Skip to main content

Pendekar Buta 25 -> karya : kho ping hoo

Loan Ki tersenyum dan memainkan matanya yang jeli, mengerling ke arah Teng Cun Le yang menjadi tidak enak hatinya ketika mengenal gadis yang mempunyai mutiara-mutiara hiasan mahkota kuno itu.

"Kakek Song-bun-kwi, seorang tokoh tua macam kau ini mana pantas menurunkan tangan kepada seorang bocah seperti aku? Nah, dengarlah omonganku. Kalau kau tidak menjawab dengan semestinya, mulai saat ini aku yang masih kanak-kanak akan menganggap bahwa semua nama besarnya kosong melompong belaka, bahwa mungkin kau Song-bun-kwi palsu karena yang tulen bukan macam begini tingkahnya.........."

"Cukup, lekas bicara! Setan!" Song-bun-kwi membentak.

Loan Ki meleletkan lidahnya. "Waduh galaknya, kalau begitu kau agaknya yang tulen, bukan pengecut, bukan iblis curang. Kakek Song bun-kwi, kau katanya seorang pendekar gagah segala jaman, kenapa hari ini melakukan perbuatan begini memalukan, menyerbu tempat tinggal ayahku, membunuhi orang-orang kami tanpa alasan? Memusuhi orang tanpa alasan hanya perbuatan manusia rendah dan sepanjang pendengaranku, Song-bun-kwi si iblis tua sama sekali bukanlah orang rendah! Nah, jawab, kenapa kau melakukan semua ini, memusuhi ayahku tanpa sebab?"

Dengan cemberut Song-bun-kwi terpaksa menjawab karena kalau dia tidak menjawab, sama saja artinya dengan mengakui bahwa dia seorang pengecut, curang dan manusia rendah! Dia boleh jadi lihai sekali dalam ilmu silat, namun dalam hal silat kata-kata mana dia becus melawan Loan Ki si dara lincah yang amat cerdik dan nakal ini?

"Bocah setan jangan coba bicara pokrol-pokrolan terhadap aku. Aku datang ke sini hendak mencari si tua bangka Thai-lek-sin, tetapi orang-orangmu tidak tahu aturan mengeroyokku. Mereka mampus karena tidak ada kepandaian, kenapa salahkan aku? Ayahmu merupakan lawan yang lumayan, kenapa selagi kami berdua enak-enak saling gebuk untuk menentukan siapa lebih kuat, kau datang-datang mengacau?Heh, Tan Beng Kui, apa kau tidak bisa jewer telinga anakmu yang cerewet ini? Jewer dan usir ia, mari kita bertempur terus!"

Akan tetapi Loan Ki mana mau habis sampai di situ saja? Anak ini terlalu cerdik hingga ia tahu betul bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, ayahnya tentu akan celaka. Sebelum ayahnya yang juga gemar bertanding itu terbujuk oleh lawan ia mendahului dengan suara nyaring,

"Kakek tua kau benar-benar pandai mencari alasan! Selama hidupku belum pernah aku melihat tua bangka berjuluk Thai-lek-sin di tempat ayah ini, sekarang kau menyebut namanya untuk alasan perbuatanmu mengacau di sini! Huh, siapa sudi kau akali? Benar-benar tak kusangka bahwa jagoan tua tenar Song-bun-kwi ternyata hanya seorang tukang bohong belaka!"

"Bocah sembarangan menuduh yang bukan-bukan! Aku tidak menggunakan alasan kosong. Dia orang she Teng ini yang bilang bahwa aku akan dapat menemukan Thai-lek-sin di sini. Betul tidak, orang she Teng?" bentaknya sambil menoleh ke arah Teng Cun Le yang menjadi pucat dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi terpaksa dia menjawab dengan kepalanya mengangguk-angguk dan bibirnya berkata lirih.

"........... aku mendengar di luaran begitu........... eh........... Thai-lek-sin sering ke sini..........."

Tiba-tiba Loan Ki tertawa nyaring dan menudingkan telunjuknya kepada Teng Cun Le, lalu berkata kepada Song-bun-kwi, "Wah, kakek tua goblok Song-bun-kwi, kau kena dipedayai orang! Nanti dulu aku hendak bertanya, pernahkah kau mendengar adanya anjing-anjing penjilat? Nah, manusia ini adalah seekor di antara anjing-anjing penjilat. Dia orang dari kota raja, mudah diduga. Dia selalu mengikuti aku karena tertarik akan mutiara Ya-beng-cu yang kubawa. Dan dia telah menggunakan kau orang tua goblok untuk menyerbu ke sini karena dia sendiri mana mampu? He-he, Song-bun-kwi kakek bodoh, kau diperalat anjing ini masih tidak tahu."

Teng Cun Le bukanlah seorang bodoh. Dia tadinya kaget setengah mati mendengar semua kata-kata Loan Ki dan diam-diam dia mengeluh. Gadis ini benar-benar pandai bicara dan kakek yang sudah setengah pikun itu kalau sampai kena diakali oleh gadis ini, dialah yang akan celaka. Cepat dia bicara, "Locianpwe, harap Locianpwe jangan mendengarkan ocehan gadis ini. Terang ia berusaha menolong ayahnya yang tadi hampir kalah oleh Locianpwe dan sengaja hendak mengadu domba kita, Locianpwe, mari kita gempur orang-orang ini, Locianpwe lanjutkan menghajar Sin-kiam-eng dan serahkanlah gadis itu kepada saya, saya sanggup menghajar kekurang ajarannya." Sambil berkata demikian, Teng Cun Le menggerakkan goloknya hendak menyerang Loan Ki.

"Tunggu dulu dan dengar kata-kataku sampai habis!" Loan Ki menjerit. "Kalau tidak mau mendengarkan, itu tandanya kau sengaja memperalat Song-bun-kwi!" Terpaksa Teng Cun Le menahan goloknya karena kalau dia teruskan khawatir kalau-kalau kakek itu kena diakali omongan pancingan ini.

"He, orang she Teng. Kau seorang laki-laki, hayo jawab betul tidak kau telah mengikuti aku beberapa hari yang lalu dan bahwa kau mengincar tiga butir mutiaraku atau........... mungkin juga kau ingin mengetahui tentang sebuah mahkota? Jawab!"

Teng Cun Le tak dapat mundur lagi, terutama karena dia lihat Song-bun-kwi amat memperhatikan percakapan itu. "Memang betul. Kau telah membawa tiga butir mutiara yang tadinya menghias mahkota yang dicuri dari istana kaisar. Sudah semestinya kau mengembalikan mahkota itu kepadaku untuk kubawa kembali ke kota raja!"

"Bagus, manusia she Teng! Kau hendak merammpas mahkota dari kami? Apa kau berani melawan ayah dan aku?" tantangnya.

Tentu saja Teng Cun Le menjadi sibuk sekali. Tak disangkanya gadis itu akan memutar-mutar omongan sedemikian rupa sehingga dia selalu terdesak. Akan tetapi dia pun bukan bodoh, maka dia segera menjawab berani. "Tentu saja berani karena Kwee-locianpwe tentu akan membantuku menghadapi ayahmu yang memang patut menjadi lawannya."

"Uhu-hu, sekarang mengertikah kau, kakek Song-bun-kwi? Kau dengar sendiri bahwa dia ini adalah seekor anjing penjilat kaisar dan kau telah dibodohinya, diperalat olehnya. Agar kau mau diperalat dan mau menyerbu ke sini, dia membohongimu dengan pernyataan bahwa Thai-lek-sin berada di sini. Padahal tua bangka Thai-lek-sin itu melihat pun aku belum pernah. Nah, tidak benarkah aku kalau aku bilang bahwa Song-bun-kwi si jago kawakan itu ternyata sekarang mudah saja dikempongi oleh seekor anjing penjiiat kaisar? Hi-hik!" Dengan gaya nakal sekali Loan Ki menyambung hidungnya yang kecil mancung itu dengan jari-jari tangannya untuk mengejek Song-bun kwi. Song-bun-kwi menjadi merah mukanya.

Racun yang disebar oleh Loan Ki melalui kata-katanya tadi telah mengenai hatinya. Dia seorang tokoh besar dari dunia bagian barat, dapat dengan mudah dikempongi oleh seorang anjing penjilat kaisar dan diperalat di luar kesadarannya. Benar-benar memalukan sekali. Dia menoleh dengan mata melotot kepada Teng Cun Le sambil memaki, "Kau berani membawa aku untuk bantu menjadi perampok? Setan alas!"

"Tidak........... Locianpwe...... tidak..........!" Akan tetapi tangan Song-bun-kwi sudah bergerak. Teng Cun Le dalam takutnya nekas menangkis dengan goloknya, tapi akibatnya golok itu patah-patah dan tubuhnya melayang sampai sejauh lima meter lebih dan dia tak dapat bangun kembali karena dadanya sudah remuk tulang-tulangnya! Hebat kejadian ini, namun Loan Ki memandang dengan senyum simpul saja sedangkan Tan Beng Kui yang memang wataknya angkuh tidak mau memandang siapa pun juga, sejak tadi hanya berdiri tegak dengan pedang siap di tangan dan diam-diam dia mengatur napas dan memulihkan tenaga di dalam tubuhnya, siap menghadapi pertempuran lagi kalau perlu.

Setelah membunuh orang yang mempermainkannya dengan sekali gempur, kakek itu menoleh kepada Loan Ki, sepasang matanya memancarkan ancaman menyeramkan. Bulu tengkuk dara lincah itu meremang, akan tetapi dengan memberanikan hati ia tersenyum-senyum seakan-akan kejadian mengerikan itu "bukan apa-apa" baginya. Beginilah sikap seorang cabang atas, pikirnya, dan ia tidak mau kalah dalam berlagak. Pandang matanya kepada kakek itu seolah-olah menyuarakan tantangan "kau mau apa?"

"Bocah, jangan kau ketawa-tawa dulu. Memang bangsat she Teng itu telah menipuku maka layak mampus. Akan tetapi kau pun telah mempermainkan aku, jangan kira aku takut untuk memberi hajaran kepadamu di depan ayahmu!"

Gadis itu tertawa mengejek. "Kakek Song-bun-kwi, kau terlalu sombong. Agaknya kau tidak mau melihat tingginya langit dalamnya lautan. Ayah adalah seorang gagah yang tidak mau begitu saja menanam permusuhan, kau tahu? Ayah sudah mendengar bahwa kau adalah seorang tokoh besar kawakan, maka tadi ayah telah menjaga muka dan namamu, kau tahu? Kalau ayah mau sungguh-sungguh melawanmu, dengan mudah dia akan dapat merobohkanmu, kau tahu?"

"Loan Ki! Omongan apa yang kau keluarkan ini?" Ayahnya menegur marah karena merasa betapa gadisnya benar-benar keterlaluan kali ini. Masa seorang tokoh seperti Song-bun-kwi mau di "kecapi" seperti itu?

Benar saja, Song-bun-kwi tak dapat menguasai kemarahan hatinya lagi. Sambil menggerak-gerakkan pedang dan sulingnya, dia berkaok-kaok, "Siluman! Setan! Iblis jejadian, neraka jahanan! Hayo kalian ayah dan anak maju bersama, biar kalian buktikan macam apa adanya Song-bun-kwi Kwee Lun!" Muka kakek itu merah sekali, kedua matanya melotot, alisnya yang sudah putih itu bergerak-gerak terangkat tinggi. Marah betul-betul dia. "Song-bun-kwi, jangan kira aku Sin-kiam-eng takut kepadamu. Hayoh!"

Beng Kui menantang sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Dalam pertempuran tadi dia pun belum kalah, memang dia agak kehabisan tenaga karena kalah ulet, akan tetapi setelah beristirahat tadi, tenaganya pulih kembali dan dia merasa sanggup menghadapi kakek yang sakti itu. Dia maklum bahwa memang Sukar mencapai kemenangan, namun keangkuhannya melarang dia mengalah terhadap si kakek.

"Bagus! Mari bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak!" Song-bun-kwi .tertawa bergelak. "Kita laki-laki sejati mana sudi cerewet seperti perempuan tukang celoteh?" Dia mengejek Loan Ki dan membalikkan tubuh untuk menghampiri Tan Beng Kui.

Akan tetapi tiba-tiba bayangan gadis itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di depannya, sampai kaget Song-bun-kwi menyaksikan kegesitan gadis ini.

"Kakek tua bangka pikun Song-bun-kwi! Kau benar-benar tak bermalu! Takut melawan aku kau mau meninggalkan aku begitu saja dan menantang ayah. Huh, tak tahu diri. Ayah tadi mengalah kau masih tidak tahu? Kau tidak cukup pandai, tidak berharga menjadi lawan ayahku. Siapa orangnya yang sudah bisa mengalahkan aku, barulah cukup berharga untuk bertanding sungguh-sungguh melawan ayah. Song bun-kwi, beranikah kau melawan aku?"

"Loan Ki...........!" mau tidak mau Beng Kui menegur puterinya. Memang dia merasa bangga menyaksikan keberanian dan ketabahan Loan Ki, akan tetapi mendengar gadisnya itu menantang Song-bun-kwi, benar-benar keterlaluan! Apanya yang akan dibuat menang? Dia sendiri setengah mampus melawannya, masa sekarang Loan Ki hendak melawan kakek itu? Huh, biar dikeroyok sepuluh orang Loan Ki juga masih bukan lawan Song-bun-kwi! Anaknya yang baru tiga hari pulang dari perantauannya ini memang benar-benar bersikap aneh, sama anehnya seperti ketika kemarin dia menegur karena gadis itu duduk termenung seperti orang kehilangan semangat!

"Biarlah, Ayah, aku tanggung kakek yang sudah dekat lubang kubur ini takkan mampu mengalahkan aku. Hei, dengar tidak kau Song-bun-kwi kakek tua renta? Atau barangkali kau sudah agak tuli? Perlu kuulangi kembalikah? Aku menantangmu, beranikah kau melawan aku?"

Memang amat pandai Loan Ki bersilat lidah. Kali ini ia benar-benar berhasil memancing Song-bun-kwi sehingga kakek ini menjadi marah bukan main. Siapa orangnya takkan mendongkol dan marah sekali, seorang kakek tokoh besar seperti dia ditantang mentah-mentah oleh seorang bocah perempuan? Dengan gemas dia menyimpan kedua senjatanya dan membentak.

"Bocah neraka! Kau patut menjadi cucuku berani menantang seorang tua seperti aku? Apa kau sudah bosan hidup? Kalau aku tidak dapat membantingmu dalam sepuluh jurus, biar aku orang tua mengaku kalah!" Song-bun-kwi siap menubruk gadis yang memanaskan hatinya itu.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka