap beringas karena mengira bahwa akan datang antek-antek keluarga Bhong, ia menantang, "Hayo, kalau masih ada binatang-binatang keji penindas orang-orang miskin, majulah dan inilah lawanmu, aku Cui-beng Kwan Im!"
Seorang laki-laki setengah tua, Bhong-loya sendiri, yaitu lurah Bhong Ciat, diiringi isterinya, berlari tersaruk-saruk keluar gedung dan menangislah kedua suanm isteri ini setelah melihat putera tunggal mereka menggeletak mandj darah tak bernyawa lagi. Pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan datanglah serombongan orang berkuda. Melihat pakaian mereka, terang bahwa mereka adalah perajurit-perajurit istana, berjumlah dua puluh empat orang, dikepalai oleh seorang muda yang amat gagah dan tampan.
"Minggir! Bun-enghiong (pendekar Bun) datang.....!" teriak orang-orang yang tadinya berkumpul memenuhi tempat itu, menonton kejadian yang hebat di depan gedung lurah Bhong. Pemuda tampan itu memberi tanda dengan tangan menyufuh barisannya ber-henti. Dia sendiri melompat turun dan atas kudanya dan lari memasuki pekarangan. Alisnya yang tebal itu bergerak-gerak, matanya terbelalak heran menyaksikan empat belas orang tukang pukul merintih-rintih dengan lengan buntung serta Bhong-kongcu tewas ditangisi ayah bundanya. Adapun Bhong Ciat, ketika mendengar seruan orang-orang dan melihat pemuda gagah itu, segera menangis sambil menyambut dan berlutut di depan pemuda itu.
"Aduh, Bun-enghiong..... tolonglah kami..... malapetaka telah menimpa keluarga kami, anak kami tewas..... orang-orang karpi buntung semua lengan me-reka..... penasaran..... penasaran.....'."
"Paman Bhong, siapa yang melakukan perbuatan keji itu?" Si pemuda tampan bertanya, pandang matanya mencari-cari.
"Aku yang melakukan!" tiba-tiba terdengar bentakan halus. Pemuda itu cepat memandang dan dia melongo. Sinar matanya yang tajam itu jelas tidak percaya, dan sampai lama dia memandang Siu Bi. Kemudian dia tersenyum, sama sekali tidak mau percaya ketika dia berkata,
"Nona, harap kau jangan main-main dalam urusan yang begini hebat. Lebih baik Nona tolong memberi tahu siapa mereka yang telah melakukan pengamuk-an seperti ini."
"Siapa main-main? Huh, memberi hajaran kepada anjing-anjing ini saja apa sih sukarnya? Biar ada sepuluh kali mereka banyaknya, semua akan kurobohkan!" Siu Bi menyombong, pedangnya digerakkan melintang di depan dada, gerakan yang amat indah dan gagah. Berubah wajah pemuda tampan itu, sinar matanya menyinarkan kekerasan dan kekagetan.
"Nona siapakah?"
"Huh, baru bertemu tanya-tanya nama segala, mau apa sih? Kau sendiri siapa, lagaknya kaya pembesar, datang-datang main urus persoalan orang lain!"
Pemuda itu memberi hormat sambil menjura, bibirnya tersenyum dan matanya untuk sedetik menyinarkan kegembiraan. "Nona, ketahuilah, aku yang rendah bernama Bun Hui. Bolehkah sekarang aku tahu, siapa Nona?"
"Aku Cui-beng Kwan Im!" jawab Siu Bi berlagak, mengedikkan kepala membusungkan dada dan pandang matanya menantang, memandang rendah, sungguhpun diam-diam dia kagum melihat pemuda yang tampan dan gagah ini,
Bun Hui tercengang. la tahu bahwa »nona itu menggunakan nama samaran, .atau nama julukan. Julukan yang hebat. Memang cantik jelita seperti Kwan Im, dan ganas seperti setan pengejar nyawa! la mengingat-ingat. Sudah banyak dia mengenal tokoh-tokoh dunia kang-ouw, lebih banyak lagi yang sudah dia dengar namanya, namun belum pernah dia mendengar nama julukan Cui-beng Kwan Im! Apalagi kalau yang punya nama itu seorang dara jelita seperti ini!
Sementara itu, petani tua yang tadi mempelopori kawan-kawannya kini mendekati Siu Bi dan berbisik, "Pouwsat (dewi), dia itu adalah Bun-enghiong, putera Bun-goanswe (Jenderal Bun) yang amat berkuasa di kota raja dan terkenal sebagai keluarga yang amat adil dan.ditakuti pembesar macam Bhong-loya."
Siu Bi mengangguk-angguk, akan tetapi hatinya mendongkol. Jadi pemuda ini putera pembesar tinggi yang ditakuti semua orang? Hemmm, dia tidak takut!
"Eh, orang she Bun, kiranya kau putera pembesar yang katanya adil? Huh, siapa sudi percaya? Kalau kau atau ayahmu benar adil, tentu tidak akan membiarkan para penduduk miskin dusun ini ditekan dan dicekik oleh lurah Bhong dan kaki tangannya. Karena kau dan ayahmu, biarpun merupakan pembesar-pembesar tinggi, tidak becus memberi hajaran kepada bawahanmu macam anjing-anjing ini, maka aku yang turun tangan memberi hajaran. Sekarang kau mau apa?' Mau membela mereka? Boleh! Aku tidak takut!"
Bun Hui terheran-heran dan diam-diarn dia amat kagum di samping ke-marahannya akan kesombongan dara ini. Ia menoleh ke arah Bhong Ciat yang masih berlutut, lalu bertanya, "Betulkah apa yang dikatakan Nona ini, paman Bhong?"
Bhong Ciat adalah seorang yang pandai mengambit hati, karena kekayaannya dia pandai bermuka-muka sehingga banyak pembesar di kota raja dapat dikelabuhi, mengira dia seorang baik dan pandai mengurus kewajibannya. Tadinya Bun Hui juga mendapat kesan baik akan diri lurah ini, maka hari itu dia hendak membelokkan tugas kelilingnya ke dusun Pau-ling.
"Bohong, Bun-enghiong, Nona itu mengatakan fitnah!" Bhong Ciat cepat membantah.
"Siapa yang menindas orang? Harap tanyakan saja kepada para saudara petani."
Akan tetapi belum juga Bun Hui me-lakukan pertanyaan, para petani itu serempak berteriak-teriak, "Memang betul ucapan Pouwsat! Bertahun-tahun kami ditindas dan hidup sengsara di bawah telapak kaki Bhong-kongcu dan kaki ta-ngannya yang kejam! Bhong-loya tidak tahu apa-apa, enak-enak saja di dalam gedung tidak peduli, akan keganasan puteranya, selalu berfihak kepada putera-nya!" Biarpun orang-orang itu bicara tidak karuan dan saling susul-menyusul, namun isi teriakan-teriakan itu adalah cukup bagi Bun Hui. la kini menghadapi Siu Bi kembali, yang masih berdiri tegak menantang.
"Nah, apakah kau masih hendak me-mihak lurah yang bejat moralnya ini? Boleh, aku tetap berfihak kepada mereka yang tertindas!"
"Sabar, Nona. Aku tidak berfihak kepada siapa-siapa, melainkan berfihak kepada hukum. Ketahuilah, oleh yang mulia kaisar, ayahku diberi tugas untuk meneliti dan mengawasi sepak-terjang para petugas negara. Sekarang, sebagai wakil ayah, aku menghadapi peristiwa ini. Bukanlah kewajibanku untuk mengambil keputusan di sini, khawatir kalau- kalau aku terpengaruh oleh salah satu fihak dan dianggap tidak adil. Oleh karena itu, aku persilakan Nona suka ikut bersamaku, juga paman Bhong, dan beberapa orang saudara tani sebagai saksi. Beranikah Nona menghadapi pemeriksaan pengadilan yang berwenang?"
Biarpun masih muda, baru dua puluh lewat usianya, Bun Hui memiliki kecerdikan yang berhubungan dengan tugasnya mewakili ayahnya. Oleh kecerdikannya ini dia dapat menghadapi Siu Bi. la dapat menyelami watak dara lincah yang tidak mungkin mau mengalah itu, maka sengaja dia menantang apakah Siu Bi berani menghadapi pemeriksaan pengadilan. Benar saja dugaannya, dengan mata berapa gadis itu membentaknya,
"Mengapa tidak berani? Hayo, bia» malaikat sendiri datang mengadili, aku tidak takut karena aku membela keadil-an!" serunya.
"Bagus sekali!" Bun Hui berseru girang, "Nona betul gagah perkasa. Banyak orang kang-ouw yang tidak mau tahu akan pemeriksaan pengadilan negara, seakan-akan mereka itu tidak bernegara, dan tidak mengenal hukum. Mereka suka menjadi hakim sendiri menurut kehendak hati, sehingga terjadilah balas-membalas dan permusuhan di mana-mana."
Siu Bi mengerutkan keningnya. Ini tidak menyenangkan hatinya, karena ia sendiri menganggap dirinya seorang tokoh kang-ouw pula, biarpun belum ternarna. "Karena mereka itu tidak berani!" seru-nya, ingin menang.
"Memang, karena nnereka itu tidak berani, dan Nona tentu saja berani menghadapi apa saja."
"Tentu aku berani, takut apa? Kalau aku tidak bersalah, siapapun juga akan kulawan dan kuhadapi dengan pedangku!"
Bun Hui tersenyum dan segera mem^ beri perintah kepada anak buahnya untuk menyiapkan kuda. la sendiri lalu memberikan kudanya kepada Siu Bi. "Mari, Nona, kita berangkat."
Kepada para petani yang tidak ikut menjadi saksi, dia berkata, "Paman sekalian harap rawat mereka yang terluka. Mulai saat ini di dusun Pau-ling tidak boleh terjadi keributan, tidak boleh ada yang mengguna-kan kekerasan. Kalau terjadi sesuatu penasaran, harap lapor kepadaku."

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed