Skip to main content

Pendekar Buta 54 -> karya : kho ping hoo

Dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisahnya hati Bun Wan. Dia mengira bahwa kekasihnya sudah terpukul tewas, maka sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia menerjang kakek itu dengan pedangnya. Hek Lojin tertawa bergelak, melayani pedang Bun Wan dengan tongkat hitamnya yang ternyata amat kuat dan setiap kali bertemu pedang, Bun Wan merasa betapa tangannya tergetar dan sakit-sakit. Namun kemarahannya melihat Hui Siang roboh membuat dia menjadi nekat dan dengan kemarahan meluap-luap dia mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut dan menyerang sepenuh tenaga.

"Bagus!! Kun-lun Kiam-sut ternyata masih ampuh. Akan tetapi melawan aku si tua bangka dari Go-bi, tiada artinya, heh-heh-heh!"

Memang sesungguhnyalah, Bun Wan merasa betapa sinar pedangnya yang dia dorong dengan sepenuh semangatnya, seakan-akan menghadapi benteng hitam dari tongkat itu, malah beberapa kali membalik dengan keras sehingga pedang itu hampir terlepas dari pegangannya. Setelah lewat tiga puluh jurus, dia menjadi pening karena benteng hitam itu makin melebar dan makin mendesak sehingga akhirnya mengurungnya, membuat pandang matanya gelap dan bayangan kakek itu sendiri sudah lenyap tertelan gulungan sinar hitam. Akhirnya dia tidak tahu lagi di mana adanya kakek itu dan tahu-tahu tengkuknya telah kena tampar tangan kiri kakek itu. Perlahan saja tamparan itu, namun cukup membuat Bun Wan berteriak keras, terguling roboh pingsan di dekat tubuh Hui Siang yang juga belum dapat bergerak sama sekali.

"Heh-heh-heh, segala pemberontak hijau. Biarlah mati di sini, tidak perlu kubawa lagi, membikin repot saja." Sambil berkata demikian, Hek Lojin menyeret tongkat hitamnya yang panjang, hendak pergi dari tempat itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar lengking panjang yang memekakkan telinga, dari atas datangnya. Dia kaget dan cepat berdongak. Mulutnya yang hitam melongo terbuka, matanya terbelalak ketika dia melihat seekor burung rajawali emas yang besar sekali menukik ke bawah ditungganggi oleh seorang laki-laki muda yang agaknya buta kedua

matanya.

"Kim-tiauw-ko, jangan serang orang!" Kun Hong, pemuda yang menunggang rajawali emas itu, berseru ketika mendengar gerakan kim-tiauw, dan dia pun melompat turun ke atas tanah. Seperti kita ketahui, selama beberapa hari ini Kun Hong berada di dalam hutan bersama-sama kim-tiauw, menghibur diri dan kadang-kadang dia menunggang punggung burung itu dan menyuruhnya terbang berputaran di atas hutan. Pagi hari itu, entah mengapa kim-tiauw menukik ke bawah dan kiranya hendak menyerang orang, maka cepat dia mencegahnya dan meloncat ke atas tanah karena hidungnya mencium bau daun dan tanah, tanda bahwa burung itu sudah turun dan mendekati tanah.

Namun burung rajawali emas itu tetap saja marah-marah, memekik-mekik dan mengeluarkan suara melengking tinggi, siap untuk menyerang Hek Lo jin yang sudah hilang kagetnya dan kini kakek itulah yang berbalik menjadi marah. Dia adalah seorang sakti, biasanya ditakuti orang. Melihat mukanya yang hitam saja, orang-orang sudah pada takut, apalagi menyaksikan sepak terjangnya yang sakti. Kini ada seorang bocah buta dan burung rajawali datang-datang menimbulkan kekagetannya, tentu saja dia marah.

"Burung keparat, kau kira kau ini luar biasa gagahnya maka berani membikin kaget Hek Lojin. Apa kau sudah bosan Keparat!"

Rajawali emas adalah seekor burung sakti, yang sudah banyak bergaul dengan orang-orang sakti. Andaikata dia tidak dapat menangkap ucapan kakek itu, setidaknya, dia dapat merasa bahwa kakek, itu marah dan memaki-maki serta menantangnya. Maka dia pun lalu membuka sepasang sayapnya, matanya memandang berapi-api, siap untuk menerjang. Mulutnya mengeluarkan pekik tantangan mengagetkan Kun Hong.

"Kim-tiauw-ko, sabarlah. Locianpwe, harap suka mengalah terhadap burung sahabat baikku ini......."

"Burung jahat ini harus dibunuh, kalau tidak hanya akan mendatangkan kekacauan belaka!"

Hek Lojin yang merasa ditantang oleh burung itu, sudah menggerakkan tongkatnya memukul. Hebat pukulan ini, mendatangkan angin berdesir, agaknya dia hendak menewaskan burung itu sekali pukul! Rajawali emas itu agaknya tahu pula akan kehebatan pukulan ini, maka dia cepat melejit dan mengelak, Kun Hong yang dapat menangkap angin pukulan, dia terkejut bukan main, maklum bahwa kakek yang berangasan ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, bukan lawan burungnya. Tahu pula bahwa kakek itu benar-benar hendak membinasakan rajawali maka cepat dia menjura dan berkata,

"Locianpwe, sudahlah. Biarlah aku yang mintakan maaf kalau burungku bersalah, dan biarlah kami pergi tidak mengganggumu lagi."

Akan tetapi Hek Lojin sudah semakin panas perutnya. Dia seorang ahli silat kelas tinggi,seorang yang kesaktiannya sudah menggemparkan Go-bi-san, masa sekarang sekali pukul tidak dapat mengenai tubuh burung celaka itu? Apalagi melihat kini kim-tiauw lincak-lincak (berloncatan) seakan-akan mengejek, hawa amarah sudah naik ke ubun-ubunnya.

"Burung iblis, mampuslah!" Tongkatnya kini diputar cepat dan sekali terjang dia sudah mengirim belasan jurus. Kagetlah Kun Hong. Lebih kaget lagi burung itu sendiri, karena biarpun dia sudah mengibaskan sayap, sudah mengelak dan menangkis dengan cakarnya, namun tetap saja punggungnya terkena gebukan satu kali, membuat dia terlempar beberapa meter dan banyak bulunya yang kuning emas rontok. Akan tetapi dasar burung sakti, pukulan itu biarpun mendatangkan rasa nyeri, namun tidak melukainya. Hai ini membuat Hek Lojin kaget dan heran, akan tetapi malah makin marah.

Ketika dia menerjang lagi, ternyata Kun Hong sudah berdiri menghadangnya. Pemuda ini maklum bahwa burungnya tidak mungkin dapat melawan kakek ini dan kalau dia diamkan saja, berbahayalah bagi kim-tiauw.

"Locianpwe, sekali lagi, harap kau suka maafkan kami. Di antara kita tidak ada permusuhan, maka untuk apakah urusan kecil ini dibesar-besarkan dan pertempuran yang tidak ada gunanya dilanjutkan?"

Melihat sikap pemuda buta ini, Hek Lojin menahan kemarahannya. Dia dapat menduga bahwa kalau burungnya demikian hebat, pemiliknya tentu bukan orang lemah pula. Hanya saja orang ini masih sangat muda, apalagi buta, kepandaian apakah yang dimilikinya? Maka dia memandang rendah dan berkata, "Kalau kau pemiliknya dan mintakan maaf, aku mau memberi ampun asal kau bisa menyuruh dia berlutut dan mengangguk tujuh kali di depanku untuk minta ampun."

Kun Hong kaget dan bingung. Dia cukup mengenal watak kim-tiauw. Burung itu angkuh sekali, mana sudi merendahkan diri dan berlutut minta ampun seperti itu? Tidak mungkin!

"Menyesal sekali, hal itu tidak mungkin dapat kulakukan, Locianpwe, karena burung itu tidak pernah diajar berlutut, tentu tidak bisa dan tidak mengerti kalau kusuruh berlutut." Dalam hal ini Kun Hong membohong, karena kalau dia mau, burung itu akan melakukan ini dengan amat mudahnya. Soalnya, burung itu tentu tidak sudi berlutut di depan orang ,tua galak ini.

"Hemm, burungnya jahat dan sombong, pemiliknya amat baik," kakek itu menggerutu. "Sudahlah, kalau dia tidak bisa disuruh berlutut, biar kau yang mewakili juga tidak apa."

Hebat kesombongan Kakek ini. Akan tetapi, memang pada dasarnya Kun Hong adalah seorang yang amat penyabar dan luas pandangannya. Apa salahnya berlutut di depan seorang kakek yang memiliki kepandaian tinggi ini, pikirnya. Kalau dia tidak mau memenuhi permintaan ini tentulah terjadi pertempuran hebat yang sama sekali tidak ada sebabnya, pertempuran yang tiada gunanya. Maka dia tersenyum dan segera menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala tujuh kali.

Kakek itu girang dan agaknya hendak menguji kelihaian Kun Hong karena dia segera mengangkat sebelah kakinya dan dilayangkan ke atas kepala Kun Hong. Penghinaan yang hebat! Kun Hong menggigit bibirnya karena biarpun matanya buta, tentu saja telinganya dapat menangkap gerakan ini dan kalau dia mau, sekali menggerakkan tangan tentu dia mampu merobohkan kakek sombong itu ketika si kakek melakukan gerakan yang menghina dan juga berbahaya bagi diri kakek itu sendiri. Dia pura-pura tidak tahu dan kakek itu tertawa bergelak-gelak sambil menyeret tongkatnya, pergi dari situ. Masih terdengar suaranya dari jauh terkekeh-kekeh dan berkata,

"Ajaib sekali, burung demikian kuatnya memiliki majikan begitu lemah, heh-heh-heh!"

Setelah suara kakek itu tidak terdengar lagi, Kun Hong bangkit dan menggerutu, "Berbahaya sekali......." Dia maksudkan berbahaya kalau dia tidak mampu mempertahankan kesabarannya tadi, tentu akan terjadi pertempuran hebat karena dia dapat menduga bahwa ilmu kepandaian kakek itu memang amat tinggi.

"Kim-tiauw-ko, kenapa kau mencari gara-gara?" Dia menegur burung itu, Burung rajawali meloncat ke dekatnya, menyambar ujung lengan bajunya dan dengan suara menggerang panjang burung itu menariknya dari situ. Kun Hong heran dan mengikuti. Burung itu berhenti dan menarik dia supaya berjongkok. Dengan hati mengandung penuh pertanyaan Kun Hong berjongkok, tangannya meraba dan....... jari-jari tangannya menyentuh tubuh seorang laki-laki yang pingsan dan menderita luka dalam yang hebat. Tangannya meraba lagi ke kiri dan....... kali ini menyentuh tubuh seorang wanita. Dia berseru kaget karena wanita ini malah lebih hebat lagi keadaannya. Tubuhnya panas membara seperti terbakar, napasnya sesak, tanda bahwa ia menderita luka yang hampir mencabut nyawanya.

"Celaka....... ah, kim-tiauw-ko, kiranya aku benar-benar buta!" Dia menyumpahi diri sendiri karena sekarang mengertilah dia bahwa burung itu tadi menyerang seorang kakek yang baru saja merobohkan dua orang muda secara ganas dan keji!

Cepat dia memeriksa laki-laki itu. Tahu bahwa laki-laki itu menderita pukulan dengan tenaga Iweekang yang hebat pada punggungnya, dia cepat mengurut dan menotok bebprapa jalan darah. Hatinya lega karena dia mendapat kenyataan bahwa orang ini tidak berbahaya lagi sekarang keadaannya. Dia cepat mengalihkan perhatian pada wanita itu. Hatinya berdebar karena sungkan dan ragu ketika jari-jari tangannya meraba tubuh seorang wanita yang masih muda. Apalagi setelah dia melakukan pemeriksaan teliti, dia mendapat kenyataan bahwa wanita ini terkena senjata rahasia halus di dadanya dan berada dalam keadaan yang membahayakan keselamatan nyawanya. Dia bingung dan ragu.

"Apa boleh buat, demi menolong nyawanya." Akhirnya dia menggerutu seorang diri. Cepat diturunkannya buntalannya dan digeledahnya saku-saku bajunya, lalu dia mengeluarkan sebatang jarum perak. Tanpa ragu-ragu lagi karena maklum bahwa kelambatan akan berbahaya bagi wanita ini, dia lalu merobek baju wanita itu di bagian dadanya. Rabaan jari-jari tangannya menyatakan bahwa kulit dada itu ditembusi tiga batang jarum kecil yang rupanya mengandung bisa yang mendatangkan hawa panas.

"Hemmm, agaknya racun ular," gumamnya sendiri setelah dia memencet luka itu, mengeluarkan sedikit darah dan diciumnya darah di jarinya. Cepat dia mengerahkan kepandaiannya, menusuki beberapa jalan darah dengan jarum peraknya untuk mencegah racun itu menjalar. Dari detak jantung dia mendapat kenyataan yang menimbulkan harapan bahwa racun itu belum menjalar sampai ke dalam jantung. Pada tusukan terakhir di dekat leher, tubuh wanita itu bergerak dan terdengar ia mengeluh perlahan sekali, akan tetapi disusul suaranya penuh kekagetan,

"Aduhhhh....... tua bangka keparat....... eh....... heeeee, siapa kau, lepaskan aku......!"

Berdebar jantung Kun Hong karena telinganya serasa mengenal suara ini, akan tetapi dia lupa lagi siapa dan di mana. Tenanglah, Nona, aku berusaha mengobatimu," katanya dengan suara dingin dan halus.

"Kau.......? Ah, kau....... Kwa Kun Hong Pendekar buta......."

Kini teringatlah Kun Hong. Kiranya nona ini adalah Giam Hui Siang, "siocia" yang amat galak dari Ching-coa-to. Kalau begitu, apakah laki-laki yang pingsan ini pemuda Kun-lun-pai, Bun Wan itu? Ah, apa bedanya ? Hal itu tidak penting baginya, yang penting hanya bahwa dia harus mengobati dua orang yang terancam bahaya maut ini, siapa pun juga mereka.

"Harap kau diam, jangan bergerak, Nona. Kau telah terkena senjata rahasia yang mengandung racun ular, biar kukeluarkan tiga batang jarum ini."

Hui Siang mengeluh, akan tetapi ia benar-benar tidak bergerak sekarang. Kedua tangannya ia pergunakan untuk menutupi mukanya karena biarpun ia tahu bahwa Kun Hong adalah seorang buta dan tidak dapat melihatnya, namun sebagai seorang gadis tentu saja ia menjadi jengah dan malu sekali karena bajunya terobek seperti itu dan Kun Hong meraba-raba kulit tubuh bagian dada!

Karena maklum bahwa dia berlomba dengan waktu untuk menolong gadis ini, Kun Hong lalu mengerahkan tenaga Iweekangnya, menggunakan hawa sinkang disalurkan ke telapak tangan, kemudian telapak tangannya dia tempelkan ke atas luka-luka di dada itu dengan tenaga "menyedot". Dia menekan perasaan hatinya untuk melupakan perasaan tangannya yang meraba bagian tubuh yang dirahasiakan itu, membekukan perasaan ini dengan keyakinan bahwa dia tidak memiliki kehendak lain kecuali sebagai ahli obat hendak menolong nyawa seseorang.

Usahanya berhasil baik. Tiga batang jarum yang sudah menancap sampai tidak kelihatan lagi di dalam dada itu, kini tersembul dan sempat Kun Hong menjepit dan mencabuti keluar ketiganya. Akan tetapi tidak ada darah mengucur keluar. Kagetlah Kun Hong. Hal ini hanya menjadi bukti bahwa racun itu telah bekerja, darah telah membeku dan tidak dapat keluar karena tertutup oleh gumpalan darah matang yang kotor oleh racun. Kalau saja dia bisa mendapatkan beberapa macam daun obat yang mempunyai sifat menghisap, nona ini akan cepat tertolong. Akan tetapi dia tidak mempunyai daun itu dan untuk mencarinya, tidaklah mudah, apalagi dia seorang buta.

"Nona, kau maafkanlah aku, tidak ada jalan lain mengeluarkan racun dari dalam luka di dadamu kecuali dihisap dengan mulut. Kau diam sajalah, tidak lama tentu sembuh." Terpaksa sekali, tanpa memperdulikan apa-apa lagi karena khawatir kalau-kalau racun akan makin meresap ke dalam, Kun Hong menundukkan mukanya dan menggunakan mulutnya menyedot luka-luka di dada itu sambil mengerahkan tenaga sinkang. Andaikata seorang biasa yang melakukan hal ini, kiranya akan makan waktu lama sekali. Akan tetapi Kun Hong bukanlah orang biasa, tenaga sinkangnya hebat sekali sehingga sekali sedot saja dia sudah menghisap bersih racun pada satu luka. Setelah meludahkan darah segar sudah mulai keluar dari luka kecil pertama itu, dia menyedot luka ke dua, kemudian ke tiga.

Dapat dibayangkan betapa jengah dan malunya Hui Siang. Tentu saja ia mengenal kehebatan jarum-jarumnya sendiri dan andaikata ia membekal obat penawarnya, tentu ia tidak sudi diobati secara demikian oleh Kun Hong. Akan tetapi apa daya, ia lupa membawa obat bekalnya, dan ia pun tahu bahwa jalan satu-satunya untuk menolongnya memang seperti yang dilakukan Kun Hong itulah. Teringat ia akan keadaan cici angkatnya dahulu ketika diobati oleh Kun Kong dan hatinya tertusuk. Mulailah timbul penyesalannya akan sikap-sikapnya dahulu terhadap Hui Kauw dan Kun Hong. Pendekar Buta ini kiranya benar- benar seorang manusia yang berbudi luhur, yang mengobati siapa saja tanpa pamrih sesuatu. Buktinya, sebelum ia sadar, tentu si buta ini tidak mengenalnya siapa. Betapapun juga, merasa betapa muka dan mulut orang buta itu menempel pada dadanya, Hui Siang tidak dapat menahan rasa malunya dan ia menutupi muka dengan kedua tangan, mukanya yang tadinya pucat sekarang menjadi merah seperti udang rebus. Ketika Kun Hong sedang menghisap luka ke tiga atau yang terakhir, dan tubuhnya sedang berlutut itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan....... sebuah tendangan kilat yang amat kuat membuat tubuh Kun Hong terlempar beberapa meter jauhnya dan jatuh terguling-guling. Baiknya Kun Hong keburu mengerahkan Iweekangnya sehingga dia tidak terluka, hanya terlempar dan bergulingan saja. Tadi dia hanya mendengar bentakan itu, akan tetapi karena seluruh perhatian sedang ditujukan kepada pengobatan, sedang sinkangnya pun sedang disalurkan kepada mulut yang menyedot, dia tidak sempat membela diri.

Ketika dia cepat melompat bangun, Kun Hong mendengar suara Bun Wan yang penuh kemarahan. "Kwa Kun Hong jahanam besar! Dahulu kau telah menghancurkan hubunganku dengan perbuatanmu yang tidak tahu malu terhadap Cui Bi, sekarang kembali kau melakukan penghinaan terhadap Hui Siang! Kun Hong kau benar-benar seorang berhati binatang, sampai matamu menjadi buta masih saja kau merupakan manusia iblis. Kali ini aku tidak akan suka menerima penghinaan begitu saja. Keparat!"

"Wan-koko........ jangan menuduh yang bukan-bukan.......!" Suara Hui Siang lemah dan tercampur isak.
Nona ini sudah dapat bangun dan tadi saking kagetnya ia tidak mampu bicara, hanya cepat-cepat menutup bajunya yang robek. Dadanya masih terasa nyeri, akan tetapi tidak sesak lagi dan kekuatannya sudah pulih. Dengan mata terbelalak ia melihat betapa Kun Hong terguling-guling dan begitu mendengar suara Bun Wan, baru ia sadar kembali bahwa kekasihnya itu telah salah duga. Akan tetapi Bun Wan tidak mendengar ucapan Hui Siang ini karena pada saat itu dia sedang marah bukan main. Siapa orangnya yang tidak akan marah kalau begitu dia sadar dari pingsannya melihat apa yang dilakukan Kun Hong terhadap kekasihnya tadi? Dengan amarah meluap-luap dia sudah melompati Kun Hong dan mengirim serangan mati-matian, tidak memperdulikan punggungnya yang masih terasa ngilu dan nyeri. Tiba-tiba terdengar lengking tinggi dan rajawali emas telah menerjang Bun Wan, menggantikan Kun Hong yang masih berdiri termangu-mangu. Burung itu marah sekali. Biarpun hanya seekor binatang, dia tadi mengerti bahwa sahabatnya sedang mengobati atau menolong dua orang yang menjadi korban keganasan Hek Lojin, akan tetapi mengapa yang ditolong oleh sahabatnya itu kini berbalik menyerang Kun Hong? Maka marahlah dia dan serta merta gerakan Bun Wan tadi dia sambut dengan kepakan sayap dan cengkeraman kukunya yang runcing.

Bun Wan kaget sekali, namun dia tidak kehilangan akal. Melihat bahwa gerakan burung ini mengandung kekuataan luar biasa besarnya, dia segera menjejak tanah dan tubuhnya melayang ke belakang, terluput daripada serbuan burung itu. Rajawali emas memekik lagi dan menerjang maju, lebih hebat daripada tadi.

"Kim-tiauw-ko, jangan....... !!" Kun Hong berseru dan tubuhnya mencelat ke arah burung rajawali. Burung itu meragu ketika mendengar teriakan Kun Hong, menunda serbuannya dan di lain saat lehernya telah dirangkul oleh Kun Hong.
"Jangan serang dia......." kata pula Kun Hong, suaranya sedih.
"Kun Hong, kau manusia tidak tahu malu!" kembali Bun Wan memaki dengan dada turun naik saking marahnya.
"Apakah kau tidak bisa mendapatkan lain wanita kecuali calon-calon isteriku? Apakah karena matamu menjadi buta maka tidak ada wanita sudi kepadamu? Kami sedang pingsan dan engkau hendak menggunakan kesempatan ini berlaku hina kepada Hui Siang, benar-benar iblis berujud manusia, jahanam! Kalau memang laki-laki, hayo kita mengadu nyawa, seorang di antara kita harus menggeletak mampus di sini!"

Kun Hong hanya tersenyum sedih dan menundukkan mukanya. Sementara itu wajah Hui Siang menjadi pucat sekali ketika mendengar ucapan kekasihnya ini. Cepat ia memegang lengan Bun Wan dan diguncang-guncangkan seperti seorang membangunkan seseorang daripada mimpi buruk. "Wan-koko, diamlah.......! Sudah, diamlah jangan bicara....... !"

Setelah Bun Wan selesai memaki-maki Kun Hong, baru ia berkata, "Wan-koko, kau salah duga....... ah, bagaimana kau bisa menjatuhkan tuduhan sekeji itu kepadanya? Wan-koko, kau lihat ini......." Ia membuka bajunya yang robek itu sehingga tampaklah luka bekas jarum-jarum itu pada kulit dadanya yang putih halus. "Aku tadi terluka oleh tiga batang jarumku sendiri, aku pingsan dan pasti aku tidak akan dapat berkumpul lagi dalam keadaan hidup denganmu kalau tidak ada dia yang menolongku. Dia tidak berlaku kurang ajar, Koko....... ah, jangan salah duga....... dia tadi berbuat begitu untuk menghisap keluar darah yang sudah terkena racun. Tanpa usahanya itu, darah beracun akan menjalar terus dan merusak jantung. Wan-koko........ kau sadarlah..."

Bun Wan merasa seakan-akan mendengar halilintar menyambar di hari terang. Matanya berkedip-kedip, mulutnya melongo ketika dia mendengar ini sambil menatap Kun Hong yang membelai-belai leher kim-tiauw. Dia tadi merasa kepalanya nanar dan pening, sekarang dia menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir kepeningan itu. Kemudian dia merangkul leher Hui Siang, mendekap kepala gadis itu pada dadanya, matanya dimeramkan dan ketika dibuka kembali tampak dua butir air mata menitik turun.

"Kun Hong......." suaranya serak, hampir tidak terdengar, "....... Kun Hong........ ternyata biarpun aku melek ternyata aku lebih buta daripadamu. Maafkan aku, Kun Hong......."

Kun Hong tersenyum, bukan senyum sedih lagi, dia gembira dan juga terharu. Sekaligus dia melupakan sikap Bun Wan yang menyakitkan hati tadi, dan untuk melenyapkan suasana tidak enak, serta merta dia bertanya,

"Bun Wan, siapakah kakek keji yang merobohkan kalian tadi?"

Bun Wan masih dalam keadaan terpukul dan terharu, maka jawabnya masih dengan suara menggetar, "....... aku....... aku tidak kenal, dia mengaku bernama Hek Lojin."

Diam-diam Kun Hong terkejut. Pernah dia mendengar ceritera Hui Kauw bahwa The Sun pemuda cerdik dan sakti itu adalah murid Hek Lojin. Hemm, pantas begitu lihai, kiranya guru The Sun, pikirnya.

"Kenapa dia menyerang kalian dan merobohkan secara keji?"

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka