Skip to main content

Pendekar Buta 30 -> karya : kho ping hoo

Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi pemuda buta itu. Hui Kauw perih hatinya melihat pemuda buta ini bisa menitikkan air mata. Ingin ia memeluknya, ingin ia menghapus air mata di muka si buta itu, tapi ia tetap berdiri, menanti penjelasan.

"Hui Kauw, ketahuilah. Akupun seorang manusia yang telah menyerahkan hati kepada seseorang dan berniat tetap bersetia kepadanya, biarpun ia sudah tiada lagi di dunia.
Ia........... ia mati karena aku, Hui Kauw..........." Kemudian dengan suara terputus-putus saking terharu, Kun Hong menceritakan kepada gadis itu tentang Cui Bi, sekaligus tentang kebutaan matanya.

Hui Kauw mendengarkan dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, dan dari pelupuk matanya mengucurlah air mata di sepanjang kedua pipinya. Demikian terpesona dan terharu ia oleh cerita itu sehingga ia seperti tidak merasa akan membanjirnya air matanya ini dan ia tidak mengusapnya. Makin lama ia mendengarkan cerita Kun Hong, makin tak tahanlah ia dan akhirnya ia terisak-isak menangis ketika Kun Hong menceritakan peristiwa yang terjadi di puncak Thai-san-pai.

"Aduh, Kun Hong.........!" Hui Kauw akhirnya menubruk pemuda itu dan memeluknya.

"Kasihan sekali kau......... laki-laki yang berhati mulia, semulia-mulianya orang. Cinta kasihmu demikian suci murni........... ah, alangkah bahagianya Cui Bi. Aku iri kepadanya, Kun Hong. Akupun mau mati seribu kali kalau bisa mendapatkan cinta kasihmu seperti itu besarnya. Kasihan kau..........."

Menghadapi gadis ini, tak dapat menahan pula Kun Hong akan jatuhnya dua titik air mata lagi di atas pipinya. Lalu dia mengerahkan kekuatan batin menekan perasaannya.

"Sudahlah, Hui Kauw. Tiada gunanya bertangis-tangisan seperti ini. Kau tahu sendiri sekarang betapa tak mungkin aku memenuhi dorongan hatiku yang mengandung kasih sayang kepadamu. Kau maafkanlah aku."

Hui Kauw melangkah mundur, mengusap air matanya. Sepasang matanya kini memandang penuh kekaguman, penuh perasaan kasih dan penuh iba. "Kau benar, Kun Hong. Biarlah aku mengalah dan memang sudah nasib hidupku harus banyak menderita. Biarlah aku tidak mengganggumu lagi. Akan tetapi aku tetap bersumpah bahwa peristiwa di Pulau Ching-coa-to, di mana kau dan aku sudah berlutut di depan meja sembahyang, takkan dapat terhapus dari hatiku. Sampai mati aku akan menganggap bahwa aku sudah menjadi milikmu lahir batin dan aku takkan menikah dengan orang lain. Selamat tinggal, Kun Hong, kita akan bertemu kembali kelak, kalau tidak di dunia tentu di akhirat, Di sana aku akan minta kepada Cui Bi agar ia rela membiarkan kau membagi cinta kasihmu sebagian untukku..........." Gadis itu terisak dan melompat pergi jauh meninggalkan tempat itu.

"Hui Kauw...........! Biarkan aku mengobati mukamu...........!" Kun Hong berteriak memanggil.

Akan tetapi Hui Kauw tidak berhenti hanya menjawab sambil lari cepat, "Biarlah, Kun Hong. Apa gunanya bagiku.....?" Dalam kalimat terakhir ini terkandung kepatahan hati yang membuat Kun Hong terduduk di atas tanah saking perihnya hati dan perasaannya. Sampai lama dia duduk bersila di atas tanah di pinggir telaga itu dan terbayanglah wajah Hui Kauw yang cantik jelita. Sekarang dia sudah mengenal Hui Kauw, tidak hanya mengenal suaranya, juga mengenal bentuk mukanya. Berkali-kali dia mengeluh panjang pendek, bukan main penderitaan hati yang penuh rindu dendam. Dia merasa seakan-akan semangatnya terbawa pergi oleh gadis itu. Dia berdongak dan mulutnya berkemak-kemik.

"Cui Bi............ Cui Bi............ bantulah aku, perkuatlah hatiku..........." dengan bisikan-bisikan ini dia merasa mendapat kekuatan baru dan wajah Cui Bi yang riang jenaka itu perlahan-lahan mengusir bayangan Hui Kauw, memulihkan kembali ketenangan di dalam dadanya.

Entah beberapa jam lamanya dia duduk seperti itu, seperti seorang pertapa di pinggir telaga. Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang besar dan dalam, mengandung tenaga hebat.

"Waahhhhh, mimpikah aku atau betul-betul bertemu dengan Kun Hong di sini?"

Karena tadinya dalam keadaan melamun, Kun Hong kaget dan tidak mendengar suara ini dengan segera. Akan tetapi dia merasa seperti mengenal suara ini, maka cepat dia bangun berdiri dan membalikkan tubuhnya ke arah suara itu.

"Locianpwe (orang tua gagah) siapakah?" tanyanya sambil membungkuk dengan hormat.

"Ha-ha-ha! Hebat sekali! Matanya buta akan tetapi begitu aku membuka suara segera tahu bahwa aku seorang tua bangka bangkotan. Ha-ha-ha!"

"Kakek Kwee.........!" Kun Hong berseru girang sekali.

Song-bun-kwi Kwee Lun tertawa bergelak-gelak dan maju merangkul Kun Hong memeluknya.

"Kun Hong, kau sudah tak pandai melihat tapi bisa berkeliaran sampai di sini! Apa saja yang kau kerjakan di sini? Wah tongkatmu itu entah sudah berapa banyak mengirim orang ke Giam-lo-ong (Raja Maut)?"

Kun Hong tertawa. "Locianpwe, mana saya berani menggunakan tongkat hadiahmu ini untuk membunuh orang? Locianpwe hendak ke manakah?"

"Ha-ha-ha, bagus kau masih menghargai pemberian seorang tua bangka. Kun Hong, tahukah kau di mana adanya Ching-coa-to?"

Kun Hong kaget. "Di seberang itulah Ching-coa-to. Locianpwe apakah mempunyai urusan dengan penghuni Ching-coa-to?"

Bingung Song-bun-kwi bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Seperti, kita ketahui, dia pergi mencari Ching-coa-to hanya karena hatinya terkena "dibakar" oleh si gadis nakal Loan Ki yang mengatakan bahwa kalau kakek itu ingin dijotosi orang sampai mukanya matang biru, harus pergi ke Ching-coa-to.

Hanya karena kata-kata Loan Ki itu saja dia nekat mencari Ching-coa-to sampai dapat. Bagaimana dia bisa mengatakan kepada Kun Hong bahwa dia mencari Ching-coa-to hanya karena itu? Terhadap lain orang kakek ini bersikap tidak perduli dan mau membawa kehendak sendiri, mau menang sendiri. Akan tetapi terhadap Kun Hong lain lagi sikapnya. Dia merasa kagum kepada pemuda ini dan tidak menganggap pemuda buta ini sebagai seorang muda yang dipandang rendah.

"Tidak ada urusan apa-apa, hanya aku mendengar di sana banyak orang pandai. Ingin aku menyaksikan dengan kedua mata dan kedua tanganku sendiri, ha-ha-ha!"

Kun Hong maklum akan watak kakek ini, tahu akan kesukaan kakek ini berkelahi mengadu kepandaian. "Locianpwe terlambat. Memang banyak orang pandai di pulau itu, akan tetapi pada waktu ini mereka sudah pergi meninggalkan pulau. Saya baru saja keluar dari sana."

"Kau? Ke sana? Wah-wah, agaknya banyak pengalaman hebat yang kau alami. Sayang, aku bermalas-malasan di gunung, kalau aku ikut pergi bersamamu, sedikitnya aku akan ikut menikmati pengalaman-pengalaman itu. Apa yang kau cari di sana?"

Dengan singkat tanpa menyebut-nyebut soal Loan Ki dan Hui Kauw, Kun Hong lalu bercerita tentang mahkota yang dirampas dari tangan Tan Hok sampai mahkota itu terjatuh ke tangan orang-orang Ching-coa-to dan bagaimana dia berhasil merampasnya kembali. Akhirnya dia menutup penuturannya, "Mahkota ini biarpun benda kuno, akan tetapi amat penting, Locianpwe. Karena itu mati-matian saya merampasnya kembali dan sekarang hendak saya antarkan kepada paman Tan Hok?"

"Di mana adanya Tan Hok?"

"Tadinya paman Tan Hok pergi ke Thai-san-pai untuk minta bantuan paman Tan Beng San dalam hal merebut kembali mahkota ini. Karena itu saya pikir, lebih baik saya susul ke Thai-san-pai untuk menyerahkan mahkota ini kepadanya."

"Ke Thai-san-pai? Bagus sekali memang aku pun sudah lama kangen, hendak melancong ke Thai-san. Kebetulan sekali, akupun ingin bertemu dengan ketua Thai-san-pai, mantuku yang pintar itu agar dia memberi hajaran kepada anaknya yang goblok!"

Kun Hong melengak, tidak tahu apa maksud kata-kata ini. "Bagaimana dengan keadaan saudara Kong Bu dan isterinya? Ah, mereka selamat-selamat saja, bukan?" Kun Hong tersenyum karena teringat akan keponakannya, Kui Li Eng yang sekarang sudah menjadi nyonya Tan Kong Bu, Ingat betapa keponakannya itu lincah jenaka, nakal seperti Loan Ki!

"Itulah. Mereka itu yang menyakitkan hatiku dan hendak kuadukan kepada Beng San. Sialan betul aku mempunyai cucu goblok!"

"Eh, kenapa, Locianpwe? Apa kesalahan saudara Kong Bu dan isterinya? Kalau ada kesalahan, sayalah yang mintakan maaf dan ampun kepada Locianpwe......"

"Siapa orangnya tidak mendongkol. Di sini menanti-nanti, di sana enak-enak dan menganggap sepi saja. Masa sampai empat tahun aku mengharap-harap, belum juga mereka mempunyai anak! Coba pikir, apa ini tidak menjengkelkan?"

Mulut Kun Hong ternganga heran "Anak...........?"

"Ya, anak! Aku sampai mimpi setiap malam memondong cucu buyut. Dasar Kong Bu tidak becus!"

Hampir saja Kun Hong tak dapat menahan ledakan tawanya. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan tidak tertawa, maklum bahwa yang dia anggap lucu itu bagi kakek ini agaknya merupakan sebuah soal yang amat gawat. Maka dia malah menghibur,

"Harap Locianpwe bersabar. Saya merasa yakin bahwa seorang gagah perkasa seperti Locianpwe ini, kelak pasti dikurniai cucu buyut yang banyak!"

Benar saja. Omongan ini bagaikan segelas air es untuk seorang kehausan di tengah hari. Mendinginkan perasaan. Kakek itu tertawa tawa lagi dan berkata,

"Kun Hong, kau harus lekas-lekas kawin! Orang seperti kau ini tentu jauh lebih berharga daripada cucuku Kong Bu.

Aku tanggung bahwa kau kawin setahun aku sudah akan dapat memondong anakmu yang kuanggap cucuku sendiri. Ha-ha-ha, alangkah senangnya kalau aku bisa menyaksikan anakmu dan menurunkan semua ilmuku kepadanya. Ha-ha-ha, Song-bun-kwi si setan bangkotan akan mati dengan mata meram!"

Merah muka Kun Hong. Dia merasa jengah, akan tetapi juga terharu sekali karena di dalam kekasarannya, kakek ini membayangkan kasih sayang yang besar dan rasa kekeluargaan yang mendalam. Dia berterima kasih sekali, akan tetapi untuk mencegah kakek ini melantur dan berkepanjangan tentang kawin, dia segera mengajak kakek itu berangkat ke Thai-san.

Akan tetapi, dia tidak dapat mencegah kakek itu menggali-gali soal lama ketika berkata, "Kun Hong, kau tidak boleh selalu mengenang Cui Bi. Yang sudah mati sudahlah. Kau masih hidup dan kau harus mencari gantinya. Seorang yang tidak berketurunan adalah orang yang paling puthauw (murtad) di dunia ini! Kau tirulah pamanmu Beng San. Dahulu dia sampai menjadi gila ditinggal mati anakku, akan tetapi kemudian dia toh dapat berbahagia dengan Li Cu dan punya anak lagi!"

Kun Hong berdebar keras jantungnya, akan tetapi dia diam saja tidak menjawab, hanya hatinya berdoa supaya kakek itu tidak berkepanjangan bicara tentang hal yang amat tidak enak baginya itu.

Mendapat petunjuk jalan seperti Song-bun-kwi, tentu saja Kun Hong dapat melakukan perjalanan yang amat cepat. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Song-bun-kwi mengobrol dan hanya pada pemuda inilah dia dapat mencurahkan semua isi hatinya.

Beberapa hari kemudian sampailah mereka di lereng Thai-san dan keduanya merasa terheran-heran melihat kesunyian daerah sekitar puncak. Kalau jantung Kun Hong berdebar-debar karena teringat akan Cui Bi dan semua peristiwa yang terjadi di puncak ini empat tahun yang lalu, adalah Song-bun-kwi yang terheran-heran dan mulai merasa tidak enak hatinya.

"Kun Hong mengapa begini sunyi di sini? Biasanya tentu ada anak murid Thai-san-pai yang hilir mudik. Mengapa Thai-san-pai sekarang begini sepi?"

"Locianpwe, lebih baik kita langsung naik ke puncak saja, agaknya para anak murid sedang dikumpulkan di puncak oleh paman Tan Beng San. Siapa tahu datangnya paman Tan Hok mendatangkan perubahan di Thai-san-pai karena menghadapi urusan penting."

"Huh, orang-orang muda itu ribut-ribut saja tentang urusan negara. Huh, bosan aku! Kaisar dan para pembesar istana itu orang-orang apa sih? Mereka juga manusia biasa seperti kita! Akan tetapi mengapa untuk segelincir dua gelincir manusia seperti itu, untuk jatuh bangunnya seorang dua orang kaisar, selalu rakyat yang laksaan banyaknya harus dijadikan korban?"

Kalau saja Kun Hong belum mendengar filsafat dari mulut Tan Hok, tentu dia akan setuju seratus prosen terhadap pendapat kakek itu. Akan tetapi sekarang, berdasarkan filsafat dari Tan Hok, dia sudah mempunyai pendapat yang lebih jelas tentang urusan negara. Tanpa pemimpin yang menentukan hukum-hukum negara, takkan ada kehidupan tenteram, takkan ada tata-tertib karena rakyat hanya akan mengenal hukum rimba, hukumnya dunia persilatan. Bayangkan saja kalau yang berkuasa saja adalah orang macam kakek ini, yang tidak perdulian, yang aneh, kadang-kadang amat kejam, akan jadi apakah penghidupan ini? Negara harus ada pengaturnya, rakyat harus ada pemimpinnya, mencontoh keadaan alam semesta. Alam semesta inipun membutuhkan pimpinan dan penguasa yang mengatur segalanya. Bayangkan saja, tanpa adanya Tuhan Seru Sekalian Alam, tanpa adanya kekuasaan Tuhan Yang Mahakuasa, alangkah akan kacau-balaunya alam semesta ini. Mungkin bintang-bintang akan saling bertubrukan, matahari akan kehilangan panasnya, akhirnya segalanya akan hancur lebur!

Demikianlah, rakyat dan negara harus mempunyai pimpinan. Dan segala keributan terjadi, segala perang saudara pecah karena masing-masing golongan, masing-masing fihak menghendaki calon pimpinan pilihan hati masing-masing. Tentu saja ini dikarenakan menurut keyakinan masing-masing, pilihan hati itu adalah orang-orang yang mereka percaya akan mampu menjadi pemimpin yang baik. Sekarang terjadi perebutan tahta kerajaan, tentu saja bagi para pembesar itu karena mereka memperebutkan kedudukan yang akan menjamin hidup kaya raya dan terhormat. Akan tetapi bagi rakyat yang membela mereka, dasarnya hanyalah ingin memiliki pemimpin-pemimpin yang benar-benar akan dapat membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kehidupan rakyat.

Karena mempunyai dasar filsafat ini, maka Kun Hong hanya tersenyum saja mendengar ucapan Song-bun-kwi tadi. Dia tidak menjawab melainkan mengajak kakek itu mendaki puncak. Kalau bukan Song-bun-kwi yang menjadi petunjuk jalannya, Kun Hong takkan berani mengajak naik ke puncak karena dia maklum bahwa menaiki puncak Thai-san merupakan perjalanan yang jauh lebih sulit dan berbahaya daripada memasuki Pulau Ching-coa-to! Akan tetapi, kakek itu pernah tinggal di situ dan karenanya hafal benar akan semua rahasia di puncak Thai-san.

Setelah melalui jalan rahasia yang berakhir dengan sebuah terowongan, akhirnya mereka sampailah di puncak Thai-san. Mereka meloncat ke luar dari mulut terowongan yang merupakan sebuah gua rahasia dan kagetlah Kun Hong ketika dia mendengar Song-bun-kwi berseru keras, "Celaka........!"

Hidung dan telinga Kun Hong meneliti penuh perhatian, namun tidak ada sesuatu yang aneh bagi penciuman dan pendengarannya. Terpaksa dia bertanya kuatir, "Locianpwe, ada apakah??"

Kakek itu melangkah maju, terus maju, diikuti dari belakang oleh Kun Hong yang mulai merasa gelisah karena tempat ini benar-benar sunyi. Setelah tiba di puncak, kenapa Beng San dan isterinya, juga murid-murid Thai-san-pai tidak ada yang keluar menyambut? "Locianpwe, kenapa begini sunyi?" Ada apakah? Di mana mereka, mengapa tidak ada orang menyambut kita?"

Masih saja Song-bun-kwi berjalan ke sana ke mari, berputaran di sekitar puncak. Kemudian dia membanting-banting kaki dan berkata, "Celaka........... agaknya belum lama ini Thai-san-pai tertimpa malapetaka. Wah, hebat.........! Kun Hong, Thai-san-pai telah dibakar orang, dibasmi sampai ke pohon-pohonnya habis dan rusak binasa."

"Apa.......???" Kun Hong berteriak, lalu melangkah ke sana ke mari, tangan yang memegang tongkat meraba-raba tanah yang sudah rata dan tidak ada sebatang pun pohon tumbuh lagi di situ. "Bagaimana hal ini bisa terjadi...........?" pertanyaan ini keluar dari hatinya yang penuh kegelisahan, terdengar agak gemetar.

"Bagaimana kita bisa tahu? Tidak ada seorang pun tinggal di sini. Agaknya mereka semua sudah..........." Song-bun-kwi sendiri yang biasanya tidak perdulian itu, kini sikap dan bicaranya tidak bisa percaya kalau Thai-san-pai dapat dibakar dan dibasmi orang dan semua penghuni puncak Thai-san sampai lenyap semua.

"Tidak mungkin, Locianpwe! Tak mungkin paman Beng San beserta bibi dan semua anak murid dapat dibasmi begitu saja! Aku tidak percaya!"

"Tuh di sana ada bayangan orang bergerak, mari kita ke sana!" tiba-tiba kakek itu berseru dan menarik tangan Kun Hong diajak lari menuruni puncak, lalu mendaki sebuah puncak yang lebih kecil. Setelah tiba di situ, dia melihat bayangan orang tadi ternyata adalah seorang laki-laki yang kini sudah duduk bersila di sebuah kuburan yang puluhan jumlahnya. Kuburan-kuburan yang masih baru mengelilingi orang itu yang berpakaian putih, berambut awut-awutan seperti orang Meremang bulu tengkuk Song-bun-kwi melihat kuburan-kuburan ini. Bukan karena seramnya, karena dia sendiri adalah seorang iblis yang tidak takut akan sesuatu, apalagi hanya kuburan dan orang aneh itu. Akan tetapi yang membuat dia merasa seram dan ngeri adalah dugaan yang timbul ketika melihat kuburan-kuburan itu. Siapa tahu di antaranya adalah kuburan Beng San dan Li Cu!! Segera dia melompat ke depan dan sekali sambar saja sudah berhasil mencengkeram leher laki-laki itu sambil membentak dengan suara menyeramkan,

"Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?" Tubuh itu sudah dia angkat tinggi-tinggi dan siap dibantingkan ke atas batu-batu besar yang banyak terdapat di tanah kuburan itu.

Akan tetapi dengan gerakan yang amat tangkas dan cekatan, orang itu menggoyang tubuh dan ........... "brettt!" leher bajunya robek akan tetapi dia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Song-bun-kwi! Kakek ini kaget dan kagum. Jarang ada orang, apalagi semuda itu, dapat melepaskan diri pada cengkeraman tangannya. Dia sudah siap untuk menerjang lagi karena sekaligus timbul rasa penasaran, juga kegembiraannya karena akan mendapat lawan yang lumayan. Akan tetapi tiba-tiba orang itu berseru,

"Kwee-locianpwe...........!" Lalu dia menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. Di antara tangisnya, dia menyebut nama Kun Hong, "Kwa-taihiap........... celaka...........!" Sukar dia bicara karena tangisnya terus menyesakkan kerongkongannya.

Bukan main kagetnya hati Song-bun-kwi ketika mengenal bahwa orang yang mukanya pucat seperti mayat matanya cekung dan, tubuhnya kurus dengan rambut awut-awutan dan pakaian putih seperti orang gila ini bukan lain adalah Su Ki Han, murid kepala Thai-san-pai!

"Ki Han, bukankah kau ini? Apa yang terjadi? Hayo cepat ceritakan!" Sepasang mata Song-bun-kwi liar memandang ke arah tanah-tanah kuburan yang masih baru itu. Adapun Kun Hong yang tiba-tiba merasa kedua kakinya lemas saking gelisahnya, lalu duduk di atas batu besar, telinganya mendengarkan penuh perhatian. Jantungnya berdebar-debar, karena kebutaannya membuat dia tidak dapat melihat sesuatu dan hal ini menambah kegelisahannya. Alangkah besar keinginan hatinya untuk dapat menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana keadaan puncak Thai-san yang dikatakan rusak binasa dan terbasmi itu. Hampir-hampir saja tak dapat dia percaya bahwa tempat tinggal pamannya yang demikian saktinya itu dapat dihancurkan musuh.

"Ah, Kwee-locianpwe........... celaka sekali........... malapetaka hebat menimpa Thai-san-pai, dua pekan yang lalu...."

"Ki Han, bukankah kau murid kepala Thai-san-pai? Kenapa sekarang, menangis seperti anak kecil? Huh, mana jiwa pendekarmu? Memalukan sekali. Hayo, bangun kau bicara yang betul kalau tidak mau kutendang mampus!" bentak Song-bun-kwi.

Su Ki Han, murid Thai-san-pai yang hancur luluh perasaan hatinya itu oleh kedukaan terbangun semangatnya. Dia segera bangkit berdiri, menunduk dan berkata, "Maafkan saya, Locianpwe, maafkan kelemahan hati saya yang tak kuat menderita kedukaan ini. Siapa orangnya yang takkan hancur hatinya. Thai-san-pai hancur binasa, siauw-sumoi (adik seperguruan kecil) diculik orang, subo lenyap melakukan pengejaran, kemudian suhu juga turun gunung mengejar, malah menyatakan bahwa Thai-san-pai dibubarkan untuk sementara waktu. Sembilan orang suteku tewas, sisanya sekarang tersebar tidak karuan. Kwee-locianpwe, hati siapa takkan menjadi sedih?"

Terdengar teriakan menyeramkan keluar dari kerongkongan Kun Hong yang sudah bangkit berdiri dengan muka pucat. "Iblis jahanam! Siapa berani melakukan hal itu terhadap Thai-san-pai? Su Ki Han, hayo kau ceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi!" Suara Kun Hong menggeledek, tanda bahwa dia dalam keadaan marah besar sehingga mendatangkan rasa kaget dan heran pada Song-bun-kwi yang biasanya mengenal pemuda itu sebagai seorang yang amat lemah lembut dan penyabar. Sebetulnya hal ini tidaklah aneh.

Kun Hong cukup maklum betapa hancur luluh hati ibu Cui Bi ketika gadis kekasihnya itu tewas secara menyedihkan. Sekarang, setelah mempunyai seorang anak perempuan lagi sebagai pengganti Cui Bi, ternyata diculik orang, Thai-san-pai dibasmi dan dibumi-hanguskan, anak-anak murid Thai-san-pai banyak yang tewas. Benar-benar merupakan malapetaka yang maha hebat dan inilah yang menyakitkan hatinya.

Dengan suara tersendat-sendat saking sedihnya, Su Ki Han lalu bercerita, bagaimana orang-orang Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai yang marah sekali datang menyerbu sehingga terjadi pertempuran yang amat tak dikehendaki ketua Thai-san-pai, karena maklum bahwa bentrokan antara mereka yang sehaluan itu adalah karena hasutan dan fitnah musuh rahasia. Diceritakan pula betapa kemarahan Pek lian-pai dan Kong-thong-pai itu adalah karena kematian Tan Hok dan murid-murid Kong-thong-pai yang terjadi di lereng Thai-san dan yang mereka katakan dilakukan oleh anak-anak murid Thai-san-pai. Lalu bagaimana pada saat pertempuran berlangsung, puncak Thai-san-pai diserbu musuh yang tidak diketahui siapa. Nyonya ketua Thai-san-pai dengan gagah berani dapat menghalau musuh, akan tetapi tak dapat mencegah penculikan terhadap Cui Sian puterinya dan pembunuhan terhadap para pelayan. Dengan air mata bercucuran Ki Han menutup ceritanya, "Kwee-locianpwe........... Kwa-taihiap........ alangkah hancur hati saya melihat suhu seperti itu. Suhu mengamuk setelah subo (ibu guru) pergi melarikan untuk mencari puterinya........... suhu menghancurkan segala yang ada di puncak........... lalu menyatakan pembubaran Thai-san-pai........"

"Iblis neraka!" Song-bun-kwi membanting kakinya saking marah. "Keparat Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai! Awas kalian, Song-bun-kwi akan melakukan pembalasan, membasmi semua orang Kong-thong-pai dari muka bumi"

Tiba-tiba Su Ki Han memandang terbelalak ke depan, lalu dia menjadi pucat dan berkata, "Kwa-taihiap......."

Song-bun-kwi cepat memutar tubuh memandang ke arah Kwa Kun Hong dan dia sendiripun terbelalak. Bukan main keadaan Kun Hong di waktu itu. Berdiri tegak dengan alis mata seakan-akan berdiri, sepasang mata yang buta itu terbuka lebar memperlihatkan dalamnya yang kosong menghitam. Mukanya berubah merah seperti terbakar, tubuhnya menggigil mengeluarkan hawa getaran, hidungnya kembang-kempis dan mulutnya terbuka berkali-kali tanpa mengeluarkan suara. Tangan kanannya memegang tongkat dan tangan kirinya bergerak-gerak perlahan dengan jari-jari terbuka tertutup seperti cakar harimau hendak mencengkeram. Tiba-tiba kedua tangannya membuat gerakan berbareng yang amat aneh, tangan kiri mencengkeram ke depan dengan gerakan melengkung dari bawah ke atas miring ke kanan, sedangkan tangan kanan yang memegang tongkat membuat gerakan membabat dari kanan ke kiri, menyerong dari atas ke bawah. Gerakan yang berlawanan dari kedua tangan itu menimbulkan suara angin bersiut keras dibarengi bentakannya yang amat hebat, "Haaiiii!!"

Hebat akibatnya. Batu besar berwarna hitam, sejenis batu gunung yang amat keras, yang tadi dia duduki, terkena serangan ini. Batu itu sama sekali tidak bergerak dan seakan-akan tangan kiri dan tongkat tadi lewat begitu saja menembus batu, sedangkan kedua kaki Kun Hong membuat gerakan ke depan, langkah ajaib. Ketika tubuhnya menggeser lewat meninggalkan batu itu, mendadak batu itu bergoyang dan runtuh bagian atasnya, sapat di tengah-tengah seperti agar-agar teriris pisau tajam, belah menjadi dua dan bagian atas yang terkena cengkeraman tangan kiri tadi, perlahan-lahan runtuh hancur seperti tepung! Song-bun-kwi memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Dia melihat betapa dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap putih, betapa muka yang sekarang menjadi amat menyeramkan itu mengeluarkan keringat besar-besar seperti kacang kedele, dan betapa dada pemuda buta itu melembung seperti hendak meletus. Sekali lagi Kun Hong yang meraba dengan tongkatnya mendapatkan batu besar dan diserangnya seperti tadi. Sekali serang dengan gerakan aneh tadi, batu itupun hancur lebur tanpa mengeluarkan suara! Sekarang dia melangkah lagi dan mulutnya berbisik-bisik.
"Keji............ keji........... manusia-manusia iblis........... keji...........!"

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed