Skip to main content

Pendekar Buta 52 -> karya : kho ping hoo

Loan Ki mengerutkan kerungnya. Ia pun bukan seorang bodoh. Ia tahu bahwa Kun Hong mempertahankan mahkota itu bukan semata-mata karena emasnya, melainkan karena rahasia yang dikandungnya itulah. Susah payah mahkota itu hendak disampaikan kepada Raja Muda Yung Lo, tentu saja bukan karena benda itu terbuat daripada emas berharga, melainkan karena hendak menyampaikan surat rahasia itulah. Sekarang surat itu hendak diambil, habis untuk apa mahkota itu dibawa-bawa ke utara? Apa kepentingannya lagi kalau suratnya sudah diambil?

"Siapa percaya omonganmu? Aku tidak mengenalmu!" jawabnya sambil memandang hwesio itu dengan sinar mata berapi, sedikit pun juga tidak memperlihatkan rasa takut.

"Ha-ha-ha, betul-betul anak harimau! Nona, pinceng adalah sahabat baik ayahmu, masa kau tidak percaya?" kata hwesio itu.

"Loan Ki, kau berikan mahkota itu untuk diperiksa oleh Bhok-losuhu."

Loan Ki merengut dan menepuk-nepuk buntalan di punggungnya. "Ayah, aku mendapatkan ini dengan susah payah, dengan pedang dan dengan bahaya maut. Masa sekarang orang lain begini mudah hendak menerimanya dariku? Aku mendapatkannya mengandalkan kepandaian, masa orang lain tanpa mengandalkan kepandaian boleh mengambil begitu saja? Ayah, di mana kehormatan kita?"

"Omitohud, benar-benar cerdik dan gagah anakmu, Tan-sicu. Eh, saudara Lui-kong Thian Te Cu, maukah kau mewakili kita memperlihatkan sedikit kepandaian kepada Nona ini untuk memindahkan mahkota itu ke tangan kita?"

Lui-kong Thian Te Cu terkekeh ketawa, kemudian melangkah maju. Loan Ki memandang tajam. Kalau saja keadaannya tidak begitu menegangkan hati, tentu ia sudah tertawa geli melihat orang ini. Seorang kakek bertubuh pendek gemuk tetapi tangannya panjang sekali sampai hampir mencapai tanah, mukanya bulat seperti muka kanak-kanak. Mau apakah badut ini, pikirnya.

"Nona, kepandaian manusia tiada batasnya, tetapi kau hendak main-main, dengan kepandaian. Jangan katakan aku orang tua keterlaluan terhadapmu kalau terpaksa aku menggunakan kebodohan untuk mengambil mahkota itu dari punggungmu. Tan-sicu, maafkan aku, bukan maksudku menghina puterimu. Nona, awas!" Tiba-tiba tangannya yang kanan terulur panjang, tangan itu bergerak cepat dan tahu-tahu sudah melewati kepala Loan Ki dan melengkung hendak merenggut buntalan dari punggung!

Loan Ki terkejut sekali dan cepat ia menggerakkan kaki mengelak. Berkat ilmu langkah ajaib yang ia pelajari dari Kun Hong, dengan tiga kali gerakan kaki ia dapat berhasil membebaskan diri dari kurungan lengan panjang itu.

"Ho-ho-ho, kau hebat, Nona!" kata Thian Te Cu yang kini tidak berani memandang rendah lagi, tubuhnya berkelebat dan bagaikan seekor burung menyambar-nyambar, dia berusaha merenggut buntalan dari punggung Loan Ki.

"Jangan kurang ajar!" tiba-tiba Nagai Ici membentak dan sekali dia menggerakkan kedua tangannya, dia sudah berhasil menangkap kakek itu dan di lain saat kakek itu sudah terlempar ke udara oleh ilmu gulatnya.

Hebat kejadian ini, sampai-sampai membuat Bhok Hwesio, Tan Beng Kui dan Gui Hwa melongo saking kaget dan herannya, mengira bahwa pemuda teman Loan Ki itu sedemikian saktinya sehingga Thian Te Cu yang demikian lihai itu dalam segebrakan saja dapat dilempar ke udara! Padahal kejadian itu bisa timbul karena Thian Te Cu terlalu memandang rendah kepada pemuda ini dan tidak mengenal keanehan ilmu gulat Jepang sehingga tanpa dapat dia pertahankan lagi, kakek gemuk pendek ini melayang ke udara seperti sebuah peluru kendali. Akan tetapi segera Thian Te Cu dapat menguasai kekagetannya dan dengan cekatan dia dapat melayang turun kembali lalu tiba tiba dia menyerang Nagai Ici. Pemuda Jepang ini karena marah hendak melindungi Loan Ki, menyambut serangan si kakek dengan kepalan tangannya. Akan tetapi kali ini dia kaget, karena begitu kepalan tangannya bertemu dengan telapak tangan kakek itu, dia berteriak kesakitan dan menarik kembali tangannya yang sudah menjadi bengkak. Sambil meringis kesakitan Nagai Ici memegangi kepalan tangan kiri itu dengan tangan kanannya.

"Kakek jahat, berani kau melukai temanku!" Loan Ki berseru dan kini ia sudah mencabut pedang, langsung ia menerjang Thian Te Cu. Namun kakek yang lihai ini sudah bersiap sekarang. Dengan gerakan aneh dia miringkan tubuhnya, tangan kirinya diulur mencengkeram tangan Loan Ki yang memegang pedang. Gadis itu kaget, cepat menarik kembali pedangnya, akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa buntalan di punggungnya sudah direnggut orang. Ketika ia menoleh, kiranya tangan kanan yang panjang dari Thian Te Cu sudah berhasil merampas buntalan itu. Kini kakek itu sambii terkekeh-kekeh menyerahkan mahkota kepada Bhok Hwesio dan melemparkan buntalan pakaian kembali kepada Loan Ki yang menyambutnya dengan uring-uringan.

"Bagaimana tanganmu?" Ia menghampiri Nagai Ici yang memperlihatkan kepalan tangan kiri yang membengkak.Loan Ki mengurut pergelangan lengan itu beberapa kali dan sebentar saja bengkak itu mengempis. Memang tangan Nagai Ici itu tidak terluka, hanya keseleo saja ketika bertemu dengan telapak tangan Thian Te Cu yang mengandung tenaga Iweekang amat kuat. Diam-diam Sin-kiam-eng menyaksikan semua peristiwa itu dan jantungnya serasa tertikam ketika dia menyaksikan sikap mesra Loan Ki terhadap si pemuda, dan dia pun terharu menyaksikan betapa pemuda aneh itu tadi tanpa mengukur kepandaian sendiri sudah berani membela Loan Ki mati-matian. Sementara itu, Bhok Hwesio sudah mulai memeriksa mahkota. Diputar-putar ke sana ke mari, lalu diperiksa sebelah dalamnya. Dipencet sana, pencet sini, akan tetapi tidak dapat dia menemukan sesuatu. Dengan kening berkerut hwesio itu lalu menggunakan tenaga tangannya yang luar biasa, sekali dia berseru keras, kedua tamgannya sudah mematahkan mahkota menjadi dua! Dia memeriksa secara teliti dan tampaklah olehnya tempat rahasia di dalam mahkota yang sudah kosong!

"Omitohud....... orang muda hendak mengakali orang tua!" Dia melemparkan potongan mahkota ke atas tanah dan kini memandang kepada Loan Ki dengan muka merah. "Nona, di dalam mahkota ini terdapat surat rahasianya, sekarang ternyata sudah kosong. Harap kau jangan main-main dan lekas serahkan surat itu kepada pinceng."

Loan Ki sendiri heran dan penasaran ketika melihat bahwa mahkota itu ternyata tidak mengandung sesuatu. Hampir saja ia melakukan perjalanan jauh dengan sia-sia. Apa artinya ia membawa benda itu jauh-jauh ke utara kalau ternyata tidak ada apa-apanya? Siapakah yang telah mengambil isi mahkota itu?

"Aku tidak tahu tentang surat-surat segala," katanya. Bhok Hwesio menoleh kepada It-to-kiam Gui Hwa. "It-to-kiam lihiap, sepantasnya kau seorang wanita yang menggeledah Nona ini. Tentu surat itu telah diambil dan disimpannya."

It-to-kiam Gui Hwa adalah seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya kecil kurus, gerak-geriknya gesit. Ia melangkah maju dan siap menggeledah tubuh Loan Ki. Nona ini mengerutkan keningnya. "Jangan sentuh aku!" bentaknya.

"Nona cilik, harap kau jangan mempermainkan kami orang-orang tua. Serahkan saja surat itu daripada aku terpaksa harus menggunakan kekerasan." Gui Hwa mengancam.

"Ayah, apakah kau membiarkan saja anakmu dihina orang?" Loan Ki menjerit sambil memandang ayahnya.

Sin-kiam-eng Tan Beng Kui bingung. Tentu saja dia pun tidak senang melihat puterinya didesak begitu rupa dan diperlakukan dengan cara menghina. "Loan Ki, kalau kau memang mengambil surat itu, kau serahkan saja, jangan kau mencampuri urusan negara ini," katanya dengan suara bengis dan berpengaruh.

"Aku tidak tahu menahu tentang surat, Ayah," kata Loan Ki, suaranya tegas karena memang ia tidak membohong.

"Lebih baik kau berterus terang, Nona. Jangan main-main!" It-to-kiam Gui Hwa mengancam.

"Nenek buruk, aku sudah berterus terang, tidak tahu-menahu tentang surat itu. Kau mau apa?" bentak Loan Ki.

"Baik, kalau begitu jangan salahkan aku kalau pedangku akan merobek-robek bajumu dan menelanjangimu di sini." Gui Hwa berseru marah sambil mencabut pedangnya yang tipis dan panjang.

"Srattttt!" Loan Ki juga mencabut pedangnya dan berkata kepada ayahnya dengan suara getir, "Ayah, kalau kau membiarkan anakmu dihina orang, biarlah sekarang pedangku yang akan melindungiku, lihatlah betapa anakmu tidak akan membiarkan begitu saja dihina orang!"

Tan Beng Kui bingung, akan tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Sementara itu, Gui Hwa sudah menerjang maju menggerakkan pedangnya dengan maksud merobek-robek pakaian Loan Ki agar surat yang disembunyikan dapat dirampas, karena kalau digeledah begitu saja gadis ini tentu tidak akan mau menyerah. Loan Ki dengan marah juga menggerakkan pedang sehingga dua orang wanita tua dan muda ini sudah bertempur dengan hebat, seru dan mati-matian.

"Jangan hina Loan Ki!" Nagai Ici yang sudah sembuh tangan kirinya, ternyata sudah mencabut pedang samurainya dan kini maju hendak membantu Loan Ki. Sikapnya garang dan bersemangat seperti seekor singa muda.

"Ho-ho-ho, pemuda sombong, jangan bergerak!" Lui-kong Thian Te Cu melompat ke depan, menghadang gerakan Nagai Ici dan dia pun sudah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang tanduk seperti tanduk rusa yang panjangnya kurang lebih empat kaki, runcing dan bengkok-bengkok. Dengan gerakan cepat dia mendahului pemuda ini, mengirim pukulan dengan senjata aneh ini ke arah pundak kanan untuk membuat tangan pemuda itu lumpuh. Dia pun sama sekali tidak berniat membunuh pemuda ini, hanya untuk merobohkan dan mengalahkannya.

"Trrraaanggg....... singgg....... Hiaaaaattttt!!" kaget bukan main Lui-kong Thian Te Cu. Seperti juga tadi, kali ini dia dibikin kaget oleh gerakan aneh pemuda ini karena begitu menangkis, pedang panjang itu langsung saja menyambarnya dengan kecepatan luar biasa dan tenaga yang amat kuat. Hampir saja dia celaka oleh serangan balasan yang otomatis dari Nagai Ici ini, karena kalau dia tidak cepat-cepat membuang diri ke belakang dan lehernya terkena sambaran pedang panjang itu, tentu sekarang dia sudah menjadi setan tanpa kepala.

"Wah-wah, ilmu pedang ganas seperti iblis mengamuk! Kau ini orang apakah?" bentak kakek itu yang cepat menerjang kembali, kini dengan hati-hati sekali mainkan senjatanya yang aneh. Karena memang tingkat kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi daripada Nagai Ici, sebentar saja jago muda Jepang itu sudah menjadi repot sekali, terpaksa menggerakkan pedang samurainya ke sana sini untuk menangkis tanduk rusa yang lagaknya sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya, mengurung dirinya dari segala penjuru.

Juga Loan Ki amat repot menghadapi pedang It-to-kiam Gui Hwa. Nenek ini adalah seorang tokoh Kun-lun-pai dan dalam hal ilmu pedang, kepandaiannya malah lebih matang daripada kepandaian Bun Wan. Tentu saja tingkatnya jauh lebih tinggi daripada Loan Ki dan dengan mudah saja nenek ini mempermainkan Loan Ki yang terpaksa mempergunakan langkah ajaib untuk menyelamatkan diri. Namun, mana bisa orang bertempur hanya main tangkis dan kelit saja? Kalau diteruskan, akhirnya ia tentu akan celaka, akan terobek bajunya dan mengalami hinaan yang hebat.

Melihat keadaan itu, Tan Beng Kui menjadi lemas kaki tangannya, jantungnya berdebar dan kerongkongannya terasa kering. Tiba-tiba terdengar suara keras dan....... pedang samurai di tangan Nagai Ici sudah terlempar ke atas dan jatuh menancap tanah, sedangkan pangkal lengan kanan pemuda itu sendiri sudah terluka oleh pukulan senjata Thian Te Cu. Pukulan keras yang membuat lengan itu serasa lumpuh dan pemuda ini hanya berdiri memegangi lengannya, tidak dapat berdaya lagi menghadapi kakek yang lihai itu. Thian Te Cu tertawa-tawa bergelak atas kemenangannya.

Akan tetapi, melihat betapa Loan Ki didesak hebat oleh Gui Hwa, Nagai Ici mengeluarkan pekik menyeramkan dan dengan tangan kosong dia maju menyerbu, menerkam Gui Hwa tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri! Gui Hwa terkejut sekali, cepat menghindar, namun ujung bajunya kena dipegang oleh Nagai Ici dan terdengar suara keras ketika baju itu terobek oleh cengkeraman pemuda ini. Baju robek menjadi dua sehingga tampaklah pakaian dalam nenek itu.

Dasar Loan Ki seorang yang nakal. Melihat ini, saking girangnya karena Nagai Ici ternyata berani mati membelanya, ia mengejek, "Hi hik, nenek buruk, baju siapakah yang robek?"

Gui Hwa menjerit marah, pedangnya berkelebat ke arah dada Nagai Ici merupakan tusukan maut. Kini ia tidak main-main lagi. Tadi sengaja ia tidak mau melukai Loan Ki, hanya berusaha mendesaknya dan mencari kesempatan Untuk merobek-robek pakaiannya. Sekarang dalam kemarahannya, ia menggunakan jurus mematikan untuk membalas perbuatan Nagai Ici yang ia anggap penghinaan besar itu. Agaknya pemuda ini tidak akan mampu mempertahankan dirinya lagi. Baiknya Loan Ki yang melihat bahaya ini, cepat menangkis pedang Gui Hwa sehingga Nagai Ici terlepas daripada bahaya maut.

"Minggirlah, kau sudah terluka......." pinta Loan Ki sambil mendorong pemuda itu ke pinggir. Ia sendiri menghadapi Gui Hwa yang kini menyerangnya tanpa sungkan-sungkan lagi. Semua jurus yang ia lancarkan dalam penyerangan ini adalah jurus yang mengandung hawa maut, tidak main-main lagi seperti tadi.

Loan Ki berusaha mempertahankan diri, namun pada suatu saat ia kurang Cepat dan "breett!" ujung bajunya terbabat putus sebagai pengganti lengannya! Ia menjadi pucat, tetapi tetap melawan terus, biarpun ia didesak hebat.

Kembali Nagai lci meloncat dan menerkam Gui Hwa karena melihat betapa Loan Ki hampir kalah. Dia khawatir sekali kalau-kalau gadis pujaan hatinya itu akan terluka hebat, maka dengar nekat dia menerjang lagi tanpa memperdulikan larangan Loan Ki. Gui Hwa sudah siap, begitu melihat tubuh pemuda itu maju selagi pedangnya bertemu dengan pedang Loan Ki, ia memapaki dengan tendangan. "Bleeeggg!" tubuh Nagai Ici terjengkang dan pemuda ini muntahkan darah segar. Namun dia bangkit lagi, menekan dada dan dengan nekat dia hendak maju menerjang lagi untuk membantu Loan Ki.

Sementara itu Loan Ki yang melihat Nagai Ici tertendang, kaget dan marah sehingga perasaan ini membuat langkah-langkah ajaibnya menjadi kacau. Pedang Gui Hwa menyambar, tak dapat ia mengelak lagi, terpaksa menerima dengan pedangnya. Dua pedang menempel dan kedudukan Loan Ki sudah terjepit. Gui Hwa sudah mengulur tangan kiri hendak merobek pakaian gadis itu.

"Tahan....!" terdengar bentakan mengguntur dan tiba-tiba Gui Hwa terjengkang ke belakang, terhuyung dan cepat menarik pedangnya bersiap-sedia. Kiranya Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang mendorongnya tadi untuk menolong puterinya. Semua orang memandang ke arah ayah dan anak yang kini berhadapan muka.
"Ayah, kau membiarkan anakmu dihina orang, sekarang kau mau apa? Aku tidak tahu menahu tentang surat, dan aku tidak sudi digeledah, lebih baik mati!" Loan Ki berkata dengan sikap menantang, lehernya tegak, kepala dikedikkan, sepasang mata bersinar-sinar akan tetapi air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya, bibirnya pucat tetapi digigitnya sendiri untuk memperkuat kenekatan hatinya.

"Loan Ki, berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu menahu akan surat rahasia itu?" bentak ayahnya.

"Aku bersumpah, demi arwah Ibu!"

Terpukullah hati Beng Kui mendengar sumpah ini, diingatkan dia bahwa puterinya ini semenjak kecil tidak lagi ditunggui ibunya. Hatinya perih sekali dan tiba-tiba dia menoleh kepada Nagai Ici yang masih berdiri tegak dengan muka pucat, tetapi dengan sikap nekat membela Loan Ki.

"Siapa dia?" tanya Sin-kiam-eng.

"Dia sahabat baikku, Ayah, tadinya hendak kubawa kepadamu agar menjadi muridmu. Dia bernama Nagai Ici."

"Apa.......? Seorang Jepang? Bajak laut.......?" Tan Beng Kui kaget sekali, kaget dan kecewa.
"Siapa bilang dia bajak laut?" Loan Ki juga berteriak, tidak kalah nyaringnya dengan suara ayahnya. "Dia adalah seorang pendekar, berjuluk Samurai Merah! Dia seorang gagah yang datang ke sini dengan maksud mencari guru yang pandai. Dia sahabatku, Ayah, dan buktinya tadi, kalau ayahku sendiri tidak perduli akan keadaanku, dia membantuku mati-matian!"

Tan Beng Kui menundukkan kepala, menarik napas panjang, lalu berpaling kepada Bhok Hwesio. "Bhok-losuhu, anakku tidak membawa surat itu. Aku minta supaya dia dan sahabatnya dilepas dan jangan diganggu lagi."

"Hemmm, mana mungkin begitu, Sicu? Pinceng pernah mendengar dari pengawal istana Tiat-jiu Souw Ki bahwa yang merampas mahkota dahulu dari tangannya adatah puterimu inilah, dibantu oleh Kun Hong si pemberontak buta. Jelas bahwa anakmu ini membantu para pemberontak. Mana bisa pinceng percaya bahwa surat itu tidak berada padanya? Kalau memang sudah digeledah tidak ada, biarlah pinceng memandang persahabatan di antara kita dan pinceng perbolehkan dia pergi."

"Bhok-losuhu, apakah kau tidak percaya kepadaku?"

Kembali hwesio itu tertawa dengan tenang. "Tan-sicu, memang biasanya, seorang gagah di dunia kang-ouw paling memegang teguh kata kata yang keluar dari mulutnya. Akan tetapi sekarang kedudukan kita lain lagi. Kita bekerja demi keselamatan negara, dan karenanya peraturan yang berlaku juga peraturan negara, bukan peraturan kang-ouw. Sebagai petugas, mau tidak mau pinceng harus mendahulukan kepentingan negara.

Pinceng kira bagimu juga seharusnya demikian, kepentingan tugas lebih tinggi daripada kepentingan antara ayah dan anak. Biarkan It to-kiam Gui Hwa memeriksanya, kalau memang dia tidak membawa surat, itu, boleh dia pergi."

"Aku tidak sudi! Lebih baik mati daripada menyerah di bawah penghinaan kalian!" Loan Ki berseru marah.

"Jangan takut, Loan Ki. Aku membantumu, kalau perlu kita mati bersama!" kata pula Nagai Ici dengan tabah dan gagah.

Sin-kiam-eng Tan Beng Kui kembali menghadapi puterinya, memandang tajam kepada dua orang muda itu sampai lama-, kemudian suaranya terdengar menggetar, "Nagai Ici, kau siap melindunginya dengan jiwa ragamu?"

"Siap!" seru Nagai Ici dengan sikap tegak.

"Kau....... kau mencinta Loan Ki dengan seluruh jiwa ragamu?"

"Ya!" jawab pemuda itu pula, tanpa ragu-ragu. "Aku siap mati untuk Loan Ki !"

Tan Beng Kui tersenyum getir, kemudian berkata kepada Loan Ki, "Anakku, kau merasa bahagiakah di samping Nagai Ici?"

Merah muka yang pucat itu seketika dan air matanya deras mengalir.

"Ayah....... dia baik sekali......." jawabnya perlahan.

"Cukup! Nagai Ici, mulai saat ini aku menyerahkan keselamatan anakku ke tanganmu. Nah, pergilah jauh-jauh dan jangan mencampuri urusanku, jangan mencampuri urusan negara lagi."

"Pergilah! Cepat!" Agaknya Nagai Ici maklum akan isi hati pendekar pedang ini, dia lalu menggandeng tangan Loan Ki dan diajaknya gadis itu pergi dari tempat itu.

"He, jangan pergi dulu!" seru Lui-Thian Te Cu.

"Sing!!" Sinar pedang berkelebat dan tahu-tahu Sin-kiam-eng Tan Beng Kui sudah menghadang Thian Te Cu dengan pedang di tangan dan sikapnya keren serta gagah menantang. Sepasang matanya menyala-nyala ketika dia menatap tiga orang di depannya, Bhok Hwesio, Thian Te Cu dan Gui Hwa.

"Aku mengganti mereka dengan nyawaku! Siapa yang mengejar mereka akan berhadapan dengan pedangku." Suaranya nyaring dan bergema, terdengar pula oleh Loan Ki yang menoleh dan menoleh lagi sambil terisak menangis, akan tetapi Nagai Ici terus menyeretnya pergi.

"Omitohud! Tan-sicu apakah hendak memberontak?"

"Bhok Hwesio, baru kali ini kau muncul dalam urusan negara, tetapi sudah hendak membuka mulut besar bicara tentang pemberontakan? Huh, kau mau bersikap sebagai pahlawan? Dengarlah kalian bertiga!! Di jamannya mendiang kaisar ketika masih menjadi pejuang Ciu Goan Ciang, aku Tan Beng Kui sudah menjadi pejuang mengusir penjajah Mongol. Kalian tahu apa tentang perjuangan? Sekarang kalian hanya datang dan enak-enak mendapatkan kedudukkan tinggi dan kemuliaan, sudah akan bersikap sombong menganggap diri sendiri benar? Menjemukan sekali !"

"Tan Beng Kui, kau bicara apa ini?" Bhok Hwesio marah. "Kalau kau memang tidak mempunyai hati memberontak terhadap kaisar kiranya kau akan mementingkan urusan tugas, tidak memberatkan anakmu. Kau membiarkan anakmu terlepas, apa kau kira pinceng tak dapat mengejarnya?"

"Harus melalui pedang dan mayatku!" teriak Tan Beng Kui marah.
"Anakku sudah bersumpah demi arwah ibunya. Ini jauh lebih kuat, lebih penting daripada segala urusan tetek-bengek. Selama aku masih dapat menggerakkan pedang, jangan harap kalian akan dapat mengganggu Loan Ki!"

"Kau memang pemberontak ! Dahulu pun pernah menjadi pemberontak, siapa tidak tahu?"' Lui-kong Thian Te Cu berseru marah dan senjatanya tanduk rusa sudah bergerak menyerang. Juga It-to-kiam Gui Gwa sudah menerjang dengan pedangnya. Sambil memutar pedang, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui maju menghadapi dua orang itu. Ilmu pedangnya bukan main hebatnya. Ilmu Pedang Sin-li Kiam-sut yang sudah dikuasainya benar sehingga baik It-to-kiam Gui Hwa mau-pun Lui-kong Thian Te Cu yang lihai merasa terkesiap dan terdesak oleh sinar pedang yang bergulung-gulung itu,

"Omitohud, semua pemberontak harus dibasmi, baru aman negara!" seru Bhok Hwesio sambil melangkah maju. Dia bertempur dengan tangan kosong saja, akan tetapi jangan dikira bahwa dia boleh dipandang ringan karena tidak bersenjata. Sepasang ujung lengan bajunya merupakan sepasang senjata yang amat ampuh, kalau digunakan memukul melebihi kerasnya ruyung baja dan kalau menotok tiada ubahnya senjata toya. Juga kibasan kedua tangannya sama ampuhnya dengan tabasan pedang tajam, baru angin pukulannya saja sudah mendatangkan angin dingin dan terasa tajam menusuk kulit.

Sesungguhnya ilmu pedang dari Tan Beng Kui amat hebat. Hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia adalah murid tertua dari mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan yang berjuluk Bu-tek-kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tanding). Kalau mau bicara tentang ilmu pedang, kiranya tiga orang lawan yang mengeroyoknya ini tidak akan mampu menandinginya, biarpun It-to-klam Gui Hwa juga memiliki ilmu pedang tingkat tinggi dari Kun-lun-pai. Akan tetapi, ilmu pedang saja bukan merupakan ilmu yang mutlak dapat menentukan kemenangan, karena dalam banyak hal lain, dia kalah ampuh oleh tiga orang lawannya. It-to-kiam Gui Hwa memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa, setingkat lebih tinggi daripada ilmunya sendiri sehingga dengan keringanan tubuhnya itu, It-to-kiam Gui Hwa dapat menutupi kekurangannya dalam hal ilmu pedang. Lui-kong Thian Te Cu memiliki khi-kang yang hebat, sehingga tiap kali mengeluarkan bentakan dalam pertempuran, membuat jantung Sin-kiam-eng Tan Beng Kui tergetar dan mengacaukan permainan pedangnya.Lebih hebat lagi adalah Bhok Hwesio karena hwesio ini benar-benar kosen dan gagah sekali. Hwesio Siauw-lim ini memiliki tenaga dalam yang hebat. Dorongan kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan yang selalu dapat memukul miring pedang di tangan Tan Beng Kui.

Tan Beng Kui mempertahankan diri mati-matian. Dia maklum bahwa kalau dia terlalu cepat jatuh, keselamatan Loan Ki masih terancam bahaya besar. Dia rela mengorbankan diri asal anaknya itu sudah lari jauh dan tidak akan dapat dikejar lagi oleh tiga orang ini. Dia tadi sudah menyaksikan kesetiaan dan kecintaan hati pemuda Jepang itu dan hatinya lega. Betapapun juga, dia merasa yakin bahwa sepeninggalnya, Loan Ki sudah terjamin hidupnya, sudah ada orang yang menggantikan kedudukannya, bahkan yang agaknya lebih mencintainya dengan segenap jiwa raganya. Kenyataan bahwa pemuda itu seorang Jepang tidak mengecewakan hatinya, karena dia sudah sering kali mendengar betapa bangsa di seberang lautan itu dahulunya juga serumpun dengan bangsanya, malah dia mendengar bahwa bangsa itu memiliki kecerdikan tinggi.

"Siaaattttt!" Ujung lengan baju sebelah kiri dari Bhok Hwesio menghantamnya dari pinggir, biarpun dia sudah berhasil mengelak, namun angin pukulannya memanaskan telinga membuat dia agak nanar. Pada saat itu, pedangnya beradu dengan pedang It-to-kiam Gui Hwa dan pada detik berikutnya, tanduk rusa di tangan Thian Te Cu sudah me-nusuk ke arah perut.

"Siiiinggggg!" Tarikan pedang Tan Beng Kui membuat It-to-kiam menjerit kesakitan karena pedangnya sendiri tergetar hebat dan telapak tangannya terasa panas sehingga dia terpaksa melompat mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tan Beng Kui untuk membabat ke depan menangkis tanduk rusa, kemudian mementalkan pedangnya ke kanan untuk mengirim tusukan maut ke arah leher Bhok Hwesio yang sudah mendekatinya.

"Omitohud, kau bosan hidup......." seru hwesio itu. Ujung lengan bajunya yang kanan menyambar, bertemu dengan ujung pedang, membuat Tan Beng Kui kaget sekali karena tahu-tahu ujung lengan baju itu sudah melibat pedangnya, tidak dapat dia tarik kembaii. Dia masih mampu merendahkan tubuh mengelak daripada sambaran pedang Gui Hwa yang mengarah lehernya, juga serangan Thian Te Cu dia gagalkan dengan sebuah tendangan kilat ke arah pergelangan tangan yang memegang tanduk rusa. Namun pada saat itu, tangan kiri dengan telapak tangan yang besar lebar dari Bhok Hwe-sio sudah menyambar dan tidak dapat dia hindari lagi punggungnya kena ditampar. "Plaakkkk.......!" Tan Beng Kui mengaduh, pedangnya terlepas dari tangan dan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, mukanya pucat sekali. Dia telah menerima tamparan maut yang mengandung tenaga Iweekang dan yang telah merusak isi dadanya. Akan tetapi dia benar benar gagah perkasa karena begitu merasa bahwa dadanya terluka hebat sebelah dalam, dengan nekat dia lalu menerjang maju, mengirim pukulan dengan tangan kanan ke arah Bhok Hwesio sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bhok Hwesio tersenyum mengejek, menerima pukulan ini dengan tangan yang dibuka. Kedua tangan itu bertumbukan di udara, akibatnya tubuh Tan Beng Kui kembali mental ke belakang, akan tetapi Bhok Hwesio juga terhuyung-huyung ke belakang. Kagetlah hwesio ini, tidak disangkanya bahwa dalam keadaan terluka hebat, lawan itu masih memiliki tenaga demikian besarnya.

Tan Beng Kui roboh dan bangkit lagi sambil muntahkan darah segar dari mulutnya, malah masih sempat mengelak dari sambaran tanduk rusa dan membalas serangan Thian Te Cu ini dengan sebuah pukulan tangan kiri. Namun tenaganya sudah hampir habis sehingga begitu Thian Te Cu menangkisnya, dia kembali roboh. Pada saat itu It-to-kiam Gui Hwa sudah meloncat maju dan pedangnya berkelebat menusuk dada.

"Criiiinggggg.......!" Gui Hwa menjerit sambil meloncat mundur ketika terlihat berkelebatnya sinar kilat disusul suara keras dan patahnya pedang di tangannya. Tiga orang itu terkejut memandang dan tahu-tahu di situ sudah berjongkok seorang laki-laki gagah perkasa yang memeluk leher Beng Kui dengan tangan kiri, sedangkan sebatang pedang yang berkilauan terpegang di tangan kanan.

"Omitohud....... bukankah ciangbunjin (ketua) Thai-san-pai, Tan Beng San tai-hiap yang datang ini.......?" seru Bhok Hwesio terkejut ketika mengenal laki-laki itu.

Memang tidak salah. Laki-laki itu adalah Tan Beng San, ketua dari Thai-san-pai yang tadi menggunakan pedang Liong-cu-kiam menyelamatkan Tan Beng Kui dari tusukan It-to-kiam Gui Hwa sehingga sekaligus mematahkan pedang nyonya itu. Dia tidak menjawab kata kata Bhok Hwesio, melainkan cepat mengangkat kepala Beng Kui dan dipangkunya. Dengan sedih dia mendapat kenyataan bahwa keadaan kakaknya ini sudah tidak dapat ditolong lagi karena menderita luka dalam yang amat parah. Beng Kui membuka matanya, terbelalak seperti orang terheran-heran dan tidak percaya, kemudian dia tersenyum dan mengedipkan mata lalu merangkul Beng San.

"Aduh, kau Beng San....... kau adikku....... siapa kira kau malah orangnya yang akan menunggui kematianku......." Dia lalu tertawa terbahak-bahak dan terpaksa berhenti ketawa karena kembali dia muntahkan darah. Beng San cepat mengurut dadanya dan menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan muntah darah ini dan mengurangi rasa nyeri. Mendadak Beng Kui mendapatkan kembali tenaganya dan dia mendorong Beng San minggir, lalu berdiri dengan susah payah. Kembali dia tertawa menghadapi tiga orang lawannya itu.

"Beng San, adikku, terima kasih....... jangan kau mencampuri urusanku."

"Kui-koko, mereka ini orang-orang tak tahu malu, melakukan pengeroyokan atas dirimu......."

"Tidak! Mereka adalah orang-orang kaisar yang hanya melakukan tugas dan aku....... ha-ha-ha, aku sekarang berani menentang mereka, demi anakku..... ahh....... Beng San, aku titip Loan Ki kepadamu....... dia dan sahabat baiknya, pemuda perkasa Jepang, Nagai....... eh, Nagai Ici, ha-ha-ha ! Hayo, Bhok Hwesio, Thian Te Cu, dan It-to-kiam, aku bilang tadi, kalian baru dapat mengejar Loan Ki melalui mayatku. Aku belum menjadi mayat dan....... anakku sudah pergi jauh....... tidak mungkin kalian kejar, ha-ha-ha !" Mendadak dia menubruk maju, mengirim pukulan kilat kepada tiga orang itu secara mengawur.

Melihat adegan itu, tiga orang tokoh ini sudah merasa tidak enak hati. Kini serangan Tan Beng Kui tentu saja tidak mereka layani, berbereng mereka melompat mundur dan Beng Kui terjungkal dengan sendirinya, tidak mampu bangun kembali. Beng San cepat menghampirinya, berlutut.

"Beng San....... kau melupakan semua kesalahanku dahulu....... bagus, beginilah adikku sejati....... huh....... aku titip Loan Ki....... Loan....... Ki......." Dan pendekar pedang ini menghembuskan napas terakhir dalam rangkulan adik kandungnya yang sejak dahulu dimusuhinya ( baca cerita Raja Pedang dan Rajawali Emas ).

Sambil menghela napas panjang Beng San meletakkan tubuh kakak kandungnya di atas tanah, kemudian dia bangkit perlahan, berdiri sambil menatap wajah tiga orang itu berganti-ganti. Kemudian terdengar suaranya, jelas, lambat-lambat, namun nyaring berwibawa.
"Aku mentaati permintaan terakhir kakakku, tidak mencampuri urusan kalian bertiga dengannya. Akan tetapi, aku melarang kalian melanjutkan pengejaran kepada Loan Ki puteri kakakku. Kalau kalian tidak terima, hayo kalian maju mengeroyokku seperti yang kalian bertiga lakukan kepadanya!" Dengan pedang melintang di depan dada, Beng San menantang, sikapnya garang, kemarahannya ditahan-tahan.

"Omitohud.......!" Bhok Hwesio merangkapkan kedua tangannya di depan dada. "Selamanya Siauw-lim tidak pernah bermusuhan dengan Thai san......"

"Losuhu tidak usah membawa-bawa nama partai. Ini urusan pribadi antara Tan Beng San dan tiga orang tokoh yang baru saja mengeroyok dan membunuh kakakku!"

Lui-kong Thian Te Cu dan It-to-kiam Gui Hwa nampak ragu-ragu, jelas bahwa mereka merasa jerih terhadap ketua Thai-san-pai ini. Sudah sering kali mereka mendengar nama besar Raja Pedang ini, apalagi tadi sekali gebrak saja Raja Pedang ini berhasil mematahkan pedang It-to-kiam Gui Hwa. Hanya Bhok Hwesio yang masih tenang, lalu dia tersenyum tawar.

"Tugas pinceng adalah mengamankan negara, membasmi para pemberontak yang membikin kacau negara, sama sekali bukan menanam permusuhan dengan siapa pun juga, Tan-taihiap, selamat berpisah." Dia lalu membalikkan tubuhnya, mengambil dua keping potongan mahkota lalu meninggalkan tempat itu, diikuti oleh kedua temannya. Beng San masih berdiri tegak dengan pedang melintang di dada. Besar keinginan hatinya untuk melompati mereka, untuk menyerang mereka, mengajak mereka memperhitungkan kematian kakak kandungnya. Biarpun kakak kandungnya ini selalu memusuhinya, banyak sudah mendatangkan derita dalam hidupnya, namun dia tetap mengasihi kakak kandungnya. Akan tetapi perasaan itu dia tahan-tahan karena masih berdengung di telinganya pesan terakhir kakaknya itu, pula, ia pun meragu apakah orang sakti seperti Bhok Hwesio itu berada di fihak yang salah.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed