Skip to main content

Jaka Lola 1 -> karya : kho ping hoo

The Sun memasuki dusun Ling-chung dengan langkah seenaknya. Pemandangan di sepanjang perjalanan tadi amat indah, mendatangkan rasa tenang dan tenteram di hati, menggembirakan perasaannya. Setelah bertahun-tahun berkecimpung di kota dan sibuk dengan urusan kerajaan, pertempuran dan peperangan, sekarang keadaan di dusun-dusun terasa amat aman dan tenteram baginya. Musim panen sudah hampir tiba, padi dan gandum di sawah sucsah hamil tua, siap untuk dipotong. Pencuduk dusun, tua muda laki perempuan agaknya enggan meninggalkan sawah ladang yang mereka pelihara setiap hari seperti memelihara anak-anak sendiri, enggan meninggalkan harta pusaka yang juga me-rupakan penyambung nyawa mereka, tu padi-padi menguning. Mereka siang malam menjaga keras terhadap gangguan burung di waktu siang dan tikus-tikus di waktu malam.
The Sun adalah anak murid Go-Bi-san, putera mendiang The Siu Kai seorang pembesar militer Mongol yang sekeluarganya terbasmi habis oleh Ahala Beng, kecuali The Sun yang dapat menyelamatkan diri. Di dalam cerita PENDEKAR BUTA, diceritakan betapa The Sun yang cerdik, lihai dan bercita-cita tinggi berhasil menjadi orang kepercayaan Kaisar Hui Ti atau Kian Bun Ti, akan tetapi dalam perang saudara antara Hui Ti dan pamannya, Raja Muda Yung Lo, Hui Ti kalah dan kerajaan dirampas oleh Raja Muda Yung Lo. Dalam pertempuran hebat, The Sun dan teman-temannya kalah oleh Pendekar Buta dan teman-temannya, nyaris dla tewas kalau saja dia tidak ditolong oleh kakek gurunya, . Hek Lojin, yang berhasil membawanya lari. Namun Hek Lojin, tokoh Go-bi itu, juga terluka oleh Pendekar Buta, lengan kirinya menjadi buntung!
Peristiwa itu baru beberapa bulan saja terjadi. Setelah nnengantar kakek gurunya yang terluka itu ke puncak Go bi-san, The Sun yang tidak betah tinggal di puncak gunung yang sunyi dan dingin, lalu turun gunung. Akan tetapi amat jauh bedanya The Sun dahulu dan sekarang. la masih tetap tampan dan gagah, gerak-geriknya lemah-lembut, namun pakaian-nya kini adalah pakaian sederhana, bukan pakaian pembesar maupun pelajar yang pesolek lagi. Malah dia tidak membawa-bawa pedang. la harus menyamar se-bagai seorang penduduk biasa, karena tentu saja dia merupakan seorang yang dicari oleh pemerintah baru, yaitu pe-merintah Kaisar Yung Lo atau yang sekarang disebut Kaisar Cheng Tsu. Biar- pun kota raja sudah dipindahkan ke u'tara (Peking), namun masih banyak orang-orangnya kaisar baru ini yang akan me-ngenalnya dan akan senang menangkapnya untuk mencari pahala.
Oleh karena inilah, The Sun tidak berani ke selatan, dan klni dia hendak melakukan perantauan ke utara. Seenak-nya dia melakukan perjalanan, menikmati ketentraman dusun-dusun dan diam-diam dia merasa betapa bodohnya dia dahulu, mencari keributan dan kesenangan hanpa belaka di kota raja. Alangkah indahnya pemandangan di gunung-gunung, sawah-sawah hijau segar, gadis-gadis dusun yang memiliki kecantikan segar dan wajar, sehat dan pipinya merah jambu tanpa yanci (pemerah pipi). Penyamarannya ynembuat dia berlaku hati-hati sekali. Biarpun hatinya masih jungkir balik kalau melihat gadis-gadis dusun yang manis segar itu, namun tidak seperti dulu kalau Jnelihat wanita cantik dia terus saja berusaha mendapatkannya secara kasar maupun halus, dia sekarang hanya menelan ludah, menekan perasaan dan kalau gadis itu terlalu cantik dan membalas senyumannya, dia sengaja membuang muka dan mempercepat langkah meninggalkannya.
The Sun sesungguhnya adalah keturunan orang besar. la menjadi rusak dan dahulu berwatak sombong, mau menang sendiri, mata keranjang, adalah karena pengaruh lingkungan dan hubungannya. Buktinya sekarahg setelah dia berkelana seorang diri, tidak mempunyai kedudukan dan tidak mempunyai senderan, tidak ada sesuatu yang boleh dia andalkan, dia dapat menguasai perasaan dan nafsunya. Memang betul kata-kata orang bijak bah-wa KESEMPATAN-lah yang membuat orang menjadi LEMAH, yaitu lemah ter-hadap dorongan nafsu-nafsu buruk. Setiap perbuatan maksiat, pertama kali dilaku-kan orang tentu karena mendapat ke-sempatan inilah. Kemudian menjadi kebiasaan dan membentuk watak.
Dusun King-chung tampak sunyi kare-na sebagian besar penghuninya pada sibuk menjaga sawah dengan wajah gembira penuh harapan. The Sun melihat ke kanan kiri, mencari-cari sebuah warung nasi dengan pandang matanya, karena pagi hari itu dia amat lapar setelah melakukan perjalanan semalam suntuk tanpa berhenti. Mendadak dia mendengar lapat-iapat suara wanita menjerit. Telinganya yang terlatih dapat menangkap ini dan seketika dia meloncat dan lari menuju ke utara, ke arah suara itu. Di sebelah utara dusun ini sunyi sekali, tak tampak seorang pun manusia, bahkan bagian ini merupakan bagian yang tidak subur dari dusun itu, banyak terdapat rawa yang tak terurus. Di sudut sana tampak se-buah rumah tua yang agaknya tidak ditinggali orang.
"Tolong.....!" sekali lagi terdengar jeritan lemah dan The Sun segera mempercepat larinya menuju ke rumah tua karena dari sanalah pekik itu datangnya.
Dengan gerakan seperti seekor burung garuda melayang, dia melompat dan se-tibanya di dalam rumah tua melalui pintu yang tidak berdaun lagi, dia tertegun dan matanya membelalak memandang ke dalam. Mukanya seketika menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi-api. Apa yang tampak olehnya di sebelah dalam rumah rusak itu benar-benar membuat The Sun marah sekali.
Di atas lantai yang kotor duduk me-nangis seorang wanita muda yang pakai-annya robek-robek di bagian atas se-hingga tampak pundak dan sebagian dadanya, yang berkulit putih seperti salju, Wanita ini cantik jelita dan mukanya pucat, rambutnya awut-awutan. Di sana-sini kelihatan robekan kain pakaiannya, dan sebagian daripada robekan kain ma-sih berada di tangan seorang laki-laki yang berdiri membungkuk di depan wa-nita itu. Laki-laki yang menyeramkan. Tinggi besar seperti raksasa, rambut panjang terurai, mukanya buruk dan sikapnya kasar dan canggung sekaii, se-pasang matanya membuat orang bergidik, karena mata seperti itu biasanya hanya terdapat pada muka orang gila. Mata yang liar, bodoh dan aneh.
"Bangsat kurang ajar! Berani kau mengganggu wanita?" bentak The Sun sambil meloncat ke dalam.
Laki-laki tinggi besar itu, tiba-tiba membalikkan tubuh dan mengeluarkan suara menggereng seperti harimau, tiba-tiba dia tertawa bergelak dan suaranya seperti gembreng pecah. "Pergi kau! jangan ikut campur, dia milikku, heh-heh-hehi"
The Sun termangu dan meragu, lalu menoleh kepada wanita itu. Mungkinkah si jelita ini milik orang gila itu? Isterinya?
Sambil tertawa-tawa si gila itu kem-bali mendekat, tangannya yang besar dan kasar hendak meraih si cantik. Wanita itu bergidik dan berseru lemah, "Jangan sentuh aku.....! Kang Moh, jangan..... kau kaubunuh saja aku....."
The Sun makin bingung. "Nona..... eh, Nyonya...... dia siapakah? Apakah suamimu?"
”Bukan.....! Sama sekali bukan! Dia orang gila di dusun ini..... ah, Tuan, tolonglah, suruh dia pergi dan jangan biarkan dia ganggu aku...... lebih baik aku mati, ya Tuhan..,.," Ia menangis sedih sekali.
"Keparat! Mundur dan minggat kau!" The Sun kini maju dengan hati tetap. Lega hatinya bahwa wanita ini bukan isteri si gila ini dan kemarahannya timbul kembali, malah lebih hebat daripada tadi.
Kang Moh buaya gila itu tiba-tiba memekik keras dan menerjang maju, menghantam The Sun. Gerakannya kuat sekali, membayangkan tenaga yang luar biasa, sedangkan gerakan tangan kakinya menunjukkan bahwa sedikit banyak orang ini pernah h»elajar silat. Namun yang diserang kini adalah The Sun. Orang sekampung itu boleh takut kepadanya, akan tetapi menghadapi The Sun, dia seperti menghadapi kakek gurunya. Sekali dia miringkan tubuh dan menggeser kaki ke kiri, The Sun sudah menghindarkan diri dari terjangan lawan, kemudian dua kali tangannya bergerak. sekali menotok leher, kedua kalinya me-nusuk ulu hati dengan jari-jari terbuka.
Terdengar suara "ngekkk!" dan tubuh Kang Moh yang tinggi besar itu roboh terjengkang seperti pohon ditebang dan..... dia tidak bergerak-gerak lagi karena dua kali pukulan tadi ternyata sudah mengirim nyawanya meninggalkan badan Matanya mendelik dan dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah!
The Sun bekerja cepat. Sekali reng-gut dia telah membuka jubah si gila itu. "Nona, kaupakailah ini, untuk sementara lumayan guna menutupi pundakmu."
Wanita itu berdiri dengan lemah, mukanya yang tadinya pucat n.enjadi agak merah, tampak gugup dan malu-malu. Kemudian, setelah menutupkan jubah yang berbau apek itu ke atas pundaknya, ia menjatuhkan diri berlutut di depan The Sun. "Terima kasih..... terima kasih, Tuan..... tapi tiada gunanya...,. ah, tiada gunanya aku hidup....." la menangis terisak-isak dan tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Sementara itu, The Sun sudah mendapat kesempatan memandang. Wanita ini bukan main cantik jelitanya dan aneh sekali, jantungnya berdegup tidak karuan. Banyak dia mengenal wanita cantik, akan tetapi agaknya baru kali ini ada seorang wanita yang dapat membuat dia marah bukan main tadi, dan kini membuat jan-tungnya berdebar keras. Wajah manis itu seperti pisau belati menikam ulu hatinya, mendatangkan rasa kasihan yang tiada dasarnya. Mata itu, hidung dan muiut itu, seakan-akan menggurat-gurat kalbu-nya, menggores-gores jantungnya, minta dikasihani.
Dengan kedua kaki lemas, The Sun lalu berlutut pula di depannya. "Jangan berduka, Nona. Kesukaran apakah yang kauhadapi? Dia itu kurang ajar kepadamu? Lihat, sudah kubikin mampus dia! Manusia macam dia berani mengganggumu? Biar ada seratus orang macam dia, semua akan kubasmi kalau mereka berani mengganggumu!"
Mendengar ucapan yang penuh ke-marahan ini, wanita itu mengangkat mu-ka memandang. Muka yang kini pucat kembali, yang amat ayu dan patut dikasihani, yang basah air mata.
"Saya berterima kasih sekali bahwa Tuan telah menolong saya dari tangan Kang Moh yang gila itu, akan tetapi..... Inkong (Tuan Penolong) semua itu percuma..... tak dapat membebaskan diri saya daripada kesengsaraan..... dan jalan satu-satunya bagi saya hanya mati....."
"Tidak ada kesulitan di dunia ini yang tak dapat diatasi. Memilih jalan kematian adalah pikiran sesat. Nona, percaya-lah kepadaku, aku The Sun siap untuk menolongmu sampai titik darah terakhir. Kauceritakan saja kepadaku kesukaran apa yang kauderita."
Mendengar ucapan yang tegas dan sikap yang sungguh-sungguh ini, wanita itu menjadi terharu sekali, lalu erisak-isak ia menceritakan penderitaamya. la bernama Ciu Kim Hoa, semenjak kecil ia sudah diberikan oleh ayah bundanya kepada seorang pamannya, karena ayah bundanya bercerai dan kawin lagi. Pamannya bukanlah orang baik-baik, selama hidup di rumah pamannya, ia diperas tenaganya, bekerja kasar dan berat. Beberapa kali ia mencoba untuk minggat, akan tetapi selalu gagal dan hasilnya hanya gebukan dan tendangan.
"Kekejaman itu masih dapat saya tahan, Inkong, karena kadang-kadang paman itu pun bersikap baik dan keduka-an saya terhibur. Akan tetapi, setahun yang lalu dia telah menjual saya kepada keluarga Lee di dusun ini dan mulailah penderitaan batin yang tak tertanankan lagi....." la menangls terisak-isak.
Diam-diam The Sun menaruh kasihan. Wanita begini lemah dan cantik jelita, mengapa nasibnya demikian buruk? la membiarkan nona itu menangis sejenak, lalu menghibur, "Sudahlah, Nona. Semua penderitaan itu takkan terulang kembali, ceritakan selanjutnya, mengapa kau men-derita di rumah keluarga Lee?"
Setelah menghapus air matanya, wanita itu melanjutkan, "Kalau di rumah paman saya hanya menderita lahir, di rumah ini saya menderita lahir batin. Mula-mula kedua orang tua dari keluarga itu balk terhadap saya, akan tetapi tiga bulan kemudian saya dijadikan permainan oleh tiga orang anak laki-lakl keluarga Lee. Usia mereka antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, mereka laki-laki yang kejam. Saya tak dapat menolak, tak dapat melarikan diri, beberapa kali mencoba membunuh diri juga mereka halang-ihalangi, ah..... In-kong..... apa artinya 'lagi hidup ini.....?"
The Sun menggigit gigi sampai mengeluarkan bunyi berkerot. Selain kasihan ! kepada wanita inj, dia pun merasa hati-'nya panas dan marah sekali.
"Teruskan...... teruskan.....!" Desaknya dengan suara keras dan napas memburu.
"In-kong..... betapa hancur hati saya ketlka saya mendapatkan diri saya..... mengandung! Saya ceritakan kepada mereka dan menuntut supaya dikawin dengan sah. Tapi apa yang saya dapatkan? Mereka marah-marah. Saya diusir dengan tuduhan main gila dengan laki-lak luar, padahal mereka bertigalah yang memaksa dan mempermainkan saya.
"Keparat jahanann!!" The Sun memakl, akan tetapi tiba-tiba mukanya merah sekali dan dia
termenung. Teringatlah dia ketika dia masih dalam keadaan jaya dahulu, entah berapa banyak wanita yang dia permainkan tanpa mempedulikan aki-batnya. Heran sekali. Biasanya mendengar cerita macam ini baginya malah terasa lucu, dan biasanya mungkin dia akan mentertawakan wanita yang mengalami nasib demikian. Akan tetapi mengapa sekarang, di depan wanita ini, timbul rasa kasihan dan marah? Apakah ini kemarahan karena dia tak senang men-dengar orang melakukan perbuatan jahat dan sewenang-wenang, ataukah kerftarah-an ini tlmbul justeru karena wanita ini-lah yang dipermainkan dia tidak tahu, pendeknya waktu itu dia marah sekali terhadap mereka yang telah memper-mainkan wanita itu.
"Kemudian bagaimana, Nona? Teruskan'"
"Saya diusir dari rumah mereka tanpa . diberi apa-apa dan diancam akan dipukuli sampai mati kalau tidak lekas pergi. Dengan hati remuk saya terpaksa pergi dan sampai di rumah tua ini karena tidak ada lain tempat yang dapat saya datangi. Tak lama kemudian datanglah Kang Moh ini....." la memandang ke arah mayat itu dan bergidik ngeri.
"Dia ini juga orang- nya keluarga Lee, dan tadinya saya kira dia menyusul dengan pesan dan maksud baik daripada mereka. Tidak tahunya Kang Moh hendak melakukan perbuatan keji dan melanggar susila. Baiknya kau datang menolong, In-kong...... akan tetapi setelah In-kong menolong saya, apa arti-nya bagi saya? Keadaan saya masih belum terlepas daripada penderitaan, saya tiada sanak keluarga, tiada handai taulan, tiada sahabat. Ke mana saya harus pergi? Bagaimana saya dapat hidup?" Ia menangis lagi sesenggukan.
The Sun bangkit berdiri. Dalam sinar matanya tampak api yang penuh ancaman. "Nona, di mana tempat tinggal keluarga Lee itu? Katakan di mana mereka itu, akan saya paksa mereka meneri-mamu kembali dan mengawinimu sebagai-mana mestinya."
"Percuma, In-kong. Mereka tidak akan mau dan harap In-kong jangan memandang rendah mereka. Mereka itu orang-orang kejam dan ganas, pandai main silat dan di dalam dusun ini selain terkenal sebagai keluarga terkaya, memiliki tanah yang luas, juga terkenal sebagai jagoan-jagoannya. Tiga orang itu ditakuti semua orang di dusun. Jangan-jangan kau akan dipukuli, In-kong, dan kalau hal ini terjadi, ah, aku menyesal, karena kau tertimpa malapetaka oleh karena aku."
The Sun tertawa. "Anjing-anjing itu mampu memukul saya? Ha-ha-ha, Nona, boleh mereka coba! Kautunggu saja disini sebentar, Nona. Aku tanggung bahwa mereka akan menerimamu secara baik-baik atau mampus, karena hanya itulah pilihan mereka. Nah, di sebelah mana rumah mereka?"
Nona itu menuding ke arah timur. "Rumah mereka mudah dikenal, paling besar, merupakan gedung tembok dan di depannya banyak gentong-gentong tempat gandum. Mereka siap menerima hasil panen dan gentong-gentong itu sudah dijajarkan di pekarangan depan."
"Nona tunggu saja sebentar di sini, aku akan segera datang lagi." The Sun berkata sambil melangkah lebar meng-hampiri mayat Kang Moh, kemudian dia mencengkeram rambut mayat itu dan menyeretnya ke luar dari dalam rumah tua. Tentu saja orang-orang menjadi heran dan terbelalak memandang seorang laki-laki muda dan tampan berjalan cepat di jalan dusun sambil menyeret tubuh Kang Moh yang sudah menjadi mayat! Semua orang dusun mengenal siapa Kang Moh dan amat takut kepadanya, karena Kang Moh merupakantukang pukul keluarga Lee. Siapa kira sekarang Kang Moh sudah mati dan mayatnya diseret-seret seperti bangkai anjing saja oleh seorang pemuda yang tidak mereka kenal. Apalagi melihat pemuda itu .menuju ke rumah gedung keluarga Lee, keheranan mereka bertambah dan berbondong-bondong orang dusun mengikut The Sun dari belakang. Akan tetapi, karena rasa ngeri, takut dan juga jerih akan kemarahan keluarga Le, mereka mengikuti dari jauh dan seeara setengah sembunyi.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka