Skip to main content

Pendekar Buta 17 -> karya : kho ping hoo

Kakek itu kini menggunakan pinggir telapak tangan menangkis dua kali.

"Krekki! Krek!!" Tubuh dua orang saudara Kam terpental dan lengan tangan mereka patah-patah oleh tangkisan yang mengandung pukulan ini.

"Ha-ha-ha, bocah-bocah macam kalian mana mampu melawan Song-bun-kwi?" Kakek itu tertawa bergelak.

Kam Bok dan Kam Siok menggigit bibir menahan sakit lalu bangun berdiri dengan muka pucat.

"Hwesio jahat, kau bukan Song-bun-kwi......!!" bentak Kam Bok yang sudah pernah mendengar bahwa Song-bun-kwi biarpun juga seorang tinggi besar namun bukan seorang hwesio dan tokoh besar itu tak pernah bertempur secara keroyokan melainkan selalu turun tangan seorang diri tanpa teman.

"Kalian semua bukan orang-orang Thai-san-pai!" seru Kam Siok sambil memandang ke sekeliling. "Orang-orang Thai-san-pai takkan berbuat curang seperti pengecut-pengecut macam kalian!"

Ucapan dua orang saudara Kam ini membangkitkan kemarahan. Terdengar suara wanita memberi aba-aba dan segera orang-orang itu menyerbu ke depan mengeroyok Kam Bok dan Kam Siok. Kasihan sekali dua orang saudara dari Lok-yang ini. Mereka berusaha melawan sedapat mungkin dengan tangan kiri, namun mana bisa tangan kiri dipergunakan untuk menangkis sekian banyaknya senjata tajam yang datang menyerang bertubi-tubi? Lengan tangan mereka sebentar saja remuk penuh luka, kemudian tubuh mereka dihujani senjata tajam. Hebatnya, dua orang saudara Kam yang masih muda ini tak pernah mengeluarkan rintihan sedikit pun sampai tubuh mereka roboh dan masih saja dijadikan bulan-bulan senjata sehingga terpotong-potong dan rusak mengerikan! Setelah pertempuran berhenti, orang-orang yang mengaku orang-orang Thai-san-pai ini menghilang ke dalam kegelapan malam. Keadaan sunyi kembali di tempat itu, sunyi yang menyeramkan. Apalagi ketika bintang-bintang di langit sudah muncul, memberi sedikit penerangan di tempat pertempuran tadi, keadaan makin menyeramkan dan mengerikan. Beberapa ekor binatang hutan yang tak diketahui jelas bentuknya dalam keadaan remang-remang itu, hati-hati dan perlahan berdatangan di tempat itu dan terjadilah pesta pora ketika binatang-binatang ini menjilati darah yang berceceran di atas rumput.

******

Berpekan-pekan lamanya Beng San dan isterinya merasa gelisah. Peristiwa pada tiga pekan yang lalu benar-benar menggegerkan Thai-san pai. Dia dan isterinya turun dan memeriksa sendiri ketika seorang anak murid melapor bahwa di lereng sebelah barat terdapat dua buah mayat manusia yang keadaannya rusak teraniaya. Ketua Thai-san-pai ini dan isterinya melakukan pemeriksaan dan alangkah gelisah hati mereka melihat betapa di samping mayat dua orang laki-laki muda yang mengerikan itu, juga tampak bekas-bekas pertempuran besar di tempat itu.

"Apakah artinya ini?" Dengan muka berubah khawatir, Cia Li Cu bertanya kepada suaminya, Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Yang ditanya mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala perlahan.

"Dua orang yang menjadi mayat itu sukar dikenali mukanya, dan agaknya pertempuran yang terjadi di sini baru malam tadi terjadi. Sayang kita tidak mendengar sama sekali sehingga tidak dapat mengetahui siapa yang telah bertempur dan apa sebabnya. Tapi, dengan adanya dua mayat di tempat ini, dan kenyataan bahwa pertempuran dilakukan di wilayah Thai-san-pai, terang bahwa hal-hal yang tidak baik sedang terjadi dan hal itu tentu menyangkut Thai-san-pai."

Sejak hari itu Beng San memberi perintah kepada para muridnya yang mondok di Thai-san-pai, untuk berjaga-jaga dan meronda setiap malam. Namun hatinya selalu terasa tidak tenteram. Juga Li Cu merasa tak enak hatinya semenjak terjadi hal yang penuh rahasia di lereng barat itu. Kekhawatirannya yang hendak disembunyikan dapat diketahui bahwa dia tidak memperbolehkan lagi Cui Sian bermain main di luar pondok di puncak. Selalu anak perempuan yang baru berusia empat tahun kurang itu harus berada di dekatnya, tak boleh berpisah sebentar pun.

Beng San maklum akan perasaan isterinya, maka pada suatu hari dia menghiburnya.

"Isteriku, tak perlu kau terlalu gelisah. Bukan baru sekarang kita tahu bahwa banyak sekali orang-orang jahat di dunia kang-ouw selalu menaruh dendam dan memusuhi kita. Mereka itu mau apa? Kita bisa melawan, tentang mati hidup berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Kenapa harus gelisah?"

Li Cu menarik napas panjang. Semenjak kematian puterinya, Cui Bi, nyonya ini nampak kurus. Kehadiran Cui San sebagai pengganti Cui Bi, memang juga membawa serta kekhawatiran besar, khawatir kalau-kalau Cui Sian kelak akan mengalami nasib seperti cicinya (kakak perempuannya). Karena anaknya inilah maka ia berkhawatir sekarang ini.

"Suamiku, kiranya kau sudah cukup mengenal watakku. Akan menjadi buah tertawaan dunia agaknya kalau aku sampai ketakutan menghadapi ancaman orang jahat. Tidak, Suamiku, semenjak kecil aku sudah dididik oleh mendiang ayah untuk menjunjung tinggi akan kegagahan dan tidak takut akan kematian. Akan tetapi, kau lihat puteri kita ini........ Cui Sian masih begini kecil. Hanya kalau teringat kepadanya maka hatiku menciut, nyaliku mengecil dan perasaanku diliputi kekhawatiran."

"Sudahlah, kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha Kuasa. Sampai pucat mukamu, agaknya kau kurang tidur dalam beberapa hari ini."

"Memang demikian, hatiku tidak enak saja......."

Enam pekan kemudian semenjak terjadinya peristiwa di lereng barat itu. Malam itu amat indah. Bulan bersinar tenang sejuk. Pohon pohon dan rumput bermandikan cahaya bulan nampak segar. Dari puncak Bukit Thai-san, bulan seakan-akan mengambang di antara mega, begitu dekat seperti mudah dijangkau tangan. Para anak murid Thai-san-pai, setelah sebulan lebih bekerja keras melakukan penjagaan, malam itu pun mulai malas untuk meronda. Malam terlalu indah untuk memikirkan hal yang bukan-bukan, untuk menguatirkan hal yang tidak-tidak. Tak mungkin rasanya di malam seindah itu akan terjadi hal-hai yang tidak baik. Kata orang, cahaya bulan purnama membangkitkan kasih sayang di hati manusia sehingga pada malam seperti itu, sukarlah untuk menaruh hati benci kepada orang lain.

Cui Sian bersama ayah bundanya juga bergembira di pekarangan depan pondok mereka.

Tiada habisnya anak itu bertanya kepada ibunya tentang puteri di bulan, tentang kakek bulan seperti yang didongengkan ibunya kepadanya.

"Ibu, apakah cici Cui Bi juga di bulan? dengan kata-kata lucu dan tidak jelas anak itu bertanya sambil merebahkan kepala di atas pangkuan ibunya dan matanya yang lebar bening itu terbelalak memandang bulan.

Sejenak Li Cu bertukar pandang dengan suaminya. "Betul, nak, cicimu juga di bulan." Li Cu memeluk dan menciumi dahi puterinya itu.

"Ibu, aku juga ingin terbang ke bulan......." Cui Sian merengek. Ibunya menghibur dan memelukinya, diam-diam berdoa mohon kepada kakek bulan agar supaya kelak Cui Sian lebih bahagia dalam cinta kasihnya, tidak seperti Cui Bi.

Pada saat itu tangan Beng San menyentuh lengannya penuh arti. Li Cu menengok dan memandang ke arah pandangan suaminya. Hatinya berdebar tegang. Jelas sekali, di udara sebelah barat, meluncur ke atas sepucuk sinar merah, berulang-ulang sampai tiga kali. Tak salah lagi, itulah panah api yang dilepas orang sebagai tanda rahasia. Belum hilang kagetnya, di sebelah utara meluncur lain sinar, kini kehijauan, lebih terang daripada tadi.

"Bawa dia masuk......." kata Beng San perlahan kepada isterinya, nada suaranya tenang.

Li Cu bangkit, memondong anaknya. Cui Sian tidak mau dan menangis ingin menonton bulan.

"Mari masuk, Sian-ji, di luar banyak angin," ibunya menghibur dan membawanya masuk ke rumah, lalu menyerahkan anak itu kepada inang pengasuh, bibi Cang. Cui Sian tetap menangis dan rewel, akan tetapi Li Cu memaksa anak itu dibawa masuk dan dihibur bibi Cang dan para pelayan yang berada di pondok itu. Ia sendiri setelah mengambil pedangnya, lalu kembali keluar. Ia melihat suaminya berdiri sambil memandang ke arah barat. Ia segera berdiri di sisi suaminya, melayangkan pandang ke arah barat dan utara di mana tadi tampak panah-panah api berwarna merah dan hijau.

"Siapakah yang datang? Apa maksud mereka?" bisiknya.

Beng San menggeleng kepala, mengerutkan kening. "Entah, belum pernah mendengar tokoh menggunakan panah api. Biasanya panah-panah api dipergunakan oleh rombongan yang memberi tanda rahasia......."

Tiba-tiba terdengar suara tinggi melengking dari arah barat, disusul suara hampir sama dari arah utara. Tubuh suami istcri itu menegang.

"Li Cu, aku harus turun dari sini melakukan pemeriksaan ke bawah. Siapa tahu murid-murid kita menghadapi musuh." Tanpa menanti persetujuan Li Cu, Beng San menggerakkan kaki hendak lari turun. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang Li Cu yang menahannya. Dia heran, dan menoleh.

"Kau di sini saja, menjaga Cui Sian, biarkan aku sendiri."

"Jangan.......!" pinta Li Cu.

Beng San terheran-heran. Baru kali ini selama menjadi isterinya, Li Cu memperlihatkan keraguan yang amat mengherankan ini. Dia memegang kedua pundak isterinya, pandang matanya mencari-cari ke dalam mata isterinya, lalu tanyanya heran, "Li Cu.......! Jangan bilang bahwa kau....... takut?"
Wanita itu menarik napas panjang, mengandung isak. "Entahlah........ aku....... tak enak sekali hatiku. Kau di sinilah saja bersamaku, menjaga keselamatan Cui Sian."

Beng San memandang dengan mata terbelalak. Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Kemudian dia tertawa bergelak, "Ha ha-ha, isteriku, kau seperti anak kecil merengek-rengek! Alangkah lucunya! Siapakah berani mengganggu anak kita? Pula, biar aku turun puncak, kau berada di sini dan siapa dapat mengganggu Cui Sian kalau kau berada di sini? Huh, cacing busuk dari mana berani menghadapi isteriku! Pedangmu akan mampu membasmi seratus orang lawan, pula, jalan ke puncak ini tidak mudah, tak sembarangan orang dapat melewati jalan rahasia kita."

"Tidak, suamiku....... sekali ini saja....... kau bersamaku menjaga Cui Sian."

Beng San mencabut pedangnya dan tampak sinar berkilat ketika Liong-cu-kiam tercabut. Sekali berkelebat pedang itu.telah membelah sebuah batu besar di depannya, hampir tanpa bersuara!

"Li Cu!" Suara Beng San terdengar tegas dan keren. "Baiknya hanya batu ini yang mendengar ucapanmu tadi. Karena dia sudah mendengarkan suara isteriku, maka kubinasakan! Bagaimana kalau ada manusia yang mendengar isteri ketua Thai-san-pai bicara seperti itu? Kau tahu, aku adalah ketua Thai-san-pai, dan perkumpulan ini harus kupertahankan dengan nyawaku kalau perlu! Mana mungkin Thai san-pai kedatangan musuh,ketuanya bersembunyi saja di sini membiarkan anak-anak murid Thai-san-pai menghadapi bahaya tanpa pimpinan? Li Cu, insyaflah, tak mungkin kita berubah menjadi pengecut!"

Ucapan suaminya ini agaknya merupakan air dingin yang menyadarkan Li Cu. Ia terisak, menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan, "Maafkan aku....... kau pergilah, kau benar. Tapi....... hatiku tidak enak....... aku khawatir anakku, bukan keselamatan kita......."

"Li Cu, perlihatkanlah keberanianmu sebagai seorang gagah!" Beng San menuntut.

"Srattt!" Kembali sinar berkelebat ketika pedang Liong-cu-kiam yang pendek tercabut.
Sinar pedang menyambar dan batu yang tadi terbabat menjadi dua potong kini terbabat menjadi empat potong oleh pedang Li Cu, hanya sedikit menimbulkan suara dan bunga api!

"Aku siap menjaga puncak ini dengan taruhan nyawa!"

Beng San tersenyum, mendekatkan muka mencium pipi isterinya, lalu sekali berkelebat dia sudah melompat jauh dan lari turun puncak, dipandang oleh isterinya yang tanpa terasa menitikkan dua butir air mata. Li Cu lalu menjaga di depan pondok, menyesali diri sendiri yang hampir saja kehilangan pegangan, kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Ini semua karena kekhawatirannya kehilangan Cui Sian. Ia menjadi penakut setelah satu kali ia kehilangan Cui Bi.

Melalui jalan rahasia, Beng San cepat tiba di lereng gunung. di mana dia melihat dari jauh banyak obor menyala dan malah terdengar suara senjata beradu. Kagetnya bukan kepalang dan cepat dia mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke tempat itu. Diam-diam dia menyesal mengapa dia datang terlambat. Baiknya pertempuran itu baru saja dimulai, buktinya di kedua belah fihak belum jatuh korban. Dia melihat belasan orang muridnya menghadapi serbuan puluhan orang, malah masih banyak terdapat kelompok orang-orang yang berjajardi sebelah barat dan sekelompok lagi di sebelah utara. Matanya menyapu cepat melihat bahwa kelompok di utara itu adalah orang-orang Kong-thong-pai yang dipimpin oleh seorang tosu tua. Adapun di sebelah barat dengan kaget dia kenal beberapa orang dari Pek-lian-pai. Hatinya berubah lega. Orang-orang sendiri, pikirnya. Tapi mengapa terjadi pertempuran? Tentusalah paham! Cepat dia berseru keras, "Saudara-saudara, harap suka menahan senjata dulu!!"

Para anak murid Thai-san-pai dengan girang mengenal. suara guru mereka, cepat mereka melompat mundur dan menahan pedang masing masing, lalu berkumpul dan berdiri di belakang Beng San. Dari fihak lawan terdengar tosu Kong-thong-pai menyuruh anak muridnya berhenti, juga di fihak Pek-lian-pai yang dipimpin oleh dua orang tosu pula.

"Bagus! Ketua Thai-san-pai sendiri keluar. Urusan ini harus diselesaikan!" kata seorang tosu tua yang kurus kering, bongkok, dan memegang pedang.

Melihat tosu ini, kembali Beng San terkejut dan cepat-cepat menjura.

"Ah kiranya totiang Seng Tek Cu yang datang berkunjung. Juga kalau tidak keliru sangka, totiang yang lain ini tentulah seorang tokoh Kong-thong-pai yang terhormat. Malah aku mengenal beberapa saudara dari Pek-lian-pai di sini. Maaf-maaf ....... tamu-tamu terhormat datang, aku tidak tahu dan tidak mengadakan penyambutan." Kemudian Beng San menoleh kepada para anak muridnya dan membentak keren. "Kalian ini bagaimana tidak bisa membedakan siapa kawan siapa lawan? Mengapa berani berlaku kurang ajar terhadap tamu-tamu terhormat?? Kau....... Ki Han! Jawablah, kau yang memimpin saudara-saudaramu melakukan penjagaan. Bagaimana bisa terjadi hal ini?"

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed