Skip to main content

Pendekar Buta 21 -> karya : kho ping hoo

Kehadiran kakek ini menarik perhatian orang. Betapa tidak. Seorang kakek yang usianya kurang lebih tujuh puluh tahun, rambutnya jarang-jarang dan pendek setengah gundul, kumis dan jenggot pendek-pendek pula dan kaku, sebagian besar sudah putih. Pantasnya kepala seperti ini dimiliki seorang pendeta, akan tetapi pakaiannya sama sekali bukan pakaian pendeta. Pakaian yang membungkus tubuh tinggi besar kokoh kuat itu adalah pakaian petani yang kumal dan longgar, lengan bajunya lebar sekali seperti lengan baju tukang-tukang main sulap yang menyembunyikan benda-benda di dalamnya.

"Heee, pelayan!" suaranya menggeledek dan menggetarkan ruangan restoran itu. "Bawa ke sini cepat seguci besar arak baik, tiga kati mi, dua kati daging babi panggang dan tiga empat macam masakanmu yang paling terkenal. Lekas kataku, perutku lapar nih!" Sambil menarik napas panjang dengan nikmat kakek ini menjatuhkan diri ke atas sebuah bangku yang mengeluarkan bunyi mengenaskan karena hampir tidak kuat menadahi tubuhnya yang besar dan berat itu, lalu jari-jari tangan kanannya mengetruk-ngetruk meja di depannya sampai meja itu bergoyang-goyang.

Semua tamu yang duduk di situ menoleh dan memandang heran. Di mana di dunia ini ada orang yang begitu gembul? Tiga kati mi ditambah dua kati daging dan tiga macam masakan, masih didorong masuk oleh seguci besar arak, bukankah itu jumlahnya lebih sepuluh kati? Perut manusia biasa mana kuat dimasuki sepuluh kati makanan sekaligus? Juga pelayan-pelayan saling pandang, tidak ada yang menyanggupi karena mereka ragu-ragu. Selain aneh, juga harga masakan-masakan yang dipesan itu bukanlah sedikit uangnya!

Kakek itu merasa juga akan keraguan Muka pelayan ini. Dia menggereng dan tangannya menekan meja di depannya yang tiba-tiba, ambles ke bumi sampai setengahnya lebih! "Heh, pelayan-pelayan. Kalian ini manusia-manusia ataukah patung? Kalau patung tunggu kublesekkan kalian ke dalam tanah seperti meja ini!"

Kagetlah semua orang, kaget dan jerih. Juga para pelayan berseliweran dan separuh lari menyediakan pesanan kakek itu. Mereka tidak perduli lagi apakah kakek itu nanti bisa bayar atau tidak, itu urusan pengurus restoran. Paling perlu cepat-cepat sediakan pesanannya agar mereka selamat! Dengan senyum-senyum manis dibuat-buat sehingga senyum itu pringas-pringis mengandung takut, para pelayan berantri mengantarkan makanan-makanan yang dipesan Song-bun-kwi dan mengaturnya di atas meja yang rendah itu. Begitu selesai mereka terbirit-birit menjauhkan diri. Juga para tamu yang nyalinya kurang besar, cepat-cepat menghabiskan makanan, membayar dan meninggalkan tempat di mana terdapat kakek yang menyeramkan itu. Akan tetapi yang nyalinya besar, malah menjadi girang dan diam-diam ingin menyaksikan perkembangan lebih lanjut dan menikmati keanehan yang jarang mereka lihat. Di antara mereka itu terdapat seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang duduk seorang diri di sudut restoran, laki-laki yang bermata tajam berhidung betet berpakaian mentereng.

Mencium bau arak dari sebuah guci besar yang berada di atas sebuah meja di depannya, sepasang mata Song-bun-kui bersinar-sinar. Dia sudah amat rindu melihat arak, kini begitu bertemu dia segera menyambar guci, mengangkatnya ke atas dan terdengarlah suara bergelogok seperti suara air pancuran jatuh dikolam. Tak setetes pun terbuang. Setelah agak lama mulut-mulut orang yang menyaksikan ini melongo, baru Song-bun-kwi meletakkan guci itu kembali ke atas meja dan setengah isinya sudah ia pindah ke dalam perutnya. Tanpa memperdulikan mata orang-orang yang berada di situ, dia menyambar sumpitnya dan segera menyikat masakan-masakan di depannya. Seperti mesin saja sumpit-sumpitnya bergerak, seperti disulap, mi, daging dan masakan-masakan itu terbang ke dalam mulutnya, dikunyah sebentar lalu masuk ke dalam lubang di kerongkongannya. Kadang-kadang masakan itu menyesakkan kerongkongan karena terlalu dijejal, dan terpaksa harus didorong arak menggelogok.

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar disusul orang lari berserabutan ke sana ke mari. Ramai orang berteriak-teriak, "Bajak laut............! Bajak laut!"
Di dalam restoran itu sendiri terjadi keributan luar biasa. Para tamu lari ke luar berserabutan, pelayan-pelayan lari pula sambil membawa barang-barang yang dianggap berharga, pengurus restoran membawa lari uang. Semua lari berserabutan meninggalkan tempat itu. Nelayan-nelayan, pedagang-pedagang dan mereka yang merasa mempunyai barang berharga cepat-cepat lari meninggalkan tempat itu. Hanya mereka yang merasa tidak mempunyai apa-apa, tidak lari, hanya bersembunyi dengan muka pucat ketakutan.

Sejenak Song-bung-kwi menengok, lalu makan terus tanpa memperdulikan kegaduhan di sekelilingnya. Restoran itu sekarang kosong kecuali orang laki-laki yang berpakaian mentereng tadi. Tapi laki-laki ini pun nampak tegang dan beberapa kali meraba gagang golok yang tersembunyi di balik jubah panjangnya. Matanya memandang ke luar, ke arah laut. Dengan kecepatan luar biasa, beberapa buah perahu kecil runcing berlayar ke pantai. Perahu-perahu ini agaknya diturunkan dari sebuah perahu besar yang berlabuh beberapa li dari pantai dan di setiap kepala perahu kecil ini berkibar bendera putih dengan gambar tengkorak hitam. Itulah perahu-perahu bajak laut yang datang menyerbu kota pelabuhan ini. Jumlah perahu kecil ada sembilan buah, masing-masing ditumpangi lima orang anak buah bajak. Seorang laki-laki gemuk pendek berdiri di kepala perahu terdepan, tangannya memegang sebatang pedang yang besar dan panjang, pedang bengkok model Jepang.

"Bajak laut Jepang...........!"

"Si Tengkorak Hitam..........,!" Demikian telinga Song-bun-kwi mendengar teriakan mereka yang lari ketakutan. Namun dia pura-pura tidak mendengar dan makan terus.

Para pedagang besar yang membawa banyak barang dagangan dan dikawal oleh jagoan-jagoan pengawal, sibuk mengumpulkan jagoan-jagoannya untuk melindungi barang mereka. Hanya pengawal-pengawal yang merasa dirinya berkepandaian dan mempunyai banyak teman, sedikitnya belasan orang anak buah saja yang berani menjaga barang yang dipercayakan mereka.

Begitu bajak-bajak itu mendarat, terdengar teriakan-teriakan mereka yang menyeramkan. Golok dan pedang mereka angkat tinggi-tinggi dan dengan pekik dan sorak-sorai, para bajak ini menyerbu ke darat. Segera terjadi pertempuran dengan para jagoan pengawal yang jumlahnya semua tidak kurang dari tiga puluh orang. Hiruk-pikuk suara yang bertempur, bunyi senjata tajam beradu mendencing dencing, pekik kesakitan dan sorak kemenangan mulai terdengar bersama muncratnya darah dan robohnya tubuh manusia.

Lima orang anak buah bajak lari ke dalam restoran besar. Mereka berteriak-teriak girang karena membayangkan pesta pora. Alangkah heran hati mereka ketika melihat betapa di dalam restoran besar itu terdapat dua orang tamu yang masih belum pergi. Seorang kakek gundul berusia lanjut enak-enakan saja makan, sedikit pun tidak melirik kepada lima orang bajak yang memasuki restoran. Malah ketika seorang bajak memekik-mekik sambil menendang meja sampai terguling, dia malah mengangkat guci araknya dan minum seenaknya. Orang ke dua adalah laki-laki berpakaian mewah yang duduk tenang-tenang saja, dengan tangan di gagang goloknya.

Para bajak itu memang sudah terlalu lama berada di lautan dan kini melihat kakek itu makan minum, mereka menjadi mengilar. Maka berebutanlah empat orang lari menghampiri Song-bun-kwi, sedangkan seorang di antara mereka tertarik akan pakaian mewah laki-laki yang duduk di pojok, maka dia lari kepada orang itu.

Sambil mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak dimengerti oleh Song-bun-kwi, empat orang bajak itu menyerbu, ada yang menghantam kepala gundul kakek itu, ada yang membacok lehernya dengan golok, ada pula yang menyambar guci arak untuk merampasnya.

Kesudahannya hebat sekali. Kakek itu tanpa menoleh barang sedikit, menggerakkan tangan yang memegang sumpit, perlahan saja tapi cepat seperti kilat menyambar. Empat orang bajak seketika seperti orang terlongong, lalu membalikkan tubuh dan berjalan terhuyung- huyung ke pintu restoran, mulut mereka bergerak-gerak hendak memekik akan tetapi yang keluar hanya suara mengorok seperti babi disembelih! Dan sebelum mereka tiba di tempat teman-teman mereka di luar, robohlah mereka, terkulai satu-satu, dan hampir berbareng mereka mengeluarkan suara jeritan ngeri!

Kepala bajak yang gemuk pendek itu hebat sekali. Pedangnya yang panjang dan bengkok menyambar-nyambar dan banyaklah jagoan pengawal roboh dengan leher putus atau dada robek oleh pedangnya. Akan tetapi selagi enak dia mengamuk, seorang temannya berteriak sambil menuding ke arah empat orang anak buah yang roboh tanpa diserang lawan itu. Si kepala bajak sekali melompat sudah tiba di situ. Dengan kaki kirinya dia membalik- balikkan tubuh empat orang anak buahnya dan........... ternyata mereka telah putus nyawanya dengan mata mendelik, mulut berdarah sedangkan leher mereka nampak bolong sebesar jari tangan! Mata kepala bajak itu menjadi merah saking marahnya. Dia juga heran karena tidak melihat lawan di dekat empat orang anak buahnya ini. Matanya lalu mencari- cari dan terlihatlah olehnya cucuran-cucuran darah merah yang tercecer sepanjang jalan dari tempat itu ke pintu restoran. Dilihatnya seorang kakek duduk di dalam restoran dan tampak pula seorang anak buahnya tengah bertempur dengan seorang laki-laki yang mainkan golok. Jelas bahwa anak buahnya itu terdesak hebat.

Sambil memekik dengan suara yang keluar dari dasar perut, kepala bajak berjuluk Tengkorak Hitam ini lalu berlari, pedangnya teracung ke depan, mulutnya memekik panjang "Yaaaaaaa!!!" Dua orang jagoan pengawal mengira bahwa kepala bajak itu hendak menerjang mereka, berbareng dua orang ini memapakinya dengan pedang mereka. Akan tetapi bukan main hebatnya kepala bajak ini. Tanpa menghentikan larinya ke arah restoran, pedang panjangnya berkelebat dan........... dua orang jagoan pengawal itu rebah dengan perut robek dan isi perutnya berantakan ke luar! Si kepala bajak terus berlari tanpa menghentikan pekiknya yang panjang menyeramkan itu.Akan tetapi begitu sampai di ambang pintu restoran, tiba-tiha dari dalam ada bayangan menubruknya. Si Tengkorak Hitam yang baru saja berhenti memekik panjang, kini membentak, "Yaaatt" dan pedangnya yang bengkok panjang itu bergerak ke depan berkelebat menyilaukan mata.

"Craaaatttt!" Pedang yang amat tajam itu membabat pinggang bayangan itu yang........... putus menjadi dua. Darah menyembur-nyembur mengerikan dibarengi suara terbahak- bahak si kepala bajak yang tertawa girang. Tiba-tiba suara ketawanya berhenti ketika dia mendengar suara mendengus penuh ejekan di dalam restoran. Ketika dia menundukkan muka memandang, tiba-tiba muka Tengkorak Hitam menjadi pucat. Kiranya bayangan yang dibacoknya putus menjadi dua tadi adalah anak buahnya sendiri yang agaknya telah dilemparkan lawan.

Dia mengarahkan pandang matanya yang berapi-api ke dalam restoran. Kakek itu masih duduk makan minum sedangkan laki-laki bergolok yang tadi bertempur melawan anak buahnya sekarang berdiri dengan golok melintang di depan dada. Tengkorak Hitam tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekali lagi dia memekik panjang dan lari menyerbu ke dalam restoran, langsung menerjang si pemegang golok. Biasanya, tiap sabetan pedangnya tak pernah gagal, kalau tidak merobohkan lawan, sedikitnya melukai atau mematahkan senjatanya. Akan tetapi sekali ini dia salah duga. Pedangnya bertemu dengan sebuah golok yang kuat dan terdengar suara berdencing nyaring dibarengi muncratnya bunga api berhamburan. Cepat kedua lawan ini menarik senjata masing-masing, memeriksa sebentar. Lega mendapat kenyataan bahwa senjata masing-masing tidak rusak.

Tengkorak Hitam lagi-lagi menerjang, kini gerakannya lebih kuat dan cepat sekali, pedangnya berkelebat tanpa berhenti, membobat babit dari kanan kembali ke kiri, dari atas ke bawah seperti seorang akrobat mainkan dua obor api. Laki-laki bergolok itu beberapa kali mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja pertahanannya bobol, namun dia melawan sedapat mungkin dengan permainan goloknya.

Song-bun-kwi tidak perdulikan itu semua, masih saja makan minum. Melirik pun tidak dia. Akan tetapi ketika araknya habis, dia melingukan ke sana ke mari, lalu mulutnya mendamprat, "Pelayan keparat! Ke mana kalian? Hayo tambah lagi arak seguci penuh!"

Tentu saja tidak ada setan yang menjawabnya karena semua pelayan sudah melarikan diri jauh dari tempat itu. Song-bun-kwi marah marah, digebraknya meja sampai mangkok-mangkok yang kosong bergulingan. "Pelayan ke mana kalian pergi?"

Tiba-tiba si pemegang golok yang menjawab, "Lo-cianpwe, semua pelayan lari ketakutan karena bajak ini!"

Baru sekarang Song-bun-kwi menengok dan melihat pertempuran itu. Dia melihat seorang laki-laki pendek gemuk berkepala botak kelimis tapi di sebelah pinggir dan belakang berambut gemuk hitam. Laki-laki pendek gemuk ini tidak berbaju, hanya bercelana panjang yang komprang (kebesaran). Tubuhnya kelihatan kuat sekali, dan permainan pedangnya aneh bukan main, namun tak boleh dibilang lemah. Si pemegang golok yang sepintas lalu dapat dinilai oleh Song-bun-kwi permainannya sebagai ilmu golok selatan yang tidak lemah, agaknya tidak kuat menandingi ilmu pedang aneh bajak pendek itu. Timbul kemarahan Song-bun-kwi kepada bajak itu. Benar-benar tidak memandang mata kepadanya. Sedang enak-enak makan berani datang mengacau sampai semua pelayan lari. Dengan langkah lebar dia menghampiri tempat pertempuran.

"Heh, babi buntung! Berani kau membikin kacau sampai semua pelayan pergi, ya? Hayo kau gantikan pekerjaan mereka, layani aku baik -baik!"

Si pemegang golok yang melihat cara Song-bun-kwi tadi mengalahkan empat orang bajak, dapat mengerti bahwa kakek itu adalah seorang sakti, maka sekarang melihat kakek itu mau turun tangan, dia pun cepat memutar goloknya lalu melompat ke samping menjauhi kepala bajak yang lihai. Tengkorak Hitam kaget mendengar bentakan Song-bun-kwi. Agaknya dia sudah sering kali menjelajah pantai timur ini sehingga dia mengerti juga bahasa daerah itu. Dengan kaku dia membentak sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi,

"Iblis tua bangka, kau memaki siapa?"

"Memaki kau, siapa lagi? Hayo lekas ambilkan arak seguci!" Song-bun-kwi membentak.

Bukan main marahnya Tengkorak Hitam. Dia adalah seorang kepala bajak yang sudah terkenal. Hanya di seberang sini saja dia menjadi kepala bajak, kalau sudah pulang ke seberang sana membawa barang-barang rampasan, dia adalah seorang yang memiliki gedung indah, dihormati semua orang. Sekarang dia dihina oleh seorang tua bangka, padahal biasanya di seberang sana dia amat ditakuti orang, tentu saja dia marah sekali. Pedangnya diobat-abitkan ke atas kepala, kata-katanya tidak jelas tercampur bahasa Jepang, "Bakeiroo...........! Kau mau mampus, ya?"

Pedang itu menyambar ke arah leher Song-bun-kwi, agaknya dengan sekali tebas Si Tengkorak Hitam hendak menjadikan kakek itu setan tanpa kepala. Song-bun-kwi mendengus sambil bangkit berdiri, tangan kirinya membabat dari samping memapaki pedang.

"Krekkk!" Pedang itu patah-patah menjadi tiga potong saking hebatnya gempuran tangan kakek ini. Si kepala bajak seketika pucat, terbelalak memandang pedang yang tinggal gagangnya saja itu. Namun dia seorang bajak laut yang buas dan tak kenal takut. Sambil menyumpah-nyumpah dia membanting gagang pedangnya dan segera kaki tangannya bergerak-gerak mempergunakan ilmu gulat yang amat dia andalkan. Jari-jari tangannya terbuka seperti cengkeraman, siap untuk menangkap lawan dan diangkat serta dibantingkan. Biasanya tak pernah dia gagal dalam membantingkan lawan mempergunakan ilmu ini. Malah lawan yang jauh lebih muda dan lebih tinggi besar daripada kakek itu pernah dia permainkan, dia banting-banting seperti penatu membanting cuciannya.

Song-bun-kwi tidak mengenal ilmu berkelahi semacam ini, namun melihat kuda-kuda yang diberatkan ke bawah dan melihat kedua tangan yang siap mencengkeram, dia dapat menduga bahwa ilmu ini tentulah semacam Ilmu Kim-na-chiu, ilmu tangkap atau ilmu gulat. Dia terkekeh lalu mengulurkan tangan kirinya, sengaja dia berikan untuk ditangkap lawan! Seorang ahli silat tentu akan ragu-ragu dan tidak berani menerima umpan selunak ini. Akan tetapi Tengkorak Hitam agaknya tidak mengenal istilah umpan dalam ilmunya berkelahi, atau memang dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sehingga umpan itu dia caplok mentah-mentah. Cepat laksana bintang jatuh dia menerkam maju dan di lain saat lengan kiri Song-bun-kwi sudah ditangkapnya, diputar dengan gaya selicin belut, tubuhnya menyelinap dan membalik sehingga kedudukan lengan Song-bun-kwi terbalik dan dilandaskan di atas pundaknya, kemudian dia mengerahkan tenaga dari perut sambil memekik keras, menggentak lengan kiri kakek itu dengan gaya melemparkan tubuh si kakek ke atas melewati punggung dan pundaknya.

Tubuh itu terlempar ke atas sampai membentur langit-langit rumah lalu jatuh menimpa meja makan yang belum keburu dibereskan sehingga kuah masakan dalam mangkok memercik ke atas menyiram muka orang yang jatuh itu. Tapi bukan tubuh Song-bun-kwi yang terlempar, melainkan tubuh Tengkorak Hitam sendiri! Kepala bajak ini gelagapan, cepat menyusuti mukanya, terengah-engah meloncat turun dari kursi, kepalanya digoyang-goyang keras seperti laku seekor anjing habis kecemplung kolam, matanya terbeliak memandang kakek itu seakan-akan dia tidak percaya bahwa yang baru saja dia alami bukanlah mimpi buruk.

Sambil menahan rasa nyeri di seluruh tubuhnya kembali dia menggereng dan menubruk. Kaki ini dia menangkap kaki Song-bun-kwi. Kakek itu hanya berdiri dan tunduk memandang orang pendek yang nekat itu. Tengkorak Hitam berkutetan, mengerahkan tenaga untuk mengangkat kaki itu agar dia mendapat peluang untuk melontarkan si kakek. Namun kaki itu tak bergeming sedikit pun juga. Sampai payah dia mengerahkan semua tenaga perut, ah-uh-ah-uh mulutnya terengah-engah. Mendadak kaki itu terangkat sedikit. Girang hatinya. Mampus kau sekarang tua bangka, pikirnya. Tubuhnya menyelinap ke bawah selakang kakek itu, kaki itu di pundaknya dan kini dia mengerahkan seluruh tenaganya sambil menggentak.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed