Skip to main content

Jaka Lola 3 -> karya : kho ping hoo

Dengan lengan kanannya, Hek Lojin memeluk pundak cucunya. "Siu Bi, kau benar-benar menggembirakan hatiku. Kau cerdik, kau pintar, kau tahu akan isi hatiku. Benar, cucuku, kau bersumpahlah bahwa kelak kau akan membalaskan hina-an atas diriku ini kepada Pendekar Buta, dan sekarang juga aku akan wariskan kedua Umu itu kepadamu."
"Kong-kong, tanpa hadiah apa pun juga, sudah menjadi kewajibanku untuk membalaskan sakit hatimu' Terlalu sekali Pendekar Buta. Sudah buta matanya, buta pula hatinya, menghina orang se-sukanya. Lengan orang dibuntungi, hemmm, padahal kau seorang tua yang baik dan tidak berdosa, apa dikiranya dia seorang saja yang paling pandai di dunia ini? Jangan khawatir, Kek, aku bersumpah, kelak kalau ada kesempatan tentu aku akan membuntungi lengan kirinya, persis seperti yang telah dia lakukan kepadamu."
"Orang hutang harus ada bunganya, Siu Bi. Keenakan dia kalau hanya dibuntungi lengan kirinya seperti aku, harus ada tebusan bagi penderitaanku belasan tahun ini. Tidak hanya dia, juga kalau dia mempunyai anak, anak-anaknya harus kau buntungi pula lengan kirinya."
"Bapaknya jahat anaknya pun tentu jahat. Baik, Kek, akan kutaati permintaanmu itu."
Bukan main girangnya hati Hek Lojin dan semenjak hari itu dia menurunkan Ilmu Pukulan Hek-in-kang yang kalau dimainkan dengan sempurna, dari tangan si pemain akan keluar uap kehitaman yang mengandung racun. Tanpa ia sadari, gadis yang bersih itu dikotori oleh ilmu silat yang mengandung ilmu hitam, tidak ini saja, malah di hatinya telah ditanamkan bibit permusuhan yang hanya dapat dipuaskan dengan alir-an darah dan buntungnya lengan entah berapa orang banyaknya! Tidak mudah mewarisi dua macam ilmu itu. Biarpun Siu Bi sudah mempunyai dasar yang kuat, namun untuk memahami dua buah ilmu itu ia harus berlatih sampai setahun lebih lamanya!
Bukan main cepatnya kemajuan gadis Itu setelah ia mewarisi dua macam ilmu silat ini dari kakeknya. The Sun sama sekali tidak tahu akan hal ini, karena kakek dan gadis itu tidak memberi tahu kepadanya. Memang keduanya merahasia-kan hal ini dan The Sun sama sekali tidak mengira bahwa kakek itu telah menciptakan ilmu silat yang demikian hebat dan dahsyat.
Pada suatu senja, secara iseng-iseng ayah ini mengintai kamar anaknya, kare-na dia merasa heran mengapa sekarang sore-sore gadis itu sudah masuk ke ka-mar sehabis makan sore. Alangkah heran-nya ketika dia melihat gadis itu berjungkir balik di atas tempat tidurnya, kepala di atas kasur dan kedua kaki lurus ke atas, kemudian kedua tangannya bergerak-gerak aneh. Yang amat mengagetkan hatinya adalah cara gadis itu berlatih pernapasan, mengapa secara berjungkir seperti itu? Diam-diam dia merasa herran, akan tetapi dia tidak mau meng-ganggu, hanya mengintai terus sampai jauh malam. Ketika menjelang tengah malam anaknya itu melompat keluar jendela secara diam-diam dan pergi ke pekarangan belakang. The Sun mengikutinya dengan hati tidak enak.
la melihat anaknya itu mencabut pedang dan bersilat di bawah sinar bulan purnama. Bukan main hebatnya. The Sun melongo ketika menyaksikan betapa pe-dang itu bergulung-gulung mengeluarkan hawa dingin dengan sinar menghitam, kemudian dia makin kaget ketika tangan kiri anaknya itu diputar-putar dan di-gerakkan sedermkian rupa sehingga mengeluarkan uap berwarna hitam pula!
Tiba-tiba muncul bayangan hitam yang dikenal oleh The Sun biarpun keadaan remang-remang, karena orang ini bukan lain adalah Hek Lojin. Kakek itu keluar sambil tertawa bergelak, "Bagus, bagus! Kau malah lebih hebat daripada aku sepuluh tahun yang lalu. Cucuku yang pintar, cucuku yang manis, kaulah yang akan membikin aku dapat mati meram. Sekarang tinggal aku menagih janji, kau harus memermhi janji dan sumpahmu."
"Di mana adanya Pendekar Buta itu, Kek?"
"Ha-ha-ha, dia manusia sombong itu berdiam di puncak Liong-thouw-san. Dia sebetulnya putera ketua Hoa-san-pai. Kaucari dia di Liong-thouw-san, kalau tidak ada susul ke Hoa-san-pai, buntungi lengannya dan lengan isterinya, juga lengan anak-anaknya. Ha-ha-ha, aku akan mati meram."
Tiba-tiba The Sun melompat ke luar, bulu tengkuknya berdiri. "Suhu (guru)! Siu Bi! Apa artinya ini semua? Dari mana kau mendapatkan ilmu setan itu?"
"Ayah, ilmu warisan Kong-kong bagai-mana kau berani menyebutnya ilmu setan?"
The Sun makin tercengang, lalu memandang kakek itu yang diam saja. "Suhu, benarkah Suhu yang mewariskan kedua ilmu itu?"
"Hemmm, betul, Ilmu Pedang Cui-beng-kiam-hoat adalah perubahan dari ilmu tongkat hitamku dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang itu adalah inti sari Iweekang yang kupelajari. Kedua ilmu ini perlu untuk menghadapi kepandaian Kun Hong si manusia buta."
"Suhu!!" The Sun berseru keras, kct mudian dia berpaling kepada Siu Bi sann-bil membentak
keras.
"Hayo kau kembali ke kamarmu!" Bentakan ini ketus dan marah. Siu Bi selama hidupnya belum pernah dibentak seperti ini oleh ayahnya, maka dia terisak menangis sambil berlari masuk ke kamarnya! Akan tetapi, gadis yang amat cerdik ini tentu saja tidak merasa puas kalau harus mehangis begitu saja. la amat penasaran dan diam-diam ia mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk keluar lagi dari dalam kamarnya, berindap-indap mengintai dan mendengarkan percakapan antara kakeknya dan ayahnya. Dan apa yang ia dengar malam itu baginya merupakan tusukan-tusukan pedang beracun yang berkesan hebat dan menggores dalam-dalam di kalbunya.
"Suhu," la mendengar ayahnya men-cela,
"bagaimanakah Suhu mempunyai niat yang begitu berbahaya? Mengapa Siu Bi Suhu bawa-bawa, Suhu seret ke dalam gelombang permusuhan pribadi? Saya nnenyesal sekali, karena menurut pen-dapat teecu (murid), permusuhan dengan Pendekar Buta bukan merupakan per-musuhan pribadi, melainkan permusuhan karena negara. Teecu tidak suka dia diseret ke dalam permusuhan Suhu itu, malah teecu mempunyai keinginan untuk menjodohkan dia dengan seorang di antara para ksatria dari Hoa-san-pai atau Thai-san-pai, agar keturunan teecu kelak menjadi orang-orang gagah perkasa yang terhormat dan membuat nama besar di dunia."
"Huh, The Sun. Kau sekarang mau pura-pura menjadi orang alim? Apa kau tidak melihat lenganku yang buntung ini? Apakah sakit hati ini harus didiamkan saja'? Bukankah ini berarti merendahkan nama besar Go-bi-san? The Sun, mana kegagahanmu? Mana baktimu terhadap guru? Ah, dia lebih gagah dari padaniu, lebih setla dan berbakti!"
"Suhu, terang bahwa Pendekar Buta bukan musuh teecu. Andaikata teecu tidak akan yakin betul bahwa teecu takkan mampu menandinginya, tentu teecu sudah lama mencarinya untuk diajak bertanding. Kalau memang Suhu begitu menaruh dendam kepadanya, mengapa tidak Suhu sendiri turun gunung, men-i carinya dan menantangnya? Masa gadis remaja seperti dia disuruh turun gunung? Teecu tidak setuju dan tidak boleh!" Suara The Sun mengeras.
"Hemmm, kau murid durhaka Aku sudah begini tua, bagaimana dapat membalas dendam sendiri? Apa artinya punya murid? Apa artinya menurunkan kepandaian? Kau sendiri dulu kalau tidak lekas-lekas kubawa lari, apakah juga tidak akan mampus di tangan Pendekar Buta? Sekarang, Siu Bi suka membalaskan dendam, mengapa kau ribut-ribut? Kalau kau tidak becus membalas budi guru, biarlah dia yang pergi. Kau tidak mau ya sudah, tapi dia mau, perlu apa kau ribut lagi?"
"Tapi dia puteriku, Suhu. Dia anak tunggal...... seorang gadis lagi....."
"Siapa bilang dia puterimu? Ha-ha-ha, dia bukan anakmu!"
"Suhu.....!!!"
"Ha-ha-ho-ho-ho, kaukira Hek Lojin sudah pikun dan bermata buta? Ha-ha-ha, The Sun, tentu saja aku tahu. Tapi aku tidak akan membuka mulut kepada siapapun juga, asal kau membiarkan dia membalaskan dendam terhadap Pendekar Buta."
"Tidak! Tidak boleh.....! Suhu, jangan suruh dia!"
"Ha-ha-ha, dia sudah bersumpah, tak mungkin menjilat ludah sendiri, tak mung-kin keturunan jago Go-bi mengingkari Janji."
"Teecu akan melarangnya!" teriak The Sun, kemarahannya" memuncak.
"Aku akan memaksanya, mengingat-kan dia akan sumpahnya!" Hek Lojin bersikeras.
"Kau..... kau jahat.....!" The Sun lupa diri dan menerjang kakek itu. Hek Lepn cepat menangkis, akan tetapi karena dia sudah amat tua, sudah hampir sembilan puluh tahun usianya, tangkisannya kurang kuat dan gerakannya kurang cepat. "Bukkk..... bukkk!" Dua kali dadanva terpukul oleh The Sun dan dia terguling roboh.
"Ayahhh.....!'!" Siu Bi meloncat dan berlari menghampiri. Sebutan ayah tadi tercekik di tenggorokannya karena la teringat akan kata-kata Hek Lojin bahwa dia bukan anak The Sun! Akan tetapi pada saat itu ta tidak peduli dan menubruk Hek Lojin yang rebah terlentang. Kakek itu terengah-engah, memandang kepada Siu Bi dengan mata mendelik, lalu..... nyawanya melayang napasnya putus. la tewas dalam pelukan Siu Bi, akan tetapi matanya tetap mendelik memandang gadis itu.
"Kong-kong.....!" Siu Bi menangis dan memeluki kakek itu yang mencintanya semenjak ia masih kecil. Di dekat telinga kakek yang sudah mati itu la berbisik perlahan,
"Aku akan balaskan dendammu, Kek....." Bisikan campur isak ini tidak terdengar oleh The Sun yang berdiri seperti patung dengan muka pucat. Akan tetapi anehnya, kedua mata yang mendelik dari kakek itu tiba-tiba kini tertutup rapat setelah Siu Bi berbisik. Hal ini terlihat oleh Siu Bi, di bawah sinar bulan. la terharu dan menangis lagi, menggerung-gerung.
The Sun menyesal bukan main, namun penyesalan yang sudah terlambat. Betapapun juga, hatinya lega karena rahasia tentang Siu Bi yang entah bagaimana telah diketahul oleh Hek Lojin itu, se-karang tertutup rapat-rapat. Sama sekali ;tidak menduga bahwa Siu Bi telah mendengarkan percakapan tadi!
Baru The Sun tahu akan hal ini ketika pada malam hari setelah jenazah Hek Lojin dikubur, secara diam-diam Siu Bi telah minggat tanpa pamit, meninggalkan puncak Go-bi-san! Tentu saja hal ini membuat The Sun hancur hatinya dan lebih-lebih ibu Siu Bi amat berduka sehingga berkali-kali ia jatuh pingsan. The Sun menghibur isterinya dengan janji bahwa mereka juga akan turun gunung setelah masa berkabung habis, untuk mencari anak mereka yang tercinta itu. Suasana bahagia di puncak ini sekeuka berubah menjadi penuh kedukaan. Siapa kira, kehidupan yang serba bahagia itu sekaligus hancur berantakan. Menang begitulah keadaan hidup di dunia ini!
***
Kita tinggalkan dulu keluarga di puncak Go-bi-san yang sedang dicekam kedukaan itu dan marilah klta menengok Pendekar Buta, orang yang menjadi sebab timbulnya peristiwa menyedihkan di puncak Go-bi-san. Para pembaca cerita "Pendekar Buta" tentu tahu siapakah pendekar yang cacat ini, seorang tuna netra (buta) yang memiliki ilmu kepandaian dahsyat sehingga orang sakti seperti Hek Lojin dapat dibuntungi lengan kirinya . Pendekar Buta adalah putera dari ketua Hoa-san-pai yang sekarang sudah sangat tua dan disebut Kwa Lojin. Adapun Pendekar Buta sendiri bernama Kwa Kun Hong. Seperti telah diceritakan dalam cerita "Pendekar Buta" yang ramai, setelah selesai pertempuran dan perang saudara antara Pangeran Kian Bun Ti dan pamannya, Raja Muda Yung Lo di mana Pendekar Buta membela Raja Muda Yung Lo sehingga mencapai kemenangan, Pendekar Buta lalu menikah dengan Kwee Hui Kauw, seorang gadis perkasa puteri Kwee-taijin yang semenjak kecil diculik oleh Ching-toanio dan dididik ilmu silat di Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau).
Setelah menikah, Kun Hong bersama isterinya mendiami puncak Liong-thouw-san, puncak gunung di mana dahulu dia menerima warisan ilmu dari seorang sakti bernama Bu Beng Cu, ditemani oleh seekor burung rajawali berbulu emas. Yang ikut ke Liong-thouw-san bersama suami isteri ini adalah seorang anak laki-laki berusia enam tahun yang menjadi muridnya. Siapakah anak laki-laki ini?
Dalam cerita "Pendekar Buta" sudah dituturkan dengan jelas bahwa anak laki-laki yang menjadi murid Kun Hong ini adalah Yo Wan atau biasa dipanggil A Wan. Dia anak keluarga petani sederhana, ayahnya tewas disiksa kaki tangan tuan tanah di dusunnya, sedangkan ibunya mati membunuh diri setelah membiarkan dirinya diperkosa oleh The Sun dalam usahanya menolong keselamatan Kun Hong yang ketika itu terluka di dalam rumahnya. Karena pertolongan yang mengorbankan kehormatan dan nyawa inilah maka Kun Hong merasa berhutang budi kepada ibu Yo Wan dan dia lalu membawa anak yatim piatu ini sebagai muridnya.
Yo Wan seorang anak yang amat cerdik. Dengan tekun dia mempelajari semua ilmu yang diturunkan oleh Kun Hong kepadanya dan setiap hari anak ini tidak mau bersikap malas, Ia rajin sekali melayani segala keperluan gurunya dan ibu gurunya. Mencari kayu bakar, mengambil air dari sungai, membersihkan pondok, malah kelebihan waktu dia pergunakan untuk menanam sayur-mayur dan memeliharanya, juga segala keperlu-an Kun Hong dan isterinya jika mem-butuhkan sesuatu ke bawah gunung, dia-lah yang turun dari puncak dan pergi ke dusun-dusun. Pendeknya, Yo Wan amat rajin dan patuh sehingga tidaklah mengherankan apabila Kun Hong dan isterinya Hui Kauw, amat mencinta anak itu. Dua tahun setelah menikah, Hui Kauw mengandung. Kun Hong yang amat mencinta isterinya, merasa khawatir. Dia sendiri seorang buta, sungguhpun dia ahii dalam hal pengobatan, namun belum pernah dia menolong wanita melahirkan dan tidak pernah pula dia mempelajari dalam kitab pengobatan. Tempat tinggal mereka di puncak Liong-thouw-san yang tersembunyi dan jauh dari tetangga. Bagaimana kalau sudah tiba saatnya isterinya melahirkan?
"Sebaiknya kita pindah saja ke Hoa-san, isteriku," kata Kun Hong setelah isterinya mengandung tiga bulan lamanya.
Hui Kauw mengerutkan alisnya yang kecil melengkung panjang dan hitam. Di dalam hatinya ia merasa tidak setuju. Ia cukup maklum bahayanya hidup berdekatan dan tinggal bersama sanak keluarga. Mudah sekali terjadi bentrokan. Gedung besar orang lain kadang-kadang merupa-kan neraka, sebaliknya gubuk kecil nilik sendiri adalah sorga, apalagi di dekatnya ada suami yang tercinta. Namun, ia nak-lum pula bahwa suaminya mengusulkan hal ini karena mengingat akan kepenting-an dan keselamatannya.
"Suamiku, perlukah kita pindah sejauh itu? Kurasa, kalau sudah sampai saatnya kita bisa minta bantuan seorang nenek dari dusun di bawah. la mencoba untuk membantah. Kun Hong memegang tangannya, mesra.
"Hui Kauw, alangkah akan gelisah hati kita kalau saat itu tiba dan di sini tidak ada orang lain kecuali kau, aku» A Wan dan seorang nenek pembantu. Se-baliknya, hati kita akan besar dan te-nang, apalagi kau melahirkan di tengah-tengah keluargaku, keluarga besar Hoa-san-pai, di mana terdapat banyak paman dan bibi yang berpengalaman, juga dekat dengan orang tua. Selain itu, kita harus memikirkan juga pertumbuhan anak kita» kelak. Tentu kau tidak ingin anak kitas tumbuh besar di tempat sunyi seperti ini.Aku ingin anak kita hidup bahagia, gembira setiap hari dan disayang baoyak orang."
Hui Kauw amat nnencinta suaminya, juga amat taat. Oleh karena itu, ia tidak mau membantah. Akan tetapi ketika teringat akan A Wan ia bertanya,
”Bagaimana dengan A Wan?"
"Tentu saja dia ikut! Mana bisa ting-||ga(lkari dia di sini seorang diri?"
Di dalam hatinya, Hui Kauw mengkhawatirkan keadaan murid itu. la cukup mengenal watak A Wan setelah anak itu tinggai di situ selama dua tahun. Anak itu pendiam dan taat, akan tetapi mem-punyai watak yang amat halus. Belum tentu anak itu akan merasai kebahagiaan di Hoa-san-pai, karena merasa bahwa dia menumpang pada gurunya, sekarang guru-nya sendiri akan menumpang di tempat orang lain.
"Apakah dia suka?” tanyanya ragu-ragu.
"Ha-ha-ha, isteriku, kenapa tidak akan suka? Coba panggil dia ke sini."
A Wan segera datang berlari ketika i mendengar suara guru dan ibu gurunya memanggil. Anak ini biarpun usianya baru delapan tahun lebih, namun tubun-nya tegap dan kuat, berkat kerja setiap hari di sawah ladang. la cekatan sekali, wajahnya lebar dan terang, matanya memiliki sinar mata yang sayu tapi kadang-kadang mengeluarkan sinar yang tajam. Dengan amat horrnat anak ini roenghadap. suhunya.
"A Wan, kau bersiaplah. Kita akan pindah ke Hoa-san-pai, ke rumah kakek gurumu, ayahku yang menjadi ketua; A Hoa-san-pai," kata Kun Hong singkat.
Berubah wajah A Wan dan hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Hui Kauw. "Bagaimana, A Wan? Kenapa kau diam saja?"
Sedih hati A Wan. la merasa bahagia hidup di Liong-thouw-san. la merasa bahwa tempat itu adalah tempat tinggalnya dan dia amat sayang kepada tempat yang sunyi itu. la merasa bahagia dapat melayani kedua orang itu yang dia ang-gap sebagai pengganti orang tuanya, ba-hagia dapat belajar ilmu silat dari orang yang sejak dahulu dia anggap sebagai bintang penolongnya. Tapi sekarang, guru-nya mengajak dia pindah dan gurunya akan mondok di rumah orang laln!
"Suhu..... tempat ini..... siapa yang akan mengurusnya? Kalau kita semua pergi..... tempat ini tentu akan rusak..,.." Suaranya agak gemetar
Kun Hong menarik napas panjang. la pun tahu bahwa biarpun usianya masih kecil, namun A Wan sudah mempunyai pandangan yang jauh dan penuh pengerti-an, maka tak boleh dia diperlakukan sebagai anak kecil. “A Wan, kau harus tahu bahwa ibu gurumu membutuhkan bantuan sanak keluarga kalau adikmu lahir. Untuk sementara tempat ini kita tinggalkan, kelak kita tentu dapat datang menengok."
Wajah A Wan berubah gembira. "Suhu, kalau begitu, biarlah teecu (murid) tinggal di sini merawat tempat ini. Kelak kalau Suhu dan Subo (Ibu Guru) kembali ke sini, tempat ini masih dalam keadaan baik. Pula, tanpa adanya teecu yang mengganggu perjalanan, Suhu dan Subo akan dapat melakukan perjalanan yang lebih cepat." Anak yang berpemandangan jauh, pikir Kun Hong kagum. Memang» dengan adanya A Wan, mereka berdua takkan dapat mempergunakan ilmu lari cepat tanpa menggendong anak itu.
"Tapi, mungkin kami akan lama di sana, entah kapan dapat kembali kesini." katanya meragu.
"Setahun dua tahun bukan apa-apa, Suhu. Teecu dapat menjaga diri sendiri dan merawat tempat ini. Sayur-mayur cukup, sebagian dapat teecu tukar gandum dan beras dengan penduduk di bawah. Kelak kalau Suhu dan Subo kembali membawa..... adik yang sudah berusia setahun lebih, wah, alangkah akan senang-nya.....!"
Kun Hong adalah seorang yang suka mendengar kegagahan dan keberanian. Sikap muridnya ini benar-benar mengagumkan hatinya bukan sikap seorang anak kecil yang cengeng merengek-rengek. Biarlah dia digembleng oleh alam, me-rasakan hidup sendiri tanpa sandaran. Biarlah dia belajar hidup sendiri, karena hal ini akan memupuk rasa percaya ke- pada diri sendiri. Malah sebaliknya dia ingin melihat ketekunan muridnya itu, bagaimana nanti hasil latihan-latihannya selama dua tahun tanpa pengawasan. Bagaimana, isteriku, apakah kau setuju dengan permintaan A Wan untuk tinggal di sini?" la mengerti betapa isterinya amat sayang pula kepada A Wan maka tak mau dia melewati isterinya.
"Kalau dia menghendakl demikian, kurasa baik kita setuju. Pula, memang sayang kalau tempat kita ini menjadi rusak. Kelak kita kembali ke sini dan tempat ini dalam keadaan baik. Aku setuju." Di dalam hatinya, Hui Kauw amat kasihan kepada A Wan, akan tetapi nyonya muda ini beranggapan bahwa kalau A Wan masih ditinggal di situ, sudah pasti suaminya kelak akan kembali ke Liong-thouw-san. Dan inilah yang ia inginkan!
Kun Hong tertawa. "Baiklah, A Wan. Kau tinggal di sini dan kau harus melatih diri dengan jurus-jurus yang sudah kuajarkan kepadamu. Latihan samadhi juga harus kaulatih dengan tekun. Aku ingin mendengar tentang kemajuanmu beberapa tahun kemudian. Andaikata sudah lewat dua tahun aku tidak datang ke sini, dan kau merasa kangen, kau boleh sewaktu-waktu melakukan perjalanan ke Hoa-san-pai seorang diri menyusul kami."
"Anak sekecil ini.....?" Hui Kauw mencela, kaget.
Kun Hong tertawa, "Beberapa tahun lagi dia sudah berusia belasan tahun, dan biarpun masih kecil, apa artinya melaku-kan perjalanan dari sini ke Hoa-san bagi seorang murid kita? Ha- ha-ha, kau tentu akan berani bukan?"
"Tentu saja, Suhu! Subo, harap jangan khawatir. Teecu dapat menjaga diri dan kalau teecu kangen dan Suhu berdua belum pulang, teecu akan menyusul ke Hoa-san!"
Dernikianlah, setelah memilih hari baik, Kun Hong dan Hui Kauw meninggal-kan Liong-thouw-san menuju ke Hoa-san, meninggalkan Yo Wan yang mengan-tar guru dan ibu gurunya sampai ke kaki gunung. Beberapa kali Hu! Kauw menoleh dan sepasang mata nyonya muda yang cantik ini berlinang air mata ketika dia melihat dari jauh tubuh Yo Wan masih berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dengan kedua tangan di belakang, sesosok bayangan bocah yang biarpun masih kecil sudah membayangkan ke-teguhan hati yang luar biasa dan nyali yang besar.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka