Demikianlah, dengan hati marah.Hek Lojin keluar dari kota raja untuk mengejar Kun Hong.Dia hendak membuktikan kesanggupannya, hendak membuktikan omongannya. Dia yakin bahwa dengan mudah dia akan dapat membunuh burung rajawali dan lebih mudah lagi menawan pemberontak buta yang sudah amat takut terhadapnya itu. Karena mendongkol kepada sutenya yang menjadi tosu, mendongkol pula kepada Bhok Hwesio, maka di sepanjang jalan dia menyanyikan sajak-sajak Agama To dan Buddha sambil mengejek dan kebetulan sekali dia bertemu dengan Kong Bu dan Li Eng.
Suami isteri muda itu menjadi marah sekali setelah mendengar bahwa kakek ini memusuhi Kun Hong. Setelah mereka berdua serentak maju menyerang menggunakan pedang mereka, barulah Hek Lojin menjadi kaget. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ilmu pedang kedua orang muda ini begitu hebat, menyambar-nyambar seperti sepasang burung garuda sakti. Gaya permainan kedua suami isteri itu jauh berbeda dan inilah yang membuat dia terheran dan kagum. Jelas bahwa suami isteri ini memiliki ilmu pedang dari dua macam sumber yang sama tingginya. Kalau tadinya Hek Lojin bersikap main-main dan bermaksud melayani kedua orang itu dengan memandang rendah, kini dia bersungguh-sungguh. Cepat dia pun menggerakkan tongkat hitam yang panjang itu, sekaligus menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya. Sekali bertemu senjata, baik Li Eng maupun Kong Bu terkejut karena tenaga kakek hitam ini benar-benar dahsyat bukan main. Hampir saja pedang mereka terlempar ketika beradu dengan tongkat hitam panjang. Mereka berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa apabila pertempuran diandalkan tenaga, mereka akan kalah jauh.
Di laln fihak, kakek itu pun kagum ketika pada pertemuan pertama antara senjata mereka tadi, dia masih belum mampu memukul jatuh pedang-pedang lawan. Ini saja menjadi bukti bahwa kedua orang lawannya yang masih amat muda-muda itu benar-benar murid-murid orang sakti. Kiranya dalam hal kepandaian, suami isteri ini setingkat dengan muridnya, The Sun. Padahal, tadinya dia mengira bahwa di dunia ini belum tentu dapat dicari keduanya seorang muda dengan kepandaian setingkat muridnya itu.
Pertempuran itu berjalan cepat sekali. Dua puluh jurus telah lewat dan masih saja mereka bertempur mempergunakan kecepataan, suami isteri itu memang sengaja mengerahkan ginkang dan hendak mencari kemenangan mempergunakan kelincahan. Siapa kira, kakek hitam itu pun ternyata seorang ahli ginkang yang hebat sehingga ketika kakek ini menandingi mereka, maka bayangan tiga orang itu lenyap terbungkus sinar senjata. Tiba-tiba Hek Lojin tertawa. Setelah dua puluh jurus, barulah dia mengenal ilmu pedang Li Eng. Kiranya ilmu pedang wanita muda ini adalah Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat. Akan tetapi baru sekarang dia menghadapi ilmu pedang Hoa-san-pai yang sehebat ilmu pedang yang dulu dimainkan oleh mendiang Lian Bu Tojin tokoh Hoa-san-pai yang mengasingkan diri. Ia tidak tahu bahwa memang orang tua Li Eng adalah murid Lian Ti Tojin yang telah mewariskan ilmu pedangnya kepada mereka.
"Wah, kau masih apanya Lian Ti Tojin dari Hoa-san-pai?" Kakek itu sempat menegur dengan gembira. "Dan kau ini bocah, dari mana kau memperoleh ilmu pedang aneh ini!" tegurnya kepada Kong Bu.
Li Eng kaget juga mendengar disebutnya kakek gurunya yang memang menjadi pewaris ilmu pedangnya. Adapun Kong Bu yang ingin menggertak segera menjawab, "Kakekku Song- bun-kwi yang mengajar kepadaku!"
"Wuuuuuttttt...tranggggg....... !" Tidak dapat dihindarkan lagi, pedang Kong Bu bertemu dengan tongkat, sedangkan Li Eng dapat cepat mengelak. Kong Bu merasa betapa telapak tangannya seperti dibakar, maka cepat-cepat dia mengerahkan Iweekang untuk melawan hawa itu. Kakek itu sudah berdiri tertawa dan tongkatnya berdiri pula di depannya.
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh, kiranya kau cucu setan bangkotan itu? Ha-ha-ha, ketika kakekmu masih muda, pernah dia bertekuk lutut di depan kakiku, tahukah kau? Ha-ha-ha, Song-bun-kwi, dahulu kau kalah, sekarang kau mewakilkan kepada cucumu untuk menderita kekalahan kedua kalinya. Dan Lian Ti Tojin, dulu belum sanggup mengalahkan aku, apalagi sekarang bocah perempuan yang mengandung ini, heh-heh-heh!"
"Sombong!!" Li Eng dan Kong Bu berteriak hampir berbareng. Mereka berdua marah sekali mendengar ejekan-ejekan dan hinaan ini. Betapapun juga, tadi mereka belum kalah, malah belum terdesak hanya baru kalah tenaga saja. Mereka tidak takut dan setelah berteriak demikian, keduanya menyerbu lagi mengirimi serangan-serangan maut.
Akan tetapi sekarang kakek itu mengubah gerakannya. Tongkatnya yang panjang itu terputar seperti kitiran angin, cepat dan mendatangkan angin pukulan yang amat kuat. Cara kakek itu menyerang bukan seperti ilmu silat lagi, melainkan seperti sebuah kitiran angin besar yang tiada hentinya berputar dan menerjang mereka dengan kekuatan yang dahsyat !
Kong Bu dan Li Eng adalah keturunan orang-orang pandai yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi mereka ini ketinggalan jauh kalau dibanding dengan kakek ini dalam hal pengalaman bertempur. Menghadapi cara bertempur kakek ini, mereka menjadi repot dan bingung. Berusaha menangkis dengan pedang, akan tetapi setiap kali bertemu tongkat, pedang mereka terpental dan mereka terpaksa meloncat ke sana ke mari agar jangan terkena sambaran tongkat yang luar biasa itu. Sama sekali mereka tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang!
Tiba-tiba, seperti juga mulainya, kakek itu menghentikan pemutaran tongkatnya dan bersilat lagi, malah seperti sengaja memberi lowongan-lowongan kepada dua orang lawannya. Girang hati Kong Bu dan Li Eng melihat ini, mengira bahwa kakek itu tentu lelah memutar tongkat seperti itu dan kini hendak beristirahat dan bersilat biasa. Kesempatan baik ini mereka pergunakan dan cepat mereka menyerbu, membalas dengan serangan- serangan maut yang amat berbahaya.
Mendadak kakek itu berseru keras dan tongkatnya kembali diputar secara tiba-tiba dan tidak terduga. Terdengar suara "trang-trang!" keras sekali dan tidak dapat dicegah lagi pedang Kong Bu dan Li Eng terpental, terlepas dari pegangan. Pedang Kong Bu melesat ke kanan dan pedang Li Eng melesat ke kiri, menancap sampai amblas sebatas gagang pada tanah beberapa meter jauhnya!
"Ha-ha-ha-he-he-he, baru kenal kelihaianku, ya?" Kakek itu mengejek dan kembali tongkatnya berputaran menerjang suami isteri yang sudah tidak bersenjata lagi itu! Namun dua orang muda itu bukanlah orang-orang lemah, biarpun mereka sudah tidak bersenjata lagi, tidaklah mudah merobohkan mereka.
Biarpun tongkat itu berputar seperti kitiran, namun tubuh mereka melesat dan menyelinap di antara bayangan tongkat, ginkang mereka amat hebatnya sehingga tubuh mereka seakan-akan bayang-bayang yang sukar dipukul tongkat.
"Bagus, bagus....... ! Orang-orang muda cukup mengagumkan....... ha-ha, tetapi harus roboh oleh Hek Lojin!" Kakek itu menerjang terus, kini dia selingi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang mengandung hawa pukulan jarak jauh. Memang hebat ilmu tongkat kakek ini. Tongkat yang diputar oleh kedua tangannya itu, kadang-kadang-kadang bisa dioper dengan tangan kanan saja, malah ada kalanya tongkat berputar cepat mendesing ke atas, dilepas oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan ke depan dan tongkat itu tanpa dipegang lagi terus berputaran di atas kepala, dan disambut lagi dengan enaknya.
Payah juga Kong Bu dan Li Eng menghadapi penyerangan kakek kosen. Mereka sudah mengambil keputusan untuk melarikan diri karena tidak sanggup melawan lagi, akan tetapi tiba-tiba kakek itu membentak keras, tongkatnya melayang dan menyerang kedua orang muda itu tanpa dia pegang, sedangkan tubuhnya mengikuti tongkatnya, kedua tangannya melakukan tamparan-tamparan disertai tenaga Iweekang.
Melihat Li Eng terpeleset ketika mengelak tongkat dan terdorong angin pukulan lawan, Kong Bu kaget, cepat dia menghadang desakan kakek itu. Dengan mengerahkan tenaga dia menangkis dengan tangan kiri. "Krakkk" lengannya patah ketika bertemu dengan tangan si kakek, dan sebuah tendangan membuat Li Eng terjungkal! Kong Bu marah bukan main, dengan nekat dia, menggunakan tangan kanannya menerjang, tetapi dia pun harus terjungkal ketika kakek itu mendarong dengan kedua tangannya dari samping. Kepalanya pening sekali, namun Kong Bu masih dapat melompat ke tempat di mana isterinya roboh. Dengan tubuhnya dia melindungi Li Eng, siap mengadu nyawa dengan kakek sakti itu. Hek Lojin meringis, terkekeh-kekeh dan menghampiri dua orang itu sambil menyeret tongkatnya.
Tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, suara seperti orang menangis terdengar dari jauh. Mendengar ini, Kong Bu kaget dan juga girang, lalu dia mengerahkan khikang dan mengeluarkan teriakan panjang pula yang bergema di seluruh hutan.
Kakek itu berhenti, menengadah lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-heh-heh-heh, itu si tua bangka Song-bun-kwi agaknya! Ha-ha-ha, biar dia datang sekalian kubereskan!"
Bayangan putih berkelebat dan benar saja, di situ telah berdiri Song-bun-kwi Kwee Lun dengan sikapnya yang garang! Melihat betapa kedua suami isteri itu rebah di bawah pohon, kemarahannya memuncak. Dengan sepasang mata seperti berapi-api dia memandang kakek hitam itu lalu memaki,
"Keparat jahanam si tua bangka Hek Lojin! Jadi kau belum mampus? Berpuluh tahun kucari, kau mengumpet, bersembunyi. Sekarang sudah tua bangka mau mampus berani muncul mengantarkan nyawa! Mengapa kau tidak langsung mencariku, tua sama tua, melainkan mengganggu anak-anak muda? Tidak tahu malu!"
"Heh-heh-heh, Song-bun-kwi, bagus sekali kau sendiri datang, kau mbahnya (kakeknya) pemberontak! Kau mengajar anak-anak menjadi pemberontak, ya? Dasar iblis! Bagus kau sudah datang, dulu kau pernah kalah tetapi belum mampus, biar sekarang kutamatkan riwayatmu!"
Dua orang kakek itu sudah mulai bertempur sebelum ucapan ini habis. Song-bun-kwi sudah mengeluarkan suling dan pedangnya, menerjang dengan ilmu pedangnya yang paling dia andalkan, yaitu Yang-sin Kiam-sut, sedangkan sulingnya juga mainkan ilmu silatnya sendiri yang luar biasa. Hek Lojin maklum bahwa lawannya bukanlah orang sembarangan, maklum pula bahwa semenjak kekalahannya puluhan tahun yang lalu, tentu Song-bun-kwi telah mempersiapkan diri dan telah mendapatkan ilmu-ilmu baru. Begitu merasai hawa panas dari pedang kakek Song-bun-kwi, dia terkejut dan cepat dia memutar tongkatnya.
Sebaliknya Song-bun-kwi juga cukup mengenal Hek Lojin. Empat puluh tahun yang lalu memang dia pernah bertemu dengan kakek hitam itu dan dalam pertandingan yang hebat, dia telah dilukai dan terpaksa dia mengaku kalah. Semenjak itu, tidak pernah lagi dia bertemu dengan Hek Lojin yang memang mengasingkan diri karena terlalu banyak musuh. Sekarang, tidak disangka-sangka dia bertemu dengan musuh lamanya, tentu saja dia lalu ngepia (berusaha sungguh-sungguh) untuk membalas kekalahannya puluhan tahun yang lalu.
Sesungguhnya Hek Lojin masih belasan tahun lebih tua daripada Song-bun-kwi, termasuk tokoh lama yang sudah tua sekali. Akan tetapi karena kakek ini memang luar biasa dan hidup di alam terbuka jauh daripada dunia ramai, agaknya dia memiliki kekuatan yang lebih daripada manusia biasa. Selain tenaganya tidak normal, juga kepandaiannya aneh dan bersifat liar dan ganas. Memang dia mempunyai banyak ilmu silat yang dikenal di dunia kang-ouw sebagai ilmu-ilmu silat kelas tinggi, seperti yang dia turunkan kepada The Sun. Akan tetapi di samping ini, dia masih memiliki ilmu berkelahi yang hanya dia miliki sendiri dan yang jarang dia pergunakan di dalam pertempuran dan tidak pernah dia turunkan kepada siapa pun juga. Ilmu ini adalah ilmu berkelahi yang menyimpang daripada ilmu silat yang timbul dari perasaan dan naluri, seperti ilmu berkelahi yang dimiliki para binatang buas di dalam hutan. Oleh karena itu, tadi ketika dia memutar-mutar tongkatnya secara liar, Kong Bu dan Li Eng yang tidak biasa menghadapi ilmu berkelahi seperti ini menjadi kebingungan dan mudah dikalahkan. Sekarang, menghadapi Song-bun-kwi, kakek hitam ini berlaku amat hati-hati dan karenanya dia malah tidak mau ngawur seperti tadi, melainkan menggunakan jurus-jurus ilmu silatnya yang beraneka ragam dan rata-rata dari tingkat tinggi itu.
Hebat pertandingan ini. Tenaga Iwee-kang Hek Lojin sudah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Akan tetapi kali ini dia menemukan tandingan, karena Song-bun-kwi adalah seorang kakek yang dijuluki iblis dan nama julukan Song-bun-kwi saja artinya Setan Berkabung! Biarpun Song-bun-kwi diam-diam harus mengakui bahwa dia masih belum dapat menandingi tenaga kakek tenaga dalam kakek hitam itu, namun setidaknya tingkatnya tidak kalah jauh seperti ketika tadi kakek itu menghadapi Kong Bu dan Li Eng. Sebetulnya Hek Lojin adalah seorang ahli agama, oleh karena itulah maka tadi Kong Bu dan Li Eng mendengar nyanyian-nyanyian agama yang merupakan ayat-ayat suci daripada Agama Buddha dan Agama To. Akan tetapi, agama-agama pada waktu itu banyak disalahgunakan orang. Banyaklah kaum persilatan yang mempelajari agama bukan karena pelajaran hidupnya yang baik, bukan karena untuk mencari jalan pendekatan dengan Tuhan, melainkan mereka ini bermaksud untuk mengambil bagian-bagian mistik dan gaib daripada agama itu. Oleh karena inilah maka timbul banyak aliran yang mempergunakan agama itu untuk mempelajari segala macam ilmu gaib yang mereka gabungkan dengan ilmu silat sehingga terkenallah ilmu-ilmu silat yang disebut ilmu silat hitam. Demikian pula, tenaga mujijat yang dimiliki kakek hitam itu bukan semata-mata tenaga sinkang murni dari dalam tubuh yang memang dimiliki oleh semua orang, akan tetapi juga diperkuat oleh tenaga dari ilmu hitam yang dia dapatkan dengan cara bermacam-macam dan amat mengerikan.
Kong Bu dan Li Eng melihat pertempuran ini dengan hati khawatir. Apalagi setelah pertandingan itu berlangsung seratus jurus lebih, mereka merasa gelisah sekali karena tampak oleh mereka betapa keadaan Song-bun-kwi mulai terdesak. Kong Bu ingin membantu kakeknya namun tidak mungkin dia dapat bertempur dengan tangan kiri patah tulangnya dan dadanya masih sesak oleh tenaga dorongan kakek itu. Juga Li Eng sudah terluka, pahanya terkena tendangan dan terasa sakit sekali. Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan hebat dan suara nyaring beradunya senjata-senjata kedua kakek itu. Kiranya mereka telah menggunakan seluruh tenaga untuk mengadu senjata. Akibatnya, suling remuk pedang patah, akan tetapi tongkat hitam itu pun terlempar jatuh sampai beberapa meter jauhnya! Kedua orang kakek itu tertawa saling mengejek, lalu pertandingan dilanjutkan dengan dua pasang tangan kosong. Akan tetapi, sambaran angin pukulan kedua fihak membuktikan bahwa pertandingan tangan kosong ini tidak kalah, hebatnya daripada pertandingan dengan senjata tadi. Setiap pukulan yang dilancarkan adalah pukulan maut yang mengandung hawa pukulan dahsyat. Angin pukulan bersiutan, membuat daun-daun pohon di sekelilingnya rontok dan debu berhamburan dari kedua kaki mereka.
Dalam pertempuran ini, lebih-lebih lagi Song-bun-kwi terdesak. Dengan penggunaan senjata, dia masih dapat mengimbangi lawannya, akan tetapi pertandingan dengan tangan kosong semata-mata mengandalkan kecepatan gerak dan besarnya tenaga dalam. Dalam kecepatan, Song-bun-kwi sebanding dengan lawannya, namun dalam hal tenaga, karena lawannya mempunyai tenaga mujijat, dia terpaksa harus mengakui bahwa tiap kali tangannya bertemu dengan tangan lawan, jantungnya terasa sakit seperti ditusuk!
Namun, kakek ini tidak akan mendapat julukan iblis Song-bun-kwi kalau dia mau mengaku kalah. Dengan semangat menyala-nyala, Song-bun-kwi nekat terus menerjang dengan pengerahan seluruh tenaga dan gerakan-gerakannya makin cepat saja. Kakek hitam tertawa-tawa melayani dan dalam sekejap mata kedua kakek itu lenyap terbungkus debu yang mengebul dari bawah. Hebat bukan main pertarungan ini, seperti pergumulan dua ekor naga, atau perkelahian dua ekor harimau buas, pantang menyerah, pantang undur. Kong Bu dan Li Eng makin khawatir, akan tetapi keduanya tidak berdaya karena sebagai ahli-ahli silat tinggi, maklumlah mereka bahwa sekali mereka maju belum tentu mereka dapat menguntungkan Song-bun-kwi akan tetapi yang pasti mereka akan celaka. Hawa pukulan dengan tenaga dahsyat yang menyambar di sekeliling dua orang kakek itu tidak terlawan oleh mereka.
Tiba-tiba kedua orang kakek itu berhenti bersilat dan tubuh mereka mencelat ke belakang, masing-masing dua meter lebih, berdiri saling pandang dengan muka mengerikan. Hek Lojin tidak tertawa lagi, mukanya yang hitam itu berkilat-kilat penuh peluh, mulutnya menyeringai, matanya berseri-seri. Song-bun-kwi juga penuh keringat mukanya, agak pucat dia, matanya berapi-api penuh kemarahan. Kemudian keduanya melompat ke depan, saling terjang dan terdengar suara berdebugan dua tiga kali dan akibatnya, tubuh mereka terlempar ke belakang lagi. Kembali mereka saling terjang dan terdengar pukulan-pukulan yang mengakibatkan mereka terlempar lagi. Adegan seperti ini terulang sampai empat lima kali, muka Song-bun-kwi makin pucat, muka Hek Lojin makin penuh keringat.
Tiba-tiba kakek hitam itu bergelak. "Ha-ha-ha-heh-heh-heh, Song-bun-kwi tua bangka iblis! Kau benar-benar berkepala batu, sudah kalah tidak mau mengakui kekalahan. Ha-ha-ha, sudah puas hatiku dengan perkelahian hari ini, aku sudah lelah. Kalau kau masih dapat hidup, lain hari kita lanjutkan, kalau kau mampus karena perkelahian ini, mampuslah dan rasakan hukuman neraka. Ha-ha-ha!" Kakek hitam itu melangkah mundur ke tempat tongkatnya, mengambil senjata itu dan menyeretnya pergi dari situ. Masih terdengar suara ketawanya yang bergema dari jauh.
Song-bung-kwi masih berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang seperti tadi, napasnya tersengal-sengal, mukanya pucat dan hidungnya, kembang-kempis. Tiba-tiba dia menekan ulu hatinya dan kakek kosen ini muntah-muntah. Darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
"Kakek......!!" Kong Bu melompat menghampiri, Li Eng juga terpincang-pincang lari menghampiri.
Seakan-akan kehabisan tenaga, Song-bun-kwi sudah jatuh terduduk. Dia berusaha menghapus bibirnya dengan ujung lengan baju dan terdengar dia bergumam perlahan,
"....... hebat sekali....... Hek Lojin iblis......."
Kong Bu sudah berlutut di depannya, juga Li Eng. Kagetlah dua orang ini ketika melihat bahwa leher, pundak, dada dan lambung kakek itu terluka oleh pukulan yang meninggalkan bekas membiru Sedangkan baju pada bagian terpukul itu pun berlubang besar seperti bekas terbakar. Kiranya dalam gebrakan-gebrakan terakhir tadi, kedua kakek sakti itu telah melakukan jurus-jurus mematikan, jurus-jurus nekat yang berdasarkan mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang dan ampuhnya pukulan! Empat kali Song-bun-kwi telah menerima pukulan maut Hek Lojin, sebaliknya Hek Lojin juga menerima empat kali pukulan Song-bun-kwi yang datangnya hampir pada saat yang sama itu. Pukulan Song-bun-kwi dapat diterima oleh Hek Lojin, menimbulkan luka ringan yang tidak membahayakan nyawanya. Sebaliknya pukulan-pukulan Hek Lojin demikian hebatnya sehingga membuat Song-bun-kwi sekarang muntah-muntah darah dan menderita luka yang amat parah. Akan tetapi daya tahan Song-bun-kwi dan semangatnya memang luar biasa sekali. Kalau orang lain yang menderita seperti dia, tentu tadi sudah roboh, di bawah kaki lawannya. Namun Song-bun-kwi dapat menahan diri, menahan rasa nyeri dan dengan semangat pantang mundur dia menukar pukulan sampai empat kali. Hek Lojin menjadi terkejut sekali tadi dan diam-diam merasa jerih. Dia sendiri, biarpun ringan, telah merasa terluka oleh pukulan-pukulan Song-bun-kwi, akan tetapi mengapa Song-bun-kwi agaknya tidak merasai pukulannya yang empat kali itu? Padahal pukulan-pukulannya tadi adalah pukulan maut yang mengandung tenaga mujijat!
Itulah sebabnya mengapa Hek Lojin tadi meninggalkan Song-bun-kwi, sama sekali bukan karena merasa menang, melainkan karena jerih! Setelah lawannya pergi, barulah terasa oleh Song-bun-kwi akan kehebatan bekas pukulan lawan dan sekarang dia terkulai tidak berdaya, Dia maklum bahwa dia telah menerima pukulan-pukulan maut yang meremukkan isi dadanya, dan tahu bahwa dia tidak akan tertolong lagi. Melihat Kong Bu dan Li Eng berlutut di dekatnya, timbul rasa kecewanya terhadap dua orang ini. Sampai mau mati pun dia masih kecewa karena belum mempunyai cucu buyut. Dasar kakek ini seorang yang amat aneh wataknya. Dia menggunakan kedua tangannya untuk mendorong pergi dua orang itu sambil berkata,
"Pergi....... pergi....... biar aku tidak punya cucu juga tidak apa.......!" Suaranya bernada penuh penyesalan, penuh kekecewaan karena kakek ini merasa tertikam perasaannya ketika teringat bahwa dalam menghadapi saat terakhir dalam hidupnya ini, dia masih dikecewakan oleh Kong Bu yang dia kasihi, dikecewakan karena cucunya ini tidak mempunyai keturunan!
"Kong-kong (kakek).......!" Kong Bu mendekati kakeknya lagi, suaranya penuh keharuan. Li Eng juga mendekat lagi, air matanya mengalir.
"Sudahlah, biar sampai mati pun aku tetap kecewa padamu.......!" kata pula Song-bun-kwi ketus sambil bangkit berdiri dengan susah payah dan kakek ini sudah siap melangkah maju meninggalkan mereka.
Tiba-tiba Li Eng memegang lengannya dan dengan suara terisak-isak ia berkata, "Kong- kong....... aku....... aku....... ah, kau sudah akan mempunyai cucu buyut......."
"Haaaaa?? Apa kau bilamg.......??"
Mata dan mulut kakek itu terbuka selebar-lebarnya ketika dia menatap wajah Li Eng yang sudah basah air mata karena ia sudah mulai menangis tersedu-sedu, sambil merangkul dan mengganduli pundak kakek itu. Melihat Li Eng tidak mungkin dapat menjawab karena menangis itu, Kong Bu yang menjawab dengan muka berseri dan mata bersinar,
"Betul, Kong-kong, Li Eng sudah mengandung. Cucu buyutmu pasti bakal terlahir!"
"Wah-wah! Betulkan ini? Li Eng, betulkan ini?" Kakek ini berteriak-teriak sambi memegang kedua pundak Li Eng dan mendorongnya untuk dapat melihat wajahnya. Li Eng tersenyum dalam tangisnya, menahan air mata dengan meramkan mata, dan hanya dapat mengangguk dengan gerakan meyakinkan.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Song-bun-kwi, kau, tua bangka goblok, kau manusia tolol! Ha-ha-ha-ha, Li Eng, kau anak baik!" Serentak tubuh Li Eng yang dia pegang pada kedua pundaknya itu dia lontarkan ke atas. Tubuh itu melayang ke atas kurang lebih tiga meter tingginya, diterima dengan penuh kasih sayang lalu dilontarkan lagi sampai tiga kali. Kemudian dia memeluk Li Eng dan menciumi rambutnya, membiarkan Li Eng terisak-isak bahagia di dadanya.
"Li Eng, mana dia? Mana cucu buyutku? Tidak bisakah kau lahirkan dia sekarang saja? Aku sudah ingin memondongnya, menimangnya, ha-ha-ha!"
"Iihhh, Kakek ini.......!" Li Eng menundukkan mukanya, jengah.
"Ha-ha-ha, Song-bun-kwi tolol, siapa bilang cucuku tidak becus dan goblok? Ha-ha-ha, Kong Bu, kau hebat.......!"
Dia sudah melepaskan Li Eng, menghampiri Kong Bu dan menepuk-nepuk pundak cucunya itu. Kalau saja bukan Kong Bu yang ditepuknya, tentu pundak itu akan remuk.
"Ha-ha-ha-ha, aku punya cucu buyut......." Kakek itu tertawa terus terbahak-bahak, makin lama makin aneh suara ketawanya.
"Kong-kong.......!" Li Eng dan Kong Bu menjerit berbareng sambil menubruk maju. Akan tetapi Song-bun-kwi sudah terguling roboh, terlentang dengan mata melek dan mulut terbuka, wajahnya masih tertawa-tawa akan tetapi napasnya berhenti. Kakek itu sudah mati dalam keadaan tertawa bahagia. Kiranya dalam kegirangannya yang melewati batas tadi, dia telah banyak mengerahkan tenaga dan hal ini memperhebat luka-lukanya yang memang sudah parah dan akhirnya merenggut nyawanya sebelum dia sempat menghabiskan ketawanya!
Li Eng dan Kong Bu memeluki tubuh kakek itu sambil menangis. Angin yang tadi bertiup dan bermain-main di antara daun-daun pohon, sekarang berhenti. Sunyi senyap di dalam hutan itu, seakan-akan hutan, angin dan penghuni hutan ikut menyatakan bela sungkawa atas kematian kakek sakti yang hidupnya sering kali menggemparkan dunia kang-ouw itu.
*******
"Kim-tiauw-ko, aku ingin sekali pergi ke Ching-coa-to. Ah, alangkah akan mudahnya kalau dapat menerbangkan aku ke pulau itu, kita tidak akan bingung menghadapi jalan-jalan rahasia. Ah, sayang. Tiauw-ko, kau tidak tahu di mana adanya pulau itu......." kata KunHong sambil mengelus-elus leher burung itu.
Betapapun cerdik pandainya, seekor burung hanyalah seekor binatang biasa saja, tentu saja tidak memiliki akal dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Si Pendekar Buta. Dia hanya mengeluarkan suara mencicit bingung melihat sahabatnya ini bersikap kecewa dan menyesal. Mereka masih berada di dalam sebuah hutan dan sudah beberapa hari mereka melakukan perjalanan keluar hutan. Kun Hong bingung karena tidak bertemu manusia yang dapat dia tanyai jalan. Sebetulnya sudah banyak hal yang menghilangkan kegelisahannya. Cui Sian sudah berada di tangan orang yang boleh dipercaya dan anak itu selamat. Surat Wasiat juga sudah diantarkan ke utara, dan dia merasa yakin bahwa Sin Lee dan Hui Cu pasti akan dapat melaksanakan tugas itu dengan baik. A Wan juga berada bersama paman gurunya, aman dan selamat. Tinggal dua lagi tugas yang harus dia selesaikan, pertama mencari orang-orang Ching-coa-to memberi hajaran atas kejahatan mereka terhadap Thai-san-pai. Ke dua....... ya, yang ke dua inilah yang membingungkan hatinya. Tentang Hui Kauw! Bagaimana baiknya dengan nona itu? Harus dia akui bahwa dia betul-betul mencinta Hui Kauw. Cinta kasihnya terhadap Cui Bi sekarang agaknya telah berpindah kepada Hui Kauw seluruhnya. Dia merasa kesepian, rindu, dan merasa seakan-akan hidupnya tidak lengkap, kehilangan semangat dan kegembiraan hidup, berpisah dari nona bersuara bidadari itu. Dia tahu bahwa hidupnya selanjutnya akan merana, akan kosong hampa dan tidak ada artinya tanpa Hui Kauw.
"Uhhh, urusan besar belum selesai, memikirkan yang bukan-bukan......." Dia menepuk kepala sendiri dan rajawali emas itu menggereng perlahan.
"Kim-tiau, alangkah tidak enaknya menjadi manusia!" kembali Kun Hong mengeluh sambil duduk di atas batu besar dekat burung itu. "Tiada hentinya manusia terganggu dalam hidupnya yang terbelit-belit dan terikat oleh segala macam kewajiban, terkacau oleh segala macam perasaan. Kau inilah mahluk bahagia, kim-tiauw, karena selama hidupmu kau tidak pernah memusingkan sesuatu."
Burung itu mengeluarkan suara panjang seakan-akan membantah pendapat ini dan sama sekali tidak menyetujuinya. Kun Hong merenung. Betulkah seperti yang dia katakan tadi? Apakah tidak sebaliknya daripada itu? Bukanlah segala ikatan dalam hidup itulah yang membuat hidup ini berisi dan pantas diderita? Bukankah kehidupan burung dan segala macam mahluk selain manusia di dunia ini yang amat menjemukan? Bayangkan saja. Hidup tanpa adanya susah, senang, puas, kecewa, dan lain-lain perasaan yang saling bertentangan, apakah tidak akan merupakan siksaan karena tiada perubahan, sunyi sepi dan seakan-akan sudah mati saja? Bagaikan samudera, apa artinya tanpa gelombang membadai yang membuat samudera nampak hidup? Apa artinya dunia ini tanpa angin, lelap lengang sunyi mati. Demikian pula hidup ini, akan sunyi membosankan kalau tidak ada ikatan-ikatan yang mengakibatkan manusia merasakan susah senang, jatuh bangun dan sebagainya.
Teringat dia akan filsafat-filsafat kuno dan dia tersenyum seorang diri. Memang hebat para budiman dan bijaksana jaman dahulu, telah dapat meneropong isi daripada hidup. Dia menepuk-nepuk leher kim-tiauw, kini wajahnya berseri dan hatinya tenang,
"Kim-tiauw, alangkah bodohku, sampai lupa akan kenyataan yang tidak terbantah lagi itu. Siapa mencari senang, dia sekali-kali tentu bertemu susah. Siapa mencari untung sekali-kali akan bertemu rugi. Siapa mencari puas, sekali-kali akan ketemu kecewa. Memang sudah semestinya begitu. Kalau tidak ada atas, mana bisa ada bawah? Kalau tidak ada senang, mana bisa bilang ada susah? Manusialah mahluk yang paling bahagia, kim-tiauw, karena mengenal keduanya itu, mengenal dan merasakan akibat daripada kekuatan Im dan Yang (positive dan negative). Ha-ha-ha, kaulah yang patut dikasihani, kim-tiauw." Kini kim-tiauw itu bersuara girang, sekan-akan dia ikut bergembira mendengar sahabatnya sudah bisa tertawa-tawa. Tiba-tiba mereka berdua serentak diam memperhatikan. Terdengar suara kaki orang banyak menuju ke arah tempat itu. Rajawali emas sudah siap, bulu tengkuk burung itu sudah mulai berdiri, tanda bahwa dia telah siap menyerang lawan.
"Sssttt, jangan sembrono kim-tiauw-ko, kita lihat dulu mereka itu kawan ataukah lawan."
Suami isteri muda itu menjadi marah sekali setelah mendengar bahwa kakek ini memusuhi Kun Hong. Setelah mereka berdua serentak maju menyerang menggunakan pedang mereka, barulah Hek Lojin menjadi kaget. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ilmu pedang kedua orang muda ini begitu hebat, menyambar-nyambar seperti sepasang burung garuda sakti. Gaya permainan kedua suami isteri itu jauh berbeda dan inilah yang membuat dia terheran dan kagum. Jelas bahwa suami isteri ini memiliki ilmu pedang dari dua macam sumber yang sama tingginya. Kalau tadinya Hek Lojin bersikap main-main dan bermaksud melayani kedua orang itu dengan memandang rendah, kini dia bersungguh-sungguh. Cepat dia pun menggerakkan tongkat hitam yang panjang itu, sekaligus menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya. Sekali bertemu senjata, baik Li Eng maupun Kong Bu terkejut karena tenaga kakek hitam ini benar-benar dahsyat bukan main. Hampir saja pedang mereka terlempar ketika beradu dengan tongkat hitam panjang. Mereka berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa apabila pertempuran diandalkan tenaga, mereka akan kalah jauh.
Di laln fihak, kakek itu pun kagum ketika pada pertemuan pertama antara senjata mereka tadi, dia masih belum mampu memukul jatuh pedang-pedang lawan. Ini saja menjadi bukti bahwa kedua orang lawannya yang masih amat muda-muda itu benar-benar murid-murid orang sakti. Kiranya dalam hal kepandaian, suami isteri ini setingkat dengan muridnya, The Sun. Padahal, tadinya dia mengira bahwa di dunia ini belum tentu dapat dicari keduanya seorang muda dengan kepandaian setingkat muridnya itu.
Pertempuran itu berjalan cepat sekali. Dua puluh jurus telah lewat dan masih saja mereka bertempur mempergunakan kecepataan, suami isteri itu memang sengaja mengerahkan ginkang dan hendak mencari kemenangan mempergunakan kelincahan. Siapa kira, kakek hitam itu pun ternyata seorang ahli ginkang yang hebat sehingga ketika kakek ini menandingi mereka, maka bayangan tiga orang itu lenyap terbungkus sinar senjata. Tiba-tiba Hek Lojin tertawa. Setelah dua puluh jurus, barulah dia mengenal ilmu pedang Li Eng. Kiranya ilmu pedang wanita muda ini adalah Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat. Akan tetapi baru sekarang dia menghadapi ilmu pedang Hoa-san-pai yang sehebat ilmu pedang yang dulu dimainkan oleh mendiang Lian Bu Tojin tokoh Hoa-san-pai yang mengasingkan diri. Ia tidak tahu bahwa memang orang tua Li Eng adalah murid Lian Ti Tojin yang telah mewariskan ilmu pedangnya kepada mereka.
"Wah, kau masih apanya Lian Ti Tojin dari Hoa-san-pai?" Kakek itu sempat menegur dengan gembira. "Dan kau ini bocah, dari mana kau memperoleh ilmu pedang aneh ini!" tegurnya kepada Kong Bu.
Li Eng kaget juga mendengar disebutnya kakek gurunya yang memang menjadi pewaris ilmu pedangnya. Adapun Kong Bu yang ingin menggertak segera menjawab, "Kakekku Song- bun-kwi yang mengajar kepadaku!"
"Wuuuuuttttt...tranggggg....... !" Tidak dapat dihindarkan lagi, pedang Kong Bu bertemu dengan tongkat, sedangkan Li Eng dapat cepat mengelak. Kong Bu merasa betapa telapak tangannya seperti dibakar, maka cepat-cepat dia mengerahkan Iweekang untuk melawan hawa itu. Kakek itu sudah berdiri tertawa dan tongkatnya berdiri pula di depannya.
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh, kiranya kau cucu setan bangkotan itu? Ha-ha-ha, ketika kakekmu masih muda, pernah dia bertekuk lutut di depan kakiku, tahukah kau? Ha-ha-ha, Song-bun-kwi, dahulu kau kalah, sekarang kau mewakilkan kepada cucumu untuk menderita kekalahan kedua kalinya. Dan Lian Ti Tojin, dulu belum sanggup mengalahkan aku, apalagi sekarang bocah perempuan yang mengandung ini, heh-heh-heh!"
"Sombong!!" Li Eng dan Kong Bu berteriak hampir berbareng. Mereka berdua marah sekali mendengar ejekan-ejekan dan hinaan ini. Betapapun juga, tadi mereka belum kalah, malah belum terdesak hanya baru kalah tenaga saja. Mereka tidak takut dan setelah berteriak demikian, keduanya menyerbu lagi mengirimi serangan-serangan maut.
Akan tetapi sekarang kakek itu mengubah gerakannya. Tongkatnya yang panjang itu terputar seperti kitiran angin, cepat dan mendatangkan angin pukulan yang amat kuat. Cara kakek itu menyerang bukan seperti ilmu silat lagi, melainkan seperti sebuah kitiran angin besar yang tiada hentinya berputar dan menerjang mereka dengan kekuatan yang dahsyat !
Kong Bu dan Li Eng adalah keturunan orang-orang pandai yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi mereka ini ketinggalan jauh kalau dibanding dengan kakek ini dalam hal pengalaman bertempur. Menghadapi cara bertempur kakek ini, mereka menjadi repot dan bingung. Berusaha menangkis dengan pedang, akan tetapi setiap kali bertemu tongkat, pedang mereka terpental dan mereka terpaksa meloncat ke sana ke mari agar jangan terkena sambaran tongkat yang luar biasa itu. Sama sekali mereka tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang!
Tiba-tiba, seperti juga mulainya, kakek itu menghentikan pemutaran tongkatnya dan bersilat lagi, malah seperti sengaja memberi lowongan-lowongan kepada dua orang lawannya. Girang hati Kong Bu dan Li Eng melihat ini, mengira bahwa kakek itu tentu lelah memutar tongkat seperti itu dan kini hendak beristirahat dan bersilat biasa. Kesempatan baik ini mereka pergunakan dan cepat mereka menyerbu, membalas dengan serangan- serangan maut yang amat berbahaya.
Mendadak kakek itu berseru keras dan tongkatnya kembali diputar secara tiba-tiba dan tidak terduga. Terdengar suara "trang-trang!" keras sekali dan tidak dapat dicegah lagi pedang Kong Bu dan Li Eng terpental, terlepas dari pegangan. Pedang Kong Bu melesat ke kanan dan pedang Li Eng melesat ke kiri, menancap sampai amblas sebatas gagang pada tanah beberapa meter jauhnya!
"Ha-ha-ha-he-he-he, baru kenal kelihaianku, ya?" Kakek itu mengejek dan kembali tongkatnya berputaran menerjang suami isteri yang sudah tidak bersenjata lagi itu! Namun dua orang muda itu bukanlah orang-orang lemah, biarpun mereka sudah tidak bersenjata lagi, tidaklah mudah merobohkan mereka.
Biarpun tongkat itu berputar seperti kitiran, namun tubuh mereka melesat dan menyelinap di antara bayangan tongkat, ginkang mereka amat hebatnya sehingga tubuh mereka seakan-akan bayang-bayang yang sukar dipukul tongkat.
"Bagus, bagus....... ! Orang-orang muda cukup mengagumkan....... ha-ha, tetapi harus roboh oleh Hek Lojin!" Kakek itu menerjang terus, kini dia selingi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang mengandung hawa pukulan jarak jauh. Memang hebat ilmu tongkat kakek ini. Tongkat yang diputar oleh kedua tangannya itu, kadang-kadang-kadang bisa dioper dengan tangan kanan saja, malah ada kalanya tongkat berputar cepat mendesing ke atas, dilepas oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan ke depan dan tongkat itu tanpa dipegang lagi terus berputaran di atas kepala, dan disambut lagi dengan enaknya.
Payah juga Kong Bu dan Li Eng menghadapi penyerangan kakek kosen. Mereka sudah mengambil keputusan untuk melarikan diri karena tidak sanggup melawan lagi, akan tetapi tiba-tiba kakek itu membentak keras, tongkatnya melayang dan menyerang kedua orang muda itu tanpa dia pegang, sedangkan tubuhnya mengikuti tongkatnya, kedua tangannya melakukan tamparan-tamparan disertai tenaga Iweekang.
Melihat Li Eng terpeleset ketika mengelak tongkat dan terdorong angin pukulan lawan, Kong Bu kaget, cepat dia menghadang desakan kakek itu. Dengan mengerahkan tenaga dia menangkis dengan tangan kiri. "Krakkk" lengannya patah ketika bertemu dengan tangan si kakek, dan sebuah tendangan membuat Li Eng terjungkal! Kong Bu marah bukan main, dengan nekat dia, menggunakan tangan kanannya menerjang, tetapi dia pun harus terjungkal ketika kakek itu mendarong dengan kedua tangannya dari samping. Kepalanya pening sekali, namun Kong Bu masih dapat melompat ke tempat di mana isterinya roboh. Dengan tubuhnya dia melindungi Li Eng, siap mengadu nyawa dengan kakek sakti itu. Hek Lojin meringis, terkekeh-kekeh dan menghampiri dua orang itu sambil menyeret tongkatnya.
Tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, suara seperti orang menangis terdengar dari jauh. Mendengar ini, Kong Bu kaget dan juga girang, lalu dia mengerahkan khikang dan mengeluarkan teriakan panjang pula yang bergema di seluruh hutan.
Kakek itu berhenti, menengadah lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-heh-heh-heh, itu si tua bangka Song-bun-kwi agaknya! Ha-ha-ha, biar dia datang sekalian kubereskan!"
Bayangan putih berkelebat dan benar saja, di situ telah berdiri Song-bun-kwi Kwee Lun dengan sikapnya yang garang! Melihat betapa kedua suami isteri itu rebah di bawah pohon, kemarahannya memuncak. Dengan sepasang mata seperti berapi-api dia memandang kakek hitam itu lalu memaki,
"Keparat jahanam si tua bangka Hek Lojin! Jadi kau belum mampus? Berpuluh tahun kucari, kau mengumpet, bersembunyi. Sekarang sudah tua bangka mau mampus berani muncul mengantarkan nyawa! Mengapa kau tidak langsung mencariku, tua sama tua, melainkan mengganggu anak-anak muda? Tidak tahu malu!"
"Heh-heh-heh, Song-bun-kwi, bagus sekali kau sendiri datang, kau mbahnya (kakeknya) pemberontak! Kau mengajar anak-anak menjadi pemberontak, ya? Dasar iblis! Bagus kau sudah datang, dulu kau pernah kalah tetapi belum mampus, biar sekarang kutamatkan riwayatmu!"
Dua orang kakek itu sudah mulai bertempur sebelum ucapan ini habis. Song-bun-kwi sudah mengeluarkan suling dan pedangnya, menerjang dengan ilmu pedangnya yang paling dia andalkan, yaitu Yang-sin Kiam-sut, sedangkan sulingnya juga mainkan ilmu silatnya sendiri yang luar biasa. Hek Lojin maklum bahwa lawannya bukanlah orang sembarangan, maklum pula bahwa semenjak kekalahannya puluhan tahun yang lalu, tentu Song-bun-kwi telah mempersiapkan diri dan telah mendapatkan ilmu-ilmu baru. Begitu merasai hawa panas dari pedang kakek Song-bun-kwi, dia terkejut dan cepat dia memutar tongkatnya.
Sebaliknya Song-bun-kwi juga cukup mengenal Hek Lojin. Empat puluh tahun yang lalu memang dia pernah bertemu dengan kakek hitam itu dan dalam pertandingan yang hebat, dia telah dilukai dan terpaksa dia mengaku kalah. Semenjak itu, tidak pernah lagi dia bertemu dengan Hek Lojin yang memang mengasingkan diri karena terlalu banyak musuh. Sekarang, tidak disangka-sangka dia bertemu dengan musuh lamanya, tentu saja dia lalu ngepia (berusaha sungguh-sungguh) untuk membalas kekalahannya puluhan tahun yang lalu.
Sesungguhnya Hek Lojin masih belasan tahun lebih tua daripada Song-bun-kwi, termasuk tokoh lama yang sudah tua sekali. Akan tetapi karena kakek ini memang luar biasa dan hidup di alam terbuka jauh daripada dunia ramai, agaknya dia memiliki kekuatan yang lebih daripada manusia biasa. Selain tenaganya tidak normal, juga kepandaiannya aneh dan bersifat liar dan ganas. Memang dia mempunyai banyak ilmu silat yang dikenal di dunia kang-ouw sebagai ilmu-ilmu silat kelas tinggi, seperti yang dia turunkan kepada The Sun. Akan tetapi di samping ini, dia masih memiliki ilmu berkelahi yang hanya dia miliki sendiri dan yang jarang dia pergunakan di dalam pertempuran dan tidak pernah dia turunkan kepada siapa pun juga. Ilmu ini adalah ilmu berkelahi yang menyimpang daripada ilmu silat yang timbul dari perasaan dan naluri, seperti ilmu berkelahi yang dimiliki para binatang buas di dalam hutan. Oleh karena itu, tadi ketika dia memutar-mutar tongkatnya secara liar, Kong Bu dan Li Eng yang tidak biasa menghadapi ilmu berkelahi seperti ini menjadi kebingungan dan mudah dikalahkan. Sekarang, menghadapi Song-bun-kwi, kakek hitam ini berlaku amat hati-hati dan karenanya dia malah tidak mau ngawur seperti tadi, melainkan menggunakan jurus-jurus ilmu silatnya yang beraneka ragam dan rata-rata dari tingkat tinggi itu.
Hebat pertandingan ini. Tenaga Iwee-kang Hek Lojin sudah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Akan tetapi kali ini dia menemukan tandingan, karena Song-bun-kwi adalah seorang kakek yang dijuluki iblis dan nama julukan Song-bun-kwi saja artinya Setan Berkabung! Biarpun Song-bun-kwi diam-diam harus mengakui bahwa dia masih belum dapat menandingi tenaga kakek tenaga dalam kakek hitam itu, namun setidaknya tingkatnya tidak kalah jauh seperti ketika tadi kakek itu menghadapi Kong Bu dan Li Eng. Sebetulnya Hek Lojin adalah seorang ahli agama, oleh karena itulah maka tadi Kong Bu dan Li Eng mendengar nyanyian-nyanyian agama yang merupakan ayat-ayat suci daripada Agama Buddha dan Agama To. Akan tetapi, agama-agama pada waktu itu banyak disalahgunakan orang. Banyaklah kaum persilatan yang mempelajari agama bukan karena pelajaran hidupnya yang baik, bukan karena untuk mencari jalan pendekatan dengan Tuhan, melainkan mereka ini bermaksud untuk mengambil bagian-bagian mistik dan gaib daripada agama itu. Oleh karena inilah maka timbul banyak aliran yang mempergunakan agama itu untuk mempelajari segala macam ilmu gaib yang mereka gabungkan dengan ilmu silat sehingga terkenallah ilmu-ilmu silat yang disebut ilmu silat hitam. Demikian pula, tenaga mujijat yang dimiliki kakek hitam itu bukan semata-mata tenaga sinkang murni dari dalam tubuh yang memang dimiliki oleh semua orang, akan tetapi juga diperkuat oleh tenaga dari ilmu hitam yang dia dapatkan dengan cara bermacam-macam dan amat mengerikan.
Kong Bu dan Li Eng melihat pertempuran ini dengan hati khawatir. Apalagi setelah pertandingan itu berlangsung seratus jurus lebih, mereka merasa gelisah sekali karena tampak oleh mereka betapa keadaan Song-bun-kwi mulai terdesak. Kong Bu ingin membantu kakeknya namun tidak mungkin dia dapat bertempur dengan tangan kiri patah tulangnya dan dadanya masih sesak oleh tenaga dorongan kakek itu. Juga Li Eng sudah terluka, pahanya terkena tendangan dan terasa sakit sekali. Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan hebat dan suara nyaring beradunya senjata-senjata kedua kakek itu. Kiranya mereka telah menggunakan seluruh tenaga untuk mengadu senjata. Akibatnya, suling remuk pedang patah, akan tetapi tongkat hitam itu pun terlempar jatuh sampai beberapa meter jauhnya! Kedua orang kakek itu tertawa saling mengejek, lalu pertandingan dilanjutkan dengan dua pasang tangan kosong. Akan tetapi, sambaran angin pukulan kedua fihak membuktikan bahwa pertandingan tangan kosong ini tidak kalah, hebatnya daripada pertandingan dengan senjata tadi. Setiap pukulan yang dilancarkan adalah pukulan maut yang mengandung hawa pukulan dahsyat. Angin pukulan bersiutan, membuat daun-daun pohon di sekelilingnya rontok dan debu berhamburan dari kedua kaki mereka.
Dalam pertempuran ini, lebih-lebih lagi Song-bun-kwi terdesak. Dengan penggunaan senjata, dia masih dapat mengimbangi lawannya, akan tetapi pertandingan dengan tangan kosong semata-mata mengandalkan kecepatan gerak dan besarnya tenaga dalam. Dalam kecepatan, Song-bun-kwi sebanding dengan lawannya, namun dalam hal tenaga, karena lawannya mempunyai tenaga mujijat, dia terpaksa harus mengakui bahwa tiap kali tangannya bertemu dengan tangan lawan, jantungnya terasa sakit seperti ditusuk!
Namun, kakek ini tidak akan mendapat julukan iblis Song-bun-kwi kalau dia mau mengaku kalah. Dengan semangat menyala-nyala, Song-bun-kwi nekat terus menerjang dengan pengerahan seluruh tenaga dan gerakan-gerakannya makin cepat saja. Kakek hitam tertawa-tawa melayani dan dalam sekejap mata kedua kakek itu lenyap terbungkus debu yang mengebul dari bawah. Hebat bukan main pertarungan ini, seperti pergumulan dua ekor naga, atau perkelahian dua ekor harimau buas, pantang menyerah, pantang undur. Kong Bu dan Li Eng makin khawatir, akan tetapi keduanya tidak berdaya karena sebagai ahli-ahli silat tinggi, maklumlah mereka bahwa sekali mereka maju belum tentu mereka dapat menguntungkan Song-bun-kwi akan tetapi yang pasti mereka akan celaka. Hawa pukulan dengan tenaga dahsyat yang menyambar di sekeliling dua orang kakek itu tidak terlawan oleh mereka.
Tiba-tiba kedua orang kakek itu berhenti bersilat dan tubuh mereka mencelat ke belakang, masing-masing dua meter lebih, berdiri saling pandang dengan muka mengerikan. Hek Lojin tidak tertawa lagi, mukanya yang hitam itu berkilat-kilat penuh peluh, mulutnya menyeringai, matanya berseri-seri. Song-bun-kwi juga penuh keringat mukanya, agak pucat dia, matanya berapi-api penuh kemarahan. Kemudian keduanya melompat ke depan, saling terjang dan terdengar suara berdebugan dua tiga kali dan akibatnya, tubuh mereka terlempar ke belakang lagi. Kembali mereka saling terjang dan terdengar pukulan-pukulan yang mengakibatkan mereka terlempar lagi. Adegan seperti ini terulang sampai empat lima kali, muka Song-bun-kwi makin pucat, muka Hek Lojin makin penuh keringat.
Tiba-tiba kakek hitam itu bergelak. "Ha-ha-ha-heh-heh-heh, Song-bun-kwi tua bangka iblis! Kau benar-benar berkepala batu, sudah kalah tidak mau mengakui kekalahan. Ha-ha-ha, sudah puas hatiku dengan perkelahian hari ini, aku sudah lelah. Kalau kau masih dapat hidup, lain hari kita lanjutkan, kalau kau mampus karena perkelahian ini, mampuslah dan rasakan hukuman neraka. Ha-ha-ha!" Kakek hitam itu melangkah mundur ke tempat tongkatnya, mengambil senjata itu dan menyeretnya pergi dari situ. Masih terdengar suara ketawanya yang bergema dari jauh.
Song-bung-kwi masih berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang seperti tadi, napasnya tersengal-sengal, mukanya pucat dan hidungnya, kembang-kempis. Tiba-tiba dia menekan ulu hatinya dan kakek kosen ini muntah-muntah. Darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
"Kakek......!!" Kong Bu melompat menghampiri, Li Eng juga terpincang-pincang lari menghampiri.
Seakan-akan kehabisan tenaga, Song-bun-kwi sudah jatuh terduduk. Dia berusaha menghapus bibirnya dengan ujung lengan baju dan terdengar dia bergumam perlahan,
"....... hebat sekali....... Hek Lojin iblis......."
Kong Bu sudah berlutut di depannya, juga Li Eng. Kagetlah dua orang ini ketika melihat bahwa leher, pundak, dada dan lambung kakek itu terluka oleh pukulan yang meninggalkan bekas membiru Sedangkan baju pada bagian terpukul itu pun berlubang besar seperti bekas terbakar. Kiranya dalam gebrakan-gebrakan terakhir tadi, kedua kakek sakti itu telah melakukan jurus-jurus mematikan, jurus-jurus nekat yang berdasarkan mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang dan ampuhnya pukulan! Empat kali Song-bun-kwi telah menerima pukulan maut Hek Lojin, sebaliknya Hek Lojin juga menerima empat kali pukulan Song-bun-kwi yang datangnya hampir pada saat yang sama itu. Pukulan Song-bun-kwi dapat diterima oleh Hek Lojin, menimbulkan luka ringan yang tidak membahayakan nyawanya. Sebaliknya pukulan-pukulan Hek Lojin demikian hebatnya sehingga membuat Song-bun-kwi sekarang muntah-muntah darah dan menderita luka yang amat parah. Akan tetapi daya tahan Song-bun-kwi dan semangatnya memang luar biasa sekali. Kalau orang lain yang menderita seperti dia, tentu tadi sudah roboh, di bawah kaki lawannya. Namun Song-bun-kwi dapat menahan diri, menahan rasa nyeri dan dengan semangat pantang mundur dia menukar pukulan sampai empat kali. Hek Lojin menjadi terkejut sekali tadi dan diam-diam merasa jerih. Dia sendiri, biarpun ringan, telah merasa terluka oleh pukulan-pukulan Song-bun-kwi, akan tetapi mengapa Song-bun-kwi agaknya tidak merasai pukulannya yang empat kali itu? Padahal pukulan-pukulannya tadi adalah pukulan maut yang mengandung tenaga mujijat!
Itulah sebabnya mengapa Hek Lojin tadi meninggalkan Song-bun-kwi, sama sekali bukan karena merasa menang, melainkan karena jerih! Setelah lawannya pergi, barulah terasa oleh Song-bun-kwi akan kehebatan bekas pukulan lawan dan sekarang dia terkulai tidak berdaya, Dia maklum bahwa dia telah menerima pukulan-pukulan maut yang meremukkan isi dadanya, dan tahu bahwa dia tidak akan tertolong lagi. Melihat Kong Bu dan Li Eng berlutut di dekatnya, timbul rasa kecewanya terhadap dua orang ini. Sampai mau mati pun dia masih kecewa karena belum mempunyai cucu buyut. Dasar kakek ini seorang yang amat aneh wataknya. Dia menggunakan kedua tangannya untuk mendorong pergi dua orang itu sambil berkata,
"Pergi....... pergi....... biar aku tidak punya cucu juga tidak apa.......!" Suaranya bernada penuh penyesalan, penuh kekecewaan karena kakek ini merasa tertikam perasaannya ketika teringat bahwa dalam menghadapi saat terakhir dalam hidupnya ini, dia masih dikecewakan oleh Kong Bu yang dia kasihi, dikecewakan karena cucunya ini tidak mempunyai keturunan!
"Kong-kong (kakek).......!" Kong Bu mendekati kakeknya lagi, suaranya penuh keharuan. Li Eng juga mendekat lagi, air matanya mengalir.
"Sudahlah, biar sampai mati pun aku tetap kecewa padamu.......!" kata pula Song-bun-kwi ketus sambil bangkit berdiri dengan susah payah dan kakek ini sudah siap melangkah maju meninggalkan mereka.
Tiba-tiba Li Eng memegang lengannya dan dengan suara terisak-isak ia berkata, "Kong- kong....... aku....... aku....... ah, kau sudah akan mempunyai cucu buyut......."
"Haaaaa?? Apa kau bilamg.......??"
Mata dan mulut kakek itu terbuka selebar-lebarnya ketika dia menatap wajah Li Eng yang sudah basah air mata karena ia sudah mulai menangis tersedu-sedu, sambil merangkul dan mengganduli pundak kakek itu. Melihat Li Eng tidak mungkin dapat menjawab karena menangis itu, Kong Bu yang menjawab dengan muka berseri dan mata bersinar,
"Betul, Kong-kong, Li Eng sudah mengandung. Cucu buyutmu pasti bakal terlahir!"
"Wah-wah! Betulkan ini? Li Eng, betulkan ini?" Kakek ini berteriak-teriak sambi memegang kedua pundak Li Eng dan mendorongnya untuk dapat melihat wajahnya. Li Eng tersenyum dalam tangisnya, menahan air mata dengan meramkan mata, dan hanya dapat mengangguk dengan gerakan meyakinkan.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Song-bun-kwi, kau, tua bangka goblok, kau manusia tolol! Ha-ha-ha-ha, Li Eng, kau anak baik!" Serentak tubuh Li Eng yang dia pegang pada kedua pundaknya itu dia lontarkan ke atas. Tubuh itu melayang ke atas kurang lebih tiga meter tingginya, diterima dengan penuh kasih sayang lalu dilontarkan lagi sampai tiga kali. Kemudian dia memeluk Li Eng dan menciumi rambutnya, membiarkan Li Eng terisak-isak bahagia di dadanya.
"Li Eng, mana dia? Mana cucu buyutku? Tidak bisakah kau lahirkan dia sekarang saja? Aku sudah ingin memondongnya, menimangnya, ha-ha-ha!"
"Iihhh, Kakek ini.......!" Li Eng menundukkan mukanya, jengah.
"Ha-ha-ha, Song-bun-kwi tolol, siapa bilang cucuku tidak becus dan goblok? Ha-ha-ha, Kong Bu, kau hebat.......!"
Dia sudah melepaskan Li Eng, menghampiri Kong Bu dan menepuk-nepuk pundak cucunya itu. Kalau saja bukan Kong Bu yang ditepuknya, tentu pundak itu akan remuk.
"Ha-ha-ha-ha, aku punya cucu buyut......." Kakek itu tertawa terus terbahak-bahak, makin lama makin aneh suara ketawanya.
"Kong-kong.......!" Li Eng dan Kong Bu menjerit berbareng sambil menubruk maju. Akan tetapi Song-bun-kwi sudah terguling roboh, terlentang dengan mata melek dan mulut terbuka, wajahnya masih tertawa-tawa akan tetapi napasnya berhenti. Kakek itu sudah mati dalam keadaan tertawa bahagia. Kiranya dalam kegirangannya yang melewati batas tadi, dia telah banyak mengerahkan tenaga dan hal ini memperhebat luka-lukanya yang memang sudah parah dan akhirnya merenggut nyawanya sebelum dia sempat menghabiskan ketawanya!
Li Eng dan Kong Bu memeluki tubuh kakek itu sambil menangis. Angin yang tadi bertiup dan bermain-main di antara daun-daun pohon, sekarang berhenti. Sunyi senyap di dalam hutan itu, seakan-akan hutan, angin dan penghuni hutan ikut menyatakan bela sungkawa atas kematian kakek sakti yang hidupnya sering kali menggemparkan dunia kang-ouw itu.
*******
"Kim-tiauw-ko, aku ingin sekali pergi ke Ching-coa-to. Ah, alangkah akan mudahnya kalau dapat menerbangkan aku ke pulau itu, kita tidak akan bingung menghadapi jalan-jalan rahasia. Ah, sayang. Tiauw-ko, kau tidak tahu di mana adanya pulau itu......." kata KunHong sambil mengelus-elus leher burung itu.
Betapapun cerdik pandainya, seekor burung hanyalah seekor binatang biasa saja, tentu saja tidak memiliki akal dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Si Pendekar Buta. Dia hanya mengeluarkan suara mencicit bingung melihat sahabatnya ini bersikap kecewa dan menyesal. Mereka masih berada di dalam sebuah hutan dan sudah beberapa hari mereka melakukan perjalanan keluar hutan. Kun Hong bingung karena tidak bertemu manusia yang dapat dia tanyai jalan. Sebetulnya sudah banyak hal yang menghilangkan kegelisahannya. Cui Sian sudah berada di tangan orang yang boleh dipercaya dan anak itu selamat. Surat Wasiat juga sudah diantarkan ke utara, dan dia merasa yakin bahwa Sin Lee dan Hui Cu pasti akan dapat melaksanakan tugas itu dengan baik. A Wan juga berada bersama paman gurunya, aman dan selamat. Tinggal dua lagi tugas yang harus dia selesaikan, pertama mencari orang-orang Ching-coa-to memberi hajaran atas kejahatan mereka terhadap Thai-san-pai. Ke dua....... ya, yang ke dua inilah yang membingungkan hatinya. Tentang Hui Kauw! Bagaimana baiknya dengan nona itu? Harus dia akui bahwa dia betul-betul mencinta Hui Kauw. Cinta kasihnya terhadap Cui Bi sekarang agaknya telah berpindah kepada Hui Kauw seluruhnya. Dia merasa kesepian, rindu, dan merasa seakan-akan hidupnya tidak lengkap, kehilangan semangat dan kegembiraan hidup, berpisah dari nona bersuara bidadari itu. Dia tahu bahwa hidupnya selanjutnya akan merana, akan kosong hampa dan tidak ada artinya tanpa Hui Kauw.
"Uhhh, urusan besar belum selesai, memikirkan yang bukan-bukan......." Dia menepuk kepala sendiri dan rajawali emas itu menggereng perlahan.
"Kim-tiau, alangkah tidak enaknya menjadi manusia!" kembali Kun Hong mengeluh sambil duduk di atas batu besar dekat burung itu. "Tiada hentinya manusia terganggu dalam hidupnya yang terbelit-belit dan terikat oleh segala macam kewajiban, terkacau oleh segala macam perasaan. Kau inilah mahluk bahagia, kim-tiauw, karena selama hidupmu kau tidak pernah memusingkan sesuatu."
Burung itu mengeluarkan suara panjang seakan-akan membantah pendapat ini dan sama sekali tidak menyetujuinya. Kun Hong merenung. Betulkah seperti yang dia katakan tadi? Apakah tidak sebaliknya daripada itu? Bukanlah segala ikatan dalam hidup itulah yang membuat hidup ini berisi dan pantas diderita? Bukankah kehidupan burung dan segala macam mahluk selain manusia di dunia ini yang amat menjemukan? Bayangkan saja. Hidup tanpa adanya susah, senang, puas, kecewa, dan lain-lain perasaan yang saling bertentangan, apakah tidak akan merupakan siksaan karena tiada perubahan, sunyi sepi dan seakan-akan sudah mati saja? Bagaikan samudera, apa artinya tanpa gelombang membadai yang membuat samudera nampak hidup? Apa artinya dunia ini tanpa angin, lelap lengang sunyi mati. Demikian pula hidup ini, akan sunyi membosankan kalau tidak ada ikatan-ikatan yang mengakibatkan manusia merasakan susah senang, jatuh bangun dan sebagainya.
Teringat dia akan filsafat-filsafat kuno dan dia tersenyum seorang diri. Memang hebat para budiman dan bijaksana jaman dahulu, telah dapat meneropong isi daripada hidup. Dia menepuk-nepuk leher kim-tiauw, kini wajahnya berseri dan hatinya tenang,
"Kim-tiauw, alangkah bodohku, sampai lupa akan kenyataan yang tidak terbantah lagi itu. Siapa mencari senang, dia sekali-kali tentu bertemu susah. Siapa mencari untung sekali-kali akan bertemu rugi. Siapa mencari puas, sekali-kali akan ketemu kecewa. Memang sudah semestinya begitu. Kalau tidak ada atas, mana bisa ada bawah? Kalau tidak ada senang, mana bisa bilang ada susah? Manusialah mahluk yang paling bahagia, kim-tiauw, karena mengenal keduanya itu, mengenal dan merasakan akibat daripada kekuatan Im dan Yang (positive dan negative). Ha-ha-ha, kaulah yang patut dikasihani, kim-tiauw." Kini kim-tiauw itu bersuara girang, sekan-akan dia ikut bergembira mendengar sahabatnya sudah bisa tertawa-tawa. Tiba-tiba mereka berdua serentak diam memperhatikan. Terdengar suara kaki orang banyak menuju ke arah tempat itu. Rajawali emas sudah siap, bulu tengkuk burung itu sudah mulai berdiri, tanda bahwa dia telah siap menyerang lawan.
"Sssttt, jangan sembrono kim-tiauw-ko, kita lihat dulu mereka itu kawan ataukah lawan."
Comments