Skip to main content

Pendekar Buta 27 -> karya : kho ping hoo

Lama nona itu menangis. Sengaja derita dan sakit hati yang ia tahan selama bertahun-tahun di dalam dadanya, sekarang bagaikan gunung berapi meletus dan hawa panas dapat mengalir keluar melalui tangisnya itu. Tiada hentinya air matanya bercucuran, terisak-isak dan sesenggukan sampai napasnya terasa sesak. Akhirnya reda juga desakan hawa dari dada melalui tangisnya ini, dadanya terasa ringan kosong, dan seluruh tubuhnya menjadi lelah sekali. Tangisnya terhenti, tinggal isak kecil-kecil dan jarang. Ia mengangkat muka memandang laki-laki yang duduk bersila dengan tubuh diam tak bergerak bagaikan patung,muka dengan mata meram itu kelihatan kerut merut amat menyedihkan.

"Siapa orangnya dapat menahan semua ini?" ia berkata lirih seperti kepada diri sendiri, suaranya sudah tenang tapi masih terputus-putus menahan isak. "Perbuatanmu yang kau lakukan tanpa maksud menyakiti hatiku itu hanya merupakan pukulan terakhir yang mematikan kesabaranku dan membangkitkan perlawanan dalam hatiku. Tadinya aku sudah putus asa. Ibu memaksa aku supaya menikah dengan pangeran Mongol yang kubenci itu. Kemudian muncul engkau yang mengakibatkan serangkaian peristiwa di pulau. Hampir aku mati disiksa ibu, kau melupakan keselamatan sendiri membela dan melindungi aku. Malah akhirnya kau pula yang memulihkan kesehatanku. Setelah apa yang terjadi di dalam kamar ketika kau mengobatiku, aku tak dapat menolak ketika ibu membujukku menikah denganmu. Kata ibu kaupun sudah setuju, dan semua ini dilakukan demi menjaga baik namaku dan nama keluarga ibu. Tiada pilihan lain bagiku. Daripada menjadi isteri pangeran Mongol yang kubenci, dan pula...... kau amat baik kepadaku, dan seorang pendekar sejati........ maka aku pun menurut. Siapa tahu......." kembali gadis itu menangis.

"Aku sudah dapat menduga semua itu, Nona. Memang terlalu sekali ibumu, anak sendiri dibujuk dan ditipu, dibantu oleh orang-orang seperti Ka Chong Hoatsu. Benar-benar aneh sekali. Kenapa pula ibumu mau mengambil aku sebagai........ eh, sebagai mantu, padahal aku seorang buta tiada guna dan malah mendatangkan keributan di pulaunya?"

"Kau pandai, ilmu silatmu tinggi dan luar biasa. Ibu dapat mempergunakan tenaga dan kepandaianmu..........."

"Hemmm, benar-benar jahat, demi kepentingan diri sendiri sampai hati mengorbankan anaknya. Nona, aku tidak percaya seorang ibu sejahat itu dapat mempunyai anak seperti kau."

Hening sejenak, kemudian terdengar suara nona itu lirih, "Memang dia bukan ibu kandungku..........." Ia menahan isak lalu melanjutkan, "Biarpun kau orang luar, kau adalah penolongku dan kuanggap orang sendiri, biarlah rahasia ini kubuka padamu. Dahulu ketika aku masih kecil, ibu menculikku dari rumah ayah bundaku yang aseli dan semenjak itu aku dijadikan anaknya. Ia amat kasih dan sayang kepadaku........... sampai Hui Siang terlahir.

Memang mereka itu baik kepadaku, tapi kadang-kadang........... ah, entah mengapa, aku tersiksa batin........... tak perlu kuceritakan sejelasnya, Sampai kau muncul dan........... penolakanmu itu merupakan pukulan terakhir. Aku tak kuat lagi, lalu aku lari. Aku hendak mencari orang tuaku, menurut penuturan seorang pelayan tua, orang tuaku seorang hartawan di kota raja, she Kwee!"

"Baik sekali niatmu itu, Nona, kuharap saja kau akan dapat bertemu dan berkumpul kembali dengan orang tuamu," kata Kun Hong sejujurnya, suaranya mengandung iba.

"Tapi ada ganjalan di hatiku..........." gadis itu melanjutkan, suaranya gemetar,

"ganjalan terhadap kau. Aku merasa sangat terhina oleh penolakanmu........... betapa tidak........... karena itu, menurutkan nafsu hati dan kemarahan, aku sengaja menantimu, untuk membuat perhitungan. Maksudku, lebih baik seorang diantara kita tewas.......... takkan menjadi kenangan yang memalukan lagi..........."

Kun Hong bangkit berdiri, wajahnya membayangkan kedukaan. "Kau keliru, Nona. Kita berdua menjadi korban fitnah. Kau sekarang tahu, bahwa sama sekali tiada niat di hatiku untuk menghinamu, juga kau tidak pernah menghinaku. Kita hanya menjadi korban. Akan tetapi kalau kau memang merasa terhina olehku, nah, kau tancapkan pedangmu itu di dadaku, aku Kwa Kun Hong sanggup menerima kematian di tanganmu!"

"Tidak........ tidak........ sekarang aku sudah insyaf. Kau sama sekali bukan menghina atau mempermainkan, melainkan karena....... kau memang....... ah, siapa sih yang akan tertarik hatinya....... inilah yang meragukan hatiku, ayah ibu sendiri andaikata melihat, belum tentu sudi mengakui.........."

"Apa maksudmu, Nona?" tanya Kun Hong kaget mendengar betapa suara yang halus itu menggetar-getar penuh kesedihan.

"Tidak apa-apa. Nah, selamat tinggal saudara Kwa Kun Hong, aku hendak pergi mencari orang tuaku di kota raja." Terdengar gadis, itu menggeser kaki hendak ke luar dari kuil itu. Mendengar disebutnya "kota raja" ini, teringatlah Kun Kong akan mahkota kuno, maka cepat sekali dia berseru memanggil,

"Nona Hui Kauw, tunggu dulu.......!"

Gadis itu serentak berhenti dan cepat sekali sudah kembali ke depan Kun Hong, seakan-akan memang ia mengharapkan pemuda buta itu memanggilnya kembali.

"Ada apakah?" tanya Hui Kauw, suaranya penuh harapan aneh.

"Nona, aku ingin mohon sesuatu darimu, mohon bantuanmu, sekiranya kau tidak akan keberatan."

"Tentu saja tidak keberatan! Beberapa kali kau telah menolong dan menyelamatkan nyawaku daripada maut, tentu saja aku siap sedia membantumu!"

Tak enak hati Kun Hong ketika nona itu menyebut-nyebut tentang pertolongannya, Cepat-Cepat dia berkata untuk menghabisi hal itu, "Aku hanya ingin kau memberi petunjuk kepadaku, menjadi penunjuk jalan ke Ching-coa-to, Nona."

Hui Kauw kaget dan memandang dengan mata melebar, "Apa? Kau minta aku mengantarkan kau kembali ke pulau?" lalu menghapus kebimbangannya dengan pertanyaan, "Kun Hong, apa kehendakmu hendak kembali ke sana?" Berdebar hati Kun Hong mendengar betapa nona itu memanggil namanya begitu saja seakan-akan seorang sahabat lama yang sudah biasa saling menyebut nama tanpa banyak peraturan lagi.

"Aku harus kembali ke sana untuk mengambil mahkota yang dirampas mereka dari tangan Loan Ki," katanya dengan suara biasa.

"Tapi mahkota kuno itu dirampas oleh Ka Chong Hoatsu! Dia lihai sekali, belum yang lain-lain. Biarpun aku suka membantumu, agaknya kita berdua takkan menangkan mereka, mana bisa kembali mahkota?" Kemudian gadis menyambung cepat-cepat,

"Jangan salah duga bahwa aku takut, sama sekali tidak, aku suka membantumu. Akan tetapi, aku hanya mengkhawatirkan bahwa usahamu tidak akan berhasil dan malah kau akan tertimpa malapetaka."

Kun Hong menjura, penuh rasa terima kasih. "Biarpun menghadapi bahaya, akan kutempuh karena hal ini penting sekali, lebih penting daripada nyawaku." Ucapan ini keluar begitu saja sebagai gema dari ucapan Tan Hok. "Aku tidak berani mengharapkan tenagamu untuk melawan mereka, Nona. Dan andaikata aku dapat pergi ke sana sendiri, sudah tentu aku pun tidak berani minta bantuanmu karena aku maklum betapa berat memintamu kembali ke tempat yang telah menimpakan banyak kesengsaraan padamu itu. Akan tetapi apa dayaku, aku seorang buta, tak mungkin dapat masuk ke pulau itu tanpa bantuanmu." Dia berhenti sebentar, tersenyum-senyum dan memukul-mukulkan tongkatnya di atas lantai di depannya. "Sebelum sampai di sana mungkin aku sudah terjungkal ke dalam selokan!"

Akan tetapi kelakar ini diterima oleh Hui Kauw dengan alis berkerut, sama sekali tidak lucu baginya. "Marilah, Kun Hong, mari kuantarkan kau ke Pulau Ching-coa-to!" katanya dan seketika hati Kun Hong berdebar tidak karuan ketika tangannya dipegang oleh gadis itu dan ditarik keluar dari kuil. Telapak tangan yang halus itu seakan-akan menyalurkan getaran yang membuat jantungnya meloncat-loncat seperti katak kepanasan. Segera dia menekan perasaannya dan diam-diam dia memaki-maki diri sendiri, "Kau betul mata keranjang, hidung belang seperti yang dikatakan Loan Ki padamu! Gadis ini dengan hati jujur dan bersih menuntun tanganmu karena mengingat kebutaanmu, kenapa hatimu jadi geger tidak karuan?"

Tidaklah aneh apabila dengan bantuan Hui Kauw, Kun Hong dengan mudah dapat memasuki Pulau Ching-coa-to. Hui Kauw dikenal oleh para anak buah dan penjaga sebagai puteri Ching-toanio. Memang mereka sudah mendengar desas-desus tentang keributan yang terjadi antara nona ini dengan ibunya, akan tetapi tetap saja mereka tidak berani memperlihatkan sikap berbeda terhadap Hui Kauw. Apalagi mereka tahu betul betapa lihai nona ini, bahkan selain lihai, juga nona ini merupakan satu-satunya orang Ching-coa-to yang disegani oleh semua anak buah karena sikapnya yang selalu baik, sabar, dan suka menolong. Seperti bumi dan langit bedanya antara nona ini dengan ibu dan saudaranya yang kejam dan mudah saja membunuhi anak buah yang bersalah.

Hui Kauw mudah mendapatkan perahu dan bersama Kun Hong ia mendayung perahu itu cepat-cepat ke darat. Ia tidak memperdulikan pandang mata para anak buah ibunya yang terheran-heran melihat ia datang bersama Kun Hong, orang buta yang tadinya dianggap musuh yang datang mengacau Ching-coa-to. Akan tetapi keheranan inipun hanya sebentar saja. Para anak buah Ching-coa-to sudah terlalu sering menyaksikan keanehan-keanehan di antara para tamu pulau itu, keanehan orang-orang kangouw sehingga kejadian kali ini di pulau juga tidak begitu mereka perdulikan.

Setelah menyeberangi telaga dan tiba di pulau, Hui Kauw mengajak Kun Hong mendarat. Tegang juga hati Kun Hong ketika kakinya sudah menginjak daratan pulau itu dan hidungnya segera mencium bau aneka bunga.

"Apakah kita tiba di taman..........?" tanyanya perlahan.

"'Betul, tempat ini terbaik untuk mendarat dan dari sini mudah kita pergi menyelidiki tentang benda itu."

"Hui Kauw," Kun Hong memegang tangan gadis itu tanpa ragu-ragu lagi karena dia merasa amat berterima kasih dan pula sikap gadis itu yang ramah dan sewajarnya membuat dia tidak menjadi sungkan dan malu lagi, "Kau tunggulah saja di sini, jangan sampai ada yang melihatmu. Biar aku sendiri yang akan mencari Ka Chong Hoatsu dan terang-terangan minta kembali mahkota itu. Kalau sudah berhasil, baru aku minta bantuanmu lagi untuk mengajak aku menyeberangi telaga."

Mau tidak mau Hui Kauw tersenyum kali ini dan menarik tangannya. "Kun Hong, kau benar-benar berlaku sungkan kepadaku. Jangan kau kira bahwa aku demikian pengecut, membiarkan kau sendiri menghadapi mereka yang lihai. Tidak, Kun Hong. Aku sudah sanggup dan hanya ada dua pilihan bagiku. Berhasil merampas kembali mahkota dan dengan selamat bersamamu meninggalkan pulau ini atau kita gagal dan mati bersama di sini."

Terharu hati Kun Hong. Dia menjura sampai dalam dan berkata lirih, "Kau baik sekali, kau benar-benar bidadari lahir batin. Aku berterima kasih kepadamu..."

"Husshhh, diam, ada orang-orang datang" Hui Kauw cepat menarik tangan Kun Hong diajak menyusup ke dalam gerombolan pohon kembang. Tentu saja Kun Hong dapat mendengar pula suara orang, hanya tadi karena dia terharu, maka dia kurang perhatian dan kalah dulu oleh nona itu yang selain mendengar juga dapat melihat.

Yang datang adalah dua orang, mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. Setelah jarak antara mereka dengan tempat persembunyian Kun Hong tinggal sepuluh meter kurang lebih, Kun Hong mengenal suara mereka yang bukan lain adalah Hui Siang dan Bun Wan putera ketua Kun-lun-pai. Tadinya dia sama sekali tidak merasa heran karena dia memang sudah tahu bahwa putera Kun-lun-pai itu menjadi tamu di Ching-coa-to. Akan tetapi setelah dia mendengar percakapan dua orang muda yang kini berhenti dan duduk di atas rumput tebal tak jauh dari situ, dia kaget dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Dia merasa segan dan sungkan sekali terpaksa harus mencuri dengar percakapan antara dua orang muda yang agaknya sedang bercumbu berkasih mesra!

Terdengar suara Hui Siang yang merdu merayu, suaranya penuh kemanjaan dan mengandung kegenitan. "Kanda Bun Wan, kau sudah tahu dan tentu sudah yakin akan cintaku yang suci murni terhadapmu. Akan tetapi, sebaliknya.......... mana bisa aku tahu akan isi hatimu? Mana bisa aku yakin bahwa cintamu kepadaku pun sama sucinya? Kanda Bun Wan, kalau sekarang kau tinggalkan pulau ini.......... ah, bagaimana kalau kau tidak akan kembali kepadaku?"

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed