Skip to main content

Pendekar Buta 16 -> karya : kho ping hoo

Dengan muka berseri-seri ketua Thai-san-pai itu memondong bayinya, mengamat-amati muka bayi itu sambil tertawa-tawa senang. "Aha, kau Cui Bi cilik! Ha-ha-ha, serupa benar, cuma bibirnya lebih runcing, tentu lebih suka mengoceh daripada mendiang cicinya, ha-ha!"

Li Cu yang masih rebah di pembaringan memandang terharu dan dua titik air mata menghias bulu matanya. "Siapa....... siapa namanya.......?" tanyanya lirih.

Mendengar suara ini Beng San menengok dan dia pun menggigit bibir melihat dua titik air mata itu. Dengan hati-hati dia meletakkan puterinya di dekat Li Cu mengusap dahi isterinya penuh kasih sayang lalu berkata, "Cui Sian namanya, ya....... dia Cui Sian......"
Setelah mencium dahi isterinya perlahan, Beng San cepat keluar dari kamar itu agar tidak terlihat oleh isterinya betapa dia pun menitikkan dua butir air mata. Akan tetapi Li Cu tahu akan hal ini karena air mata itu tertinggal di dahinya ketika suami itu tadi menciumnya. Bayangan mendiang Cui Bi lah yang mendorong keluarnya air mata dari mata kedua orang suami isteri ini.

Kehadiran Cui Sian dalam rumah tangga ketua Thai-san-pai benar-benar mendatangkan kegembiraan. Hal ini tentu saja amat menggirangkan hati para anak murid Thai-san-pai karena sekarang guru mereka mulai rajin pula melatih ilmu silat. Tadinya, semenjak peristiwa hebat di puncak Thai-san-pai itu, semenjak kematian Cui Bi, ketua Thai-san-pai ini selalu tampak murung dan malas mengajar sehingga para anak murid menjadi khawatir karena hal ini berarti akan melemahkan partai persilatan itu. Akan tetapi kelahiran Cui Sian benar-benar mengubah segalanya, malah nyonya ketua sendiri berkenan turun tangan dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada murid-murid pilihan.
Cui Sian sendiri ternyata makin besar menjadi makin mungil. Ia menjadi kesayangan semua orang di Thai-san-pai, malah disayang pula oleh anak-anak para penduduk di sekitar pegunungan itu. Biarpun dia menjadi ketua partai persilatan, namun Beng San dan isterinya tidak mengasingkan diri. Seringkali mereka mengajak puterinya ini turun dari puncak untuk mengunjungi para penduduk kampung dan beramah tamah, membiarkan Cui Sian bermain-main dengan anak-anak kampung.

Tiga tahun terlalu cepat Thai-san-pai berkembang pesat dan tampak tanda-tanda bahwa berkumpulan ini kelak akan menjadi sebuah partai persilatan yang besar dan berpengaruh. Hal ini terjadi karena Beng San memang pandai memilih murid yang memiliki bakat dan dasar yang baik. Dia tidak mengutamakan jumlah banyak, melainkan mengutamakan mutu. Anak murid Thai-san-pai kurang lebih lima puluh orang laki perempuan, sebagian besar tinggal di bawah gunung dan hanya beberapa hari sekali naik ke puncak untuk menerima petunjuk dan untuk memperlihatkan hasil latihan di depan guru mereka. Ada pula sebagian orang anak murid, yaitu mereka yang datang dari jauh dan terutama sekali yang tidak mempunyai keluarga lagi, tinggal di Thai-san-pai, di bawah puncak, mendirikan pondok-pondok kayu yang makin lama makin banyak dan merupakan perkampungan tersendiri. Mereka yang bertempat tinggal di situlah yang mengerjakan sawah ladang sebagai sumber penghasilan Thai-san-pai, di samping pemberian para anak murid yang memiliki tempat tinggal sendiri dan yang mampu menyumbang.

Pada hari itu menjelang senja, serombongan orang mendaki Pegunungan Thai-san. Rombongan ini besar juga, lebih dari dua puluh orang berkuda, dan mereka menghentikan kuda di bagian lereng bukit yang tak mungkin dapat dilalui kuda. Seorang kakek tinggi besar setelah melompat turun dari atas punggung kudanya dan menambatkan kendali kuda pada batang pohon, berkata kepada teman-temannya, "Tidak patut kalau kita semua naik ke puncak. Biarpun ketuanya adalah terhitung saudara angkat pernah muda, namun dia adalah seorang ketua partai besar yang harus dihormati. Saudara-saudara tinggallah menanti di sini, juga ji-wi-enghiong (saudara gagah berdua) dan ji-wi-loenghiong (orang tua gagah berdua), biarlah saya sendiri naik ke puncak menemui Thai-san-paicu (ketua Thai-san pai). Setelah fihak tuan rumah memperkenankan, barulah saudara-saudara naik."

Yang bicara ini bukan lain adalah Tan Hok dan sebagian besar di antara para temannya adalah bekas-bekas anggauta dan tokoh Pek-lian pai. Dua orang laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang berwajah tampan dan bertubuh tegap adalah Kam-hengte (dua saudara Kam) dari Lok-yang, sepasang kakak beradik gagah perkasa yang terkenal dengan julukan Lok-yang-siang-houw (Sepasang Harimau Lok-yang) dan terkenal pula sebagai pendekar-pendekar perkasa anak murid Kong-thong-pai. Yang tua bernama Kam Bok, yang muda bernama Kam Siok. Mereka ini adalah jago-jago Kong-thong-pai, murid Yang Ki Cu, tokoh Kong-thong-pai yang dahulu menjadi seorang pejuang juga. Agaknya darah patriot menurun kepada sepasang anak murid ini sehingga dalam banyak hal kedua orang saudara Kam ini suka membantu Tan Hok dan Pek-lian-pai. Mereka terkenal dengan keahlian bermain golok, tentu saja mengandalkan Ilmu Golok Kong-thong-to-hoat.

Adapun dua orang kakek tua yang ikut dalam rombongan itu dan yang disebut sebagai locianpwe (orang tua gagah) oleh Tan Hok adalah dua orang pendeta beragama To yang jelas dapat dilihat dari pakaian mereka yang berwarna kuning polos dan rambut putih mereka diikatkan ke atas. Seorang yang punggungnya agak bongkok dan tubuhnya kurus kering adalah seorang tokoh Bu-tong-pai, seorang ahli pedang bernama Seng Tek Cu. Orang ke dua adalah sahabat baiknya, seorang tosu (pendeta To) perantauan, penggemar permainan catur yang namanya tidak banyak dikenal orang namun sesungguhnya adalah seorang ahli silat tinggi yang amat lihai. Dia tidak membawa senjata apa-apa kecuali sebatang cambuk biasa seperti cambuk penggembala kerbau yang terbuat daripada bambu dengan ujung tali. Di punggungnya tergantung sebuah papan catur sedangkan di pinggangnya terdapat sebuah kantung berisi biji-biji catur. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya selalu tersenyum ramah. Inilah Koai To-jin, nama yang selalu dia pakai. Tentu saja ini adalah nama samaran belaka karena Koai To-jin berarti Pendeta To Aneh. Dua orang tosu ini sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, setelah kehilangan mahkota kuno yang mengandung rahasia itu sehingga menderita luka-luka, Tan Hok mengadakan perhubungan dengan bekas anak buahnya yaitu para orang gagah dari Pek-lian-pai, kebetulan dia dapat bertemu pula dengan Kun Hong sehingga mendapat pertolongan dan disembuhkan. Kemudian Tan Hok lalu mengumpulkan teman-temannya yang sementara itu sudah mencari bala bantuan, bahkan berhasil mendapat bantuan Kam-hengte dan dua orang tosu lihai itu. Mendengar penuturan Tan Hok tentang mahkota yang terjatuh ke tangan penghuni Pulau Ching-coa-to, dua orang tosu itu kaget karena mereka sudah mendengar kehebatan pulau ini. Maka serta merta mereka menyatakan kegembiraan dan persetujuan ketika Tan Hok menyatakan hendak minta bantuan ketua Thai-san-pai Si Raja Pedang. Berangkatlah rombongan itu sampai berpekan-pekan lamanya dan menjelang senja itu mereka tiba di lereng Thai-san.

Mendengar permintaan Tan Hok supaya mereka menanti di situ, Koai To-jin tertawa bergelak, lalu menurunkan papan catur dan membuka kantong biji catur sambil berkata. "Ha-ha-ha, Tan-sicu baik sekali, memberi kesempatan kepada pinto (aku) untuk mengaso dan bermain catur dengan Seng Tek Cu. Hayo, sobat, kita main catur sampai sekenyangnya, siapa tahu kita akan segera menghadapi urusan penting sehingga tidak akan sempat main catur lagi!" Dalam sekejap mata saja papan catur sudah diletakkan di atas tanah dan biji-bijinya diatur di atas papan. Seng Tek Cu tertawa pula dan menyambut tantangan ini.

Tak Hok tertawa, kemudian berpamit lagi lalu cepat-cepat mendaki puncak karena khawatir kalau-kalau malam segera tiba dan membuat pendakian itu sukar. Teman-temannya memandang dan melihat punggung orang gagah yang bertubuh raksasa itu lenyap di balik sebuah batu karang besar. Kemudian karena tidak ada pekerjaan lain, sebagian di antara mereka asyik menonton dua orang tosu yang sedang mengadu otak bermain catur, sebagian lagi duduk bercakap-cakap.

Kita ikuti Tan Hok yang dengan sigapnya berloncatan menuju ke puncak Thai-san pai. Tiba-tiba dengan kaget dia melihat tujuh orang berloncatan ke luar dari balik batu-batu gunung dan pohon, langsung menghadangnya dengan pedang di tangan dan sikap mengancam. Dia tersenyum dan menegur, "Sahabat-sahabat di depan bukankah para eng-hiong (orang gagah) dari Thai-san-pai?"

"Tentu saja kami adalah anak murid Thai-san-pai. Kau ini siapakah berani lancang memasuki wilayah Thai-san-pai tanpa ijin?" jawab seorang di antara mereka dengan suara keras dan sikap yang angkuh.

Diam-diam Tan Hok merasa heran sekali. Sangat boleh jadi kalau anak-anak Thai-san-pai ada yang belum pernah melihatnya karena tiga tahun yang lalu adalah waktu yang cukup lama dan mungkin orang-orang ini adalah anak-anak murid baru. Akan tetapi melihat sikap yang begini kasar, benar-benar amat mengherankan hatinya karena tidak sesuai dengan watak Beng San, ketua mereka. Namun menghadapi orang-orang muda dia berlaku sabar dan tersenyum, lalu memberi hormat.

"Ah, harap kalian memaafkan aku karena tergesa-gesa tidak sempat memberi kabar kedatanganku. Aku adalah Tan Hok, kakak angkat dari ketua kalian......"
"He kiranya kau pelarian itu? Saudara-saudara, kebetulan sekali penjahat besar yang lari sambil mencuri barang-barang berharga dari istana itu datang ke sini. Ular mencari gebuk, Hayo serang!" Dan serta merta tujuh orang itu menyerang Tan Hok dengan pedang mereka.

Bukan main kagetnya Tan Hok. Cepat dia mengelak dan masih sempat berseru, "Saudara-saudara, jangan serang aku......!

Beritahukan kedatanganku kepada Beng San, ketua kalian. Aku bukan musuh.......!" Akan tetapi mana mungkin dia menghadapi serangan serangan itu sambil bicara? Pundaknya sudah termakan ujung pedang dan terpaksa Tan Hok juga mencabut pedangnya melakukan perlawanan sedapatnya. Tan Hok adalah seorang pejuang yang memiliki kepandaian bukan rendah, namun ternyata tujuh orang itu rata-rata lihai sekali ilmu pedangnya. Selain itu, kesehatannya belum pulih benar, masih lemas. Kiranya melawan seorang di antara mereka saja belum tentu dia akan dapat menang, apalagi sekarang dikeroyok tujuh. Tan Hok bingung dan bangkitlah rasa penasaran dan marah. Dia mengamuk. Sia-sia saja, karena berkali-kali tubuhnya termakan senjata lawan sehingga dia menderita luka-luka parah. Terpaksa Tan Hok lalu memutar pedang sekuat tenaga dan selagi tujuh orang pengeroyoknya itu mundur menjaga diri, dia meloncat ke belakang dan lari turun dari lereng itu untuk minta bantuan teman-temannya. Tujuh orang itu mengejarnya dan....... dari balik-balik pohon dan batu muncul banyak orang yang ikut pula melakukan pengejaran.

Cuaca sudah mulai gelap ketika Tan Hok dengan napas terengah-engah tiba di tempat teman-temannya mengaso. Semua orang kaget melihat datangnya kakek raksasa ini, pakaiannya cabik-cabik dan tubuhnya mandi darah.

"Salah mengerti....... aku....... aku dikeroyok orang-orang Thai-san-pai......." kata Tan Hok yang roboh dengan tubuh lemas. Teman temannya marah sekali. Dua orang tosu tua itu pun sudah meloncat berdiri dan siap dengan senjata mereka. Beberapa menit kemudian dari atas turunlah banyak orang, dua puluh lebih, laki-laki dan wanita, semua memegang pedang. Di dalam gelap itu sukar mengenal wajah mereka, malah ada beberapa orang wanita yang menutupi muka dengan sehelai sapu tangan hitam. Tanpa banyak cakap lagi orang orang ini menyerbu teman-teman Tan Hok dan terjadilah pertempuran hebat di tempat gelap itu!

Hiruk-pikuk suara senjata beradu, berdencing pedang bertemu pedang, mendesir-desir angin senjata yang digerakkan oleh tangan terlatih kuat. Seng Tek Cu mainkan pedangnya dengan cepat sehingga di mana dia bersilat tampak cahaya pedangnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar mencari mangsa. Ahli pedang Bu-tong-pai ini kaget bukan main karena rata-rata musuh-musuh yang menyerbu ini memiliki kepandaian tinggi, apalagi tiga orang wanita yang menutupi muka dengan sapu tangan. Dia dikeroyok oleh lima orang, di antaranya dua dari tiga wanita berkedok itu. Sama sekali dia tidak dapat mengenal ilmu pedang mereka, akan tetapi benar benar pengeroyokan lima orang ini membuat dia kewalahan dan dalam tiga puluh jurus saja dia sudah menderita luka bacokan pada pangkal lengan kirinya.
Keadaan Koai To-jin juga tidak menyenangkan. Tosu aneh ini mengamuk dan mainkan senjatanya yang aneh, yaitu pecut di tangan kanan dan papan catur di tangan kiri. Papan itu terbuat daripada baja dan dia pergunakan seperti sebuah perisai, sedangkan pecutnya menyambar-nyambar ganas mengeluarkan suara nyaring. Hebat kepandaian Koai To-jin ini. Akan tetapi pada saat itu dia pun repot menghadapi pengeroyokan tiga orang, yaitu seorang adalah wanita berkedok sapu tangan hitam, dan dua adalah orang-orang tinggi besar yang bertenaga besar dan mainkan golok besar serta ruyung. Dia terdesak hebat dan hampir saja papan caturnya terlepas ketika berkali-kali bertemu dengan ruyung, malah kemudian terdengar suara keras dan papan caturnya pecah menjadi dua! Namun, Koai Tojin tidak menjadi gugup. Dia mengeluarkan suara gerengan keras dan pecutnya menyambar-nyambar mengeluarkan suara nyaring, mencegah para pengeroyoknya mendesak terlampau dekat.

Betapapun para orang gagah Pek-lian-pai itu melawan dengan nekat, namun fihak pengeroyok ternyata lebih kuat.

Apalagi karena teman-teman Tan Hok ini bertempur dengan hati penuh keraguan dan kebimbangan, serta kacau-balau kehilangan pemimpin karena Tan Hok sendiri sudah tak berdaya. Mereka, seperti juga Tan Hok, merasa ragu-ragu dan bingung mengapa orang-orang Thai-san pai malah menyerang dan memusuhi mereka.

Tiba-tiba terdengar bentakan mengguntur di dalam gelap itu dan sesosok bayangan kakek tinggi besar mengamuk.

Kakek ini tidak menggunakan senjata, kedua lengan bajunya yang lebar dan panjang berkibar-kibar ke sana ke mari dan setiap orang Pek-lian-pai yang tersambar ujung lengan baju, terlempar dan tak dapat melawan lagi! Kakek ini sekali melompat sudah tiba di depan Tan Hok, sambil tertawa-tawa tangan kanannya memukul ke arah dada Tan Hok yang sudah duduk di atas tanah. Tan Hok kaget sekali, berusaha menangkis dah berseru penuh keheranan dan kemarahan, "Song-bun-kwi.......!" Akan tetapi suaranya terhenti, tubuhnya terlempar dan kakek patriot ini menggeletak tak bernyawa lagi oleh pukulan hebat yang meremukkan isi dadanya!

Kacau-balaulah rombongan Tan Hok. Tak kuat mereka melawan lagi. Seng Tek Cu dan Koai To-jin maklum bahwa kalau mereka melawan terus, agaknya akan berakibat tidak enak bagi fihak mereka. Lawan terlampau kuat, apalagi dibantu kakek luar biasa itu. Lebih-lebih kekagetan mereka mendengar Tan Hok sebelum tewas menyebut nama Song-bun-kwi. Kalau benar kakek ini Song-bun-kwi, celakalah mereka. Sudah terlampau sering mereka mendengar nama besar Song-bun-kwi yang selama bertahun-tahun ini tak pernah terdengar lagi muncul di dunia kang-ouw.

"Saudara-saudara, mundur.......! Lari turun gunung.......!" Seng TekCu berseru keras. Orang-orang Pek-lian-pai adalah bekas pejuang yang sudah biasa bertempur, maklum bahwa kemunduran mereka kali ini bukanlah mundur untuk seterusnya, melainkan mundur karena menghadapi lawan terlampau kuat dan mundur untuk mengatur siasat. Apalagi setelah Tan Hok tewas, mereka perlu mengadakan perundingan bersama untuk menghadapi orang-orang Thai-san-pai yang secara tiba-tiba berubah menjadi musuh ini. Sambil menyeret dan menyambar tubuh teman-teman yang terluka atau tewas, mereka beramai mengundurkan diri dan lari turun gunung.
Namun sepasang orang muda murid Kong-thong-pai tidak sudi meninggalkan gelanggang pertempuran. Mereka berdua ini, Kam Bok dan Kam Siok, adalah orang-orang muda yang baru saja turun ke dalam gelanggang perjuangan. Darah muda mereka, sifat kesatria mereka yang menjunjung tinggi kegagahan, yang beranggapan bahwa bagi orang-orang gagah pantang meninggalkan gelanggang pertempuran dengan masih bernyawa, membuat mereka berkeras kepala tidak mau ikut teman-teman mereka lagi. Lok-yang Siang Houw, dua harimau dari Lok-yang ini malah mengeluarkan bentakan-bentakan keras, mainkan golok di tangan mereka dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.
"Mundur semua, biar pinceng (aku) bereskan bocah-bocah sombong ini!" Mendengar kata-kata kakek tinggi besar ini semua pengeroyok mundur dan berhadapanlah dua orang saudara Kam ini dengan kakek yang tadi membunuh Tan Hok ini. Lok-yang Siang-houw maklum bahwa kakek ini amat sakti, maka mereka segera menyerang berbareng dengan Ilmu Golok Kong-thong-pai yang amat cepat. Dua batang golok di tangan mereka erkelebatan seperti sepasang naga menyambar korban.

"He-he, bocah-bocah Kong-thong-pai masih ingusan berani menjual lagak di sini? Ha-ha-ha!"

Hwesio tinggi besar ini menggerakkan kedua lengannya, ujung lengan baju seperti hidup bergerak ke depan memapaki sinar golok, ketika bertemu dengan golok lalu melibat seperti ular. Dua orang saudara Kam itu kaget sekali, berusaha mencabut golok masing-masing namun ternyata golok mereka seperti telah berakar di lengan baju itu, tak dapat dicabut kembali. Sambil tertawa-tawa kakek itu menghentakkan kedua lengannya dan....... dua orang saudara Kam itu terhuyung ke depan. Terpaksa dengan kaget sekali mereka melepaskan gagang golok, akan tetapi dengan nekat mereka menerjang lagi dengan kepalan tangan, menyerang kakek tinggi besar itu dengan pukulan-pukulan keras.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka