"Bull!" Seperti layang-layang putus talinya tubuh itu mumbul ke atas, sekali lagi menghantam langit-langit sampai jebol kemudian terbanting ke bawah membikin remuk bangku yang ditimpanya. Juga kali ini tubuh Tengkorak Hitamlah yang melayang-layang, bukan tubuh si kakek kosen.
Sakit, marah, dan malu memenuhi benak Tengkorak Hitam, apalagi ketika dia melihat betapa mulai berdatangan orang menonton. Dia menjadi nekat dan kini hendak menggunakan ilmu pukulan. Dia menerjang lagi dengan tangan terkepal. Tiba-tiba tubuhnya yang merunduk dengan kepala di depan seperti laku seekor domba hendak menanduk ayam, berhenti di tengah jalan, tepat di muka kakek itu. Kepalanya tertahan sesuatu. Matanya melirik dan alangkah marahnya melihat bahwa kakek itulah yang menahan kepalanya dengan telapak tangan. Dia mengumpat caci, kedua tangannya menghantam bergantian, disusul kakinya yang juga mengirim tendangan-tendangan maut.
Akan tetapi, serangan-serangannya mengenai tempat kosong belaka, atau tegasnya, tidak sampai di tubuh si kakek. Seperti diketahui, bajak laut itu tubuhnya pendek, kedua lengannya pun pendek-pendek sekali, demikian pula kedua kakinya. Tentu saja setelah kakek itu yang bertubuh tinggi besar dan berlengan panjang menahan kepalanya dengan lengan diluruskan, semua pukulan dan tendangannya gagal, tidak sampai ke sasarannya.
Terdengar suara ketawa di sana-sini. Bajak itu marah sekali, kini menghantam lengan yang menahan kepalanya. Sia-sia, malah kedua tangannya sakit-sakit seperti menghantam baja layaknya. Tiba-tiba dia merasa betapa telapak tangan yang menahan kepalanya itu menjadi panas sekali. Dia berusaha menarik kepalanya yang botak, namun alangkah kagetnya ketika merasa betapa botaknya itu lengket pada telapak tangan lawan. Dan panasnya tak dapat dia menahannya lebih lama, seakan-akan botaknya ditempel arang merah! Dia mulai mengerling ke luar restoran dan tanpa malu-malu lagi mulutnya berteriak-teriak memanggil anak buahnya supaya membantunya melawan kakek yang aneh ini. Akan tetapi, begitu matanya mengerling ke luar, seketika wajahnya pucat. Apa yang dilihatnya? Anak buahnya sudah tidak kelihatan batang hidungnya seorang pun, malah sebuah perahunya pun tidak tampak lagi. Pantas saja banyak orang berdatangan menonton pertunjukkan di dalam restoran, kiranya sekarang di luar restoran sudah tidak ada bajak laut lagi!
Apakah sebetulnya yang telah terjadi di luar restoran? Seperti telah kita ketahui, pada saat kepala bajak itu beraksi di depan Song-bun-kwi, para bajak laut itu sedang bertempur menyerbu para jagoan pengawal yang melawan mati-matian. Namun karena kalah banyak jumlahnya, para pengawal itu kena desak dan mulai mundur tak teratur. Mulai banyaklah berjatuhan korban di kedua fihak, terutama sekali di fihak para pengawal.
Pada saat itu, terdengar bentakan mengguntur, disusul suara nyaring, "Keparat jahanam! Beginikah perbuatan kalian di sini? Dari rumah mengaku berdagang kiranya melakukan perampokan. Bajak-bajak keparat, membikin malu saja kalian ini. Hayo pergi!"
Yang membentak ini adalah seorang laki-laki muda yang bertubuh tegap kokoh kuat, wajahnya membayangkan kegagahan, bajunya tipis terbayang dadanya yang bidang. Rambutnya hitam panjang dan gemuk, digelung ke atas dengan model yang asing, dijepit di bagian atas dengan hiasan rambut perak. Sebatang pedang yang panjang sekali dan bentuknya agak melengkung tergantung di pinggang. Pedang ini sarung dan gagangnya berukir kembang-kembang indah, merah warnanya, dengan ronce-ronce merah pula, gagangnya agak panjang.
Para bajak laut kaget mendengar suara bangsanya sendiri, karena pemuda itu tadi menggunakan bahasa Jepang. Ketika menengok, mereka lebih kaget lagi karena dari dandanan, sikap, dan pedang pemuda itu, mudah diterka bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar Samurai, yaitu golongan pendekar pedang yang amat terkenal di Jepang.
Akan tetapi karena pendekar itu masih amat muda, paling banyak dua puluh tahun usianya, apalagi karena bajak laut itu mengandalkan banyak teman dan bukan berada di daratan sendiri, mereka tidak takut.
"Berhenti dan pulang semua kataku!" Pendekar Samurai muda itu berseru lagi, suaranya benar-benar nyaring dan wibawa.
Ketika para bajak itu tidak memperdulikannya, tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangan, sinar kemerahan berkelebat-kelebat menyambar bagaikan kilat di musim hujan. Terdengar pekik dan jerit di sana-sini dan di mana sinar kemerahan itu tiba, tentu ada bajak yang roboh dengan senjata mereka terlempar atau patah!
"Hayo siapa tidak menurut, akan kubasmi di sini juga. Memalukan orang-orang macam kalian ini!" lagi-lagi si pemuda berteriak. "Samurai Merah tak mengijinkan kalian merusak nama kehormatan bangsa!"
Melihat sepak terjang pemuda itu dan mendengar nama sebutan Samurai Merah, para bajak kaget dan ketakutan, Itulah nama pendekar yang amat terkenal kebengisannya terhadap para penjahat. Mereka segera membuang senjata masing-masing, menyambar tubuh teman-teman yang luka atau tewas, lalu berserabutan lari ke perahu masing-masing. Dalam sekejap mata saja bajak-bajak itu sudah berlayar pergi, tidak merampok apa-apa hanya meninggalkan korban-korban di fihak pengawal dan saking bingung dan takutnya mereka tadi lupa bahwa kepala mereka, Tengkorak Hitam masih tertinggal di dalam restoran!
Para pengawal kagum dan berterima kasih kepada pendekar Jepang itu. Akan tetapi berbareng dengan kaburnya para bajak laut, pendekar muda Jepang itu pun lenyap dari situ. Apakah dia ikut dengan perahu-perahu bajak atau tidak, tak seorang pun mengetahui karena tadi keadaannya kacau-balau. Akan tetapi ketika orang-orang ini mendengar adanya pertempuran lain di dalam restoran, segera mereka mendatangi tempat ini dan ternyata mereka menjadi saksi akan pertandingan yang lebih menarik lagi karena lucu sekali. Juga para jagoan pengawal itu diam-diam kaget dan kagum ketika mengenal bahwa yang sedang dipermainkan kakek tua itu bukan lain adalah Tengkorak Hitam, si kepala bajak yang terkenal akan kekejaman, keganasan dan juga kesaktiannya.
Pertempuran di dalam restoran itu memang lucu sekali, terutama bagi para penonton yang kesemuanya membenci si kepala bajak. Tengkorak Hitam seperti seekor cecak terjepit pintu. Kepalanya yang botak menempel pada telapak tangan kakek itu yang diluruskan ke depan. Pukulan dan tendangannya gagal semua tidak mengenai sasaran, malah dia sekarang mulai meringis-ringis dan keluar air mata dari kedua matanya tanpa dia sengaja. Air mata ini keluar saking nyerinya ketika dari telapak tangan itu keluar hawa panas seperti api yang membakar kepalanya yang botak. Akhirnya dia tak tahan lagi, menjerit-jerit dan melolong-lolong minta ampun dengan suaranya yang pelo (cedal), "Ampun, orang tua gagah........... ampun..........."
Song-bun-kwi mendengus. Dia pun tidak suka dijadikan tontonan. "Aku sedang makan kau membikin ribut saja, menyebalkan sekali! Hayo lekas kau ambilkan tambahan arak!" Sekali dia mendorongkan lengannya, kepala bajak itu terlempar ke belakang menabrak bangku. Dengan muka pucat dan tubuh menggigil kepala bajak yang biasanya ditakuti orang ini merangkak bangun, sedangkan Song-bun-kwi dengan tenang duduk kembali ke bangkunya menghadapi meja makan. Dengan kening berkerut dia mengomel panjang pendek,
"Menyebalkan! Makanan ini sudah dingin semua, araknya sudah habis!"
Tiba-tiba para pelayan berdatangan membawakan arak dan masakan-masakan baru. Seperti menyulap saja tukang-tukang masak berlomba membuatkan masakan untuk kakek yang gagah perkasa ini.
Adapun kepala bajak Si Tengkorak Hitam tadi sudah menjadi bulan-bulan kemarahan para penduduk dan para jagoan pengawal. Dia diseret keluar dan digebuki sampai terkencing-kencing dan orang-orang baru menyudahi penyiksaan mereka setelah kepala bajak yang sudah membunuh ribuan itu tak bernapas lagi. Setelah itu barulah ramai-ramai mereka mengubur para korban dan merawat para pengawal yang terluka. Sebentar saja kota pelabuhan itu menjadi ramai lagi seperti biasa. Kali ini memang sepatutnya mereka bergembira karena bukankah bajak laut-bajak laut yang menyerbu itu selain dapat dihancurkan, juga kepalanya dapat ditewaskan? Jarang terjadi hal ini dan patut mereka bergembira.
Song-bun-kwi menoleh ke arah laki-laki yang tadi merupakan orang satu-satunya yang tidak lari dari restoran. Kebetulan laki-laki itu juga memandang kepadanya dan laki-laki itu cepat berdiri membungkuk dengan hormat lalu berkata,
"Saya merasa tunduk dan kagum sekali atas kegagahan locianpwe,"
Song-bun-kwi mengerutkan keningnya yang mulai beruban, lalu dia melambaikan tangan, "Hayo kau ikut makan dengan aku. Biarpun kepandaianmu tidak seberapa, tetapi keberanianmu membikin kau cukup berharga untuk makan bersamaku."
Laki-laki itu tidak merasa tersinggung atau tak senang mendengar kata-kata yang angkuh ini. Cepat dia datang sambil membungkuk bungkuk menyatakan terima kasihnya. Dengan lagak amat sopan dia lalu menarik bangku dan duduk di depan Song-bun-kwi. Menyaksikan sikap merendah-rendah ini diam-diam Song-bun-kwi mendapat kesan tak baik dan menganggap laki-laki ini sikapnya terlalu menjilat jilat. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia lalu menyilahkan laki-laki itu menikmati minuman dan masakan yang sudah disediakan oleh para pelayan yang merasa amat berterima kasih kepada dua orang itu karena sesungguhnya apabila tidak ada dua orang tamu itu, tentu restoran mereka sudah habis dan rusak oleh para bajak.
Akhirnya Song-bun-kwi merasa kenyang juga. Dengan lengan bajunya yang lebar dia mengusapi mulutnya dan tangan kirinya mengelus-elus perut. Laki-laki di depannya itu membungkuk sambil tersenyum dan berkata,
"Locianpwe yang gagah perkasa, saya bernama Teng Cun Le dari kota raja, seorang pelancong biasa. Bolehkah kiranya saya mengetahui nama Locianpwe yang mulia?"
Sebal hati Song-bun-kwi mendengar ini. Dia sudah menyesal dan kecewa mengapa dia tadi mengundang orang ini yang kiranya hanya mendatangkan kesebalan di hatinya dan mengganggu ketenteramannya seorang diri. Dengan gerakan tangan tak sabar dia menjawab, "Aku she Kwee........... sudahlah." Tiba-tiba dia teringat sesuatu dan cepat berkata, "Kau tentu tahu akan semua bajingan di daerah pantai timur ini, bukan?"
Orang itu terkejut, gugup bagaimana harus menjawab. Tapi segera dia dapat menguasai hatinya. "Apakah yang Locian-pwe maksudkan? Kalau yang dimaksudkan bangsat-bangsat cilik tiada nama, tentu saja saya tidak kenal. Akan tetapi tokoh-tokoh besar di pantai timur ini banyak juga yang saya ketahui."
Wajah Song-bun-kwi yang biasanya seperti kedok itu kini membayangkan kegirangan, "Bagus, kalau begitu, hayo lekas kau tunjukkan di mana tempat tinggal si iblis bangkotan Thai-lek-sin Swi Lek Ho-siang?"
"Tentu saja aku tahu, Locianpwe. Akan tetapi pada waktu ini hwesio tua itu tidak berada di kelentengnya. Saya mendengar dari teman teman bahwa dia seringkali berkunjung dan tinggal di tempat lain..........."
"Sayang sekali!" Song-bun-kwi membanting kakinya sehingga tanah dalam rumah makan itu tergetar. Kembali laki-laki yang mengaku bernama Teng Cun Le itu tercengang kagum. "Jauh-jauh kucari iblis bangkotan itu, akan kuajak dia bertanding selama tiga malam, kiranya dia minggat dan kabur! Huh, Thai-lek-sin iblis tua bangka, apakah kau sudah menduga akan kunjunganku ke Sini lalu kabur? Sayang........!" Setelah berkata demikian, Song-bun-kwi bangkit dari bangkunya, kemudian tanpa pamit kepada siapa pun juga meninggalkan restoran itu!
Para pelayan berikut para pengurus semua mengantar sambil membungkuk-bungkuk dan mulut mereka berdendang, "Selamat jalan, pendekar tua yang gagah perkasa!"
Namun Song-bun-kwi tidak memperdulikan mereka dan tidak perduli pula bahwa dia tidak membayar makanan, tidak perduli betapa orang orang memandangnya dengan kagum dan penuh hormat. Dia terus saja melangkah lebar keluar dari restoran, tidak mau tahu biarpun dapat dia melihat betapa laki-laki yang mengajaknya bicara tadi melemparkan beberapa keping uang perak ke atas meja makan dan betapa para pengurus restoran berusaha menolak pembayaran yang royal ini.
Akan tetapi sebal juga hati Song-bun-kwi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Teng Cun Le itu mengejarnya sambil berlari-lari cepat! Setibanya di luar kota pelabuhan itu, Song-bun-kwi membalikkan tubuh, tangannya mendorong dan.......... Teng Cun Le roboh terjungkal! Baiknya Song-bun-kwi yang berwatak aneh itu biarpun marah masih ingat akan kegagahannya ketika melawan para bajak tadi, maka tidak bermaksud mengambil nyawanya. Maka dia hanya merasa terdorong oleh tenaga raksasa sehingga orang itu tidak mampu mempertahankan diri lagi dan roboh. Dengan kaget dan muka pucat Teng Cun Le merangkak bangun karena seketika dia merasa tubuhnya lemas dan kakinya lumpuh. Tahu-tahu kakek itu sudah berdiri di depannya dengan muka merah.
"Cacing busuk! Kau berani mengikuti dan mengganggu aku?" bentak Song-bun-kwi.
Melihat kemarahan kakek itu, Teng Cun Le tidak jadi berdiri, malah terus saja berlutut dan mengangguk-angguk. "Mohon beribu ampun, Locianpwe. Bukan sekali-kali maksud saya untuk mengikuti atau mengganggu Locianpwe, hanya saya amat terdorong oleh rasa kagum........... dan pula, teringat bahwa Locianpwe jauh-jauh datang mencari Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, agaknya saya dapat menunjukkan di mana adanya hwesio itu sekarang ini agaknya..........."
"Hemm, kenapa tidak dari tadi kau bilang? Kalau tadi-tadi kau bilang, aku takkan curiga padamu dan takkan membikin kau roboh. Orang she Teng, mari tunjukkan aku di mana adanya hwesio bangkotan itu dan kau boleh ikut dengan aku menonton pertempuran menarik antara aku dan dia," Song-bun-kwi benar-benar gembira mendengar ada orang bisa mengantar dia kepada Thai-lek-sin. Bagus untungnya, baru saja makan lezat sekenyangnya dan sedikit "berlatih" dengan Tengkorak Hitam bajak Jepang, sekarang akan dapat berkelahi sepuasnya melawan seorang tokoh setingkat!
Teng Cun Le dengan wajah berseri segera bangkit dan berkata gembira, "Wah, kalau Locianpwe hanya hendak mencari lawan tangguh, kiraku kali ini Locianpwe akan mendapat kepuasan. Menurut pendengaran saya, seringkali Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang mengunjungi Pek tiok-lim, tempat tinggal sahabatnya."
"Pek-tiok-lim (Hutan Bambu Putih)? Di mana itu? Tempat tinggal siapa?" Song-bun-kwi mendesak gembira.
"Heran sekali bahwa Locianpwe belum mendengar tentang Pek-tiok-lim! Di sana adalah tempat tinggal seorang tokoh besar yang tidak kalah terkenalnya kalau dibandingkan dengan Thai-lek-sin. Dia itu adalah Sin-kiam-eng (Si Pendekar Pedang Sakti), ilmu pedangnya hebat dan anak perempuannya juga bukan main. Pendeknya, kalau Locianpwe dapat bertanding melawan dia, tentu akan puas betul. Akan tetapi, saya benar-benar merasa ragu-ragu apakah saya akan mampu membawa Locianpwe ke sana."
"Kenapa?" Song-bun-kwi bertanya penasaran hatinya sudah panas mendengar orang ini memuji-muji majikan dari Pek-tiok-lim itu.
"Pek-tiok-lim adalah daerah yang penuh deggan rahasia. Jalan-jalannya amat sukar dan kabarnya, orang yang memasukinya berarti mengantar nyawa karena jangan harap akan dapat keluar kembali dengan nyawa masih di badan." Song-bun-kwi tidak menjawab, tangan kanannya bergerak memukul dan kakinya menyapu, serangan ini dia tujukan kepada sebatang pohcm besar, sebesar tubuh manusia batangnya dan sekali kena dihajar tangan dan kaki kakek itu, terdengar suara keras dan pohon itu seketika tumbang berikut akar-akarnya terjebol dari tanah. Dengan suara hiruk-pikuk luar biasa pohon itu roboh dan orang she Teng itu buru-buru melompat jauh karena khawatir tertimpa cabang-cabang pohon itu.
Sakit, marah, dan malu memenuhi benak Tengkorak Hitam, apalagi ketika dia melihat betapa mulai berdatangan orang menonton. Dia menjadi nekat dan kini hendak menggunakan ilmu pukulan. Dia menerjang lagi dengan tangan terkepal. Tiba-tiba tubuhnya yang merunduk dengan kepala di depan seperti laku seekor domba hendak menanduk ayam, berhenti di tengah jalan, tepat di muka kakek itu. Kepalanya tertahan sesuatu. Matanya melirik dan alangkah marahnya melihat bahwa kakek itulah yang menahan kepalanya dengan telapak tangan. Dia mengumpat caci, kedua tangannya menghantam bergantian, disusul kakinya yang juga mengirim tendangan-tendangan maut.
Akan tetapi, serangan-serangannya mengenai tempat kosong belaka, atau tegasnya, tidak sampai di tubuh si kakek. Seperti diketahui, bajak laut itu tubuhnya pendek, kedua lengannya pun pendek-pendek sekali, demikian pula kedua kakinya. Tentu saja setelah kakek itu yang bertubuh tinggi besar dan berlengan panjang menahan kepalanya dengan lengan diluruskan, semua pukulan dan tendangannya gagal, tidak sampai ke sasarannya.
Terdengar suara ketawa di sana-sini. Bajak itu marah sekali, kini menghantam lengan yang menahan kepalanya. Sia-sia, malah kedua tangannya sakit-sakit seperti menghantam baja layaknya. Tiba-tiba dia merasa betapa telapak tangan yang menahan kepalanya itu menjadi panas sekali. Dia berusaha menarik kepalanya yang botak, namun alangkah kagetnya ketika merasa betapa botaknya itu lengket pada telapak tangan lawan. Dan panasnya tak dapat dia menahannya lebih lama, seakan-akan botaknya ditempel arang merah! Dia mulai mengerling ke luar restoran dan tanpa malu-malu lagi mulutnya berteriak-teriak memanggil anak buahnya supaya membantunya melawan kakek yang aneh ini. Akan tetapi, begitu matanya mengerling ke luar, seketika wajahnya pucat. Apa yang dilihatnya? Anak buahnya sudah tidak kelihatan batang hidungnya seorang pun, malah sebuah perahunya pun tidak tampak lagi. Pantas saja banyak orang berdatangan menonton pertunjukkan di dalam restoran, kiranya sekarang di luar restoran sudah tidak ada bajak laut lagi!
Apakah sebetulnya yang telah terjadi di luar restoran? Seperti telah kita ketahui, pada saat kepala bajak itu beraksi di depan Song-bun-kwi, para bajak laut itu sedang bertempur menyerbu para jagoan pengawal yang melawan mati-matian. Namun karena kalah banyak jumlahnya, para pengawal itu kena desak dan mulai mundur tak teratur. Mulai banyaklah berjatuhan korban di kedua fihak, terutama sekali di fihak para pengawal.
Pada saat itu, terdengar bentakan mengguntur, disusul suara nyaring, "Keparat jahanam! Beginikah perbuatan kalian di sini? Dari rumah mengaku berdagang kiranya melakukan perampokan. Bajak-bajak keparat, membikin malu saja kalian ini. Hayo pergi!"
Yang membentak ini adalah seorang laki-laki muda yang bertubuh tegap kokoh kuat, wajahnya membayangkan kegagahan, bajunya tipis terbayang dadanya yang bidang. Rambutnya hitam panjang dan gemuk, digelung ke atas dengan model yang asing, dijepit di bagian atas dengan hiasan rambut perak. Sebatang pedang yang panjang sekali dan bentuknya agak melengkung tergantung di pinggang. Pedang ini sarung dan gagangnya berukir kembang-kembang indah, merah warnanya, dengan ronce-ronce merah pula, gagangnya agak panjang.
Para bajak laut kaget mendengar suara bangsanya sendiri, karena pemuda itu tadi menggunakan bahasa Jepang. Ketika menengok, mereka lebih kaget lagi karena dari dandanan, sikap, dan pedang pemuda itu, mudah diterka bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar Samurai, yaitu golongan pendekar pedang yang amat terkenal di Jepang.
Akan tetapi karena pendekar itu masih amat muda, paling banyak dua puluh tahun usianya, apalagi karena bajak laut itu mengandalkan banyak teman dan bukan berada di daratan sendiri, mereka tidak takut.
"Berhenti dan pulang semua kataku!" Pendekar Samurai muda itu berseru lagi, suaranya benar-benar nyaring dan wibawa.
Ketika para bajak itu tidak memperdulikannya, tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangan, sinar kemerahan berkelebat-kelebat menyambar bagaikan kilat di musim hujan. Terdengar pekik dan jerit di sana-sini dan di mana sinar kemerahan itu tiba, tentu ada bajak yang roboh dengan senjata mereka terlempar atau patah!
"Hayo siapa tidak menurut, akan kubasmi di sini juga. Memalukan orang-orang macam kalian ini!" lagi-lagi si pemuda berteriak. "Samurai Merah tak mengijinkan kalian merusak nama kehormatan bangsa!"
Melihat sepak terjang pemuda itu dan mendengar nama sebutan Samurai Merah, para bajak kaget dan ketakutan, Itulah nama pendekar yang amat terkenal kebengisannya terhadap para penjahat. Mereka segera membuang senjata masing-masing, menyambar tubuh teman-teman yang luka atau tewas, lalu berserabutan lari ke perahu masing-masing. Dalam sekejap mata saja bajak-bajak itu sudah berlayar pergi, tidak merampok apa-apa hanya meninggalkan korban-korban di fihak pengawal dan saking bingung dan takutnya mereka tadi lupa bahwa kepala mereka, Tengkorak Hitam masih tertinggal di dalam restoran!
Para pengawal kagum dan berterima kasih kepada pendekar Jepang itu. Akan tetapi berbareng dengan kaburnya para bajak laut, pendekar muda Jepang itu pun lenyap dari situ. Apakah dia ikut dengan perahu-perahu bajak atau tidak, tak seorang pun mengetahui karena tadi keadaannya kacau-balau. Akan tetapi ketika orang-orang ini mendengar adanya pertempuran lain di dalam restoran, segera mereka mendatangi tempat ini dan ternyata mereka menjadi saksi akan pertandingan yang lebih menarik lagi karena lucu sekali. Juga para jagoan pengawal itu diam-diam kaget dan kagum ketika mengenal bahwa yang sedang dipermainkan kakek tua itu bukan lain adalah Tengkorak Hitam, si kepala bajak yang terkenal akan kekejaman, keganasan dan juga kesaktiannya.
Pertempuran di dalam restoran itu memang lucu sekali, terutama bagi para penonton yang kesemuanya membenci si kepala bajak. Tengkorak Hitam seperti seekor cecak terjepit pintu. Kepalanya yang botak menempel pada telapak tangan kakek itu yang diluruskan ke depan. Pukulan dan tendangannya gagal semua tidak mengenai sasaran, malah dia sekarang mulai meringis-ringis dan keluar air mata dari kedua matanya tanpa dia sengaja. Air mata ini keluar saking nyerinya ketika dari telapak tangan itu keluar hawa panas seperti api yang membakar kepalanya yang botak. Akhirnya dia tak tahan lagi, menjerit-jerit dan melolong-lolong minta ampun dengan suaranya yang pelo (cedal), "Ampun, orang tua gagah........... ampun..........."
Song-bun-kwi mendengus. Dia pun tidak suka dijadikan tontonan. "Aku sedang makan kau membikin ribut saja, menyebalkan sekali! Hayo lekas kau ambilkan tambahan arak!" Sekali dia mendorongkan lengannya, kepala bajak itu terlempar ke belakang menabrak bangku. Dengan muka pucat dan tubuh menggigil kepala bajak yang biasanya ditakuti orang ini merangkak bangun, sedangkan Song-bun-kwi dengan tenang duduk kembali ke bangkunya menghadapi meja makan. Dengan kening berkerut dia mengomel panjang pendek,
"Menyebalkan! Makanan ini sudah dingin semua, araknya sudah habis!"
Tiba-tiba para pelayan berdatangan membawakan arak dan masakan-masakan baru. Seperti menyulap saja tukang-tukang masak berlomba membuatkan masakan untuk kakek yang gagah perkasa ini.
Adapun kepala bajak Si Tengkorak Hitam tadi sudah menjadi bulan-bulan kemarahan para penduduk dan para jagoan pengawal. Dia diseret keluar dan digebuki sampai terkencing-kencing dan orang-orang baru menyudahi penyiksaan mereka setelah kepala bajak yang sudah membunuh ribuan itu tak bernapas lagi. Setelah itu barulah ramai-ramai mereka mengubur para korban dan merawat para pengawal yang terluka. Sebentar saja kota pelabuhan itu menjadi ramai lagi seperti biasa. Kali ini memang sepatutnya mereka bergembira karena bukankah bajak laut-bajak laut yang menyerbu itu selain dapat dihancurkan, juga kepalanya dapat ditewaskan? Jarang terjadi hal ini dan patut mereka bergembira.
Song-bun-kwi menoleh ke arah laki-laki yang tadi merupakan orang satu-satunya yang tidak lari dari restoran. Kebetulan laki-laki itu juga memandang kepadanya dan laki-laki itu cepat berdiri membungkuk dengan hormat lalu berkata,
"Saya merasa tunduk dan kagum sekali atas kegagahan locianpwe,"
Song-bun-kwi mengerutkan keningnya yang mulai beruban, lalu dia melambaikan tangan, "Hayo kau ikut makan dengan aku. Biarpun kepandaianmu tidak seberapa, tetapi keberanianmu membikin kau cukup berharga untuk makan bersamaku."
Laki-laki itu tidak merasa tersinggung atau tak senang mendengar kata-kata yang angkuh ini. Cepat dia datang sambil membungkuk bungkuk menyatakan terima kasihnya. Dengan lagak amat sopan dia lalu menarik bangku dan duduk di depan Song-bun-kwi. Menyaksikan sikap merendah-rendah ini diam-diam Song-bun-kwi mendapat kesan tak baik dan menganggap laki-laki ini sikapnya terlalu menjilat jilat. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia lalu menyilahkan laki-laki itu menikmati minuman dan masakan yang sudah disediakan oleh para pelayan yang merasa amat berterima kasih kepada dua orang itu karena sesungguhnya apabila tidak ada dua orang tamu itu, tentu restoran mereka sudah habis dan rusak oleh para bajak.
Akhirnya Song-bun-kwi merasa kenyang juga. Dengan lengan bajunya yang lebar dia mengusapi mulutnya dan tangan kirinya mengelus-elus perut. Laki-laki di depannya itu membungkuk sambil tersenyum dan berkata,
"Locianpwe yang gagah perkasa, saya bernama Teng Cun Le dari kota raja, seorang pelancong biasa. Bolehkah kiranya saya mengetahui nama Locianpwe yang mulia?"
Sebal hati Song-bun-kwi mendengar ini. Dia sudah menyesal dan kecewa mengapa dia tadi mengundang orang ini yang kiranya hanya mendatangkan kesebalan di hatinya dan mengganggu ketenteramannya seorang diri. Dengan gerakan tangan tak sabar dia menjawab, "Aku she Kwee........... sudahlah." Tiba-tiba dia teringat sesuatu dan cepat berkata, "Kau tentu tahu akan semua bajingan di daerah pantai timur ini, bukan?"
Orang itu terkejut, gugup bagaimana harus menjawab. Tapi segera dia dapat menguasai hatinya. "Apakah yang Locian-pwe maksudkan? Kalau yang dimaksudkan bangsat-bangsat cilik tiada nama, tentu saja saya tidak kenal. Akan tetapi tokoh-tokoh besar di pantai timur ini banyak juga yang saya ketahui."
Wajah Song-bun-kwi yang biasanya seperti kedok itu kini membayangkan kegirangan, "Bagus, kalau begitu, hayo lekas kau tunjukkan di mana tempat tinggal si iblis bangkotan Thai-lek-sin Swi Lek Ho-siang?"
"Tentu saja aku tahu, Locianpwe. Akan tetapi pada waktu ini hwesio tua itu tidak berada di kelentengnya. Saya mendengar dari teman teman bahwa dia seringkali berkunjung dan tinggal di tempat lain..........."
"Sayang sekali!" Song-bun-kwi membanting kakinya sehingga tanah dalam rumah makan itu tergetar. Kembali laki-laki yang mengaku bernama Teng Cun Le itu tercengang kagum. "Jauh-jauh kucari iblis bangkotan itu, akan kuajak dia bertanding selama tiga malam, kiranya dia minggat dan kabur! Huh, Thai-lek-sin iblis tua bangka, apakah kau sudah menduga akan kunjunganku ke Sini lalu kabur? Sayang........!" Setelah berkata demikian, Song-bun-kwi bangkit dari bangkunya, kemudian tanpa pamit kepada siapa pun juga meninggalkan restoran itu!
Para pelayan berikut para pengurus semua mengantar sambil membungkuk-bungkuk dan mulut mereka berdendang, "Selamat jalan, pendekar tua yang gagah perkasa!"
Namun Song-bun-kwi tidak memperdulikan mereka dan tidak perduli pula bahwa dia tidak membayar makanan, tidak perduli betapa orang orang memandangnya dengan kagum dan penuh hormat. Dia terus saja melangkah lebar keluar dari restoran, tidak mau tahu biarpun dapat dia melihat betapa laki-laki yang mengajaknya bicara tadi melemparkan beberapa keping uang perak ke atas meja makan dan betapa para pengurus restoran berusaha menolak pembayaran yang royal ini.
Akan tetapi sebal juga hati Song-bun-kwi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Teng Cun Le itu mengejarnya sambil berlari-lari cepat! Setibanya di luar kota pelabuhan itu, Song-bun-kwi membalikkan tubuh, tangannya mendorong dan.......... Teng Cun Le roboh terjungkal! Baiknya Song-bun-kwi yang berwatak aneh itu biarpun marah masih ingat akan kegagahannya ketika melawan para bajak tadi, maka tidak bermaksud mengambil nyawanya. Maka dia hanya merasa terdorong oleh tenaga raksasa sehingga orang itu tidak mampu mempertahankan diri lagi dan roboh. Dengan kaget dan muka pucat Teng Cun Le merangkak bangun karena seketika dia merasa tubuhnya lemas dan kakinya lumpuh. Tahu-tahu kakek itu sudah berdiri di depannya dengan muka merah.
"Cacing busuk! Kau berani mengikuti dan mengganggu aku?" bentak Song-bun-kwi.
Melihat kemarahan kakek itu, Teng Cun Le tidak jadi berdiri, malah terus saja berlutut dan mengangguk-angguk. "Mohon beribu ampun, Locianpwe. Bukan sekali-kali maksud saya untuk mengikuti atau mengganggu Locianpwe, hanya saya amat terdorong oleh rasa kagum........... dan pula, teringat bahwa Locianpwe jauh-jauh datang mencari Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, agaknya saya dapat menunjukkan di mana adanya hwesio itu sekarang ini agaknya..........."
"Hemm, kenapa tidak dari tadi kau bilang? Kalau tadi-tadi kau bilang, aku takkan curiga padamu dan takkan membikin kau roboh. Orang she Teng, mari tunjukkan aku di mana adanya hwesio bangkotan itu dan kau boleh ikut dengan aku menonton pertempuran menarik antara aku dan dia," Song-bun-kwi benar-benar gembira mendengar ada orang bisa mengantar dia kepada Thai-lek-sin. Bagus untungnya, baru saja makan lezat sekenyangnya dan sedikit "berlatih" dengan Tengkorak Hitam bajak Jepang, sekarang akan dapat berkelahi sepuasnya melawan seorang tokoh setingkat!
Teng Cun Le dengan wajah berseri segera bangkit dan berkata gembira, "Wah, kalau Locianpwe hanya hendak mencari lawan tangguh, kiraku kali ini Locianpwe akan mendapat kepuasan. Menurut pendengaran saya, seringkali Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang mengunjungi Pek tiok-lim, tempat tinggal sahabatnya."
"Pek-tiok-lim (Hutan Bambu Putih)? Di mana itu? Tempat tinggal siapa?" Song-bun-kwi mendesak gembira.
"Heran sekali bahwa Locianpwe belum mendengar tentang Pek-tiok-lim! Di sana adalah tempat tinggal seorang tokoh besar yang tidak kalah terkenalnya kalau dibandingkan dengan Thai-lek-sin. Dia itu adalah Sin-kiam-eng (Si Pendekar Pedang Sakti), ilmu pedangnya hebat dan anak perempuannya juga bukan main. Pendeknya, kalau Locianpwe dapat bertanding melawan dia, tentu akan puas betul. Akan tetapi, saya benar-benar merasa ragu-ragu apakah saya akan mampu membawa Locianpwe ke sana."
"Kenapa?" Song-bun-kwi bertanya penasaran hatinya sudah panas mendengar orang ini memuji-muji majikan dari Pek-tiok-lim itu.
"Pek-tiok-lim adalah daerah yang penuh deggan rahasia. Jalan-jalannya amat sukar dan kabarnya, orang yang memasukinya berarti mengantar nyawa karena jangan harap akan dapat keluar kembali dengan nyawa masih di badan." Song-bun-kwi tidak menjawab, tangan kanannya bergerak memukul dan kakinya menyapu, serangan ini dia tujukan kepada sebatang pohcm besar, sebesar tubuh manusia batangnya dan sekali kena dihajar tangan dan kaki kakek itu, terdengar suara keras dan pohon itu seketika tumbang berikut akar-akarnya terjebol dari tanah. Dengan suara hiruk-pikuk luar biasa pohon itu roboh dan orang she Teng itu buru-buru melompat jauh karena khawatir tertimpa cabang-cabang pohon itu.
Comments