Skip to main content

Pendekar Buta 41 -> karya : kho ping hoo

Ia telah menyelamatkan Kun Hong, telah membeli keselamatan penolongnya itu dengan pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan seorang wanita lemah seperti dia. Akan tetapi sekarang muncul wanita gagah itu yang memaki-makinya, yang melihat perbuatannya. "Ya Tuhan....... aku perempuan hina....... perempuan rendah......" Janda Yo tak kuat lagi, kedua lututnya lemas dan ia jatuh nglumpruk di atas lantai, menutupi muka dengan kedua tangannya. Tiba-tiba ia terbelalak memandang ke kanan kiri, menatap pembaringan yang kini sudah kosong, telinganya mendengar gema wanita tadi memaki-makinya, "Perempuan jalang! Lacur! Jangan pegang-pegang dia dengan tanganmu yang kotor!" lalu terdengar lagi,
"Bukankah laki-laki tadi kekasihmu? Huh, dan kau berani mendekatkan tubuhmu yang hina dan kotor itu dengan Kwa Kun Hong?"

"Ooohhhhh.......!" Janda Yo menangis lagi, kini tersedu-sedan, kemudian ia menubruk pembaringan yang kosong itu. "Kwa Kun Hong........ namamu Kwa Kun Hong, Inkong? Setidaknya wanita itu berjasa memberi tahu namamu. Orang mengatakan aku kotor, hina, jalang, lacur....... Inkong (Tuan penolong), tidak apalah, asal kau selamat. Badan dan namaku kotor bisa dicuci dengan....... ini..."

Janda muda itu melolos ikat pinggangnya dan matanya memandang ke atas, mencari-cari tiang atau usuk genteng rumah itu.

"A Wan.......!" Hanya jerit ini saja terdengar satu kali dari dalam pondok di malam sunyi itu, kemudian sunyi tak terdengar suara apa-apa lagi.

"Ibu.......!" A Wan lari memasuki rumah itu. Anak ini tidak berhasil mengundang datang sinshe Thio. Hal ini tidaklah mengherankan. Sinshe mana yang sudi dipanggil oleh keluarga miskin? Selain tidak dapat mengharapkan pembayaran yang banyak, jangan-jangan malah harus merogoh saku membelikan obat! Sinshe Thio mendengar permintaan A Wan supaya suka datang ke rumahnya mengobati seorang paman yang "jatuh" dan luka-luka, hanya menggeleng kepala sambil mengebulkan asap huncwe (pipa tembakau) yang tebal dan berbau apek ke muka A Wan. Tanpa "uang muka" dua tail perak dia tidak akan sudi berangkat, katanya. A Wan membujuk-bujuk, memohon dan bahkan menangis, namun sin-she Thio tidak melayaninya, malah ditinggal masuk. A Wan adalah anak yang keras hati, dia tidak putus asa, terus saja dia mengetuk-ngetuk pintu dan merengek-rengek. Akhirnya, bukan dituruti permohonannya, malah kepalanya mendapat benjol benjol karena pukulan huncwe sinshe itu pada kepalanya. Sambil menangis akhirnya A Wan berlari pulang dan dia merasa hatinya amat tidak enak memikirkan keadaan si paman buta. Jarak yang amat jauh itu ditempuhnya sambil berlari-lari dan seperti ada firasat tidak baik dia mempercepat larinya, malah telinganya serasa mendengar suara ibunya memanggil-manggilnya.

Dapat dibayangkan betapa kaget, ngeri, dan bingungnya ketika dia masuki pondok, dia melihat tubuh ibunya tergantung pada ikat pinggang yang ditalikan ke atas tiang. Ikat pinggang itu melilit leher ibunya dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa kedua kaki ibunya masih berkelojotan.

Biarpun merasa ngeri dan takut, namun A Wan adalah anak cerdik. Dia hanya terpaku sebentar, cepat dia merayap naik tiang sambil memekik-mekik dan memanggil nama ibunya. Jari-jari tangannya gemetar ketika dia merenggut-renggut ikat pinggang yang terikat kuat-kuat pada tiang. Seperti seekor kera dia melorot kembali, lari ke dapur mengambil pisau merayap naik lagi dan akhirnya dia dapat memotong ikat pinggang itu sampai putus dan tubuh ibunya jatuh berdebuk di atas tanah.

"Ibu.......! Ibu.......!!" A Wan menubruk dan merangkul ibunya, menangis sambil menciumi muka ibunya yang pucat membiru.
"Ibu....... kenapa Ibu....... ah, bagaimana ini.......? Ibuuuuu.......!"

Jerit terakhir yang keluar dari mulut A Wan ini seakan-akan dapat membetot kembali semangat janda muda itu yang sudah meninggalkan tubuhnya. Bibir yang biru itu berkomat-kamit, biji mata yang sudah melotot tanpa cahaya itu bergerak-gerak, lalu terdengar suara janda muda yang bernasib malang itu berbisik-bisik.

"A Wan........ balas....... budi Kwa Kun Hong....... balas....... dendam The Sun......."

"Ibu.......!Ibuuuuu.......!! Ibuuuuu.......!!!" A Wan menggoncang-guncang tubuh ibunya yang makin lama makin lemas dan makin dingin karena pada saat itu janda muda ini sudah terbebas daripada duka nestapa dan derita sengsara dunia. Matanya yang tadi melotot sudah meram, mulutnya menyungging senyum dan biarpun muka itu kini pucat dan rambutnya awut-awutan, namun kelihatan tenang dan damai, makin nyata kecantikan aselinya. Sebaliknya, puteranya yang masih hidup, yang sedang berkembang dalam hidup, nnenangis menggerung gerung dan memanggil-manggilnya. Alangkah ganjil penglihatan ini. Yang hidup menangisi yang mati. Yang hidup merasa penuh duka lara. Yang mati tenang diam begitu damai dan tenteram. Tidakkah janggal ini? Sudah benarkah itu kalau yang hidup menangisi yang mati? Ataukah harus sebaliknya?

******

Kita tinggalkan dulu Yo Wan atau A Wan yang sedang menangis menggerung-gerung memenuhi malam sunyi itu, suara tangisannya tersaing dengan kentung peronda dan dengan suara doa dari kelenteng-kelenteng berdekatan. Mari kita mengikuti keadaan Kun Hong yang dalam keadaan pingsan dibawa lari oleh seorang gadis aneh.

Kun Hong benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya sejak dia menabrak pohon dan roboh pingsan di belakang pondok itu. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan janda Yo setelah dia siuman sebentar hanya untuk mengenal suara mereka ibu dan anak. Malah dia pun tidak sadar ketika tubuhnya dikempit oleh seorang wanita dan dibawa lari berlompatan di dalam gelap dengan gerakan ringan dan cepat.

Dengan kesigapan dan kecepatan gerakan yang amat hebat wanita itu akhirnya membawa tubuh Kun Hong meloncat tinggi ke atas genteng sebuah rumah gedung, kemudian bagaikan seekor kucing saja ringan dan cepatnya, ia telah melayang turun dan menerobos masuk ke sebuah kamar di dalam gedung itu melalui jendela yang terbuka daunnya. Sebuah kamar yang besar dan indah, dengan pembaringan, meja rias, kursi-kursi dan perabotan lain yang serba halus dan mahal. Sebuah kamar seorang gadis yang kaya-raya, atau patutnya kamar puteri seorang bangsawan besar.

Gadis itu dengan cepat merebahkan tubuh Kun Hong di atas pembaringan yang bertilam kasur dan kain merah berkembang, lalu dengan cekatan ia melakukan pemeriksaan di bawah penerangan lampu yang cukup terang dan besar. Keningnya berkerut dan sepasang mata yang bening itu menjadi cemas ketika ia melihat luka membiru di punggung dan kulit yang membengkak di pangkal paha karena sebuah luka bergurat panjang yang menghitam!

"Keji!" Perlahan ia memaki. "Senjata beracun dan pukulan maut yang amat kuat....."

Tanpa ragu-ragu lagi ia merobek lebih lebar pakaian yang menutupi pangkal paha Kun Hong, lalu mencabut pedangnya dan dengan ujung pedangnya yang tajam dan runcing itu ia menggurat luka membengkak yang darahnya sudah mengering. Pecahlah kulit itu dan keluar darah yang menghitam. Gadis itu meletakkan pedangnya di atas ranjang, berlutut di atas ranjang di sebelah Kun Hong, lalu ia membungkuk dan....... tanpa ragu-ragu lagi ia menggunakan mulutnya yang mungil untuk mengecup dan menyedot ke luar darah hitam dari luka di pangkal paha itu! Beberapa kali meludahkan darah yang telah disedotnya ke atas lantai, lalu menyedot lagi tanpa memperdulikan bau darah menghitam yang tidak enak itu. Baru ia berhenti setelah ia menyedot darah yang merah segar.

"Hebat......." gumannya. "Kun Hong benar-benar memiliki sinkang (hawa sakti) yang luar biasa di dalam tubuhnya sehingga biarpun dia pingsan, racun itu tidak dapat menjalar terus ke dalam tubuh, hanya berhenti di sekitar luka. Kalau tidak demikian, ah, tentu dia takkan dapat disembuhkan lagi......."

Gadis itu lalu duduk bersila, menempelkan kedua telapak tangan pada punggung Kun Hong yang ia dorong miring, kemudian ia menyalurkan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk memulihkan tenaga dan menyembuhkan luka di dalam dada Kun Hong.

Sejam kemudian Kun Hong bergerak, mengeluh panjang. Gadis itu cepat menarik kembali kedua tangannya. Gerakan ini perlahan sekali akan tetapi cukup membuat Kun Hong maklum bahwa dia sedang berbaring dan di dekatnya terdapat seorang yang duduk bersila. Serentak Kun Hong menggerakkan tubuhnya dan di lain saat dia sudah meloncat turun dari pembaringan dan berdiri dengan bingung tetapi siap dan waspada.

"Kun Hong, syukur kau telah siuman....."

"Hui Kauw.......!" Hampir saja Kun Hong tidak percaya ketika mendengar suara itu, akan tetapi kini hidungnya mencium keharuman yang biasa keluar dari rambut gadis itu. Apalagi suara itu tak mungkin dapat dia lupakan. Di antara seribu macam suara orang dia pasti akan mengenal suara Hui Kauw si nona bidadari!

"Betul Kun Hong. Aku Hui Kauw dan kau berada di dalam kamarku."

Kun Hong teringat segalanya dan dia meraba luka di belakang pangkal pahanya. Dia menjadi heran sekali. Luka itu sudah bersih daripada racun yang tadinya mengeram di sekitar luka. Dia menunduk dan tiba-tiba tercium olehnya bau tak enak dari darah yang kotor oleh racun, bau darah yang agaknya berada di lantai.

"Hui Kauw........ kau....... kau........ dengan cara bagaimana kau tadi mengeluarkan racun dari luka di pahaku?"

"Lukamu tadi menghitam, berbahaya sekali kalau menjalar sampai ke jantung. Aku tidak mengerti cara lain, maka tadi kusedot keluar sampai bersih." Menjawab begini, agak berubah air muka gadis ini karena tahu sekarang ia teringat betapa perbuatannya tadi sesungguhnya amat tidak sopan dan memalukan.

Kun Hong sudah menduga akan hal ini dan dia manyambar dan menggenggam tangan Hui Kauw, "Hui Kauw alangkah mulia hatimu. Kenapa kau menolongku sampai begitu?"

Dengan suara tegas namun agak gemetar gadis itu menjawab, "Kun Hong, ingatlah bahwa bagiku, kau adalah....... suamiku, dan bagiku menolongmu adalah kewajibanku."

"Hui Kauw........ Hui Kauw......." Terharu sekali Kun Hong dan untuk sejenak kedua orang muda ini saling berpegang kedua tangan diam saja tak berkata-kata, akan tetapi getaran dari dua pasang tangan itu merupakan pelepasan daripada hati yang penuh keharuan dan kerinduan.

Setelah mereda gelora perasaannya Kun Hong melepaskan kedua tangan Hui Kauw, celingukan ke kanan kiri lalu bertanya, "Mana dia......?"

"Kau mencari siapa?"

"Janda itu....... Yo-twaso, di mana dia?"

"Oh, kau maksudkan perempuan hina, pelacur itu?" kata Hui Kauw, suaranya terdengar kaku karena hatinya mengkal kalau ia teringat akan wanita muda cantik yang genit cabul dan yang ia lihat memeluk Kun Hong itu.

"Perempuan hina? Pelacur? Apa maksudmu, Hui Kauw?" Kun Hong bertanya dengan perasaan amat heran mengapa gadis yang berperasaan halus dan berbudi mulia ini bisa tiba-tiba memaki-maki janda Yo sedemikian rupa!

"Dia bukan perempuan baik-baik, Kun Hong, bagaimana kau yang tadinya di keroyok dan melarikan diri itu tiba-tiba bisa berada di dalam pondok perempuan itu? Sayang aku datang terlambat sehingga tahu-tahu sudah mendengar bahwa kau telah melarikan diri dikejar- kejar para perwira istana."

Teringatlah sekarang Kun Hong akan pertempuran itu dan cepat-cepat dia bertanya, "Ah, habis bagaimana dengan para anggauta Hwa I Kaipang? Bagaimana jadinya dengan Hwa I Lokai?" tanyanya penuh kekhawatiran.

Hui Kauw menarik napas panjang. "Sebagian besar dari mereka tewas. Lebih dua puluh orang tewas, termasuk ketuanya. Hanya beberapa orang saja selamat, tapi masih menjadi buruan sampai sekarang."

Kun Hong membanting-banting kaki dan dia menangis di dalam hatinya. "Celaka, aku benar-benar telah membikin celaka banyak orang gagah. Ah........ benar-benar celaka, dan benda yang kulindungi, yang menjatuhkan korban banyak orang gagah itu sekarang masih tertinggal di rumah Yo-twaso......."

"Hee? Kau tinggalkan mahkota itu di sana? Tadi aku sudah heran melihat kau menggeletak tanpa apa-apa, malah tongkatmu juga tidak ada. Wah, berbahaya kalau begitu. Kun Hong aku tidak percaya kepada perempuan itu. Tentu sekarang mahkota dan tongkatmu sudah ia berikan kepada perwira istana."

Kun Hong menggeleng kepala. "Kau salah sangka, Hui Kauw. Perempuan itu adalah seorang janda yang dahulu pernah kutolong. Yo-twaso orangnya baik, harap kau jangan keliru sangka yang bukan-bukan!"

"Dia baik? Huhh, kau tertipu, Kun Hong. Memang dia seorang janda muda yang cantik manis. Tapi wataknya tidak sebersih mukanya. Dia seorang perempuan genit dan cabul."

"He?? Apa yang telah terjadi sampai kau menuduhnya demikian? Aku melarikan diri dan membentur pohon, tidak ingat apa-apa. Ketika aku sadar, aku sudah berada dalam pondok Yo-twaso, lalu aku pingsan tidak ingat apa-apa lagi. Apakah yang telah terjadi? Apakah kau mengenal Yo-twaso?"

"Aku tidak kenal perempuan itu. Akan tetapi ketika aku mengejar dan mencarimu, aku melihat dia main gila dengan The Sun, orang kepercayaan kaisar, penghimpun para orang kang-ouw di istana. Coba saja bayangkan, dia main gila dengan The Sun dan setelah kongcu hidung kerbau itu pergi, dia memelukimu dan menangisimu. Hemmm, masih baik aku tidak tusuk dia dengan pedangku, hanya menendangnya roboh ketika aku merampasmu dan membawamu ke sini."

"Celaka.......!!" Tiba-tiba Kun Hong berseru sambil melompat sehingga mengagetkan Hui Kauw. Kemudian Pendekar Buta itu mengeluh dengan suara seperti orang akan menangis.
"Ah, celaka betul....... Yo-twaso....... Yo-twaso....... mengapa engkau berkorban untukku sampai sehebat itu??" Kun Hong menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dia benar-benar menangis.

Hui Kauw memegang tangan Kun Hong, suaranya gemetar karena ia menduga hal-hal yang hebat, "Kenapa? Apa artinya semua ini Kun Hong??"

"Ah, Hui Kauw, kau tidak tahu. Dia....... dia telah berkorban untuk keselamatanku, pengorbanan yang lebih hebat daripada nyawa.......! The Sun itulah orangnya yang telah menipuku, dan dia pula yang telah melukai pangkal pahaku secara curang, kemudian dia yang mengejar ketika aku melarikan diri. Dan aku berada dalam pondok Yo-twaso dalam keadaan pingsan tak berdaya. Lalu kau melihat Yo-twaso....... dan The Sun itu....... ah, aku dapat membayangkan apa yang telah dilakukan Yo-twaso untuk menyelamatkan nyawaku. Yo-twaso tentu tahu bahwa kalau The Sun melihat aku di sana tentu aku akan dibunuhnya. Yo-twaso mempergunakan senjata tunggalnya sebagai wanita lemah, yaitu kecantikannya dan ia....... ah, ia menggunakan itu untuk memikat The Sun sehingga penjahat itu tidak memperhatikan dan tidak mencari aku lagi......."

Bukan main kagetnya hati Hui Kauw mendengar penjelasan ini. "Wah....... celaka....... aku malah menendangnya dua kali! Dan kau....... kulihat kau berbedak langes hitam mukamu ketika rebah di kamar itu, dan rambutrnu penuh pupur, sekelebatan kau seperti seorang kakek lagi berbaring....... wah kau betul Kun Hong! Tentu Yo-twaso telah sengaja menaruh semua itu agar kau disangka seorang tua untuk mengelabuhi mata The Sun. Celaka, ah....... alangkah bodohku....... Kun Hong, kau maafkan kebodohanku......." Hui Kauw benar-benar merasa menyesal sekali atas kesembronoannya menuduh yang bukan-bukan kepada seorang wanita yang demikian berbudi.

Kun Hong memegang lengan Hui Kauw. "Hui Kauw, hayo antar aku ke sana, sekarang juga. Selain aku harus menghaturkan terima kasih, juga aku merasa khawatir akan keselamatan Yo-twaso dan A Wan, anaknya. Juga, aku harus mengambil kembali tongkatku dan mahkota itu sebelum terjatuh ke tangan The Sun dan kawan-kawannya."

Karena merasa amat menyesal akan perbuatannya terhadap janda muda itu maka Hui Kauw tidak berani membantah lagi. Digandengnya tangan Kun Hong dan dibawanya Pendekar Buta itu melesat keluar melalui jendela, terus meloncat naik ke atas genteng dan dua orang itu mempergunakan ginkang mereka berloncatan dari genteng ke genteng, cepat laksana bayangan hantu di malam gelap.

Waktu itu tengah malam sudah jauh terlewat, malah sudah hampir pagi. Ayam-ayam jantan sudah mulai berkokok dan sungguhpun belum tampak orang-orang keluar dari rumah masing-masing, namun malam gelap sudah mulai melepaskan dunia daripada cengkramannya yang memabukkan.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kun Hong dan Hui Kauw ketika mereka meloncat turun ke halaman rumah kecil janda Yo, mereka mendengar suara tangis seorang anak kecil yang menggerung-gerung penuh kedukaan.

"A Wan, ada apakah....?" Kun Hong tidak sabar lagi dan cepat mendorong pintu yang sudah berada di depannya bersama Hui Kauw dia lari memasuki pondok kecil itu.

"Ahhhhh.......!" Tangan Hui Kauw yang menggandengnya menggigil dan suara gadis ini gemetar.

"Ada apa? Hui Kauw, kau melihat apa? A Wan, mengapa kau menangis?"
"Paman ......!" A Wan menubruk kaki Kun Hong dan tangisnya makin menjadi-jadi sampai akhirnya dia menjadi sesak napas dan terguling pingsan di kaki Pendekar Buta itu.

Kun Hong....... dia....... Yo-twaso itu....... entah kenapa dia......."

"Mana Yo-twaso? Mana.......!"

Hui Kauw menarik tubuh A Wan, dikempitnya dan dengan hati tidak karuan ia menuntun Kun Hong maju. "Dia di lantai......." bisiknya.

Comments

mas cerita pendekar butanya sangat bagus banget saya pun tertarik untuk membacanya lagi

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka