Skip to main content

Pendekar Buta 51 -> karya : kho ping hoo

Demikianlah, pada keesokan malamnya, kembali Loan Ki mengajak Nagai Ici menyelidiki sampai jauh malam. Kemudian secara kebetulan ia mendengar ribut-ribut pertempuran di pondok janda Yo karena ia dan Nagai Ici berada di dekat tempat itu. Cepat ia bersama pemuda Jepang itu lari mendekati dan alangkah terkejut hati Loan Ki ketika dia melihat bahwa orang yang dikeroyok benar-benar adalah Kun Hong sendiri. Lebih kaget lagi hatinya ketika ia melihat ayahnya adalah seorang di antara mereka yang mengeroyok Kun Hong. "Kita bantu dia,....... wah, dia hebat.......!" bisik Nagai Ici.

"Sssttt...." Loan Ki menarik tangan pemuda itu dan mengajaknya menyelinap ke tempat gelap, "....... jangan......."

Nagai Ici terheran-heran dan Loan Ki menjadi pucat wajahnya. Tentu saja tidak mungkin ia membantu Kun Hong kalau ayahnya pun berada di situ melawan Kun Hong. Mana mungkin ia melawan ayahnya sendiri? Pula, ia dapat melihat betapa orang-orang yang mengeroyok Kun Hong terdiri dari orang-orang yang luar biasa tinggi kepandaiannya. Pemuda berpedang itu, hwesio tinggi besar itu. Hebat mereka, tidak kalah oleh ayahnya! Membantu Kun Hong pun tidak akan ada gunanya.

"Wah-wah....... celaka......." katanya, wajahnya yang pucat itu tampak bingung.

"Kenapa? Nona, kenapa kita tidak cepat membantunya? Dia hebat....... luar biasa, hampir tidak dapat aku percaya seorang buta sehebat itu gerakannya......."

"Sssttttt....... mari ikut aku......."

Loan Ki mengajak Nagai Ici menyelinap mengitari pondok itu. Ia adalah seorang gadis cerdik dan ia ingin mencari kesempatan membantu secara menggelap. Kalau perlu, dari dalam pondok itu atau dari samping pondok ia akan menggunakan senjata rahasia menyerang orang orang yang mengeroyok Kun Hong biarpun ia tahu hal ini tidak akan banyak berarti karena musuh-musuh Kun Hong amat sakti, namun sedikitnya dapat menganggu mereka dan dapat merupakan hiburan hatinya bahwa ia sudah menolong. Kalau saja di situ tidak ada ayahnya, sudah pasti ia akan menyerbu dan nekat serta mati-matian mengajak Nagai Ici membantu Kun Hong. Dengan adanya ayahnya di situ, nyalinya kuncup dan ia tidak berani lagi!

Ketika ia menyelinap di belakang pondok, ia melihat bayangan seorang laki-laki sedang merampas sebuah benda dari tangan seorang anak laki-laki kecil yang mempertahankannya sambil berteriak-teriak, "Lepaskan........ ini punyaku, lepaskan!"

Loan Ki memandang penuh perhatian. Waktu itu fajar hampir menyingsing dan di dalam keadaan gelap, Loan Ki serasa mengenal laki-laki yang sedang berusaha merampas benda di tangan anak itu. Timbul amarahnya ketika orang itu mendorong si anak sampai terguling roboh. "Serang dia, rampas benda itu!" katanya kepada Nagai Ici yang tidak menanti komando ke dua lagi, serta merta memekik dan menyerbu. Loan Ki sendiri meloncat ke dekat anak itu. Lega hatinya ketika melihat bahwa anak itu tidak terluka hanya lecet-lecet saja. Perhatiannya kembali kepada Nagai Ici yang menyerbu orang itu. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika melihat betapa orang itu ternyata bukanlah orang sembarangan. Buktinya Nagai Ici tidak mampu merampas benda tadi. Jangankan merampas benda, malah sekarang mereka telah bertempur menggunakan pedang dan Si Samurai Merah nampaknya terdesak!

"Keparat, lihat pedangku!" Loan Ki marah dan serta merta mencabut pedangnya sambil menyerbu. Orang itu kaget menyasikkan berkelebatnya pedang di tangan Loan Ki yang amat gesit. Dia bergerak miring, menyambut pedang Loan Ki dengan tangkisan.

"Traaanggggg!" Loan Ki merasa tangannya tergetar dan lebih kagetlah ia ketika mengenal muka orang itu setelah kini berdekatan. Kiranya orang itu adalah Bun Wan, pemuda Kun-lun-pai yang pernah ia lihat ketika ia menjadi tawanan di Ching-coa-to! Ia makin marah ketika sekarang mengenal pula bahwa benda yang dirampas Bun Wan dari tangan anak itu adalah mahkota kuno yang dahulu diperebutkan di Ching-coa-to.

"Eh, kiranya kau, keparat! Kembalikan mahkota itu!" Ia menerjang marah, pedangnya menjadi sinar bergulung-gulung. Nagai Ici juga memekik dengan penasaran, menggerakkan pedang samurainya mengeroyok laki-laki itu.

Orang itu memang Bun Wan adanya, putera ketua Kun-lun-pai! Ketika dia mengenal Loan Ki dia terkejut dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu melompat ke belakang, menggunakan ginkangnya terus melarikan diri!

"Keparat, jangan lari!" Loan Ki membentak dan mengejar. Nagai Ici ikut pula mengejar. Pemuda Jepang ini tertinggal jauh karena dalam hal ilmu lari cepat, dia kalah jauh oleh Bun Wan maupun Loan Ki. Hal ini menyulitkan Loan Ki karena ia tidak ingin meninggalkan Nagai Ici di tempat asing dan berbahaya itu.

"Hayo, cepat kita kejar dia!" Loan Ki menanti Nagai Ici, kemudian setelah temannya itu dekat, ia menyambar tangannya dan diajaknya membalap untuk mengejar Bun Wan.

"Wah, hebat sekali larinya. Kau kejarlah dulu, Nona, biar aku mengejar di belakang. Jangan biarkan dia minggat!"

Akan tetapi Loan Ki terpaksa memperlambat larinya. Memang ia harus mengejar Bun Wan dan merampas kembali mahkota itu yang amat penting Bagi Kun Hong agaknya, akan tetapi sekali-kali ia tidak mau membiarkan Nagai Ici tertinggal di tempat ini, salah-salah bisa ditangkap dan didakwa mata-mata oleh para pengawal istana!

Karena waktu itu sinar matahari pagi sudah mulai mengusir kegelapan malam, maka biarpun tertinggal jauh, dapat juga Loan Ki melihat ke mana arah larinya Bun Wan. Ia terus mengajak Nagai Ici mengejar dan dengan kagum ia melihat betapa Bun Wan secara nekat sudah menerjang para penjaga pintu gerbang dan pemuda Kun-lun-pai yang berilmu pedang lihai sekali itu ternyata berhasil lolos dari pintu gerbang dan kabur keluar kota raja dengan cepat!

Ketika Loan Ki dan Nagai Ici mengejar sampai di situ, gadis ini cepat berteriak membentak para penjaga yang agaknya hendak menghalangi mereka berdua. "Tolol kalian semua! Tidak tahu aku puteri Sin-kiam-eng? Aku dan temanku bertugas mengejar bangsat yang kalian lepaskan tadi. Minggir, keparat!" Para penjaga ada yang mengenal gadis ini ketika kemarin berjaga di pintu gerbang di mana Loan Ki masuk, maka mereka cepat memberi jalan Loan Ki bersama Nagai Ici mengejar terus.

Belum lama mereka mengejar, ada bayangan berkelebat dari sebelah kanan. Loan Ki memandang dan kagetlah ia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Hui Kauw, nona muka hitam yang pernah dilihatnya di Ching-coa-to. Wah, agaknya orang-orang Ching-coa-to sudah menyelundup ke kota raja, pikirnya. Tentu nona itu bersekongkol dengan Bun Wan. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu melompat dan menerjang dengan pedangnya.

"Perempuan berhati palsu!" bentaknya karena ia teringat akan semua pengalamannya ketika di Ching-coa-to, di mana wanita ini hampir dijadikan pengantin dengan Kun Hong.

Hui Kauw memang sedang mengejar Bun Wan. Seperti telah dituturkan di bagian depan, gadis ini meninggalkan Kun Hong untuk mencari A Wan yang terlalu lama tidak juga kembali. Ketika ia mencari di belakang pondok, ia tidak dapat menemukan A Wan karena tidak tahu di mana anak itu menyimpan mahkota kuno. Ia berputar-putar mencari, lalu mendengar suara ribut-ribut dan masih sempat melihat A Wan dikurung beberapa orang pengawal. Hatinya kebat-kebit penuh kekhawatiran, kemudian terjadilah hal yang amat luar biasa. Seorang kakek entah darimana datangnya, dengan gerakan ringan seakan-akan bayangan sehingga bukan merupakan manusia lumrah lagi, tahu-tahu telah berada di tengah-tengah tempat itu dan sekali menggerakkan tangan dan kaki, A Wan telah disambarnya dan dibawanya pergi seakan-akan melayang! Para pengawal melongo menyaksikan ini, kemudian maklum bahwa kakek itu tentulah seorang sakti, mereka melakukan pengejaran, namun kakek itu sudah lenyap dari pandangan mata. Hui Kauw mengerahkan kepandaiannya, berlari cepat mengejar pula. Ia dapat mendahului para pengawal dan dengan cepatnya ia mengejar sampai ke luar pintu gerbang. Kakek itu seperti bukan manusia, melarikan diri bukan melalui pintu gerbang, melainkan melayang naik ke atas tembok kota yang luar biasa tinggi itu! Dia sendiri dengan mudah dibiarkan lewat pintu gerbang oleh para penjaga. Akan tetapi setibanya di luar tembok kota, ia tidak melihat lagi bayangan kakek aneh itu.

Selagi ia kebingungan, ia melihat seorang laki-laki berlari tergesa-gesa keluar dari pintu gerbang. Ketika ia mengenal bahwa orang itu adalah Bun Wan dan gerak-geriknya mencurigakan, ia cepat mengejar, tidak memperhatikan lagi dua orang yang sudah mengejar lebih dahulu. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu Loan Ki memaki dan menerjangnya.

"Aiihhhhh, kiranya kau di sini?" tegurnya seraya mengelak.

"Kau dan manusia she Bun itu bersekongkol, ya? Awas, hari ini aku tidak akan ampunkan kalian berdua!" seru Loan Ki mendongkol. Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk bersikap menang-menangan sendiri sehingga ucapannya pun jumawa sekali, padahal ia tahu bahwa baik Bun Wan maupun Hui Kauw ini, memiliki kepandaian yang melebihi dirinya!

"He, jangan sembarangan menuduh!" seru Hui Kauw mendongkol. "Siapa sudi bersekongkol dengan dia itu? Aku pun hendak mengejarnya, karena dia kelihatan mencurigakan." Sambil berkata demikian, tanpa memperdulikan Loan Ki lagi, Hui Kauw cepat mengejar Bun Wan. Loan Ki dan Nagai Ici juga mengejar.

Dalam ilmu lari cepat, ternyata Bun Wan masih kalah setingkat oleh Hui Kauw. Memang ibu angkat nona ini, Ching-toanio, terkenal lihai ilmu lari cepatnya yang disebut Chouw-siang-hui (Terbang di Atas Rumput) dan ilmu lari cepat yang luar biasa ini telah pula diturunkan kepada Hui Kauw. Maka setelah lewat sepuluh li jauhnya, Hui Kauw sudah dapat menyusul Bun Wan. Sambil mencabut pedangnya Hui Kauw berseru keras,

"Berhenti dulu!" Nona ini sudah melihat betapa tangan kiri Bun Wan memegang mahkota kuno itu. "Kembalikan mahkota itu kepadaku!"

Bun Wan memandang heran dan penasaran. "Nona Hui Kauw, ketahuilah, aku merampas mahkota ini untuk ibumu!"

"Tidak perduli, kau harus serahkan kepadaku dan pergilah dengan aman."

"Tapi....... bagaimanakah kau ini? Mahkota ini hendak kuserahkan ke Ching-coa-to......"

"Berikan kepadaku!"

"Nona, apakah kau sekarang membalik dan memusuhi ibumu sendiri!"

"Tak usah banyak cakap, kembalikan kepadaku!"

Bangkit kemarahan Bun Wan. Kesempatan berhenti lari ini dia pergunakan untuk memasukkan mahkota kuno yang tidak besar itu ke dalam saku bajunya, kemudian dia menggerakkan pedang yang sejak tadi sudah berada di tangan kanan.

"Heemmm, banyak sekali aku mengalah kepadamu. Sekarang terpaksa aku tidak dapat menyerahkan mahkota itu kepadamu, apa yang hendak kau lakukan terhadapku?"

"Pedangku akan memaksamu!" bentak Hui Kauw dan pedangnya langsung bergerak melakukan penyerangan kilat. Bun Wan cepat menangkis dan pemuda ini maklum akan kepandaian nona yang ternyata lebih lihai daripada Hui Siang ini, maka dia pun mengerahkan tenaga dan mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang kuat. Dia maklum bahwa dirinya menjadi kejaran para pengawal kerajaan, maka dia tidak mau membuang banyak waktu lagi. Semua jurus yang dimainkannya adalah jurus pilihan dari Kun-lun Kiam-sut sehingga lihainya bukankepalang. Dia mengira bahwa dalam beberapa jurus saja, paling banyak dalam sepuluh atau belasan jurus, dia akan sudah mampu menundukkan lawannya ini. Akan tetapi alangkah heran, kaget dan penasarannya ketika dia menghadapi ilmu pedang yang aneh dan kuat bukan main, ilmu pedang yang jauh berbeda dengan ilmu pedang yang dia kenal dimiliki oleh Hui Siang dan Ching-toanio. Hebat ilmu pedang gadis muka hitam ini, malah agaknya tidak kalah oleh kepandaian Ching-toanio sendiri.

"Kau benar-benar tidak tahu orang mengalah!" bentaknya dan pedangnya kini melakukan penyerangan kilat yang mematikan, karena dia tidak mau memberi hati lagi, apabila setelah melihat betapa dari jauh datang berlarian dua orang yang tadi di kota raja sudah mengeroyoknya, yaitu nona lincah galak yang dahulu pernah dia lihat di Ching-coa-to bersama Kun Hong, dan seorang pemuda yang dia tidak kenal, akan tetapi yang mempunyai pedang panjang aneh serta ilmu pedang yang ganjil pula.

Menghadapi dua orang yang pernah mengeroyoknya tadi itu, dia tidak merasa gentar, akan tetapi ilmu pedang Hui Kauw ini benar-benar membuat dia pusing. Hendak lari, selain malu, juga akan percuma saja karena tadi sudah ternyata olehnya betapa hebat ilmu lari cepat nona ini, sama dengan Hui Siang hebatnya. Dengan seluruh kepandaiannya, Bun Wan menyerang Hui Kauw dan terasalah oleh nona ini betapa kuat ilmu pedang pemuda Kun-lun-pai itu. Ia mulai terdesak, karena sungguhpun ilmu pedang rahasia yang ia pelajari itu merupakan ilmu pedang yang aneh dan luar biasa, namun selama ini ia hanya berlatih seorang diri saja, tidak pernah ia pergunakan untuk bertempur sehingga kurang berhasil sekarang. Betapapun juga, daya pertahanan ilmu pedang ini jauh lebih kuat daripada ilmu pedang yang ia pelajari dari Ching-toanio. Sungguhpun sekarang ia mulai terdesak dan jarang dapat membalas serangan lawan, namun kiranya untuk mengalahkan ilmu pedangnya ini, membutuhkan waktu yang tidak pendek.

Sementara itu, Loan Ki dan Nagai Ici yang mengejar cepat, kini telah tiba di tempat pertempuran. Melihat betapa Hui Kauw benar benar bertempur melawan Bun Wan, Loan Ki segera dapat cepat mengambil fihak. Ia memberi tanda kepada Nagai Ici dan menyerbulah mereka berdua, mengeroyok Bun Wan!

Tentu saja pemuda Kun-lun-pai itu menjadi repot bukan main, apalagi ilmu pedang Loan Ki terhitung ilmu pedang yang tinggi juga, gayanya indah membingungkan karena ilmu pedang ini adalah Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut. Hanya saja nona ini belum matang betul kepandaiannya, karena memang ia anak manja yang sering kali malas-malasan untuk berlatih. Juga ilmu pedang pemuda tampan gagah yang amat aneh itu membingungkannya, karena ilmu pedang pemuda itu memiliki daya serang yang luar biasa kuat dan berbahayanya, biarpun jarang sekali menyerang karena gayanya banyak diam menanti saat dan kesempatan, namun sekali menyerang amat mengagetkan dan membahayakan. Pedang panjang itu lalu berkelebat seperti halilintar menyambar dan sekali terkena sabetan, tentu tubuh akan putus menjadi dua potong! Apalagi pekiknya yang amat nyaring dan mengandung tenaga dalam, benar-benar menambah ampuhnya serangan itu.

Bun Wan mulai gelisah dan akhirnya dia dikurung rapat, menangkis kanan kiri, mengelak ke sana ke mari tanpa mampu balas menyerang. Akhirnya dia berkata dengan suara keras, "Kalian bertiga ini apakah sudah menjadi anjing-anjing istana pula? Nona Hui Kauw, apakah kau selain memusuhi ibu sendiri juga menghambakan diri kepada kaisar?"

Marah sekali Loan Ki karena ia dibawa-bawa dalam tuduhan ini. "Tutup mulutmu yang rusak! Siapa menjadi anjing istana? Kembalikan mahkota itu kepadaku. Benda itu milikku dahulu sebelum dirampas di Ching-coa-to!"

"Hemm, manusia-manusia goblok yang hanya mengejar harta benda!" Sambil menangkis pedang Loan Ki, Bun Wan kembali berteriak. "Kalau kalian, menghendaki mahkota ini, aku pun tidak membutuhkan. Akan tetapi tunggulah aku mencari sesuatu di dalamnya, setelah benda tersembunyi itu kuambil, biarlah mahkota ini kuberikan kepadamu. Bagaimana?" Memang yang dia perebutkan adalah surat rahasia, bukan mahkota, maka setelah dia terdesak hebat, Bun Wan mencari akal dengan jalan damai. Kalau surat itu sudah dapat dia temukan, untuk apakah baginya mahkota emas ini?

Loan Ki dan Nagai Ici tidak tahu-menahu tentang surat rahasia, maka mendengar ini mereka meragu dan mengendurkan penyerangan, Loan Ki masih ingat betapa di Ching-coa-to, pemuda Kun-lun-pai ini telah menolong Kun Hong dan minta kepada orang-orang Ching-coa-to untuk membebaskan Kun Hong. Oleh karena itu, ia pun tidak berniat membunuhnya dan kalau tidak terpaksa karena memperebutkan mahkota emas, ia pun tidak akan memusuhi pemuda ini.

Akan tetapi tidak demikian dengan Hui Kauw. Mendengar omongan Bun Wan itu, ia terkejut sekali. Ia mempertahankan mahkota kuno itu demi kepentingan Kun Hong dan ia sudah mendengar dari Kun Hong bahwa Pendekar Buta itu sama sekali tidak menghendaki mahkota, melainkan surat rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Apapun juga jadinya, ia harus membantu Kun Hong, dan surat itu harus dapat ia berikan kepada Kun Hong, kalau bisa tentu saja berikut mahkotanya.

"Tak usah banyak cakap, berikan mahkota itu kepadaku atau....... mampuslah!" pedangnya menyambar hebat sehingga terpaksa dengan gugup dan cepat Bun Wan menangkis sekuatnya.

"Traaaannnggggg.......!!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua batang pedang itu bertemu dengan kerasnya. Alangkah kagetnya hati Bun Wan ketika tiba-tiba pedang di tangan Hui Kauw itu begitu bertemu, terus saja menyelinap dari samping dan langsung mengirim bacokan ke arah pundaknya. Dia segera menjatuhkan diri ke kiri dan bergulingan. Maksudnya dia hendak menggunakan cara ini untuk menjauhkan diri, dan mencari kesempatan untuk meloncat dan melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba menyambar angin disusul bersiutnya sambaran pedang bersinar merah. Dia lebih kaget lagi, cepat melompat bangun sambil menggerakkan pedang menangkis. Itulah pedang samurai merah dari Nagai Ici yang sudah menerjangnya, disusul pedang Loan Ki. Dalam sekejap mata saja Bun Wan sudah dikurung dan dikeroyok tiga lagi.

"Baiklah, aku akan mengadu nyawa!" teriak Bun Wan dan dia menjadi nekat, membalas serangan tiga orang pengeroyoknya dengan jurus jurus terlihai. Namun kenekatannya tiada guna, malah membahayakan karena memang tiga orang pengeroyoknya itu berada di fihak yang jauh lebih kuat. Lewat belasan jurus, pedang Hui Kauw berhasil melukai pundaknya yang sebelah kanan. Pada saat itu, pedang samurai merah di tangan Nagai Ici menyambar ganas ke arah lehernya. Bun Wan tidak sempat lagi mengelak, pundaknya terasa sakit dan menghadapi berkelebatnya samurai merah itu, dia menangkis dan pedangnya terlepas dari tangan. Tenaga Nagai Ici amat besar dan pada saat itu, pundak kanan Bun Wan sudah terluka sehingga tangan kanannya berkurang tenaganya sehingga ketika menangkis, tidak dapat dia pertahankan lagi terlepasnya pedang dari tangan. Secepat kilat Hui Kauw menyambar dengan pedangnya, terdengar kain robek dan di lain saat mahkota itu sudah berada di tangan si nona muka hitam dan baju Bun Wan sudah terobek ujung pedang.

Loan Ki dan Nagai Ici berbareng mengirim tusukan. Bun Wan maklum bahwa tidak mungkin dia dapat menghindarkan dua tusukan ini, maka dia meramkan mata menanti maut.

"Traaanggg! Traanngggg!!" Loan Ki dan Nagai Ici cepat menarik pedang masing-masing dan tangan mereka tergetar. Kiranya Hui Kauw yang menangkis senjata mereka tadi.

"Jangan bunuh dia!" kata Hui Kauw, suaranya gemetar. "Dia calon suami Hui Siang......" Loan Ki memandang tajam kepada Hui Kauw, dapat mengerti perasaan nona ini dan tidak terus menyerang. Hui Kauw yang melihat Bun Wan menundukkan kepala akan tetapi sepasang mata pemuda itu melirik dengan penuh kekecewaan, berkata perlahan,
"Pergilah!"

Bun Wan membanting kakinya. "Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan!" Akan tetapi karena dia tidak berdaya lagi, dia memungut pedangnya lalu pergi dari tempat itu dengan cepat.

"Berikan benda itu kepadaku!" Loan Ki berkata, kini menghadapi Hui Kauw dengan sikap mengancam. Nagai Ici juga sudah berdiri di sampingnya, siap untuk membantu nona kekasih hatinya ini menghadapi siapa pun juga. Hatinya mulai kagum. Dalam waktu singkat dia telah menyaksikan banyak orang yang memiliki kepandaian hebat. Pemuda yang dikeroyok tadi juga amat mengagumkan hatinya. Luar biasa ilmu pedangnya. Lalu nona muka hitam ini, bukan main. Apalagi Si Pendekar Buta tadi yang dikeroyok banyak orang pandai. Mulai dia merasa girang, timbul harapannya mendapatkan guru sakti seperti yang dicita-citakannya.

Melihat sikap Loan Ki, Hui Kauw tersenyum. Ia maklum bahwa Loan Ki ini adalah sahabat baik Kun Hong, maka tentu saja ia tidak mau memusuhinya. Dengan halus ia berkata,

"Adik Loan Ki, ketahuilah, mahkota ini kuperebutkan untuk kuserahkan kepada Kun Hong." Tiba-tiba mukanya yang menghitam itu menjadi gelap karena ia merasa jengah menyebutkan nama ini di depan Loan Ki yang dahulu menyaksikan peristiwa pengantin gagal di Ching-coa to.

"Kau bohong! Kulihat tadi Kun Hong dikeroyok dan hampir celaka oleh banyak orang pandai, kau tidak membantunya malah memperebutkan mahkota."

Kaget sekali hati Hui Kauw mendengar ini. "Betulkah itu? Siapa yang mengeroyoknya?"

"Kulihat seorang hwesio kosen, seorang laki-laki hitam, seorang pemuda berpedang dan....... dan......." Loan Ki tergagap karena berat rasa lidahnya untuk menyebut nama ayahnya.

"Dan ayahmu juga?" Hui Kauw menegas dengan muka berubah pucat dan hati berdebar penuh kecemasan. Celaka kalau Kun Hong sudah dilihat musuh dan dikeroyok. Pantas saja A Wan juga diganggu, kiranya para jagoan istana sudah datang. Ia tahu bahwa pasti ayah Loan Ki, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui juga ikut pula mengeroyok, biarpun Loan Ki diam saja namun sinar mata gadis lincah itu nampak gugup dan malu.

"Adik Loan Ki, kau berfihak siapakah? Kun Hong atau ayahmu?" Tiba-tiba Hui Kauw bertanya dengan sungguh-sungguh.

Bingunglah Loan Ki ditanya begini oleh Hui Kauw, "Ah....... aku tidak bisa memilih....."

akhirnya ia menjawab juga. "Kalau tadi aku tidak melihat ayah di sana, pasti aku ajak temanku ini membantu Kun Hong......."

Hui Kauw segera mengambil keputusan cepat. "Bagus, adikku." katanya sambil memegang tangan Loan Ki yang menjadi kaget melihat perubahan sikap ini. "Kau terimalah mahkota ini dan kau wakililah Kun Hong. Kau tentu mau membantunya, bukan?" Melihat Loan Ki mengangguk tanpa menjawab, Hui Kauw cepat menyambung, "Tidak ada banyak waktu lagi. Mahkota ini mengandung sebuah surat rahasia yang menjadi perebutan. Kau wakili Kun Hong, bawa mahkota ini ke utara dan berikan kepada Raja Muda Yung Lo. Dengan begini tidak akan sia-sia Kun Hong mempunyai sahabat yang dia aku sebagai adik seperti kau ini, Maukah kau?"

Loan Ki adalah seorang yang jujur, ia percaya kepada Hui Kauw. "Dan kau sendiri?" tanyanya. "Kenapa bukan kau sendiri yang mewakilinya?"

"Bodoh kau! Bukankah Kun Hong dikeroyok di sana? Aku harus membantunya, aku harus menolong....... suamiku.....!" Berkata begini, Hui Kauw melepaskan mahkota di tangan Loan Ki, lalu melesat pergi dengan kecepatan kilat.

Loan Ki melongo sampai lama. Ketika Nagai Ici menegurnya, barulah ia sadar. Cepat-cepat mahkota itu ia simpan dalam buntalan pakaian.

"Jadi Pendekar Buta yang gagah itu adalah suami nona muka hitam ini, nona Loan Ki?"

"Bukan....... bukan....... oh,.... begitulah agaknya......." jawabnya tidak karuan. Kemudian ia memandang tajam kepada jago muda Jepang itu. "Nagai Ici, aku akan memenuhi permintaannya. Aku akan membawa mahkota ini ke utara, akan kusampaikan kepada Raja Muda Yung Lo. Apakah kau suka ikut denganku?"

Serta merta Nagai Ici mengangguk. "Tentu saja, Nona, Ke mana pun kau pergi, kalau kau menghendaki, tentu aku menyertaimu. Malah....... kalau kau mengijinkan, aku....... aku akan membantumu dalam segala hal, biar kupertaruhkan nyawaku, selamanya......." Kaku dan tidak karuan kalimat yang keluar dari mulut Nagai Ici, karena sukar sekali dia mengeluarkan isi hatinya yang berdebar debar itu dengan bahasa yang belum dikuasainya benar-benar.

Sepasang mata yang jeli itu melebar, kemudian meledaklah ketawa dari mulut yang berbibir manis mungil dan merah segar itu, yang segera ditutupnya dengan tangan. "Kau lucu....... hi-hik. Tapi kau baik sekali, Nagai Ici. Mulai sekarang, jangan sebut aku dengan nona-nonaan segala, cukup sebut namaku saja."

Dengan hati penuh kebahagiaan, Nagai Ici mengangguk-angguk. Akan tetapi rnukanya berubah ketika dia melihat ke belakang Loan Ki dan cepat dia menuding. "Lihat, siapa mereka?"

Loan Ki cepat membalikkan tubuh dan melihat beberapa orang berlari cepat sekali dari arah kota raja. Ada empat orang yang berlari cepat ini dan melihat cara mereka berlari, kagetlah Loan Ki. "Cepat, kita harus segera pergi. Mereka itu jagoan-jagoan istana yang mengejar!" Para pengejar itu masih terlalu jauh sehingga Loan Ki tidak dapat melihat siapa adanya mereka. Akan tetapi dengan hati kebat-kebit ia menduga apakah ayahnya juga terdapat di antara mereka yang mengejarnya itu. Tanpa banyak cakap lagi ia menyambar tangan Nagai Ici dan berlari-larilah kedua orang muda itu menuju ke timur. Celakanya, empat orang itu kini memutar arah dan jelas bahwa mereka itu mengejar dua orang muda ini. Lebih payah lagi, jalan menuju ke timur ini melalui tegal rumput yang gundul, tidak ada pohonnya sama sekali sehingga mereka berdua mudah tampak dari jauh. Di depan, kurang lebih lima li dari situ, kelihatanlah sebuah hutan yang hijau tebal. Melihat hutan di depan ini Loan Ki mengajak Nagai Ici mempergunakan seluruh kekuatan untuk berlari cepat karena kalau sampai mereka berdua dapat mencapai hutan sebelum tersusul, mereka akan mendapatkan tempat bersembunyi.

Sampai tersengal-sengal napas kedua orang muda itu karena mereka menggunakan tenaga melewati ukuran dalam usaha mereka membalap ini. Nagai Ici agaknya kurang setuju dan beberapa kali sambil terengah-engah dia berkata, "Kenapa kita harus berlari-lari seperti dikejar setan? Empat orang itu, kita lawan saja, takut apa?" Memang, sebagai seorang pendekar, pantang baginya berlari-lari seperti ini, melarikan diri dari hanya empat orang yang mengejar mereka.

Loan Ki tadi sudah menengok beberapa kali dan jantungnya serasa hampir copot ketika ia mengenal bahwa seorang di antara empat pengejar itu adalah....... ayahnya! Mendengar ucapan Nagai Ici, dengan tersengal-sengal ia menjawab, "Kau tahu apa......? Seorang di antara mereka adalah ayah!"

Nagai Ici terkejut, akan tetapi anehnya, dia malah mengendurkan larinya.

"He, hayo lari cepat. Bagaimana sih engkau ini?" Nagai Ici tersenyum, tampan sekali. "Kau aneh, Nona....... eh, Loan Ki. Kalau dia ayahmu, mengapa takut setengah mati? Bukankah kita pergi ke kota raja justeru untuk mencari beliau?"

Dengan habis sabar Loan Ki menggoyang-goyang kepalanya sehingga rambutnya yang awut-awutan karena dipakai berlari itu kini sebagian menutupi pipinya, manis sekali. Ia menyambar tangan Nagai Ici lagi dan ditariknya untuk berlari lebih cepat.

"Kau tidak tahu.......! Ayah membantu mereka, membantu kaisar......."

Nagai Ici tidak mengerti. "Biarpun begitu, masa hendak menyerang anak sendiri? Takut apa?"

"Iiihhhhh, bodohnya! Aku tidak takut mereka menyerangku, tetapi aku takut mereka merampas mahkota ini. Hayo!"

Nagai Ici mulai mengerti dan dia mau berlari lebih cepat lagi. Diam-diam dia bingung juga. Benar-benar kacau-balau.

Sang ayah membantu kaisar, si anak memusuhinya. Bagaimana ini? Mana yang benar? Apapun juga jadinya, dia akan membantu dan membela Loan Ki, salah atau benar!

"Heeeiiiii....... Loan Ki.......! Berhenti.......!!" Tiba-tiba terdengar suara bentakan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Loan Ki pucat. Mereka sudah tiba di pinggir hutan, tetapi suara ayahnya sudah dekat di belakang. Ketika ia menengok ternyata empat orang pengejar itu sudah dekat. Tak mungkin dapat bersembunyi lagi, biarpun sudah tiba di pinggir hutan. Loan Ki putus asa dan terpaksa ia berhenti, membalikkan tubuh, tangan Nagai Ici ia lepaskan, sepasang matanya yang jeli bersinar-sinar memandang ke depan. Nagai Ici juga berdiri tegak, dadanya yang bidang turun naik karena napasnya memburu. Dia pun bersiap-siap membela nona itu, mempertaruhkan segalanya.

Empat orang pengejar itu bukan lain adalah tokoh-tokoh istana, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, Lui-kong Thian Te Cu, Bhok Hwesio dan It to-kiam Cui Hwa!

Cepat sekali gerakan mereka dan dalam beberapa menit saja mereka sudah tiba di situ, dan tidak seorang pun di antara mereka yang terengah-engah seperti halnya Loan Ki dan Nagai Ici. Empat orang ini tadinya mengejar keluar kota raja ketika melihat rajawali emas membawa lari Kun Hong. Sebelum keluar dari kota raja, mereka mendengar pula dari beberapa orang pengawal istana tentang mahkota kuno yang katanya dirampas oleh seorang laki-laki tidak dikenal dan yang dikejar oleh sepasang orang muda, yaitu puteri Sin-kiam eng dan temannya. Mendengar ini, Tan Beng Kui terkejut. Tak disangkanya bahwa Loan Ki sudah berada di kota raja, bersama seorang pemuda tampan gagah, siapakah pemuda itu? Karena khawatir akan keadaan anaknya, maka dia lalu mengejar, bersama tiga orang itu yang juga ingin mengejar Kun Hong.

"Loan Ki, kenapa engkau berlari-lari?" ayahnya bertanya, suaranya bengis dan matanya menatap wajah puterinya dengan tajam, lalu mengerling penuh curiga kepada pemuda tampan di sebelah puterinya. Diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda itu tampan dan gagah, dengan pedang panjang yang melengkung dipinggang. Pemuda yang sama tidak dikenalnya.

"..... Ayah........ aku....... aku menyusul Ayah ke kota raja dan......"

"Omitohud, kiranya puteri Tan-sicu? Benar-benar hebat, ayah harimau anak pun harimau pula. Nona, apakah kau sudah berhasil merampas mahkota kuno itu?" tanya Bhok-Hwesio sambil tertawa bergelak dan matanya yang lebar memandang ke arah, buntalan pakaian di punggung Loan Ki. Buntalan itu menjendol dan mencurigakan.

Loan Ki tidak menjawab, pura-pura tidak mendengar pertanyaan ini, matanya menatap wajah ayahnya, penuh permohonan dan pengharapan.

Akan tetapi wajah Tan Beng Kui dengan bengis tidak memberi hati kepadanya, malah terdengar orang tua itu bertanya,

"Loan Ki kau dengar pertanyaan Bhok Lo-suhu? Mana mahkota itu, apakah kau sudah merampasnya?",

Biarpun ia sudah biasa dimanja, namun Loan Ki selamanya tak pernah berbohong kepada ayahnya karena ayahnya amat benci kepada kebohongan dan semenjak kecil menanamkan dalam hati anaknya agar tidak suka berbohong.

"Sudah, Ayah. Akan tetapi mahkota kuno ini adalah milikku. Dahulu akulah yang merampasnya dari tangan para perampok, dan kini sudah kembali kepadaku. Benda itu punyaku, Ayah. Sungguh, punyaku dan tidak boleh diminta orung lain!"

Sin-kiam-eng cukup mengenal watak puterinya. Jujur dan keras hati. Sekali berkata tidak boleh, tentu akan mempertahankannya! Dia menjadi ragu-ragu dan berkata kepada Bhok Hwesio. "Ada betulnya juga ucapan anak ini. Benda itu dahulu lenyap, lalu terjatuh ke tangan perampok dan anakku yang merampasnya."

Bhok Hwesio tertawa pula. "Menurut The-kongcu, yang penting bukanlah mahkotanya, melainkan surat yang tersimpan di dalamnya. Nona, biarkan pinceng (aku) memeriksa sebentar mahkota itu, untuk mencari surat rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Pinceng hanya membutuhkan surat itu, kalau sudah terdapat, biarlah benda emas itu pinceng berikan kepadamu untuk main-main. Ha-ha-ha!"

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed