"Ha-ha-ha, kau lucu sekali, Nona cilik. Masa orang tua diajak balap lari. Tapi biarlah, kalau tidak dituruti kehendakmu, khawatir kau akan rewel dan ngambek, bisa gagal maksud pinceng menghubungi ayahmu. Ha-ha-ha!"
"Bagus, kau lihat bunga bwee yang tumbuh di sana itu?"
Ka Chong Hoatsu mengangguk sambil tersenyum. Pohon bunga bwee itu tumbuh di sebelah kiri bangunan, kurang lebih dua ratus meter jaraknya dari situ. Bagi kakek ini, beberapa belas kali lompatan saja di sudah akan sampai di sana!
"Nah, kita berlomba lari cepat sampai di tempat itu. Siapa yang dapat memegang bunga bwee itu lebih dulu, dia menang. Setuju?"
"Ha-ha-ha setuju, setuju!" jawab hwesio tua.
"Nah, kau bersiaplah, Hwesio. Aku akan menghitung sampai tiga, sebelum hitungan sampai tiga kau tidak boleh mulai lari. Jangan curang!"
"Ha-ha-ha, boleh....... boleh......." jawab Ka Chong Hoatsu, gembira juga menyaksikan permainan kanak-kanak ini.
Akan tetapi Loan Ki tidak segera menghitung, melainkan berdiri sambil mengerutkan keningnya yang bagus.
"Hayo lekas mulai!" tegur Ka Chong Hoatsu.
Loan Ki menggeleng kepalanya. "Percuma....... aku masih belum percaya benar kepadamu,jangan-jangan setelah kalah kau masih curang dan menjilati janji sendiri. Kau benar-benar berjanji akan membebaskan kami berdua tanpa mengganggu pula kalau kalah balapan lari denganku?"
Ka Chong Hoatsu memandang dengan mata melotot besar. "Bocah kurang ajar, pinceng Ka Chong Hoatsu mana sudi menjilat ludah sendiri? Hayo mulai!"
"Orang gagah lebih baik mati daripada menjilat ludah sendiri tidak menepati janji. He, Ka Chong Hoatsu, kau berjanji akan membebaskan kami dan membiarkan kami pergi dari pulau ini kalau kau kalah balapan lari dengan aku?"
"Pinceng berjanji, gadis liar!"
Loan Ki tersenyum, manis sekali. "Dan kau berjanji takkan berlaku curang dalam balapan lari ini, tidak akan mulai lari sebelum aku menghitung sampai tiga?"
"Setan cilik, siapa sudi bermain curang? Tak usah bermain curang, lebih baik pinceng takkan lari selamanya kalau kalah cepat lariku daripada larimu. Hayo mulai!"
"Betulkah itu? Hi-hik, coba kita lihat dan saksikan bersama." Gadis ini memasang kuda-kuda, siap untuk balapan lari, seperti orang hendak merangkak, berdiri dengan kaki dan tangan di atas tanah, tubuh belakangnya sengaja ditonjolkan ke atas sehingga ia nampak lucu sekali.
"Ha-ha-ha, kau seperti seekor kuda betina tanpa ekor!" Ka Chong Hoatsu tertawa geli. Loan Ki tidak perduli, malah bicara dengan nyaring kepada semua orang yang berada di situ, "Kalian semua mendengar janji hwesio tua bangka ini! Sebelum aku menghitung sampai tiga, dia tidak boleh mulai lari!" Kemudian ia mulai menghitung dengan suara lantang, "Satu......."
Suasana menjadi tegang dan sunyi karena biarpun semua orang yakin bahwa gadis itu akan kalah, namun menyaksikan sikap bersungguh-sungguh dari Loan Ki, mereka menduga-duga dengan ilmu apakah gadis ini akan menghadapi kecepatan Ka Chong Hoatsu. Juga hwesio itu yang tadinya menganggap ringan dan sudah merasa yakin akan menang, melihat sikap ini dan mendengar suara aba-aba, menjadi tegang juga dan tanpa disadarinya dia sendiri pun telah siap memasang kuda-kuda untuk segera "tancap gas" kalau hitungan itu sudah sampai tiga.
"Dua......"
Urat-urat di tubuh Ka Chong Hoatsu makin menegang, tumitnya sudah diangkat untuk segera melompat. Akan tetapi hitungan "tiga" tidak keluar-keluar dari mulut Loan Ki, malah sekarang gadis itu berdiri dan berjalan cepat ke depan tanpa melanjutkan hitungannya.Semua orang terheran, juga Ka Chong Hoatsu yang mengira gadis itu tentu akan mengatur sesuatu maka berjalan ke depan ke arah bunga bwee itu. Akan tetapi setelah berada dekat sekali, kurang lebih dua meter dari pohon bunga bwee itu, tiba-tiba Loan Ki berteriak nyaring sekali, "..... tiga.......!!" dan ia pun berlari maju memegang kembang itu sambil tertawa-tawa dan bersorak-sorak ''Aku menang.......! Hi-hik hwesio tua, kau kalah!"
Ka Chong Hoatsu melengak. Tentu saja tadi dia tidak sudi lari, karena kalau lari pun tak mungkin dapat menangkan Loan Ki yang sudah berada di dekat pohon itu, tinggal mengulur tangan saja. Dari heran dia menjadi marah sekali. "Gadis liar! Kau curang! Mana ada aturan begitu?" bentaknya.
Loan Ki meloncat dengan gerakan ringan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah berada di depan Ka Chong Hoatsu, menudingkan telunjuknya dengan marah.
"Ka Chong Hoatsu, kau seorang hwesio tua, seorang yang namanya sudah terkenal di seluruh kolong langit, apakah hari ini kau hendak menjilat ludah sendiri dan berlaku curang? Ingat baik-baik bagaimana janji kita tadi. Bukankah kau sudah setuju dan berjanji takkan lari sebelum aku menghitung sampai tiga? Perjanjian menunggu sampai hitungan ke tiga ini tadi hanya dikenakan kepadamu, tidak kepadaku. Siapa yang berjanji bahwa aku juga harus menanti sampai hitungan ke tiga? Aku tidak melanggar janji siapa-siapa, aku tidak curang, dan kau sudah kalah, kalah mutlak. Coba katakan apa kau berani melanggar janjimu sendiri?"
Ka Chong Hoatsu terkesima, tak dapat bicara untuk beberapa lama. Kemudian dia membanting-banting tongkatnya sehingga tanah yang bercampur batu di depannya menjadi bolong-bolong seperti agar-agar ditusuki biting saja. "Bocah liar, kau memang menang, akan tetapi bukan menang karena kecepatan berlari, melainkan menang karena akal bulus!"
Loan Ki tersenyum manis dan menjura sampai dahinya hampir menyentuh tanah. "Terima kasih, Ka Chong Hoatsu hwesio tua yang manis! Kau telah menyatakan sendiri sekarang bahwa aku menang. Nah, memang aku menang dalam balapan ini dan karenanya juga aku menang dalam taruhan, bukan? Soal menang menggunakan akal bulus atau akal udang, itu sih tidak diadakan larangan dalam perjanjian tadi. Nah, selamat tinggal, Hoatsu." Dengan langkah manja gadis ini lalu berjalan menghampiri Kun Hong.
Tiba-tiba ia mendengar angin berdesir di belakangnya. Cepat ia menengok dan membalikkan tubuh, siap menanti penyerangan gelap. Akan tetapi tidak ada apa-apa dan ia melihat Ka Chong Hoatsu berdiri sambil tertawa bergelak. Ia memandang ke kanan kiri, semua orang yang berada di situ tertawa belaka. Loan Ki mengangkat kedua pundaknya dan membalikkan tubuh lagi terus berjalan menghampiri Kun Hong, menggandeng lengan pemuda buta itu dan berbisik, "Mari kita pergi, Hong-ko." Ditariknya pemuda itu.
"Ki-moi, kau tadi dipermainkan Ka Chong Hoatsu, buntalanmu di punggung apakah masih ada?" bisik Kun Hong.
Loan Ki terkejut, cepat meraba punggung dan....... ternyata mahkota kuno yang berada di buntalan itu telah lenyap! Ia cepat membalikkan tubuhnya memandang. Eh, kiranya mahkota itu kini sudah berada di tangan kiri Ka Chong Hoatsu yang masih tertawa-tawa.
"Hwesio tua, kau curi benda itu dari buntalanku, Ya?" Loan Ki membentak sambil melotot.
Ka Chong Hoatsu makin gembira tertawa. "Ha-ha-ha, pinceng takkan melanggar janji nona cilik, tapi perlu membuktikan bahwa pinceng jauh lebih cepat daripadamu, sehingga benda ini kuambil tanpa kau dapat tahu atau merasa. Ke dua kalinya, benda ini kami tahan di sini sebagai undangan kepada ayahmu."
"Bagus! Ayah pasti akan datang untuk merampasnya dari tanganmu, hwesio sombong!" Setelah berkata demikian, Loan Ki memperlihatkan muka marah dan menarik Kun Hong pergi dari situ, menuju ke pantai yang kini sudah ia ketahui jalannya. Setelah pergi jauh dan tidak terdengar lagi suara mereka di belakang, Loan Ki berkata lirih, "Hayaaaa, sungguh berbahaya! Baiknya aku mendapat akal dan bisa menang berlomba lari"
"Kau memang cerdik, nakal dan....... aneh......." kata Kun Hong.
"Kalau tidak menggunakan kecerdikan, mana bisa kita ke luar dari tempat ini? He, Hong-ko, kau sudah kenal pemuda baju putih yang gagah tadi? Wah, dia kelihatan lihai sekali, ya? Dan dia telah menolongmu."
"Bagus, kau lihat bunga bwee yang tumbuh di sana itu?"
Ka Chong Hoatsu mengangguk sambil tersenyum. Pohon bunga bwee itu tumbuh di sebelah kiri bangunan, kurang lebih dua ratus meter jaraknya dari situ. Bagi kakek ini, beberapa belas kali lompatan saja di sudah akan sampai di sana!
"Nah, kita berlomba lari cepat sampai di tempat itu. Siapa yang dapat memegang bunga bwee itu lebih dulu, dia menang. Setuju?"
"Ha-ha-ha setuju, setuju!" jawab hwesio tua.
"Nah, kau bersiaplah, Hwesio. Aku akan menghitung sampai tiga, sebelum hitungan sampai tiga kau tidak boleh mulai lari. Jangan curang!"
"Ha-ha-ha, boleh....... boleh......." jawab Ka Chong Hoatsu, gembira juga menyaksikan permainan kanak-kanak ini.
Akan tetapi Loan Ki tidak segera menghitung, melainkan berdiri sambil mengerutkan keningnya yang bagus.
"Hayo lekas mulai!" tegur Ka Chong Hoatsu.
Loan Ki menggeleng kepalanya. "Percuma....... aku masih belum percaya benar kepadamu,jangan-jangan setelah kalah kau masih curang dan menjilati janji sendiri. Kau benar-benar berjanji akan membebaskan kami berdua tanpa mengganggu pula kalau kalah balapan lari denganku?"
Ka Chong Hoatsu memandang dengan mata melotot besar. "Bocah kurang ajar, pinceng Ka Chong Hoatsu mana sudi menjilat ludah sendiri? Hayo mulai!"
"Orang gagah lebih baik mati daripada menjilat ludah sendiri tidak menepati janji. He, Ka Chong Hoatsu, kau berjanji akan membebaskan kami dan membiarkan kami pergi dari pulau ini kalau kau kalah balapan lari dengan aku?"
"Pinceng berjanji, gadis liar!"
Loan Ki tersenyum, manis sekali. "Dan kau berjanji takkan berlaku curang dalam balapan lari ini, tidak akan mulai lari sebelum aku menghitung sampai tiga?"
"Setan cilik, siapa sudi bermain curang? Tak usah bermain curang, lebih baik pinceng takkan lari selamanya kalau kalah cepat lariku daripada larimu. Hayo mulai!"
"Betulkah itu? Hi-hik, coba kita lihat dan saksikan bersama." Gadis ini memasang kuda-kuda, siap untuk balapan lari, seperti orang hendak merangkak, berdiri dengan kaki dan tangan di atas tanah, tubuh belakangnya sengaja ditonjolkan ke atas sehingga ia nampak lucu sekali.
"Ha-ha-ha, kau seperti seekor kuda betina tanpa ekor!" Ka Chong Hoatsu tertawa geli. Loan Ki tidak perduli, malah bicara dengan nyaring kepada semua orang yang berada di situ, "Kalian semua mendengar janji hwesio tua bangka ini! Sebelum aku menghitung sampai tiga, dia tidak boleh mulai lari!" Kemudian ia mulai menghitung dengan suara lantang, "Satu......."
Suasana menjadi tegang dan sunyi karena biarpun semua orang yakin bahwa gadis itu akan kalah, namun menyaksikan sikap bersungguh-sungguh dari Loan Ki, mereka menduga-duga dengan ilmu apakah gadis ini akan menghadapi kecepatan Ka Chong Hoatsu. Juga hwesio itu yang tadinya menganggap ringan dan sudah merasa yakin akan menang, melihat sikap ini dan mendengar suara aba-aba, menjadi tegang juga dan tanpa disadarinya dia sendiri pun telah siap memasang kuda-kuda untuk segera "tancap gas" kalau hitungan itu sudah sampai tiga.
"Dua......"
Urat-urat di tubuh Ka Chong Hoatsu makin menegang, tumitnya sudah diangkat untuk segera melompat. Akan tetapi hitungan "tiga" tidak keluar-keluar dari mulut Loan Ki, malah sekarang gadis itu berdiri dan berjalan cepat ke depan tanpa melanjutkan hitungannya.Semua orang terheran, juga Ka Chong Hoatsu yang mengira gadis itu tentu akan mengatur sesuatu maka berjalan ke depan ke arah bunga bwee itu. Akan tetapi setelah berada dekat sekali, kurang lebih dua meter dari pohon bunga bwee itu, tiba-tiba Loan Ki berteriak nyaring sekali, "..... tiga.......!!" dan ia pun berlari maju memegang kembang itu sambil tertawa-tawa dan bersorak-sorak ''Aku menang.......! Hi-hik hwesio tua, kau kalah!"
Ka Chong Hoatsu melengak. Tentu saja tadi dia tidak sudi lari, karena kalau lari pun tak mungkin dapat menangkan Loan Ki yang sudah berada di dekat pohon itu, tinggal mengulur tangan saja. Dari heran dia menjadi marah sekali. "Gadis liar! Kau curang! Mana ada aturan begitu?" bentaknya.
Loan Ki meloncat dengan gerakan ringan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah berada di depan Ka Chong Hoatsu, menudingkan telunjuknya dengan marah.
"Ka Chong Hoatsu, kau seorang hwesio tua, seorang yang namanya sudah terkenal di seluruh kolong langit, apakah hari ini kau hendak menjilat ludah sendiri dan berlaku curang? Ingat baik-baik bagaimana janji kita tadi. Bukankah kau sudah setuju dan berjanji takkan lari sebelum aku menghitung sampai tiga? Perjanjian menunggu sampai hitungan ke tiga ini tadi hanya dikenakan kepadamu, tidak kepadaku. Siapa yang berjanji bahwa aku juga harus menanti sampai hitungan ke tiga? Aku tidak melanggar janji siapa-siapa, aku tidak curang, dan kau sudah kalah, kalah mutlak. Coba katakan apa kau berani melanggar janjimu sendiri?"
Ka Chong Hoatsu terkesima, tak dapat bicara untuk beberapa lama. Kemudian dia membanting-banting tongkatnya sehingga tanah yang bercampur batu di depannya menjadi bolong-bolong seperti agar-agar ditusuki biting saja. "Bocah liar, kau memang menang, akan tetapi bukan menang karena kecepatan berlari, melainkan menang karena akal bulus!"
Loan Ki tersenyum manis dan menjura sampai dahinya hampir menyentuh tanah. "Terima kasih, Ka Chong Hoatsu hwesio tua yang manis! Kau telah menyatakan sendiri sekarang bahwa aku menang. Nah, memang aku menang dalam balapan ini dan karenanya juga aku menang dalam taruhan, bukan? Soal menang menggunakan akal bulus atau akal udang, itu sih tidak diadakan larangan dalam perjanjian tadi. Nah, selamat tinggal, Hoatsu." Dengan langkah manja gadis ini lalu berjalan menghampiri Kun Hong.
Tiba-tiba ia mendengar angin berdesir di belakangnya. Cepat ia menengok dan membalikkan tubuh, siap menanti penyerangan gelap. Akan tetapi tidak ada apa-apa dan ia melihat Ka Chong Hoatsu berdiri sambil tertawa bergelak. Ia memandang ke kanan kiri, semua orang yang berada di situ tertawa belaka. Loan Ki mengangkat kedua pundaknya dan membalikkan tubuh lagi terus berjalan menghampiri Kun Hong, menggandeng lengan pemuda buta itu dan berbisik, "Mari kita pergi, Hong-ko." Ditariknya pemuda itu.
"Ki-moi, kau tadi dipermainkan Ka Chong Hoatsu, buntalanmu di punggung apakah masih ada?" bisik Kun Hong.
Loan Ki terkejut, cepat meraba punggung dan....... ternyata mahkota kuno yang berada di buntalan itu telah lenyap! Ia cepat membalikkan tubuhnya memandang. Eh, kiranya mahkota itu kini sudah berada di tangan kiri Ka Chong Hoatsu yang masih tertawa-tawa.
"Hwesio tua, kau curi benda itu dari buntalanku, Ya?" Loan Ki membentak sambil melotot.
Ka Chong Hoatsu makin gembira tertawa. "Ha-ha-ha, pinceng takkan melanggar janji nona cilik, tapi perlu membuktikan bahwa pinceng jauh lebih cepat daripadamu, sehingga benda ini kuambil tanpa kau dapat tahu atau merasa. Ke dua kalinya, benda ini kami tahan di sini sebagai undangan kepada ayahmu."
"Bagus! Ayah pasti akan datang untuk merampasnya dari tanganmu, hwesio sombong!" Setelah berkata demikian, Loan Ki memperlihatkan muka marah dan menarik Kun Hong pergi dari situ, menuju ke pantai yang kini sudah ia ketahui jalannya. Setelah pergi jauh dan tidak terdengar lagi suara mereka di belakang, Loan Ki berkata lirih, "Hayaaaa, sungguh berbahaya! Baiknya aku mendapat akal dan bisa menang berlomba lari"
"Kau memang cerdik, nakal dan....... aneh......." kata Kun Hong.
"Kalau tidak menggunakan kecerdikan, mana bisa kita ke luar dari tempat ini? He, Hong-ko, kau sudah kenal pemuda baju putih yang gagah tadi? Wah, dia kelihatan lihai sekali, ya? Dan dia telah menolongmu."
Comments