Skip to main content

Pendekar Buta 23 -> karya : kho ping hoo

"Ha-ha-hi, apakah pohon-pphon bambu putih itu melebihi pohon ini kuatnya?" Song-bun-kwi tertawa bergelak melihat orang itu ketakutan sampai mukanya pucat dan lidahnya terjulur keluar.

"Hebat........... luar biasa........... Locianpwe seperti malaikat ..........!" Teng Cun Le memuji, benar-benar baru sekali ini selama hidupnya dia melihat manusia kosen ini. Diam-diam dia merasa girang. "Saya percaya bahwa Locianpwe pasti akan sanggup menggempur Pek-tiok-lim!"

Teng Cun Le dengan girang lalu mengajak kakek itu berlari cepat menyusuri pantai timur itu menuju ke utara. Pek-tiok-lim itu terletak di dekat pantai Laut Po-hai, dan memang tempat ini sudah bertahun-tahun dijadikan tempat tinggal seorang tokoh ilmu pedang yang terkenal, yaitu murid pertama dari mendiang Raja Pedang Bu-tek-kiam-ong Cia Hui Gan. Nama tokoh ini adalah Tan Beng Kui berjuluk Sin-kiam-eng. Seperti telah disebut di bagian depan dari cerita ini, Tan Beng Kui ini adalah kakak kandung dari ketua Thai-san-pai, dan bukan lain adalah ayah daripada si dara lincah Tan Loan Ki yang sudah kita kenal baik itu.

Benarkah Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang seringkali datang ke Pek-tiok-lim?

Kenyataannya tidak demikian dan sebetulnya tanpa disadarinya, Song-bun-kwi sitokoh yang ditakuti dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu itu terkena bujukan halus. Apakah kehendak Teng Cun Le dan mengapa dia melakukan hal ini?

Teng Cun Le sebetulnya adalah seorang mata-mata dari istana. Dia adalah seorang di antara banyak kepercayaan kaisar baru untuk melakukan penyelidikan ke daerah-daerah melihat reaksi para tokoh daerah atas pengangkatan diri Pangeran Kian Bun Ti menjadi kaisar, menggantikan kaisar tua yang meninggal dunia. Teng Cun Le ini mendapat tugas memata-matai daerah pantai timur. Tentu saja seorang yang sudah dipercayai tugas seperti ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan hal ini sudah terbukti ketika dia menyaksikan penyerbuan para bajak laut. Selain berkepandaian silat, juga orang yang diangkat menjadi mata-mata tentu saja orang yang cerdik dan memang Teng Cun Le ini cerdik sekali orangnya.

Beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan seorang dara lincah yang amat menarik perhatiannya. Dara itu bukan lain adalah Loan Ki. Melihat seorang gadis muda seorang diri melakukan perjalanan, Teng Cun Le maklum bahwa gadis ini tentulah seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian. Dia menjadi curiga dan diam-diam melakukan pengintaian. Sama sekali dia tidak menduga bahwa gadis itu benar-benar amat lihai sehingga diam-diam Loan Ki tahu bahwa dirinya diintai orang! Dasar ia seorang anak yang memiliki watak nakal dan suka mempermainkan orang, maka sengaja gadis ini di dalam kamarnya membuka buntalannya, memamerkan bekal uang dan tiga buah mutiara Ya-beng-cu yang mengeluarkan cahaya di dalam gelap! Ia lakukan ini karena tahu bahwa di luar kamar ada orang itu yang selalu mengintainya selama ini!

Teng Cun Le menjadi terkejut dan girang bukan main melihat tiga butir mutiara ini. Sebagai seorang kaki tangan kaisar, tentu saja dia mengenal mutiara itu yang tadinya menjadi penghias mahkota kuno yang telah hilang. Memang termasuk tugasnya untuk mencari jejak bekas pembesar Tan Hok karena menurut perintah rahasia yang dia terima, mahkota itu mengandung rahasia hebat dan harus dirampas kembali ke istana. Sekarang dia melihat mutiara-mutiara itu, tentu saja girangnya bukan kepalang. Kalau ada mutiara itu tentu ada pula mahkotanya, dan kalau ada mahkotanya tentu ada pula pengkhianat Tan Hok.

Loan Ki yang nakal itu pura-pura tidak tahu bahwa ia selalu diikuti, malah dengan enak-enakan ia berjalan pulang ke Pek-tiok-lim seperti sengaja menunjukkan kepada orang itu di mana ia tinggal. Melihat betapa dengan berani mati orang itu menguntitnya terus memasuki Pek-tiok-lim, diam-diam ia tertawa geli dan sebentar saja ia lenyap di jalan rahasia dalam hutan wilayah ayahnya itu. Celakalah Teng Cun Le. Hampir saja binasa di dalam hutan ini. Untungnya dia sudah mulai curiga dan sebelumnya sudah mencari keterangan tentang keadaan di situ. Dia sudah mendengar tentang Pek-tiok-lim, tempat kediaman tokoh besar Sin-kiam-eng dan puterinya. Maka melihat keadaan hutan yang penuh bambu putih ini, dia segera sadar dengan tengkuk meremang bahwa yang dia ikuti selama ini adalah puteri Sin-kiam-eng. Inilah yang menolongnya karena dia segera meninggalkan hutan itu dan kabur tanpa berani menoleh lagi.

Demikianlah pengalaman Teng Cun Le. Hatinya masih merasa penasaran. Segera dia mengadakan hubungan dengan kurir yang berkuda cepat ke kota raja. Alangkah kagetnya ketika dia mendengar berita bahwa memang mahkota kuno itu yang tadinya sudah terampas oleh panglima istana Souw Ki, telah dirampas kembali oleh seorang gadis liar puteri Sin-kiam-eng. Dia girang bercampur bingung. Girang karena tahu betul bahwa mahkota itu tentu berada di Pek-tiok-lim, namun bingung bagaimana dia dapat merampasnya kembali.

Dia hendak mengirim utusan ke istana, mengusulkan agar secara resmi kaisar mengutus rombongan meminta kembali mahkota itu secara baik-baik dari Sin-kiam-eng. Kalau kaisar yang minta, sudah tentu akan dikembalikan dan tidak akan terjadi sesuatu keributan. Andaikata Sin-kiam-eng berani menolak, berarti dia memberontak dan boleh saja digempur menggunakan pasukan.

Sambil menanti keputusan, Teng Cun Le iseng-iseng mendatangi kota pelabuhan dan secara tak disengaja bertemu dengan Song-bun-kwi. Dia masih belum dapat menduga siapa adanya kakek yang hebat ini, akan tetapi segera otaknya yang cerdik bekerja ketika mendapat kenyataan betapa kakek sakti ini seperti gatal-gatal tangannya hendak mencari lawan yang setingkat. Maka dia sekarang hendak mempergunakan kesaktian kakek ini untuk memasuki Pek-tiok-lim, menggunakan kesaktian kakek ini untuk merampas kembali mahkota. Dengan cara ini, selain lebih cepat juga semua pahala akan terjatuh ke dalam tangannya.

******

"Heh, keparat! Tua bangka gila dari mana berani merusak bambu peliharaan di Pek-tiok-lim...........?" bentak dua orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata pedang. Tentu saja mereka ini marah sekali melihat betapa seorang kakek tinggi besar, sambil tertawa-tawa mencabut, menendang, dan melempar-lemparkan bambu-bambu putih di hutan itu begitu mudah seperti seorang mencabuti dan membuang-buang rumput kering saja!

Semenjak Pek-tiok-lim dimiliki oleh majikan mereka, jangankan manusia, setan pun kiranya takkan berani merusak tanaman di situ. Eh, tahu-tahu sekarang ada seorang kakek tua ini seperti seorang gila merusak tanaman dan di belakang kakek itu berdiri seorang laki-laki berpakaian mentereng yang tertawa-tawa juga. Kakek itu bukan lain adalah Song-bun-kwi. Dia sudah mulai merusak bambu-bambu yang berada di luar hutan, dalam usahanya menyerbu Pek-tiok-lim untuk mencari Thai-lek-sin, menantangnya dan sekalian menantang pemilik hutan ini, yang menurut orang she Teng itu adalah seorang tokoh besar berjuluk Sin-kiam-eng. Sengaja Song-bun-kwi mencari perkara. Hatinya yang mengkal terbawa dari Min-san belum mencair dan dia harus mendapatkan sesuatu untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya.

Melihat munculnya dua orang penjaga yang memakinya, kakek itu diam saja seperti tak mendengar dan melanjutkan pekerjaannya merusak tanaman di situ. Tentu saja dua orang penjaga itu marah sekali. Sambil membentak dan memaki mereka menerjang kakek itu dengan kepalan tangan. Akan tetapi biarpun tak kompak kakek itu bergerak menangkis atau memukul, tahu-tahu dua orang itu sendirilah yang terjengkang ke belakang dengan kepala benjol-benjol karena terbanting ke atas tanah yang berbatu! Mereka kaget, heran berbareng marah. Sambil mengutuk keras mereka mencabut pedang.

"Kakek gila, kau sudah bosan hidup!" teriak mereka sambil menerjang, kini dua batang pedang itu menyambar dari kanan kiri. Namun Song-bun-kwi terus saja merobohkan dan mencabuti bambu-bambu putih tanpa memperdulikan sambaran kedua pedang. Seperti juga tadi, dia tidak tampak bergerak menangkis atau mengelak apalagi memukul, tapi tahu-tahu dua orang itu terjengkang ke kanan kiri dan pedang mereka terlepas dari tangan. Celakanya kini mereka jatuh menyusup ke tumpukan bambu yang sudah dicabut sehingga pakaian mereka robek semua dan tubuh mereka juga babak-bundas berdarah karena tertusuk batang-batang bambu.

"Ha-ha-ha, anjing-anjing rendah. Apa mata kalian buta berani menyerang lo-cianpwe ini? Lebih baik lekas panggil ke sini majikan kalian untuk bicara." Teng Cun Le menggunakan kesempatan ini untuk memancing keluar Sin-kiam-eng.Dua orang itu merangkak bangun lalu tiba-tiba seorang di antara mereka meniup sebuah terompet kecil yang berbunyi nyaring. Song-bun-kwi terus saja melangkah maju sambil merusak pohon-pohon bambu di kanan kiri. Teng Cun Le mengikuti jejak langkahnya, sama sekali tidak berani menyeleweng karena tahu bahwa di situ banyak tempat rahasia. Sebentar saja mereka telah memasuki hutan.

Tiba-tiba terdengar suara keras, tanah yang diinjak Song-bun-kwi melesak ke bawah dan tubuh kakek itu tergelincir masuk! Teng Cun Le menjadi pucat wajahnya. Baiknya tanah yang melesak ke bawah itu belum diinjaknya dan tepat pinggirnya berada di depan kakinya sehingga dia dapat menyaksikan betapa tubuh kakek tinggi besar itu tergelincir. Hebat dan ngerinya, dari bawah tanah menyambar puluhan batang bambu runcing seakan-akan dilontarkan ke atas, tentu saja tubuh kakek yang sedang tergelincir itu seperti dihujani bambu runcing dari bawah!

Akan tetapi Song-bun-kwi tidak kaget, malah mengeluarkan suara ketawa mengejek. Kedua kakinya menendang ke kanan kiri, lengan bajunya juga mengebut ke sekeliling tubuhnya dan ketika empat buah bambu runcing yang tepat menyambar di bawah tubuhnya sudah mendekati kaki, dia malah........... menerima ujung bambu runcing itu dengan kedua kakinya! Teng Cun Le hampir meramkan mata saking ngerinya karena kalau kakek ini tewas, bukankah berarti dia sendiri juga terancam malapetaka? Akan tetapi, anehnya, bambu runcing empat buah itu sama sekali tidak menembus kaki si kakek, malah seperti tangan-tangan orang mendorong kakek itu mencelat kembali ke atas dan di lain saat kakek itu sudah melompati sumur besar yang terjadi karena tanah ambles itu! Dari tepi lain, kakek itu menoleh kepadanya dan memberi isyarat supaya dia melompat. Teng Cun Le cepat menggunakan ginkang melompati sumur itu dan bergidiklah dia melihat betapa ujung-ujung bambu runcing itu tampak hitam kehijauan, tanda bahwa ujungnya diberi racun!

Kini makin tebal kepercayaannya akan kelihaian si kakek. Dia kini dapat menduga bahwa kakek itu tadi telah mempergunakan ginkang yang luar biasa sekali untuk menerima serangan bambu runcing dan rnempergunakan sebagai landasan untuk melompat ke atas. Betapa hebatnya! Menggunakan landasan benda runcing untuk menggenjot tubuh ke atas hanya dapat dilakukan oleh ahli-ahli silat kelas tertinggi. Diam-diam dia mulai menduga-duga siapa adanya kakek yang sakti ini dan kadang-kadang Teng Cun Le merasa bulu tengkuknya berdiri. Dia maklum bahwa dia telah memasuki pintu perjalanan yang amat berbahaya.

Belum seratus langkah mereka maju, dari depan dan kanan kiri muncullah belasan orang bersenjata pedang atau tombak. Mereka segera mengurung dan seorang di antara mereka membentak,

"Kalian berdua menyerah saja untuk kami bawa menghadap majikan kami."

Teng Cun Le melirik dan melihat betapa orang-orang itu makin banyak saja, juga kini beberapa orang muncul di belakangnya dan sebentar saja mereka dikurung lebih dari tiga puluh orang yang dikepalai oleh empat orang yang kelihatannya gagah dan kuat. Diam-diam dia bersiap sedia dan meraba gagang goloknya.

Song-bun-kwi tertawa bergelak, lalu menoleh kepada Teng Cun Le sambil berkata, "Kau bilang majikan Pek-tok-lim tokoh yang gagah? Huh, agaknya hanya seorang kaya yang memelihara banyak anjing-anjing pemakan tahi belaka!" Hebat hinaan ini. Empat orang penjaga tanpa diperintah pemimpinnya lalu, membentak marah dan mengerjakan tombak mereka. Mereka adalah orang pemain tombak yang kuat karena mereka menerima latihan dari majikan mereka sendiri. Ujung tombak-tombak itu tergetar saking besarnya tenaga yang menggerakkan ketika menusuk ke arah Song-bun-kwi dari empat jurusan. "Tua bangka mau mampus masih amat sombong!" bentak seorang di antara mereka. Melihat cara mereka menerjang dengan tombak, Teng Cun Le masih berdebar gelisah karena benar-benar kali ini puluhan orang yang mengurung mereka adalah orang-orang yang kuat dan tak boleh dipandang rendah seperti halnya dua orang penyerang pertama tadi. Melihat getaran ujung tombak itu dia sendiri merasa sangsi apakah dia akan dapat menangkan empat orang lawan ini sekaligus.

Akan tetapi dengan amat tenang sambil mengeluarkan suara mendengus, Song-bun-kwi menggerakkan kedua lengan bajunya. Hebat kesudahannya. Terdengar suara pletak-pletak terpatahkannya gagang-gagang tombak itu mata tombak itu secara aneh cepat sekali menyambar ke arah tuan masing-masing. Empat orang itu memekik ngeri dan tak seorang pun di antara mereka yang dapat membebaskan diri dari serangan mata tombak mereka sendiri itu yang menancap ke dada atau perut mereka sampai tak tampak lagi. Keempatnya roboh terjengkang, berkelojotan dan sebentar kemudian tak bergerak lagi untuk selamanya.

Hebat akibat sepak terjang kakek ini. Teng Cun Le sendiri sampai mengkirik ngeri dan memandang dengan mata terbelalak. Celaka, pikirnya, tidak dinyana sama sekali bahwa kakek ini begini ganas, sekali turun tangan membunuh empat orang. Maksudnya memancing kakek itu ke Pek-tiok-lim sebetulnya hanya hendak dia "boncengi" saja, dan hendak dia pergunakan kepandaian kakek ini untuk memaksa Sin-kiam-eng mengembalikan mahkota kuno. Siapa kira sekarang kakek itu agaknya hendak berpesta seperti tadi di restoran, kalau tadi berpesta makan minum, sekarang hendak berpesta membunuhi orang. Kalau begini caranya, kecil harapannya untuk minta kembali mahkota, karena perkelahian ini akan menjadi permusuhan hebat dan dia mau tidak mau akan terlibat di dalamnya. Celaka sekali!

Memang benar apa yang dikhawatirkan oleh Cun Le itu. Para anak buah Sin-kiam-eng menjadi kaget dan marah bukan main ketika menyaksikan tewasnya empat orang teman mereka. Sambil berteriak-teriak mereka lalu menyerbu dan di lain saat terjadilah pertempuran hebat. Song-bun-kwi dikeroyok oleh puluhan orang, dipimpin oleh empat orang gagah itu yang hebat pula ilmu pedangnya. Akan tetapi, Song-bun-kwi melayani meraka sambil tertawa bergelak-gelak seperti Seorang anak kecil mendapat permainan bagus. Harus diketahui bahwa Song-bun-kwi ini dahulu merupakan manusia berwatak iblis yang amat jahat dan kejam di samping perangainya yang aneh, kesukaannya hanya satu, yaitu berkelahi dan mengalahkan orang lain. Maka tidak aneh kalau sekarang, dalam kemarahannya terhadap cucunya, dia pergi dengan tangan dan hatinya gatal-gatal untuk mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Tentu saja dia kurang gembira kalau bertemu dengan lawan yang rendah tingkat kepandaiannya, dan barulah dia bergembira kalau bertanding melawan jagoan yang setingkat. Makin kosen lawannya, makin gembiralah hatinya. Karena sifat yang aneh ini pula maka dia mati-matian mencari Thai-lek-sin.

Kasihan sekali para pengeroyok itu. Mereka seperti serombongan nyamuk menyerang api. Siapa dekat dengan kakek itu pasti roboh, kalau tidak terus tewas tentu luka-luka. Siapa yang sudah roboh takkan dapat bangun untuk mengeroyok kembali karena luka yang dideritanya tentu patah tulang!

Sambil dengan enaknya membabati para pengeroyoknya seperti orang membabat rumput, kakek itu berseru berulang kali, "Panggil si tua bangka Thai-lek-sin ke sini, ha-ha-ha, dialah lawanku, panggil dia ke sini..........!"

Sementara itu, Teng Cun Le hanya berdiri di belakang Song-bun-kwi, siap dengan golok ditangannya tapi dia tidak menggerakkan golok kalau tidak diserang orang. Akan tetapi para pengeroyok juga tidak ada yang menyerangnya karena melihat betapa orang ini tidak mengamuk seperti kakek itu.

Pada saat anak buah Pek-tiok-lim itu kocar-kacir dihajar kedua lengan baju Song-bun-kwi yang amat lihat, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang amat cepat dan ringan gerakannya, kemudian segulung sinar pedang menyambar ke arah Song-bun-kwi.

"Ha-ha-ha, bagus!" Kakek itu yang terkejut sedetik, tertawa sambil cepat berjungkir balik ke belakang untuk menghindarkan diri daripada ancaman pedang yang gerakannya amat kuat ini. Girang hatinya bahwa akhirnya muncul seorang lawan yang tangguh ilmu pedangnya. Ketika dia sudah turun lagi ke atas tanah, dia memandang dan melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tegap bermuka tampan dan gagah, berdiri di depannya dengan sebatang pedang di tangan. Sikap laki-laki ini gagah dan berwibawa, sepasang matanya mencorong seperti mata harimau, tarikan mulutnya membayangkan kekerasan dan keangkuhan hati, pakaiannya berbentuk sederhana namun terbuat daripada sutera halus. Sungguh seorang yang gagah perkasa nampaknya dan mudah diketahui bahwa orang dengan sikap seperti ini sudah pasti memiliki ilmu silat yang tinggi.

Sebaliknya, laki-laki itu ketika melihat wajah Song-bun-kwi, segera kelihatan terkejut dan cepat menegur,

"Kiranya Song-bun-kwi Kwee lo-enghiong yang datang! Kwee lo-enghiong, apa artinya ini semua? Mengapa kau orang tua datang-datang mengamuk dan membunuh banyak anak buah dan muridku?"

Song-bun-kwi juga kaget ketika mengenal majikan Hutan Bambu Putih ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa yang berjuluk Sin-kiam-eng itu kiranya adalah Tan Beng Kui, kakak kandung Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Akan tetapi sebagai seorang tokoh aneh yang tak mau kalah dan selalu membawa kehendak sendiri, dia tertawa bergelak dan berkata,
"Ha-ha-ha, kaukah majikan Pek-tiok-lim? Sungguh kebetulan sekali bertemu denganmu di sini. Hayo kau suruh Thai-lek-sim si tua bangka itu keluar, biar melayani aku bertanding seribu jurus. Atau kau juga gatal tangan hendak memamerkan ilmu pedangmu? Ha-ha, kalau begitu biar aku mewakili Beng San memberi hajaran kepadamu!"

Yang amat sangat kaget hatinya adalah Teng Cun Le. Ketika mendengar bahwa kakek itu adalah Song-bun-kwi, dia merasa seakan-akan semangatnya terbang melayang meninggalkan raganya. Tentu saja dia sudah pernah, bahkan sering kali, mendengar nama Song-bun-kwi sebagai iblis yang ganas. Siapa kira sekarang dia telah main-main dengan iblis itu! Meremang bulu tengkuknya seketika karena maklum bahwa main-main dengan seorang terkenal sebagai iblis ini sama artinya dengan main-main dengan nyawanya sendiri! Akan tetapi ketika mendengar betapa iblis tua itu malah menantang Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, hatinya lega juga. Sudah terlanjur dia main-main, biarlah dia lanjutkan dan membonceng kesaktian, kakek iblis itu demi keuntungannya. Dia sejak tadi berdiam diri, ini penting sekali. Andaikata Song-bun-kwi kalah, dia akan mudah mencari alasan agar tidak dipersalahkan oleh Sin-kiam-eng berdasarkan tidak ikutnya mengamuk melawan anak buah Pek-tiok-lim. Sebaliknya kalau Song-bun-kwi menang, dia akan menggunakan kemenangan kakek itu untuk minta kembali mahkota kuno dari tangan orang gagah itu.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed