Skip to main content

Pendekar Buta 5 -> karya : kho ping hoo

Kun Hong berdebar hatinya. Nona ini amat dekat dengannya, hanya terpisah batang pohon.

Pernapasannya saja terdengar olehnya, napas yang panjang-panjang dan halus sungguhpun

desir napas itu menyatakan bahwa orangnya mengalami kelelahan. Tidak aneh setelah

bermain pedang mempergunakan tenaga Iweekang seperti itu. Nona itu mencabut pedang

yang tadi dilontarkan menancap pada pohon. Dari suara cabutan ini dengan kagum sekali

Kun Hong mendapat kenyataan bahwa pedang itu menancap setengahnya lebih ke dalam

batang pohon, hal yang membuktikan lagi akan hebatnya tenaga Iweekang nona ini.



Dengan langkah gontai, seperti langkah seorang yang baru sembuh daripada penyakit yang

lama diderita, lemas dan lesu dengan kaki diseret nona itu meninggalkan pohon, kembali

ke tempat tadi. Lalu terdengar oleh Kun Hong betapa dara itu duduk, menggerak-gerakkan

tangan agaknya menyusut peluh dengan saputangan sutera yang dia dengar tadi di antar

datang oleh A Man, Setelah itu gadis itu minum lambat-lambat, dengan teguk-teguk kecil,

agaknya susu madu tadi. Tak terasa lagi Kun Hong menelan ludah dan tiba-tiba saja terasa

betapa lapar perutnya dan haus kerongkongannya. Sejak kemarin sore dia tidak makan

atau minum lagi, yaitu sesudah menyikat habis makanan dan minuman hasil curian Loan Ki.

Loan Ki juga tentu lapar dan haus seperti aku pula pikirnya. Ah, di mana Loan Ki? Seakan-

akan baru sadar daripada sebuah mimpi indah, Kun Hong teringat akan Loan Ki dan hatinya

terbuka, penuh kekhawatiran. Masih hidupkah Loan Ki? Dan di mana ia?



"Benar-benar aku tiada guna......."



Kun Hong memaki diri sendiri. "Loan Ki terjerumus dan hilang, belum tahu mati atau masih

hidup dan....... dan aku.......aku terlongong saja di sini mau apa?"



Hampir marah Kun Hong kepada dirinya sendiri. Baru sekarang dia merasa betapa dia sudah

seperti tergila-gila kepada nona bersuara bidadari itu. Mukanya ditengadahkan ke arah

angkasa, bibirnya bergerak-gerak dalam bisikan "Cui Bi....... kau tentu suka memaafkan

aku....... nona yang di depan ini memang terlalu luar biasa ......."



Setelah berbisik seperti itu dia sudah menggerakkan kaki sambil mengerahkan ginkangnya



agar dapat pergi dari situ tanpa terdengar orang. Akan tetapi baru saja kakinya diangkat

sambil dia membalikkan tubuh hendak pergi, kaki itu berhenti seperti tertahan oleh suara

senandung di belakangnya. Suara bidadari itu bersenandung? Biarpun hanya bersenandung,

tidak bernyanyi nyaring, namun suara itu bagi pendengaran Kun Hong sedemikian

merdunya sehingga dia menahan napas dan miringkan kepala untuk dapat menangkap kata-

kata nyanyian dalam senandung itu.



"Daun labu belum layu anak sungai masih berlagu kutunggu, tuanku. Air sungai melimpah

ruah kuda betina menjerit resah kutunggu, kekasihku. Bahtera menanti kita mengantar ke

pantai kita kutunggu, sahabatku!"



Lemas kedua lutut Kun Hong. Tak terasa pula dia berlutut lalu duduk bersimpuh di atas

tanah. Kulit mukanya tergetar-getar, bergerak-gerak, apalagi di sekitar kedua lubang bekas

mata yang tertutup kelopak (pelupuk mata). Bukan main suara itu! Tadi baru mendengar

suara itu bicara saja dia sudah kagum bukan main, suara yang dapat menggetarkan dan

menyinggung tali halus hatinya. Kini suara itu bersenandung, bukan main! Dada Kun Hong

serasa hendak meledak oleh nikmat yang didatangkan oleh senandung itu. Dia sendiri

seorang ahli sastera, seorang penggemar bacaan, baik filsafat maupun sanjak-sanjak kuno.

Dan kata-kata nyanyian yang keluar bagaikan tetesan-tetesan embun mutiara di ujung daun

hijau di waktu subuh itu, dia pun pernah membacanya.



Sanjak lama, amat kuno akan tetapi masih saja mempunyai arti yang membayangkan

keadaan hati seseorang. Jelas, dara bersuara bidadari ini sedang dirundung malang, dibuai

sedih oleh kesepian, dimabuk khayal lamunan. Mungkinkah ada hubungannya dengan

percakapan tentang jodoh dengan ibunya tadi?



Masih terngiang di telinga Kun Hong suara yang nikmat itu dan dia masih juga duduk

bersimpuh ketika dia mendengar betapa nona itu pergi meninggalkan tempat itu dengan

langkah-langkah gontai. Setelah langkah itu tidak terdengar lagi dan keadaan di situ benar-

benar sunyi tiada orang, Kun Hong melangkah ke luar dari tempat sembunyinya. Bagaikan

didorong oleh tangan tak tampak, atau ditarik oleh besi sembrani, kedua kakinya

melangkah ke arah tempat di mana dara tadi bernyanyi. Tongkatnya tertumbuk pada

sebuah meja batu yang dikelilingi tiga buah bangku batu yang halus dan dingin. Bau harum

yang tadi masih mengambang di udara di sekitar tempat itu, lebih terasa kini. Kun Hong

meraba bangku dingin halus, lalu duduk menghadapi meja, termenung.



Tanpa disengaja tangannya yang meraba meja menyentuh sesuatu yang halus di atas meja.

Saputangan sutera! Agak basah dan hangat. Air mata? Keringat? Seperti dalam mimpi Kun

Hong meremas saputangan sutera itu, lalu mengendurkan tangannya, hatinya merasa

khawatir kalau-kalau remasannya akan merusak benda halus lemas berbau harum itu.

Kemudian, dengan tangan gemetar saputangan itu dia dekatkan ke mukanya, bau harum

mengeras, tapi dia menahan tangannya. Wajah Cui Bi terbayang dan muka Kun Hong

menjadi merah sekali. "Maaf, Cui Bi....... dia terlalu luar biasa......." setelah berkata

demikian dia membenamkan mukanya ke dalam saputangan itu.



Ganda harum semerbak saputangan sutera itu membuat Kun Hong mabuk dan tenggelam di



alam lamunan. Wajah Cui Bi terbayang, maka keras dia mendekap saputangan itu pada

mukanya, seakan-akan yang didekap dan dibelainya itu adalah wajah Cui Bi kekasihnya.

Terluaplah segenap rindu berahi yang selama bertahun-tahun dia kekang, dia bendung, dia

tahan.



"Cui Bi........ Bi-moi....... dewi pujaan....... di mana kau.......?" Kun Hong mengeluh,

menciumi saputangan dan beberapa butir air mata menetes dari sepasang mata yang tak

berbiji lagi itu. Sedih perih membuat dia merasa nelangsa ketika sadar bahwa kekasih yang

amat dirindukannya itu telah tiada dan tak tertahankan lagi Kun Hong menitikkan air mata

yang membasahi saputangan sutera berganda harum itu.



Betapapun kuat batin Kun Hong, dia tetap seorang manusia biasa. Sekali waktu tentu akan

tunduk dan kalah oleh arusnya perasaan yang mencengkeram hati, mencengkam pikiran.

Apalagi perasaan rindu dendam bagi seorang muda amatlah berat dilawan. Kun Hong

pemuda gemblengan itu, yang biarpun sudah buta namun masih memiliki kegagahan dan

kesaktian yang melebihi orang-orang melek, kini bagaikan dilolosi seluruh otot di

tubuhnya, lemas dan berlutut menciumi saputangan sambil menitikkan air mata seperti

laku seorang wanita berhati lemah! Saking hebatnya dia dipengaruhi perasaan sendiri, dia

menjadi lengah dan pendengarannya tidak dapat menangkap suara halus dari langkah kaki

yang mendekati tempat itu, bahkan yang datang menghampirinya. Langkah halus dan

ringan dari sepasang kaki yang bersepatu merah, dan yang menghampirinya dari belakang.



"Pencuri busuk, berani kau memasuki tamanku? Hayo berlutut di depan nonamu!" Suara ini

nyaring dan merdu, namun mengandung getaran galak dan tinggi hati Kun Hong terkejut,

seakan-akan disendal dari dunia lamunannya. Dengan gugup dia mencengkeram saputangan

itu dan membalikkan tubuhnya dengan siap karena dia mendengar suara pedang dicabut

oleh wanita yang memakinya ini. Tongkatnya dipegang erat karena biarpun dari suaranya

dia dapat mengenal seorang gadis remaja yang galak, namun gadis ini dapat datang tanpa

dia ketahui, tanda bahwa ilmu kepandaiannya juga tinggi, maka dia harus siap menghadapi

bahaya serangannya.



Akan tetapi gadis itu mengeluarkan seruan tertahan ketika melihat bahwa orang yang

dibentaknya itu kiranya hanya seorang buta. Ia mendengus penuh ejekan lalu menyimpan

kembali pedangnya.



"Hah, kiranya hanya seorang jembel buta! Sungguh tidak punya guna para penjaga itu.

Orang macam ini dikatakan menimbulkan onar? Hee, jembel buta, apakah kau bersama

seorang gadis yang datang ke pulau kami secara menggelap? Hayo berlutut dan jawab baik-

baik kalau tidak ingin nonamu turun tangan sendiri memberi hajaran kepadamu!"



Mengkal sekali rasa hati Kun Hong mendengar suara seorang dara muda begini galak

memaki-niaki dan menghinanya, akan tetapi dia tetap tersenyum sabar, bangkit berdiri

dan menjura.



"Maaf, Nona. Aku seorang buta yang tidak mengenal jalan telah tersesat sampai di sini

tanpa disengaja, harap Nona sudi memberi maaf."



"Maaf ? Enak saja bicara! Orang luar yang berani memasuki pulauku ini tak boleh keluar

dalam keadaan hidup lagi. Kau jembel buta berani masuk ke sini dan seperti orang mabuk

menangis menciumi saputangan. Hemm, kiranya kau selain buta juga gila. Kau terlalu kotor

untuk mampus di tanganku. Heeiii, A Man.......!!" Suara memanggil ini amat nyaring,

mengandung tenaga khikang yang kuat sekali sehingga diam-diam Kun Hong kagum. Kiranya

gadis galak ini memiliki kepandaian yang hebat juga, terang tidak di sebelah bawah tingkat

Loan Ki! Dia makin terheran-heran mendapat kenyataan bahwa di pulau ini terdapat dua

orang gadis yang suaranya jauh berbeda seperti bumi dan langit, namun yang keduanya

memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat!



Suara seruan seperti itu tadi tentu dapat mencapai jarak jauh. Benar saja, tak lama

kemudian terdengar suara orang menjawab berulang-ulang dan terdengarlah langkah-

langkah kaki berlari-lari ke tempat itu, langkah-langkah ringan beberapa orang wanita.

Kiranya pelayan-pelayan tadi, lima orang banyaknya dengan A Man di depan, telah lari

datang mendengar panggilan itu.



"Ah, kiranya Siocia telah berada di sini......." terdengar gadis pelayan yang bernama A Man

berkata. Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat menangkap betapa dalam

ucapan gadis pelayan ini terkandung rasa takut dan tunduk, berbeda dengan ketika gadis

pelayan ini tadi bicara terhadap dara bersuara bidadari.



"A Man! Apa saja kerjamu dan para pelayan ini di sini ? Sampai di dalam taman kemasukan

jembel buta gila kalian tidak ada yang tahu ! Hemm, benar-benar kalian ini masing-masing

patut dihukum sepuluh kali cambukan"



"Ampun, Siocia....... hamba berlima tadi disuruh pergi oleh nona Hui Kauw....... dan ketika

hamba pergi, di sini ada nona Hui Kauw sedang berlatih silat, tidak ada....... jembel

ini....... eh, itu adalah saputangan nona Hui Kauw! He pengemis buta, kau telah mencuri

saputangan nona Hui Kauw?"



Tiba-tiba nona yang galak itu tertawa, dan suara ketawanya ini merdu sekali sungguhpun

bagi Kun Hong tetap saja mengandung sifat yang liar dan kejam.



"Wah, kiranya enci Hui Kauw malah memberi sedekah saputangannya kepada pengemis

buta ini? Hi-hik, A Man, kau lihat, biarpun buta dan pakaiannya kotor, pengemis ini masih

muda dan wajahnya tampan juga, ya? Dan enci Hui Kauw memberi saputangannya kepada

pengemis ini. Pemberian sedekah yang aneh, hi-hi-hik!"



Merah wajah Kun Hong, apalagi ketika mendengar betapa lima orang pelayan itu pun sama-

sama tertawa mengejek. Timbul kemarahan dalam hatinya karena dia merasa betapa gadis

galak ini bersama pelayan-pelayan penjilat itu menghina dan mentertawai Hui Kauw, dara

bersuara bidadari itu. Dengan suara keren Kun Hong berkata,



"Kalian jangan lancang mulut! Nona itu tidak memberi hadiah saputangan kepadaku.

Saputangan ini kutemukan di sini, tertinggal oleh nona itu tanpa disengaja. Alangkah



jahatnya kalian menyangka yang bukan-bukan dan menjatuhkan fitnah keji kepada seorang

gadis yang putih bersih!"



"Heeeee! Kau membela enci Hui Kauw? Bagus, bagus....... memang cocok kau dan ia. A

Man, hayo kau dan teman-temanmu mewakili aku memberi hajaran kepada pengemis buta

ini, pukul sampai dia minta-minta ampun dan suka mengaku bahwa dia adalah pacar dari

enci Hui Kauw!"



Kun Hong mendengar langkah seorang di antara para pelayan itu maju dan disusul

bentakan suara pelayan ini yang tinggi melengking, "Pengemis buta, hayo kau berlutut

mentaati perintah siocia!"



Kun Hong menggeleng kepala, bersandar kepada tongkatnya dan menggumam,

"Kalian jahat....... aku tidak sudi mencemarkan nama seorang yang tak berdosa......."



"Keparat, hayo berlutut!" Sambaran angin sebuah tongkat mengarah kaki Kun Hong.

Pemuda buta itu tidak mengelak.



"Krakk!" Tongkat patah menjadi tiga potong dan pelayan wanita itu menjerit kesakitan dan

meloncat mundur dengan muka pucat. Tongkat patah dan telapak tangannya merah-merah

dan sakit.



Nona galak itu mendengus mengejek. A Man berteriak marah, "Jembel busuk, kau tidak

mau berlutut? Kuhancurkan kepalamu!" Kini pelayan kepala ini yang mengayunkan sebatang

tongkat ke arah kepala Kun Hong. Kali ini Kun Hong hanya menggerakkan kepala ke

samping dan sambaran tongkat itu tidak mengenai sasaran. A Man makin marah, sampai

lima kali tongkatnya menyambar kepala, namun selalu memukul angin!



Kembali nona itu mendengus, lalu disusul suaranya penuh kemarahan,

"A Man, kau memalukan sekali. Kau yang mempunyai dua buah mata tidak mampu

mengalahkan seorang yang tak bermata? Percuma saja kau mempunyai dua buah mata yang

melirik ke sana-sini. Kalau ibu mendengar tentang ini, hemmm, kurasa kedua biji matamu

akan dicokel ke luar!"



"....... ampun, Siocia....... biarlah kuhajar pengemis busuk ini."



"Nah, keluarkan ngo-coa-tin (barisan lima ular)," kata pula si nona galak dengan nada

memerintah. "Agaknya jembel buta ini berani masuk mengandalkan kepandaian, hemm, dia

harus mampus."



"Srattttt!" Lima batang pedang tercabut dari sarungnya hampir berbareng. Kemudian Kun

Hong mendengar langkah-langkah kaki lima orang mengurungnya, gerak langkahnya teratur

sekali dan langkah-langkah itu tidak pernah berhenti, terus mengitari dirinya, malah di

antara derap langkah ini terdengar suara mendesis. Kun Hong mengerutkan keningnya. Ia

dapat menduga bahwa lima orang pelayan wanita ini mengurungnya dengan pedang di

tangan kanan dan agaknya seekor ular di tangan kiri. Dugaannya ini memang benar. Setiap



orang pelayan memegang sebatang pedang dan di tangan kiri mereka terdapat seekor ular

hijau yang mendesis-desis dan lidahnya yang kehijauan itu menjilat-jilat ke luar.



Lima batang pedang menyambar cepat dari lima jurusan dan merupakan lima macam

serangan yang berbeda-beda. Ada yang menusuk, membacok, membabat, dan lain-lain.

Kun Hong terhuyung-huyung lima kali dan semua penyerangan itu mengenai angin belaka.

Akan tetapi pedang itu secara berantai susul-menyusul mengirim serangan cepat, malah

kini diselingi serangan dengan ular di tangan kiri yang menyambar ke depan dan gigi-gigi

rneruncing mengandung bisa itu menggigit-gigit mencari korban! Sementara itu, mereka

masih terus melangkah berputar-putar di sekeliling Kun Hong.



Diam-diam pemuda buta ini merasa kagum. Barisan lima orang wanita ini benar-benar kuat

dan seorang ahli silat yang belum memiliki kesaktian, kiranya akan roboh binasa biarpun

agaknya dapat membalas dan merobohkan dua tiga orang pengeroyok. Gerakan mereka

amat teratur dan otomatis sehingga mereka akan merupakan satu orang dengan lima

batang pedang dan lima ekor ular! Dia tahu bahwa terhadap serbuan pedang-pedang itu,

dengan mudah dia akan dapat menghindarkan diri, akan tetapi menghadapi lima ekor ular

itu amatlah sukar. Ular tak dapat disamakan dengan pedang, karena ular adalah mahluk

hidup yang memiliki gerakan sendiri dan sama sekali tidak menurut cara ilmu silat. Tentu

saja dia tidak mau terancam bahaya dan begitu serangan lima Orang pengeroyoknya makin

menghebat, dia berseru panjang, tubuhnya lenyap terganti segulungan sinar merah

dan....... lima orang pengeroyoknya itu riuh rendah menjerit dan meloncat mundur sambil

terbelalak memandang kedua tangan mereka. Yang memegang gagang pedang, yang

memegang ekor ular berdarah.



Ternyata pedang-pedang dan kepala-kepala ular sudah putus dan menggeletak di atas

tanah di depan kaki mereka!



"Aha, kiranya ada kepandaian juga si buta gila ini. Pantas saja berani memasuki Ching-coa-

to. Minggirlah kalian budak-budak tak berguna, biar kuhabiskan nyawa si buta sombong ini.

Lihat bagaimana pedangku menembus jantungnya



Kun Hong hanya mendengar suara halus, disusul tiupan angin ke arah hatinya. Dia kaget

sekali dan cepat mengelak selangkah ke kiri. Cara gadis ini mencabut pedang saja sudah

membuktikan bahwa gadis galak ini benar-benar amat lihai, malah serangan pertamanya

juga luar biasa cepatnya, hampir sukar ditangkap angin sambarannya. Kun Hong tidak

berani memandang rendah dan dia siap mempergunakan tongkatnya yang berisi pedang

Ang-hong-kiam. Seperti juga menjadi penyakit watak para ahli silat lainnya, Kun Hong ingin

pula mengetahui sampai di mana kepandaian gadis ini dan ilmu silat apakah yang

dimainkannya. Oleh karena ini maka dia bersikap mempertahankan diri, terhuyung-huyung

ke sana ke mari dalam langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari sambaran

pedang lawan yang amat lihai dan cepat.



Dia makin kagum. Gerakan-gerakan gadis ini halus dan lemas, mungkin kelihatan indah pula

seperti Ilmu Silat Bidadari yang dimiliki Cui Bi dan juga Loan Ki. Akan tetapi sebetulnya

terdapat perbedaan amat jauh karena ilmu pedang. yang dimainkan gadis galak ini



mengandung unsur-unsur gerakan penyerangan seekor ular yang amat ganas dan liar.

Gerakan lenggang-lenggok, menggeliat geliat, menyerang tiba-tiba dan kadang-kadang

berdiam diri seperti ular melingkar, benar-benar merupakan sifat-sifat seekor ular.



Memang dugaan Kun Hong ini tidak keliru. Gadis itu sesungguhnya mempunyai ilmu silat

yang berasal dari ciptaan Si Raja Ular Giam Kin! Ilmu pedangnya amat ganas, keji dan juga

curang sekali sehingga belum pernah dia mengalami kegagalan dalam pertempuran. Akan

tetapi kali ini dia bertemu gurunya! Seperti kita ketahui, di samping ilmu kesaktian yang

dia terima dari Raja Pedang Tan Beng San, yaitu Ilmu Silat Im-yang-sin-hoat, pada dasarnya

Kun Hong mempunyai ilmu silat yang pertama kali dilatihnya, yaitu Kim-tiauw-kun (Ilmu

Silat Rajawali Emas).



Tentu saja gerakan-gerakan seekor burung rajawali jauh lebih hebat dan dapat mengatasi

gerakan seekor ular karena dalam kenyataannya juga selalu seekor ular menjadi "mati

kutunya" kalau bertemu dengan seekor burung rajawali.



Kalau Kun Hong menghendaki, kiranya tidak sukar baginya untuk mengalahkan gadis galak

ini. Diam-diam dia pun girang karena mendapat kenyataan bahwa biarpun gadis ini juga

amat lihai, malah lebih lihai daripada Loan Ki, namun kiranya tidak selihai gadis bersuara

bidadari. Dia girang karena dia menyukai gadis bidadari itu.



Dia mengerti bahwa kalau dia mengalahkan gadis sombong dan galak ini, sudah tentu gadis

ini akan menjadi makin sakit hati. Padahal dia adalah seorang tamu tak diundang, dan

kalau dia membikin malu dan sakit hati tentu seluruh isi pulau, termasuk gadis bersuara

bidadari akan marah dan memusuhinya. Apalagi kalau mendengar dari kata-kata gadis ini

tadi, agaknya gadis ini masih keluarga dengan gadis yang bernama Hui Kauw, buktinya

selain gadis galak itu menyebut "enci", juga gadis ini menyebut ibu kepada nyonya yang

oleh para pelayan dipanggil toa-hio. Hui Kauw juga menyebut ibu kepada nyonya itu,

apakah kalau begitu gadis ini masih adik dari Hui Kauw? Sangat boleh jadi, akan tetapi

kalau betul adiknya, kenapa mengeluarkan fitnah keji dan malah agaknya gadis ini

membenci Hui Kauw?



"Nona, sudahlah. Aku datang ke sini bukan mencari permusuhan, semata-mata karena salah

jalan......." dia mencoba untuk membujuk lawannya.



"Pengemis buta banyak cerewet! Lekas berlutut minta ampun dan mengaku bahwa kau

adalah pacar enci Hui Kauw atau....... kau mampus di ujung pedangku!"



Gadis itu berseru karena ia merasa berada di atas angin. Memang sejak tadi Kun Hong

hanya mengelak, malah jarang menangkis, tak pernah balas menyerang sehingga menurut

pikirannya, juga dalam pandangan lima orang pelayan tadi, pemuda buta itu repot

menyelamatkan diri dan tidak mampu balas menyerang.



"Keji.......! Dara remaja berwatak keji.......!" Kun Hong berseru marah dan tiba-tiba sinar

pedang merah bergulung-gulung menyelimuti diri gadis galak itu. Hawa dingin menyambar-

nyambar dan terdengar gadis itu beberapa kali menjerit karena merasa betapa hawa



pedang dingin menyambar di dekat leher, kepala, dada, muka, seakan-akan pedang yang

tajam mengancam untuk mengulitinya! Ia heran, kaget, takut, dan merasa seram. Barulah

ia mengaku dalam hati bahwa orang buta ini kiranya memiliki kesaktian yang begini

hebatnya. Ia berusaha mempertahankan diri, namun karena tangannya gemetar,

gerakannya lemah dan akhirnya ia menyerah saja sambil berloncatan karena ngeri dan

takut.



Pada saat itu terdengar suara halus, "Hui Siang moi-moi (adik), kau bertempur dengan

siapa dan kenapa bertempur?"



Begitu mendengar suara ini, tiba-tiba Kun Hong melompat jauh ke belakang, menghentikan

gerakannya. Gadis galak bernama Hui Siang itu berdiri dengan muka pucat, badan gemetar

dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ngeri hatinya kalau membayangkan keadaannya

tadi dan ia memandang kepada si buta dengan terbelalak. Karena jelas baginya sekarang

bahwa orang buta ini benar-benar lihai luar biasa, ia tidak berani lagi bersikap seperti tadi.



"Enci Hui Kauw....... jembel buta inilah yang dikabarkan mengacau di pulau kita bersama

seorang temannya yang entah ke mana. Dia amat kurang ajar, tadi mengaku bahwa dia

adalah pacarmu, malah memperlihatkan sehelai saputangan sutera, katanya pemberianmu.

Tentu saja aku menjadi marah dan menyerangnya, kiranya dia lihai....... pantas dia begitu

kurang ajar."



Berubah wajah Kun Hong, berdebar hatinya dan dia menekan perasaannya yang hendak

terbakar oleh nafsu amarah. Gadis cilik ini benar-benar luar biasa jahatnya. Pandai

memutar balikkan fakta dan melakukan fitnah keji ke kanan kiri tanpa mengenal malu lagi.

Sebelum dia membuka mulut, terdengar suara A Man.







"Betul, nona Hui Kauw, apa yang diucapkan oleh siocia tadi. Si jembel buta ini kurang ajar

sekali, menghina Nona dan kalau tidak salah, saputangan Nona masih berada di saku

bajunya......." Suara A Man ini disusul suara empat orang pelayan lain yang membetulkan

omongan ini.



Makin mendidih darah di dalam dada Kun Hong, Hemmm, kiranya para pelayan ini amat

menjilat-jilat nona muda yang bernama Hui Siang. Dan mereka ini merupakan sekutu yang

diam-diam memusuhi Hui Kauw, si gadis bersuara bidadari. Diam-diam dia merasa kasihan

kepada nona bidadari yang suaranya sudah menggores kulit dada menembus kalbunya itu.



Tiba-tiba terdengar olehnya desir angin lembut dan tercium ganda harum semerbak yang

amat dikenalnya. Diam-diam dia kagum. Nona bidadari itu sekali menggerakkan tubuh

telah berada di depannya! Dia mendengar sambaran tangan diayun ke arah mukanya.

Otaknya bekerja cepat. Tentu nona yang bernama Hui Kauw ini marah dan merasa terhina,

maka kini mengayun tangan menamparnya. Hal yang wajar. Dia hanya mengerahkan tenaga

menjaga tulang muka karena maklum akan kelihaian nona bidadari ini. Sengaja dia tidak

menjaga kulit.



"Plakk!" Kun Hong merasa betapa pipi kirinya panas-panas, telinganya mendengar bunyi

mengiang, lalu bibirnya merasa sesuatu yang asin, tentu darah keluar dari luka di belakang

pipi yang mengalir keluar dari mulutnya, merembet ke pinggir bibir. Dia tersenyum, sama

sekali tidak merasa sakit hati atau marah karena dia yakin benar bahwa nona itu

memukulnya karena merasa terhina. Penghinaan yang paling berat dan paling besar bagi

seorang gadis.



Kun Hong mendengar betapa gadis itu melangkah mundur tiga tindak, lalu terdengar

suaranya marah dan menyesal, akan tetapi bagi Kun Hong tetap saja mengandung getaran

halus yang mencerminkan budi luhur,



"Orang buta, Thian (Tuhan) telah menciptakan kau menjadi buta. Bukankah itu cukup

untuk mengingatkan kau bahwa orang tidak boleh berbuat dosa? Kurang beratkah hukuman

yang jatuh kepada dirimu itu sehingga kau tidak segan-segan menambah dosa-dosamu

dengan mengucapkan penghinaan terhadap diriku? Apa salahku kepadamu dan mengapa

pula kau yang baru sekali ini berjumpa denganku datang-datang melakukan fitnah keji? Kau

memiliki kepandaian, biar buta tentu bukan seorang bodoh, jawablah!"



Tiba-tiba Kun Hong tertawa, tertawa bergelak-gelak saking senangnya. Ucapan nona

bidadari itu betul-betul membuka hatinya untuk menjadi gembira karena merasa amat

berbahagia dapat bertemu dengan seorang seperti nona bidadari ini. Tak salah dugaannya,

tidak keliru dia menjadi seperti tergila-gila. Memang sesungguhnya nona ini seerang

bidadari yang menjelma di permukaan bumi. Bukan main indah dan bersihnya ucapan itu.

Kun Hong mendongak ke atas dan tertawa terbahak-bahak, hal yang baru kali ini dia

rasakan dan lakukan semenjak dia menjadi buta, kemudian dia ingat bahwa mungkin sekali

sikapnya ini menambah perih hati nona bidadari itu, maka dia segera menahan diri

menghentikan tawanya, lalu menjura ke depan mengangkat kedua tangan ke arah dada

sebagai penghormatan seorang terpelajar, kemudian katanya,



"Nona, maafkan kelakuanku tadi, Ucapanmu benar-benar menggugah kegembiraan hatiku

dan menyadarkanku bahwa di dunia ternyata masih ada seorang yang bijaksana seperti

Nona. Tamparanmu kuterima dengan senang hati, Nona, karena sesungguhnya, fitnah keji

itu jauh lebih menyakitkan hatimu daripada rasa nyeri pada mukaku. Kemarahanmu tidak

berlebihan, malah andaikata betul fitnah keji tadi, aku rela dan patut dihukum mati." Kun

Hong lalu tersenyum dan menyambung, "Tentu Nona tahu akan pendapat para arif

bijaksana jaman dahulu bahwa khianat dan fitnah hanya datang dari orang-orang yang

dekat. Aku sama sekali tidak mengenal Nona, bagaimana dapat melakukan fitnah?"



Agaknya ucapan ini mempunyai pengaruh besar, mengingatkan Hui Kauw akan

kelancangannya menjatuhkan marah kepada seorang asing tanpa menyelidik lebih dahulu.

Ia segera berkata kepada nona galak tadi, suaranya mengandung sesalan besar. "Adik Hui

Siang, kulihat sahabat buta ini bicara keluar dari hati tulus, bagaimana mungkin dia

mengeluarkan fitnah keji seperti yang kau nyatakan tadi?"



"Enci Hui Kauw, kau malah membela dia? Uh, benar-benar aneh kalau kau malah



membenarkan dia menyalahkan aku. Itu buktinya dia membawa saputanganmu, dari mana

dia dapatkan itu?" Kata-kata ini mengandung sindiran tajam, seakan-akan gadis cilik yang

galak itu berbalik menyerang Hui Kauw dengan tuduhan yang bukan-bukan.



Wajah Hui Kauw merah, akan tetapi dengan tenang ia menjawab, "Tadi aku berlatih

seorang diri di sini dan saputangan itu kugunakan untuk menghapus keringat, kemudian aku

pergi dan saputangan itu tertinggal di sini. Boleh jadi dia lalu datang dan menemukan

Saputanganku di atas meja, apanya yang aneh dalam hal ini?"



"Tentu saja aneh. Aneh sekali! Bukankah aneh kalau kukatakan kepadamu bahwa tadi aku

melihat dia menciumi saputanganmu sambil menangis? Hi-hik, bukankah aneh kelakuannya

itu, Enci yang baik? Dia mengaku pacarmu, dan melihat saputangan itu........

diciuminya....... hemmm, hampir tadi aku percaya akan pengakuannya."



"Bohong! Bocah bermulut keji, kau bohong mengeluarkan ucapan fitnah kepada encimu

sendiri. Kiranya kau perlu dihajar oleh orang tuamu!" Kun Hong berteriak marah.



"Jembel buta, berani kau kurang ajar kepadaku?" Hui Siang menyerbu dan memukul kepala

Kun Hong. Akan tetapi hanya dengan gerakan mudah saja Kun Hong membuat pukulan itu

mengenai angin. Beberapa kali Hui Siang memukul, namun tak pernah mengenai sasaran.



"Hui Siang, jangan sembarangan menerjang orang tanpa diketahui dosanya lebih dulu. Aku

sudah lancang tangan tadi, jangan kau memperbesar keonaran!" Hui Kauw yang melihat

penuh kekagetan betapa gerakan pemuda buta itu aneh dan luar biasa sekali. Diam-diam

iapun terheran-heran mengapa tadi ketika ia yang menampar, sekali tampar saja mengenai

pipi si buta dan malah sampai ada darah mengalir dari bibir orang buta itu. Akan tetapi

sekarang Hui Siang yang menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan pukulan yang akan

dapat menewaskan orang itu, dengan amat mudahnya dielakkan oleh si buta!



Hui Siang membanting-banting kakinya dengan gemas dan mendongkol. "Lagi-lagi kau

membelanya, enci Hui Kauw. Bagus! Hal ini harus kulaporkan kepada ibu, biar ibu datang

mengadili perkara ini dan membunuh mampus jembel buta busuk yang kurang ajar ini. A

Man, hayo semua ikut aku melapor kepada ibu, kalian berlima menjadi saksi!"



Maka pergilah gadis galak itu diikuti oleh lima orang pelayan yang terhadap gadis ini amat

penurut dan takut, bahkan menjilat-jilat sikap mereka. Kun Hong mendengar langkah

mereka cepat-cepat meninggalkan tempat itu, dan dia hanya menundukkan kepala, gelisah

memikirkan nona bidadari yang masih berdiri di depannya tanpa bergerak seperti patung.



Hening sejenak. Nona itu tidak bergerak, juga tidak bicara, demikian pula Kun Hong.

Terdengar oleh pemuda ini betapa nona itu beberapa kali menarik napas panjang, akan

tetapi dia sama sekali tidak tahu betapa nona itu menatap wajahnya dan memandangnya

penuh perhatian dan penuh selidik dari kepala sampai ke pakaiannya yang kotor berlumpur

serta sepatunya yang sudah bolong-bolong.



Helaan napas panjang itu terdengar menusuk perasaan Kun Hong. Seakan-akan nona ini



berduka dan kedukaan itu timbul karena dia, karena perbuatannya tanpa dia sadari tadi.

Mengapa dia tadi begitu bodoh sehingga tidak mendengar kedatangan Hui Siang, gadis

galak itu? Mengapa dia begitu lemah, menurutkan getaran hati sehingga dia berlaku seperti

orang gila, menangis dan menciumi saputangan seorang nona yang asing baginya? Dengan

hati berdebar dia merogoh saku, mengeluarkan saputangan sutera yang harum itu

melangkah setindak ke depan dan dengan tangan gemetar dia mengangsurkan saputangan

itu kepada pemiliknya sambil berkata lirih,



"....... ini, saputanganmu, Nona....... maafkan aku ....... telah menimbulkan hal tidak

enak bagimu ......."



Hui Kauw menerima saputangan itu tanpa berkata apa-apa, menyimpannya dan kembali ia

menghela napas. Kemudian terdengar ia berkata, lirih dan seperti bicara kepada diri

sendiri, "Malang tak boleh ditolak, mujur tak boleh diraih. Hidup memang derita, banyak

duka daripada suka, sepanjang hidup pahit dan hampa, manis suka hanya sekejap mata



Kun Hong tetap tunduk, kerut merut di antara matanya amat dalam, membuat dia nampak

lebih tua. Hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum rasanya. Dia seakan-akan dapat merasakan

derita batin yang ditanggung nona muda ini. Semuda itu, sedemikian nelangsanya. Ingin dia

menghibur, ingin dia menyanjung, namun tak kuasa membuka mulut. Untuk menghalau

tindihan berat pada perasaannya, Kun Hong mengeluarkan suara keluhan dibarengi helaan

napas berat dan panjang.



Agaknya suara ini menyadarkan Hui Kauw. "Sahabat buta, pulau ini adalah tempat terlarang

bagi orang luar untuk masuk tanpa seijin ibu. Kenapa kau masuk ke sini dan membuat

keributan? Apa kehendakmu sebetulnya?"



Kun Hong dapat menangkap perasaan di balik kata-kata ini yang merupakan teguran dah

penyesalan karena perbuatan itu hanya akan menimbulkan kesulitan baginya sendiri. Nona

yang bersuara dan berwatak bidadari ini tidak menaruh sesal bahwa perbuatannya itu akan

menjerumuskan si nona dalam kesulitan. Kembali dia menarik napas dan menjadi makin

kagum.



"Sesungguhnya, tiada seujung rambutpun maksud hatiku membuat keonaran, Nona. Aku

dan nona Loan Ki berani mengunjungi pulau ini dengan maksud untuk minta maaf kepada,

penghuni Pulau Ching-coa-to ini atas kelancangan dan kenakalan nona Loan Ki yang telah

merampas makanan dan minurnan. Siapa kira perbuatan ini akan berakibat panjang......."



Dengan singkat dia lalu menuturkan tentang kenakalan Loan Ki mencuri makanan,

kemudian penyerangan koki dan jagal, lalu keputusan mereka untuk datang ke pulau minta

maaf. Memang inilah sebetulnya isi hatinya dan tentu saja dia tidak menceritakan maksud

hati si nakal Loan Ki yang ingin melihat nenek koki itu ditenggelamkan ke dalam air dan si

jagal dipukuli kepalanya!







Mendengar penuturan ini, Hui Kauw tersenyum, lalu menghela napas. "Alangkah senangnya



dapat hidup bebas merdeka seperti nona cilik itu! Alangkah gembiranya sekali waktu dapat

menurutkan dorongan darah muda yang selalu penuh oleh petualangan, dapat meliar dan

melakukan yang tidak berlebihan. Apamukah nona Loan Ki itu?"



"Bukan apa-apa, hanya bertemu di jalan. Kami baru sehari dua berkenalan, dan ia seorang

gadis berjiwa pendekar."



"Ah, baru bertemu sudah menaruh belas kasihan bagi seorang buta, suka mencarikan

makanan biarpun dengan jalan merampas. Ia seorang anak yang liar dan nakal, akan tetapi

berdasarkan pribudi yang mengandung welas asih. Ia tentu bukan orang jahat."



Kembali Kun Hong menjadi kagum mendengar ini. Bukan main! Suaranya sehalus suara

bidadari, ucapan-ucapannya bijaksana seperti seorang ahli filsafat. Kekagumannya

membuat dia lancang berkata,



"Kau bijaksana dan berbudi mulia, Nona. Alangkah jauh bedanya dengan adikmu, seperti

bumi dan langit......."



Hui Kauw tersenyum, ini dapat dirasai oleh Kun Hong, akan tetapi dia tak dapat melihat

betapa senyum itu adalah senyum yang pahit. "Tentu saja jauh bedanya seperti bumi dan

langit. Adikku Hui Siang adalah seorang dara yang luar biasa cantik jelitanya, sedangkan

aku....... aku seorang buruk rupa......."



"Nona, biarpun aku seorang buta, kau tidak mungkin dapat mengelabuhi aku. Kau seribu

kali lebih cantik jelita daripada adikmu......." Kembali ucapan ini terlontar keluar dari

mulutnya tanpa pengendalian, namun Kun Hong setelah sadar tidak menyesal karena

memang ingin dia memuji nona ini.



"....... pandangan seorang buta....... ah, andaikata kedua matamu dapat melihat, mungkin

berbeda ucapanmu....... ah, alangkah besar inginku melihat kau tidak buta untuk sebentar

saja sehingga aku dapat mendengarkan pendapatmu lagi......." nona itu menarik napas

panjang lagi dan kali ini Kun Hong mendengarkan penyesalan dan kekecewaan yang besar.



"Sahabat buta, siapakah namamu?"



"Aku Kwa Kun Hong, nama yang tidak ada artinya bagi seorang seperti Nona."



"Hemm, kau pandai merendah. Kulihat tadi ilmu kepandaianmu amat tinggi, aku sendiri

belum tentu dapat melawanmu. Heran aku bagaimana seorang seperti kau ini bisa

buta....... dan adikku tadi bilang bahwa ia melihat kau....... eh, menangis dan menciumi

saputanganku. Betulkah itu?"



Jantung Kun Hong berdebar. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak akan berkeberatan

untuk berbohong kalau saja itu tidak akan merugikan siapapun juga. Akan tetapi kalau kali

ini dia membohong, berarti dia seperti melontarkan fitnah kepada Hui Siang gadis galak

itu. Dengan muka berubah merah dia mengangguk tanpa menjawab. Hening lagi sejenak.



"Kalau begitu....... ucapan adikku tadi benar semua, bahwa....... bahwa kau mengatakan

aku ini pacarmu?"



"Tidak.......! Sungguh mati dan demi Tuhan tidak! Memang aku tadi lupa diri....... dengar

baik-baik Nona. Tadi aku telah berada di sini ketika kau bercakap-cakap dengan ibumu,

aku mendengarnya semua. Aku mendengar pula kau berlatih ilmu pedang, dan mendengar

kau bersajak. Aku kagum sekali, aku kasihan kepadamu. Kemudian kau pergi....... dan

seperti dalam mimpi aku melangkah ke sini, menemukan saputangan itu di atas meja.......

dan aku....... ah, mungkin aku sudah gila....... aku teringat akan seorang yang telah tiada

di dunia ini, aku terharu....... dan mungkin aku menangis sambil menciumi saputangan itu.

Kau maafkan aku, Nona, dan semoga Thian menghukumku kalau aku mengandung maksud

tidak senonoh terhadap dirimu, maafkan aku."



Hening lagi sejenak. "Lagi-lagi korban hidup, dalam hal ini agaknya....... asmara yang

menyeretmu. Kau seorang terpelajar pandai dan berilmu tinggi, sampai menjadi begini

tentu akibat penderitaan batin. Hemm, saudara Kwa, silahkan duduk."



"Terima kasih, Nona. Tak berani aku mengganggu lebih lama lagi dan kalau kau suka aku

mohon pertolonganmu agar supaya sahabatku Loan Ki itu dapat terbebas daripada bahaya.

Aku masih belum tahu bagaimana keadaan dan nasibnya."



Pada saat itu terdengar suara gaduh dan banyak orang memasuki taman itu. Kun Hong

miringkan kepala dan tahulah dia bahwa orang-orang yang memasuki taman kali ini

bukanlah para pelayan, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tiba-tiba

terdengar suara nyaring yang membuat Kun Hong menjadi kaget, girang dan juga heran

karena suara itu adalah suara Loan Ki yang datang-datang menegurnya,



"Heii, Hong-ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka hitam ini?

Kau benar-benar mata keranjang tapi kali ini kau salah pilih!"



Terdengar suara ketawa geli menyambut teguran Loan Ki kini. Agaknya yang membuat

orang tertawa adalah sebutan mata keranjang, sebutan yang lucu dan aneh bagi seorang

yang tidak bermata! Akan tetapi Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan atau

memperdulikan ini karena hatinya diliputi keheranan bagaimana Loan Ki bisa datang

bersama-sama orang-orang itu dan siapa adanya mereka? Tentu saja dia sama sekali tidak

tahu bahwa kedatangan Loan Ki tidak sewajarnya karena gadis ini kedua tangannya

ditelikung ke belakang dan diikat dengan sehelai tali panjang yang dipegangi ujungnya oleh

seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang tertawa-tawa.



Pembaca tentu heran pula bagaimana Loan Ki si dara lincah itu bisa tiba-tiba muncul dan

menjadi tawanan? Baiklah kita ikuti pengalamannya dan sebelum itu lebih baik kita

berkenalan lebih dulu dengan penghuni Pulau Ching-coa-to dan para tamunya yang

sekarang menggiring Loan Ki memasuki taman.



Pemilik Ching-coa-to adalah seorang wanita setengah tua yang terkenal dengan sebutan



Ching-toanio. Nama ini hanya sebutan saja, mungkin sengaja ia pakai untuk disesuaikan

dengan nama pulaunya dan memang nyonya ini selalu berpakaian hijau (ching). Biarpun

usianya sudah hampir lima puluh tahun, namun jelas kelihatan bahwa dahulunya Ching-

toanio adalah seorang wanita yang cantik manis. Memang demikianlah, dahulu ketika ia

masih bernama Liu Bwee Lan, wajahnya cantik, bentuk tubuhnya menarik dan ilmu silatnya

juga tinggi. Sayang bahwa anak yang cantik dan cerdik ini semenjak kecilnya tidak

mendapat pendidikan yang baik karena memang ia hidup di lingkungan keluarga penjahat.

Ayah bundanya merupakan perampok yang terkenal dan semenjak kecil telah tertanam

bibit kejahatan dalam batin Liu Bwee Lan.



Dua puluh tahun yang lalu, ketika ia berusia dua puluh tahun lebih dan sudah menjadi

seorang nona dewasa yang cantik dan garang, Liu Bwee Lan berdikari dan menjadi

perampok tunggal. Pada suatu hari ia melakukan perampokan di kota raja, suatu perbuatan

yang hanya dapat dilakukan oleh seorang penjahat yang berkepandaian tinggi karena

amatlah berbahaya melakukan perampokan di kota raja di mana banyak terdapat jagoan-

jagoan pandai. Liu Bwee Lan ini dengan nekat dapat merampok rumah gedung keluarga

hartawan, malah karena amat tertarik melihat seorang anak kecil berusia setahun kurang

lebih, ia membawa atau menculik bayi ini pula!



Akan tetapi hampir saja ia celaka ketika beberapa orang penjaga keamanan kota yang

berilmu tinggi mengejar dan mengepungnya. Baiknya pada saat itu muncul seorang tokoh

kang-ouw yang namanya amat terkenal, seorang tokoh muda yang berwajah tampan dan

berwatak seperti iblis, yaitu bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin (baca Raja Pedang

dan Rajawali Emas). Karena dasar kedua orang muda ini memang sama, keduanya adalah

golongan hitam, pertemuan yang didahului dengan pertolongan Giam Kin yang

menyelamatkannya, disambung dengan jalinan cinta kasih dan terjadilah hubungan gelap

antara kedua orang ini. Giam Kin amat mencinta Liu Bwee Lan dan sebaliknya, biarpun Liu

Bwee Lan sadar setelah terlambat bahwa ia hanya dijadikan barang permainan tokoh itu,

namun ia dengan cerdik mengeduk keuntungan sebanyaknya daripada hubungannya dengan

Giam Kin. Ia minta diberi pelajaran silat dan mengeduk semua kepandaian suami tak sah

ini, malah mewarisi pula ilmu memelihara dan menguasai ular-ular berbisa. Dalam

kemanjaannya karena Giam Kin sedang tergila-gila kepadanya, Liu Bwee Lan malah

berhasil dengan permintaannya yang gila-gilaan, yaitu minta dibuatkan tempat tinggal

dengan memiliki sebuah pulau yang penuh rahasia dan penuh pula dengan ular-ular hijau

berbisa!



Demikianlah, sampai Giam Kin menjadi seorang bercacat (baca Rajawali Emas) kemudian

tewas di puncak Thai-san, Liu Bwee Lan menjadi pemilik Pula Ching-coa-to dan berganti

nama Ching toanio. Hubungannya dengan Giam Kin itu menghasilkan seorang anak

perempuan. Dengan demikian ia mempunyai dua orang anak perempuan, yang pertama

adalah anak yang ia culik dari rumah keluarga hartawan di kota raja dan yang ia beri nama

Hui Kauw, sedangkan anaknya sendiri ia beri nama Hui Siang. Untuk nama keturunan, ia

memakai she Giam untuk kedua anaknya itu. Sudah tentu saja orang berwatak seperti

Ching-toanio ini, kasih sayangnya yang sesungguhnya hanya terjatuh pada anak

kandungnya, Hui Siang. Adapun kasih sayangnya kepada Hui Kauw hanya pulasan atau palsu



belaka dan seberapa dapat ia akan mempergunakan anak pungut ini demi keuntungan diri

sendiri.



Malah ketika Hui Kauw baru belasan tahun usianya dan Giam Kin belum tewas, ia selalu

dikejar-kejar dan diancam oleh kekejian Giam Kin yang hendak menjadikan anak pungut

yang amat cantik jelita ini menjadi korban keganasannya. Baiknya ada Ching-toanio yang

karena cemburu, selalu menghalangi maksud ini. Malah kemudian karena dorongan iri hati

terhadap kecantikan anak pungut yang melebihi anak sendiri, atau mungkin juga karena

cemburu melihat suami tidak sah itu tergila-gila, Ching-toanio melakukan perbuatan yang

amat keji, yaitu malam-malam ia menggunakan bedak berbisa melabur muka Hui Kauw

yang telah dipulaskan dengan obat tidur. Dapat dibayangkan betapa hancur hati gadis cilik

itu ketika pada keesokan harinya di waktu bangun tidur, ia merasa mukanya sakit-sakit,

gatal-gatal dan perih dan kemudian setelah sembuh, muka yang semula putih kemerahan

dan halus seperti sutera itu telah berubah menjadi hitam seperti pantat kuali!



Dalam hal ilmu silat, Ching-toanio menurunkan kepandaiannya kepada dua orang anak

perempuan itu tanpa perbedaan, karena memang ia ingin melihat Hui Kauw menjadi

pandai pula agar dapat dipergunakan tenaganya. Dan memang tidak aneh kalau Hui Kauw

menjadi lebih maju dalam segala macam kepandaian dibandingkan dengan Hui Siang

karena otaknya memang lebih cerdik. Karena tekunnya Ching-toanio mengajar, kepandaian

dua orang gadis itu tidak banyak selisihnya dengan si ibu sendiri. Akan tetapi, tentu saja di

luar dugaan Hui Siang dan ibunya bahwa secara rahasia, Hui Kauw telah mempelajari ilmu

silat sakti yang ia dapat baca dari sebuah kitab kuno, kitab yang ia temukan di antara

kitab-kitab hasil rampasan ibunya dahulu ketika menjadi perampok ganas. Ibunya sendiri

tidak suka akan bacaan, malah tidak mempelajari kesusasteraan sampai mendalam.

Berbeda dengan Hui Kauw yang mempelajari dengan amat tekun, malah di waktu kecil ia

merengek-rengek minta kepada ibunya untuk mendatangkan guru sastera yang pandai dan

hal ini pun dipenuhi oleh ibunya yang memaksa datang seorang guru sastera terkenal untuk

melatih sastera kepada Hui Kauw. Inilah keuntungan Hui Kauw dan agaknya karena gadis ini

pun merasa betapa ia dibedakan, diam-diam ia merahasiakan ilmu silat sakti yang ia

pelajari secara diam-diam dari kitab kuno itu.



Demikianlah sedikit keterangan tentang keadaan para penghuni Ching-coa-to, yaitu Ching-

toanio dan dua orang gadisnya. Tentu saja di samping tiga orang majikan ini, di situ

terdapat banyak pembantu dan pelayan, karena Ching-toanio memiliki harta benda yang

amat banyak, simpanan dari hasil rampokan dahulu ditambah pemberian Giam Kin ketika

masih tergila-gila kepadanya,



Sekarang kita ikuti pengalaman Loan Ki. Seperti telah kita ketahui di bagian depan, gadis

lincah ini terjerumus ke dalam jurang ketika ia sedang mencari jalan menuruni lembah

curam dan pinggir jurang yang diinjaknya longsor. Padahal tanah longsor ini bukan

merupakan hal kebetulan. Memang semua tempat di dalam pulau itu telah dipasangi alat-

alat jebakan dan rahasia sehingga tempat ini merupakan tempat yang sukar dan berbahaya

bagi orang-orang luar yang akan mengganggu. Tempat ini merupakan hasil daripada

pemikiran orang-orang luar biasa, yaitu Giam Kin sendiri, Ching-toanio dan dibantu oleh



orang-orang pandai seperti guru Giam Kin yang berjuluk Siauw-ong-kwi, Pak-thian Lo-cu

dan lain-lain.



Loan Ki menjerit minta tolong ketika tiba-tiba tanah yang diinjaknya runtuh dan tubuhnya

melayang cepat ke bawah. Ia berusaha mempergunakan ginkangnya untuk mengatur tubuh

dan tangannya meraih ke sana ke mari, namun percuma. Batu atau tanaman yang dapat

dicengkeramnya terlepas dari dinding karang dan ia terus melayang ke bawah dengan amat

cepatnya!



"Byurrr!" Air muncrat tinggi ketika tubuh gadis itu menimpa permukaan air yang membiru

saking dalamnya. Untuk sedetik Loan Ki gelagapan, kepalanya masih pening karena

kejatuhannya dari tempat sedemikian tingginya ditambah kengerian hati karena tidak

mengira bahwa di bawahnya adalah air. Andaikata ia tahu bahwa ia akan terjatuh ke dalam

air, kiranya ia takkan gelisah tadi ketika jatuh. Air merupakan tempat ia berkecimpung

semenjak kecil. Ayahnya tinggal di pantai dan laut merupakan tempat ia bermain, ombak

merupakan kawan ia bermain-main. Begitu tubuhnya tenggelam saking kerasnya ia jatuh

dan ia menutup mulut dan hidungnya, kesadaran kembali ke dalam pikiran Loan Ki. Cepat

tangan kakinya bergerak secara otomatis dan tubuhnya yang ramping itu meluncur naik

seperti seekor ikan hiu.







Akan tetapi begitu kepalanya muncul di permukaan air, Loan Ki melihat enam orang laki-

laki di tepi air, dipimpin oleh seorang nenek yang ia kenal sebagai koki yang kemarin

menyerangnya!



Nenek itu tadinya memandang dengan mata terbelalak, agaknya kaget dan heran sekali

betapa ada seorang manusia jatuh dari angkasa, akan tetapi segera tersenyum lebar ketika

mengenal muka Loan Ki. Ia menudingkan telunjuknya dan berteriak kepada orang-orang

yang berada di situ,



"Nah, itu dia iblis betina yang kita cari-cari! Heh-heh-heh, mencari ganti ikan untuk siocia,

kini mendapat ganti begini besarnya. Heh-heh, lucu....... lucu....... tangkap ia dan

sebelum diseret ke depan toanio, biar ia merasakan beberapa pukulan tanganku di tubuh

belakangnya biar kapok anak setan ini!"



Loan Ki melihat enam orang laki-laki seperti berlomba melempar diri ke dalam air, sinar

mata mereka kurang ajar, agaknya perintah itu amat menyenangkan hati mereka dan

sctelah tiba di air, mereka berenang cepat-cepat ke arahnya sambil tertawa-tawa. Tadi

Loan Ki sengaja beraksi seperti tidak pandai berenang, malah sekarang ia sengaja seperti

orang ketakutan dan tenggelam perlahan-lahan.



"Heiii, tunggu, aku akan tolong padamu, Nona manis!" teriak seorang laki-laki yang

berenang cepat.



"Sam-ko, biarkan aku yang pondong ia!" orang ke dua memburu sambil tertawa-tawa.



"Hayo, kita berlomba, siapa yang dapat menjamahnya lebih dulu dialah yang berhak

mendapat upah, memondongnya ke tepi!" kata orang ke tiga dan ramailah mereka

berlomba dan mulai menyelam.



Akan tetapi sama sekali tak pernah mereka membayangkan bahwa kali ini mereka benar-

benar akan menghadapi seorang "iblis air". Begitu mereka menyelam dan meluncur ke sana

ke mari untuk menangkap gadis yang "tenggelam" tadi, di depan mata mereka meluncur

bayangan seperti ikan hiu, demikian cepatnya bayangan ini meluncur lewat. Kagetlah

mereka, mengira bahwa ada ikan besar yang amat berbahaya. Mereka mulai hendak timbul

kembali ke permukaan air menjauhi bahaya ketika "ikan besar" itu menyerang mereka.

Kalau saja kejadian itu berada di darat, tentu akan terdengar ribut-ribut mereka

mengaduh-aduh. Akan tetapi karena terjadinya di dalam air, hanya si nenek koki itu saja

yang melihat betapa permukaan air bergelombang seakan-akan di bawahnya terjadi

pergumulan hebat. Dan tak lama kemudian, tampaklah enam orang pembantunya

tersembul ke luar kepala mereka, lalu berenang ke pinggir secepat mungkin sambil

berteriak-teriak kesakitan. Nenek itu sibuk membantu mereka, menyeret mereka yang

datang lebih dulu ke darat karena mereka sendiri agaknya sudah tidak kuat untuk naik

sendiri.



Bukan main keheranan nenek itu ketika melihat betapa setiap orang pembantunya tentu

patah tulang lengan, pundak, atau kakinya dan bermacam-macam ikan menggigit mereka.

Ada yang digigit udang besar telinganya, ada yang pantatnya dicapit kepiting besar yang

masih bergantungan, ada yang pahanya ditusuk ikan cucut, malah seorang di antara

mereka hidungnya masih dicapit seekor udang yang macamnya menakutkan!



"Eh-eh-eh, kalian ini kenapakah? Kenapa begini .......?"



"....... celaka....... anak iblis itu.... agaknya ia anak siluman telaga.... ikan-ikan

mengeroyok kami..... waduh, celaka.......!" seorang di antara mereka menyumpah-

nyumpah sambil melepaskan kepiting yang mencapit pantatnya lalu dibanting sampai

hancur berkeping-keping.



Nenek itu marah-marah kepada para pembantunya, memaki-maki mereka goblok, tolol,

penakut dan lain-lain, lalu menyumpah-nyumpah. Pada saat itu, tanpa di ketahui, di

pinggir tepi muncul kepala Loan Ki dan tangan gadis itu bergerak cepat sekali. Sebuah

benda melayang dan tepat sekali menghantam muka nenek itu. Merasa ada sesuatu

memasuki mulutnya yang sedang memaki, nenek itu cepat menutup mulut menggunakan

gigi menggigit. Bau amis memuakkannya dan cepat ia membetot ke luar benda yang lunak-

lunak alot dari dalam mulutnya. Apakah benda itu? Kiranya seekor haisom (lintah laut)

yang masih hidup, sebesar lengan tangan, menggeliat-geliat kehitam-hitaman. Nenek itu

mengeluarkan keluhan panjang dan terguling roboh, pingsan saking ngeri dari jijiknya!



Sudah tentu saja semua itu adalah perbuatan Loan Ki dan sekarang gadis yang nakal ini

telah mendarat agak jauh dari tempat itu. Pakaiannya basah kuyup, akan tetapi ia

selamat, tidak terluka dan buntalan pakaian berikut mahkota kuno itu masih berada

padanya. Sambil memeras pakaian dan rambutnya, ia mengenangkan semua kejadian tadi



dan tertawa-tawa seorang diri dengan hati puas. Kalau saja ia tidak ingat kepada Kun Hong

sahabat baru buta yang anti pembunuhan, agaknya tadi ia akan membunuh semua orang

itu. Entah bagaimana, ketika mempermainkan enam orang laki-laki di dalam air tadi, ia

teringat kepada Kun Hong dan tak berani melakukan pembunuhan, takut kalau kelak

ditegur oleh pemuda buta itu!







Hatinya girang bukan main karena sekarang ia telah sampai di tepi teiaga. Kalau ada

perahu, ia akan dapat menyeberang ke darat. Akan tetapi bagaimana ia dapat

meninggalkan Kun Hong begitu saja? Orang buta itu datang ke pulau ini karena desakannya

dan sekarang ia tidak tahu di mana adanya Kun Hong. Aku harus mencari dia dan

mengajaknya ke luar dari tempat berbahaya ini, pikirnya! Ia mendongak memandang

tebing yang tinggi, akan tetapi tidak melihat bayangan pemuda buta itu. Di depannya

adalah sebuah hutan yang penuh pohon-pohon buah. Girang hatinya melihat beberapa

pohon penuh dcngan buah yang sudah matang.



Segera ia meloncat memetik buah lalu makan sekenyangnya sambil duduk di atas cabang

pohon yang tinggi, tiba-tiba telinganya mendengar suara terbawa angin. Cepat ia

menengok dan dilihatnya dua orang laki-laki berjalan sambil bercakap-cakap. Mereka ini

berjalan di belakang seorang wanita berpakaian pelayan yang agaknya menjadi petunjuk

jalan.



Seorang di antara mereka adalah seorang kakek tinggi besar berpakaian pendeta berwarna

kuning dan kepalanya gundul, membawa sebatang tongkat hwesio yang berat. Orang ke dua

adalah seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun, bertubuh kekar tinggi besar bermuka

kehitaman bermata lebar, pakaiannya mewah sekali dan di pinggangnya tergantung

sebatang pedang panjang dengan sarung pedang terukir indah. Gerak-gerik dua orang ini

jelas membayangkan kekuatan besar dan berkepandaian tinggi. Akan tetapi Loan Ki tidak

gentar. Malah gadis ini menjadi girang sekali. Ia maklum bahwa pulau ini mengandung

banyak rahasia, sukar baginya untuk dapat mencari Kun Hong.



Akan tetapi dengan adanya tiga orang di depan itu, ia akan dapat mengikuti mereka

memasuki pulau tanpa khawatir akan terjebak dalam perangkap. Cepat ia merosot turun,

hati-hati dan tidak menimbulkan suara karena ia pun tahu bahwa dua orang laki-laki itu tak

boleh dipandang ringan, kemudian menyelinap di antara pepohonan mengikuti tiga orang

itu dengan hati-hati. Karena ia tidak berani mengikuti sampai dekat, ia tak dapat

mendengar jelas apa isi percakapan dua orang itu.



Dengan melalui jalan yang berbelit-belit dan yang tak mungkin akan dapat ditemukan

sendiri oleh Loan Ki, orang-orang itu akhirnya memasuki sebuah bangunan kecil yang

bentuknya mungil dan bercat merah seluruhnya. Pelayan yang menjadi petunjuk jalan itu

dengan senyum ramah mempersilakan dua orang ini memasuki bangunan itu dan mereka

bertiga menghilang di balik pintu. Loan Ki menanti sampai beberapa lama. Setelah

mendapat kenyataan bahwa keadaan di situ sunyi dan tidak ada orang yang keluar dari

rumah itu, tidak ada pula tampak penjaga, ia lalu berindap-indap mendekati bangunan,



mengambil jalan memutar dan akhirnya ia dapat bersembunyi di balik jendela dan dapat

mengintai dan mendengarkan percakapan di dalam.



Kiranya bangunan itu hanya mempunyai sebuah ruangan yang berbentuk bundar, ruangan

yang bersih dihias kembang-kembang yang hidup yang sengaja ditanam di situ. Sedikitnya

ada lima belas kursi yang terukir indah dipasang mengitari sebuah meja yang besar dan

berukir dan pula, disulami sutera tebal berwarna kuning emas. Pada dinding ruangan itu

terhias lukisan-lukisan kuno yang amat mahal dan indah serta tulisan-tulisan bermacam

gaya, kesemuanya membayangkan kemewahan tempat kediaman orang kaya.



Akan tetapi semua kemewahan itu tidak menarik perhatian Loan Ki. Tempat tinggal

ayahnya tidak kalah mewahnya dengan tempat ini. Yang menarik perhatiannya adalah

orang-orang yang duduk di situ. Ia melihat betapa di samping dua laki-laki yang baru

datang ini, di situ sudah duduk empat orang.



Seorang di antaranya adalah laki-laki berusia empat puluh tahunan, tubuhnya kecil kurus

seperti cecak kering, kumisnya seperti kumis tikus dan kopiahnya menunjukkan bahwa dia

adalah seorang Bangsa Mancu. Yang tiga orang adalah wanita-wanita yang berpakaian serba

merah berkembang perawakannya ramping menarik, kulitnya kehitaman namun manis,

berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Dari senyum dan lirikan mata mereka menyambut

kedatangan dua orang ini, dapat diduga bahwa mereka adalah golongan orang-orang

"besar" dalam arti kata berpengaruh di dunia kangouw sehingga sikap mereka tidak malu-

malu, malah membayangkan sifat sombong.



Berbeda dengan sikap tiga orang wanita yang dengan tenang tersenyum-senyum duduk di

tempatnya ini, si kurus berkumis tikus cepat bangkit berdiri dan membungkuk menyambut

kedatangan hwesio tua dan pemuda tinggi besar tadi.



"Selamat datang....... selamat datang. Tai-hoatsu (guru besar) dan Pangeran Sublai!" Ia

menjura dengan sikap menghormat.



"Oho, kiranya saudara Bouw Si Ma sudah hadir pula di sini. Bagus!" hwesio itu tertawa

bergelak dan dinding ruangan seakan-akan tergetar oleh suara ketawanya.



Laki-laki tinggi besar muka hitam itu rnemandang tajam, membalas penghormatan Bouw Si

Ma sambil berkata, suaranya tenang sikapnya dingin, "Saudara Bouw Si Ma, aku adalah

Souw Bu Lai, harap kau orang tua tidak berkelakar tentang pangeran segala."



Bouw Si Ma tersenyum lebar, mengangguk-angguk lalu berkata, "Orang sendiri....... orang

sendiri....... di antara orang sendiri, mana perlu sungkan-sungkan? Mari kuperkenalkan

......."



Akan tetapi hwesio tua segera memotong dengan gerakan tangan yang menyatakan

ketidaksabaran hatinya.



"Bouw-sicu, pinceng (aku) datang ke sini atas undangan majikan Ching-coa-to. Mengapa

sekarang Ching-toanio tidak kelihatan mata hidungnya malah mengajukan orang-orang lain

untuk menyambut pinceng? Apa artinya penghormatan seperti ini?"



Jelas bahwa biarpun dia seorang pendeta, namun sikapnya sombong sekali dan dia tidak

memandang sebelah mata kepada orang lain, terang kepada Bouw Si Ma tidak juga

terhadap tiga orang wanita baju merah berkembang itu pun tidak. Agaknya dia merasa

kecewa sekali sebagai seorang tokoh besar yang diundang oleh Ching-toanio untuk

membicarakan urusan rahasia yang amat besar, tahu-tahu kini di tempat itu dia bertemu

dengan orang-orang asing.



Kalau Ching-toanio membawa-bawa orang seperti Bouw Si Ma masih mending karena dia

mengetahui orang macam apa adanya Si Mancu murid Pak Thian Lo-cu ini. Akan tetapi tiga

orang wanita ini, yang sikapnya sombong dan juga mudah diduga bahwa mereka itu orang-

orang undangan atau tamu, benar-benar membuat hwesio itu merasa tak senang hatinya.



Tiga orang wanita itu tersenyum lebar dan saling pandang, kemudian seorang di antara

mereka yang mempunyai tahi lalat di ujung hidungnya, orang yang tertua, berkata,



"Tai-su tentulah Ka Chong Hoatsu dan tuan muda itu tentu Pangeran Souw Bu Lai seperti

tadi telah diberitahukan kepada kami oleh Bouw Si Ma-enghiong. Jiwi adalah orang-orang

besar dan ternama, mana bisa disamakan dengan kami ketiga enci adik yang tidak ada

kepandaian, juga tidak ada kedudukan? Akan tetapi, betapa rendah pun, kami adalah

undangan dari Ching-toanio, maka berhak berada di sini. Kurasa yang tidak berhak hadir

adalah yang tidak diundang, bukankah begitu anggapanmu, Tai-su? Hemm, dia itulah yang

tak diundang, maka wajib disingkirkan."



Loan Ki kaget sekali ketika tiba-tiba ada angin berbunyi sampai berciutan di dalam ruangan

itu. Ia tadinya menyangka bahwa yang dimaksudkan dengan "tamu tak diundang" oleh

wanita itu tentulah ia dan ia sudah siap menghadapi serangan. Akan tetapi serangan yang

dilakukan oleh wanita itu benar-benar membuat hatinya berdebar dan matanya terbelalak

heran.



Ia tidak tahu pukulan apakah itu, yang dilihatnya hanya lengan tangan wanita itu bergerak

ke depan dengan telunjuk menuding, lalu terdengar angin kecil kuat menyambar ke depan,

mengeluarkan bunyi mengerikan. Loan Ki lega hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa

bukan dia yang diserang, melainkan seekor cecak yang tadinya merayap di atas jendela,

Ketika ia memandang lebih teliti ke arah cecak itu, ia bergidik. Cecak itu masih berada di

tempat semula, akan tetapi sudah tak bergerak lagi dan dua titik darah menetes dari

perutnya!



"Omitohud.......! Bukankah itu yang disebut Hui-seng-kiam-sut (Ilmu Pedang Bintang

Terbang)?" Kemudian hwesio tua itu berpaling kepada Souw Bu Lai, pangeran yang menjadi

muridnya sambil berkata, "Ilmu pedang ini datangnya dari seorang hoan-ceng (pendeta

asing) di Thian-tiok (India). Ilmu pedang yang dicampur dengan hoat-sut (ilmu sihir), amat

berbahaya dan kalau sudah tinggi tingkatnya, hawa pukulannya sudah dapat dipakai untuk



merobohkan lawan tanpa menggunakan pedang sekalipun. Melihat toanio ini dapat

menggunakan hawa pukulan tanpa pedang, benar-benar mengagumkan dan sudah

sepantasnya kalau mereka bertiga diundang oleh Ching-toanio, "Aha, siapa kira orang-orang

muda sekarang mendapat kemajuan begini hebat? pinceng orang tua benar-benar sudah

pikun, tak sadar bahwa dunia ini makin lama tentu akan dikuasai oleh yang muda-muda.....

ha-ha-ha-ha!"



Melihat perubahan sikap ini, Bouw Si Ma girang sekali. Dia lalu berkata sambil tersenyum,

"Benar pendapat Tai-su. Sam-wi li-hiap ini bukan lain adalah Ang Hwa Sam-cimoi (Tiga Enci

Adik Bunga Merah)."



"Benarkah? Oho, pinceng girang sekali. Pernah mendengar bahwa Ang Hwa Sam-cimoi

adalah sumoi (adik seperguruan) dari Hek-hwa Kui-bo yang pinceng kenal baik. Sayang Hek-

hwa Kui-bo telah terbang terlampau tinggi sehingga tersandung puncak Thai-san dan

roboh."



Orang tertua dari Ang Hwa Sam-cimoi mengerutkan keningnya. "Sekali waktu kami bertiga

yang bodoh hendak berusaha menggugurkan puncak Thai-san yang telah merobohkan

mendiang Hek-hwa suci (kakak seperguruan)."



Ka Chong Hoatsu, hwesio itu, hanya terbahak-bahak lalu bersama muridnya mengambil

tempat duduk. Di luar jendela, Loan Ki memandang dan mendengar semua ini dengan hati

berdebar. Setelah mereka duduk, dia memandang penuh perhatian kepada enam orang itu

yang mulai minum-minum dilayani oleh pelayan-pelayan yang muda-muda dan cantik-

cantik dan berpakaian sutera seragam berwarna indah. Dia tahu bahwa didalam ruangan

itu terdapat orang-orang lihai dan makin berkhawatirlah ia karena sekarang makin sulit

baginya untuk dapat mencari Kun Hong dan bersama pemuda buta itu meninggalkan pulau

berbahaya ini.



Kekhawatiran Loan Ki memang beralasan. Enam orang itu memang merupakan tokoh-tokoh

besar yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Bouw Si Ma orang Mancu itu bukanlah orang

sembarangan karena dia adalah murid dari tokoh nomor satu di utara, yaitu Pak Thian Lo-

cu yang juga menemui kematiannya di puncak Thai-san (baca Rajawali Emas). Seperti juga

Ang Hwa Sam-cimoi yang mendendam atas kematian suci mereka juga Bouw Si Ma ini

menaruh dendam kepada Thai-san-pai atas kematian gurunya. Sebagai murid Pak Thian Lo-

cu, tentu saja dia mengenal Giam Kin yang menjadi murid Siauw-ong-kwi karena Siauw-

ong-kwi adalah sute (adik seperguruan) Pak Thian Lo-cu sehingga antara Bouw Si Ma dan

Giam Kin terhitung saudara seperguruan pula.



Bouw Si Ma sebagai saudara tingkat tua dalarn perguruan, tentu saja mengenal pula Ching-

toanio dan seringkali mengunjungi pulau ini, apalagi sejak Giam Kin tewas di puncak Thai-

san. Dalam banyak hal terdapat persesuaian faham antara Bouw Si Ma dan Ching-toanio.

Mereka sama-sama menaruh dendam terhadap Thai-san-pai, dan keduanya adalah orang-

orang yang memiliki ambisi yang tinggi maka seringkali mereka mengincar kedudukan di

kota raja semenjak terjadinya kerusuhan dan perebutan kekuasaan setelah kaisar pertama

dari Ahala Beng meninggal dunia.



Tiga orang wanita itu, Ang Hwa Sam-cimoi, juga merupakan orang-orang yang memiliki

ilmu kepandaian luar biasa. Mereka ini tergolong tokoh-tokoh dari ilmu golongan hitam dan

selama belasan tahun mereka merantau ke See-thian (dunia barat) sehingga mereka tidak

tahu akan nasib suci mereka yaitu Hek Hwa Kui-bo yang tewas pula di Thai-san. Kini tiga

orang enci adik ini pulang dari See-thian dengan kulit agak kehitaman akan tetapi selain

ilmu kepandaian yang hebat mereka pelajari, juga seperti halnya Hek Hwa Kui-bo, tiga

orang wanita yang usianya sudah mendekati lima puluhan tahun ini masih nampak cantik

manis dan muda-muda tidak lebih dari tiga puluh tahun! Setelah merantau ke See-thian

dan menjumpai guru mereka, seorang pendeta di Thian-tiok yang bertapa di Pegunungan

Himalaya, kini kepandaian Ang Hwa Sam-cimoi meningkat hebat sehingga melampaui

tingkat kepandaian Hek Hwa Kui-bo sendiri. Mereka she Ngo dan nama mereka adalah Kui

Ciau, Kui Biau, dan Kui Sian. Dengan amat cerdiknya Bouw Si Ma yang dalam hal mencari

orang pandai untuk sekutu mewakili Ching-toa-nio, segera menggandeng tiga orang enci

adik ini, apalagi mengingat bahwa mereka juga mempunyai dendam yang sama di Thai-san

atas kematian kakak seperguruan mereka. Tentang kelihaian tiga orang wanita ini, tadi

baru saja didemonstrasikan ilmu pukulan yang amat hebat, merupakan inti daripada Ilmu

Pedang Hwa-seng-kiam-sut, yang sudah sedemikian tinggi tingkatnya sehingga dengan

kekuatan hoat-sut, hawa pukulan saja sudah sama bahayanya dengan sambaran pedang.



Orang berusia tiga puluhan tahun yang disebut pangeran itu sebetulnya memang masih

keturunan Pangeran Mongol. Di dalam cerita Raja Pedang terdapat seorang Pangeran

Mongol bernama Souw Kian Bu yang tampan dan cabul, mengandalkan kekuasaan dan

kepandaian melakukan pelbagai kejahatan. Pangeran Mongol yang kini berada di ruangan

itu adalah seorang keturunan dari Pangeran Souw Kian Bu ini, bernama Sublai dalam

Bahasa Mongol dan dalam dunia kangouw dia menggunakan nama Han dan disebut Souw Du

Lai.



Kepandaiannya juga tinggi, malah lebih tinggi kalau dibandingkan dengan orang-orang

Mongol kebanyakan, karena gurunya adalah tokoh Mongol nomor satu. Sebagai seorang

yang bercita-cita tinggi untuk memulihkan kembali kekuasaan bangsanya atas daratan

Tiong-kok, Souw Bu Lai tekun mempelajari segala ilmu silat sehingga dia sekarang menjadi

seorang yang luas pengalamannya dalam ilmu silat, pandai mainkan delapan belas macam

senjata, pandai pula menunggang kuda melepaskan anak panah dan senjata-senjata

rahasia, sedangkan tenaganya pun besar.



Pendeta tinggi besar itulah guru Souw Bu Lai, berjuluk Ka Chong Hoatsu, seorang pendeta

Buddha yang pernah merantau ke Thian-tiok dan malah di Tibet pernah menerima hadiah

tongkat kependetaannya. Sayang seribu kali sayang bahwa Ka Chong Hoatsu yang puluhan

tahun mempelajari ilmu dan agama, ternyata mengandung cita-cita duniawi yang

membikin kotor semua usaha. Dahulu dia bercita-cita menjadi orang tertinggi

kedudukannya di samping kaisar melalui keagamaan, sekarang melihat betapa Kerajaan

Mongol sudah jatuh, dia bercita-cita membangunnya kembali bersama Pangeran Souw Bu

Lai yang menjadi muridnya.



Seringkali dia bermimpi betapa akan tinggi kedudukannya di dunia ini kalau muridnya

menjadi kaisar. Tentu dia akan menjadi guru besar negara dan mempunyai kekuasaan yang



malah melebihi kaisar sendiri! Pendeta ini mempunyai kepandaian yang hebat, kiranya

tidak akan kalah tinggi daripada tingkat si empat besar yang dahulu ditonjolkan di dunia

kangouw yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun si tokoh barat, Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang si tokoh

timur, Siauw-ong-kwi si tokoh utara, dan Hek Hwa Kui-bo si tokoh selatan. Tongkat

pendeta di tangannya itulah yang merupakan senjata utamanya, ampuhnya bukan

kepalang, sukar ditandingi karena selain terbuat daripada baja pilihan di Himalaya, Juga

amat berat dan kalau dia yang mainkan seakan-akan bulu ringannya, maka dapat bergerak

cepat sekali!



Pokoknya enam orang yang berkumpul di pulau Ching-coa-to itu telah mempunyai

kepentingan bersama, termasuk Ching-toanio sendiri, yaitu usaha membalas dendam

kepada Thai-san-pai dan usaha membangun kembali Kerajaan Mongol yang sudah runtuh.







Setelah beberapa lama enam orang itu makan minum di ruangan itu sambil menanti

datangnya Ching-toanio yang sudah diberitahu oleh seorang pelayan, muncullah Ching-

toanio dari pintu depan. Begitu masuk wanita berpakaian hijau ini cepat menjura dengan

hormat sekali sambil berkata,



"Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan atas kelambatanku menyambut cu-wi. Ada

sedikit gangguan di pulau ini. Dua orang yang belum diketahui betul maksudnya telah

mencuri masuk dan membikin kacau anak buahku. Mereka adalah seorang laki-laki dan

seorang gadis muda, dan aku amat khawatir kalau-kalau mereka itu merupakan mata-mata

fihak musuh yang menaruh curiga kepada kita."



Mendengar ucapan nyonya rumah ini, otomatis enam orang itu mengerling ke sana ke mari

dengan pandang mata penuh selidik.



"He-he-he, gadis cilik berpakaian basah?" tiba-tiba Ka Chong Hoatsu berkata.



"Iblis betina berambut kusut?" kata pula Ngo Kui Biau sambil tersenyum mengejek.



Sebelum yang lain tahu apa yang mereka maksudkan, tiba-tiba Ka Chong Hoatsu

mendorongkan tangan kanan ke arah jendela diikuti gerakan Ngo Kui Biau yang mencelat

ke arah jendela pula.



"Brakkkkk!" Angin dorongan tangan hwesio itu membuat daun jendela menjadi pecah dan di

lain saat Ngo Kui Biau telah meloncat masuk kernbali sambil melemparkan tubuh seorang

gadis yang pakaiannya basah dan rambutnya kusut, bukan lain orang adalah Loan Ki! Gadis

ini berjungkir balik dengan gerakan indah sehingga tubuhnya tidak terbanting di atas

lantai, lalu berdiri tegak memandang penuh ketabahan, sungguhpun kedua matanya masih

terbalalak lebar saking heran dan kagetnya. Tadi ia mendengar pula ucapan dua orang itu

dan tiba-tiba ada angin besar menyambar ke arah jendela.



Cepat ia merendahkan diri untuk mengelak akan tetapi angin pukulan itu membuat daun

jendela pecah dan tiba-tiba berkelebat bayangan merah menyambarnya. Loan Ki berusaha



mengelak namun gerakan bayangan itu bukan main cepatnya sehingga tahu-tahu

tengkuknya telah ditangkap dan ia merasa tubuhnya melayang ke dalam ruangan! Dari dua

kejadian itu saja sudah dapat dibayangkan betapa lihainya orang-orang di dalam ruangan

itu.



Loan Ki maklum bahwa tak mungkin ia dapat menang menghadapi tujuh orang kosen ini,

akan tetapi tidak memperlihatkan muka takut, malah ia tersenyum-senyum kecil dengan

mata bermain, menatap wajah mereka seorang demi seorang dengan nakal.



"Bocah liar, siapa suruh kau memata-matai pulau kami?" Ching-toanio menghardik,

suaranya penuh ancaman.



Loan Ki mengerling kepada nyonya baju hijau itu dan tersenyum. "Aku bukan mata-mata.

Aku sengaja datang ke Ching-coa-to untuk bertemu dengan pemiliknya, tidak punya

maksud buruk. Yang mana di antara kalian pemilik pulau ini?" Pertanyaan ini ia ajukan

dengan suara ringan dan wajar, membuat Ka Chong Hoatsu terkekeh kagum. Bukan main

bocah ini, pikir pendeta itu, masuk ke sarang harimau gua naga masih saja begitu tenang

dan berani. Dari sikap ini saja dia dapat menduga bahwa tentu gadis ini puteri seorang

tokoh besar atau setidaknya murid orang pandai.



"Akulah pemilik pulau ini. Kau mau apa!" Ching-toanio membentak.



"Wah, tentu kau yang disebut toanio. Kau cantik, Toanio, tetapi galak. Pantas saja orang-

orangmu takut setengah mampus kepadamu. Dengar, Toanio. Aku datang bersama seorang

temanku perlu bertemu denganmu untuk minta maaf karena kelaparan aku telah

merampas makanan dan minuman dari tangan orang-orangmu. Nah, sudah kulaksanakan

desakan temanku yang buta itu. Adapun aku sendiri ingin sekali melihat kau memaksa

kokimu menyelam untuk mencari ikan yang kurampas dan melihat kau memukuli kepala

jagalmu. Hi-hik!"



Tiga orang laki-laki yang berada di situ tersenyum, malah Ka Chong Hoatsu tertawa

bergelak. Akan tetapi Ang Hwa Sam-cimoi yang merasa bahwa kedatangan gadis lincah dan

cantik ini menyuramkan "sinar" mereka, memandang acuh tak acuh, sedangkan Ching-

toanio marah sekali.



"Budak! Kau berani kurang ajar di depan nyonya besarmu, apakah kau sudah bosan hidup?"

teriak Ching-toanio dan bagaikan seekor harimau nyonya ini menerjang maju,

menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram muka dan memukul ulu hati. Serangan

ini hebat bukan main, mendatangkan sambaran angin yang dari jauh sudah terasa oleh

Loan Ki. Hampir saja Loan Ki tak dapat menghindarkan diri kalau ia tidak cepat-cepat

mempergunakan gerakan Bidadari Turun ke Bumi, suatu gerakan yang amat sukar dari ilmu

silat keturunannya Sian-li-kun-hoat. Tubuhnya mencelat bagaikan dilemparkan ke atas, lalu

menukik ke bawah sambil mengembangkan kedua lengannya. Gerakan yang cepat ini

menyelamatkannya, namun angin pukulan yang dilontarkan nyanya itu tetap saja

menyerempet buntalan pakaian yang berada di punggungnya. Terdengar suara "brett!" dan

buntalan pakaian itu terlepas dari punggung, jatuh ke atas tanah, terbuka dan tampaklah



pakaian gadis itu dan sebuah mahkota indah. Akan tetapi dengan amat cepatnya pula Loan

Ki sudah menyambar bungkusan itu dan menutupkan kainnya kembali.



"Oho, bukankah itu mahkota yang dikabarkan hilang dibawa kabur oleh pembesar she Tan?"

terdengar suara parau dari Souw Bu Lai. Sebagai seorang keturunan pangeran dia pernah

melihat mahkota ini di gudang pusaka kerajaan, maka sekali lihat dia telah mengenalnya,

apalagi karena hilangnya mahkota kuno itu sudah terdengar oleh dunia kangouw.



Akan tetapi gurunya, Ka Chong Hoat-su, lebih terheran-heran melihat cara Loan Ki

bergerak menyelamatkan diri dari terjangan Ching-toanio tadi, maka ketika dia melihat

Ching-toanio yang merasa penasaran hendak menyerang pula, pendeta ini berseru "Toanio,

tahan dulu!" Tentu saja nyonya itu tidak melanjutkan serangannya dan memandang heran

dengan alis berkerut. Ka Chong Hoatsu melangkah setindak maju dan bertanya kepada

Loan Ki,



"Nona cilik, bukankah gerakanmu tadi jurus dari Sian-li-kun-hoat (Ilmu Silat Bidadari)?"



"Hemmm, bagus kau mengenal jurusku yang lihai, hwesio tua! Maka lebih baik kau

menyuruh nyonya galak ini mundur dan biarkan aku pergi dengan aman sebelum kalian

berkenalan dengan ilmu pedangku Sian-li Kiam-sut dan kemudian menyesal pun sudah

terlambat!" Loan Ki sengaja membuka mulut besar karena ia maklum bahwa betapapun

juga ia takkan mampu melawan, baru nyanya galak itu saja sudah begitu hebat, apalagi

yang lain-lain dan terutama hwesio tua ini yang sekali lihat sudah mengenai jurusnya.

Daripada terhina kemudian kalah, lebih baik menghina dan memandang rendah dahulu,

jadi menang angin, demikian pikir dara lincah yang berhati baja ini.



"Aha, bagus!" Ka Chong Hoatsu berseru. "Kalau begitu, kau masih ada hubungan apakah

dengan mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan ?"



Dara itu makin angkuh. Sambil mengangkat dada mengedikkan kepala dan meraba gagang

pedangnya, ia memandang mereka seorang demi seorang dengan pandang mata seakan-

akan berkata,



"Huh, kalian ini orang-orang tingkatan rendah mana bisa disamakan dengan aku?"



Akan tetapi mulutnya berkata bangga. "Hwesio tua, masih baik kau mengetahui nama

mendiang kakek guruku. Dengan mengingat nama besar beliau yang kau kenal, biarlah nona

kecilmu mengampunimu satu kali ini."







Souw Bu Lai tertawa bergelak menyaksikan sikap gadis ini dan hatinya yang memang

berwatak mata keranjang sejak tadi sudah berdebar penuh berahi. Akan tetapi alangkah

kagetnya hati Loan Ki ketika ia melihat berkelebatnya senjata-senjata yang menyilaukan

mata, membuatnya berkejap beberapa kali. Ketika ia membuka mata, kiranya Ching-

toanio, Bouw Si Ma dan Ang Hwa Sam-cimoi tiga wanita itu sudah berdiri di depannya

dengan senjata masing-masing di tangan, sikap mereka penuh ancaman.



"Budak liar! Hayo katakan kau ini apanya ketua Thai-san-pai?" bentak Ching-toanio,

suaranya mengandung ancaman maut.



Biarpun lincah jenaka, Loan Ki bukanlah seorang anak bodoh, malah ia tergolong cerdik

dan otaknya tajam. Ia seringkali mendengar dari ayahnya tentang pamannya Tan Beng San

yang menjadi ketua Thai-san-pai itu, tahu bahwa ketua Thai-san-pai itu banyak dimusuhi

orang-orang kangouw, apalagi dari golongan hitam.



Setelah berpikir beberapa detik lamanya, ia lalu tertawa dengan nada sombong sekali.



"Hi-hi-hik, biarpun nama Raja Pedang Tan Beng San ketua Thai-san-pai membuat kalian

ketakutan setengah mampus, aku tidak sudi mempergunakan namanya untuk menakut-

nakuti kalian dengan namanya. Dengarlah baik-baik, aku sama sekali tidak ada sangkut

pautnya dengan dia, malah dia masih hutang beberapa jurus serangan dengan pedangku.

Belum tiba saatnya aku akan berhadapan dengan dia mengadu nyawa di ujung pedang.

Kenapa kalian ini menodongkan senjata kepada seorang muda sepertiku? Apakah kalian

hendak mengeroyokku? Cih, tidak tahu malu!"



Kembali Ka Chong Hoatsu yang tertawa bergelak dan Souw Bu Lai tersenyum-senyum,

makin tertarik kepada dara lincah yang tabah dan cantik ini.



"He, bocah nakal! Kalau begitu tentu kau ada hubungan dengan Sin-kiam-eng Tan Beng

Kui?" Tanya Ka Chong Hoatsu.



"Hemm, hwesio tua. Kaulah seorang di antara mereka ini yang paling cerdik. Majikan yang

menjadi raja di pantai Po-hai, si Pendekar Pedang Sakti Tan Beng Kui adalah ayahku, dan

nonamu ini Tan Loan Ki adalah puteri tunggalnya. Hayo, siapa berani menentang ayahku?"



"Ha-ha-ha-ha, Ching-toanio dan saudara-saudara yang lain, simpan senjata kalian. Kiranya

nona cilik ini adalah orang segolongan sendiri. Ha-ha-ha!" kata hwesio tua itu dan semua

orang yang berada di situ memang sudah mengenal Tan Beng Kui. Mereka menarik napas

lega dan menyimpan senjata masing-masing sambil mundur. Ching-toanio mengerutkan

alisnya karena ia masih marah dan penasaran, akan tetapi ia juga tidak mau memusuhi

puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Tentu saja ia tidak mau bukan karena takut, melainkan

karena pada waktu itu ia membutuhkan orang-orang kosen yang sehaluan dan boleh

dibilang Tan Beng Kui mempunyai kepentingan serupa dengan dia. Pertama, ia tahu bahwa

Tan Beng Kui menaruh dendam sakit hati terhadap adik kandungnya sendiri, Tan Beng San

yang juga menjadi musuh besarnya. Ke dua, dalam urusan usaha merebut kekuasaan,

kiranya Tan Beng Kui boleh diakui bersekutu.



Sebagai seorang yang amat cerdik, ia segera dapat menangkap maksud hati Ka Chong

Hoatsu, maka ia segera memaksa senyum manis kepada Loan Ki dan berkata,



"Nona cantik, hampir saja kita saling bentrok. Akan tetapi tidak mengapa, bukankah orang

bilang bahwa tidak bertempur dulu takkan saling mengenal? Ayahmu dengan kami adalah

segolongan, maka tidak bisa kami memusuhimu. Soal makanan dan minuman boleh



dihabiskan sampai di sini saja. Nona Tan, bagaimana kau bisa mendapatkan mahkota kuno

itu?"



Loan Ki tidak goblog untuk mempertahankan sikap bermusuhan. Iapun tersenyum ramah

dan berkata, "Wah, ayah tentu girang sekali kalau mendengar bahwa anaknya sudah

berkenalan dengan orang-orang gagah di dunia kangouw. Bagus, karena cuwi (tuan

sekalian) adalah orang-orang sendiri, biarlah aku mengaku terus terang. Mahkota ini

dirampas oleh Hui-houw-pang dari tangan si pembesar yang mencurinya dari istana,

kemudian aku merampasnya dari Hui-houw-pang untuk kuberikan kepada ayah yang suka

mengumpulkan barang-barang kuno seperti ini. Mereka itu beramai-ramai mengeroyokku

dan mengejar, tapi mana mereka mampu merampas kembali dari tanganku? Hemm, biar

ditambah sepuluh kali jumlah mereka takkan sanggup mereka itu! Aku lari sampai di

daerah sini dan karena kesalahan merampas makanan, maka aku akhirnya masuk ke Ching-

coa-to." Seperti lagak anak kecil Loan Ki menyombongkan hal yang tak pernah terjadi

tentang pengeroyokan. Padahal kalau tidak ada Kun Hong, mana ia bisa mendapatkan

mahkota itu?



"Ho-ho, memang tidak mudah, tapi pinceng bolehkah melihat sebentar?" Tongkat hwesio

itu menyelonong ke depan, Loan Ki kaget sekali dan cepat miringkan tubuhnya. Celaka,

tahu-tahu tangan kiri hwesio itu diulur maju dan di lain detik buntalan pakaian sudah

berpindah tangan!



"Ha-ha-ha, tenang, Nona. Pinceng hanya ingin melihat sebentar, untuk membuktikan

apakah benar-benar ini mahkota yang aseli." Dengan enak hwesio itu mengambil mahkota,

melihat-lihat dan bergantian dengan orang-orang yang berada di situ, mengagumi

keindahan mahkota kuno ini. Loan Ki hanya berdiri dengan muka merah dan mata berapi-

api penuh kemendongkolan hati. Akan tetapi diam-diam ia pun kaget sekali karena

ternyata hwesio tua itu sepuluh kali lipat lebih lihai daripadanya.



Setelah semua orang melihat, buntalan dan mahkota dikembalikan kepada Loan Ki oleh

hwesio itu. Loan Ki menerimanya, mengikatkan buntalan kembali ke punggungnya dengan

muka cemberut.



"Orang tua mengakali anak muda, awas kau hwesio, lain kali aku balas!"



Ka Chong Hoatsu hanya tertawa bergelak dan Souw Bu Lai sambil cengar-cengir mendekati

Loan Ki, sepasang matanya yang lebar itu seakan-akan hendak menelan gadis ini bulat-

bulat. Loan Ki mengerutkan kening menyaksikan mata seperti mata harimau kelaparan itu.



"Kau mau apa?" tanya Loan Ki dengan alis berkerut.



Souw Bu Lai tersenyum, giginya yang putih ! berkilat di balik kumis panjang, kumis model

Mongol, "Nona manis namanya pun manis. Aku tidak akan menyusahkanmu, sudah lama

kudengar nama besar ayahmu. Perkenalkan aku......."



"....... kau Sublai, mengaku-aku Pangeran Mongol, ya? Tapi aku masih belum mau percaya!"

tukas Loan Ki galak.



Souw Bu Lai tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kau tadi sudah mengintai cukup lama? Memamg,

aku bernama Souw Bu Lai, seorang pangeran dari Mongol. Ayahmu adalah seorang pendekar

yang gagah perkasa, pantas puterinya seperti kau, Nona."



"Wah, sudahlah, aku tidak ingin mendengar pidatomu. Toanio, aku pamit hendak pergi dari

sini, mencari sahabatku kemudian kuharap kau suka memberi pinjam sebuah perahumu

untuk mengantar kami berdua menyeberang, kembali ke darat."



"Kau datang tak diundang, pulang pun tak usah minta diantar," jawab Ching-toanio

cemberut.



"Hi-hik, kalau begitu biar aku pergi sendiri. Kalau butuh perahu, tidak boleh pinjam, curi

pun masih bisa." Dengan lagak seperti kanak-kanak Loan Ki melambaikan tangan ke arah

orang-orang itu lalu kakinya melangkah hendak keluar dari pondok itu.



Hampir saja ia bertumbukan dengan seorang yang berlari-lari dari luar dan yang amat

cepat gerakannya. Loan Ki meliukkan tubuhnya ke kiri sedangkan orang yang lari itu pun

tiba-tiba berhenti, begitu tiba-tiba dan cepat berhentinya sehingga Loan Ki memandang

heran dan kagum karena cara berhenti seperti itu hanya mampu dilakukan oleh orang

pandai. Keduanya berpandangan dan tak terasa lagi mulut Loan Ki berseru memuji, "Aduh

cantiknya......"



Orang itu bukanlain adalah Giam Hui Siang, gadis cantik jelita yang usianya sebaya dengan

Loan Ki, yaitu antara tujuh belas dan delapan belas tahun. Memang Hui Siang luar biasa

cantik jelitanya, ditambah orangnya pesolek lagi, wajahnya terawat baik dengan bantuan

pelayan-pelayan ahli, pakaiannya selalu mentereng sehingga biarpun ia puteri seorang

pemilik pulau, namun sekali melihat orang akan menyangka bahwa ia tentulah seorang

puteri keluarga kaisar di istana! Maka tidaklah heran apabila Loan Ki segera memujinya,

sungguhpun ia sendiri adalah seorang gadis lincah yang cantik manis pula. Mungkin Loan Ki

sendiri takkan kalah baik bentuk wajah maupun bentuk tubuhnya jika dibandingkan dengan

Hui Siang, akan tetapi karena Loan Ki adalah seorang dara pendekar yang suka merantau

dan kurang memperhatikan perawatan badannya, tentu saja kulitnya kalah putih, kalah

halus, dan pakaiannya juga kalah baik.



Hui Siang adalah seorang dara manja dan wataknya amat galak dan sombong. Karena

hampir saja bertumbukan dengan Loan Ki, ia amat marah dan segera memaki,



"Budak hina! Apakah matamu buta? Eh, kau pelayan barukah? Belum pernah aku

melihatmu. Minggir kau, aku ada urusan penting!"



Loan Ki mendongkol sekali, ia meloncat ke pinggir akan tetapi mulutnya sudah siap untuk

balas memaki. Pada saat itu Hui Siang sudah lari ke depan dan berkata, "Ibu, celaka sekali,



Ibu. Enci Hui Kauw telah membikin malu kita, kali ini kalau Ibu tidak turun tangan, bisa-

bisa nama keluarga kita diseret ke dalam lumpur!" Gadis ini mengerling ke kanan kiri

seakan-akan tidak memperdulikan orang-orang yang berada di situ. Sepasang mata Souw Bu

Lai berkilat-kilat sekali lagi ketika ia melihat Hui Siang.



"Hui Siang, kau bicara apa? Apa yang telah terjadi?" Ching-toanio berkata, kemarahannya

terhadap Hui Kauw yang tadi belum padam sekarang bangkit dan bernyala kembali.



"Ibu ingat tentang dua orang asing yang memasuki pulau ini? Nah, yang seorang kudapati

berada di taman, dia seorang laki-laki jembel buta, akan tetapi celakanya....... dia

berpacaran dengan enci Hui Kauw!"



"Hui Siang! Jangan sembarangan bicara! Bohong kau!" ibunya membentak marah. Biarpun di

dalam hatinya ia tidak suka kepada anak pungutnya itu, akan tetapi ia cukup mengenal

tabiat Hui Kauw dan ia rasa tak mungkin Hui Kauw berpacaran dengan seorang jembel

buta.



Hui Siang cemberut dan mendengus, agaknya ngambek karena dikata-katai kasar oleh

ibunya yang biasanya memanjakan. "Ibu, apakah anakmu ini biasa membohong? Biar aku

mampus kalau aku bohong. Enci Hui Kauw memberikan saputangan suteranya kepada si

jembel buta itu, dan kulihat dengan kedua mataku sendiri si jembel menciumi saputangan

itu. Aku marah dan menyerangnya, eh....... kiranya dia pandai dan dapat menghindarkan

seranganku. Lalu muncul enci Hui Kauw dan....... enci Hui Kauw malah membela jembel

buta itu. Coba, apakah ini bukan merupakan bukti-bukti yang cukup jelas .......?"



"Waaaaahhhhh, mata keranjang! Tidak punya mata tapi bisa mata keranjang, apa yang

lebih aneh daripada ini? Dasar laki-laki!" Yang berkata demikian adalah Loan Ki yang cepat

melompat keluar hendak mencari Kun Hong. Hatinya mendongkol sekali mendengar

penuturan nona cantik tadi dan ia sendiri pun tidak mengerti mengapa ia merasa iri,

gemas, dan marah sekali mendengar betapa Kun Hong berpacaran dengan seorang gadis di

dalam taman. Menciumi saputangan sutera? Terbayanglah di depan mata Loan Ki semua

pengalamannya dengan Kun Hong di dalam sumur, teringat betapa dalam keadaan bahaya

maut dan setengah pingsan ia dipeluk oleh pemuda buta itu, dihibur, dielus-elus

rambutnya, diciumi rambutnya.......



"Dasar tukang cium.......!" Terloncat kata-kata ini keluar langsung dari hatinya yang

mengkal.



Tiba-tiba ada angin berkesiur di sebelahnya dan tahu-tahu di depannya sudah menghadang

tubuh laki-laki tinggi besar.



Kiranya Souw Bu Lai Pangeran Mongol itu yang memandangnya sambil tersenyum

menyeringai memperlihatkan deretan gigi yang putih dan besar.



"Nona, kau tidak boleh pergi. Kau harus bersama kami untuk membicarakan hal yang amat

penting," katanya sambil mendekat.



Loan Ki yang sedang jengkel terhadap Kun Hong itu sudah mau menyerangnya, akan tetapi

ketika ia melirik, ia melihat betapa semua orang tadi kini sudah keluar dan berada di

belakangnya. "Aku tidak sudi!" katanya setengah membentak. "Biarkan aku jalan sendiri!"



"Tidak bisa, Nona. Kami sudah mengambil keputusan untuk menahanmu karena kau yang

akan menghubungkan kami dengan ayahmu," kata pula Souw Bu Lai.



Sebelum Loan Ki menjawab, tiba-tiba ia mendengar sambaran angin dari belakangnya,

cepat ia miringkan tubuh membalik. Kiranya tongkat Ka Chong Hoatsu yang menyambar

dan menyerangnya. Ia kaget sekali, menggerakkan kaki meloncat, akan tetapi tiba-tiba

saja kedua lengannya sudah ditangkap orang dan ditelikung ke belakang lalu dibelenggu!

Gerakan Souw Bu Lai dan Ka Chong Hoatsu yang melakukan menangkapan ini benar-benar

cepat dan hebat, membuat seorang gadis berkepandaian hebat seperti Loan Ki sekali pun

sama sekali tidak berdaya, seperti anak kecil di tangan seorang dewasa.



"Monyet-monyet tua muda, kalian mau apa membelenggu dan menangkap aku? Kalian

curang, pengecut, tak tahu malu! Kalau berani, hayo bertempur sampai seribu jurus!" ia

memaki-maki.



"Cih, budak hina macam ini kenapa tidak dilempar ke dalam sumur untuk makan ular-ular

kita, Ibu?" Hui Siang berkata sambil memandang Loan Ki dengan mata mendelik. Bergidik

juga Loan Ki mendengar ini. Ia memang tidak takut mati, akan tetapi kalau harus dijadikan

umpan atau kurban di dalam sumur dikeroyok ratusan ular, ia benar-benar merasa ngeri

dan kali ini ia tidak berani banyak bicara lagi, takut-takut kalau ia benar-benar dilempar ke

dalam sumur penuh ular yang amat menjijikkan!



"Ha-ha-ha, dia puteri Sin-kiam-eng, mana boleh dibunuh?" Ka Chong Hoatsu berkata.

"Pinceng curiga terhadap sahabat yang buta itu, maka sementara ini pinceng

membelenggunya agar nanti dia tidak menimbulkan kerewelan. Ching-toanio, mari kita ke

taman menemui orang buta itu."



Beramai mereka lari ke taman bunga mengambil jalan rahasia yang berliku-liku. Loan Ki

tadinya membandel tidak mau turut, akan tetapi ketika ujung tali pengikat kedua

tangannya diseret oleh Souw Bu Lai, terpaksa ia ikut lari juga sambil mengomel dan

menyumpah-nyumpah Pangeran Mongol itu yang hanya tertawa saja. Diam-diam gadis ini

harus mengagumi jalan rahasia di pulau ini, akan tetapi karena hatinya lagi jengkel sekali,

ia hanya ikut lari tanpa memperhatikan kanan kiri. Kejengkelan bertumpuk di hati Loan Ki.

Pertama karena mendengar berita bahwa Kun Hong berpacaran dan menciumi saputangan

seorang gadis bernama Hui Kauw, ke dua kalinya karena ia merasa kecil tak berdaya

menghadapi orang-orang di dalam pulau ini, dan ke tiga kalinya sekarang ia menjadi

seorang tawanan, dibelenggu seperti seekor domba! Awas kalian, demikian ia menyumpah-

nyumpah, sekaii ayahku kuberitahu tentang penghinaan ini, pulau ini akan diobrak-abrik,

dihancurkan, dan dibasmi oleh ayah! Kalian semua berikut ular-ular laknat akan dibasmi

habis, pulau ini dibumi hanguskan, tak seorang pun manusia atau seekor pun mahluk diberi

hidup! Akan tetapi, di balik ancamannya ini, ia sendiri ragu-ragu apakah ayahnya akan



mampu menang melawan musuh-musuh yang begini tangguh, terutama ekali hwesio tua

itu.



Akhirnya mereka tiba di taman bunga itu dan begitu melihat Kun Hong berdiri berhadapan

dengan seorang gadis bermuka hitam, Loan Ki tak dapat menahan mulutnya lagi berteriak-

teriak! Seperti telah dituturkan di bagian depan, Loan Ki berseru menegur Kun Hong,



"Haaiii, Hong-ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka hitam ini?

Kau benar-benar mata keranjang akan tetapi kali ini kau salah pilih, Hong-ko!"



Tentu saja Kun Hong menjadi girang dan lega bukan main hatinya mendengar suara Loan Ki

ini. Ia tidak perdulikan ocehan dara nakal itu tentang mata keranjang, melainkan segera

melangkah maju dan berkata dengan wajah berseri-seri,



"Ki-moi! Kau selamat? Syukurlah!"



"Hong-ko, kau benar-benar tak punya liangsim (pribudi)! Aku terjerumus ke dalam jurang,

hampir mampus, menerima hinaan orang, tapi kau....... kau malah berpacaran dan enak-

enak senang-senang di sini. Wah, sahabat macam apa kau ini?"



Muka Kun Hong merah sekali sampai ke telinganya. "Ki-moi, jangah kau percaya akan fitnah

orang. Tidak ada yang berpacaran di sini! Dan kau, siapakah orangnya yang berani

menghinamu?"



Sebelum Loan Ki dan Kun Hong dapat melanjutkan percakapan mereka terdengar bentakan

marah dari Ching-toanio yang mengagetkan mereka dan memaksa mereka mengalihkan

perhatian. Ching-toanio ternyata telah memaki-maki Hui Kauw dengan suara penuh

kemarahan,



"Bocah keparat! Semenjak kecil aku bersusah-payah memeliharamu, beginikah sekarang

balasanmu? Berjina dengan seorang jembel buta, mengotorkan taman dan mencemarkan

nama baik keluargaku? Keparat, perempuan hina!"



Terdengar oleh Kun Hong suara "plak-plak-plak!" tiga kali, diikuti keluhan perlahan.

Biarpun tak dapat melihat, dia dapat menduga bahwa dara bersuara bidadari itu telah

ditampar tiga kali mukanya oleh si ibu yang galak.



"Ibu....... maafkan. Aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu dan....... dan aku sama

sekali tidak melakukan perbuatan tidak sopan. Hanya kebetulan saja saudara yang buta ini

memasuki taman menemukan saputanganku yang tertinggal di sini. Harap ibu jangan

mempercayai segala fitnah keji......."



"Setan, kau malah balik menuduh Hui Siang membohong? Perempuan tak bermalu kau! Adik

sendiri bertempur dengan si buta ini, kenapa kau malah membela si buta memusuhi

adikmu? Hui Kauw, aku tidak terima! Hari ini kau akan membayar lunas hutang-hutangmu

kepadaku, hutang budi yang hanya dapat kau bayar dengan nyawamu!"



"Srrrrrttt! Singgggg!" Bunyi pedang berdesing memecah angin, menyambar ganas

menimbulkan cahaya berkilauan. Tak seorang pun di antara para tamu berani mencampuri

urusan antara ibu dan anak. Loan Ki membelalakkan matanya yang lebar, ngeri betapa

pedang ditangan nyonya yang galak dan lihai itu meluncur seperti kilat menyambar ke arah

leher si nona muka hitam yang hanya menundukkan muka, sedikit pun tidak bergerak

seakan-akan sudah rela menerima hukuman itu dan menanti datangnya pedang yang akan

memenggal lehernya dan maut yang akan merenggut nyawanya.



Pada detik berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Kauw itu, tiba-tiba sinar kemerahan

berkelebat. "Criinggggg" Pedang di tangan Ching-toanio tahu-tahu sudah buntung, ujungnya

melayang ke atas entah ke mana sedangkan sisanya masih terpegang Ching-toanio,

menggetar dan mengeluarkan bunyi! Ching-toanio berdiri seperti patung, terbelalak kaget,

juga orang-orang yang berada di situ, kecuali Loan Ki yang memandang marah,

mengeluarkan seruan heran dan terkejut.



"Wah, kau betul-betul membelanya, Hong-ko! Celaka, kau telah tergila-gila oleh seorang

gadis muka hitam!" Loan Ki berteriak-teriak penuh kegemasan.



Akan tetapi Kun Hong yang sudah mendekati Hui Kauw, tidak memperdulikan teriakan Loan

Ki ini, melainkan dia berkata halus kepada gadis yang masih berdiri menundukkan mukanya

itu. "Nona, kenapa kau diam saja membiarkan orang sewenang-wenang hendak

membunuhmu?" Ucapan ini selain mengandung perasaan kasihan, juga merupakan teguran.

Memang jantung Kun Hong masih berdebar kalau teringat betapa gadis bersuara bidadari

ini hampir saja tewas. Ngeri dia memikirkan ini. Baiknya tadi dia bertindak cepat.



"Saudara Kwa, ia....... ia ibuku......." jawab nona itu dengan suara lemah mengandung isak

tertahan. Kagum hati Kun Hong. Nona ini sekuat tenaga menahan tangisnya. Nona berbudi

mulia, berhati baja. Tapi dia penasaran mengapa ibunya seperti itu?



"Dia bukan ibumu!" Suaranya ketus dan tiba-tiba karena meluapnya perasaan hatinya.



"Heeeee? Saudara Kwa....... bagaimana kau bisa tahu akan hal ini.......?"



"Dia tidak mungkin ibumu! Seekor harimau atau binatang yang paling liar sekali pun takkan

mungkin membunuh anaknya, apalagi seorang ibu. Akan tetapi ia tadi benar-benar hampir

membunuhmu. Ia bukan ibumu!" suara Kun Hong lantang.



Sementara itu, cara Kun Hong menangkis dan sekaligus mematahkan pedang di tangan

Ching-toanio dengan tongkatnya, benar-benar membuat semua orang melongo. Bahkan Ka

Chong Hoatsu sendiri terheran-heran. Kakek ini maklum sampai di mana kelihaian ilmu

pedang Ching-toanio yang sudah jarang dapat di tandingi oleh kebanyakan ahli silat

ternama. Akan tetapi orang muda itu yang buta matanya lagi, dengan sekali tangkis dapat

mematahkan pedang Ching-toanio, benar-benar membuat hwesio tua ini tidak mengerti.

Padahal yang dipakai untuk menangkis hanya sebatang tongkat, dan gerakannya ketika

menangkis tadi pun hanya cepat saja, tidak luar biasa.



Akan tetapi kekagetan mereka hanya sebentar. Ching-toanio sudah dapat menguasai

kekagetannya dan mukanya berubah merah saking malu dan marahnya. Dibuntungkannya

pedang di tangannya dengan sekali tangkis oleh orang muda buta itu, benar-benar

merupakan penghinaan yang tiada taranya bagi nyonya jagoan ini. Masa ia kalah oleh

seorang muda yang buta? Benar-benar tak masuk di akal. Ia tidak tahu bagaimana caranya

pedangnya sampai patah tadi, akan tetapi ia tidak perduli dan mengira hal itu hanya

kebetulan saja, atau mungkin sekali memang pedangnya yang sudah bercacat di luar

pengetahuannya.



Dengan mata mendelik ia membentak dan melangkah maju, "Jembel buta, kau siapakah

berani mencampuri urusanku?"



Kun Hong menarik napas panjang. Dia maklum bahwa wanita ini adalah seorang tokoh

besar yang berkepandaian tinggi, malah kalau tidak keliru, menurut pendengarannya,

orang-orang yang ikut datang bersama nyonya ini juga orang-orang yang berkepandaian

tinggi. Dengan hormat dia menjura ke depan, lalu berkata halus,



"Harap Toanio dan Cuwi sekaiian sudi memaafkan. Aku sama sekali tidak berani

mencampuri urusan orang lain, hanya saja, sebagai seorang manusia biasa, mana bisa aku

membiarkan seorang ibu membunuh anaknya sendiri? Toanio harap insyaf sebelum

bertindak gegabah. Sesungguhnya nona Hui Kauw ini sama sekali tidak melakukan

perbuatan seperti yang difitnahkan tadi."



"Ching-moi (adik Ching), kenapa banyak memberi hati kepada seorang buta macam ini? Biar

kuwakili kau membereskannya!" bentak Bouw Si Ma yang juga ikut marah sekali karena

wanita bekas kekasih sutenya ini tadi mengalami penghinaan. Dia adalah seorang Mancu

yang berangasan, dan dia pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi lebih tinggi

daripada Ching-toanio, murid dari Pak Thian Lo-cu, tentu saja dia memandang rendah

kepada Kun Hong seorang muda buta.



"Bocah buta, kau benar-benar tak tahu diri, lancang memasuki tempat tinggal orang berani

bertingkah dan menjual lagak. Hayo kau mengaku siapa kau dan siapa pula ayah atau

gurumu sebelum aku Bouw Si Ma Si Tangan Maut mengambil nyawamu!"



Kun Hong cepat menjura. Gerakan orang ini mengandung tenaga berat dan dia maklum

bahwa orang ini tentu lebih lihai daripada Ching-toanio, maka dia berhati-hati.



"Bouw-enghiong harap suka bersabar. Siauwte (aku yang muda) bernama Kwa Kun Hong,

tentang orang tua dan guru tak usah dibawa-bawa dalam urusan ini. Aku mengakui bahwa

aku telah lancang memasuki Ching-coa-to, akan tetapi aku menyangkal kalau dianggap

bertingkah atau menjuai lagak. Sesungguhnya, aku tidak mempunyai niat yang tidak baik

dan kalau kalian sudi memaafkan, biarlah sekarang juga aku pergi dan tidak akan

mencampuri urusan orang lain."



Ucapan ini amat merendah, dan oleh Bouw Si Ma dianggap bahwa orang buta itu menjadi



jerih dan ketakutan mendengar namanya dengan julukan Si Tangan Maut. Dia tertawa

menyeringai dan membentak lagi,



"Kau memperlihatkan kepandaian tadi, apa kau kira di sini tidak ada orang yang mampu

memberi hajaran kepadamu? Nah, kau rasakan pukulan Si Tangan Maut merenggut

nyawamu!" Serta merta Bouw Si Ma menerjang, pukulannya lambat dan perlahan saja, akan

tetapi angin pukulan menderu menyerang ke arah dada Kun Hong.



Orang muda ini sudah siap, maklum akan kehebatan pukulan itu. Hal ini tidak membuat dia

jerih atau bingung. Yang membuat dia bingung adalah bahwa dia kini telah terlibat dalam

urusan besar, mendatangkan permusuhan pada orang-orang lihai penghuni Ching-coa-to.

Inilah yang membingungkannya, karena sesungguhnya tiada niat di hatinya meski sedikit

juga untuk bermusuhan dengan siapa pun juga. Sekarang karena menuruti Loan Ki,

memasuki pulau ini dia bertemu dengan Hui Kauw yang menarik hatinya dan karena dia

ingin melindungi nona bidadari itu, dia terseret dalam pertempuran.



Dengan hati sedih dia menggunakan langkah-langkah rahasia dari Kim-tiauw-kun sehingga

lima kali pukulan bertubi dari Bouw Si Ma hanya mengenai angin belaka. Bouw Si Ma

berhenti sebentar sambil melongo. Pukulan-pukulannya tadi bertingkat, makin lama makin

berat dan hebat. Namun, orang yang diserangnya bergerak aneh dan dia merasa seakan-

akan menyerang bayangan sendiri saja, sudah tentu tidak berhasil.



"Bouw-loenghiong, aku tidak ingin berkelahi......."



Terpaksa Kun Hong mengelak lagi karena belum juga dia habis bicara, lawannya sudah

mengirim lagi penyerangan sebanyak tujuh jurus menggunakan pukulan-pukulan tangan dan

tendangan-tendangan kaki yang lebih gencar dan berat lagi. Setiap pukulan atau tendangan

ini mengandung tenaga Iweekang tersembunyi cukup kuat untuk mengirim nyawa lawannya

ke akhirat. Kun Hong mengerutkan keningnya. Kejam sekali orang ini. Untuk urusan kecil

saja sudah menurunkan tangan maut, menghendaki nyawa orang. Untuk memberi

peringatan, pada jurus ke tujuh selagi kepalan tangan Bouw Si Ma berkelebat ke dekat

lehernya, Kun Hong menyentil dengan telunjuk kanannya ke arah belakang atau punggung

kepalan kiri orang Mancu itu.



"Aduh........ keparat.......!" Orang-orang yang berada di situ, kecuali Ka Chong Hoatsu,

terheran-heran karena tidak ada yang dapat melihat perbuatan Kun Hong ini. Mereka hanya

melihat pemuda buta itu terhuyung ke sana ke mari dengan kedua tangannya bergerak-

gerak seperti mengimbangi badan agar tidak jatuh. Kenapa Bouw Si Ma yang penuh

semangat menyerang membabi buta itu malah mengaduh-aduh sendiri dan tubuhnya

mendadak menggigil seperti orang terserang demam malaria? Akan tetapi karena Bouw Si

Ma memang seorang ahli silat tingkat tinggi, hanya sebentar saja dia menggigil dan segera

dia dapat menguasai dirinya kembali dengan jalan menyalurkan Iweekang untuk melawan

getaran hebat dari sentilan si buta yang tepat menyinggung jalan darahnya itu.



"Bocah buta she Kwa, kau sudah bosan hidup!" teriaknya sambil mencabut pedangnya yang

berwarna hitam, terus saja menyerang hebat.



Kun Hong kaget sekali. Desing pedang ketika dicabut dan desir angin serangan senjata itu

membuat dia maklum bahwa ternyata dalam hal ilmu pedang, orang Mancu ini jauh lebih

lihai daripada ilmu silat tangan kosongnya. Pedang yang digunakannya pun sebatang

pedang yang ampuh, sedangkan tenaga Iweekang yang terkandung dalam gerakan pedang

amat kuat dan matang. Kiranya orang Mancu ini seorang ahli pedang, pikirnya. Dia tidak

berani gegabah, tidak mau memandang rendah dan cepat sambil miringkan tubuh dan

menekuk lutut ke belakang, tongkatnya dia gerakkan untuk menghalau serangan lawan.

Benar saja dugaannya, ketika tongkatnya terbentur dengan pedang lawan, pedang itu

tergetar dan dari getaran ini langsung menyeleweng menjadi serangan lanjutan yang lebih

ganas!



Kun Hong berlaku hati-hati sekali. Gerakan lawan ini selain cepat dan bertenaga, juga

amat aneh, belum dikenalnya karena merupakan ilmu pedang dari utara yang beraneka

ragam. Dengan Kim-tiauw-kiam-hoat, yaitu Ilmu Pedang Rajawali Emas yang gerakannya

gesit dan kelihatan aneh pula, dia selalu berhasil menghindarkan diri menggunakan

langkah-langkah rahasia sambil menggerakkan tongkat untuk membentur pedang lawan.



Orang-orang di situ menjadi makin terheran-heran. Pemuda buta ini terhuyung ke sana ke

mari seperti orang mabuk, cara dia menghadapi serangan-serangan Bouw Si Ma amat aneh

dan kacau, tidak seperti ilmu silat, akan tetapi mengapa semua serangan Bouw Si Ma selalu

mengenai tempat kosong belaka? Lebih heran lagi adalah Ka Chong Hoatsu, karena hwesio

tua ini melongo menyaksikan Kim-tiauw-kun, lalu terdengar dia berbisik,



"Apa setan tua Bu Beng Cu menurunkan ilmunya kepada bocah buta ini?" pikirannya

melayang-layang kepada masa lampau, ketika dia masih muda pernah bertempur melawan

kakek Bu Beng Cu sampai ribuan jurus dan akhirnya dia harus menerima kekalahan dengan

tulang pundak patah ketika Bu Beng Cu mempergunakan ilmu silat seperti gerakan burung

yang amat aneh. Semenjak itu dia tak pernah bertemu pula dengan kakek Bu Beng Cu,

malah selama berpuluh tahun merantau, belum pernah dia melihat ilmu silat aneh itu

dimainkan orang. Kenapa sekarang tiba-tiba bocah buta ini bisa mainkan ilmu membela diri

yang tampaknya sama benar dengan gerakan-gerakan Bu Beng Cu dahulu?



Sementara itu, ketika melihat betapa Bouw Si Ma belum juga mampu menjatuhkan si buta,

Souw Bu Lai si Pangeran Mongol mengeluarkan gerengan keras dan menerjang maju sambil

membentak, "Setan buta, kau benar-benar hendak menjual lagak di sini!" Sekaligus

Pengeran Mongol ini menggerakkan senjatanya yang paling dia andalkan, yaitu sehelai

sabuk baja digandeng-gandeng saling mengait dan setiap mata kaitan mengandung duri

meruncing. Inilah senjata semacam joan-pian baja yang amat berbahaya karena lawan

yang terkena ujungnya saja tentu akan terluka hebat!



Sambaran senjata mengerikan itu lewat di atas kepala Kun Hong ketika pemuda buta itu

mengelak sambil merendahkan tubuh. Dari suara desir anginnya Kun Hong tahu bahwa

penyerangnya yang baru ini memiliki tenaga gajah sehingga sekali lagi hatinya mengeluh.

Dia harus menghadapi pengeroyokan dua orang lawan tangguh dan siapa tahu kalau

pertempuran ini tidak akan menjadi makin hebat jika yang lain-lain maju pula.



"Aku tidak ingin berkelahi....... ah, kenapa kalian berdua mendesakku?"



"Sublai, gunakan Liok-coa-kun!" tiba-tiba Ka Chong Hoatsu berkata kepada muridnya. Souw

Bu Lai menyanggupi dan segera ruyung lemas di tangannya bergerak cepat sekali,

menyambar-nyambar seperti enam ekor ular yang mengeroyok seekor katak.



Liok-Coa-Kun atau Ilmu Silat Enam Ekor Ular adalah ciptaan Ka Chong Hoatsu sendiri yang

berdasarkan penyerangan dan mempertahankan dari enam penjuru, yaitu dari kanan kiri

muka belakang dan atas bawah. Gerakan-gerakannya meniru gaya gerakan ular yang sukar

sekali diduga oleh lawan, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat ini. Ka

Chong Hoatsu yang merasa curiga menyaksikan gerakan permainan silat Kun Hong sengaja

menyuruh muridnya menggunakan ilmu simpanan itu karena dia hendak memaksa Kun Mong

mengeluarkan kepandaiannya sehingga dia dapat mengenal betul dari aliran manakah

bocah buta yang amat lihai dan masih muda sudah memiliki ilmu kesaktian ini.



Tingkat kepandaian Pangeran Souw Bu Lai sebetulnya tidak lebih tinggi daripada tingkat

kepandaian Bouw Si Ma. Malah boleh dibilang orang Mancu murid Pak Thian Lo-cu ini lebih

matang dan lebih banyak pengalamannya karena memang lebih tua. Akan tetapi karena

senjata yang dipergunakan oleh pangeran itu lebih jahat dan ganas, maka bantuannya ini

memiliki daya penyerangan yang tidak kalah hebatnya sehingga Kun Hong terpaksa harus

mengeluarkan kepandaiannya. Lebih banyak lagi jurus-jurus Kim-tiauw-kun harus dia

keluarkan untuk menyelamatkan dirinya, karena dua orang ini benar-benar mengarah

nyawanya. Tongkatnya berkelebatan, kadang-kadang tampak cahaya kemerahan dari

pedangnya Ang-hong-kiam yang tersembunyi di dalam tongkat.



Sementara itu, Ching-toanio menjadi makin marah melihat betapa dua orang tamu yang

amat diandalkan itu tetap juga belum dapat merobohkan si buta yang telah mendatangkan

kekacauan di pulau. Ia menoleh ke arah Hui Kauw dan makin panas hatinya melihat anak

pungutnya ini memandang kagum dan penuh kekhawatiran kepada Kun Hong yang

dikeroyok. Malah ia mendengar suara gadis itu perlahan.



"Curang....... curang....... matanya sudah buta masih dikeroyok......."



Ching-toanio meloncat ke depan Hui Kauw, matanya menyinarkan cahaya bengis. "Hui

Kauw, betul-betulkah kau tidak main gila dan berjina dengan bocah buta itu?"



"Tidak, Ibu."



"Kalau begitu, hayo kau bantu Pangeran Souw dan pamanmu Bouw untuk merobohkan dan

membikin mampus setan buta itu!"



Hening sejenak, kecuali suara beradunya senjata-senjata mereka yang sedang bertempur.

Lalu lirih terdengar ".......tapi....... kedua orang yang begitu lihai masih tak mampu

mengalahkannya, apalagi aku, Ibu? Kepandaianku amat rendah, mana bisa menangkan

dia......."



"Perduli dengan kepandaianmu! Aku hanya ingin melihat apakah kau ini benar-benar

pacarnya atau bukan. Kalau kau berani mengeroyoknya dan kemudian membunuhnya

dengan pedangmu, aku baru mau percaya bahwa kau bukan pacar si buta itu!"



Dapat dibayangkan betapa hancur hati Hui Kauw mendengar ini. Sebetulnya, di luar tahu

ibunya, ia telah memiliki ilmu silat yang amat tinggi yang ia pelajari secara rahasia. Ia

dapat mengira-ngira bahwa kalau dibandingkan dengan ibunya sendiri bahkan dengan

Pangeran Sublai atau malah dengan Bouw Si Ma kiranya ia takkan kalah! Dan melihat ilmu

silat aneh dari Kun Hong, biarpun amat lihai akan tetapi kalau ia maju lagi mengeroyok,

orang buta itu takkan mampu menahan lagi. Akan tetapi, orang buta itu tidak mempunyai

dosa. Malah ialah orangnya yang berdosa, karena si buta ini menghadapi bahaya maut

karena ia!



"Tidak, Ibu," jawabnya dengan suara tetap, "Dia tidak bersalah apa-apa, aku tidak mau

mengeroyoknya. Malah kuharap Ibu suka membebaskan saja dia dan gadis temannya itu

agar keluar dari pulau dengan aman. Mereka berdua itu tidak mempunyai kesalahan apa-

apa."



"Anak setan kau! Kau malah memihak musuh?"



"Mereka bukan musuh......."



"Kalau begitu kau ingin mampus!" "Budi yang dilimpahkan Ibu semenjak aku kecil terlalu

besar, kalau Ibu kehendaki, nyawaku boleh untuk membalas budi itu......"



"Keparat.....!" Terdengar oleh Kun Hong yang sejak tadi mendengarkan suara bidadari itu,

suara yang amat mengejutkan hatinya. Suara pukulan-pukulan yang dilakukan bertubi-tubi

kepada tubuh Hui Kauw yang agaknya tidak mau membalas atau mengelak, hanya

mengeluh lirih menahan nyeri. Meluap amarah di hati Kun Hong dan serentak berubah

gerakan tongkatnya. Segulung sinar merah berkelebat disusul teriakan kaget Pangeran

Souw Bu Lai dan Bouw Si Ma yang terhuyung mundur sambil memegangi lengan kanan yang

luka-luka berdarah. Saat itu dipergunakan oleh Kun Hong untuk mencelat ke arah Hui

Kauw, kakinya menendang dan....... tubuh Ching-toanio terlempar sampai lima meter

jauhnya! Kun Hong meraba-raba dengan tangannya, membungkuk lalu memondong tubuh

Hui Kauw yang sudah lemas dan pingsan. Kaget sekali hati Kun Hong ketika rabaan

tangannya mendapat kenyataan betapa nona itu terluka hebat, tubuhnya terserang

pukulan beracun dan beberapa tulang rusuknya patah! Saking marahnya Kun Hong merasa

betapa mukanya menjadi panas sekali.



"Ching-toanio.......!" Dia berteriak dengan suara agak gemetar. "Alangkah kejamnya

hatimu! Kau mengaku bahwa nona ini adalah puterimu, akan tetapi perbuatanmu

kepadanya sama sekali bukan sikap seorang ibu sejati. Perbuatanmu biadab dan tak patut

dilakukan oleh seorang wanita terhadap anaknya. Karena itu, jelaslah bahwa nona ini

bukan anakmu! Seekor harimau betina yang bagaimana liar dan ganas sekalipun takkan

makan anaknya sendiri, betapa seorang manusia bisa membunuh anaknya?"



"Jembel buta setan alas!" Ching-toanio memekik dan memaki-maki. Malunya bukan main

bahwa ia seorang tokoh dunia kangouw, majikan dari Ching-coa-to yang tersohor, kini

sekali tendang saja sudah dibikin terlempar oleh seorang pengemis muda dan buta lagi!

"Keparat tak bermalu, urusan antara ibu dan anak, kau orang luar berani mencampuri?"



Kun Hong tersenyum pahit, lalu terdengar suaranya dingin, "Alasan seorang iblis dalam

tubuh seorang ibu. Biarpun mataku buta, hatiku tidak sebuta hatimu. Aku masih dapat

membedakan siapa yang berhak ditolong dan siapa pula yang wajib diberantas! Nona ini

terang tidak berdosa, kalian menjatuhkan fitnah hanya untuk dalih agar dapat

menyiksanya, dapat membunuhnya! Tapi, selama Kwa Kun Hong masih hidup dan berada di

sini, jangan harap kau akan dapat mengganggu selembar rambutnya!"



Dengan tangan kirinya mengempit tubuh Hui Kauw yang pingsan, Kun Hong berdiri

melintangkan tongkatnya, siap menanti serbuan orang-orang itu. Dia bertekad untuk

melindungi nona itu.



"Hong-ko, kenapa engkau mencampuri urusan orang lain?" Tiba-tiba suara Loan Ki

mencelanya dan gadis ini sudah meloncat ke depannya. "Hong-ko, kau telah membikin ribut

dan kacau di sini, membikin urusan menjadi makin besar saja. Kau lepaskan si muka hitam

itu dan mari kita ke luar dari pulau ini."



"Ki-moi, mana bisa aku membiarkan saja orang membunuh ia yang sama sekali tidak

bersalah atas dasar fitnah yang begitu keji?"



"Hong-ko, kau mati-matian membelanya....... apakah....... apakah kau sudah jatuh cinta

kepadanya.......?"



"Hushh, jangan bicara yang bukan-bukan, aku....... aku......." Tiba-tiba tubuh Kun Hong

menjadi lemas dan dia roboh. Kiranya Loan Ki yang tadinya memegang-megang tangannya

itu secara tiba-tiba menotok jalan darah di punggungnya yang membuat Kun Hong menjadi

lemas kehilangan tenaga. Dia masih berusaha memulihkan kekuatan, akan tetapi yang

dapat dia lakukan hanya mencengkeram tongkatnya saja, malah tubuh Hui Kauw dalam

kempitannya juga terlepas dan jatuh bergulingan, saling tindih dengan tubuhnya sendiri.



Bagaimana Loan Ki yang tadinya dibelenggu bisa mendekati Kun Hong dan melakukan

pengkhianatan ini? Gadis ini tadi memang dibelenggu, akan tetapi ia dilepaskan oleh Souw

Bu Lai ketika pangeran ini maju menyerang Kun Hong. Karena ujung tali itu tidak dipegangi

orang, dengan mudah Loan Ki dapat sedikit demi sedikit meloloskan kedua tangannya

sehingga ia menjadi bebas. Tidak ada orang yang memperhatikannya, apalagi ia merupakan

tawanan yang tidak penting karena tadi orang mengikatnya hanya untuk menjaga kalau-

kalau sahabatnya yang buta itu benar-benar amat lihai dan mengamuk, maka ia dibelenggu

untuk dijadikan jaminan. Siapa kira si buta itu benar-benar mengamuk, akan tetapi bukan

karena tertawannya Loan Ki, melainkan karena soal lain, yaitu soal nona Hui Kauw. Adapun

Loan Ki sendiri hatinya sudah sejak tadi panas dan iri menyaksikan betapa Kun Hong

membela Hui Kauw secara mati-matian. Gadis ini masih terlalu muda untuk dapat

Comments

Anonymous said…
Pleaaase soft copy nya sampe tamat kalo ada di sent ke thio.sinchan@gmail.com. thx berat. 0818 0853 6706

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed