Skip to main content

Pendekar Buta 43 -> karya : kho ping hoo

Malam itu sehabis makan sekedarnya, Hui Kauw merebahkan diri di atas pembaringan. Jengkel juga hatinya menanti-nanti pelayan yang tak kunjung datang. Akan tetapi ia menghibur hati sendiri dengan pikiran bahwa tentu tidak mudah melakukan penyelidikan tentang seorang yang tak diketahui betul keadaannya di dalam kota sebesar itu. Ia menutup kelambu, akan tetapi sengaja ia tidak membuka pakaian, malah ia berbaring dengan pakaian lengkap dan pedang di dekat bantal. Lilin sudah ia tiup padam karena memang ia ingin mengaso sambil menenteramkan pikirannya yang risau.

Sukar sekali ia tidur. Pikirannya kacau-balau, sebagian besar berpikir tentang Kun Hong dengan hati duka, sebagian lagi membayangkan pertemuannya dengan ayah bundanya. Masih hidupkah mereka? Andaikata masih hidup dan dapat bertemu muka dengannya, sukakah mereka menerimanya sebagai anak? Bagaimana nanti sikap mereka terhadapnya? Masih adakah kasih sayang? Dan bagaimana nanti sikapnya sendiri terhadap mereka? Semua ini membuat dadanya berdebar-debar dan membuat kedua matanya terbuka lebar tidak mau dimeramkan.

Menjelang tengah malam, suara-suara di dalam rumah penginapan besar itu telah lenyap. Keadaan sunyi menandakan bahwa para tamu sudah tidur. Dari dalam kamarnya, Hui Kauw dapat mendengar suara orang-orang mendengkur dari kamar lain. Hal ini makin memusingkan kepalanya dan menjengkelkan hatinya. Jemu sekali ia di dalam penginapan ini. Seribu kali ia lebih suka bermalam di sebuah hutan, di atas dahan pohon besar, lebih segar dan nikmat, dapat mengaso betul-betul. Hawa di dalam kamar itu pengap, membuat napas menjadi sesak.

Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ada suara di jendela kamarnya. Tapi, sebagai seorang gadis pendekar yang berilmu tinggi, hanya beberapa detik saja ia tegang, selanjutnya sambil tersenyum mengejek ia tenang-tenang rebah sambil menanti apa yang akan datang. Hatinya geli mendengar betapa daun jendela dikorek-korek dengan senjata tajam. Agaknya pencuri yang hendak membuka jendela, pikirnya. Akan tetapi ketika ia mencurahkan perhatian dan menggunakan pendengarannya, terdengar lebih daripada dua buah kaki yang berpijak di lantai. Hemm, apakah di kota raja yang begini ramainya terdapat juga perampok-perampok? Benar-benar berani mati penjahat-penjahat ini, pikirnya. Rumah penginapan adalah tempat umum dan di situ banyak terdapat tamu, bagaimana mereka ini berani datang melakukan kejahatan di sini? Kalau ketahuan, apakah mereka tak akan dikeroyok mampus?

"Kraaakkk!" Akhirnya daun jendela terbuka dan tiga sosok bayangan yang ringan gerakannya meloncat memasuki kamar melalui jendela itu. Diam-diam Hui Kauw kaget karena gerakan tiga orang itu menunjukkan bahwa mereka bukanlah merupakan penjahat-penjahat biasa, elainkan orang-orang yang memiliki kepandaian lumayan. Akan tetapi ia tetap rebah saja sambil mempersiapkan pedangnya, lalu Hui Kauw membentak halus.

"Tiga orang tikus kecil apakah sudah bosan hidup? Hayo lekas keluar lagi sebelum nonamu habis sabar!" Memang ia tidak mau mencari perkara di kota raja yang asing baginya ini.

Tiga orang itu tidak bergerak, malah seorang di antaranya menyalakan lilin sehingga Hui Kauw dapat melihat bahwa mereka adalah tiga orang tinggi besar yang siang tadi duduk di ruangan tengah.

"Nona muka hitam, jangan sombong," cela seorang di antara mereka.

"Hemm, benar-benar tidak tahu telah diberi kelonggaran," kata orang ke dua.

Orang ke tiga yang menyalakan lampu itu berkata sambil memandang Hui Kauw yang sudah bangun dan duduk di pinggir pembaringannya, "Nona, kami bertiga sudah banyak mengalah, sengaja tidak membikin ribut di depan umum agar kau tidak mendapatkan malu. Karena itulah maka kami diam-diam mendatangimu di waktu malam begini agar orang-orang tidak ada yang tahu."

Hui Kauw mengerutkan kening, membentak, "Orang-orang kurang ajar, kalian bicara apa? Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian, hayo lekas minggat dari sini!" Gadis ini sekarang sudah marah dan sudah turun dari pembaringan, berdiri tegak dengan sikap keren dan dengan pedang di tangan.

Seorang di antara mereka yang matanya juling tertawa mengejek, lalu cengar-cengir berkata, "Nona, agaknya kau belum tahu siapa kami, maka sikapmu kasar. Ketahuilah, kami adalah petugas-petugas dari istana, kami mata-mata dan penyelidik yang bertugas di rumah penginapan ini. Entah sudah berapa banyaknya mata-mata pengkhianat dan pemberontak kami tangkap! Nah, lebih baik sekarang simpan pedangmu dan kau baik-baik membiarkan kami menggeledah dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan."

"Siapa peduli tentang keadaan kalian? Siapa pun juga kalian, tidak patut memasuki kamar orang seperti pencuri-pencuri busuk. Kalau ada keperluan datanglah besok dengan cara yang sopan. Aku bukan pengkhianat, bukan pula pemberontak, perduli apa dengan kedudukan kalian? Hayo minggat!"

"Ha-ha-ha, galak benar" orang ke dua yang kumisnya panjang tertawa, "Biarpun mungkin bukan pemberontak, akan tetapi setidaknya tentu sebangsa perampok atau maling tunggal yang datang dari luar kota raja hendak mengacau atau mencuri di sini. Nona, tangan panjang, kau menyelidiki keadaan seorang hartawan di kota raja, apa maksudmu selain hendak memindahkan sebagian hartanya ke tanganmu?"

"Keparat, berani kalian menghina orang!" Tubuh Hui Kauw bergerak dan terdengarlah suara
"plak-plak, bluk, nngek!" disusul pekik tiga orang itu mengaduh-aduh diakhiri dengan melayangnya tiga tubuh mereka keluar lubang jendela. Mereka masih terdengar mengaduh-aduh, lalu merangkak-rangkak kemudian terdengar langkah mereka berderap-derap lagi meninggalkan tempat itu!

Hui Kauw tersenyum mengejek dan merasa geli hatinya. Begitu sajakah penyelidik-penyelidik dari istana? Ia membersihkan kedua tangannya dengan taplak meja di kamar itu. Kedua tangannya baru saja "makan" muka dan kepalannya menjotos dada orang-orang itu. Dengan tenang Hui Kauw menutupkan daun pintu jendelanya kembali, menyimpan pedangnya lalu merebahkan diri di atas pembaringan seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.

Menjelang pagi nona itu tiba-tiba terbangun. Enak juga ia tidur dari tengah malam tadi. Tidur pulas tiga empat jam baginya cukup sudah. Sekarang ia terbangun karena mendengar suara di luar kamarnya. Banyak orang berkumpul di luar kamarnya, sedikitnya ada sepuluh orang. Mendengar suara "di sini kamarnya!" Hui Kauw cepat turun dari pembaringan, menggosok-gosok mukanya dengan sapu tangan, membereskan rambut dan pakaiannya yang kusut, mengikatkan pedang di pinggangnya mengencangkan tali sepatunya, malah untuk menjaga segala kemungkinan ia mengikatkan pula buntalan pakaian di atas punggungnya.

"Duk-duk-duk, buka pintu!" Pintunya mulai digedor orang. "Buka pintu! Kami pengawal istana hendak memeriksa!"

Huh, menyebalkan, pikir Hui Kauw. Kiranya di kota raja berkeliaran segala anjing istana yang kerjanya hanya mengganggu orang. Hemm, lihat mereka mau apa terhadapku. Kakinya melangkah ringan dan sekali tangannya bergerak, pengganjal daun pintu terlepas dan daun pintu terbuka lebar-lebar. Dengan tenang Hui Kauw berdiri tegak dengan sikap gagah dan mata tajam menatap keluar kamar. Kiranya di luar kamarnya telah berkumpul sedikitnya selosin orang, dikepalai laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang bersikap gagah dan sombong, sebuah senjata ruyung baja yang besar tergantung di pinggangnya. Melihat pakaian orang ini lebih mewah dan berbeda dari orang-orang yang lain, dapatlah Hui Kauw menduga bahwa orang ini tentu pimpimpin mereka itu. Dengan tenang ia melangkahkan kaki keluar dari dalam kamar, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut berhadapan dengan selosin laki-laki yang tampaknya tinggi tinggi besar dan gagah-gagah itu.

"Hemm, kiranya orang-orang lelaki di kota raja, hanya kelihatannya saja gagah dan sombong," kata Hui Kauw perlahan akan tetapi suaranya mengandung penuh penyesalan dan ejekan,
"Malam tadi tiga ekor anjing menggonggong dan berlagak membuat orang sukar tidur enak, dan sekarang pagi-pagi sekali serombongan orang kasar menggedor pintu. Apa kehendak kalian?" Hui-Kauw sengaja berkata demikian ketika melihat bahwa tiga orang laki-laki malam tadi berada di dalam rombongan ini pula.

Tiga orang laki-laki itu menjadi merah mukanya, mata mereka melotot lebar akan tetapi jelas mereka kelihatan gentar. Siapa orangnya tidak menjadi gentar kalau malam tadi mengalami hal seperti mereka? Tanpa mereka ketahui bagaimana caranya, semalam gadis bermuka hitam itu telah membuat mereka kalang-kabut dan babak-belur sehingga dalam keadaan hampir pingsan tahu-tahu mereka mendapatkan diri telah berada di luar kamar! Tentu saja mereka merasa seperti telah bertemu dan melawan setan karena mereka yang terkenal sebagai orang-orang berkepandaian tinggi bagaimana bisa mengalami hal seperti itu anehnya. Semalam dengan tubuh sakit-sakit dan semangat terbang melayang, mereka menyeret kedua kaki melarikan diri dan langsung melaporkan hal aneh itu kepada seorang pengawal istana yang menjadi kepala mereka.

Pengawal istana yang sekarang membawa sebelas anak buahnya, pagi-pagi sekali mendatangi kamar tamu hotel yang aneh dan mencurigakan itu, bukan lain adalah Tiat-jiu Souw Ki yang sudah kita kenal lama! Seperti telah kita ketahui, semenjak masih pangeran, kaisar yang sekarang, yaitu dahulunya Pangeran Kian Bun Ti, sudah banyak mempunyai kaki tangan terdiri dari jago-jago silat. Dahulu dia terkenal mempunyai tujuh orang pengawal jagoan yang terdiri dari orang-orang gagah, di antaranya adalah Tiat-jiu Souw Ki itulah. Setelah Kian Bun Ti menjadi kaisar, hanya tiga orang di antara tujuh jagoannya. yang masih ada dan yang masih dia pergunakan tenaganya sebagai pengawal istana. Mereka ini adalah Tiat-jiu Souw Ki, Bhong Lo-koai dan Ang Mo-ko. Dua orang kakek ini ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada Tiat-jiu Souw Ki, akan tetapi karena watak mereka yang aneh, jarang sekali mereka keluar kalau tidak menghadapi urusan besar. Mereka lebih suka bertugas di dalam istana menjaga keselamatan kaisar, berbeda dengan Tiat-jiu Souw Ki yang lebih suka berkeliaran di luar karena baginya, bertugas di luar istana mempunyai kesempatan lebih banyak untuk melampiaskan nafsu-nafsunya, mudah mencari "rejeki" dengan jalan memeras dan merampas, mudah pula mempermainkan anak isteri orang yang menjadi sebuah di antara hobbynya (kegemarannya)!

Di bagian cerita ini sudah dituturkan betapa Tiat-jiu Souw Ki yang tadinya berhasil merampas kembali mahkota kuno yang dicuri oleh Tan Hok dari dalam istana kemudian "bertemu batunya" ketika nona Tan Loan Ki Si Walet Jelita mempermainkannya, mengalahkannya dan merampas kembali mahkota itu. Hati Souw Ki amat penasaran. Dia, seorang pengawal kaisar, berjuluk Tiat-jiu (Si Tangan Besi), ahli main ruyung baja, masih dibantu anak buah perampok-perampok Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang dan si tosu bopeng Ban Kwan Tojin, kalah oleh seorang dara jelita yang masih setengah kanak-kanak! Mulai saat itu Tiat-jiu Souw Ki menaruh hati benci pada wanita wanita kang-ouw.

Maka begitu mendengar dari anak buahnya bahwa di dalam penginapan di kota raja itu terdapat seorang wanita kang-ouw yang mencurigakan akan tetapi berilmu tinggi, hatinya tertarik dan penasaran. Mana bisa di dunia ini ada wanita ke dua yang boleh begitu saja menghinanya? Demikianlah, pagi-pagi benar dia mengajok sebelas orang anak buahnya yang pilihan mendatangi penginapan itu dan menggedor pintu kamar Hui Kauw.

Melihat sikap Hui Kauw yang menantang dan keren, Tiat-jiu Souw Ki menjadi panas perutnya. Dia seorang mata keranjang dan agaknya kalau nona yang terbentuk tubuh menggairahkan ini tidak hitam mukanya, agaknya siang-siang kemarahannya sudah akan mencair kembali. Akan tetapi kehitaman muka Hui Kauw memang menyembunyikan kecantikannya dan hal ini agaknya membuat Souw Ki makin panas perutnya sehingga meledaklah suaranya membentak.

"He, monyet betina muka hitam! Siapa kau berani bersikap sombong di depan Tiat-jiu Souw Ki? Mendengar laporan anak buahku, kukira kau seorang tokoh kang-ouw yang bernama besar sehingga pagi-pagi aku datang sendiri untuk melihat. Siapa tahu kiranya hanya seekor monyet hitam, lutung hitam. Hayo lekas berlutut menyerah!"

Hui Kauw adalah seorang yang sebenarnya memiliki watak penyabar dan luas pandangan. Semalam sudah ia buktikan betapa wataknya amat halus dan pemurah sehingga tiga orang laki-laki kasar yang sudah menghinanya itu masih dia ampuni dan hanya memberi hajaran sedikit dan tidak mengakibatkan luka-luka parah. Namun, sesabar-sabarnya hati wanita, kalau dimaki dan diperolok tentang keburukan mukanya, ia tentu akan marah juga. Demikian pula Hui Kauw. Ia maklum bahwa mukanya memang hitam dan buruk, akan tetapi bukan untuk diperolok oleh seorang laki-laki macam Souw Ki ini. Dengan kilatan mata berbahaya, gadis itu menudingkan telunjuknya yang runcing ke muka Souw Ki sambil berkata.

"Bangsat rendah bermulut kotor, mukamu sendiri hitam dan buruk, masih berani memaki orang lain? Tidak peduli kau siapa, aku adalah seorang baik-baik yang tidak pernah dan tidak akan melakukan kejahatan. Tentang maksud kedatanganku di kota raja, adalah urusanku sendiri, siapa berhak mencampuri? Malam tadi aku masih mengampuni tiga ekor anjing kecil, akan tetapi sekarang kalau ada anjing besar berani menggonggong tak tahu malu, agaknya aku takkan puas kalau belum mampu menghajar moncongnya sampai tanggal semua giginya!"

Dapat dibayangkan betapa marahnya Tiat-jiu Souw Ki mendengar kata-kata menghina ini. Jelas bahwa gadis muka hitam ini memakinya sebagai anjing besar yang hendak dihajar moncongnya dan ditanggalkan giginya.

"Bangsat betina, tidak biasa aku, Tiat-jiu Souw Ki Si Tangan Besi bertempur melawan perempuan, akan tetapi karena kau terlalu kurang ajar sudah semestinya mengenal tangan besiku."

"Hemm, kau mau mengeroyok? Aku tidak takut!" kata Hui Kauw, masih tenang sikapnya dan sama sekali ia tidak meraba gagang pedangnya. Ia tahu bahwa kepandaian seseorang dapat diukur dari sikapnya. Sikap Souw Ki yang sombong ini sama sekali tidak mencerminkan ilmu yang tinggi sehingga tak perlu pula ia berkhawatir.

"Wah-wah, kau benar-benar memandang rendah, keparat! Agaknya kau memiliki sedikit kepandaian maka berani malang-melintang di kota raja. Siapa hendak mengeroyokmu? Dua buah jari tanganku saja sanggup membuat kau berkeok-keok minta ampun. Mari....... mari........ boleh kita bertanding di tempat yang lapang!" Dia melangkah lebar ke ruangan dalam di mana terdapat ruangan yang lapang setelah meja kursi didorong ke pinggir tembok. Dengan lagak gagah dibuat-buat Souw Ki berdiri di tengah ruangan ini, menanti dengan sikap jagoan yang sudah pasti akan mendapat kemenangan, sama sekali tidak sadar bahwa sikapnya ini saja sudah menunjukkan sikap pengecut besar karena sebagai jago, yang menanti bukanlah jago lain melainkan seekor ayam betina! Hui Kauw dengan senyum dikulum dan menahan kemengkalan hati, melangkah pula ke ruangan ini. Ia mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada pemimpin orang istana ini agar selanjutnya ia tidak mendapat banyak gangguan lagi. Panas juga hatinya melihat betapa laki-laki tinggi besar itu sudah memasang kuda-kuda, mulutnya menyeringai penuh ejekan dan cemooh, matanya melirik memandang rendah. Menurutkan gelora hati panas Hui Kauw menggenjot tubuhnya dan melayangkan tubuhnya itu ke tengah ruangan, tepat berhadapan dengan Souw Ki. Pengawal istana ini kaget, maklum bahwa lawannya ini kiranya benar-benar memiliki kepandaian tinggi, buktinya memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan. Bagus, pikir si pongah, makin tinggi ilmunya makin baik sehingga aku takkan ditertawai anak buahku, disangka hanya pandai mengalahkan wanita cantik dan lemah saja. Biarlah iblis betina ini kutundukkan dengan kepandaian, pikirnya.

Betapapun juga, setelah berhadapan dengan calon lawannya, Hui Kauw yang berhati lembut itu sudah merasa menyesal. Ia sedang berusaha mencari orang tuanya. Kedatangannya di kota raja adalah untuk urusan itu, bukan untuk berkelahi! Sekarang, belum apa-apa ia sudah mendatangkan keonaran dan sudah hendak bentrok dengan petugas-petugas istana!

"Tiat-jiu Souw Ki," katanya dengan suara lembut karena penyesalan ini. "Terus terang saja, aku sebenarnya tidak suka ribut-ribut karena kedatanganku di kota raja ini bukan untuk mencari keributan dengan siapapun juga. Anak buahmu kuhalau pergi karena mereka malam-malam mengganggu dan memasuki kamarku. Melihat julukanmu, kau tentulah seorang kang-ouw yang tahu akan sopan-santun di dunia kang-ouw, dan biarkanlah aku melanjutkan urusanku sendiri dan kita tidak saling ganggu."

Belasan tahun yang lalu, sebelum bintangnya naik menjadi pengawal pangeran, Tiat-jiu Souw Ki adalah seorang bajak sungai yang terkenal. Tentu saja dia tahu akan peraturan dunia persilatan, dunia perantauan dan dunia kaum hitam. Maka dia tertawa bergelak mendengar ucapan Hui Kauw ini dan menjawab.

"Ha-ha-ha, ucapanmu seperti kau ini seorang tokoh kang-ouw yang hebat saja! Bocah, aku Tiat-jiu Souw Ki sudah banyak mengenal tokoh kang-ouw dan andaikata kau seorang tokoh sekalipun, kau masih harus menghormati aku, apalagi kau sama sekali tidak kukenal dan kau seorang pelonco dalam dunia kang-ouw, mana bisa aku berlaku sungkan lagi? Kecuali kalau kau mau berterus terang menyatakan siapa namamu, dari mana kau datang dan apa niatmu memasuki kota raja, baru aku mau timbang-timbang untuk mengampunimu."

Ucapan ini benar-benar amat sombong dan memandang rendah. Akan tetapi karena Hui Kauw benar-benar tidak menghendaki terjadinya keributan tanpa sebab penting, ia menahan kemendongkolan hatinya, menjura dan berkata,
"Tiat-jiu Souw ki, baiklah aku memperkenalkan diri. Namaku Hui Kauw dan aku datang ke kota raja ini untuk urusan pribadi, mencari keluargaku. Nah, sekali lagi harap kau dan orang-orangmu jangan mengganggu dan aku berjanji takkan mengganggu kalian di mana saja kalian berada."

Orang yang sombong selalu tidak mau mengalah, sempit pandangan dan tidak menimbang keadaan. Sikap Hui Kauw ini diterima keliru oleh Souw Ki yang mengira bahwa gadis muka hitam itu merasa jerih terhadap dia!

"Ha-ha-ha, mana bisa begitu gampang? Kau telah bersikap garang terhadap orang-orangku, nah, sekarang kau harus berlutut tujuh kali minta ampun kepadaku, baru aku Tiat-jiu Souw Ki mau sudah!"

"Kau memang terlalu sombong'." Hui Kauw membentak.

"Ha-ha-ha, majulah kalau hendak merasai kelihaianku!" Souw Ki menantang.

Hui Kauw maklum bahwa tak mungkin bersilat lidah dengan seorang manusia macam ini sombongnya. "Lihat serangan!" ia membentak dan cepat laksana burung menyambar tubuhnya sudah bergerak maju dan kedua tangannya bergerak melakukan penyerangan.

Souw Ki yang memandang rendah, melihat datangnya tusukan dengan jari tangan kiri ke arah lehernya, cepat menggerakkan tangan kanan untuk menangkap pergelangan tangan lawan dan bermaksud untuk mengalahkan dalam segebrakan ini karena kalau dia berhasil menangkap tangan kecil itu berarti dia akan menang. Hatinya girang bukan main melihat tangan kiri itu masih terus melakukan tusukan, agaknya sama sekali tidak perduli akan gerakan tangan kanannya yang hendak menangkap pergelangan tangan. Wah, begini gampang? Dia sudah tertawa dalam hatinya karena yakin bahwa pergelangan tangan kiri yang kecil itu sudah pasti akan dapat dia tangkap.

"Ayaaaaa....... celaka.......!" Tubuh Souw Ki terjengkang dan roboh terus bergulingan ketika dia sengaja membanting diri ke belakang. Dia meloncat bangun lagi dengan muka sebentar pucat sebentar merah sedangkan keringat dingin membasahi lehernya. Dia sebentar marah, sebentar malu karena harus bersikap seperti itu di depan orang banyak. Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya ketika dalam gebrakan pertama tadi saja dia sudah hampir celaka. Kiranya tusukan tangan kiri Hui Kauw memang sengaja dilakukan sebagai umpan. Gadis itu membiarkan tangan kirinya disambar pergelangannya, akan tetapi tangan kanannya sudah cepat "memasuki" lowongan kedudukan lawan dan menyodok ke arah lambung di bawah iga. Andaikata Souw Ki tidak cepat-cepat membanting diri ke belakang, biarpun tangan kanannya akan berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan, namun dia sendiri akan terkena Pukulan maut yang akan mengguncangkan jantungnya dan banyak kemungkinan akan menewaskannya!

Hui Kauw sekarang tersenyum mengejek. "Tiat-jiu Souw Ki, sudah kukatakan bahwa aku tidak suka berkelahi mencari keributan. Masih belum terlambat kalau kau sudahi saja pertempuran tiada guna ini."

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed