Skip to main content

Pendekar Buta 44 -> karya : kho ping hoo

Tiat-jiu Souw Ki adalah seorang yang sudah mempunyai banyak pengalaman bertempur dan kepandaiannya pun tinggi tentu saja dia tidak menjadi gentar menghadapi bahaya yang hampir mengalahkannya tadi. Dia maklum bahwa hal tadi dapat terjadi bukan semata-mata karena lawan terlalu lihai, melainkan karena kesalahannya sendiri. Dia tadi terlalu memandang rendah lawannya, sama sekali tidak mengira bahwa lawannya, seorang perempuan muda, memiliki kecepatan dan kelihaian seperti itu. Dia sekarang menjadi penasaran dan marah. Dibantingnya kaki kanannya dan dia membentak.

"Bocah sombong, jangan banyak mulut. Lihat pukulan!" Tanpa sungkan-sungkan lagi kini Tiat-jiu Souw Ki menerjang Hui Kauw dengan kedua kepalan tangannya yang kuat terlatih sehingga dia mendapat, julukan Tiat-jiu atau Si Tangan Besi. Pukulannya sampai mendatangkan angin saking keras dan cepatnya.

Namun Hui Kauw memiliki keanehan yang sudah matang. Sebagai puteri Ching-toanio yang sudah mewarisi kepandaian manusia iblis Siauw coa-ong. Giam Kin, tentu saja Hui Kauw memiliki dasar ilmu silat yang tinggi. Menghadapi penyerangan Souw Ki yang biarpun ganas namun sebagian besar hanya berdasarkan tenaga kasar itu, ia tidak menjadi gugup. Dengan tenang namun cepat nona ini menggeser kakinya, mengelak dengan cekatan sekali sambil mengayun kaki kiri membalas dengan sebuah tendangan perlahan namun berbahaya karena yang dijadikan sasaran ujung sepatu adalah pusar lawan! Tiat-jiu Souw Ki menggeram dan tangan kirinya menyambar kaki dengan maksud mencengkeramnya hancur, sedangkan tangan kanannya menjotos kepala nona yang besarnya sebanding dengan kepalan tangannya. Serangan balasan yang dahsyat ini dihadapi oleh Hui Kauw dengan memperlihatkan ginkangnya yang mengagumkan. Tanpa menarik kakinya yang menendang itu Hui Kauw sudah menjejakkan kaki kanannya ke atas tanah sehingga tubuhnya mumbul ke atas, lalu bergerak miring untuk membebaskan diri dari pukulan Souw Ki dan otomatis kaki yang menendang juga menyamping, akan tetapi bukan berarti membatalkan tendangan karena kaki itu masih terus menendang dari arah yang berlainan dengan sasaran berubah pula, kini dari "udara" nona itu menendang ke arah belakang telinga kanan lawan.

"Setan!" Souw Ki memaki dan terpaksa dia merendahkan tubuhnya karena tendangan dari atas itu tidak sempat untuk dia tangkis lagi. Dia hendak menyusuli serangan berikutnya, namun gadis itu lebih cepat lagi. Ketika tendangannya luput ia melayang turun dan langsung sambil meloncat turun ini ia mengirim pukulan dengan jari tangan terbuka. Pukulan kedua tangannya yang kecil itu cepat danbertubi-tubi datangnya, seperti sebuah kitiran angin sehingga kelihatan seakan-akan kedua lengannya berubah menjadi belasan buah banyaknya yang menghujankan pukulan-pukulan ke pelbagai sasaran berbahaya.

Souw Ki terpaksa meloncat ke sana ke mari sambil kedua tangannya sibuk bergerak melindungi bagian tubuh yang lemah. Dia sampai berkeringat ketika lawannya sudah menerjangnya sebanyak belasan jurus, karena dia benar-benar kalah cepat sehingga sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang, jangankan balas menyerang, bernapas pun agaknya hampir tidak ada kesempatan. Tubuh Hui Kauw bergerak-gerak makin lama makin cepat, mengitari dirinya sehingga matanya menjadi berkunang dan dia sudah melihat empat lima orang Hui Kauw menari-nari di sekelilingnya!

"Plak-plak-plak!" Tiga kali telapak tangan Hui Kauw menampar pipi, leher dan pundak. Panas rasanya dan membuat pandang mata Souw Ki berkunang. Memang kembali Hui Kauw telah memperlihatkan kemurahan hatinya. Tiga kali pukulan ini sudah menjadi bukti cukup bahwa dalam ilmu silat tangan kosong, ia jauh lebih lihai dan lebih cepat. Kalau ia mau, sebagai seorang ahli silat tinggi, sekali menjatuhkan tangan tentu dapat mencari sasaran yang mematikan, akan tetapi sampai tiga kali ia hanya menampar saja. Souw Ki mengeluh dan cepat dia melompat ke belakang sehingga menabrak kursi yang menjadi remuk! Dua orang anak buahnya cepat menghampiri nya untuk menolong pemimpin mereka yang terhuyung itu, akan tetapi Souw Ki membentak, "Pergi kalian!" Kakinya melayang dan....... dua orang pembantu yang sial itu terlempar dan mengaduh-aduh. Kiranya saking marah dan mendongkolnya, Si Tangan Besi ini melampiaskan kepada dua orang anak buah yang hendak menolongnya.

"Tiat-jiu Souw Ki, kiranya sudah cukup sekarang." Hui Kauw kembali membujuk untuk menyudahi saja pertempuran yang tiada gunanya itu.
"Wuuuttttt!" Ruyung baja yang berat itu sudah berada di tangan kanan Souw Ki.

"Iblis betina, jangan kira kau sudah mampu mengalahkan aku! Hemmm, memang kau menang cepat, akan tetapi cobalah kecepatanmu dengan ruyungku, akan hancur kepalamu. Hayo, cabut pedangmu itu!" Terdengar suara berkerotan ketika Souw Ki menggertak gigi saking marah dan malunya karena dia telah ditelan mentah-mentah oleh seorang dara yang masih hijau. Tidak sampai tiga puluh jurus dikalahkan. Hebat ini! Ketika dia dikalahkan Bi-yan-cu Tan Loan Ki dalam memperebutkan mahkota, dia masih sanggup menghadapi Walet Jelita itu sampai hampir seratus jurus. Masa sekarang terhadap gadis muka hitam ini, belum tiga puluh jurus dia sudah kena dikemplang tiga kali. Kekalahannya terhadap bi-yan-cu Tan Loan Ki masih dapat dia maklumi setelah dia mendengar bahwa dara lincah itu adalah puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Akan tetapi kekalahan terhadap seorang gadis muka hitam yang tidak ternama sama sekali? Benar-benar bisa membikin dia muntah darah segar saking dongkolnya!

Hui Kauw makin gelisah. Celaka, pikirnya, monyet tua ini benar tidak tahu diri. Kepandaiannya hanya sekian saja mau digunakan untuk menjual lagak. Tidak dilayani tidak mungkin, kalau dia dilayani dan bertempur menggunakan senjata, tentu lebih hebat ekornya. Maka ia berdiri dan memandang ragu ketika Souw Ki memutar-mutar ruyung berat itu di atas kepala dengan sikap beringas.

Melihat keraguan Hui Kauw, kembali Souw Ki si pengung (si tolol) itu salah tafsir, mengira nona ini takut menghadapi senjatanya yang menyeramkan itu. "Tidak lekas mencabut senjatamu? Nah, rasakan ini ruyung pencabut nyawa!"

"Weerrr!" Ruyung yang beratnya tidak kalah dengan tiga perempat karung beras itu melayang dan angin pukulannya saja sudah membuat rambut halus di kepala Hoi Kauw berkibar.
"Singgggg!" Senjata itu lewat di atas telinga Hui Kauw yang cepat menundukkan kepala untuk mengelak. Nona ini maklum bahwa biarpun lawannya hanya mengandalkan tenaga besar dan senjata berat, namun ruyung itu dapat merupakan bahaya juga baginya. Tangannya bergerak dan di lain detik pedangnya telah terhunus dan berada di tangan kanan. Kakinya menggeser ke belakang membentuk kuda-kuda yang ringan, kaki kanan berdiri lurus dengan tumit diangkat, kaki kiri menyilang lutut, tangan kiri dikepal dan hanya jari telunjuk dan jari tengah menuding ke atas di belakang kepala, pedang di tangan kanan melintang dada dari kiri ke kanan dengan pergelangan tangan ditekuk membalik. Kuda-kuda yang sukar akan tetapi memperlihatkan sikap yang gagah dan manis.

Tiat-jiu Souw Ki mendapat hati ketika gadis itu tadi mengelak dan sekarang mencabut pedang. Terang bahwa gadis itu menganggap ruyungnya ampuh dan berbahaya. Sambil berseru keras dia kembali menggerakkan ruyungnya sekuat tenaga. Kalau gadis ini berani menangkis, aku akan membikin pedangnya patah atau terpental, pikirnya sombong.

Namun tentu saja Hui Kauw bukanlah sebodoh yang disangka Souw Ki. Gadis ini sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklum pula akan bahayanya kalau ia mengadu senjatanya secara keras melawan keras dengan ruyung lawan, karena ia kalah tenaga dan senjatanya pun kalah berat. Ia mengandalkan kelincahannya untuk menghindarkan diri daripada semua amukan ruyung itu, sedangkan pedangnya berkelebat merupakan sinar yang bergulung-gulung mencari kesempatan baik untuk menggores kulit lawan.

Memang hebat juga permainan ruyung dari Tiat-jiu Souw Ki ini. Kalau dalam hal ilmu silat tangan kosong ia adalah seorang nekat yang hanya mengandalkan kekuatan otot-ototnya, kini dalam permainan ruyungnya, dia benar-benar memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, tidak hanya mempergunakan tenaga otot namun juga mempergunakan kecerdikan otaknya sesuai dengan siasat ilmu ruyungnya. Ruyung itu biarpun merupakan senjata berat, namun di tangan Souw Ki berubah menjadi senjata ringan dan cepat sekali diputarnya, mendatangkan angin dan mengeluarkan bunyi.

Hui Kauw melayaninya dengan ilmu pedang yang ia pelajari dari ibunya, yaitu dari Ching-toanio. Ilmu pedang dari Ching-toanio ini pada dasarnya adalah Ilmu Pedang Kong-thong-pai, karena nyonya ini dahulu pernah belajar ilmu pedang dari seorang tokoh Kong-thong-pai yang merahasiakan namanya. Akan tetapi karena semenjak mudanya Ching-toanio berkecimpung dalam dunia golongan hitam, tentu saja ia mempelajari banyak macam ilmu silat dan juga termasuk ilmu pedang. Oleh karena inilah, terdorong pula oleh bakat dan kecerdikannya, ia dapat menggabungkan beberapa macam jurus ilmu pedang menjadi satu dengan Ilmu Pedang Kong-thong-pai, malah sesudah ia menjadi kekasih Siauw-coa-ong Giam Kin si manusia iblis yang banyak mewarisi ilmu silat yang amat tinggi dari Giam Kin, ia mencampuri pula ilmu pedangnya dengan ilmu yang ia dapat dari kekasihnya ini. Tidaklah heran apabila ilmu pedang yang kini dimainkan oleh Hui Kauw merupakan ilmu pedang campuran yang selain lihai, juga amat sukar untuk dikenal oleh Souw Ki. Setelah lewat tiga puluh jurus dan selama itu Hui Kauw hanya mengambil kedudukan mempertahankan dan menjaga diri saja, mulailah Souw Ki kaget dan gentar. Dia maklum bahwa ternyata gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, malah agaknya lebih hebat daripada si dara lincah Loan Ki, buktinya kalau dulu Loan Ki melawannya dengan keras dan balas menyerang, adalah gadis ini seenaknya saja mempertahankan diri tanpa balas menyerang. Kadang-kadang malah gadis ini membenturkan pedangnya dengan ruyung, bukan untuk mengadu senjata atau tenaga, melainkan untuk mempermainkannya saja karena begitu bertemu, pedang itu menyelinap di antara gulungan bayang ruyung lalu menyambar dekat bagian-bagian berbahaya seperti leher, ulu hati, lambung dan tempat-tempat yang sekali tusuk tentu akan menghentikan perjalanan napas!

Memang demikianlah kehendak Hui Kauw, Ia ingin memperlihatkan kepada Tiat-jiu Souw Ki bahwa kalau ia menghendaki, sudah sejak tadi ia dapat merobohkan orang itu. Akan tetapi, dasar lawannya yang hendak menang sendiri saja. Tiat-jiu Souw Ki pantang mengalah, apalagi dia berada di kota raja di mana berkumpul banyak sekali anak buahnya dan juga atasan-atasannya serta teman-teman sekerjanya yang lebih lihai daripadanya. Bukannya mengaku kalah, dia malah penasaran dan memutar ruyungnya lebih ganas lagi.

"Manusia tak tahu diri, lepaskan ruyung!" tiba-tiba Hui Kauw membentak, pedangnya berkelebat menyerang dan....... Tiat-jiu Souw Ki berteriak kesakitan, meloncat mundur sambil terpaksa melepaskan senjatanya karena lengan kanannya serasa terbabat pedang! Dengan muka pucat dia memeriksa lengannya yang mengeluarkan darah dari siku sampai ke pergelangan, takut kalau-kalau lengannya akan menjadi buntung atau cacad, akan tetapi lega hatinya melihat bahwa lengannya itu hanya luka ringan tergurat ujung pedang, akan tetapi memanjang dari siku sampai pergelangan sehingga mengeluarkan banyak sekali darah. Sebetulnya macam dari lukanya ini saja cukup menjadikan bukti lawannya si gadis muda itu adalah seorang yang amat lihai dan juga yang telah menaruh hati kepadanya. Akan tetapi membutakan matanya terhadap kenyataan, bahkan rasa malu dan penasaran membuat dia berseru keras.

"Serbu! Tangkap pemberontak ini!!" Sebelas orang anak baahnya serentak maju mengeroyok dengan senjata mereka. Hui Kauw marah sekali dan terpaksa ia mengangkat pedangnya menangkis dan melakukan perlawanan. Dengan kecepatannya, belum sepuluh jurus ia berhasil melukai lengan dan pundak dua orang pengeroyok sehingga mereka ini terpaksa melepaskan senjata masing-masing, lalu menendang roboh seorang lagi. Akan tetapi keributan ini menarik datang penjaga sehingga pertempuran di ruangan rumah penginapan itu makin ramai. Hui Kauw merasa makin marah, penasaran, juga menyesal. Tahulah ia sekarang bahwa ia berada dalam keadaan yang sulit sekali. Mencari orang tua belum ketemu, tahu-tahu berada dalam keadaan sesulit ini. Tiba-tiba terdengar seruan keras dan semua pengeroyok itu melompat mundur, memberi jalan kepada dua orang yang baru tiba. Hui Kauw merasa lega hatinya, akan tetapi ia tetap waspada. Ketika ia melirik, ia melihat dua orang laki-laki yang baru datang memasuki ruangan itu, dipandang oleh para pengeroyoknya tadi dengan sikap menghormat. Ia dapat menduga bahwa dua orang ini tentulah orang lihai yang memiliki kedudukan tinggi sehingga ia makin memperhatikan. Seorang diantara mereka adalah pemuda yang berpakaian gagah dan berwajah tampan dan halus gerak-geriknya, senyumnya menarik dan matanya tajam, namun Hui Kauw yang berperasaan halus itu dapat menangkap sesuatu yang menyeramkan di balik senyum dan kerling menarik ini, sesuatu yang tak dapat ia mengerti apa adanya akan tetapi yang membuat ia waspada, seperti kalau orang melihat keindahan pada muka dan kulit harimau atau ular yang menyembunyikan sesuatu yang menyeramkan dan mengancam di balik keindahannya itu.

Orang ke dua adalah seorang kakek kurus kecil, usianya lima puluhan, pakaiannya sederhana tapi penutup kepalanya mewah dan berhias permata, mukanya biasa seperti orang kurang tidur sehingga mata itu nampaknya hendak meram saja saking ngantuknya, tangan kanannya memagang sebatang tongkat bengkok. Melihat orang ini, diam-diam Hui Kauw menduga bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian tinggi, sedangkan orang muda tampan itu sebaliknya malah ia pandang rendah, mungkin hanya seorang putera bangsawan yang berlagak dan sombong.

Pemuda itu bukanlah sembarang orang seperti yang diduga Hui Kauw, karena sebetulnya dia bukan lain adalah The Sun, jago muda Go-bi-pai yang amat lihai itu. Kebetulan dia lewat di jalan raya depan rumah penginapan itu bersama katek yang bukan lain orang adalah Bhong Lo-koai, seorang di antara para pengawal kaisar. Pada saat itu mereka berdua bertemu dengan Tiat-jiu Souw Ki yang dengan muka pucat dan lengan berdarah berlari ke luar dari rumah penginapan untuk mencari bala bantuan. Mendengar bahwa di dalam rumah penginapan ada seorang gadis lihai sedang dikeroyok, The Sun tertarik dan mengajak Bhong Lo-koai untuk melihat. Begitu memasuki ruangan dan melihat sepak-terjang Hui Kauw yang luar biasa dan yang jelas menyatakan sebagai seorang ahli silat tinggi. The Sun segera membentak dan menyuruh mundur semua pengeroyok, Tentu saja mereka semua mengenal "The-kongcu" ini, orang yang boleh dibilang duduk di tingkat tinggi daripada deretan orang-orang yang dijadikan tangan kanan kaisar baru.

Kini pemuda itu tersenyum-senyum sambil memandang Hui Kauw yang cepat membuang muka, tidak sudi bertemu pandang lebih lama lagi dengan pemuda tampan yang cengar-cengir menjual lagak itu. "Nona yang gagah perkasa, agaknya kau masih amat asing di kota raja ini sehingga tidak mengenal siapa para pengeroyokmu ini dan siapa pula aku dan Lo-enghiong ini. Andaikata kau mengenal kami, baik kau datang dari golongan hitam ataupun putih, agaknya kau tidak nekat membuat ribut." Ucapan ini halus, akan tetapi penuh teguran dan mengandung sikap memperlihatkan kekuasaan.

Hui Kauw bukanlah tergolong wanita galak, malah sebaliknya ia mempunyai watak halus dan penyabar. Akan tetapi karena ia sudah mengalami pengeroyokan yang memanaskan hatinya, juga karena pertemuan pertama dengan The Sun mendatangkan kesan yang tidak sedap di hatinya maka ia pun tidak mau tunduk begitu saja dan menjawab dengan sama dinginnya.

"Memang aku seorang asing di sini, akan tetapi apakah ini merupakan alasan bagi orang-orangmu untuk berlaku sewenang-wenang? Aku tidak mencari keributan, adalah orang-orangmu dan si Tiat-jiu Souw ki yang sombong tadilah yang memaksaku. Sekarang juga aku minta kalian pergilah dari sini, tinggalkan jangan ganggu aku, aku pun tidak ingin bertempur dengan siapa pun juga!"

Kembali The Sun tersenyum-senyum, yang amat mencurigakan hati Hui Kauw pemuda ini tentu saja sudah mendengar semua persoalannya dari Souw Ki bahwa gadis ini amat mencurigakan, menyuruh pelayan menyelidiki tentang seorang hartawan she Kwee yang dahulu kehilangan anak perempuannya.

"Nona harus tahu bahwa di kota raja ini, kami para petugas yang berkuasa dan berhak mengawasi keamanan kota raja. Kau seorang asing datang-datang melakukan penyelidikan tentang seorang hartawan, bukankah hal itu amat mencurigakan? Tapi yang sudah biarlah lalu, sekarang kuharap kau suka memperkenalkan diri dan mengaku terus terang apa maksudmu melakukan penyelidikan itu dan apa pula maksud kedatangaan Nona di Kota raja ini?"

Hui Kauw bukan seorang bodoh. Ia dapat mengerti kebenaran dalam ucapan orang muda ini akan tetapi karena ia sudah terlanjur dikeroyok tadi, ia tidak dapat menekan kemendongkolan hatinya begitu saja. "Sudah kukatakan tadi bahwa namaku Hui Kauw, dan bahwa aku datang untuk urusan pribadi mencari keluarga, tidak menyinggung siapa pun juga dan tidak berniat membikin ribut. Sudahlah, harap kalian pergi meninggalkan aku!"

"Heh-heh, anak ini memiliki kepandaian, tentu dia mengandalkan kepandaiannya dan perguruannya," tiba-tiba kakek dengan tongkat bengkok itu berkata perlahan dengan mata masih mengantuk. "Nona, kau murid siapa? Tentu gurumu sudah mengenal aku Bhong Lo-koai."

"Betul, Nona. Katakan siapa gurumu, mungkin aku The Sun pernah pula mendengar namanya," sambung The Sun.

"Aku tidak mempunyai guru, sudahlah, aku tidak ingin diganggu," jawab Hui Kauw yang merasa gemas bukan main karena nama-nama itu tidak ada artinya sama sekali baginya.

The Sun dari Bhong Lo-koai adalah orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, semua penjaga kota raja menaruh hormat kepada mereka. Sekarang, di depan para penjaga itu, gadis ini tidak memandang mata kepada mereka, tentu saja mereka menjadi gemas juga. Hemm, kau mengandalkan apamu? Demikian The Sun berpikir gemas. Mukamu hitam buruk, siapa yang tertarik? Kepandaianmu setinggi langit, mana mampu melawanku.

"Bhong-lo-enghiong, dapatkah kau mencari tahu dari perguruan mana nona ini?'

Bhong Lo-koai tertawa, lalu melangkah maju menghadapi Hui Kauw sambil berkata, "Nona, pedangmu masih di tangan. Nah, kau boleh coba hadapi tongkat bututku, dalam sepuluh jurus kalau kau belum kalah berarti kau termasuk orang pandai. Dan kau boleh balas menyerangku, aku bukan Bhong Lo-koai kalau tidak dapat mengenal ilmu pedangmu."

Hui Kauw makin mendongkol. Tua-tua sudah kurang tidur begitu masih bisa berlagak, pikirnya, "Aku hanya mau membela diri, sama sekali tidak sudi rnencari ribut dengan siapa pun juga. Kalau kau mau mengganggu aku, silakan, aku tidak takut. Kalau tidak, jangan banyak bicara, pergilah tinggalkan aku!"

"Heh-heh-heh, lihat serangan!" Bhong Lo-koai menggerakkan tongkatnya dan Hui Kauw membenarkan dugaannya tadi bahwa kakek ini adalah seorang yang "berisi", tidak seperti Tiat-jiu Souw Ki. Sambaran tongkat bengkok itu tidak mengeluarkan suara, namun ujung tongkat menggetar-getar dan tusukannya mengandung tenaga dalam yang hebat.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed