Skip to main content

Pendekar Buta 45 -> karya : kho ping hoo

Cepat ia mengubah kedudukan kakinya, miring untuk menghindarkan tusukan sambil mengelebatkan pedang mencari kesempatan membalas. Tiga kali Bhong Lo-koai menyerang hebat dan tiga kali Hui Kauw mengelak, namun belum juga Bhong Lo-koai dapat mengenal gerakan mengelak sampai tiga kali ini. Memang tidak gampang mengenai ilmu silat Hui Kauw karena seperti telah diterangkan tadi, ilmu silat nona ini adalah ciptaan Ching-toanio yang mengawinkan banyak macam ilmu silat.

Karena penasaran, Bhong Lo-koai tidak berani memandang rendah lagi, kini tongkatnya menyambar-nyambar laksana seekor ular terbang, mengurung diri Hui Kauw dari empat jurusan! Kalau tidak dapat mengenal ilmu nona ini, setidaknya dia harus dapat merobohkannya! Namun benar-benar perhitungannya meleset ilmu tongkat dari Bhong Lo-koai memang aneh sehingga dia memperoleh julukan Koai-tung (Si Tongkat Aneh), akan tetapi betapapun hebatnya ilmu tongkatnya, dia tidak mampu menembus dinding sinar pedang Hui Kauw yang amat kokoh kuat, Di lain pihak, Hui Kauw masih saja mainkan ilmu pedang warisan ibu angkatnya, karena dengan ilmu pedang ini pun ia masih mampu menandingi ilmu tongkat kakek itu. Ia tidak menghendaki pertumpahan darah, tidak mau sembarangan melukai apalagi membunuh orang, maka juga ia tidak sampai mempergunakan ilmu pedang simpanannya yang bersifat ganas dan yang ia tahu amat ampuh dan sekali turun tangan mungkin akan menjatuhkan korban itu.

Lima puluh jurus telah lewat. Tiba-tiba kakek itu berseru keras sekali ketika pedang Hui Kauw membentur tongkatnya dan tahu-tahu melenting ke atas dan dengan gerakan aneh berlenggang-lenggok mengarah lehernya. Sambil berseru ini Bhong Lo-koai menarik tongkatnya dan melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri daripada tusukan pedang.

"Tahan dulu!" demikian teriaknya dan sepasang mata yang biasanya ngantuk itu kini terbuka agak lebar karena herannya. "Nona, jawablah yang betul, kau masih terhitung apa dengan Siauw-coa-ong Giam Kin?"

Hui Kauw maklum bahwa agaknya kakek ini mengenalnya dari ilmu pedang yang memang mengandung pula inti sari ilmu silat ayah angkatnya itu, malah dahulu pernah pula ia langsung mendapat petunjuk dan latihan dari ayah angkatnya itu.

"Dia adalah ayah angkatku, apa sangkut-pautnya denganmu?" jawabnya dengan suara masih tetap dingin.

Tiba-tiba kakek itu tertawa dan menoleh kepada The Sun yang juga kelihatan girang. "Aha, The-kongcu, kiranya orang sendiri! Nona, kalau begitu kau she Giam pula! Ha-ha-ha, kalau tidak bertempur mana kenal? Nona yang baik, aku adalah kenalan baiknya, malah sahabat baik."

The Sun menjura dengan sikap hormat. "Kiranya Giam-Taihiap adalah putera angkat mendiang Giam-lo-enghiong. Pantas begini lihai. Aku The Sun mengharap supaya kau sudi memaafkan orang-orangku yang salah mata. Tentu saja terhadap puteri angkat Giam lo-enghiong, kami tidak menganggap musuh dan sama sekali tidak berani menaruh curiga. Sesungguhnya di antara kita masih ada hubungan persahabatan!" The Sun lalu mengusir semua penjaga, malah segera memerintah para pengurus rumah penginapan itu untuk menyediakan hidangan untuk menghormati Nona Giam Hui Kauw. Ruangan yang tadinya dijadikan arena pertempuran, dalam sekejap mata saja diubah menjadi tempat pesta, dengan meja yang ditilami kain merah berkembang dan sebentar kemudian berdatanganlah arak wangi dan masakan-masakan lezat yang masih panas, diambilkan cepat-cepat dari restoran terbesar yang berdekatan.

Hui Kauw merasa tak enak sekali. Jangan dikira hatinya menjadi girang karena permusuhan berubah menjadi persahabatan, karena makin rendah saja nilai orang-orang ini di dalam pandangannya. Ia sendiri sudah cukup tahu orang apa adanya Giam Kin ayah angkatnya itu, maka kalau orang-orang ini mengaku sahabat ayah angkatnya, terang bahwa mereka ini biarpun memiliki kedudukan tinggi di kota raja, juga bukan terdiri dari orang-orang yang baik.

Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menolak uluran tangan mereka, dan tidak dapat menolak pula penghormatan berupa hidangan itu. Diam-diam ia lega juga bahwa ia tidak jadi menimbulkan keonaran di kota raja dan dapat mencari orang tuanya dengan leluasa.

Beberapa kali The Sun dengan sikap menghormat dan manis menuangkan arak dan mengajak nona itu minum, kemudian dalam percakapan itu The Sun bertanya,

"Nona, saya mendengar dari Souw Ki bahwa kau mencari keluargamu dan kau menyelidiki tentang seorang hartawan she Kwee yang dahulu kehilangan puterinya. Sebetulnya, kau mencari siapakah? Kau percayalah kepadaku, kalau orang yang kau cari itu betul-betul berada di kota raja, aku The Sun pasti akan dapat menemukannya. Anak buahku tersebar di seluruh kota dan mengenal setiap orang penduduk."

"Betul ucapan The Sun ini, Nona," sambung pula Bhong Lo-koai. "Kami pasti akan dapat mencarikan orang itu, tidak baik kalau Nona sendiri pergi mencari dn khawatir akan terjadinya hal-hal tidak enak karena salah mengerti."

Diam-diam Hui Kauw mempertimbangkan hal ini. Tentu saja ia tidak bermaksud untuk membuka rahasianya sendiri, akan tetapi agaknya kalau dibantu oleh The Sun, lebih mudahlah untuk dapat bertemu dengan ayah bundanya. Ia meneguk araknya lalu berkata manis,

"Terima kasih banyak, ji-wi (kalian berdua) baik sekali. Sebetulnya aku masih keluarga jauh dari seorang she Kwee yang tinggal di kota raja semenjak belasan tahun yang lalu. Sayangnya, karena aku hanya mendengar hal ini dari mendiang kakekku, aku yang sejak kecil tak pernah bertemu muka dengan keluarga Kwee itu hanya tahu bahwa di kota raja dan belasan tahun yang lalu, keluarga ini kehilangan seorang anak perempuan. Tentu saja aku tidak bermaksud untuk menyusahkan dan merepotkan ji-wi, akan tetapi kalau ji-wi dapat mencarikan keluarga ini untukku aku akan berterima kasih sekali."

The Sun menoleh kepada Bhong Lo-koai yang tampak termenung. "Lo-eng-hiong kau yang lebih lama tinggal di sini daripada aku, apakah tidak mengenal orang yang dimaksudkan oleh Nona Giam?"

"Nanti dulu....... nanti dulu....." kakek itu meraba-raba keningnya kemudian mengangkat mukanya memandang Hui Kauw. "Kau maksudkan hartawan Kwee yang kehilangan anak perempuannya? Anak perempuan yang diculik penjahat belasan tahun yang lalu? Ah....... ahh ....... jangan-jangan yang kau maksudkan adalah Kwee-taijin (pembesar Kwee) yang sekarang menjabat pegawai tinggi bagian benda benda pusaka di istana. Aku ingat betul kejadian itu, kurang lebih tujuh belas tahun atau delapan belas tahun yang lalu, pada suatu malam kota raja gempar karena puteri Kwee-wangwe (hartawan Kwee) yang pada masa itu belum menjadi pembesar namun sudah menjadi kenalan baik dari pangeran mahkota, kabarnya diculik seorang penjahat wanita yang amat lihai. Banyak penjaga dan pengawal melakukan pengejaran namun banyak yang jatuh menjadi korban penjahat wanita yang lihai itu. Aku ikut pula mengejar akan tetapi sayang tidak bertemu dengan penjahat itu. Kabarnya, penjahat wanita itu akhirnya kena dikepung oleh para pengawal, akan tetapi secara aneh dapat meloloskan diri karena tertolong oleh seorang sakti yang tidak memperlihatkan diri. Benar aneh....... dan....... jangan-jangan dia itu orang yang kau maksudkan?"

Hui Kauw menahan debaran jantungnya. Tidak salah lagi tentu mereka itulah ayah-bundanya. Anak kecil yang diculik itu, siapa lagi kalau bukan dia? Penculik itu, penjahat wanita yang lihai, siapa lagi kalau bukan ibu angkatnya, Ching-toanio yang dahulu masih bernama Liu bwee Lan? Dan penolong sakti itu, sudah tentu mendiang Giam Kin! Dengan kekuatan batinnya ia menekan perasaan agar mukanya tidak menyatakan sesuatu, kemudian ia berkata dengan sikap gembira.

"Tentu dia orangnya! Dia masih pamanku, paman jauh....... ah, Bhong lo-enghiong, tolonglah, dapatkah kau menunjukkan kepadaku, di mana rumahnya?"

The Sun dan Bhong Lo-koai saling bertukar pandang. Kwee-taijin adalah seorang yang penting kedudukannya, pemegang kunci gudang benda-benda pusaka istana. Dalam keadaan politik sekacau itu, mana bisa menaruh kepercayaan begitu saja kepada gadis lihai ini untuk mendatangi Kwee-taijin? Siapa tahu gadis ini mengandung maksud buruk terhadap pembesar itu?

The Sun tersenyum. "Mudah saja, Nona. Kami mengenal baik kepada Kwee-taijin. Marilah, sekarang juga kami antar kau menghadap Kwee taijin di rumahnya."

Seorang yang berperasaan halus seperti Hui Kauw, tentu saja dapat menangkap kecurigaan yang terkandung dalam sikap dan pandang mata The Sun dan Bhong Lo-koai, akan tetapi ia tidak memperdulikannya karena hatinya sudah terlampau girang mendengar keterangan tentang ayah bundanya ini. Soal ayahnya menjadi pembesar atau bukan, itu urusan nanti. Yang penting baginya, ia dapat bertemu dengan ayah bundanya yang aseli, yang dikenangnya dan dirindukan semenjak ia mendengar penuturan pelayan tua di Ching-coa-to.

"Aku tidak bermaksud, merepotkah ji-wi, tapi......." ia bersungkan.

"Ah, tidak apa, Nona. Bukankah di antara kita adalah di antara orang segolongan sendiri? Tidak usah sungkan, apalagi memang kami adalah kenalan baik Kwee-taijin. Marilah."

Tiga orang itu segera meninggalkan penginapan, diantar oleh anggukan dan sikap menghormat oleh para pelayan dan pengurus rumah penginapan. Kiranya di depan rumah penginapan sudah tersedia sebuah kereta kuda dan The Sun mempersilakan Hui Kauw naik bersama dia dan Bhong Lo-koai. Hui Kauw merasa sungkan sekali, akan tetapi karena hatinya dipenuhi kegembiraan dan ketegangan hendak bertemu orang tuanya, ia tidak banyak menolak dan berangkatlah mereka sebagai pembesar-pembesar yang berkendaraan di kota raja!

Rumah Kwee-taijin amat besar dan mewah sehingga begitu memasuki pekarangan depan itu, hati Hui Kauw sudah berdebaran dan ia merasa dirinya amat kecil. Rumah Ching-toanio di Ching-coa-to memang juga besar dan indah, akan tetapi dibandingkan dengan bangunan-bangunan di kota raja, benar-benar tidak ada artinya. Rumah depannya itu dijaga beberapa orang perajurit yang memberi hormat ketika melihat The Sun dan Bhong Lo-koai. Otomatis mereka menghormat Hui Kauw pula karena gadis ini datang bersama dua orang tokoh itu.

Apalagi melihat gadis muka hitam ini membawa pedang di pinggang, para penjaga maklum bahwa gadis ini tentulah seorang tokoh kang ouw yang banyak berkeliaran di kota raja karena dibutuhkan bantuan mereka oleh kaisar.

Penjaga pintu depan segera melapor ke dalam setelah mempersilakan tiga orang tamu ini duduk di ruang tamu yang berada di depan, sebuah ruangan lebar yang penuh gambar-gambar indah dan tulisan-tulisan sajak bergantungan di sepanjang dinding tebal yang dikapur putih. Diam-diam Hai Kauw membandingkan lukisan dan sajak-sajak itu dengan milik ibu angkatnya di Ching-coa-to dan merasa bahwa lukisan-lukisan yang berada di sini tidak mampu melawan keindahan kumpulan ibu angkatnya.

Tak lama kemudian terdengar derap kaki dari dalam. Hati Hui Kauw sudah berdegupan tidak karuan, akan tetapi ia terheran ketika melihat bahwa yang muncul dari pintu dalam adalah dua orang muda. Yaitu seorang gadis dan seorang pemuda. Mereka masih muda benar, kurang lebih tujuh belas atau enam belas tahun, akan tetapi sikap mereka gesit dan lincah, pakaian mereka mewah dan wajah mereka tampan dan cantik.

"The-kongcu.......!" dara remaja itu menegur sambil memberi hormat, suaranya berirama manja dan manis. Diam-diam Hui Kauw mengerutkan keningnya. Gadis ini terlalu dimanja dan agaknya tergila-gila kepada The Sun yang tampan! Bukan hal yang pantas kalau seorang dara remaja seperti dia itu keluar mcnyambut tamu pria dengan sikap semanis itu.

"Nona Kwee, sepagi ini kau sudah begini gembira dan segar cantik. Hendak ke manakah?" The Sun menegur dan diam-diam Hui Kauw dapat merasa betapa sikap The Sun ini dibuat-buat manis, seperti sikap seorang dewasa terhadap anak-anak. Hemm, agaknya pemuda berpengaruh ini tidak seceriwis yang disangkanya, pikir Hui Kauw.

"Aku hendak pergi berburu dengan Kian-koko (kakak Kian)! Ah, kalau saja kau bisa ikut, The-kongcu, tentu akan banyak hasilnya. Panahmu selalu tepat mengenai sasaran!" Dara lincah dan jelita itu berkata pula.

The Sun tersenyum dan menggeleng kepala. "Lain kali saja, sekarang aku banyak urusan. Adik Kian, hati-hati kalau berburu, jangan terlalu jauh meninggalkan tembok kota," pesannya kepada pemuda remaja itu yang sejak tadi memandang kepada Hui Kauw.

"Pelayan memberi tahu bahwa ada Bhong-Locianpwe dan The-kongcu bersama seorang nona mencari ayah," katanya dengan suaranya yang besar dan keras. "Ayah sedang mandi, kami dipesan supaya mempersilakan kalian bertiga menanti sebentar."

"Baik, baik....... tidak apa, ada sedikit urusan" kata The Sun.

Sementara itu, pelayan datang membawa hidangan minuman dan Hui Kauw merasa canggung sekali karena dua orang muda itu tiada hentinya memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik. Ia merasa tidak enak, juga bingung, hatinya menduga-duga. Dari percakapan ini ia dapat menduga bahwa dara remaja itu tentu adik si pemuda, apalagi kalau dilihat wajah mereka memang terdapat persamaan. Akan tetapi pemuda ini menyebut Kwee-taijin sebagai ayahnya. Kalau ayah mereka, Kwee-taijin yang dimaksudkan itu, benar-benar adalah ayahnya yang sejati, dengan sendirinya kedua orang muda ini adalah adik-adiknya! Berpikir sampai di sini, hatinya berdebar tidak karuan dan ia pun balas memandang penuh perhatian. Makin berdebar hatinya ketika muncul pelayan yang berkata hormat.

"Taijin menanti para tamu di ruangan depan. Silakan sam-wi masuk."

The Sun dan Bhong Lo-koai bangkit berdiri, Hui Kauw juga mengikuti gerakan dua orang itu. Dua orang anak muda tadi pun berdiri dan sambil tersenyum manis dara remaja itu berkata kepada The Sun,

"Kami juga akan berangkat, The-kongcu. Kalau kau sudah selesai dengan urusanmu dan ada waktu, kami akan girang sekali jika kau menyusul kami ke hutan sebelah selatan."

The Sun hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memandang dua orang muda itu yang berlarian ke luar rumah di mana telah menanti para pelayan yang telah mempersiapkan dua ekor kuda besar. Sebentar kemudian terdengarlah derap kuda mereka meninggalkan tempat itu. The Sun memberi isyarat kepada Hui Kauw untuk ikut memasuki ruangan depan yang ternyata lebih luas dan lebih mewah daripada ruangan tamu. Dengan mata tak berkedip Hui Kauw memandang laki-laki setengah tua yang bangun dari kursinya menyambut kedatangan mereka bertiga. Laki-laki ini usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, rambutnya sudah berwarna dua, akan tetapi yang amat menarik adalah alisnya yang sudah putih seluruhnya. Wajahnya kurus, lebih kurus daripada badannya yang berkerangka besar, tampan dan gerak-geriknya halus. Jari-jari tangan yang diangkat ke dada untuk memberi hormat itu memiliki kuku-kuku yang panjang terawat, kuku seorang sasterawan di jaman itu, senyumnya melebar menyembunyikan sinar duka yang tergores di mukanya sebagai bekas kepahitan hidup.

"Ah, kiranya The-kongcu dan Bhong-losu yang datang berkunjung. Tidak tahu siapa Nona ini?" pembesar itu menyambut dengan suaranya yang halus. Sikap yang tidak angkuh dan halus itu serta merta mendatangkan kesan baik dan mengharukan di hati Hui Kauw yang cepat cepat memberi hormat bersama The Sun dan Bhong Lo-koai.

"Kwee-taijin," kata Bhong Lo-koai setelah mereka dipersilakan duduk, "Justeru kedatangan kami berdua ini untuk mengantar Nona ini yang katanya masih terhitung keluarga dengan Kwee-taijin."

Hening sejenak, hening yang mencekam hati Hui Kauw, mendatangkan heran bagi Kwee-taijin dan kedua orang jagoan itu hanya menanti sambil memandang penuh perhatian.

"Nona siapakah.......?" Sepasang mata itu mengeluarkan sinar menyusuri wajah dan bentuk tubuh Hui Kauw, lalu kembali ke wajah gadis itu dan menjadi ragu-ragu dan malah curiga ketika melihat muka yang menghitam itu.

Rasa kecewa memenuhi hati Hui Kauw, membuat ia ingin sekali menangis. Kalau benar dia ini ayahnya, mengapa tidak mengenalnya lagi? Bagaimana ia mungkin mengaku begitu saja sebagai puterinya? Puteri seorang bangsawan kaya raya? Apakah orang takkan menyangka dia seorang penipu? Apa buktinya bahwa ia anak pembesar ini? Dan bagaimana pula kalau ternyata bukan anaknya?

Suaranya gemetar ketika ia berkata, "Mohon maaf sebanyaknya, Taijin. Sesungguhnya, urusan ini mengharuskan kehadiran Nyonya Taijin. Apabila diijinkan, saya mohon agar Nyonya Taijin dipersilakan datang, baru saya akan bicara tentang urusan ini......."

Berubah wajah Kwee-taijin, agaknya dia akan marah, akan tetapi karena yang mengajukan permintaan yang aneh ini adalah seorang gadis, dia dapat menahan kesabarannya. Adapun Bhong Lo-koai dan The Sun tidak heran mendengar ini malah The Sun segera berkata,

"Kwee-taijin, Nona ini tahu bahwa belasan tahun yang lalu puteri taijin lenyap diculik orang......"

"Ahhh.......!" Pembesar itu berseru kaget. "Kau tahu.....? Di mana dia itu sebenarnya? Di mana anakku.......?"

Kemudian pembesar ini sadar akan kegugupannya, maka dia segera bertepuk tangan memanggil pelayan, lalu katanya, "Pergi menghadap nyonya besar dan katakan bahwa aku minta ia datang ke ruangan depan sekarang juga."

Pelayan pergi dan keadaan hening kembali. Kini Kwee-taijin menatap wajah Hui Kauw penuh perhatian dan seperti tadi dia menjadi curiga dan ragu-ragu melihat wajah yang hitam itu karena sepanjang ingatannya, dia tidak mempunyai keluarga atau anak kemenakan yang berwajah hitam seperti nona ini.

"Kau betul-betul tahu tentang puteriku yang diculik orang itu?"

"Saya tahu betul, Taijin," jawab Hui Kauw perlahan dan di dalam hatinya nona ini berdoa semoga nyonya pembesar ini kalau memang betul-betul ibu kandungnya, akan mengenalnya.

Sementara itu, diam-diam The Sun dan Bhong Lo-koai telah siap siaga menjaga segala kemungkinan untuk melindungi pembesar itu dan isterinya, karena mereka pun merasa curiga kepada nona muka hitam itu. Dengan pandang mata tajam The Sun menatap wajah Hui Kauw dan melihat betapa wajah nona yang kehitaman itu menjadi pucat tiba-tiba ketika terdengar langkah ringan dan halus dari sebelah dalam, langkah seorang wanita. Benar saja, tak lama kemudian muncullah seorang wanita setengah tua yang masih amat cantik dan halus gerak geriknya, tapi bermata sayu tanda penderitaan batin dan wajahnya yang pucat menandakan kesehatan yang buruk. Begitu melihat wajah nyonya ini, seketika Hui Kauw memandang dengan mata terbelalak dan ia seperti terkena pesona. Inilah wajah yang seringkali ia lihat di dalam mimpi, dan sekaligus hatinya jatuh. Kasih sayang dan keharuan memenuhi hatinya, membuat kedua matanya tak dapat menahan lagi bertitiknya dua air mata, mulutnya serasa kering, lehernya serasa tercekik dan jantung di dalam dada meloncat-loncat.

Juga nyonya itu seperti tercengang melihat Hui Kauw, keningnya berkerut mengingat-ingat karena ia merasa seperti pernah melihat wajah gadis ini. Hanya muka yang kehitaman itu membuat ia ragu-ragu karena seingatnya belum pernah ia mengenal seorang nona bermuka hitam seperti nona ini. Melihat adanya The Sun dan Bhong Lo-koai yang sudah dikenalnya, ia segera menjura dengan hormat yang cepat dibalas oleh kedua orang tamu itu, kemudian ia menghadapi suaminya sambil berkata halus,

"Ada keperluan apakah maka aku dipanggil ke sini?"

Karena hatinya masih merasa tegang, Kwee-taijin hanya menuding ke arah Hui Kauw sambil berkata, "Nona ini....... dia bilang tahu tentang....... Ling-ji (anak Ling)........ Seketika wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat dan mata yang sayu itu memandang terbelalak kepada Hui Kauw, kedua kakinya yang kecil melangkah maju sampai dekat. "Kau tahu....... kau tahu....... mana dia Ling Ling anakku.......?"

Hati Hui Kauw seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia terharu sekali dan diam-diam ia merasa bahagia karena ibu ini ternyata amat kasih kepada puterinya yang hilang diculik orang. Akan tetapi ia tidak boleh Sembrono, tidak boleh begitu saja mengaku sebagai anak mereka, karena biarpun hubungan darah di antara mereka telah menggetarkan jiwanya, akan tetapi ia tidak mempunyai bukti yang sah. Bagaimana kalau wanita ini bukan ibunya?

"Nyonya......." suaranya gemetar dan sukar keluarnya, "Dapatkah Nyonya katakan, apakah anakmu yang hilang itu mempunyai tanda-tanda atau ciri-ciri sehingga dapat dikenal kembali?"

Nyonya itu meramkan kedua matanya, seakan-akan hendak membayangkan kembali anak kecil yang lenyap di waktu malam itu, ingat ketika dengan amat gembira dan penuh bahagia ia memandikan anak itu setiap hari, anak tunggal yang amat disayanginya. Dengan jelas tampak dalam bayangan ini betapa anak-nya itu mempunyai sebuah tanda merah di belakang leher, seperti tahi lalat tapi merah, dan dulu seringkali ia menggosok-gosok agar tanda itu hilang. Malah suaminya menghiburnya bahwa tanda tahi lalat seperti itu tidaklah buruk, apalagi kalau anak itu sudah besar kelak tentu akan tertutup oleh rambutnya, pula tanda sekecil itu kiranya malah menjadi penambah manis pada leher yang berkulit putih.

"Ada....... ada......." katanya sambil membuka mata dan memandang suaminya. "....... kau tentu masih ingat, tahi lalat merah di belakang leher......."

Kwee-taijin mengerutkan kening mengingat-ingat, kemudian berkata sambil tersenyum penuh harapan, "Betul, ada tahi lalat merah di tengkuk, ibunya selalu meributkan hal itu......"

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed