"Wahai kasih, aku di sini ..............! Menyongsong sinarmu yang hangat....."
Kata-kata dalam nyanyian Kun Hong selalu berbeda, disesuaikan dengan keadaan dan
perasaannya di saat itu, namun selalu didahului dan diakhiri dengan kata-kata "wahai
kasih, aku di sini............!"
Hal ini adalah karena dalam setiap nyanyiannya, pikirannya selalu melayang dan terkenang
kepada Cui Bi, kekasihnya yang telah tiada. Baginya, sinar matahari, kicau burung, desir
angin, dendang air sungai, harum bunga dan rumput, semua itu adalah pengganti diri Ciu Bi
baginya! Sebetulnya pada saat itu dia merasa lapar sekali, akan tetapi setelah berjalan
setengah hari lebih belum juga dia bertemu orang atau dusun, maka terpaksa dia menahan
lapar dan bernyanyi-nyanyi.
"Wahai kasih aku di sini.............! Dalam perjalanan nan sunyi...................."
Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya seperti tak disengaja, akan tetapi sebetulnya dia
mengelak sambaran sebuah benda yang menyambar kepalanya dari atas. Plok! Benda itu
jatuh ke tanah dan pecah. Kiranya sebutir buah apel masak yang menyambarnya tadi, dari
atas pohon di pinggir jalan. Tak mungkin buah masak jatuh seperti itu cepatnya, pasti
disambitkan orang, pikir Kun Hong. Dia menghentikan langkahnya dan dengan telinga
memperhatikan ke atas pohon.
"Perutku memang amat lapar dan bau buah masak itu sedap benar. Kuminta belas kasihan
sahabat yang bermata untuk memberi beberapa butir kepadaku," akhirnya dia berkata
sambil mendongak ke atas.
"Hik, hik!" terdengar suara wanita, suara ketawa merdu yang membuat Kun Hong
mengerutkan keningnya. Serasa pernah dia mendengar suara ketawa ini. Lalu tubuh orang
itu dengan ringannya melayang dari atas pohon, turun di depannya tanpa mengeluarkan
banyak suara gaduh. Ternyata ginkang (ilmu meringankan tubuh) orang ini tinggi juga.
Kembali ada benda-benda melayang ke arah Kun Hong. Pemuda buta ini menggunakan
kedua tangannya menangkap dan ternyata buah-buah yang masak dan harum baunya
berada di tangannya. Dia tersenyum girang, lalu makan buah yang manis dan sedap itu.
Dengan mulut penuh daging buah dia berkata. "Terima kasih...... terima kasih........."
sambil membungkuk-bungkuk ke depan, ke arah pemberi buah.
"Siapa sih yang kau rindukan sepanjang jalan itu? Ingin benar aku tahu, si genit puteri Hui-
hou-pangcu ataukah si janda muda tak tahu malu?"
Kun Hong tersedak, cepat batuk-batuk untuk mencegah makanan memasuki jalan
pernapasannya. Kiranya wanita ini adalah Bi-yan-cu, gadis lincah yang mengaku puteri Sin-
kiam-eng Tan Beng Kui!
"Eh, kiranya kau........... Bi-yan-cu, Nona? Ah, sambitanmu tadi membikin kaget orang
saja..............."
Sungguh sama sekali di luar dugaannya, ucapannya ini membuat gadis itu tiba-tiba menjadi
marah! Gadis ini membanting-banting kakinya dan berkata, suaranya penuh kejengkelan.
"Kalau lengan kananku yang terkutuk ini tidak begini nyeri, tak mungkin sambitanku tidak
mengenai kepala seorang buta! Aku tidak biasa menyambit dengan tangan kiri!"
Kun Hong tersenyum, diam-diam merasa aneh dengan watak gadis ini, akan tetapi dia tidak
menjawab, melainkan menghabiskan dua butir buah dengan lahap dan enaknya.
Kediaman kembali membangkitkan amarah gadis itu, terbukti dengan suara nya yang
nyaring merdu penuh kejengkelan, "Ih, orang macam apa kau ini, tidak menjawab omongan
orang hanya makan saja, tidak ingat dari siapa kau menerima buah itu!"
"Aku sudah bilang terima kasih tadi," jawab Kun Hong tenang, memasukkan sisa terakhir
buah itu ke dalam mulut.
"Siapa butuh terima kasihmu? Yang kubutuhkan sekarang jawabanmu."
"Jawaban apa?"
"Siapa yang kau rindukan sepanjang jalan, si genit puteri Hui-houw pangcu ataukah si janda
muda?"
"Bagaimana kau tahu tentang janda itu?"
"Cih, kau kira aku buta? Tentu saja aku tahu, hemm, siapa tidak melihat kau bermalam di
rumahnya, menolongnya mati-matian dan siapa pula tidak melihat adegan sandiwara mesra
di perempatan jalan tadi pagi? Hi-hik, semua ditinggalkan, lalu di jalan nyanyi-nyanyi
seorang diri penuh rindu. Lucu benar kau!" Suara gadis itu penuh ejekan dan muka Kun
Hong menjadi merah. Namun dia tersenyum dan diam-diam dia heran sekali karena benar-
benar sukar untuk dapat menyelami hati dan watak seorang gadis seperti ini. Dia tidak
merasa sakit hati mendengar gadis itu bicara tentang buta, karena dari suaranya dia
maklum bahwa gadis itu tidak sengaja hendak menghina atau menyakiti hatinya.
"Aku tidak merindukan siapa-siapa, tidak mereka berdua."
"Habis, siapa itu kasih?" Lalu dengan suara keras menggemaskan ia meniru suara Kun Hong
bernyanyi tadi, "Wahai kasih, aku di sini..............!"
Kun Hong hanya tersenyum. "Kau benar-benar hebat, tahu segalanya. Masih begini muda,
pandai menyelidiki keadaan orang lain. Hai, adik nakal, kenapa kau semenjak kemarin
terus mengikuti aku?"
"Ih, ngawur! Dua kali ngawur! Pertama-tama, bagaimana kau berani memanggil aku adik,
padahal aku jauh lebih tua daripadamu."
"Tak mungkin! Usiamu belum ada dua puluh tahun!"
"Ih, ngawurnya! Kau tidak bisa melihat aku, mana tahu aku tua atau muda? Umurku sudah
dua kali umurmu, tahu?"
Kun Hong tertawa. Biarpun menyinggung-nyinggung kebutaannya, namun jelas bahwa dara
remaja ini bukan bermaksud menyakiti hati, melainkan bermaksud mempermainkannya.
Hal ini dapat dia tangkap jelas pada suara gadis itu. Hemm, seorang dara remaja yang
biasa dimanjakan, keras hati, keras kepala, keras segala-galanya. Tapi belum tentu jahat,
buktinya pernah turun tangan menolongnya ketika dia dikeroyok.
"Kau bocah nakal! Biarpun mataku buta tak dapat melihatmu, aku berani bertaruh potong
kepala bahwa usiamu belum ada dua puluh tahun dan bahwa kau seorang dara lincah yang
nakal, cantik jelita, dan manja!"
"Idihhh, ngawur lagi. Bagaimana kau bisa katakan aku cantik jelita? Dasar laki-laki mata
keranjang kau ........... eh, tak bermata? mana bisa mata keranjang? Kau.......... kau
hidung belang, buktinya setiap bertemu wanita lalu memuji dan main gila seperti yang kau
lakukan dengan puteri Hui-hou-pangcu dan janda muda."
"Bohong! Fitnah belaka itu!"
"Bohong apa? Fitnah apa? Hayo kau sangkal, bukankah puteri Lauw-pangcu yang genit itu
minta kau memijatinya waktu malam? Hi-hik, biar matamu buta, apakah jari-jari tanganmu
juga buta? Dan janda itu, kau bermalam di gubuknya, kau menolongnya, kau........
sudahlah, kau menjemukan!"
Kun Hong makin geli. Anak ini benar-benar manja. Bilang menjemukan tapi malah
mengajak dia bercakap-cakap dan tidak mau pergi dari situ.
"Yah, sudahlah. Aku ngawur, tapi baru satu kali. Yang ke dua kalinya lagi ngawur dalam hal
apa?"
"Kau bilang aku mengikutimu sejak kemarin. Cih, siapa sudi mengikutimu? Apa ingin
menontonmu? Kalau orang gila, masih boleh dan menarik ditonton, tapi orang buta, apa sih
menariknya untuk ditonton? Paling-paling hanya menimbulkan kasihan
dihati..................."
"Wah, kau berkasihan kepadaku, Bibi tua? Aku yang muda menghaturkan terima kasih atas
belas kasihanmu itu dan ......."
"Gila! Kau buta gelap! Kau ngawur, kau menghina, ya? Panggil bibi tua, setan .............!"
Mendengar gadis itu mencak-mencak disebut bibi tua, Kun Hong tertawa bergelak, "Ha-ha-
ha-ha-ha!"
"Setan alas, masih tertawa lagi! Kau minta dihajar barangkali."
"Ampun, Bibi tua. Keponakanmu ini takkan berani nakal lagi. Kau tadi bilang bahwa kau
dua kali lebih tua daripadaku, bukankah sepatutnya kalau aku menyebutmu bibi tua?
Kenapa marah-marah seperti kebakaran jenggot?"
"Gila lagi. Aku mana berjenggot?"
Kun Hong tertawa makin geli mendengar ini dan gadis itu pun tertawa kini. "Betul juga kau,
aku yang salah. Sudah, jangan sebut aku bibi tua lagi, bisa menangis aku!"
"Nona yang lucu, coba kau katakan, kalau kau tidak mengikuti aku, biarpun sesungguhnya
aku tidak tahu dan tidak menduga, habis bagaimana kau bisa tahu tentang janda dan
segala yang kualami itu?"
"Aku mengikuti rombongan itu untuk mengambil ini." Lupa akan kebutaan Kun Hong, gadis
itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam buntalannya, dan benda itu adalah...........
mahkota yang tadinya sudah dirampas oleh Tiat-jiu Souw Ki. Biarpun Kun Hong tak dapat
melihatnya, namun dia mendengar angin gerakan gadis itu yang mengeluarkan sesuatu dari
buntalan, dia dapat menduga benda apa itu.
Kun Hong terkejut juga, karena hal ini benar-benar tak pernah disangkanya.
"Hah, kau sudah merampasnya kembali?"
"Tentu saja! Setelah kau main gila dengan janda itu, aku mengejar mereka dan apa artinya
mereka bagiku?" Suaranya bernada sombong. "Kemarin aku kalah karena mereka
mengeroyokku, puluhan, malah ratusan orang banyaknya! Dan sebenarnya kemarin itupun
aku tidak akan kalah kalau saja............"
"Kalau apa?" Kun Hong tersenyum, diam-diam geli hatinya. Gadis ini benar-benar lincah dan
lucu dan bagaikan penambah cahaya matahari mendatangkan perasaan gembira,
menularkan kepadanya silat gembira dan tiba-tiba saja Kun Hong kehilangan watak
pendiamnya dan jadi bersendau-gurau dengan gadis ini!
"Kalau saja aku tidak muak oleh bau keringat mereka!"
"Bau keringat? Ho-ho, kok aneh amat!"
"Aneh apanya? Ratusan orang laki-laki kasar tak pernah mandi mengeroyokku, keringat
mereka bercucuran, baunya melebihi biang cuka, membuat aku sesak bernapas. Mau
muntah rasanya, mana mungkin bertempur dengan baik!"
Kun Hong tak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawalah dia terbahak-bahak tidak
tahu bahwa gadis itu memandangnya dengan cemberut karena merasa ditertawai. Selama
tiga tahun ini agaknya baru kali ini dia dapat tertawa seenak ini. Tapi ketika dia teringat
akan kekejaman gadis ini merobohkan lawan-lawannya tiba-tiba ketawanya terhenti,
keningnya berkerut ketika dia bertanya,
"Dan kau bunuh mereka semua dua puluh satu orang itu?"
"Hemmm, lenganku yang terkutuk inilah yang menjadi penghalang! Aku hanya dapat
merampas mahkota, merobohkan tosu bau dan anjing kaisar dengan melukai mereka.
Sayang lenganku begini sakit, kalau tidak, hemmmm........... mereka semua akan menjadi
setan tanpa kepala!"
"Kau ganas sekali." Suara Kun Hong dingin.
"Apa, ganas? Mereka itu orang-orang jahat, membunuhi orang-orang tak berdaya dan tak
berdosa, merekalah yang ganas. Aku membasmi orang-orang jahat kau sebut ganas? Kalau
kau membiarkan mereka melakukan kejahatan, maka kaulah yang ganas!"
Kun Hong merasa kalah berdebat. Pengetahuan gadis ini masih dangkal sekali, mana tahu
tentang perkara yang menyinggung hal pelik ini? "Sudahlah, sekarang katakan, setelah kau
berhasil merampas mahkota, kau lalu mengikuti aku dan bahkan menyusul, apa
kehendakmu?"
"Wah, banyak sekali! Dengar baik-baik. Kau telah menghinaku tiga kali dan kau hutang
penjelasan kepadaku sebanyak dua kali."
"Waduh, berat kalau begitu perkaranya. Hemm, coba kau sebutkan satu-satu apa yang kau
maksudkan semua itu."
"Pertama, kau tadinya menolongku, itu tanda kau suka kepadaku, tapi ternyata mau main
gila, memijati tubuh perempuan genit itu, ini penghinaan nomor satu. Penghinaan nomor
dua, di depan mataku kau berani pula main gila dengan janda itu. Penghinaan nomor tiga,
kau pura-pura berkorban untukku, menukar aku yang tertawan dengan dirimu sendiri,
kiranya kau hanya main-main tidak sungguh-sungguh berkorban lalu melepaskan diri
dengan mudah!"
Kembali Kun Hong tertawa. Bocah ini lucu benar. Dia tadi sudah khawatir bahwa dia
menghina orang, tidak tahunya urusan begitu dianggap penghinaan!
"Wah-wah, berat! Lalu hutang penyelesaian itu bagaimana?"
"Pertama, kau harus jelaskan kepadaku mengapa kau menolongku, Ke dua kalinya, apa
maksudmu menyebut-nyebut nama Tan Beng San dan apa hubunganmu dengan manusia
itu!"
Ucapan terakhir ini mengejutkan hati Kun Hong. Tapi dia bersabar lalu menjawab,
"Kujawab satu demi satu. Tiga penghinaan itu hanya dugaanmu belaka. Aku tidak main gila
pada siapapun juga. Tidak pernah memijati puteri Lauw-pangcu biarpun ia secara tak tahu
malu menyebut-nyebutnya. Juga tidak main gila dengan janda itu, kau harus tahu bahwa ia
seorang yang berhati putih bersih dan bermartabat tinggi. Ke tiga kalinya, aku memang
menggantikan kau karena tak ingin melihat kau celaka di tangan mereka. Nah, sekarang
tentang penjelasan. Tentu saja aku menolongmu, andaikata bukan kau yang terancam
bahaya, akupun pasti akan menolong siapa saja yang menghadapi bahaya maut. Tentang
diri Tan Beng San taihiap, dia itu jelas adalah pamanmu kalau memang betul kau puteri
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Sedangkan hubunganku dengan beliau, beliau
adalah.............. guruku. Nah puas?"
"Tidak puas................ tidak puas............. omongan orang lelaki mana bisa dipercaya?"
Gadis itu diam sejenak, memandang tajam kemudian tiba-tiba ia meloncat ke atas dan
"sratt" pedangnya sudah dicabutnya.
"Tapi aku puas! Aku benar-benar puas!" katanya lagi, kini nada suaranya gembira sekali.
Kun Hong sampai menjadi bingung dan terpaksa harus memasang telinga baik-baik untuk
dapat menangkap getaran suara itu dan untuk menyelami isi hati gadis yang aneh ini.
"Kau tidak puas dan kau puas? Bagaimana ini?"
"Aku tidak puas karena kata-katamu tak dapat dipercaya. Siapa berani tanggung bahwa kau
tidak bohong? Tapi aku puas karena kau ternyata murid Tan Beng San. Hemmm, dengan
gurunya belum juga aku dapat kesempatan mengadu kepandaian, sekarang mencoba
muridnya juga sudah cukup memuaskan. Orang buta, bersiaplah menghadapi pedangku!"
Bukan main mendongkolnya hati Kun Hong. Gadis manja ini benar-benar keterlaluan. Salah
orang tuanya yang terlalu memanjakannya sehingga gadis ini mempunyai watak yang
takabur dan tinggi hati, merasa diri paling pintar dan paling lihai. Dia segera bangkit
perlahan dan dengan senyum tanpa meninggalkan bibirnya dia berkata,
"Ah, kiranya kau membenci dan memusuhi pamanmu sendiri. Adik kecil, kau menantang
aku? Apa kau lupa bahwa aku hanya seorang buta yang tak dapat melihat? Masa seorang
buta ditantang bertempur?"
"Kau benar buta, apa bedanya? Biarpun buta, kau lebih pandai daripada yang tidak buta,
siapa tidak tahu hal ini? Sebaliknya, akupun terluka di tangan kananku, gerakanku menjadi
kaku, rasanya sakit sekali. Jadi keadaan kita sudah seimbang, tak boleh kau bilang aku
menggunakan kebutaanmu untuk mencari kemenangan. Hayo, siap!"
Diam-diam ingin juga hati Kun Hong untuk menguji sampai di mana kepandaian gadis ini
yang begini besar hati dan besar kepala. Dia sudah tahu akan kelihaian Ilmu Pedang Sian-li-
kiam-hoat, bahkan dahulu pernah melihatnya sebelum dia buta. Bukankah kekasihnya
dahulu juga telah mewarisi ilmu pedang itu? Teringat akan kekasihnya ini makin besar
keinginan hatinya untuk menghadapi gadis ini memainkan Ilmu Pedang Sian-li-kiam-hoat.
Dia lalu melintangkan tongkatnya di depan dada dan berkata tenang.
"Aku sudah siap."
Akan tetapi gadis itu tidak segera mulai, melainkan berkata dulu dengan nada suara
angkuh. "Aku sudah dapat menduga bahwa di dalam tongkatmu itu tersembunyi senjata
yang ampuh, maka jangan nanti katakan aku menyerang lawan yang hanya bertongkat.
Nah, awas pedangku!"
Kun Hong tersenyum. Betapapun juga, gadis ini selain mempunyai keangkuhan, juga jujur
dan ada sifat "satria" dalam hatinya. Mendengar desir angin serangannya, Kun Hong cepat
menggerakkan tongkat menangkis, sengaja tidak mau menggunakan mata pedang Ang-
hong-kiam karena khawatir kalau merusak pedang lawan itu. Dari samping dia menangkis,
meminjam tenaga lawan karena maksudnya hanya hendak menguji tenaga. Dalam gebrakan
pertama ini dia sudah tahu bahwa gadis ini mengandalkan kepandaiannya kepada
kegesitannya. Ginkang atau ilmunya meringankan tubuh memang sudah boleh juga, hanya
kalah setingkat kalau dibandingkan dengah Cui Bi, mendiang kekasihnya.
Akan tetapi tenaga Iweekangnya ternyata masih jauh daripada cukup. Dia melayani semua
serangan gadis itu dengan tenang mengimbangi tenaga dan kecepatannya. Gembira hatinya
ketika mendapat kenyataan bahwa Sian-li-kiam-hoat yang dimainkan gadis ini adalah ilmu
pedang yang tulen. Gerakan-gerakannya begitu halus dan lemas, keindahannya dapat dia
rasakan dari desiran anginnya, dan di dalam khayalnya Kun Hong seakan-akan melihat
kekasihnya sendiri bergerak menari pedang. Hatinya terharu bukan main dan dalam
kegembiraannya dia sampai lupa bahwa dia tadi hendak menguji gadis itu. Dia selalu
mengimbangi gadis itu, dan dia tidak memberi kesempatan kepada gadis itu untuk melukai
tubuhnya, juga dia tidak mau mengambil kesempatan untuk merobohkannya.
Dua ratus jurus telah lewat dan tiba-tiba gadis itu menghentikan gerakannya, malah lalu
tidak mau menyerang lagi. Kun Hong juga berhenti bersilat, berdiri tegak dengan muka
pucat karena baru sekarang dia teringat bahwa dia sama sekali tidak sedang menari-nari
dengan kekasihnya. Dia mendengar penuh perhatian dan alangkah kagetnya ketika
mendengar gadis itu yang kini sudah duduk di atas tanah terisak menangis!
Dia pun cepat berjongkok. Permainan pedang gadis itu yang sama benar dengan mendiang
Cui Bi mendatangkan rasa simpati besar dan di dalam hatinya timbul rasa sayang kepada
dara lincah ini.
"Nona, kau........... kenapa kau menangis? Kau tidak terluka, juga tidak kalah............"
"............ tidak kalah........... ! Memang tidak kalah........... hu-hu .......... tapi juga
tidak menang....... u-hu-huu .......!"
Tangisnya makin menjadi sehingga Kun Hong menjadi bingung sekali. Beberapa kali dia
mengulur tangan hendak menghibur, tapi ditariknya kembali. Jantungnya serasa copot dan
seluruh tubuhnya serasa lemas mendengar tangis ini. Aneh bin ajaib, mengapa tangis gadis
ini sama dengan tangis Cui Bi? Isaknya sama, suara sedu-sedannya juga senada.
"Jangan........... jangan menangis, Nona........... biarlah aku mengaku kalah kalau kau
menghendaki begitu."
"Siapa sudi berlaku serendah itu? Hah, kalah sih bukan soal!" tiba-tiba tangisnya menghilang
dan suaranya kembali nyaring. Benar-benar gadis aneh ia sehingga Kun Hong mendengarkan
sambil terlongong. "Akan tetapi, siapa tidak mendongkol? Sampai hampir copot rasanya
lengan kananku yang terkutuk ini, sampai sakit bukan main dan kupaksa-paksa tadi, akan
tetapi tetap saja aku tidak mampu mengalahkan kau seorang buta! Baru kau muridnya yang
buta saja begini hebat, apalagi gurunya yang tidak buta. Ah, aku berdebat dengan ayah,
aku tidak menerima kata-kata ayah bahwa aku takkan mungkin dapat mengalahkan dia.
Dan ternyata aku kalah bertaruh. Hu-hu-huu...........!" Dia menangis lagi tersedu-sedu
seperti anak kecil minta permen ditolak.
"Tan Beng San taihiap adalah seorang pendekar besar, Nona dan kau seharusnya bangga
karena dia itu pamanmu. Dia tak mungkin mau memusuhimu, selain lihai dan sakti, juga
dia memiliki hati emas, pribudinya luhur dan dia seorang satria sejati."
Tiba-tiba tangis itu terhenti dan suaranya marah lagi. "Kalau hatiku berbulu, ya? Pribudiku
rendah dan aku bukan bandingnya sama sekali. Hatinya emas tapi hatiku tembaga.
Begitukah? Pantas saja kau tidak perduli kepada orang rendah ini, biar tubuh hampir kaku
karena........... lengan terkutuk ini ........... aduh."
Baru sekarang gadis itu mengeluh dengan suara rintihan lirih. Kun Hong terkejut. Dia dapat
menduga tadi bahwa lengan kanan gadis ini terluka, gerakannya pun kaku, akan tetapi
mendapat kenyataan bahwa gadis ini masih kuat mainkan pedangnya sebegitu lama, tentu
lukanya tidak hebat. Kini dari suara gadis ini dia terkejut karena ada tanda-tanda bahwa
gadis itu terserang demam panas akibat lukanya.
"Berikan lenganmu, biar kuperiksa!" katanya. Dan sebelum gadis itu sempat menjawab atau
menolak, dia sudah dapat menangkap pergelangan tangannya dan meneliti detik darahnya.
Setelah memeriksa beberapa menit, tiba-tiba muka Kun Hong menjadi merah sekali,
melepaskan tangan itu dan berseru, "Celaka.......! Mana mungkin? Ahh..........." dan dia
duduk termenung, beberapa kali menggeleng kepala.
"Bagaimana? Ada apa?" Gadis itu lenyap keangkuhannya dan memandang penuh
kegelisahan. "Jangan bilang tanganku tak dapat sembuh dan harus dipotong."
"Bukan demikian, tapi cara pengobatannya yang sukar kulakukan ..........."
"Sukar bagaimana? Hayo katakan!" Gadis itu tak sabar lagi.
"Harus memperbaiki jalan darah yan-goat-hiat, mana mungkin.......?" Jalan darah itu
letaknya di bawah ketiak, bagaimana dia dapat meraba bagian tubuh ini?
"Kenapa tidak mungkin? Aneh benar kau ini, apa kau kira aku tidak mempunyai jalan darah
yan-goat-hiat? Bukankah ini di sini?" Gadis itu menggunakan tangan kiri meraba sebelah
bawah pangkal lengannya, tapi ia segera menjerit perlahan, "........... aduuuhhh...........!"
"Nah, apa kataku, tentu sakit, Nona. Kau terkena pukulan pada pangkal lenganmu. Berkat
hawa murni dan Iweekang dalam tubuh, kau dapat menahannya, tidak ada tulang yang
patah dan kau masih dapat melakukan pertempuran merampas mahkota, benar-benar
hebat. Akan tetapi tanpa kau ketahui, jalan darah itu menjadi buntu oleh gumpalan darah
matang dan dapat menimbulkan keracunan."
"Wah, perlu apa kau berpidato? Aku tidak ingin menjadi tabib, tidak mau belajar
mengobati. Lebih baik kau lekas mengobatinya."
"........... bagaimana mungkin..........?"
"Aih-aiihh, bagaimana sih orang ini? Mengapa pakai bagaimana mungkin segala? Pendeknya,
kau becus tidak mengobatinya?"
"Tentu saja bisa ..............."
"Nah, sudah jangan banyak rewel, lekas obati!" Suara nona itu kehabisan sabar.
"............. ya tapi .......... tapi .......... cara mengobatinya tidak hanya dapat dengan
totokan biasa, Nona. Harus diurut dan dihancurkan darah yang berkumpul di situ agar
terbawa mengalir dan ..........."
"Aduh-aduuuuuhh, cerewetnya. Kalau harus diurut ya urutlah, kenapa sih ceriwis amat?"
"Tapi........... kau tahu sendiri yan-goat-hiat terdapat di ......... ketiak ......."
"Aduh kemaki (sombong) kau, ya? Kalau di ketiak kenapa? Apa kau kira ketiakku terlalu.
kotor? Cih, ketiakmu lebih kotor, dekil, tak pernah kau gosok kalau mandi!" Nona itu
suaranya marah sekali.
Kun Hong menarik napas panjang, tak disadarinya lagi dia menggaruk-garuk belakang
telinganya, benar-benar kewalahan dan terdesak. Celaka, susahnya bicara dengan gadis
liar ini, pikirnya. Gadis jujur, agaknya tidak tahu apa-apa dan masih bersih betul
pikirannya akan perhubungan antara pria dan wanita, dan hal ini mungkin terpengaruh oleh
cara hidupnya sebagai seorang gadis perantau.
"Eh, malah termenung, garuk-garuk kepala segala lagi! He, orang buta, apakah kau
memang tidak sudi menolongku?"
"........... bukan sekali-kali, Aku suka menolongmu, Nona, suka sekali. Tapi....."
"........... tapi apalagi?"
"Eh, maaf........... bagian yang diobati itu harus........... harus........... tidak tertutup
..........."
Hening sejenak. Biarpun wataknya polos, agaknya kalau harus memperlihatkan ketiak
tanpa ditutup baju, membuat gadis itu menjadi merah sekali mukanya dan bingung.
Dengan kening berkerut ia memandang Kun Hong penuh selidik.
Apakah dia sengaja hendak mempermain-kan aku, pikirnya. Apakah dia seorang yang
kurang ajar? Akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa orang di depannya ini adalah seorang
buta.
"He, orang aneh. Apakah matamu betul-betul buta?"
Melengak Kun Hong mendengar pertanyaan ini. Ia tidak bermaksud menghina, suaranya
jujur dan pertanyaan itu sungguh-sungguh.
"Tentu saja, masa ada buta pura-pura?"
"Sama sekali tak dapat melihat? Sedikit pun tak dapat melihat?"
Kun Hong tersinggung juga, dia menghela napas dan menjawab, "Bagiku, siang dan malam
sama gelapnya..........."
Namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh suara menyedihkan ini, tidak menjadi
terharu malah segera berkata, "Kalau begitu, apa salahnya kubuka baju bagian yang
diobati? Hayo lekas kau kerjakan. Nih, sudah kubuka!"
Berdebar juga jantung Kun Hong, tapi segera dia menindas perasaannya karena dia harus
mengakui bahwa gadis ini benar-benar masih amat kekanak-kanakan sifatnya, gadis kasar,
jujur, dan di dalam pikirannya masih bersih daripada hal yang bukan-bukan. Oleh karena
itu dia pun lalu menangkap lengan kanan gadis itu, terus jari-jarinya bergerak ke atas.
Lengan yang kecil bulat, berisi, dengan kulit yang halus seperti sutera.
"....... aduh .......!" jerit gadis itu ketika ototnya di bawah pangkal lengan terpegang.
"Hemmm....... lebih hebat daripada yang kuduga. Kalau terus kuurut, kau akan banyak
menderita kesakitan, Nona. Biarlah kubantu dengan tenaga Iweekang agar kumpulan darah
itu agak membuyar karena panas. Maaf, kendurkan tenagamu sebentar." Kun Hong lalu
membuka tangannya dan menempelkan telapak tangannya di bawah pangkal lengan atau di
ketiak kanan gadis itu. Dia mengerahkan tenaga sakti dari tubuhnya, disalurkan melalui
tangan dan gadis itu dengan penuh kekaguman memandang ketika merasa betapa hawa
panas sekali keluar dari telapak tangan si buta menjalar ke dalam tubuhnya melalui ketiak.
Tiba-tiba ia menggigil karena hawa panas itu berubah menjadi dingin sekali sampai
membuat ia menggigil.
"Wah....... gila......." bibir Kun Hong berbisik dan gadis itu merasa betapa hawa itu
berubah panas kembali.
"Apa yang gila? Siapa?" tak tertahan ia bertanya mendengar bisikan tadi. Akan tetapi ia
tidak marah melihat wajah Kun Hong berkeringat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang
mengerahkan Iweekang, maka tak menjawab juga tidak mengapa. Tentu saja ia tak pernah
menduga bahwa Kun Hong tadi memaki dirinya sendiri. Ketika dia menyalurkan tenaga
Iweekang tadi, pikirannya melayang dan sentuhan tangannya dengan kulit halus hangat itu
mendatangkan perasaan yang bukan-bukan dan yang mengacaukan pengerahan tenaga
saktinya sehingga, akibatnya gadis itu menggigil kedinginan. Dia memaki diri sendiri,
mengusir semua perasaan, mengumpulkan panca indera dan mengerahkan tenaga.
Sepuluh menit kemudian dia melepaskan tangannya, lalu mulailah dia mengurut otot dan
jalan darah yang terluka. Mula-mula gadis itu merintih perlahan karena memang masih
terasa sakit. Akan tetapi lambat laun setelah darah mengental itu cair dan mengalir, rasa
nyeri berubah nikmat. Akhirnya tiba-tiba ia tertawa cekikikan dan tubuhnya menggeliat-
geliat. Kun Hong terheran dan bertanya,
"Kenapa, Nona ...........?"
"Aiiihhh....... hi-hik, geli amat....... jari-jarimu menggelitik ..........."
Cepat-cepat Kun Hong menarik tangannya dan wajahnya kembali menjadi panas. Merah
sekali wajahnya, sampai ke telinga-telinganya. "Kalau, sudah merasa geli, itu berarti sudah
sembuh, Nona." Diam-diam dia juga merasa geli hatinya karena memang sikap nona ini
benar-benar lucu, jujur dan kekanak-kanakan. Tanpa disadarinya timbullah rasa sayang
kepada nona ini.
Gadis itu mengenakan kembali bajunya, bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan lengan
kanannya, memukul beberapa jurus. Akhirnya ia berseru girang, "Bagus! Tidak terasa sakit
lagi, sembuh sama sekali. Kakak buta, aku adikmu yang bodoh takluk betul sekarang. Kau
hebat!" Gadis itu memegang tangan Kun Hong dan menari-nari berputaran. Sambil tertawa
Kun Hong terpaksa mengikutinya dan mengomel,
"Aih, kau benar-benar seorang adik yang nakal. Perut masih lapar kau suruh aku putar-
putar begini, bisa pusing tujuh keliling aku!"
"Waah, kakak buta yang baik, kau lapar? Tunggu sebentar di sini, ya? Duduklah di bawah
pohon, nah di sini ......." katanya sambil menuntun Kun Hong ke bawah pohon,
menyuruhnya duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah. "Aku takkan lama
dan kau akan kenyang nanti." Sebelum Kun Hong sempat mencegahnya, gadis itu sudah
melesat cepat sekali dan tidak terdengar lagi suaranya.
Belum ada setengah jam gadis itu pergi, ia sudah kembali lagi tertawa-tawa girang dan
kedua lengahnya penuh barang-barang. Sepanci nasi putih, semangkok besar masakan ang-
sio-hi, semangkok besar pula cah-udang dan semangkok lagi panggang daging ayam. Semua
masakan dan nasinya masih panas mengepulkan asap sedap. Mangkok-mang-kok terisi
masakan ini ia kempit dan bawa sedapat mungkin, malah tangannya masih menggenggam
sebuah guci arak, mangkok kosong dan supit!
"Hi-hi-hi, dasar untung kita bagus, Kakak buta! Nah, tolong nih, terima dulu guci arak dan
mangkok-mangkok kosong. Awas, turunkan dulu di atas tanah, masih banyak nih. Wah,
lenganku panas semua, itu sih, ang-sio-hinya miring mangkoknya ketika kubawa lari,
kuahnya tumpah sedikit ke lenganku!" Ribut-ribut gadis itu bicara dan Kun Hong terheran-
heran dari mana gadis itu memperoleh masakan sebanyak itu.
"Kan di sini tidak ada restoran besar. Dari mana kau memperoleh masakan mahal ini! Wah,
araknya pun bukan arak sembarangan nih, arak wangi dan sudah disimpan lama lagi. Eh,
supitnya ini begini halus, apakah bukan dari gading? Dari mana kau memperoleh semua ini?"
Kun Hong meraba sana meraba sini, kagum dan heran.
"Sudahlah, Kakakku yang baik. Kita makan dulu, sikat habis ini semua baru nanti bicara.
Kalau sampai dingin masakan-masakan ini sebelum masuk ke dalam perut kita, kan sayang!
Hayo makan, nih araknya untukmu sudah kusediakan!" Dengan cekatan dan terampil gadis
itu melayani Kun Hong makan. Ia sendiri pun makan, akan tetapi tiada hentinya ia
menggunakan sumpitnya untuk menjapitkan daging pilihan untuk Kun Hong, berkali-kali
mendesak supaya pemuda itu menambah lagi nasi dan araknya. Gembira sekali mereka,
apalagi Kun Hong. Masakan-masakan itu sungguh lezat, nasi pun putih dan pulen, araknya
tulen. Kegembiraan dan kelezatan masakan membuat mereka gembul dan menambah nafsu
makan sehingga sebentar saja, sampai seperempat jam, masakan dan arak benar-benar
telah disikat habis oleh keduanya!
Agaknya setelah kemasukan arak, gadis itu menjadi lebih gembira lagi, suara ketawanya
bebas lepas, sikapnya terbuka dan Kun Hong merasa lebih senang lagi dan rasa sayangnya
bertambah. Seorang keponakannya, yaitu Kui Li Eng, juga lincah jenaka, akan tetapi masih
kalah oleh gadis ini yang benar-benar masih bersih pikirannya. Sayangnya, agaknya anak ini
terlalu dimanja dan agaknya sejak kecil dipenuhi segala kehendaknya sehingga sekarang
pun ia selalu ingin kehendaknya dipenuhi, menjadi orang yang sifatnya "ingin menang
sendiri". Akan tetapi makin lama makin kelihatan bahwa pada dasarnya anak perempuan ini
tidak mempunyai watak yang ingin menang sendiri, malah amat jujur dan cukup memiliki
pertimbangan yang adil.
Kun Hong duduk bersandar batang pohon, terengah kekenyangan. Gadis itu duduk pula di
atas tanah, di depannya. Sampai lama gadis itu menatap wajah Kun Hong, melihat betapa
Kun Hong meraba-raba dengan tangan ketika hendak beralih duduk ke atas akar yang lebih
rata, meraba-raba pula batang pohon yang hendak disandarinya, kelihatan begitu tak
berdaya.
"Kakak buta, kau adalah seorang ahli dalam hal pengobatan. Kenapa matamu sendiri
sampai bisa menjadi buta? Apakah sebabnya matamu buta?"
Kali ini gadis itu bicara tanpa nada kekanak-kanakan atau bergurau, suaranya bersungguh-
sungguh.
Kun Hong terkejut mendengar pertanyaan ini, menghela napas dan menjawab, "Karena
salahku sendiri................"
"Hemm, apakah ada yang membikin buta? Katakanlah siapa orangnya, adikmu ini pasti akan
mencarinya dan membalas membutakan matanya!"
Kun Hong menggeleng kepala. Dia takkan merasa tersinggung kalau diejek orang tentang
kebutaannya, akan tetapi dia merasa sedih kalau orang mengingatkan dia akan sebab-
sebab kebutaan itu karena hal itu sama saja dengan memaksa dia mengenangkan Cui Bi.
"Aku sendiri yang membutakan kedua mataku."
Gadis itu meloncat ke atas, kaget sekali. "Aku tidak percaya! Masa ada orang membutakan
matanya sendiri, kecuali orang gila!"
"Memang aku gila, gila pada waktu itu." Kun Hong menangkap tangan gadis itu untuk
mencegahnya bicara soal ini lebih lanjut. "Adik yang baik, sudahlah, jangan kita bicara soal
sebab-sebab kebutaan mataku, maukah kau?"
Baru kali ini Kun Hong merasa betapa gadis itu terdiam dalam keharuan, akan tetapi hanya
sebentar karena segera terdengar lagi suaranya yang nyaring gembira. "Kakak buta,
sebetulnya kau siapakah? Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"
Kun Hong timbul kembali senyumnya. Sikap yang amat cepat dan mudah berubah dari gadis
ini benar-benar menggembirakan dan mudah menular, Terhadap seorang gadis seperti ini
tak perlu dia menyembunyikan diri.
"Namaku Kwa Kun Hong, Nona. Adapun tempat tinggalku, heemm........... untuk saat ini
yah di sini inilah! Dan kau sendiri, siapa namamu? Apakah cukup hanya Bi-yan-cu saja?"
"Kwa Kun Hong........... nama yang bagus. Eh, Kwa-twako (Kakak Kwa), bagaimana kau
bisa mengenal nama ayahku dan bagaimana kau bisa tahu pula bahwa ayahku adalah kakak
Tan Beng San ketua Thai-san-pai?"
"Tentu saja aku tahu. Aku mempunyai hubungan baik dengan keluarga Thai-san-pai, malah
pernah menerima pelajaran ilmu dari Tan Beng San taihiap, aku tahu bahwa ayahmu selain
kakaknya, juga menjadi suheng dari isteri beliau. Bukankah ayahmu itu murid pertama dari
mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?"
"Wah, kiranya pengetahuanmu luas, Twako. Aku mendengar tentang pertempuran hebat
pada pembukaan Thai-san-pai tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, apakah kau hadir
juga?"
Berdebar jantung Kun Hong. Teringat dia akan semua pengalamannya di puncak itu,
tentang Cui Bi apalagi. Dia termenung sejenak. Bagaimana dia tidak akan tahu tentang hal
itu? Dia sendiri berada di sana, malah dia mengambil bagian terpenting (baca Rajawali
Emas).
"Aku tahu....... aku hadir di sana......." Dia cepat menambah untuk menghilangkan. "Aku
bersama ayah ibuku....." Akan tetapi dia segera teringat bahwa tidak perlu dia menyebut-
nyebut ayah bundanya.
"Twako, siapa ayahmu? Tentu tokoh hebat......."
Sudah terlanjur bicara, Kun Hong tak dapat mundur lagi. "Ayahku adalah Kwa Tin Siong,
ketua Hoa-san-pai."
Gadis itu segera meloncat lagi ke atas. "Walah! Kiranya putera Hoa-san-ciang-bunjin (ketua
Hoa-san-pai)! Maaf....... maaf, ya, Twako? Kiranya kau seorang besar, keturunan jagoan,
putera seorang ketua Hoa-san-pai yang terkenal!"
"Hush, jangan melebih-lebihkan, malah kuminta, jangan kau menyebut-nyebut nama
keturunanku. Aku sudah menjadi seorang buta, miskin dan hidup sebatang-kara, aku tidak
suka nama keturunanku dibawa-bawa. Kau jangan menyebutku Kwa-twako lagi."
"Habis harus menyebut apa? Namamu Kwa Kun Hong....... hemm, baiknya kusebut Hong-ko
(kakak Hong) saja. Bagus, kan?"
Kembali jantung Kun Hong berdebar. Mendiang Cui Bi kekasihnya dahulu juga menyebutnya
Hong-ko, dan suara gadis ini begitu mirip suara Cui Bi, seakan Cui Bi belum mati dan kini
berada di sampingnya!
"Sesukamulah," dia mengusir kenangan yang mengganggu hatinya itu, "tapi kau sendiri
belum memperkenalkan namamu."
Gadis itu tertawa riang. "Hong-ko, namaku buruk sekali. Aku lebih suka dipanggil Bi-yan-
cu......." Nada suaranya manja.
Kun Hong juga tersenyum lebar. "Apa kulitmu hitam?"
"Siapa bilang hitam? Kulitku putih kuning, malah ayah bilang kulitku amat bagus dan sehat,
tidak seperti kulit gadis-gadis kota dan puteri-puteri istana yang pucat-pucat kekurangan
darah. Lihat lenganku ini....... eh, kau mana bisa lihat! Kenapa kau mengira kulitku hitam,
Hong-ko?" Biarpun matanya tak dapat melihat, Kun Hong dapat membayangkan betapa
gadis itu memandangnya dengan bibir yang mungil cemberut.
"Aku ingat bahwa burung walet (yan-cu) bulunya hitam, dan sepanjang ingatanku, tidak
ada burung walet yang cantik. Maka julukanmu Bi-yan-cu (Walet Cantik Jelita) amat tidak
cocok kalau kulitmu tidak sehitam bulu burung walet. Nah, kurasa betapa pun buruknya
namamu, tidak akan seburuk julukanmu."
"Wah, kau pandai mencela, Hong-ko. Awas, lain kali kuminta kau mencari julukan baru
untukku. Namaku sebetulnya adalah Tan Loan Ki. Nah buruk, kan? Seperti nama laki-laki."
"Tidak buruk. Nama Loan Ki manis benar, juga julukanmu itu sebenarnya sudah tepat,
mengingat bahwa kau memiliki gerakan yang lincah dan cepat seperti burung walet. Siauw-
poi (adik kecil), mulai sekarang aku akan menyebutmu Ki-moi (adik Ki), boleh kan?"
Tiba-tiba mereka berhenti bicara karena terdengar seruan orang dari jauh,
"Betina liar itu tentu takkan lari jauh!" terdengar suara seorang wanita yang serak.
"Hemm, kalau kutangkap ia, akan kujadikan bakso. Anak kurang ajar itu!" Sambung seorang
laki-laki yang suaranya besar.
Kun Hong mengerutkan keningnya. Otaknya yang cerdas segera menghubungkan sebutan
"betina liar" tadi dengan Loan Ki. "Ki-moi, kau tertawa mengejek! Siapa mereka dan
mengapa marah-marah?"
"Dasar pelit!" Gadis itu mengomel. "Kehilangan nasi dan masakan begitu saja mencak-
mencak seperti merak kehilangan ekor."
"Wah, jadi yang kita makan tadi ....." Kun Hong berseru kaget.
"Heh-heh, barang curian tentu. Habis dari mana kalau tidak mencuri?" enak saja jawaban
ini. "Kau menyesal, Hong-ko? Nah, kau muntahkanlah kembali." Ia lalu tertawa-tawa
menggoda.
"Jangan main-main, Ki-moi. Kurasa dua orang yang datang ini bukan bermaksud baik dan
mereka mempunyai kepandaian yang tak boleh kau pandang ringan begitu saja!"
Baru saja Kun Hong mengeluarkan kata-kata ini, dua orang itu sudah tiba di situ dan
terdengar bentakan yang perempuan. "Nah, ini dia si bocah liar bersama seorang buta!"
Yang laki-laki membentak, "Gadis kurang ajar, kembalikan makanan dan arak tadi......."
dia berseru kaget melihat mangkok-mangkok dan rak yang sudah kosong, "Wah, celaka si
keparat, sudah disikat habis!"
Kun Hong hanya dapat menaksir keadaan dua orang yang datang itu dengan
pendengarannya. Laki-laki itu sedikitnya berusia empat puluh tahun dan si wanita sukar
diduga karena suaranya serak dan kasar, akan tetapi tentu tidak lebih muda daripada yang
laki-laki. Gerakan kaki si wanita itu ringan membayangkan ginkang yang tinggi sedangkan
derap kaki yang mengandung tenaga Iweekang membuat tanah di sekitarnya seperti
tergetar.
Akan tetapi Loan Ki yang melihat dua orang itu mendapat kesan yang lebih
mengagetkannya. Wanita itu berpakaian serba hitam dengan tambalan kain lebar berwarna
putih ditalikan di leher menggantung ke bawah. Mukanya penuh bopeng (burik), rambutnya
masih hitam dan disisir rapi. Matanya besar sebelah dengan pandangan galak, sedangkan
tangan kanannya memegang sebuah senjata besi yang aneh bentuknya, bergagang dua dan
ujungnya runcing. Kiranya itu adalah sebuah penjepit arang yang biasa dipergunakan di
dapur untuk mengambil arang, tangan kirinya memegang sebuah kipas dapur yang lebar
dan bergagang besi pula. Memang aneh kedua alat dapur ini karena ukurannya selain lebih
besar daripada biasa, juga terbuat dari besi yang kelihatan kokoh kuat mengerikan.
Adapun laki-laki itu yang juga berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala kuning,
matanya lebar seakan-akan hendak meloncat ke luar dari tempatnya, tubuhnya tinggi besar
mukanya hitam, kedua lengan tangannya yang tak berbaju penuh bulu hitam. Tangan
kanannya memegang sebuah pisau pemotong babi yang lebar dan mengkilap saking
tajamnya seukuran golok tapi bentuknya persegi.
Loan Ki adalah seorang anak perempuan yang semenjak kecilnya hidup di dunia kangouw
dan sudah banyak bertemu dengan orang-orang aneh. Karena itu munculnya dua orang ini
tidak mengagetkannya, juga suara mereka tidak membuat ia gentar, bahkan ia tertawa
ketika berdiri dan menyambut mereka dengan suara mengejek.
"Kalian ini dua orang kasar datang-datang marah tidak karuan membuka mulut
menyemburkan kata-kata kotor, sebetulnya hendak mencari siapakah?"
Akan tetapi dua orang itu tidak menjawab, saling pandang dan memandang ke arah
mangkok-mangkok kosong, lalu membanting-banting kaki, memaki-maki,
"Keparat, anjing-anjing kelaparan! Dihabiskannya semua, celaka. Twa-nio (nyonya) akan
memukuli kepalaku sampai bengkak-bengkak karena arak seperti itu sudah habis dari
simpanan. Aduh, celaka dua anjing kelaparan!" Laki-laki muka hitam itu berteriak-teriak,
matanya makin melotot ketika dia memandang ke arah Loan Ki.
"Dan aku....... ah, aku yang kasihan....... dari mana aku harus mendapatkan ikan emas itu
setelah ang-sio-hi tinggal tulang-tulang ikan saja? Mampus aku kalau sio-cia memaksa aku
menyelam di telaga untuk memperoleh ikan baru...... celakanya, sio-cia takkan mau sudah
kalau belum kudapatkan ikan yang serupa dengan yang tadi."
Setelah puas memaki-maki, wanita itu menudingkan penjepit arangnya ke muka Loan Ki.
"Hayo mengaku, kau gadis busuk. Tentu kau telah mencuri makanan dari dapurku, malah
menotok roboh dua orang pembantuku!"
"Dan kau yang mencuri guci penuh arak simpanan dari pembantuku!" bentak laki-laki itu
sambil mengacung-acungkan golok pemotong babinya.
Loan Ki tersenyum manis. "Betul aku, Uwak dan Empek yang baik. Tapi ketahuilah bahwa
perutku dan perut si dia ini lapar sekali. Aku sedang mencari pengisi perut kami yang
kosong, hidungku tertarik oleh bau sedap dan gurih, lalu melihat masakan-masakan itu tak
dapat aku menahan keinginan hatiku lagi. Maafkan saya, Uwak dan Empek, kelak kalau
kalian kelaparan dan kebetulan berada di rumahku kalian boleh balas mencuri tiga kali
lipat banyaknya. Aku berjanji takkan marah kalau kalian menyikat habis masakan-
masakanku dari dapur rumahku. Nah, bukankah sudah adil janjiku ini?"
"Adil matamu......!" nenek itu memaki.
"Adil mukamu....... yang jelita!" kakek itu pun memaki.
Kun Hong menggeleng-gelengkan kepala. Dua orang ini adalah orang-orang aneh, tapi Loan
Ki benar-benar telah mengeluarkan janji yang tak masuk di akal dan seenak perutnya
sendiri. Mana mungkin pencuri di "bayar" dengan janji kalau kelak dua orang itu kelaparan
boleh balas mencuri di dapur rumahnya? Tak masuk di akal dan alasan anak-anak, maka dia
pun lalu bangkit berdiri, menjura dengan hormat kepada dua orang itu sambil berkata,
"Jiwi Locianpwe harap sudi memaafkan kami berdua yang muda. Sesungguhnya, tadi
siauwte yang kelaparan dan siauwte minta adik siauwte ini supaya mengemis makanan.
Siapa kira dia tidak berani mengemis malah mencuri. Untuk hal ini, siauwte mohon sudilah
kiranya jiwi Locianpwe memaafkan kami berdua."
Dua orang itu saling pandang, wajah mereka berseri. Selama hidup baru kali ini semenjak
menjadi pekerja dapur mereka menerima kata-kata yang enak sekali memasuki telinga
mereka. Mereka memandang Kun Hong dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Orang muda baik, biarlah kalau memang kau kelaparan. Paling-paling aku akan dimaki
twa-nio," kata kakek itu dengan suara sabar sekali.
"Pemuda buta yang tampan, kau amat sopan. Ikan itu dapat kucarikan gantinya dengan
menjala, juga daging babi dan ayam masih banyak. Siocia dapat kubujuk. Dua orang
locianpwe harus bersikap sabar, bukan begitu, Sun-laote?" kata si nenek dan kakek itu pun
mengangguk-angguk membenarkan.
"Hong-ko, mereka ini hanyalah seorang koki masak dan seorang tukang gajal, kenapa kau
sebut-sebut mereka locianpwe segala? Wah, bisa kepala mereka menjadi makin besar dan
kulit muka mereka makin tebal!" tiba-tiba Loan Ki mencela Kun Hong yang menjadi kaget
sekali melihat cara temannya ini "merusak" suasana yang sudah begitu baik. Celaka,
pikirnya, benar-benar bocah setan, tidak mengerti siasat damai yang dia lakukan.
Benar saja kekhawatirannya. Dua orang itu mengeluarkan seruan marah, memaki-maki lagi
dan wanita itu menerjang maju, menyerang Loan Ki dengan penjepit arangnya. Loan Ki
tertawa mengejek, menghindarkan serangan ini dengan menggeliatkan tubuhnya ke
belakang dan tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar ke arah mukanya. Kaget juga gadis
ini, karena ternyata susulan serangan kipas ini amat cepatnya. Ia menjejakkan kaki ke atas
tanah, tubuhnya mencelat ke belakang dan terhindar dari hantaman kipas. Di lain saat ia
telah menghadapi wanita galak itu dengan pedang di tangan dan senyum simpul menghias
bibir.
Kun Hong tidak senang melihat perkembangannya menjadi pertempuran. Akan tetapi
karena dari gerakan-gerakan nenek itu dia maklum bahwa kepandaian Loan Ki masih jauh
lebih tinggi, maka dia mendiamkannya saja, hanya berkata halus,
"Ki-moi, sesudah mencuri, jangan kau membunuh atau melukai orang! Kalau kau melanggar
aku tidak mau bicara lagi denganmu!"
Loan Ki hanya tertawa lirih dan sebentar saja nenek itu menjadi bingung dan berkunang-
kunang matanya. Gerakan gadis ini benar-benar lincah sehingga baginya seakan-akan gadis
itu mempunyai lima buah bayangan yang mengeroyoknya dari segala penjuru! Ilmu
serangannya menjadi kacau-balau dan dengan nekat dan ngawur ia menyerang membabi-
buta, menepak-nepak dengan kipas dapurnya seperti orang berusaha menepuk lalat yang
terlalu gesit.
"Sun-laote, kau bantu aku menangkap bocah liar ini!" Akhirnya nenek itu berteriak minta
bantuan kepada temannya.
Agaknya kakek itu ragu-ragu, lalu mengomel, "Heran benar, masa Hek-kui-nio (Iblis Betina
Hitam) tak dapat menangkap seorang gadis cilik?" Kemudian dia menoleh kepada Kun Hong.
"Orang muda, bukan aku Ban-gu-thouw (Selaksa Kepala Kerbau) golongan cianpwe hendak
menghina yang muda, tetapi sahabatmu gadis liar itu agaknya terlalu lincah untuk Hek-kui-
nio. Terpaksa aku harus menangkapnya!"
Akan tetapi pada saat itu terdengar Hek-kui-nio berteriak kesakitan dan ia berjingkrak-
jingkrak dengan kaki kanannya karena kakinya yang kiri kena digajul (ditendang dengan
ujung sepatu) oleh Loan Ki sehingga bukan main nyerinya, ngilu dan menusuk-nusuk tulang
sumsum!
Laki-laki tinggi besar yang berjuluk Ban-gu-thouw itu dengan marah lalu memutar-mutar
golok pemotong babinya, atau mungkin juga pemotong kerbau sesuai dengan julukannya.
Angin menderu dan diam-diam Kun-Hong menjadi kaget dan khawatir, jelas terdengar
olehnya betapa Ban-gu-thouw ini memiliki tenaga dahsyat yang tak boleh dipandang
ringan. Biarpun dia maklum bahwa ilmu silat pedang yang dimiliki Loan Ki jauh lebih hebat
dan mempunyai dasar yang tinggi tingkatnya, namun menghadapi seorang lawan kasar yang
bertenaga besar dan memegang senjata yang agaknya amat berat, tetap merupakan
bahaya bagi Loan Ki.
"Locianpwe, jangan memperhebat permusuhan!" Kun Hong berseru, tubuhnya tiba-tiba
melesat ke arah si tinggi besar itu, kedua tangannya bergerak dengan jari-jari tangan
terbuka dan....... di lain saat Kun Hong sudah berhasil merampas golok pemotong kerbau
itu!
Ban-gu-thouw berteriak keras saking kagetnya. Cepat dia membalikkan tubuhnya dan
memandang dengan mata terbelalak. "Heeei, kalau begitu kau tidak buta!"
"Siauwte memang seorang buta," jawab Kun Hong.
"Kalau buta bagaimana dapat merampas golokku!"
Tanpa menjawab Kun Hong mengangsurkan golok itu kepada pemiliknya.
Ban-Gu-Thouw menerima kembali goloknya dan wajahnya merah sekali karena pada saat
itu Loan Ki tertawa haha-hihi. Dia menjadi marah dan berkata, "Orang muda buta, kenapa
kau merampas golokku?"
"Kuharap Locianpwe tidak melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya. Makanan itu
sudah masuk perutku, dan aku sudah sanggup untuk minta maaf."
"Enak saja kau bicara! Kami berdua yang akan menerima hukuman dari twa-nio dan siocia,
tapi karena omonganmu tadi enak didengar, kami akan melupakannya saja dan siap
menerima hukuman. Siapa tahu sahabatmu si harimau betina itu suka menghina orang dan
sekarang kau malah merampas golokku. Ban-gu-thouw dan Hek-kui-nio tidak bisa menerima
hinaan orang!"
Kun Hong cepat menjura. "Harap sekali lagi kalian orang-orang tua sudi memaafkan kami
orang-orang muda. Kalau perlu, biarlah kami menghadap majikan kalian untuk minta maaf.
Kurasa majikan kalian akan menghabiskan urusan makanan yang tak berarti ini."
Dua orang itu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak, membuat Kun Hong yang tak
dapat melihat itu terheran-heran. Malah nenek yang sekarang sudah tidak nyeri lagi kaki
kirinya itu tertawa tak kalah kerasnya oleh temannya. Kemudian Ban-gu-thouw berkata,
"Ha-ha, bagus sekali. Kalian mau menghadap twa-nio atau siocia? Ha-ha-ha, orang muda,
benar-benar lucu kalau ada orang berani begini tenangnya menyatakan hendak mcnghadap
majikan kami setelah berani mencuri makanan. Tapi agaknya kalian mengandalkan
kepandaian kalian, dan kau ini orang buta agaknya juga berkepandaian. Sebelum kau
menghadap majikan kami, biar kucoba dulu. Bisakah kau merampas golokku sekali lagi?
Awas serangan!" Dengan gerakan kuat sekali Ban-gu-thouw membacok ke arah kepala Kun
Hong. Pemuda ini dengan tenang miringkan kepala, jari tangannya meluncur ke arah
pergelangan tangan disusul cengkeraman ke arah gagang golok dan....... sebelum Ban-gu-
thouw tahu mengapa tiba-tiba tangannya menjadi gringgingen (kesemutan), goloknya telah
pindah ke tangan orang buta itu! Dan tanpa berkata apa-apa kembali Kun Hong
mengangsurkan golok kepada pemiliknya.
"Hek-cici, dia ini siluman, lebih baik kita pulang siap menerima hukuman!" kata Ban-gu-
thouw sambil menyambar goloknya dan berlari pergi di ikuti temannya. Loan Ki mengikuti
mereka dengan suara ketawanya yang nyaring sampai mereka tidak kelihatan lagi punggung
mereka.
"Hi-hik alangkah lucunya dua orang badut itu!" Loan Ki berkata sambil duduk di depan Kun
Hong yang sudah duduk pula di atas akar pohon.
"Apanya yang lucu! Ki-moi, kau benar-benar keterlaluan. Sudah mencuri, memperolok
mereka yang tentu akan menerima hukuman dari majikan mereka. Hanya aku amat heran,
siapakah majikan yang mempunyai koki dan jagal seperti mereka itu? Kepandaian mereka
itu tak patut dimiliki seorang koki dan jagal biasa. Tentu majikan itu luar biasa pula dan
bukan orang sembarangan. Sudah sepatutnya kita datang ke sana minta maaf."
Loan Ki cemberut. "Tak sudi aku minta maaf! Apalagi kepada twa-nio dan siocia yang
mereka sebut-sebut tadi. Huh, lebih baik kupergunakan pedangku memberi hajaran kepada
mereka."
Kun Hong menghela napas. "Sudahlah, kalau begitu kita tidak usah pergi ke sana. Tapi tak
baik pula kita tinggal bersama-sama di sini, kalau mereka datang lagi tentu hanya akan
menimbulkan keributan belaka. Ki-moi, aku sungguh merasa beruntung dapat berkenalan
denganmu. Adik yang baik, selanjutnya kau berhati-hatilah melakukan perjalanan, lebih
baik kalau kau segera pulang dan jangan merantau seorang diri. Seorang dara remaja
seperti kau ini lebih aman kalau berada di rumah orang tuamu sendiri. Jauhkan
permusuhan, jangan terlalu menurut nafsu hati. Nah, Ki-moi kita berpisah di sini. Mudah-
mudahan lain waktu ada kesempatan bagi kita untuk saling bertemu kembali."
Kun Hong tidak tahu betapa gadis itu memandangnya dengan mata terbelalak seperti orang
kaget. Agaknya ia sama sekali tidak ingat bahwa pertemuan itu akan berakhir dengan
perpisahan. Tiba-tiba ia memegang tangan Kun Hong dan ditariknya pemuda buta itu
berdiri.
"Hong-ko, hayo berangkat!" ajaknya.
"Eh, ke mana? Jalan kita bersimpang di sini."
"Iihh, siapa bilang? Kita mengejar mereka, mengunjungi majikan dua orang badut tadi."
"Heh?" Kun Hong melengak heran, "Kau bilang tadi tak sudi ke sana, tak sudi minta maaf!"
"Sekarang aku ingin sekali ke sana! Ingin aku melihat si muka hitam kepala kerbau itu
dipukuli kepalanya oleh twa-nio sampai bengkak-bengkak dan melihat si nenek setan itu
menyelam di air sampai perutnya kembung, hi-hi-hik!"
Kun Hong hanya dapat menarik napas panjang karena gadis itu sudah menariknya dan
diajak lari. Sebetulnya dia tidak ingin pergi berdua lebih lama lagi dengan gadis yang
merupakan penggoda batinnya ini, akan tetapi dia pun tidak tega membiarkan gadis itu
pergi seorang diri menemui majikan yang aneh dan mencurigakan itu. Dia tahu dengan
pasti bahwa sekali menyatakan keinginan hatinya, tidak ada lautan api yang dapat
menghilangkan gadis kepala batu ini.
Perumahan itu ternyata luas sekali, terdiri dari sembilan buah bangunan gedung besar dan
tinggi bertingkat. Dari jauh saja sudah kelihatan catnya yang beraneka warna. Hebatnya,
perumahan itu dikelilingi oleh air sehingga merupakan pulau kecil di tengah danau yang
besar dan luas. Memang demikian halnya. Tadinya, di dalam hutan itu terdapat sebuah
danau besar dan di tengah danau terdapat pulaunya. Sudah hampir tiga puluh tahun yang
lalu danau itu dijadikan perumahan. Memang janggal kelihatannya di tempat sunyi itu,
jauh dari kota, terdapat rumah-rumah gedung di tengah danau.
Penduduk dusun-dusun yang paling dekat terletak dua puluh li dari danau itu mengenal
tempat itu dengan nama Ching-coa-ouw (Danau Ular Hijau) dan pulau itu pun disebut
Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau). Mereka ini tidak tahu betul siapa penghuni perumahan
mentereng itu, hanya tahu betul bahwa majikan daerah Ular Hijau ini mempunyai banyak
pelayan yang galak-galak, aneh-aneh, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga
sekitar sepuluh li di sekeliling danau itu yang disebut "Daerah Ular Hijau" seakan-akan
berada di bawah kekuasaan majikan Ular Hijau. Orang mencari kayu kering sekali pun tidak
akan berani mencari nafkahnya dalam daerah Ular Hijau! Memang terdapat sebuah jalan
besar yang cukup rata menuju ke danau itu dan jalan ini merupakan jalan umum, akan
tetapi setibanya di danau kecil itu, mereka akan mendapatkan jalan buntu.
Para pedagang sayur-sayuran dan kebutuhan sehari-hari lainnya banyak mendapatkan
untung kalau menjual dagangan mereka di tempat itu akan tetapi tak seorang pun di
antara mereka pernah berurusan sendiri dengan majikan Ular Hijau karena segala urusan
tentu dibereskan oleh para pelayan. Para pelayan inilah yang kemudian menyeberang ke
pulau dengan perahu-perahu yang memang banyak dimiliki oleh majikan Ular Hijau.
Ada desas-desus di antara penduduk dusun di sekitarnya, desas-desus yang merupakan
dongeng bahwa majikan Ular Hijau bukanlah manusia biasa, melainkan seorang dewi dan
seorang puteri yang secantik bidadari dan yang pandai "berlari di atas air" dan pandai
"terbang"! Sudah tentu saja hal ini merupakan dongeng dari mulut ke mulut karena kalau
ditanya sungguh-sungguh, tak seorang pun pernah menyaksikan dengan mata sendiri.
"Hong-ko, keadaan mereka amat aneh," di tengah jalan Loan Ki bercerita sambil menuntun
Kun Hong. "Aku mendengar dari orang-orang dusun bahwa daerah Ching-coa itu merupakan
daerah terlarang. Entah orang-orang macam apa yang menguasai daerah ini. Dari jauh
kulihat rumah-rumah gedung di atas pulau kecil di tengah danau, sunyi bukan main."
"Kalau begitu, bagaimana kau dapat pergi ke gedung itu?"
"Aku tidak pergi kesana. Tadinya aku hendak mencari makanan, siapa kira tempat ini sepi
sekali, tak kulihat sebuah dusun. Akhirnya aku bertemu dengan pedagang sayur yang
hendak mengantarkan sayuran kepada Ching-coa-to, maka aku ikut dengan dia. Sampai di
pinggir telaga, pedagang itu berurusan dengan pelayan tempat itu. Kebetulan sekali datang
gerobak yang membawa masakan-masakan lezat itu, juga arak. Aku minta beli, tapi malah
dimaki-maki. Aku hilang sabar, menotok roboh empat orang pelayan dan merampas
makanan dan arak."
"Kau memang nakal."
"Kalau perut lapar orang jadi nekat, Hong-ko. Keadaan mereka benar-benar aneh dan
mencurigakan. Kita tak mungkin dapat secara berterang mengunjungi mereka."
"Habis bagaimana?"
"Aku ada akal. Kulihat tadi ada sekumpulan perahu bercat hijau diikat di pinggir telaga.
Kurasa perahu-perahu itu pun milik majikan Ching-coa-to. Kita pergunakan saja perahu itu,
kita menyeberang dan melihat keadaan di sana."
"Sesukamulah, asal kau jangan menimbulkan onar," jawab Kun Hong yang juga mulai
tertarik oleh penuturan tentang keadaan penuh rahasia itu.
Betul saja seperti diceritakan oleh Loan Ki tadi, jalan itu sunyi sekali dan sampai mereka
tiba di pinggir telaga, keadaan tetap sunyi tak tampak seorang pun manusia. Dari tempat
itu kelihatan tembok perumahan di atas pulau akan tetapi juga tidak kelihatan ada
manusia di sekitar telaga. Hari sudah menjelang senja, matahari yang kemerahan
membayangkan cahayanya di atas air telaga yang berkeriput seperti sutera biru
kemerahan. Akan tetapi Loan Ki tidak memperhatikan keindahan alam di senja hari ini,
sedangkan Kun Hong yang suka akan keindahan alam tidak dapat melihatnya. Gadis itu
sedang mencari-cari dengan matanya dan akhirnya ia menarik Kun Hong ke dalam hutan
kecil di sebelah kiri jalan, lalu menyelinap di antara pohon-pohon.
"Hong-ko, aku melihat ada perahu di pinggir sana. Hayo lekas kita pergunakan perahu itu
sebelum pemiliknya datang melihat kita."
"Huh, kau hendak mencuri lagi?"
"Ih, bukan mencuri, hanya pinjam sebentar untuk kita pakai menyeberang. Kau benar-
benar terlalu suci hatimu, Hong-ko!" Loan Ki mengomel dan Kun Hohg terpaksa tersenyum.
"Baiklah. Kalau tidak dituruti kehendakmu, aku takut kau menangis."
Loan Ki tertawa dan menarik tangan Kun Hong. Sambil bergandengan tangan mereka lari ke
arah perahu kecil yang terapung-apung di pinggir telaga, tersembunyi di antara pepohonan
yang tumbuh menjulang ke pinggir telaga. Perahu itu kecil mungil, bentuknya ramping dan
ujungnya meruncing, terikat kepada sebatang tonggak kayu yang sengaja dipasang di situ.
Di dalam perahu terdapat sebatang dayung yang gagangnya terukir indah merupakan
gambar ular melingkar pada dayung itu dan terdapat ukiran huruf "Ching-coa" (Ular Hijau).
"Wah, perahu ini pun milik Ching-coa-to, Hong-ko. Mari naik."
Kun Hong dituntun melangkah dan masuk ke dalam perahu, terus duduk. Dara itu pun
masuk setelah melepaskan tali dan mendayung. Perahu kecil meluncur cepat ke tengah
telaga.
"Perahu kecil tapi bagus!" Kun Hong memuji. "Imbangannya tepat, kayunya kuat dan ringan,
luncurannya laju. Ditambah tenaga dalammu yang kuat, ah....... nikmat benar berperahu
seperti ini. Hemm....... sayang tidak ada arak ......."
Loan Ki tertawa. "Dasar pelamun dan pemalas. Sungguh tak pantas seorang laki-laki duduk
enak-enak membiarkan seorang wanita mendayung perahu."
"Eh, mana dayungnya. Tapi aku tidak tanggung perahu ini akan meluncur ke mana. Kalau
kembali ke daratan sana jangan salahkan aku yang tak bermata!"
"Tak usah, Hong-ko. Aku hanya berkelakar, masa sungguh-sungguh? Apa sih sukarnya
berdayung begini, aku memang ahli dayung, semenjak kecil sudah biasa aku berlayar malah
di samudera besar bersama ayah."
Memang nyaman sekali hawanya di tengah telaga. Angin bertiup perlahan membawa
keharuman aneka macam bunga yang tumbuh di tepi telaga dan di pulau, hawanya sejuk
dan sunyi. Suara air terkena dayung berirama amat menyedapkan pendengaran. Suasana ini
menimbulkan kegembiraan di dalam hati Kun Hong, dan otomatis pikirannya merangkai
sebuah sajak yang segera disenandungkan perlahan mempergunakan suara dayung
menimpa air sebagai irama pengiring nyanyian.
"Biduk kecil meluncur laju, menentang hembusan angin lalu membawa harum seribu
kembang tambah nyaman ayunan gelombang membikin si buta ingin bertembang wahai
kasih aku di sini!!"
Tiba-tiba suara dayung menimpa air terhenti, biduk berhenti melaju dan Loan Ki bertanya
kaku, "Yang mana kasihmu itu, Hong-ko? Kau terkenang kepada si janda muda?"
Kun Hong tertawa. "Jangan membawa-bawa janda itu ke sini, semoga ia sudah berjumpa
dengan pamannya dan hidup bahagia bersama anaknya. Dunianya dan duniaku jauh
berpisahan, Ki-moi."
Agaknya senang hati gadis itu mendengar jawaban ini, buktinya ia tidak lagi bertanya
tentang kekasih Kun Hong, sebaliknya malah terdengar ia memuji.
"Kau pandai benar bersajak dan bertembang, Hong-ko. Kata-katamu muluk, lagunya sedap
didengar, dan suaramu empuk benar."
Kun Hong tertawa. "Kau lebih pandai lagi memuji orang, sebentar lagi bisa aku membubung
tinggi ke awang-awang oleh pujianmu. Heee, Ki-moi, sudah lama sekali perahu melaju,
kenapa belum juga sampai di pulau? Kalau pulau itu tadi dapat kau lihat dari darat tentu
tidak sejauh ini!"
"Aku sengaja memutar, Hong-ko. Masa aku begitu bodoh mendarat di pulau itu dari depan?
Ingat, kunjungan kita ini bukan kunjungan terundang. Aku akan mengitari pulau, mencari
tempat yang tepat untuk mendarat sehingga mereka yang di pulau tidak melihat
kedatangan kita."
Kun Hong mengerutkan keningnya, "Sebetulnya aku tidak suka mengunjungi tempat orang
dengan sembunyi seperti pencuri saja. Adik Loan Ki, apakah tidak lebih baik kalau kita
secara berterang mengunjungi mereka untuk menyatakan penyesalan dan permintaan maaf
kita? Mungkin majikan pulau itu akan menghabiskan urusan kecil itu dan bersikap manis."
"Hemm, agaknya kau sudah membayangkan siocia cantik jelita dan manis menyambutmu
dengan senyum di bibir dan bintang di manik mata, ya? Dasar kau ini......."
"Bukan begitu, Ki-moi. Tapi kan lebih baik menjadi tamu terhormat daripada tamu tak
diundang?"
"Apa kau lupa bahwa kita telah, memakai perahu mereka tanpa ijin? Mana ada orang
datang minta maaf dengan jalan mencuri perahu pula? Jangan-jangan begitu berjumpa kita
akan dicaci maki. Tidak, aku tidak ingin bertemu dengan mereka, baik toa-nio atau siocia
itu, baik si iblis betina tua maupun si iblis betina muda. Aku hanya ingin menyaksikan
betapa lucunya koki dan jagal tadi menerima hukuman mereka, hi-hik!"
"Kau memang nakal, Ki-moi..... heeeiii, bukan main harumnya .......!"
Loan Ki tiba-tiba memegang lengan Kun Hong dan terdengar gadis ini berseru lirih,
"Aduuuuuhhh, hebat.......! Bukan main .....! Majikan pulau ini benar-benar telah
menjadikan pulau ini sebagai taman surga.......!"
"Ada apa, Ki-moi? Kau melihat apa?" Penuh gairah Kun Hong bertanya, kepalanya agak
dimiringkan, hidungnya kembang kempis, kerut-merut antara kedua matanya yang buta.
Telinga dan hidung, dua alat pengganti mata untuk mengetahui apakah sebenarnya di
depan sana, sekarang dikerahkan.
"Taman indah, penuh kembang beraneka warna, menara-menara merah dan kuning, patung
ukir-ukiran di sana-sini, kolam-kolam dengan air berwarna, buah-buahan tergantung
rendah....... ah, entah apa lagi di sana, sudah agak gelap, Hong-ko....... wah, kulihat
banyak kijang, ada kelinci....... monyet-monyet di pohon....... burung-burung
beterbangan, merak........ aduh indahnya......."
Wajah Kun Hong berseri gembira, kerut-merut di antara matanya makin jelas tampak,
senyumnya membayangkan kepahitan. Agaknya Loan Ki menoleh dan menatap wajahnya.
Gadis ini kembali memegang lengannya dan kini suaranya sudah kehilangan kegembiraan.
"Ah, sebetulnya hanya taman biasa, Hong-ko. Masih tidak menang dengan taman ayahku.
Tapi, merupakan tempat pendaratan yang baik bagi kita."
Loan Ki mendayung perahunya ke pinggir. Tiba-tiba ia berseru kaget dan perahu berhenti
melaju.
"Ada apa, Ki-moi?"
Dara itu menyumpah perlahan. "Gila benar! Banyak sekali teratai liar di sini, sambung-
menyambung dan tebal. Perahu kita tak dapat lewat, celaka. Biar kucari jalan dari sana.
Sebelah sana itu agaknya kelihatan bersih dari gangguan tanaman-tanaman ini." Ia
mendayung kembali perahunya mundur untuk melepaskan diri dari taman teratai di air ini.
Agak lama ia mendayung mencari air bersih untuk meminggirkan perahunya.
Akhirnya dapat juga ia minggir. "Kita mendarat, Hong-ko." Gadis itu memegang ujung
tambang, lalu menggandeng tangan Kun Hong. Keduanya melompat ke darat dan Loan Ki
mengikatkan tambang kepada sebatang pohon di pinggir telaga.
"Lho, di mana kita ini.......?" Tiba-tiba ia mengeluh. Suaranya terdengar begitu kaget dan
heran sehingga Kun Hong cepat memegang tangannya.
"Ada apa lagi, Ki-moi?"
"Aneh, Hong-ko. Benar-benar aku bingung dan tidak mengerti. Ke mana lenyapnya taman
surga tadi? Baru saja masih ada, aku tahu betul, malah perahu kudaratkan di pinggir
taman, tampak jelas dari perahu tadi. Tapi setelah kita mendarat, kenapa kita di tempat
yang buruk, liar merupakan hutan gelap begini?"
"Barangkali hutan ini merupakan bagian daripada taman tadi, Ki-moi. Mari kita cari ke
depan. Anehnya, ganda harum tadi juga lenyap dan sekarang........ hemmm, baunya amat
tidak enak, Ki-moi."
"Benar, Hong-ko. Aku pun merasa muak dan ingin muntah. Bau apa sih ini?"
Pegangan tangan Kun Hong pada lengan gadis itu tiba-tiba menjadi lebih erat.
"Ki-moi, mari kita kembali saja. Kalau aku tidak salah duga, ini bau....... amisnya ular-ular
beracun! Agaknya pulau ini banyak rahasianya dan merupakan tempat amat berbahaya bagi
seorang luar."
"Tidak, Hong-ko. Aku tidak takut! Aku malah makin ingin sekali menyelidiki tempat aneh ini
berikut penghuni-penghuninya. Hayo kita maju, Hong-ko."
Dengan berhati-hati dua orang muda itu berjalan maju. Belum ada sepuluh langkah mereka
memasuki hutan liar itu, tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kiri, cepat
seperti kilat menyambar. Loan Ki kaget dan menengok ke kiri dan...... ia menahan jeritnya
melihat seekor ular sebesar lengan tangan telah hancur kepalanya, berkelojotan dan
menggeliat-geliat di atas tanah. Ular itu kulitnya berwarna hijau mengkilap, seluruh tubuh
mengeluarkan lendir berminyak ketika dia berkelojotan itu. Bau amis makin memuakkan.
Dalam kengeriannya, Loan Ki diam-diam makin kagum dan heran sekali kepada pemuda
buta ini. Bagaimana seorang buta malah lebih "awas" daripada ia yang selain berkepandaian
tinggi, juga memiliki sepasang mata yang tajam?
"Ki-moi, daerah ini berbahaya sekali. Apakah warna kulit ular itu?"
"Hijau......." jawab Loan Ki, suaranya masih gemetar sedikit karena tegang. Ia maklum
betapa berbahayanya ular itu, ular berbisa yang amat jahat.
"Hemm, ching-coa (ular hijau)....... agaknya penghuni aseli pulau ini .......
Ki-moi, kau keluarkan pedangmu, siap-siap menghadapi segala kemungkinan. Aku khawatir
kalau-kalau kita dikurung musuh."
Mendadak dari arah belakang mereka terdengar suara yang sayup sampai dibawa angin,
"Haaiiiii! Anak-anak nakal, jangan tergesa-gesa mendarat .......!"
Kun Hong dan Loan Ki terkejut, cepat membalikkan tubuh. Kun Hong memasang telinga
memperhatikan tapi tidak mendengar suara apa-apa. "Apa yang kau lihat, Ki-moi? Siapa
yang datang dari telaga?" bisiknya.
Loan Ki membelalakkan mata memandang. Cuaca sudah mulai gelap, akan tetapi ia dapat
melihat datangnya sebuah perahu besar berlayar kuning dengan cepat menuju pantai. Ia
kaget sekali dan mengira bahwa suara tadi ditujukan kepada mereka. Mungkinkah dari
jarak yang begitu jauh orang di dalam perahu itu dapat melihat mereka? Ia menarik tangan
Kun Hong diajak menyelinap bersembunyi di balik rumpun pohon kembang.
"Ki-moi, apakah ada perahu datang?" Sekali lagi Loan Ki heran dan kagum. Jalan pikiran Kun
Hong benar-benar tajam dan cerdik biarpun pemuda ini tak dapat melihat lagi. Memang
sesungguhnya Kun Hong cerdik. Kalau ada orang atau apa saja berada di darat di sekitar
tempat itu yang terlihat oleh Loan Ki, tentu akan dapat ditangkap oleh telinga atau
hidungnya. Terang bahwa Loan Ki melihat sesuatu, dan karena tidak mendengar apa-apa,
maka dapat dia menduga bahwa suara orang tadi tentulah datang dari perahu.
"Perahu besar......." kata Loan Ki, "berlayar kuning....... ada lima orang laki-laki
berpakaian hijau di atas perahu, memegang tongkat....... eh, seperti suling. Perahu sudah
minggir, Hong-ko....... kulihat benda-benda panjang kecil meloncat ke air, ke darat,
seperti ranting-ranting kayu panjang....... heiii, benda-benda itu bergerak....... ohh,
Hong-ko. Ular! Ular-ular besar kecil, banyak sekali, puluhan....... ah, ratusan mungkin
ribuan. Dan lima orang itu berjalan di belakang mereka. Apa itu.......? Ah, mereka.......
mereka agaknya menggembala ular-ular itu!"
Kun Hong miringkan kepala, hidungnya mengembang-kempis. "Ki-moi, lihat baik-baik.
Apakah di antara mereka terdapat seorang tua bongkok yang bercacat, telinga kiri dan
lengan kiri buntung, mata kiri buta, dan mulutnya lebar seperti robek?"
"Tidak ada, Hong-ko. Tapi....... tapi ular-ular itu menuju ke sini, Hong-ko. Celaka, mari
kita lari menjauhi mereka!" Loan Ki memegang tangan kiri Kun Hong dan menariknya lari
dari situ, memasuki hutan. Tangan gadis itu agak dingin, tanda bahwa ia merasa ngeri
sekali.
Siapa tidak akan merasa ngeri kalau melihat ular-ular yang amat banyak itu bergerak-gerak
maju seperti mengejar, dengan baunya yang amat amis? Apalagi tak lama kemudian
terdengar seorang di antara lima "penggembala ular" itu berteriak keras.
"Heeiii, seekor peliharaan kita mati dengan kepala hancur di sini! Wah, ini tentu perbuatan
orang. Hayo kita cari!"
"Jangan-jangan perahu kecil tadi yang membawa orang asing datang ke sini," kata suara
lain.
"Ular ini baru saja bertemu musuh, tubuhnya masih berkelojotan. Tentu pembunuhnya
belum pergi jauh. Hayo kejar, pergunakan anak-anak kita!" kata suara pertama bernada
memimpin. Lalu terdengar suara suling yang ditiup secara aneh sekali.
Mendengar ini, Kun Hong berkata perlahan. "Hemm, kiranya benar ular-ular terpelihara.
Jangan-jangan dia di belakang ini semua."
"Dia siapa, Hong-ko?"
Kun Hong memegang lengan gadis itu dan berkata, suaranya sungguh-sungguh,
"Ki-moi, kalau benar dugaanku, kita benar-benar telah berada di tempat yang amat
berbahaya. Terang bahwa suling itu bersuara untuk memberi aba-aba kepada ular-ular itu
untuk mengejar kita. Heii, awas!" Tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kanan
dua kali dan ketika-Loan Ki menoleh....... kiranya dua ekor ular sebesar paha telah putus
lehernya. Darahnya menyembur-nyembur dan tubuh ular yang empat lima meter
panjangnya itu berkelojotan, saling belit! Dengan hati penuh ketegangan, Loan Ki lalu
menarik tangan Kun Hong dan mengajak pemuda itu lari lebih cepat lagi.
"Wah, suara suling itu malah memberi perintah kepada semua ular yang berada di tempat
ini," kata Kun Hong. "Hati-hati, Ki-moi!"
Benar saja dugaan Kun Hong, karena beberapa kali mereka diserang ular-ular besar kecil,
Loan Xi menggunakan pedangnya membunuh beberapa ekor ular yang, rnenghadang di
depan, juga Kun Hong selalu menggunakan tongkatnya untuk membunuh ular-ular yang
hendak mengganggu. Mereka tidak pernah berhenti, terus berlari ke depan dan akhirnya
mereka keluar dari hutan itu. Jalan mulai memburuk, penuh batu karang dan kiranya di
situ terdapat pegunungan batu karang yang sukar dilalui. Karena tidak mengenal jalan
kedua orang itu terpaksa maju terus dan sementara itu, cuaca sudah mulai gelap, senja
telah lewat terganti datangnya malam. Suara ular-ular yang mendesis-desis beserta para
penggembala yang berteriak-teriak sudah tak terdengar lagi. Dua orang itu mendaki gunung
kecil.
"Kita harus mencari tempat sembunyi yang aman," kata Loan Ki. "Dengan adanya ular-ular
itu, tak mungkin kita bergerak di waktu malam gelap."
Kun Hong menghela napas. Jalan itu benar sukar dan andaikata dia tidak dituntun oleh
Loan Ki, tentu akan amat lambat dia dapat maju mencari jalan.
"Siapa kira, karena kau ingin melihat tontonan lucu, akhirnya menjadi tidak lucu. Kita
menjadi buronan di pulau orang. Baiknya besok kita segera kembali saja ke daratan sana."
"Hong-ko, bukankah pengalaman kita tadi cukup hebat, menegangkan dan lucu? Mungkin
besok kita bertemu dengan pengalaman yang lebih lucu dan hebat lagi siapa tahu?
Sementara ini, kita masih selamat. Nah, itu di depan kulihat banyak lubang-lubang besar di
dinding karang, tentu ada gua yang dapat kita pakai tempat bersembunyi."
Mereka mempercepat pendakian yang sukar itu. Baiknya Loan Ki memiliki ginkang yang
cukup tinggi sehingga Kun Hong dapat mengikutinya dengan baik, tanpa mengkhawatirkan
keadaan temannya itu. Akhirnya telah sampai di dekat dinding karang yang banyak
berlubang merupakan gua-gua besar, jalannya menjadi rata.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari depan, "Siapa berani masuk Ching-coa-to tanpa ijin?
Benar-benar sudah bosan hidup!" Dan muncullah seorang laki-laki pendek yang bersenjata
ruyung baja. Tanpa banyak cakap lagi laki-laki itu segera menerjang maju sambil
mengerahkan ruyungnya. Loan Ki marah dan dengan pedang di tangan ia memapaki. Ketika
ruyung menyambar ke arah kepalanya, gadis itu meliukkan tubuh ke kiri tanpa menunda
terjangannya. Sambil miring ke kiri pedangnya menyambar secepat kilat. Orang itu
berteriak kaget, akan tetapi masih sempat membuang diri ke kiri sambil membabatkan
ruyungnya. Dia terhindar dari bahaya, akan tetapi keringat dingin membasahi dahinya. Tak
dia sangka bahwa gadis remaja itu demikian hebat ilmu pedangnya.
Gerakan Loan Ki yang sekali gebrakan saja sudah hampir dapat merobohkan lawan,
membuat lawannya ragu-ragu untuk menyerang lagi. Dia bersuit keras dan terdengar
suitan-suitan dari beberapa penjuru. Loan Ki terkejut, maklum bahwa mereka berdua telah
terkepung. Akan tetapi Kun Hong lebih cepat lagi. Sekali bergerak pemuda buta itu sudah
melompat ke arah si pendek. Dalam keadaan remang-remang itu si pemegang ruyung tidak
tahu bahwa yang melompatinya adalah seorang buta. Dia kaget dan menghantamkan
ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba dia jatuh lemas dan ruyungnya terlempar entah ke mana.
Tanpa dia ketahui bagaimana caranya, dia telah roboh tertotok dan lemas tak dapat
bergerak maupun bersuara lagi!
"Ki-moi, lekas, cari tempat sembunyi.......!" kata Kun Hong yang tidak menghendaki
terjadinya pertempuran di tempat itu. Dia benar-benar merasa tidak enak sekali telah
mengganggu tempat orang dan menimbulkan keonaran.
Loan Ki adalah seorang dara remaja yang tidak pernah mengenal artinya takut dalam
menghadapi lawan dalam pertempuran, maka sekarang pun biar ia tahu telah dikurung
musuh, ia tidak merasa gentar. Akan tetapi karena ia sudah mulai mengenal watak
temannya yang buta dan aneh, kini ia maklum pula bahwa Kun Hong tidak suka menghadapi
pertempuran dengan orang-orang yang sebetulnya memang tidak mempunyai urusan apa-
apa dengan mereka berdua. Maka ia lalu menggandeng tangan Kun Hong, diajak lari
kembali menuruni puncak. Akan tetapi tiba-tiba ia bergidik, terdengar suara mendesis-
desis dan dari bawah puncak merayap ular-ular tadi bersama penggembala-
penggembalanya yang bersuit-suit. Lawan manusia biasa Loan Ki takkan undur, akan tetapi
menghadapi ular-ular itu ia benar-benar merasa jijik dan ngeri. Ia cepat mengajak Kun
Hong naik ke puncak lagi dan sekarang di depan mereka sudah muncul dua orang laki-laki
yang memegang golok. Tanpa banyak tanya dua orang laki-laki itu segera menerjang
mereka karena baru saja mereka melihat seorang kawan mereka rebah tak bergerak dan
mereka kira sudah tewas.
Juga kali ini Kun Hong yang cepat bergerak. Bagaikan seekor burung rajawali sakti dia
melayang ke arah dua orang itu. Dua buah golok berkelebat menyambar ke arah tubuhnya,
akan tetapi golok-golok itu segera terlempar jauh dan dua orang itu memekik lemah terus
roboh tak berkutik!
"Kau hebat, Hong-ko.......!" Loan Ki memuji dengan kagum sekali. Ia sendiri mewarisi Ilmu
Silat Sian-li-kun-hoat yang terkenal amat indah gerakan-gerakannya, akan tetapi
menyaksikan gerakan Kun Hong tadi ia benar-benar merasa kagum. Akan tetapi yang
dipujinya sama sekali tidak memperdulikan, malah membentak,
"Hayo lekas cari tempat sembunyi, Ki-moi!"
Loan Ki kembali menarik tangan Kun Hong dan berlari ke arah dinding batu karang. Dari
sebelah kanan dan kiri terdengar bentakan-bentakan orang, juga dari belakang. Gadis itu
melihat banyak lubang-lubang pada dinding itu, lalu menarik Kun Hong masuk ke dalam
sebuah lubang yang cukup besar untuk dimasuki orang sambil merangkak. Karena didorong
oleh Loan Ki, Kun Hong masuk dulu, merangkak seperti seekor tikus memasuki lubangnya,
kemudian disusul oleh Loan Ki.
Lubang itu kurang lebih lima meter dalamnya, terus ke dalam, kemudian menukik ke
bawah. Kun Hong berhenti merangkak ketika tangan dan kakinya meraba lubang yang
menukik ke bawah.
"Terus, Hong-ko........ terus. Mereka sudah sampai ke sini......." bisik Loan Ki di belakang
pemuda buta itu.
"Tak dapat terus, lubangnya menukik ke bawah......." jawab Kun Hong.
"....... kau mepetlah, Hong-ko, biarkan aku lewat dan memeriksa di depan ......."
Karena merasa bahwa dia adalah seorang buta, lupa bahwa di dalam keadaan gelap pekat
seperti itu sebetulnya dia tidak lebih buta daripada Loan Ki sendiri. Kun Hong lalu
berbaring mepet untuk memberi jalan kepada gadis itu yang hendak melewatinya. Lubang
itu tidak besar maka ketika Loan Ki merayap melewatinya, dua orang itu berhimpitan di
dalam lubang. Kun Hong merasa tak enak sekali, jengah dan berdebar hatinya. Baiknya
mereka berdua adalah orang-orang yang telah memiliki kepandaian tinggi sehingga dengan
Ilmu Sia-kut-kang (ilmu Melemaskan Tulang) mereka berhasil bersimpang di lubang yang
sempit itu. Loan Ki agaknya juga merasakan apa yang dirasai Kun Hong, buktinya gadis
yang biasanya jenaka gembira itu kali ini tidak membuka suara kecuali "ah-uh" seperti
orang kepanasan. Dengan hati-hati gadis itu merangkak ke depan sampai tiba di tempat
yang menukik ke bawah.
"Agak lebar di bawah, Hong-ko. Seperti sumur ..........."
"Memang, karena kita tidak tahu bagaimana dasarnya, tak mungkin turun ke bawah ......."
Pada saat itu dari luar lubang terdengar suara mendesis-desis, disusul suara seorang laki-
laki yang parau, "Anak-anak, hayo masuk kandang, jangan berkeliaran lagi, besok kalian
harus membantu mencari dua orang musuh itu."
Disusul lagi suara yang tinggi, "Heran, ke mana larinya dua orang tadi? Mereka itu manusia
atau setan? He, Lao Siong, apakah sudah dilaporkan kepada toa-nio?"
"Tentu sudah." Lalu mereka bercakap-cakap akan tetapi sambil menjauhi mulut lubang
sehingga Kun Hong dan Loan Ki tak dapat mendengar lagi apa yang mereka bicarakan.
Akan tetapi betapa kaget hati dua orang itu ketika terdengar suara mendesis-desis dari
arah belakang disusul bau yang amat amis. Kiranya lubang pada dinding batu itu adalah
sarang-sarang ular atau dijadikan "kandang" untuk ular-ular itu!
"Celaka, ular-ular itu masuk ke sini.......!" Kun Hong yang berada di belakang berkata
perlahan. Dia cukup tabah dan tenang, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tentu saja
dia merasa ngeri juga.
"Lekas, Hong-ko, di belakangmu ada batu yang kuseret masuk tadi. Kau pergunakan itu
untuk menutup lubang yang paling sempit dan....... hei, aduh,
waahh....... bungkusanku jatuh ke dalam sumur, Hong-ko."
Kun Hong mendengar suara barang berat jatuh. Dengan pendengarannya yang tajam dia
mendapat kenyataan yang menggirangkan hatinya. Lubang itu ternyata dasarnya tidak
keras, juga tidak begitu dalam. Hal ini tentu saja dapat dia ketahui ketika buntalan
pakaian dan mahkota yang dibawa gadis itu terjatuh ke bawah. Akan tetapi pada saat itu
dia sibuk mendorong batu besar untuk menutupi lubang. Tentu saja tidak tertutup rapat,
akan tetapi lumayan untuk menahan membanjirnya ular-ular itu ke dalam.
Setelah itu dia segera berkata, "Ki-moi, mari kita masuk saja ke dalam sumur itu.
Tempatnya tidak dalam dan dasarnya mungkin tanah tidak keras."
"Bagaimana kau bisa tahu?" Bisik Loan Ki meragu.
"Buntalanmu tadi melayang ke bawah tidak terlalu lama, juga suaranya ketika menimpa
dasar sumur menyatakan bahwa dasar itu tidak keras. Tapi tunggu, biar aku yang
melompat masuk lebih dulu. Kau mepetlah!"
Seperti tadi, dua orang itu kembali berhimpitan untuk dapat bertukar tempat, kini Kun
Hong di depan dan gadis itu di belakangnya. Akan tetapi karena perasaan mereka
terlampau tegang, mereka tidak merasakan lagi kecanggungan seperti tadi. "Ki-moi,
membaliklah ke belakang dan siap dengan pedangmu kalau-kalau ada ular menerobos
masuk. Aku akan meluncur ke bawah dulu!"
Loan Ki mendengar suara perlahan lalu disusul suara Kun Hong dari bawah,
"Ki-moi, lekas kau turun. Tidak begitu dalam di sini dan aku akan membantumu jangan
takut!"
Loan Ki merangkak mundur, ketika kakinya menyentuh sumur, hatinya berdebar juga. Siapa
orangnya takkan merasa ngeri kalau harus masuk ke dalam sumur yang begitu gelap? Akan
tetapi adanya Kun Hong di dalam sumur itu membesarkan hatinya dan tanpa ragu-ragu lagi
ia melorot turun sambil mengerahkan ginkangnya ketika tubuhnya melayang ke bawah. Ia
memegang pedangnya tinggi-tinggi dan kedua kakinya sudah siap untuk menyentuh tanah
di dasar sumur. Akan tetapi tiba-tiba dua buah lengan yang kuat dan cekatan menerima
tubuhnya, lalu menurunkannya ke atas tanah. Kembali ia kagum akan kehebatan Kun Hong.
"Hong-ko, sumur ini dalam juga, sedikitnya tiga kali tinggi orang. Bagaimana kita akan
dapat keluar dari sini?" Loan Ki dalam gelap meraba ke sana ke mari dan hatinya kecut
ketika mendapat kenyataan bahwa sumur ini pun tidak lebar, hanya cukup mereka berdua
berdiri. Tak mungkin meloncat ke luar dari tempat sesempit ini.
"Jangan khawatir, aku akan dapat merayap naik," kata Kun Hong tenang. "Ini buntalanmu,
baru kuingat bahwa kau membawa mahkota kuno itu. Ah, jangan-jangan rusak mahkota itu
ketika jatuh."
Loan Ki menerima buntalan itu dan mengikatnya di punggung. Untuk melakukan ini saja
beberapa kali tangan dan sikunya menyentuh dada Kun Hong, begitu sempitnya tempat itu.
Hawanya juga panas bukan main. Sumur itu dindingnya adalah batu karang, hanya dasarnya
saja tanah lunak. Karena tidak ada hawa, atau kalau ada pun amat sedikit masuk dari
lubang yang kini hampir tertutup rapat oleh batu tadi, di situ amat panasnya. Apalagi hawa
yang masuk telah membawa bau amis dari ular-ular yang memenuhi lubang di sebelah luar,
maka pernapasan mereka sesak dan sebentar saja Loan Ki menjadi pusing.
Makin lama hawa makin panas. Loan Ki dan Kun Hong biarpun memiliki hawa murni dan
Iweekang yang kuat, tetap saja menderita hebat dan tubuh mereka telah penuh keringat.
Pakaian mereka basah semua.
"Aduh....... Hong-ko, napasku sesak, aku muak........ tak kuat bertahan. Kita harus keluar
dari neraka ini......." keluh Loan Ki.
Kun Hong bingung. "Bagaimana mungkin, Ki-moi? Kalau kita naik, tentu akan bertemu ular-
ular itu di dalam lubang jalan ke luar. Menghadapi ular-ular itu memang bisa kita
tanggulangi, akan tetapi kau dalam gelap.......ah, dan siapa tahu orang-orang itu masih
menjaga di luar. Kau harus dapat bertahan, mungkin besuk pagi-pagi mereka dan ular-ular
itu akan ke luar dari lubang dan kita dapat menerobos ke luar kalau memang ada jalan
lain. Setidaknya kalau cuaca terang, kau bisa melihat. Bergerak di malam hari, kita sama-
sama buta, tentu payah."
"Tapi....... aduh, panas dan sesak, Hong-ko......." Gadis itu betul-betul payah dan kini
menyandarkan kepalanya yang terasa pusing berputar-putar itu kepada tubuh Kun Hong.
Dahi gadis itu ternyata sudah basah semua oleh keringat dan tubuhnya panas sekali. Diam-
diam Kun Hong terkejut. Kiranya Iweekang gadis ini belum begitu tinggi tingkatnya dan
terang takkan dapat menahan. Dia lalu berusaha untuk berkelakar.
"Wah, kita basah oleh keringat, Ki-moi. Celakanya, keringatku tentu berbau tak enak dan
kuingat kau paling tidak kuat kalau mencium bau keringat, seperti ketika kau dikeroyok
tempo hari. Jangan-jangan keringatku yang membuat kau muak dan pusing."
Kun Hong sengaja berkelakar untuk membangkitkan kegembiraan dan kejenakaan gadis ini
sehingga berkurang penderitaan itu. Akan tetapi dia gagal karena dengan lemah Loan Ki
menjawab, "Tidak, keringatmu tidak bau, Hong-ko....... tapi ular-ular itu....... ah, ngeri
aku......." dan gadis itu tiba-tiba saja menangis!
"Lho, kenapa menangis? Adik Loan Ki, jangan bilang bahwa kau takut.......!"
"....... tidak! Tidak takut...... kalau ular-ular itu masuk ke sini, kita akan dimakan
habis....... ihhh, dan semua ini kesalahanku yang membawamu ke sini."
Kun Hong mendekap kepala di dadanya sambil mengelus rambut yang halus basah itu
dengan sikap menghibur, malah dia memaksa diri tertawa. "Ah, kau aneh-aneh saja. Ular-
ular itu takkan berani menjatuhkan diri ke dalam lubang, juga tidak akan dapat merayap
turun, Andaikata ada yang berani, sekali pukul juga akan remuk kepalanya. Takut apa?
Tentang datang ke sini....... eh, aku sendiri pun ingin melihat badut-badut itu dihukum!"
Biarpun lemah dan pusing, bangkit juga kegembiraan Loan Ki mendengar ini dan ia
berbisik, ".... kau ..... melihat??"
"Aha, sampai lupa aku bahwa aku sudah buta. Bukan melihat dengan mataku, tapi aku kan
bisa meminjam matamu. Kau yang melihat dan kau ceritakan kepadaku, bukankah sama
saja .......?"
Loan Ki dapat juga tertawa. "....... Hong-ko, kau....... baik sekali ......."
Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis di atas. Loan Ki merenggutkan kepalanya dan
tubuhnya menegang. "Celaka....... mereka turun....... ular-ular itu......." katanya dengan
suara mengandung kengerian.
Bau amis makin menghebat, hawa panas pun tak tertahankan lagi oleh Loan Ki. Ia
melepaskan buntalan pakaian dan mahkota yang membikin tubuhnya lebih panas lagi.
Buntalan itu ia lemparkan begitu saja di atas tanah dan ia bersiap-siap untuk menghadapi
perjuangan mati hidup melawan ular-ular itu. Buntalan jatuh dan menggelinding di atas
tanah, ikatannya terbuka dan tiba-tiba saja keadaan yang amat gelap pekat itu berubah.
Ada cahaya yang membuat kegelapan itu berubah remang-remang.
"Hong-ko! Aku bisa melihat! Eh, sekarang tidak segelap tadi...... heeiii, Hong-ko, kiranya
mahkota itu yang mengeluarkan cahaya!" Suara Loan Ki bersemangat kembali, ia
membungkuk, mengambil mahkota itu dan berseru, "Betul, Hong-ko, ada tiga batu permata
di bagian depan mahkota ini yang mengeluarkan cahaya. Nah, begini baru enak hatiku, bisa
melihat kalau ada ular menyerangku!" Suara gadis itu mulai gembira.
Kun Hong dengan pendengarannya dapat menangkap hal yang lebih menggembirakan
hatinya lagi. Dia tahu sekarang bahwa kelemahan dan kepusingan gadis itu tadi sebagian
besar adalah pengaruh dari rasa ngeri di dalam kegelapan sehingga mengakibatkan pusing.
Selain ini, dengan girang dia mendengar betapa suara mendesis-desis di atas tadi tiba-tiba
saja lenyap dan bau amis tidak begitu hebat lagi, tanda bahwa ular-ular itu takut kepada
batu-batu permata yang mengeluarkan cahaya. Dia dahulu pernah mendengar dongeng
kakek Song-bun-kwi di puncak Thai-san bahwa di dunia ini memang banyak terdapat benda-
benda mujijat dan aneh, di antaranya batu-batu mutiara yang disebut Ya-beng-cu. Mutiara
Ya-beng-cu ini mengeluarkan cahaya di tempat gelap dan selain itu, juga ditakuti oleh
sebagian besar binatang-binatang buas.
"Wah, agaknya Thian Yang Maha Kuasa sengaja menolong kita, Ki-moi. Kalau tidak salah,
batu permata di mahkota itu adalah mutiara-mutiara Ya-beng-cu dan aku pernah
mendengar bahwa binatang-binatang takut kepada sinarnya. Sekarang kau bersiaplah, kita
harus keluar dari tempat ini!
"Keluar?" Loan Ki kaget. "Bukankah amat berbahaya katamu tadi, Hong-ko? Menghadapi
ular-ular itu dalam terowongan sempit, belum lagi para penjaga pulau ini......."
Kun Hong menggeleng kepala. "Sekarang tidak lagi, adikku. Tadi yang paling
mengkhawatirkan hatiku adalah kalau melawan ular-ular itu, ular-ular berbisa yang amat
jahat, apalagi kita harus menghadapinya dalam terowongan sempit. Akan tetapi sekarang,
dengan Ya-beng-cu ada pada kita, ular-ular itu pasti takkan berani mengganggu kita. Kita
keluar dan tentang para penjaga, yaaahhh, terpaksa kita menghadapi mereka. Kita
jelaskan maksud kedatangan kita yang tidak mengandung maksud buruk, kalau mereka
tidak mau menerimanya, kita robohkan mereka dan melarikan diri!"
Loan Ki mengangguk-angguk, tapi ketika melihat ke sekelilingnya adalah dinding batu yang
licin, ia mengerutkan kening. "Hong-ko, bagaimana kita bisa naik? Meloncat begitu saja?
Mungkin sanggup aku meloncat ke atas dan menangkap pinggiran sumur, akan tetapi,
bagaimana kalau ada ular-ular di sana? Pula resikonya terlalu besar kalau sampai tidak
berhasil menangkap pinggiran sumur, apalagi kalau di waktu meloncat kepalaku tertumbuk
batu karang yang menonjol."
"Tak usah meloncat, Kau bawa buntalanmu, pakai mahkota itu di kepalamu."
Gadis itu terdiam, agaknya heran. Tapi diambilnya buntalan pakaian dan diikatkan ke
pundak. Tiba-tiba ia tertawa, tawa jenaka seperti yang sudah-sudah sehingga Kun Hong
ikut tersenyum gembira. Agaknya di dunia ini sukar mencari orang yang takkan ikut
tersenyum mendengar suara yang mengandung kesegaran watak itu.
"Hi-hi-hik, Hong-ko....... mahkota ini pas betul dengan kepalaku. Menurut dongeng
permaisuri Kerajaan Tang yang memakai mahkota ini adalah seorang puteri cantik jelita
yang terkenal dengan julukan Puteri Harum karena tubuhnya memiliki keharuman seribu
bunga. Kiranya kepalanya hanya seukuran dengan kepalaku....... hi-hik.......!"
Mendengar kegembiraan gadis itu yang berarti bahwa semangatnya telah kembali, Kun
Hong girang. Perjalanan ke luar dari tempat itu, bahkan keluar dari Pulau Ching-coa-to,
bukanlah hal yang mudah dan mungkin akan menghadapi bahaya-bahaya dan rintangan.
Maka timbulnya semangat gadis ini kembali merupakan hal yang amat penting. Mengingat
ini, dia segera terjun ke dalam kegembiraan itu dan berkata,
"Apa anehnya persamaan kepala itu, Ki-moi? Memang cocok dongeng itu, kalau kepala
permaisuri Kerajaan Tang itu seperti kepalamu, maka sudah semestinya dia cantik jelita
dan mempunyai ukuran kepala yang tepat."
"Eh, Hong-ko kau mana bisa melihat kepalaku?"
"Melihat sih tidak, akan tetapi tadi....... eh, meraba saja sudah cukup jelas bagiku ......."
Loan Ki teringat betapa dalam gelap tadi ia menangis dan bersandar di dada Kun Hong,
malah kepalanya dielus-elus oleh pemuda buta itu, Hal ini mendebarkan jantungnya
sungguhpun ia tidak mengerti mengapa dadanya berhal seperti itu, berdenyar-denyar.
"Tapi, Hong-ko, mana kau tahu aku....... cantik jelita?"
Kun Hong tertawa, geli juga mendengar ucapan kekanak-kanakan ini. "Apa susahnya?
Mendengar suaramu saja sudah cukup bagiku."
Hening sejenak, lalu gadis itu berkata perlahan, "Orang bilang aku cantik, tapi belum tentu
secantik puteri pemakai mahkota ini. Pula, ia terkenal sebagai Puteri Harum, mana aku
bisa sama? Ih, tadi keringatku tentu membasahi bajumu, Hong-ko......"
"Aku pun berkeringat sampai basah semua pakaianku, Ki-moi, dan tentang keharuman itu,
hemmm....... kurasa keringatmu pun....... sedap ......." Kun Hong setengah berbohong.
Mana ada keringat sedap di dunia ini? Akan tetapi memang baginya, keringat Loan Ki tidak
berbau tak enak. Dia sengaja melebih-lebihkan dan mengatakan sedap hanya untuk
menambah kegembiraan hati gadis kekanak-kanakan ini agar semangatnya tidak menurun.
Gadis itu tidak berkata apa-apa, malah suara ketawanya terhenti dan ia diam saja sampai
agak lama setelah ucapan Kun Hong terakhir ini. Kun Hong heran, miringkan kepala dan
bertanya,
"Ki-moi, kenapa diam saja, kau?" Dia mengulur tangan ke depan, menyentuh tangan gadis
itu dan memegangnya. Akan tetapi Loan Ki cepat merenggutnya terlepas dan terdengar
suaranya agak gemetar.
"Buntalan pakaian sudah kubawa, mahkota sudah kupakai. Bagaimana kita akan naik?"
Sesekali Kun Hong tak pernah menduga di dalam hatinya bahwa ucapan-ucapan yang
bersifat kelakar baginya itu ternyata mendatangkan kesan luar biasa bagi Loan Ki,
membekas amat dalam dihatinya.
"Kau duduklah di pundak kananku, pedangmu siap menghalau perintang di atas. Aku akan
merayap naik." Kun Hong lalu berjongkok untuk memudahkan Loan Ki duduk di pundaknya.
Tapi gadis itu tidak segera duduk. Dengan mata terbelalak kagum gadis itu memandang Kun
Hong. Ia tahu bahwa agaknya si buta ini hendak mempergunakan Ilmu Pek-houw-yu-chong
yang mengandalkan ginkang dan Iweekang yang amat tinggi sehingga membuat orang dapat
merayap seperti seekor cecak pada dinding yang terjal. Kalau si buta ini sudah dapat
melakukan ilmu ini, berarti bahwa tingkat kepandaian si buta ini jauh melampauinya,
malah jauh lebih lihai daripada ayahnya sendiri, Sin-kiam-eng! Di samping kekaguman ini,
juga jantungnya berdebar-debar mengingat bahwa ia harus duduk di atas pundak orang,
suatu perasaan yang belum pernah ia rasai sebelumnya dan Hal ini tanpa ia sadari
disebabkan oleh kelakar pujian tadi.
Ia pun maklum mengapa pemuda buta itu menyuruh ia duduk di atas pundaknya. Memang
hanya itulah jalan satu-satunya yang paling baik. Dengan duduk di pundak, selain ia dapat
ikut "membonceng" naik, juga ia bertugas sebagai mata pemuda itu, dengan mahkota di
atas kepala itu sebagai pengganti obor penerangan, Memang begini lebih aman daripada si
buta itu harus merayap naik seorang diri, sungguhpun harus diakui bahwa untuk dapat
mempergunakan Ilmu Pek-houw-yu-chong dengan diboncengi pundaknya, benar-benar
merupakan hal yang luar biasa sekali.
"Hayo, lekas kau duduk, tunggu apa lagi?" Kun Hong bertanya heran ketika belum juga Loan
Ki duduk di pundaknya. Tanpa berkata apa-apa gadis itu lalu duduk di atas pundak kanan
Kun Hong yang segera bangkit berdiri. "Hati-hati jangan banyak bergerak, tapi awas
melihat rintangan di atas,"
Mulailah Kun Hong merayap ke atas. Memang hebat tenaga dalam pemuda buta ini, dengan
punggungnya menempel dinding, dia menggunakan tangan kanan dan kedua kaki untuk
merayap naik, kedua kakinya bergantian mendorong dinding sebelah depan, tangan
kanannya mencari pegangan batu menonjol untuk menarik tubuhnya ke atas, sedangkan
punggungnya dipergunakan sebagai alat penahan tubuhnya supaya tidak merosot ke bawah!
Tangan kiri yang memegangi tongkat tetap siap menjaga datangnya bahaya serangan.
Kagum sekali Loan Ki. Sedikit demi sedikit mereka naik dan akhirnya sampai juga ke
pinggiran sumur. Dengan girang Loan Ki melihat bahwa di situ tidak ada ular. Ia lalu
meloncat ke luar, dan menarik tangan Kun Hong untuk membantu pemuda ini ke luar pula,
bantuan yang sebetulnya tidak perlu bagi pemuda lihai itu.
"Tidak ada ular di sini......." bisik Loan Ki. "Entah ke mana mereka pergi."
"Agaknya ular-ular itu takut kepada cahaya mutiara Ya-beng-cu, Ki-moi. Bagus sekali,
dengan mahkota ini kita akan ke luar tanpa khawatir diganggu ular-ular berbisa itu."
"Kalau begitu mari kita ke luar sekarang juga, Hong-ko. Kita mencari tempat istirahat lain,
tadi kita telah tersesat memasuki tempat ini."
Mereka lalu merangkak ke luar, Loan Ki yang mengenakan mahkota merangkak di depan.
Batu penutup lubang disingkirkan dan benar saja, tidak ada ular berani menghadang
mereka. Agaknya ular-ular itu ketakutan melihat cahaya mutiara itu dan pergi
meninggalkan lubang. Setelah tiba di luar, Loan Ki meloncat turun, diikuti oleh Kun Hong.
Girang hati mereka mendapat kenyataan bahwa di situ sunyi sekali, tak tampak seorang
pun manusia. Dan lebih girang lagi hati Loan Ki melihat adanya bulan yang cukup terang di
angkasa. Begitu menginjak tanah dan berada di udara terbuka, kedua orang muda ini
merasa nyaman sekali sehingga berkali-kali mereka menarik napas panjang, menyedot
hawa seperti orang kehausan mendapat minum air segar!
"Hong-ko, bulan bersinar, aku dapat melihat jalan. Lebih baik kita tinggalkan daerah ini."
Kun Hong tidak membantah dan demikianlah, di bawah sinar bulan tiga perempat itu kedua
orang muda ini dengan hati lapang meninggalkan tempat yang penuh pengalaman
mengerikan tadi langsung menuruni puncak yang penuh batu karang.
Kurasa tidak baik kita berkeliaran di malam hari, apalagi tempat ini agaknya mengandung
banyak rahasia. Lebih baik kita mengaso malam ini dan besok pagi kita berusaha keluar dan
kembali ke daratan.
"Mana ada tempat bermalam yang baik di tempat ular ini, Hong-ko?"
"Paling baik di atas pohon besar. Bahaya satu-satunya hanya ular, akan tetapi dcngan
adanya mahkota pusaka itu, kita tak usah khawatir."
Demikianlah, dua orang muda itu meloncat ke atas pohon besar, memilih cabang besar
yang enak diduduki dan beristirahat melewatkan malam. Kun Hong duduk bersila di atas
cabang pohon, tak bergerak seperti patung. Tahu bahwa orang muda yang sakti itu duduk
bersamadhi, Loan Ki tidak mau mengganggunya, hanya memandang bayangan orang buta
itu dengan penuh kekaguman. Berkali-kali ia mendengar bisikan hatinya sendiri, ".......
sayang matanya buta....... sayang dia buta....... sayang......." Ia merasa jengkel akan
bisikan perasaan ini karena ia benar-benar tak mengerti mengapa ia merasa sayang akan
kebutaan Kun Hong.
"Orang seperti dia tidak seharusnya dikasihani," ia menghibur diri, "biarpun buta, dia
melebihi sepuluh orang pendekar melek (dapat melihat)......." Akhirnya ia tertidur juga di
atas cabang pohon. Seorang ahli silat tinggi seperti Loan Ki memang tidak khawatir akan
terjatuh di waktu tidur, karena ia sudah terlatih akan kebiasaan ini dan sudah banyak ia
merantau dan seringkali tidur di dalam hutan seorang diri.
***
"Hong-ko....... bangun, Hong-ko....... tuh di sana kumelihat air telaga!" pagi-pagi sekali
Loan Ki sudah berteriak-teriak membangunkan Kun Hong yang sebetulnya memang sudah
sadar atau terjaga daripada tidur dan samadhinya. Beberapa ekor burung sampai kaget
oleh teriakan Loan Ki dan beterbangan sambil berbunyi keras. Gadis itu tertawa geli
menyaksikan tingkah burung-burung itu. Akan tetapi Kun Hong sebaliknya geli mendengar
suara Loan Ki.
"Bagus, kalau begitu kita tinggal menuju ke sana, mencari perahu untuk menyeberang."
jawab Kun Hong sambil meluncur turun dari batang pohon itu.
Loan Ki juga meloncat turun, lalu tertawa. "Wah, kelihatan sekarang betapa kotor pakaian
kita, Hong-ko. Penuh tanah lempung!"
"Tidak apa, pakaian kotor dapat dicuci, Ki-moi."
"Ah, malu kalau bertemu orang. Aku hendak menukar pakaian dulu, Hong-ko. Kan padaku
ada bekal pakaian bersih. Wah, di mana ya bisa bertukar pakaian?"
Gadis itu berjalan ke sana ke mari, agaknya mencari gerombolan tanaman yang dapat ia
pergunakan untuk sembunyi dan bertukar pakaian.
"Hong-ko," terdengar suaranya dari depan agak jauh, "kau menghadaplah ke sana dulu,
membelakangi aku!"
Hampir-hampir tidak dapat Kun Hong menahan ketawanya. Dia tersenyum lebar dan
mengacungkan tangan seperti hendak menampar kepala temannya itu. "Bocah nakal,
apakah aku kurang buta sehingga kau suruh menghadap ke lain jurusan? Andaikata kau
bertukar pakaian di depan mataku, aku pun tak dapat melihatmu, Ki-moi." Akan tetapi
tetap saja dia memutar tubuhnya menghadap ke lain jurusan.
Setelah selesai berpakaian, Loan Ki menghampiri Kun Hong dan berkata,
"Hong-ko, kau selalu mengajak aku kembali ke daratan, seakan-akan kau takut berada di
pulau ini. Malah kau kemarin menyebut apakah aku melihat seorang kakek yang buntung
lengan dan telinga kiri, mata kiri buta, siapakah orang itu?"
"Sebetulnya orang itu sudah mati, Ki-moi. Yang kumaksudkan itu adalah seorang tokoh
jahat bernama Siauw-coa-ong Giam Kin. Karena aku mendengar suling dan berkumpulnya
ular-ular itu, aku jadi teringat kepada tokoh ini yang juga seorang ahli memelihara ular."
"Kau aneh, Hong-ko. Kalau dia sudah mati, kenapa kau takut?"
"Aku hanya terheran-heran mendengar ular-ular yang digembalakan orang. Ki-moi, dan aku
dapat menduga bahwa pemilik-pemilik pulau ini pasti adalah orang-orang pandai seperti
Giam Kin itu. Kalau kita berdua membikin onar di sini, alangkah tidak baiknya. Inilah
sebabnya maka aku mengusulkan agar kita kembali saja dan jangan menimbulkan keonaran
di tempat orang."
"Baiklah, malam tadi pun aku sudah merasa menyesal datang ke pulau iblis ini. Mari kita
pergi ke pantai telaga yang kulihat dari atas pohon tadi, Hong-ko."
Loan Ki menggandeng tangan Kun Hong dan mengajak pemuda itu berlari cepat ke arah
pantai telaga yang ia lihat tadi, yaitu ke sebelah, timur dari mana cahaya matahari
memerah membakar angkasa raya. Mahkota yang semalam telah menyelamatkan mereka
itu kini telah aman berada dalam buntalan pakaian yang tergantung di punggung Loan Ki
lagi. Biarpun yang seorang adalah orang buta, namun mereka lari cepat sekali. Memang
inilah cara satu-satunya untuk mengajak Kun Hong berlari cepat, yaitu dengan
menggandeng tangannya. Tanpa dituntun, biarpun pemuda itu memiliki kesaktian, tak
mungkin dia akan dapat berlari cepat, tentu akan menabrak-nabrak.
"He, Ki-moi, kenapa belum juga sampai dan kenapa kau bawa aku menikung-nikung tidak
karuan begini?"
Loan Ki berhenti, lalu menghela napas panjang. "Pulau ini benar-benar aneh, Hong-ko.
Pulau iblis! Terdapat jalan yang rata, akan tetapi heran sekali, mengikuti jalan ini agaknya
akan membawa kita terputar-putar tidak karuan. Kulihat seakan-akan keadaan tempat di
mana kita berdiri ini serupa benar dengan tempat di mana kita berangkat tadi......." Ia
berseru kaget, lari ke depan meninggalkan Kun Hong, lalu kembali lagi sambil berkata,
"Wah, benar-benar ini tempat yang tadi, Hong-ko! Tuh, di sana adanya gerombolan pohon
kembang di mana aku bertukar pakaian tadi, pengikat rambutku yang terjatuh di sana
masih ada."
Kun Hong mengangguk-anggukkan kepala, kulit di antara kedua matanya berkerut.
"Kurasa pemilik pulau ini adalah seorang ahli dalam alat-alat rahasia dan sengaja mengatur
pulaunya penuh rahasia agar menyukarkan orang asing memasukinya, seperti keadaan di
Thai-san. Ki-moi, kau lihat dari atas pohon tadi, pantai berada di jurusan manakah?"
"Di timur karena kulihat cahaya matahari di sana pula."
"Nah, kalau begitu, sekarang kita harus langsung menuju ke timur, jangan menggunakan
jalan yang sengaja dibuat untuk menyesatkan kita. Kita ambil jalan liar, kalau perlu
menerabas hutan, asal terus ke timur. Pasti akan sampai di pantai itu."
Akan tetapi hal itu ternyata lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Jalan menuju ke
timur ini ternyata harus melalui hutan-hutan liar yang penuh alang-alang, melalui rawa dan
malah melalui hutan kecil penuh duri. Jalannya menanjak dan pada akhirnya mereka tiba
di tebing yang curam. Ketika Loan Ki menjenguk ke bawah, memang tampak air telaga di
bawah sana, namun dalamnya dari tebing itu tidak kurang dari seratus meter!
Loan Ki melepaskan tangan Kun Hong, berjalan ke sana ke mari mencari jalan untuk
menuruni tebing curam itu. "Wah, sampai di sini buntu, Hong-ko. Biar kucari jalan untuk
turun. Tuh, di bawah sudah kelihatan telaganya, dan jauh ke depan itu menyeberangi
telaga akan sampai di darat kembali. Agaknya jalan menurun di alang-alang itu...... heeii,
aduhhh....... Hong-ko....... tolong.......!"
Kun Hong terkejut sekali, cepat dia bergerak maju dengan didahului tongkatnya, ke arah
suara Loan Ki. Dia mendengar batu-batu banyak sekali menggelinding dan lenyaplah suara
Loan Ki. Kagetnya bukan kepalang ketika dia sampai di tempat dari mana suara gadis itu
terdengar, tongkatnya meraba tempat kosong! Kiranya dia berdiri di tepi tebing yang entah
berapa dalamnya dan tongkatnya yang meraba gugusan batu yang pecah, agaknya Loan Ki
yang tadi berdiri di situ telah terperosok dan jatuh ke bawah bersama pecahan tanah dan
batu-batu.
Kun Hong mengerahkan khikangnya dan berteriak ke bawah, "Ki-moi .......!"
Hanya gema suaranya yang menjawab.
"Loan Ki .......!!"
Kembali suaranya yang menjawab.
"Celaka...... apa yang terjadi dengan dia?" Kun Hong bingung dan menyesal sekali. Baru kali
ini selama dia buta, dia menyesal akan kebutaan matanya sehingga dia tidak dapat melihat
apa yang terjadi dengan gadis itu dan tak dapat menolongnya. Dia mengambil sebuah batu
kecil dan melepaskannya ke bawah. Kepalanya dimiringkan, bibirnya berkemak-kemik
menghitung waktu. Tujuh belas kali dia menghitung, baru batu itu menyentuh air! Kun
Hong bergidik. Tak mungkin dia mengikuti gadis itu terjun ke bawah. Hal ini berarti
kematian baginya. Akan tetapi dia masih mempunyai harapan yang menghibur hatinya.
Bukankah Loan Ki pernah bilang bahwa gadis itu pandai berenang? Kalau dasar, di bawah
tebing itu air, belum tentu gadis itu tewas. Akan tetapi, kalau selamat, kenapa tidak
menjawab panggilannya?
Kembali pemuda buta ini menjenguk ke depan dan memanggil. Suaranya nyaring sekali dan
bergema, mengejutkan burung-burung yang beterbangan di sekeliling tempat itu. Bebarapa
kali dia memanggil namun tak pernah terjawab kecuali oleh gema suaranya sendiri. Kun
Hong menjadi sedih, pelupuk matanya gemetar, kulit di antara kedua matanya berkerut
dalam, wajahnya agak pucat. Lalu dia meraba-raba dengan tongkatnya mencari jalan
turun. Dia hendak menurupi tebing itu dan mencari Loan Ki di bawah sana.
Akhirnya dapat juga dia turun melalui celah-celah batu karang. Sukar sekali perjalanan
menurun ini, merayap seperti seekor monyet, hanya berpegang pada batu-batu karang
yang menonjol. Kadang-kadang Kun Hong yang meraba sana meraba sini kehabisan
pegangan dan terpaksa ia menggunakan tongkatnya yang ditancapkan kepada dinding
karang.
Demikianlah, sambil meraba-raba dia merayap turun terus, tidak tahu ke mana akhirnya
dia akan sampai. Dia tahu bahwa jalan yang ditempuhnya ini membelok ke sana ke mari
karena memang seringkali dia bertemu dengan jalan buntu yang mengharuskan dia mencari
jalan memutar.
Dia merasa heran sekali karena ternyata dia tidak sampai di pinggir telaga, malah tiba-tiba
alat penggandanya mencium keharuman bunga-bunga yang beraneka warna dan kakinya
menginjak tanah berumput yang halus. Ketika dia meraba dengan tangannya, kiranya dia
telah sampai di tengah rumput yang segar gemuk dan di sana-sini semerbak harum bunga.
"Heran sekali seakan-akan aku berada di dalam taman bunga yang amat luas penuh
bermacam-macam bunga......" pikirnya dan teringatlah dia akan seruan Loan Ki pada saat
kedatangan mereka di tempat itu. Gadis itu telah melihat sebuah taman bunga yang indah.
Inikah taman bunga itu?
Angin semilir sejuk dan pendengarannya yang tajam menangkap suara orang bercakap-
cakap, suara wanita yang halus terbawa angin. Kun Hong girang sekali, mengira bahwa
tentu Loan Ki yang sedang bercakap-cakap itu. Akan tetapi dia tidak berani berlaku
sembrono memanggil gadis itu karena dia belum tahu dengan siapa gadis itu bercakap-
cakap dan dalam keadaan bagaimana. Dengan hati-hati dia bergerak maju ke arah suara.
Setelah agak dekat dan dapat mendengar jelas, dia menyelinap di balik sebuah pohon buah
yang besar, bersembunyi dan mendengarkan penuh perhatian. Besar kekecewaan hatinya
ketika mendengar bahwa yang bercakap-cakap itu sama sekali bukanlah Loan Ki seperti
yang diharapkannya, melainkan suara wanita-wanita yang lain, Suara wanita yang dingin
dan tajam mendatangkan perasaan ngeri kepadanya karena dari suara ini dia dapat menilai
orang yang memiliki watak yang aneh dan dapat kejam melebihi iblis sendiri. Akan tetapi
suara ke dua membuat dia berdebar dan kagum. Suara ini halus lunak, merdu dan kiranya
hanya patut dipunyai oleh bidadari, bukan wanita biasa. Suara pertama adalah suara
seorang wanita yang sukar ditaksir usianya, akan tetapi takkan kurang dari empat puluhan.
Adapun suara "bidadari" itu adalah suara seorang gadis remaja. Bukan main suaranya,
seperti nyanyian dewi malam, mengelus-elus perasaan hatinya sungguhpun dia menangkap
getaran-getaran aneh pula dalam suara merdu merayu ini. Getaran yang mengandung
sesuatu yang rahasia dan yang menyembunyikan watak daripada si pemilik suara.
"Hui Kauw, cukup sudah semua alasanmu itu!" terdengar suara dingin dengan nada kesal.
"Jodohmu adalah Pangeran Souw Bu Lai dan kau tak boleh membantah lagi. Kau tahu,
pangeran itu setelah sekarang kaisar muda yang tak becus menduduki tahta, mempunyai
banyak harapan menjadi kaisar membangun lagi Kerajaan Goan, dan kau mempunyai
harapan menjadi permaisuri kaisar! Orang apa itu si pemuda she Bun? Huh, hanya anak
ketua Kun-lun-pai, biar tampan dan gagah, hanya orang biasa, mana boleh anakku tergila-
gila kepada orang macam itu?"
"Ibu, aku tidak tergila-gila........ aku hanya bertemu satu kali dengan Bun-enghiong, aku
hanya bilang bahwa dia seorang pendekar perkasa. Bukan karena dia aku tidak sudi
menjadi calon jodoh Pangeran Mongol itu, melainkan karena....... karena aku tidak suka
menikah. Aku lebih senang tinggal di sini......."
"Huh, alasan kosong. Siapa tidak tahu hati muda? Melihat wajah tampan dan watak
pendekar lalu jatuh hati, hemm. Sudahlah, tak mau aku berpanjang debat, aku harus
menyambut para tamu kita yang akan membicarakan soal membantu usaha Pangeran Souw
Bu Lai. Dan kau harus tahu, dalam hal kegagahan, kiraku orang she Bun itu, takkan dapat
menandingi Pangeran Souw."
"Ibu......."
Kun Hong mendengar betapa wanita bersuara dingin itu berkelebat pergi dan terkejutlah
dia ketika menangkap desir angin yang amat cepat ketika wanita ini pergi. Wah, kiranya si
suara dingin ini memiliki kepandaian yang hebat. Ginkangnya terang tidak di sebelah
bawah kepandaian Loan Ki!
Selain dua orang wanita yang bercakap-cakap ini, Kun Hong tahu bahwa di situ terdapat
sedikitnya tiga orang wanita lain yang lemah lembut gerakan-gerakannya, mungkin dayang-
dayang yang melayani nona bersuara bidadari ini. Diam-diam Kun Hong merasa terharu dan
juga tercengang. Tak mungkin salah lagi, yang disebut-sebut sebagai pemuda she Bun
dalam percakapan tadi, tentulah bukan lain Bun Wan, putera dari ketua Kun-lun-pai! Bun
Wan, bekas tunangan kekasihnya, mendiang Cui Bi. Hatinya berdebar dan telinganya serasa
mengiang-ngiang. Sungguh sebuah hal yang amat kebetulan sekali, urusan yang amat cocok
dengan pengalamannya dahulu. Seperti juga Cui Bi yang mencintanya dan sudah
ditunangkan dengan Bun Wan (baca Rajawali Emas) juga si suara bidadari ini hendak
dipaksa ibunya berjodoh dengan seorang Pangeran Mongol, padahal si bidadari ini agaknya
condong hatinya kepada Bun Wan! Benar-benar hal yang terbalik. Kalau dulu (dalam cerita
Rajawali Emas), Bun Wan merupakan tunangan yang tidak dipilih dan tidak disukai oleh
calon jodohnya, kini rupanya dia malah terbalik memegang peranan sebagai orang yang
menjadi sebab terhalangnya perjodohan orang lain! Bun Wan kini memegang peranan yang
dipegangnya dahulu, peranan yang berakhir dengan pengorbanan kedua matanya untuk
mengimbangi pengorbanan Cui Bi yang menyerahkan nyawanya!
Dia memperhatikan terus. Beberapa kali terdengar si bidadari itu menarik napas panjang.
Dasar suara bidadari. Tarikan napas panjang saja terdengar begitu halus dan seakan-akan
helaan napas itu menambah keharuman bunga-bunga di taman! Perasaan Kun Hong
menggetar, penuh iba kasihan. Teringat dia akan Cui Bi. Serupa benar nasib dara bidadari
ini dengan mendiang Cui Bi. Apakah ia akan mengalami nasib seperti Cui Bi pula? Gagal
dalam berkasih asmara, dan berakhir mengorbankan nyawa? Tidak! Tidak boleh! Peristiwa
mengenaskan itu tak boleh terulang lagi. Apa pula terhadap diri seorang dara yang
bersuara bidadari ini. Dia akan berusaha menghalau bahaya itu.
Langkah-langkah kecil dan ringan terdengar, disusul suara bening. "Siocia, ini minuman
susu madu yang kau pesan, dan ini pengganti saputangan sutera......."
"A Man, kau letakkan saja di atas meja itu kemudian kau pergilah bersama semua temanmu
tinggalkan aku di sini...."
"Tapi Siocia (nona), toa-nio (nyonya besar) akan marah kalau saya dan teman-teman tidak
menjaga dan melayani Nona di sini......."
"A Man, aku bukan anak kecil lagi yang harus dijaga setiap waktu. Aku mau berlatih
pedang, apakah kau bermaksud hendak mencuri lihat?"
"Ah....... mana berani....... mana berani, Nona."
"Nah, lebih baik kau lekas pergi keluar dari taman ini. Lebih berguna kalau kau dan teman-
temanmu ikut mencari dua orang asing yang katanya telah memasuki pulau dan membunuh
banyak ular. Kalau bertemu dengan mereka yang tentu lihai, kau dan teman-temanmu bisa
mencoba semua kepandaian kalian. Apakah percuma saja kalian selama ini dilatih ilmu
silat? Hayo, keluarlah dari sini, lekas!"
Terdengar para pelayan itu pergi sambil tertawa-tawa. Ternyata ada lima orang pelayan
wanita dan agaknya yang bernama A Man itu adalah pelayan kepala atau yang paling
disayang oleh nona bidadari, yang bernama Hui Kauw ini. Kun Hong mendengarkan semua
itu dengan kagum. Makin indah suara nona ini ketika bercakap-cakap dengan para pelayan.
Malah ucapan paling akhir itu mengandung sendau gurau yang halus. Alangkah jauh
bedanya dengan Loan Ki atau Cui Bi. Loan Ki dan mendiang Cui Bi, adalah gadis-gadis yang
lincah jenaka, gembira dan bebas, andaikata kembang adalah kembang mawar hutan yang
tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan tidak takut akan angin ribut dan selalu berseri
namun siap melukai siapa pun yang ingin merabanya dengan duri-duri meruncing. Adapun
dara bersuara bidadari ini yang tadi oleh ibunya disebut Hui Kauw, adalah seorang dara
yang lemah lembut, halus gerak-geriknya, halus pula tutur sapanya, bagaikan setangkai
bunga seruni yang indah jelita, kecantikannya menenteramkan hati, suaranya bagai musik
surga mengamankan jiwa.
Kemudian Kun Hong mendengar desir angin permainan pedang. Mula-mula angin sambaran
itu lambat-lambat juga perlahan saja, tanda bahwa pemainnya belum mahir benar dan
tenaganya kecil. Kun Hong mmengerutkan keningnya. Gadis bersuara bidadari ini kalau
dalam hal ilmu pedang jauh di bawah tingkat Loan Ki, apalagi tingkat Cui Bi. Akan tetapi
hawa pukulan pedangnya benar-benar aneh merupakan garis lingkaran-lingkaran.
Permainan pedang dengan cara membentuk lingkaran-lingkaran seperti itu memang banyak
dalam kalangan ilmu pedang tinggi, akan tetapi lingkaran ini biasanya terus menjurus ke
arah lingkaran lain yang sejalan atau berubah menjadi tusukan, bacokan miring, bacokan
lurus dan lain cara penyerangan lagi. Anehnya, gerakan pedang dara bersuara bidadari ini
lingkarannya berubah-ubah menjadi lingkaran yang bertentangan, kadang-kadang berputar
dari kanan, kadang-kadang dari kiri. Cara bermain pedang seperti ini, mana bisa
dipergunakan untuk bertempur, pikir Kun Hong heran.
Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya dan wajahnya sampai berkerut-merut karena dia
mencurahkan seluruh perhatiannya mempergunakan pendengarannya yang mengikuti desir
angin pedang. Makin lama mukanya berubah makin merah ketika dia mengikuti terus
permainan pedang itu. Gerakan yang tadinya membayangkan kecanggungan, kekakuan dan
kelemahan itu lambat laun berubah, bagaikan gelombang samudera yang sedang pasang,
tidak kentara perubahannya makin lama makin sigap, makin licin, makin kuat. Lingkaran-
lingkaran membesar, meluas, dan masih saja mengandung pertentangan, yaitu lingkaran-
lingkaran yang membalik gerakannya. Kun Hong menjadi bingung dan malu kepada diri
sendiri. Kiranya dia tadi salah duga dan baru kali ini pendengarannya menipunya, baru kali
ini pendengarannya kalah "awas" oleh sepasang mata. Kiranya dara bersuara bidadari ini
memiliki ilmu pedang yang benar-benar luar biasa dan juga tinggi sekali tingkatnya, malah
kini dia dapat mendengar betapa tenaga Iweekang yang terkandung dalam gerakan-gerakan
itu amat dalam, sukar diukur dan ilmu pedang itu sendiri memiliki gerakan lingkaran yang
penuh rahasia!
"Siuuuttt....... cratt!" Sebatang pedang menancap pada pohon di depan Kun Hong, batang
pohon yang menutupi dan menyembunyikan tubuh pemuda buta ini. Kun Hong kaget sekali.
Apakah nona itu melihatnya dan sengaja menakut-nakutinya dengan melemparkan pedang
pada batang pohon itu? Dia bersikap waspada, akan tetapi tidak bergerak ke luar dari
tempat sembunyinya. Dia merasa malu sekali dan sedang memutar otaknya bagaimana dia
akan menjawab nanti kalau ditanya tentang kehadirannya di taman orang dan "mengintai"
dengan telinganya tanpa ijin pemilik taman.
Langkah kaki yang ringan dan lesu mendekati pohon. Hidung Kun Hong kembang-kempis.
Keharuman yang sedap dan aneh mengalir memasuki lubang hidungnya, bau yang luar biasa
harumnya seperti....... seperti apakah gerangan?
Tidak ada bunga yang seharum ini, harum yang tidak memuakkan, tidak keras, seperti
harum bunga mawar? Tidak, lain lagi. Seperti harum minyak wangi dan dupa? Juga bukan,
sungguhpun memiliki daya penenteram rasa seperti keharuman dupa. Apakah bau cendana?
Juga bukan, cendana terlalu wangi sehingga memusingkan kepala. Tiba-tiba wajah Kun
Hong tersenyum berseri. Inikah bau sedap seperti bau anak kecil? Ya, pernah dalam
perantauannya dia dimintai tolong orang supaya mengobati anak-anak dan seperti inilah
anak bayi itu baunya. Sedap dan mengamankan hati!
Kata-kata dalam nyanyian Kun Hong selalu berbeda, disesuaikan dengan keadaan dan
perasaannya di saat itu, namun selalu didahului dan diakhiri dengan kata-kata "wahai
kasih, aku di sini............!"
Hal ini adalah karena dalam setiap nyanyiannya, pikirannya selalu melayang dan terkenang
kepada Cui Bi, kekasihnya yang telah tiada. Baginya, sinar matahari, kicau burung, desir
angin, dendang air sungai, harum bunga dan rumput, semua itu adalah pengganti diri Ciu Bi
baginya! Sebetulnya pada saat itu dia merasa lapar sekali, akan tetapi setelah berjalan
setengah hari lebih belum juga dia bertemu orang atau dusun, maka terpaksa dia menahan
lapar dan bernyanyi-nyanyi.
"Wahai kasih aku di sini.............! Dalam perjalanan nan sunyi...................."
Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya seperti tak disengaja, akan tetapi sebetulnya dia
mengelak sambaran sebuah benda yang menyambar kepalanya dari atas. Plok! Benda itu
jatuh ke tanah dan pecah. Kiranya sebutir buah apel masak yang menyambarnya tadi, dari
atas pohon di pinggir jalan. Tak mungkin buah masak jatuh seperti itu cepatnya, pasti
disambitkan orang, pikir Kun Hong. Dia menghentikan langkahnya dan dengan telinga
memperhatikan ke atas pohon.
"Perutku memang amat lapar dan bau buah masak itu sedap benar. Kuminta belas kasihan
sahabat yang bermata untuk memberi beberapa butir kepadaku," akhirnya dia berkata
sambil mendongak ke atas.
"Hik, hik!" terdengar suara wanita, suara ketawa merdu yang membuat Kun Hong
mengerutkan keningnya. Serasa pernah dia mendengar suara ketawa ini. Lalu tubuh orang
itu dengan ringannya melayang dari atas pohon, turun di depannya tanpa mengeluarkan
banyak suara gaduh. Ternyata ginkang (ilmu meringankan tubuh) orang ini tinggi juga.
Kembali ada benda-benda melayang ke arah Kun Hong. Pemuda buta ini menggunakan
kedua tangannya menangkap dan ternyata buah-buah yang masak dan harum baunya
berada di tangannya. Dia tersenyum girang, lalu makan buah yang manis dan sedap itu.
Dengan mulut penuh daging buah dia berkata. "Terima kasih...... terima kasih........."
sambil membungkuk-bungkuk ke depan, ke arah pemberi buah.
"Siapa sih yang kau rindukan sepanjang jalan itu? Ingin benar aku tahu, si genit puteri Hui-
hou-pangcu ataukah si janda muda tak tahu malu?"
Kun Hong tersedak, cepat batuk-batuk untuk mencegah makanan memasuki jalan
pernapasannya. Kiranya wanita ini adalah Bi-yan-cu, gadis lincah yang mengaku puteri Sin-
kiam-eng Tan Beng Kui!
"Eh, kiranya kau........... Bi-yan-cu, Nona? Ah, sambitanmu tadi membikin kaget orang
saja..............."
Sungguh sama sekali di luar dugaannya, ucapannya ini membuat gadis itu tiba-tiba menjadi
marah! Gadis ini membanting-banting kakinya dan berkata, suaranya penuh kejengkelan.
"Kalau lengan kananku yang terkutuk ini tidak begini nyeri, tak mungkin sambitanku tidak
mengenai kepala seorang buta! Aku tidak biasa menyambit dengan tangan kiri!"
Kun Hong tersenyum, diam-diam merasa aneh dengan watak gadis ini, akan tetapi dia tidak
menjawab, melainkan menghabiskan dua butir buah dengan lahap dan enaknya.
Kediaman kembali membangkitkan amarah gadis itu, terbukti dengan suara nya yang
nyaring merdu penuh kejengkelan, "Ih, orang macam apa kau ini, tidak menjawab omongan
orang hanya makan saja, tidak ingat dari siapa kau menerima buah itu!"
"Aku sudah bilang terima kasih tadi," jawab Kun Hong tenang, memasukkan sisa terakhir
buah itu ke dalam mulut.
"Siapa butuh terima kasihmu? Yang kubutuhkan sekarang jawabanmu."
"Jawaban apa?"
"Siapa yang kau rindukan sepanjang jalan, si genit puteri Hui-houw pangcu ataukah si janda
muda?"
"Bagaimana kau tahu tentang janda itu?"
"Cih, kau kira aku buta? Tentu saja aku tahu, hemm, siapa tidak melihat kau bermalam di
rumahnya, menolongnya mati-matian dan siapa pula tidak melihat adegan sandiwara mesra
di perempatan jalan tadi pagi? Hi-hik, semua ditinggalkan, lalu di jalan nyanyi-nyanyi
seorang diri penuh rindu. Lucu benar kau!" Suara gadis itu penuh ejekan dan muka Kun
Hong menjadi merah. Namun dia tersenyum dan diam-diam dia heran sekali karena benar-
benar sukar untuk dapat menyelami hati dan watak seorang gadis seperti ini. Dia tidak
merasa sakit hati mendengar gadis itu bicara tentang buta, karena dari suaranya dia
maklum bahwa gadis itu tidak sengaja hendak menghina atau menyakiti hatinya.
"Aku tidak merindukan siapa-siapa, tidak mereka berdua."
"Habis, siapa itu kasih?" Lalu dengan suara keras menggemaskan ia meniru suara Kun Hong
bernyanyi tadi, "Wahai kasih, aku di sini..............!"
Kun Hong hanya tersenyum. "Kau benar-benar hebat, tahu segalanya. Masih begini muda,
pandai menyelidiki keadaan orang lain. Hai, adik nakal, kenapa kau semenjak kemarin
terus mengikuti aku?"
"Ih, ngawur! Dua kali ngawur! Pertama-tama, bagaimana kau berani memanggil aku adik,
padahal aku jauh lebih tua daripadamu."
"Tak mungkin! Usiamu belum ada dua puluh tahun!"
"Ih, ngawurnya! Kau tidak bisa melihat aku, mana tahu aku tua atau muda? Umurku sudah
dua kali umurmu, tahu?"
Kun Hong tertawa. Biarpun menyinggung-nyinggung kebutaannya, namun jelas bahwa dara
remaja ini bukan bermaksud menyakiti hati, melainkan bermaksud mempermainkannya.
Hal ini dapat dia tangkap jelas pada suara gadis itu. Hemm, seorang dara remaja yang
biasa dimanjakan, keras hati, keras kepala, keras segala-galanya. Tapi belum tentu jahat,
buktinya pernah turun tangan menolongnya ketika dia dikeroyok.
"Kau bocah nakal! Biarpun mataku buta tak dapat melihatmu, aku berani bertaruh potong
kepala bahwa usiamu belum ada dua puluh tahun dan bahwa kau seorang dara lincah yang
nakal, cantik jelita, dan manja!"
"Idihhh, ngawur lagi. Bagaimana kau bisa katakan aku cantik jelita? Dasar laki-laki mata
keranjang kau ........... eh, tak bermata? mana bisa mata keranjang? Kau.......... kau
hidung belang, buktinya setiap bertemu wanita lalu memuji dan main gila seperti yang kau
lakukan dengan puteri Hui-hou-pangcu dan janda muda."
"Bohong! Fitnah belaka itu!"
"Bohong apa? Fitnah apa? Hayo kau sangkal, bukankah puteri Lauw-pangcu yang genit itu
minta kau memijatinya waktu malam? Hi-hik, biar matamu buta, apakah jari-jari tanganmu
juga buta? Dan janda itu, kau bermalam di gubuknya, kau menolongnya, kau........
sudahlah, kau menjemukan!"
Kun Hong makin geli. Anak ini benar-benar manja. Bilang menjemukan tapi malah
mengajak dia bercakap-cakap dan tidak mau pergi dari situ.
"Yah, sudahlah. Aku ngawur, tapi baru satu kali. Yang ke dua kalinya lagi ngawur dalam hal
apa?"
"Kau bilang aku mengikutimu sejak kemarin. Cih, siapa sudi mengikutimu? Apa ingin
menontonmu? Kalau orang gila, masih boleh dan menarik ditonton, tapi orang buta, apa sih
menariknya untuk ditonton? Paling-paling hanya menimbulkan kasihan
dihati..................."
"Wah, kau berkasihan kepadaku, Bibi tua? Aku yang muda menghaturkan terima kasih atas
belas kasihanmu itu dan ......."
"Gila! Kau buta gelap! Kau ngawur, kau menghina, ya? Panggil bibi tua, setan .............!"
Mendengar gadis itu mencak-mencak disebut bibi tua, Kun Hong tertawa bergelak, "Ha-ha-
ha-ha-ha!"
"Setan alas, masih tertawa lagi! Kau minta dihajar barangkali."
"Ampun, Bibi tua. Keponakanmu ini takkan berani nakal lagi. Kau tadi bilang bahwa kau
dua kali lebih tua daripadaku, bukankah sepatutnya kalau aku menyebutmu bibi tua?
Kenapa marah-marah seperti kebakaran jenggot?"
"Gila lagi. Aku mana berjenggot?"
Kun Hong tertawa makin geli mendengar ini dan gadis itu pun tertawa kini. "Betul juga kau,
aku yang salah. Sudah, jangan sebut aku bibi tua lagi, bisa menangis aku!"
"Nona yang lucu, coba kau katakan, kalau kau tidak mengikuti aku, biarpun sesungguhnya
aku tidak tahu dan tidak menduga, habis bagaimana kau bisa tahu tentang janda dan
segala yang kualami itu?"
"Aku mengikuti rombongan itu untuk mengambil ini." Lupa akan kebutaan Kun Hong, gadis
itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam buntalannya, dan benda itu adalah...........
mahkota yang tadinya sudah dirampas oleh Tiat-jiu Souw Ki. Biarpun Kun Hong tak dapat
melihatnya, namun dia mendengar angin gerakan gadis itu yang mengeluarkan sesuatu dari
buntalan, dia dapat menduga benda apa itu.
Kun Hong terkejut juga, karena hal ini benar-benar tak pernah disangkanya.
"Hah, kau sudah merampasnya kembali?"
"Tentu saja! Setelah kau main gila dengan janda itu, aku mengejar mereka dan apa artinya
mereka bagiku?" Suaranya bernada sombong. "Kemarin aku kalah karena mereka
mengeroyokku, puluhan, malah ratusan orang banyaknya! Dan sebenarnya kemarin itupun
aku tidak akan kalah kalau saja............"
"Kalau apa?" Kun Hong tersenyum, diam-diam geli hatinya. Gadis ini benar-benar lincah dan
lucu dan bagaikan penambah cahaya matahari mendatangkan perasaan gembira,
menularkan kepadanya silat gembira dan tiba-tiba saja Kun Hong kehilangan watak
pendiamnya dan jadi bersendau-gurau dengan gadis ini!
"Kalau saja aku tidak muak oleh bau keringat mereka!"
"Bau keringat? Ho-ho, kok aneh amat!"
"Aneh apanya? Ratusan orang laki-laki kasar tak pernah mandi mengeroyokku, keringat
mereka bercucuran, baunya melebihi biang cuka, membuat aku sesak bernapas. Mau
muntah rasanya, mana mungkin bertempur dengan baik!"
Kun Hong tak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawalah dia terbahak-bahak tidak
tahu bahwa gadis itu memandangnya dengan cemberut karena merasa ditertawai. Selama
tiga tahun ini agaknya baru kali ini dia dapat tertawa seenak ini. Tapi ketika dia teringat
akan kekejaman gadis ini merobohkan lawan-lawannya tiba-tiba ketawanya terhenti,
keningnya berkerut ketika dia bertanya,
"Dan kau bunuh mereka semua dua puluh satu orang itu?"
"Hemmm, lenganku yang terkutuk inilah yang menjadi penghalang! Aku hanya dapat
merampas mahkota, merobohkan tosu bau dan anjing kaisar dengan melukai mereka.
Sayang lenganku begini sakit, kalau tidak, hemmmm........... mereka semua akan menjadi
setan tanpa kepala!"
"Kau ganas sekali." Suara Kun Hong dingin.
"Apa, ganas? Mereka itu orang-orang jahat, membunuhi orang-orang tak berdaya dan tak
berdosa, merekalah yang ganas. Aku membasmi orang-orang jahat kau sebut ganas? Kalau
kau membiarkan mereka melakukan kejahatan, maka kaulah yang ganas!"
Kun Hong merasa kalah berdebat. Pengetahuan gadis ini masih dangkal sekali, mana tahu
tentang perkara yang menyinggung hal pelik ini? "Sudahlah, sekarang katakan, setelah kau
berhasil merampas mahkota, kau lalu mengikuti aku dan bahkan menyusul, apa
kehendakmu?"
"Wah, banyak sekali! Dengar baik-baik. Kau telah menghinaku tiga kali dan kau hutang
penjelasan kepadaku sebanyak dua kali."
"Waduh, berat kalau begitu perkaranya. Hemm, coba kau sebutkan satu-satu apa yang kau
maksudkan semua itu."
"Pertama, kau tadinya menolongku, itu tanda kau suka kepadaku, tapi ternyata mau main
gila, memijati tubuh perempuan genit itu, ini penghinaan nomor satu. Penghinaan nomor
dua, di depan mataku kau berani pula main gila dengan janda itu. Penghinaan nomor tiga,
kau pura-pura berkorban untukku, menukar aku yang tertawan dengan dirimu sendiri,
kiranya kau hanya main-main tidak sungguh-sungguh berkorban lalu melepaskan diri
dengan mudah!"
Kembali Kun Hong tertawa. Bocah ini lucu benar. Dia tadi sudah khawatir bahwa dia
menghina orang, tidak tahunya urusan begitu dianggap penghinaan!
"Wah-wah, berat! Lalu hutang penyelesaian itu bagaimana?"
"Pertama, kau harus jelaskan kepadaku mengapa kau menolongku, Ke dua kalinya, apa
maksudmu menyebut-nyebut nama Tan Beng San dan apa hubunganmu dengan manusia
itu!"
Ucapan terakhir ini mengejutkan hati Kun Hong. Tapi dia bersabar lalu menjawab,
"Kujawab satu demi satu. Tiga penghinaan itu hanya dugaanmu belaka. Aku tidak main gila
pada siapapun juga. Tidak pernah memijati puteri Lauw-pangcu biarpun ia secara tak tahu
malu menyebut-nyebutnya. Juga tidak main gila dengan janda itu, kau harus tahu bahwa ia
seorang yang berhati putih bersih dan bermartabat tinggi. Ke tiga kalinya, aku memang
menggantikan kau karena tak ingin melihat kau celaka di tangan mereka. Nah, sekarang
tentang penjelasan. Tentu saja aku menolongmu, andaikata bukan kau yang terancam
bahaya, akupun pasti akan menolong siapa saja yang menghadapi bahaya maut. Tentang
diri Tan Beng San taihiap, dia itu jelas adalah pamanmu kalau memang betul kau puteri
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Sedangkan hubunganku dengan beliau, beliau
adalah.............. guruku. Nah puas?"
"Tidak puas................ tidak puas............. omongan orang lelaki mana bisa dipercaya?"
Gadis itu diam sejenak, memandang tajam kemudian tiba-tiba ia meloncat ke atas dan
"sratt" pedangnya sudah dicabutnya.
"Tapi aku puas! Aku benar-benar puas!" katanya lagi, kini nada suaranya gembira sekali.
Kun Hong sampai menjadi bingung dan terpaksa harus memasang telinga baik-baik untuk
dapat menangkap getaran suara itu dan untuk menyelami isi hati gadis yang aneh ini.
"Kau tidak puas dan kau puas? Bagaimana ini?"
"Aku tidak puas karena kata-katamu tak dapat dipercaya. Siapa berani tanggung bahwa kau
tidak bohong? Tapi aku puas karena kau ternyata murid Tan Beng San. Hemmm, dengan
gurunya belum juga aku dapat kesempatan mengadu kepandaian, sekarang mencoba
muridnya juga sudah cukup memuaskan. Orang buta, bersiaplah menghadapi pedangku!"
Bukan main mendongkolnya hati Kun Hong. Gadis manja ini benar-benar keterlaluan. Salah
orang tuanya yang terlalu memanjakannya sehingga gadis ini mempunyai watak yang
takabur dan tinggi hati, merasa diri paling pintar dan paling lihai. Dia segera bangkit
perlahan dan dengan senyum tanpa meninggalkan bibirnya dia berkata,
"Ah, kiranya kau membenci dan memusuhi pamanmu sendiri. Adik kecil, kau menantang
aku? Apa kau lupa bahwa aku hanya seorang buta yang tak dapat melihat? Masa seorang
buta ditantang bertempur?"
"Kau benar buta, apa bedanya? Biarpun buta, kau lebih pandai daripada yang tidak buta,
siapa tidak tahu hal ini? Sebaliknya, akupun terluka di tangan kananku, gerakanku menjadi
kaku, rasanya sakit sekali. Jadi keadaan kita sudah seimbang, tak boleh kau bilang aku
menggunakan kebutaanmu untuk mencari kemenangan. Hayo, siap!"
Diam-diam ingin juga hati Kun Hong untuk menguji sampai di mana kepandaian gadis ini
yang begini besar hati dan besar kepala. Dia sudah tahu akan kelihaian Ilmu Pedang Sian-li-
kiam-hoat, bahkan dahulu pernah melihatnya sebelum dia buta. Bukankah kekasihnya
dahulu juga telah mewarisi ilmu pedang itu? Teringat akan kekasihnya ini makin besar
keinginan hatinya untuk menghadapi gadis ini memainkan Ilmu Pedang Sian-li-kiam-hoat.
Dia lalu melintangkan tongkatnya di depan dada dan berkata tenang.
"Aku sudah siap."
Akan tetapi gadis itu tidak segera mulai, melainkan berkata dulu dengan nada suara
angkuh. "Aku sudah dapat menduga bahwa di dalam tongkatmu itu tersembunyi senjata
yang ampuh, maka jangan nanti katakan aku menyerang lawan yang hanya bertongkat.
Nah, awas pedangku!"
Kun Hong tersenyum. Betapapun juga, gadis ini selain mempunyai keangkuhan, juga jujur
dan ada sifat "satria" dalam hatinya. Mendengar desir angin serangannya, Kun Hong cepat
menggerakkan tongkat menangkis, sengaja tidak mau menggunakan mata pedang Ang-
hong-kiam karena khawatir kalau merusak pedang lawan itu. Dari samping dia menangkis,
meminjam tenaga lawan karena maksudnya hanya hendak menguji tenaga. Dalam gebrakan
pertama ini dia sudah tahu bahwa gadis ini mengandalkan kepandaiannya kepada
kegesitannya. Ginkang atau ilmunya meringankan tubuh memang sudah boleh juga, hanya
kalah setingkat kalau dibandingkan dengah Cui Bi, mendiang kekasihnya.
Akan tetapi tenaga Iweekangnya ternyata masih jauh daripada cukup. Dia melayani semua
serangan gadis itu dengan tenang mengimbangi tenaga dan kecepatannya. Gembira hatinya
ketika mendapat kenyataan bahwa Sian-li-kiam-hoat yang dimainkan gadis ini adalah ilmu
pedang yang tulen. Gerakan-gerakannya begitu halus dan lemas, keindahannya dapat dia
rasakan dari desiran anginnya, dan di dalam khayalnya Kun Hong seakan-akan melihat
kekasihnya sendiri bergerak menari pedang. Hatinya terharu bukan main dan dalam
kegembiraannya dia sampai lupa bahwa dia tadi hendak menguji gadis itu. Dia selalu
mengimbangi gadis itu, dan dia tidak memberi kesempatan kepada gadis itu untuk melukai
tubuhnya, juga dia tidak mau mengambil kesempatan untuk merobohkannya.
Dua ratus jurus telah lewat dan tiba-tiba gadis itu menghentikan gerakannya, malah lalu
tidak mau menyerang lagi. Kun Hong juga berhenti bersilat, berdiri tegak dengan muka
pucat karena baru sekarang dia teringat bahwa dia sama sekali tidak sedang menari-nari
dengan kekasihnya. Dia mendengar penuh perhatian dan alangkah kagetnya ketika
mendengar gadis itu yang kini sudah duduk di atas tanah terisak menangis!
Dia pun cepat berjongkok. Permainan pedang gadis itu yang sama benar dengan mendiang
Cui Bi mendatangkan rasa simpati besar dan di dalam hatinya timbul rasa sayang kepada
dara lincah ini.
"Nona, kau........... kenapa kau menangis? Kau tidak terluka, juga tidak kalah............"
"............ tidak kalah........... ! Memang tidak kalah........... hu-hu .......... tapi juga
tidak menang....... u-hu-huu .......!"
Tangisnya makin menjadi sehingga Kun Hong menjadi bingung sekali. Beberapa kali dia
mengulur tangan hendak menghibur, tapi ditariknya kembali. Jantungnya serasa copot dan
seluruh tubuhnya serasa lemas mendengar tangis ini. Aneh bin ajaib, mengapa tangis gadis
ini sama dengan tangis Cui Bi? Isaknya sama, suara sedu-sedannya juga senada.
"Jangan........... jangan menangis, Nona........... biarlah aku mengaku kalah kalau kau
menghendaki begitu."
"Siapa sudi berlaku serendah itu? Hah, kalah sih bukan soal!" tiba-tiba tangisnya menghilang
dan suaranya kembali nyaring. Benar-benar gadis aneh ia sehingga Kun Hong mendengarkan
sambil terlongong. "Akan tetapi, siapa tidak mendongkol? Sampai hampir copot rasanya
lengan kananku yang terkutuk ini, sampai sakit bukan main dan kupaksa-paksa tadi, akan
tetapi tetap saja aku tidak mampu mengalahkan kau seorang buta! Baru kau muridnya yang
buta saja begini hebat, apalagi gurunya yang tidak buta. Ah, aku berdebat dengan ayah,
aku tidak menerima kata-kata ayah bahwa aku takkan mungkin dapat mengalahkan dia.
Dan ternyata aku kalah bertaruh. Hu-hu-huu...........!" Dia menangis lagi tersedu-sedu
seperti anak kecil minta permen ditolak.
"Tan Beng San taihiap adalah seorang pendekar besar, Nona dan kau seharusnya bangga
karena dia itu pamanmu. Dia tak mungkin mau memusuhimu, selain lihai dan sakti, juga
dia memiliki hati emas, pribudinya luhur dan dia seorang satria sejati."
Tiba-tiba tangis itu terhenti dan suaranya marah lagi. "Kalau hatiku berbulu, ya? Pribudiku
rendah dan aku bukan bandingnya sama sekali. Hatinya emas tapi hatiku tembaga.
Begitukah? Pantas saja kau tidak perduli kepada orang rendah ini, biar tubuh hampir kaku
karena........... lengan terkutuk ini ........... aduh."
Baru sekarang gadis itu mengeluh dengan suara rintihan lirih. Kun Hong terkejut. Dia dapat
menduga tadi bahwa lengan kanan gadis ini terluka, gerakannya pun kaku, akan tetapi
mendapat kenyataan bahwa gadis ini masih kuat mainkan pedangnya sebegitu lama, tentu
lukanya tidak hebat. Kini dari suara gadis ini dia terkejut karena ada tanda-tanda bahwa
gadis itu terserang demam panas akibat lukanya.
"Berikan lenganmu, biar kuperiksa!" katanya. Dan sebelum gadis itu sempat menjawab atau
menolak, dia sudah dapat menangkap pergelangan tangannya dan meneliti detik darahnya.
Setelah memeriksa beberapa menit, tiba-tiba muka Kun Hong menjadi merah sekali,
melepaskan tangan itu dan berseru, "Celaka.......! Mana mungkin? Ahh..........." dan dia
duduk termenung, beberapa kali menggeleng kepala.
"Bagaimana? Ada apa?" Gadis itu lenyap keangkuhannya dan memandang penuh
kegelisahan. "Jangan bilang tanganku tak dapat sembuh dan harus dipotong."
"Bukan demikian, tapi cara pengobatannya yang sukar kulakukan ..........."
"Sukar bagaimana? Hayo katakan!" Gadis itu tak sabar lagi.
"Harus memperbaiki jalan darah yan-goat-hiat, mana mungkin.......?" Jalan darah itu
letaknya di bawah ketiak, bagaimana dia dapat meraba bagian tubuh ini?
"Kenapa tidak mungkin? Aneh benar kau ini, apa kau kira aku tidak mempunyai jalan darah
yan-goat-hiat? Bukankah ini di sini?" Gadis itu menggunakan tangan kiri meraba sebelah
bawah pangkal lengannya, tapi ia segera menjerit perlahan, "........... aduuuhhh...........!"
"Nah, apa kataku, tentu sakit, Nona. Kau terkena pukulan pada pangkal lenganmu. Berkat
hawa murni dan Iweekang dalam tubuh, kau dapat menahannya, tidak ada tulang yang
patah dan kau masih dapat melakukan pertempuran merampas mahkota, benar-benar
hebat. Akan tetapi tanpa kau ketahui, jalan darah itu menjadi buntu oleh gumpalan darah
matang dan dapat menimbulkan keracunan."
"Wah, perlu apa kau berpidato? Aku tidak ingin menjadi tabib, tidak mau belajar
mengobati. Lebih baik kau lekas mengobatinya."
"........... bagaimana mungkin..........?"
"Aih-aiihh, bagaimana sih orang ini? Mengapa pakai bagaimana mungkin segala? Pendeknya,
kau becus tidak mengobatinya?"
"Tentu saja bisa ..............."
"Nah, sudah jangan banyak rewel, lekas obati!" Suara nona itu kehabisan sabar.
"............. ya tapi .......... tapi .......... cara mengobatinya tidak hanya dapat dengan
totokan biasa, Nona. Harus diurut dan dihancurkan darah yang berkumpul di situ agar
terbawa mengalir dan ..........."
"Aduh-aduuuuuhh, cerewetnya. Kalau harus diurut ya urutlah, kenapa sih ceriwis amat?"
"Tapi........... kau tahu sendiri yan-goat-hiat terdapat di ......... ketiak ......."
"Aduh kemaki (sombong) kau, ya? Kalau di ketiak kenapa? Apa kau kira ketiakku terlalu.
kotor? Cih, ketiakmu lebih kotor, dekil, tak pernah kau gosok kalau mandi!" Nona itu
suaranya marah sekali.
Kun Hong menarik napas panjang, tak disadarinya lagi dia menggaruk-garuk belakang
telinganya, benar-benar kewalahan dan terdesak. Celaka, susahnya bicara dengan gadis
liar ini, pikirnya. Gadis jujur, agaknya tidak tahu apa-apa dan masih bersih betul
pikirannya akan perhubungan antara pria dan wanita, dan hal ini mungkin terpengaruh oleh
cara hidupnya sebagai seorang gadis perantau.
"Eh, malah termenung, garuk-garuk kepala segala lagi! He, orang buta, apakah kau
memang tidak sudi menolongku?"
"........... bukan sekali-kali, Aku suka menolongmu, Nona, suka sekali. Tapi....."
"........... tapi apalagi?"
"Eh, maaf........... bagian yang diobati itu harus........... harus........... tidak tertutup
..........."
Hening sejenak. Biarpun wataknya polos, agaknya kalau harus memperlihatkan ketiak
tanpa ditutup baju, membuat gadis itu menjadi merah sekali mukanya dan bingung.
Dengan kening berkerut ia memandang Kun Hong penuh selidik.
Apakah dia sengaja hendak mempermain-kan aku, pikirnya. Apakah dia seorang yang
kurang ajar? Akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa orang di depannya ini adalah seorang
buta.
"He, orang aneh. Apakah matamu betul-betul buta?"
Melengak Kun Hong mendengar pertanyaan ini. Ia tidak bermaksud menghina, suaranya
jujur dan pertanyaan itu sungguh-sungguh.
"Tentu saja, masa ada buta pura-pura?"
"Sama sekali tak dapat melihat? Sedikit pun tak dapat melihat?"
Kun Hong tersinggung juga, dia menghela napas dan menjawab, "Bagiku, siang dan malam
sama gelapnya..........."
Namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh suara menyedihkan ini, tidak menjadi
terharu malah segera berkata, "Kalau begitu, apa salahnya kubuka baju bagian yang
diobati? Hayo lekas kau kerjakan. Nih, sudah kubuka!"
Berdebar juga jantung Kun Hong, tapi segera dia menindas perasaannya karena dia harus
mengakui bahwa gadis ini benar-benar masih amat kekanak-kanakan sifatnya, gadis kasar,
jujur, dan di dalam pikirannya masih bersih daripada hal yang bukan-bukan. Oleh karena
itu dia pun lalu menangkap lengan kanan gadis itu, terus jari-jarinya bergerak ke atas.
Lengan yang kecil bulat, berisi, dengan kulit yang halus seperti sutera.
"....... aduh .......!" jerit gadis itu ketika ototnya di bawah pangkal lengan terpegang.
"Hemmm....... lebih hebat daripada yang kuduga. Kalau terus kuurut, kau akan banyak
menderita kesakitan, Nona. Biarlah kubantu dengan tenaga Iweekang agar kumpulan darah
itu agak membuyar karena panas. Maaf, kendurkan tenagamu sebentar." Kun Hong lalu
membuka tangannya dan menempelkan telapak tangannya di bawah pangkal lengan atau di
ketiak kanan gadis itu. Dia mengerahkan tenaga sakti dari tubuhnya, disalurkan melalui
tangan dan gadis itu dengan penuh kekaguman memandang ketika merasa betapa hawa
panas sekali keluar dari telapak tangan si buta menjalar ke dalam tubuhnya melalui ketiak.
Tiba-tiba ia menggigil karena hawa panas itu berubah menjadi dingin sekali sampai
membuat ia menggigil.
"Wah....... gila......." bibir Kun Hong berbisik dan gadis itu merasa betapa hawa itu
berubah panas kembali.
"Apa yang gila? Siapa?" tak tertahan ia bertanya mendengar bisikan tadi. Akan tetapi ia
tidak marah melihat wajah Kun Hong berkeringat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang
mengerahkan Iweekang, maka tak menjawab juga tidak mengapa. Tentu saja ia tak pernah
menduga bahwa Kun Hong tadi memaki dirinya sendiri. Ketika dia menyalurkan tenaga
Iweekang tadi, pikirannya melayang dan sentuhan tangannya dengan kulit halus hangat itu
mendatangkan perasaan yang bukan-bukan dan yang mengacaukan pengerahan tenaga
saktinya sehingga, akibatnya gadis itu menggigil kedinginan. Dia memaki diri sendiri,
mengusir semua perasaan, mengumpulkan panca indera dan mengerahkan tenaga.
Sepuluh menit kemudian dia melepaskan tangannya, lalu mulailah dia mengurut otot dan
jalan darah yang terluka. Mula-mula gadis itu merintih perlahan karena memang masih
terasa sakit. Akan tetapi lambat laun setelah darah mengental itu cair dan mengalir, rasa
nyeri berubah nikmat. Akhirnya tiba-tiba ia tertawa cekikikan dan tubuhnya menggeliat-
geliat. Kun Hong terheran dan bertanya,
"Kenapa, Nona ...........?"
"Aiiihhh....... hi-hik, geli amat....... jari-jarimu menggelitik ..........."
Cepat-cepat Kun Hong menarik tangannya dan wajahnya kembali menjadi panas. Merah
sekali wajahnya, sampai ke telinga-telinganya. "Kalau, sudah merasa geli, itu berarti sudah
sembuh, Nona." Diam-diam dia juga merasa geli hatinya karena memang sikap nona ini
benar-benar lucu, jujur dan kekanak-kanakan. Tanpa disadarinya timbullah rasa sayang
kepada nona ini.
Gadis itu mengenakan kembali bajunya, bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan lengan
kanannya, memukul beberapa jurus. Akhirnya ia berseru girang, "Bagus! Tidak terasa sakit
lagi, sembuh sama sekali. Kakak buta, aku adikmu yang bodoh takluk betul sekarang. Kau
hebat!" Gadis itu memegang tangan Kun Hong dan menari-nari berputaran. Sambil tertawa
Kun Hong terpaksa mengikutinya dan mengomel,
"Aih, kau benar-benar seorang adik yang nakal. Perut masih lapar kau suruh aku putar-
putar begini, bisa pusing tujuh keliling aku!"
"Waah, kakak buta yang baik, kau lapar? Tunggu sebentar di sini, ya? Duduklah di bawah
pohon, nah di sini ......." katanya sambil menuntun Kun Hong ke bawah pohon,
menyuruhnya duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah. "Aku takkan lama
dan kau akan kenyang nanti." Sebelum Kun Hong sempat mencegahnya, gadis itu sudah
melesat cepat sekali dan tidak terdengar lagi suaranya.
Belum ada setengah jam gadis itu pergi, ia sudah kembali lagi tertawa-tawa girang dan
kedua lengahnya penuh barang-barang. Sepanci nasi putih, semangkok besar masakan ang-
sio-hi, semangkok besar pula cah-udang dan semangkok lagi panggang daging ayam. Semua
masakan dan nasinya masih panas mengepulkan asap sedap. Mangkok-mang-kok terisi
masakan ini ia kempit dan bawa sedapat mungkin, malah tangannya masih menggenggam
sebuah guci arak, mangkok kosong dan supit!
"Hi-hi-hi, dasar untung kita bagus, Kakak buta! Nah, tolong nih, terima dulu guci arak dan
mangkok-mangkok kosong. Awas, turunkan dulu di atas tanah, masih banyak nih. Wah,
lenganku panas semua, itu sih, ang-sio-hinya miring mangkoknya ketika kubawa lari,
kuahnya tumpah sedikit ke lenganku!" Ribut-ribut gadis itu bicara dan Kun Hong terheran-
heran dari mana gadis itu memperoleh masakan sebanyak itu.
"Kan di sini tidak ada restoran besar. Dari mana kau memperoleh masakan mahal ini! Wah,
araknya pun bukan arak sembarangan nih, arak wangi dan sudah disimpan lama lagi. Eh,
supitnya ini begini halus, apakah bukan dari gading? Dari mana kau memperoleh semua ini?"
Kun Hong meraba sana meraba sini, kagum dan heran.
"Sudahlah, Kakakku yang baik. Kita makan dulu, sikat habis ini semua baru nanti bicara.
Kalau sampai dingin masakan-masakan ini sebelum masuk ke dalam perut kita, kan sayang!
Hayo makan, nih araknya untukmu sudah kusediakan!" Dengan cekatan dan terampil gadis
itu melayani Kun Hong makan. Ia sendiri pun makan, akan tetapi tiada hentinya ia
menggunakan sumpitnya untuk menjapitkan daging pilihan untuk Kun Hong, berkali-kali
mendesak supaya pemuda itu menambah lagi nasi dan araknya. Gembira sekali mereka,
apalagi Kun Hong. Masakan-masakan itu sungguh lezat, nasi pun putih dan pulen, araknya
tulen. Kegembiraan dan kelezatan masakan membuat mereka gembul dan menambah nafsu
makan sehingga sebentar saja, sampai seperempat jam, masakan dan arak benar-benar
telah disikat habis oleh keduanya!
Agaknya setelah kemasukan arak, gadis itu menjadi lebih gembira lagi, suara ketawanya
bebas lepas, sikapnya terbuka dan Kun Hong merasa lebih senang lagi dan rasa sayangnya
bertambah. Seorang keponakannya, yaitu Kui Li Eng, juga lincah jenaka, akan tetapi masih
kalah oleh gadis ini yang benar-benar masih bersih pikirannya. Sayangnya, agaknya anak ini
terlalu dimanja dan agaknya sejak kecil dipenuhi segala kehendaknya sehingga sekarang
pun ia selalu ingin kehendaknya dipenuhi, menjadi orang yang sifatnya "ingin menang
sendiri". Akan tetapi makin lama makin kelihatan bahwa pada dasarnya anak perempuan ini
tidak mempunyai watak yang ingin menang sendiri, malah amat jujur dan cukup memiliki
pertimbangan yang adil.
Kun Hong duduk bersandar batang pohon, terengah kekenyangan. Gadis itu duduk pula di
atas tanah, di depannya. Sampai lama gadis itu menatap wajah Kun Hong, melihat betapa
Kun Hong meraba-raba dengan tangan ketika hendak beralih duduk ke atas akar yang lebih
rata, meraba-raba pula batang pohon yang hendak disandarinya, kelihatan begitu tak
berdaya.
"Kakak buta, kau adalah seorang ahli dalam hal pengobatan. Kenapa matamu sendiri
sampai bisa menjadi buta? Apakah sebabnya matamu buta?"
Kali ini gadis itu bicara tanpa nada kekanak-kanakan atau bergurau, suaranya bersungguh-
sungguh.
Kun Hong terkejut mendengar pertanyaan ini, menghela napas dan menjawab, "Karena
salahku sendiri................"
"Hemm, apakah ada yang membikin buta? Katakanlah siapa orangnya, adikmu ini pasti akan
mencarinya dan membalas membutakan matanya!"
Kun Hong menggeleng kepala. Dia takkan merasa tersinggung kalau diejek orang tentang
kebutaannya, akan tetapi dia merasa sedih kalau orang mengingatkan dia akan sebab-
sebab kebutaan itu karena hal itu sama saja dengan memaksa dia mengenangkan Cui Bi.
"Aku sendiri yang membutakan kedua mataku."
Gadis itu meloncat ke atas, kaget sekali. "Aku tidak percaya! Masa ada orang membutakan
matanya sendiri, kecuali orang gila!"
"Memang aku gila, gila pada waktu itu." Kun Hong menangkap tangan gadis itu untuk
mencegahnya bicara soal ini lebih lanjut. "Adik yang baik, sudahlah, jangan kita bicara soal
sebab-sebab kebutaan mataku, maukah kau?"
Baru kali ini Kun Hong merasa betapa gadis itu terdiam dalam keharuan, akan tetapi hanya
sebentar karena segera terdengar lagi suaranya yang nyaring gembira. "Kakak buta,
sebetulnya kau siapakah? Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"
Kun Hong timbul kembali senyumnya. Sikap yang amat cepat dan mudah berubah dari gadis
ini benar-benar menggembirakan dan mudah menular, Terhadap seorang gadis seperti ini
tak perlu dia menyembunyikan diri.
"Namaku Kwa Kun Hong, Nona. Adapun tempat tinggalku, heemm........... untuk saat ini
yah di sini inilah! Dan kau sendiri, siapa namamu? Apakah cukup hanya Bi-yan-cu saja?"
"Kwa Kun Hong........... nama yang bagus. Eh, Kwa-twako (Kakak Kwa), bagaimana kau
bisa mengenal nama ayahku dan bagaimana kau bisa tahu pula bahwa ayahku adalah kakak
Tan Beng San ketua Thai-san-pai?"
"Tentu saja aku tahu. Aku mempunyai hubungan baik dengan keluarga Thai-san-pai, malah
pernah menerima pelajaran ilmu dari Tan Beng San taihiap, aku tahu bahwa ayahmu selain
kakaknya, juga menjadi suheng dari isteri beliau. Bukankah ayahmu itu murid pertama dari
mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?"
"Wah, kiranya pengetahuanmu luas, Twako. Aku mendengar tentang pertempuran hebat
pada pembukaan Thai-san-pai tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, apakah kau hadir
juga?"
Berdebar jantung Kun Hong. Teringat dia akan semua pengalamannya di puncak itu,
tentang Cui Bi apalagi. Dia termenung sejenak. Bagaimana dia tidak akan tahu tentang hal
itu? Dia sendiri berada di sana, malah dia mengambil bagian terpenting (baca Rajawali
Emas).
"Aku tahu....... aku hadir di sana......." Dia cepat menambah untuk menghilangkan. "Aku
bersama ayah ibuku....." Akan tetapi dia segera teringat bahwa tidak perlu dia menyebut-
nyebut ayah bundanya.
"Twako, siapa ayahmu? Tentu tokoh hebat......."
Sudah terlanjur bicara, Kun Hong tak dapat mundur lagi. "Ayahku adalah Kwa Tin Siong,
ketua Hoa-san-pai."
Gadis itu segera meloncat lagi ke atas. "Walah! Kiranya putera Hoa-san-ciang-bunjin (ketua
Hoa-san-pai)! Maaf....... maaf, ya, Twako? Kiranya kau seorang besar, keturunan jagoan,
putera seorang ketua Hoa-san-pai yang terkenal!"
"Hush, jangan melebih-lebihkan, malah kuminta, jangan kau menyebut-nyebut nama
keturunanku. Aku sudah menjadi seorang buta, miskin dan hidup sebatang-kara, aku tidak
suka nama keturunanku dibawa-bawa. Kau jangan menyebutku Kwa-twako lagi."
"Habis harus menyebut apa? Namamu Kwa Kun Hong....... hemm, baiknya kusebut Hong-ko
(kakak Hong) saja. Bagus, kan?"
Kembali jantung Kun Hong berdebar. Mendiang Cui Bi kekasihnya dahulu juga menyebutnya
Hong-ko, dan suara gadis ini begitu mirip suara Cui Bi, seakan Cui Bi belum mati dan kini
berada di sampingnya!
"Sesukamulah," dia mengusir kenangan yang mengganggu hatinya itu, "tapi kau sendiri
belum memperkenalkan namamu."
Gadis itu tertawa riang. "Hong-ko, namaku buruk sekali. Aku lebih suka dipanggil Bi-yan-
cu......." Nada suaranya manja.
Kun Hong juga tersenyum lebar. "Apa kulitmu hitam?"
"Siapa bilang hitam? Kulitku putih kuning, malah ayah bilang kulitku amat bagus dan sehat,
tidak seperti kulit gadis-gadis kota dan puteri-puteri istana yang pucat-pucat kekurangan
darah. Lihat lenganku ini....... eh, kau mana bisa lihat! Kenapa kau mengira kulitku hitam,
Hong-ko?" Biarpun matanya tak dapat melihat, Kun Hong dapat membayangkan betapa
gadis itu memandangnya dengan bibir yang mungil cemberut.
"Aku ingat bahwa burung walet (yan-cu) bulunya hitam, dan sepanjang ingatanku, tidak
ada burung walet yang cantik. Maka julukanmu Bi-yan-cu (Walet Cantik Jelita) amat tidak
cocok kalau kulitmu tidak sehitam bulu burung walet. Nah, kurasa betapa pun buruknya
namamu, tidak akan seburuk julukanmu."
"Wah, kau pandai mencela, Hong-ko. Awas, lain kali kuminta kau mencari julukan baru
untukku. Namaku sebetulnya adalah Tan Loan Ki. Nah buruk, kan? Seperti nama laki-laki."
"Tidak buruk. Nama Loan Ki manis benar, juga julukanmu itu sebenarnya sudah tepat,
mengingat bahwa kau memiliki gerakan yang lincah dan cepat seperti burung walet. Siauw-
poi (adik kecil), mulai sekarang aku akan menyebutmu Ki-moi (adik Ki), boleh kan?"
Tiba-tiba mereka berhenti bicara karena terdengar seruan orang dari jauh,
"Betina liar itu tentu takkan lari jauh!" terdengar suara seorang wanita yang serak.
"Hemm, kalau kutangkap ia, akan kujadikan bakso. Anak kurang ajar itu!" Sambung seorang
laki-laki yang suaranya besar.
Kun Hong mengerutkan keningnya. Otaknya yang cerdas segera menghubungkan sebutan
"betina liar" tadi dengan Loan Ki. "Ki-moi, kau tertawa mengejek! Siapa mereka dan
mengapa marah-marah?"
"Dasar pelit!" Gadis itu mengomel. "Kehilangan nasi dan masakan begitu saja mencak-
mencak seperti merak kehilangan ekor."
"Wah, jadi yang kita makan tadi ....." Kun Hong berseru kaget.
"Heh-heh, barang curian tentu. Habis dari mana kalau tidak mencuri?" enak saja jawaban
ini. "Kau menyesal, Hong-ko? Nah, kau muntahkanlah kembali." Ia lalu tertawa-tawa
menggoda.
"Jangan main-main, Ki-moi. Kurasa dua orang yang datang ini bukan bermaksud baik dan
mereka mempunyai kepandaian yang tak boleh kau pandang ringan begitu saja!"
Baru saja Kun Hong mengeluarkan kata-kata ini, dua orang itu sudah tiba di situ dan
terdengar bentakan yang perempuan. "Nah, ini dia si bocah liar bersama seorang buta!"
Yang laki-laki membentak, "Gadis kurang ajar, kembalikan makanan dan arak tadi......."
dia berseru kaget melihat mangkok-mangkok dan rak yang sudah kosong, "Wah, celaka si
keparat, sudah disikat habis!"
Kun Hong hanya dapat menaksir keadaan dua orang yang datang itu dengan
pendengarannya. Laki-laki itu sedikitnya berusia empat puluh tahun dan si wanita sukar
diduga karena suaranya serak dan kasar, akan tetapi tentu tidak lebih muda daripada yang
laki-laki. Gerakan kaki si wanita itu ringan membayangkan ginkang yang tinggi sedangkan
derap kaki yang mengandung tenaga Iweekang membuat tanah di sekitarnya seperti
tergetar.
Akan tetapi Loan Ki yang melihat dua orang itu mendapat kesan yang lebih
mengagetkannya. Wanita itu berpakaian serba hitam dengan tambalan kain lebar berwarna
putih ditalikan di leher menggantung ke bawah. Mukanya penuh bopeng (burik), rambutnya
masih hitam dan disisir rapi. Matanya besar sebelah dengan pandangan galak, sedangkan
tangan kanannya memegang sebuah senjata besi yang aneh bentuknya, bergagang dua dan
ujungnya runcing. Kiranya itu adalah sebuah penjepit arang yang biasa dipergunakan di
dapur untuk mengambil arang, tangan kirinya memegang sebuah kipas dapur yang lebar
dan bergagang besi pula. Memang aneh kedua alat dapur ini karena ukurannya selain lebih
besar daripada biasa, juga terbuat dari besi yang kelihatan kokoh kuat mengerikan.
Adapun laki-laki itu yang juga berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala kuning,
matanya lebar seakan-akan hendak meloncat ke luar dari tempatnya, tubuhnya tinggi besar
mukanya hitam, kedua lengan tangannya yang tak berbaju penuh bulu hitam. Tangan
kanannya memegang sebuah pisau pemotong babi yang lebar dan mengkilap saking
tajamnya seukuran golok tapi bentuknya persegi.
Loan Ki adalah seorang anak perempuan yang semenjak kecilnya hidup di dunia kangouw
dan sudah banyak bertemu dengan orang-orang aneh. Karena itu munculnya dua orang ini
tidak mengagetkannya, juga suara mereka tidak membuat ia gentar, bahkan ia tertawa
ketika berdiri dan menyambut mereka dengan suara mengejek.
"Kalian ini dua orang kasar datang-datang marah tidak karuan membuka mulut
menyemburkan kata-kata kotor, sebetulnya hendak mencari siapakah?"
Akan tetapi dua orang itu tidak menjawab, saling pandang dan memandang ke arah
mangkok-mangkok kosong, lalu membanting-banting kaki, memaki-maki,
"Keparat, anjing-anjing kelaparan! Dihabiskannya semua, celaka. Twa-nio (nyonya) akan
memukuli kepalaku sampai bengkak-bengkak karena arak seperti itu sudah habis dari
simpanan. Aduh, celaka dua anjing kelaparan!" Laki-laki muka hitam itu berteriak-teriak,
matanya makin melotot ketika dia memandang ke arah Loan Ki.
"Dan aku....... ah, aku yang kasihan....... dari mana aku harus mendapatkan ikan emas itu
setelah ang-sio-hi tinggal tulang-tulang ikan saja? Mampus aku kalau sio-cia memaksa aku
menyelam di telaga untuk memperoleh ikan baru...... celakanya, sio-cia takkan mau sudah
kalau belum kudapatkan ikan yang serupa dengan yang tadi."
Setelah puas memaki-maki, wanita itu menudingkan penjepit arangnya ke muka Loan Ki.
"Hayo mengaku, kau gadis busuk. Tentu kau telah mencuri makanan dari dapurku, malah
menotok roboh dua orang pembantuku!"
"Dan kau yang mencuri guci penuh arak simpanan dari pembantuku!" bentak laki-laki itu
sambil mengacung-acungkan golok pemotong babinya.
Loan Ki tersenyum manis. "Betul aku, Uwak dan Empek yang baik. Tapi ketahuilah bahwa
perutku dan perut si dia ini lapar sekali. Aku sedang mencari pengisi perut kami yang
kosong, hidungku tertarik oleh bau sedap dan gurih, lalu melihat masakan-masakan itu tak
dapat aku menahan keinginan hatiku lagi. Maafkan saya, Uwak dan Empek, kelak kalau
kalian kelaparan dan kebetulan berada di rumahku kalian boleh balas mencuri tiga kali
lipat banyaknya. Aku berjanji takkan marah kalau kalian menyikat habis masakan-
masakanku dari dapur rumahku. Nah, bukankah sudah adil janjiku ini?"
"Adil matamu......!" nenek itu memaki.
"Adil mukamu....... yang jelita!" kakek itu pun memaki.
Kun Hong menggeleng-gelengkan kepala. Dua orang ini adalah orang-orang aneh, tapi Loan
Ki benar-benar telah mengeluarkan janji yang tak masuk di akal dan seenak perutnya
sendiri. Mana mungkin pencuri di "bayar" dengan janji kalau kelak dua orang itu kelaparan
boleh balas mencuri di dapur rumahnya? Tak masuk di akal dan alasan anak-anak, maka dia
pun lalu bangkit berdiri, menjura dengan hormat kepada dua orang itu sambil berkata,
"Jiwi Locianpwe harap sudi memaafkan kami berdua yang muda. Sesungguhnya, tadi
siauwte yang kelaparan dan siauwte minta adik siauwte ini supaya mengemis makanan.
Siapa kira dia tidak berani mengemis malah mencuri. Untuk hal ini, siauwte mohon sudilah
kiranya jiwi Locianpwe memaafkan kami berdua."
Dua orang itu saling pandang, wajah mereka berseri. Selama hidup baru kali ini semenjak
menjadi pekerja dapur mereka menerima kata-kata yang enak sekali memasuki telinga
mereka. Mereka memandang Kun Hong dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Orang muda baik, biarlah kalau memang kau kelaparan. Paling-paling aku akan dimaki
twa-nio," kata kakek itu dengan suara sabar sekali.
"Pemuda buta yang tampan, kau amat sopan. Ikan itu dapat kucarikan gantinya dengan
menjala, juga daging babi dan ayam masih banyak. Siocia dapat kubujuk. Dua orang
locianpwe harus bersikap sabar, bukan begitu, Sun-laote?" kata si nenek dan kakek itu pun
mengangguk-angguk membenarkan.
"Hong-ko, mereka ini hanyalah seorang koki masak dan seorang tukang gajal, kenapa kau
sebut-sebut mereka locianpwe segala? Wah, bisa kepala mereka menjadi makin besar dan
kulit muka mereka makin tebal!" tiba-tiba Loan Ki mencela Kun Hong yang menjadi kaget
sekali melihat cara temannya ini "merusak" suasana yang sudah begitu baik. Celaka,
pikirnya, benar-benar bocah setan, tidak mengerti siasat damai yang dia lakukan.
Benar saja kekhawatirannya. Dua orang itu mengeluarkan seruan marah, memaki-maki lagi
dan wanita itu menerjang maju, menyerang Loan Ki dengan penjepit arangnya. Loan Ki
tertawa mengejek, menghindarkan serangan ini dengan menggeliatkan tubuhnya ke
belakang dan tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar ke arah mukanya. Kaget juga gadis
ini, karena ternyata susulan serangan kipas ini amat cepatnya. Ia menjejakkan kaki ke atas
tanah, tubuhnya mencelat ke belakang dan terhindar dari hantaman kipas. Di lain saat ia
telah menghadapi wanita galak itu dengan pedang di tangan dan senyum simpul menghias
bibir.
Kun Hong tidak senang melihat perkembangannya menjadi pertempuran. Akan tetapi
karena dari gerakan-gerakan nenek itu dia maklum bahwa kepandaian Loan Ki masih jauh
lebih tinggi, maka dia mendiamkannya saja, hanya berkata halus,
"Ki-moi, sesudah mencuri, jangan kau membunuh atau melukai orang! Kalau kau melanggar
aku tidak mau bicara lagi denganmu!"
Loan Ki hanya tertawa lirih dan sebentar saja nenek itu menjadi bingung dan berkunang-
kunang matanya. Gerakan gadis ini benar-benar lincah sehingga baginya seakan-akan gadis
itu mempunyai lima buah bayangan yang mengeroyoknya dari segala penjuru! Ilmu
serangannya menjadi kacau-balau dan dengan nekat dan ngawur ia menyerang membabi-
buta, menepak-nepak dengan kipas dapurnya seperti orang berusaha menepuk lalat yang
terlalu gesit.
"Sun-laote, kau bantu aku menangkap bocah liar ini!" Akhirnya nenek itu berteriak minta
bantuan kepada temannya.
Agaknya kakek itu ragu-ragu, lalu mengomel, "Heran benar, masa Hek-kui-nio (Iblis Betina
Hitam) tak dapat menangkap seorang gadis cilik?" Kemudian dia menoleh kepada Kun Hong.
"Orang muda, bukan aku Ban-gu-thouw (Selaksa Kepala Kerbau) golongan cianpwe hendak
menghina yang muda, tetapi sahabatmu gadis liar itu agaknya terlalu lincah untuk Hek-kui-
nio. Terpaksa aku harus menangkapnya!"
Akan tetapi pada saat itu terdengar Hek-kui-nio berteriak kesakitan dan ia berjingkrak-
jingkrak dengan kaki kanannya karena kakinya yang kiri kena digajul (ditendang dengan
ujung sepatu) oleh Loan Ki sehingga bukan main nyerinya, ngilu dan menusuk-nusuk tulang
sumsum!
Laki-laki tinggi besar yang berjuluk Ban-gu-thouw itu dengan marah lalu memutar-mutar
golok pemotong babinya, atau mungkin juga pemotong kerbau sesuai dengan julukannya.
Angin menderu dan diam-diam Kun-Hong menjadi kaget dan khawatir, jelas terdengar
olehnya betapa Ban-gu-thouw ini memiliki tenaga dahsyat yang tak boleh dipandang
ringan. Biarpun dia maklum bahwa ilmu silat pedang yang dimiliki Loan Ki jauh lebih hebat
dan mempunyai dasar yang tinggi tingkatnya, namun menghadapi seorang lawan kasar yang
bertenaga besar dan memegang senjata yang agaknya amat berat, tetap merupakan
bahaya bagi Loan Ki.
"Locianpwe, jangan memperhebat permusuhan!" Kun Hong berseru, tubuhnya tiba-tiba
melesat ke arah si tinggi besar itu, kedua tangannya bergerak dengan jari-jari tangan
terbuka dan....... di lain saat Kun Hong sudah berhasil merampas golok pemotong kerbau
itu!
Ban-gu-thouw berteriak keras saking kagetnya. Cepat dia membalikkan tubuhnya dan
memandang dengan mata terbelalak. "Heeei, kalau begitu kau tidak buta!"
"Siauwte memang seorang buta," jawab Kun Hong.
"Kalau buta bagaimana dapat merampas golokku!"
Tanpa menjawab Kun Hong mengangsurkan golok itu kepada pemiliknya.
Ban-Gu-Thouw menerima kembali goloknya dan wajahnya merah sekali karena pada saat
itu Loan Ki tertawa haha-hihi. Dia menjadi marah dan berkata, "Orang muda buta, kenapa
kau merampas golokku?"
"Kuharap Locianpwe tidak melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya. Makanan itu
sudah masuk perutku, dan aku sudah sanggup untuk minta maaf."
"Enak saja kau bicara! Kami berdua yang akan menerima hukuman dari twa-nio dan siocia,
tapi karena omonganmu tadi enak didengar, kami akan melupakannya saja dan siap
menerima hukuman. Siapa tahu sahabatmu si harimau betina itu suka menghina orang dan
sekarang kau malah merampas golokku. Ban-gu-thouw dan Hek-kui-nio tidak bisa menerima
hinaan orang!"
Kun Hong cepat menjura. "Harap sekali lagi kalian orang-orang tua sudi memaafkan kami
orang-orang muda. Kalau perlu, biarlah kami menghadap majikan kalian untuk minta maaf.
Kurasa majikan kalian akan menghabiskan urusan makanan yang tak berarti ini."
Dua orang itu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak, membuat Kun Hong yang tak
dapat melihat itu terheran-heran. Malah nenek yang sekarang sudah tidak nyeri lagi kaki
kirinya itu tertawa tak kalah kerasnya oleh temannya. Kemudian Ban-gu-thouw berkata,
"Ha-ha, bagus sekali. Kalian mau menghadap twa-nio atau siocia? Ha-ha-ha, orang muda,
benar-benar lucu kalau ada orang berani begini tenangnya menyatakan hendak mcnghadap
majikan kami setelah berani mencuri makanan. Tapi agaknya kalian mengandalkan
kepandaian kalian, dan kau ini orang buta agaknya juga berkepandaian. Sebelum kau
menghadap majikan kami, biar kucoba dulu. Bisakah kau merampas golokku sekali lagi?
Awas serangan!" Dengan gerakan kuat sekali Ban-gu-thouw membacok ke arah kepala Kun
Hong. Pemuda ini dengan tenang miringkan kepala, jari tangannya meluncur ke arah
pergelangan tangan disusul cengkeraman ke arah gagang golok dan....... sebelum Ban-gu-
thouw tahu mengapa tiba-tiba tangannya menjadi gringgingen (kesemutan), goloknya telah
pindah ke tangan orang buta itu! Dan tanpa berkata apa-apa kembali Kun Hong
mengangsurkan golok kepada pemiliknya.
"Hek-cici, dia ini siluman, lebih baik kita pulang siap menerima hukuman!" kata Ban-gu-
thouw sambil menyambar goloknya dan berlari pergi di ikuti temannya. Loan Ki mengikuti
mereka dengan suara ketawanya yang nyaring sampai mereka tidak kelihatan lagi punggung
mereka.
"Hi-hik alangkah lucunya dua orang badut itu!" Loan Ki berkata sambil duduk di depan Kun
Hong yang sudah duduk pula di atas akar pohon.
"Apanya yang lucu! Ki-moi, kau benar-benar keterlaluan. Sudah mencuri, memperolok
mereka yang tentu akan menerima hukuman dari majikan mereka. Hanya aku amat heran,
siapakah majikan yang mempunyai koki dan jagal seperti mereka itu? Kepandaian mereka
itu tak patut dimiliki seorang koki dan jagal biasa. Tentu majikan itu luar biasa pula dan
bukan orang sembarangan. Sudah sepatutnya kita datang ke sana minta maaf."
Loan Ki cemberut. "Tak sudi aku minta maaf! Apalagi kepada twa-nio dan siocia yang
mereka sebut-sebut tadi. Huh, lebih baik kupergunakan pedangku memberi hajaran kepada
mereka."
Kun Hong menghela napas. "Sudahlah, kalau begitu kita tidak usah pergi ke sana. Tapi tak
baik pula kita tinggal bersama-sama di sini, kalau mereka datang lagi tentu hanya akan
menimbulkan keributan belaka. Ki-moi, aku sungguh merasa beruntung dapat berkenalan
denganmu. Adik yang baik, selanjutnya kau berhati-hatilah melakukan perjalanan, lebih
baik kalau kau segera pulang dan jangan merantau seorang diri. Seorang dara remaja
seperti kau ini lebih aman kalau berada di rumah orang tuamu sendiri. Jauhkan
permusuhan, jangan terlalu menurut nafsu hati. Nah, Ki-moi kita berpisah di sini. Mudah-
mudahan lain waktu ada kesempatan bagi kita untuk saling bertemu kembali."
Kun Hong tidak tahu betapa gadis itu memandangnya dengan mata terbelalak seperti orang
kaget. Agaknya ia sama sekali tidak ingat bahwa pertemuan itu akan berakhir dengan
perpisahan. Tiba-tiba ia memegang tangan Kun Hong dan ditariknya pemuda buta itu
berdiri.
"Hong-ko, hayo berangkat!" ajaknya.
"Eh, ke mana? Jalan kita bersimpang di sini."
"Iihh, siapa bilang? Kita mengejar mereka, mengunjungi majikan dua orang badut tadi."
"Heh?" Kun Hong melengak heran, "Kau bilang tadi tak sudi ke sana, tak sudi minta maaf!"
"Sekarang aku ingin sekali ke sana! Ingin aku melihat si muka hitam kepala kerbau itu
dipukuli kepalanya oleh twa-nio sampai bengkak-bengkak dan melihat si nenek setan itu
menyelam di air sampai perutnya kembung, hi-hi-hik!"
Kun Hong hanya dapat menarik napas panjang karena gadis itu sudah menariknya dan
diajak lari. Sebetulnya dia tidak ingin pergi berdua lebih lama lagi dengan gadis yang
merupakan penggoda batinnya ini, akan tetapi dia pun tidak tega membiarkan gadis itu
pergi seorang diri menemui majikan yang aneh dan mencurigakan itu. Dia tahu dengan
pasti bahwa sekali menyatakan keinginan hatinya, tidak ada lautan api yang dapat
menghilangkan gadis kepala batu ini.
Perumahan itu ternyata luas sekali, terdiri dari sembilan buah bangunan gedung besar dan
tinggi bertingkat. Dari jauh saja sudah kelihatan catnya yang beraneka warna. Hebatnya,
perumahan itu dikelilingi oleh air sehingga merupakan pulau kecil di tengah danau yang
besar dan luas. Memang demikian halnya. Tadinya, di dalam hutan itu terdapat sebuah
danau besar dan di tengah danau terdapat pulaunya. Sudah hampir tiga puluh tahun yang
lalu danau itu dijadikan perumahan. Memang janggal kelihatannya di tempat sunyi itu,
jauh dari kota, terdapat rumah-rumah gedung di tengah danau.
Penduduk dusun-dusun yang paling dekat terletak dua puluh li dari danau itu mengenal
tempat itu dengan nama Ching-coa-ouw (Danau Ular Hijau) dan pulau itu pun disebut
Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau). Mereka ini tidak tahu betul siapa penghuni perumahan
mentereng itu, hanya tahu betul bahwa majikan daerah Ular Hijau ini mempunyai banyak
pelayan yang galak-galak, aneh-aneh, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga
sekitar sepuluh li di sekeliling danau itu yang disebut "Daerah Ular Hijau" seakan-akan
berada di bawah kekuasaan majikan Ular Hijau. Orang mencari kayu kering sekali pun tidak
akan berani mencari nafkahnya dalam daerah Ular Hijau! Memang terdapat sebuah jalan
besar yang cukup rata menuju ke danau itu dan jalan ini merupakan jalan umum, akan
tetapi setibanya di danau kecil itu, mereka akan mendapatkan jalan buntu.
Para pedagang sayur-sayuran dan kebutuhan sehari-hari lainnya banyak mendapatkan
untung kalau menjual dagangan mereka di tempat itu akan tetapi tak seorang pun di
antara mereka pernah berurusan sendiri dengan majikan Ular Hijau karena segala urusan
tentu dibereskan oleh para pelayan. Para pelayan inilah yang kemudian menyeberang ke
pulau dengan perahu-perahu yang memang banyak dimiliki oleh majikan Ular Hijau.
Ada desas-desus di antara penduduk dusun di sekitarnya, desas-desus yang merupakan
dongeng bahwa majikan Ular Hijau bukanlah manusia biasa, melainkan seorang dewi dan
seorang puteri yang secantik bidadari dan yang pandai "berlari di atas air" dan pandai
"terbang"! Sudah tentu saja hal ini merupakan dongeng dari mulut ke mulut karena kalau
ditanya sungguh-sungguh, tak seorang pun pernah menyaksikan dengan mata sendiri.
"Hong-ko, keadaan mereka amat aneh," di tengah jalan Loan Ki bercerita sambil menuntun
Kun Hong. "Aku mendengar dari orang-orang dusun bahwa daerah Ching-coa itu merupakan
daerah terlarang. Entah orang-orang macam apa yang menguasai daerah ini. Dari jauh
kulihat rumah-rumah gedung di atas pulau kecil di tengah danau, sunyi bukan main."
"Kalau begitu, bagaimana kau dapat pergi ke gedung itu?"
"Aku tidak pergi kesana. Tadinya aku hendak mencari makanan, siapa kira tempat ini sepi
sekali, tak kulihat sebuah dusun. Akhirnya aku bertemu dengan pedagang sayur yang
hendak mengantarkan sayuran kepada Ching-coa-to, maka aku ikut dengan dia. Sampai di
pinggir telaga, pedagang itu berurusan dengan pelayan tempat itu. Kebetulan sekali datang
gerobak yang membawa masakan-masakan lezat itu, juga arak. Aku minta beli, tapi malah
dimaki-maki. Aku hilang sabar, menotok roboh empat orang pelayan dan merampas
makanan dan arak."
"Kau memang nakal."
"Kalau perut lapar orang jadi nekat, Hong-ko. Keadaan mereka benar-benar aneh dan
mencurigakan. Kita tak mungkin dapat secara berterang mengunjungi mereka."
"Habis bagaimana?"
"Aku ada akal. Kulihat tadi ada sekumpulan perahu bercat hijau diikat di pinggir telaga.
Kurasa perahu-perahu itu pun milik majikan Ching-coa-to. Kita pergunakan saja perahu itu,
kita menyeberang dan melihat keadaan di sana."
"Sesukamulah, asal kau jangan menimbulkan onar," jawab Kun Hong yang juga mulai
tertarik oleh penuturan tentang keadaan penuh rahasia itu.
Betul saja seperti diceritakan oleh Loan Ki tadi, jalan itu sunyi sekali dan sampai mereka
tiba di pinggir telaga, keadaan tetap sunyi tak tampak seorang pun manusia. Dari tempat
itu kelihatan tembok perumahan di atas pulau akan tetapi juga tidak kelihatan ada
manusia di sekitar telaga. Hari sudah menjelang senja, matahari yang kemerahan
membayangkan cahayanya di atas air telaga yang berkeriput seperti sutera biru
kemerahan. Akan tetapi Loan Ki tidak memperhatikan keindahan alam di senja hari ini,
sedangkan Kun Hong yang suka akan keindahan alam tidak dapat melihatnya. Gadis itu
sedang mencari-cari dengan matanya dan akhirnya ia menarik Kun Hong ke dalam hutan
kecil di sebelah kiri jalan, lalu menyelinap di antara pohon-pohon.
"Hong-ko, aku melihat ada perahu di pinggir sana. Hayo lekas kita pergunakan perahu itu
sebelum pemiliknya datang melihat kita."
"Huh, kau hendak mencuri lagi?"
"Ih, bukan mencuri, hanya pinjam sebentar untuk kita pakai menyeberang. Kau benar-
benar terlalu suci hatimu, Hong-ko!" Loan Ki mengomel dan Kun Hohg terpaksa tersenyum.
"Baiklah. Kalau tidak dituruti kehendakmu, aku takut kau menangis."
Loan Ki tertawa dan menarik tangan Kun Hong. Sambil bergandengan tangan mereka lari ke
arah perahu kecil yang terapung-apung di pinggir telaga, tersembunyi di antara pepohonan
yang tumbuh menjulang ke pinggir telaga. Perahu itu kecil mungil, bentuknya ramping dan
ujungnya meruncing, terikat kepada sebatang tonggak kayu yang sengaja dipasang di situ.
Di dalam perahu terdapat sebatang dayung yang gagangnya terukir indah merupakan
gambar ular melingkar pada dayung itu dan terdapat ukiran huruf "Ching-coa" (Ular Hijau).
"Wah, perahu ini pun milik Ching-coa-to, Hong-ko. Mari naik."
Kun Hong dituntun melangkah dan masuk ke dalam perahu, terus duduk. Dara itu pun
masuk setelah melepaskan tali dan mendayung. Perahu kecil meluncur cepat ke tengah
telaga.
"Perahu kecil tapi bagus!" Kun Hong memuji. "Imbangannya tepat, kayunya kuat dan ringan,
luncurannya laju. Ditambah tenaga dalammu yang kuat, ah....... nikmat benar berperahu
seperti ini. Hemm....... sayang tidak ada arak ......."
Loan Ki tertawa. "Dasar pelamun dan pemalas. Sungguh tak pantas seorang laki-laki duduk
enak-enak membiarkan seorang wanita mendayung perahu."
"Eh, mana dayungnya. Tapi aku tidak tanggung perahu ini akan meluncur ke mana. Kalau
kembali ke daratan sana jangan salahkan aku yang tak bermata!"
"Tak usah, Hong-ko. Aku hanya berkelakar, masa sungguh-sungguh? Apa sih sukarnya
berdayung begini, aku memang ahli dayung, semenjak kecil sudah biasa aku berlayar malah
di samudera besar bersama ayah."
Memang nyaman sekali hawanya di tengah telaga. Angin bertiup perlahan membawa
keharuman aneka macam bunga yang tumbuh di tepi telaga dan di pulau, hawanya sejuk
dan sunyi. Suara air terkena dayung berirama amat menyedapkan pendengaran. Suasana ini
menimbulkan kegembiraan di dalam hati Kun Hong, dan otomatis pikirannya merangkai
sebuah sajak yang segera disenandungkan perlahan mempergunakan suara dayung
menimpa air sebagai irama pengiring nyanyian.
"Biduk kecil meluncur laju, menentang hembusan angin lalu membawa harum seribu
kembang tambah nyaman ayunan gelombang membikin si buta ingin bertembang wahai
kasih aku di sini!!"
Tiba-tiba suara dayung menimpa air terhenti, biduk berhenti melaju dan Loan Ki bertanya
kaku, "Yang mana kasihmu itu, Hong-ko? Kau terkenang kepada si janda muda?"
Kun Hong tertawa. "Jangan membawa-bawa janda itu ke sini, semoga ia sudah berjumpa
dengan pamannya dan hidup bahagia bersama anaknya. Dunianya dan duniaku jauh
berpisahan, Ki-moi."
Agaknya senang hati gadis itu mendengar jawaban ini, buktinya ia tidak lagi bertanya
tentang kekasih Kun Hong, sebaliknya malah terdengar ia memuji.
"Kau pandai benar bersajak dan bertembang, Hong-ko. Kata-katamu muluk, lagunya sedap
didengar, dan suaramu empuk benar."
Kun Hong tertawa. "Kau lebih pandai lagi memuji orang, sebentar lagi bisa aku membubung
tinggi ke awang-awang oleh pujianmu. Heee, Ki-moi, sudah lama sekali perahu melaju,
kenapa belum juga sampai di pulau? Kalau pulau itu tadi dapat kau lihat dari darat tentu
tidak sejauh ini!"
"Aku sengaja memutar, Hong-ko. Masa aku begitu bodoh mendarat di pulau itu dari depan?
Ingat, kunjungan kita ini bukan kunjungan terundang. Aku akan mengitari pulau, mencari
tempat yang tepat untuk mendarat sehingga mereka yang di pulau tidak melihat
kedatangan kita."
Kun Hong mengerutkan keningnya, "Sebetulnya aku tidak suka mengunjungi tempat orang
dengan sembunyi seperti pencuri saja. Adik Loan Ki, apakah tidak lebih baik kalau kita
secara berterang mengunjungi mereka untuk menyatakan penyesalan dan permintaan maaf
kita? Mungkin majikan pulau itu akan menghabiskan urusan kecil itu dan bersikap manis."
"Hemm, agaknya kau sudah membayangkan siocia cantik jelita dan manis menyambutmu
dengan senyum di bibir dan bintang di manik mata, ya? Dasar kau ini......."
"Bukan begitu, Ki-moi. Tapi kan lebih baik menjadi tamu terhormat daripada tamu tak
diundang?"
"Apa kau lupa bahwa kita telah, memakai perahu mereka tanpa ijin? Mana ada orang
datang minta maaf dengan jalan mencuri perahu pula? Jangan-jangan begitu berjumpa kita
akan dicaci maki. Tidak, aku tidak ingin bertemu dengan mereka, baik toa-nio atau siocia
itu, baik si iblis betina tua maupun si iblis betina muda. Aku hanya ingin menyaksikan
betapa lucunya koki dan jagal tadi menerima hukuman mereka, hi-hik!"
"Kau memang nakal, Ki-moi..... heeeiii, bukan main harumnya .......!"
Loan Ki tiba-tiba memegang lengan Kun Hong dan terdengar gadis ini berseru lirih,
"Aduuuuuhhh, hebat.......! Bukan main .....! Majikan pulau ini benar-benar telah
menjadikan pulau ini sebagai taman surga.......!"
"Ada apa, Ki-moi? Kau melihat apa?" Penuh gairah Kun Hong bertanya, kepalanya agak
dimiringkan, hidungnya kembang kempis, kerut-merut antara kedua matanya yang buta.
Telinga dan hidung, dua alat pengganti mata untuk mengetahui apakah sebenarnya di
depan sana, sekarang dikerahkan.
"Taman indah, penuh kembang beraneka warna, menara-menara merah dan kuning, patung
ukir-ukiran di sana-sini, kolam-kolam dengan air berwarna, buah-buahan tergantung
rendah....... ah, entah apa lagi di sana, sudah agak gelap, Hong-ko....... wah, kulihat
banyak kijang, ada kelinci....... monyet-monyet di pohon....... burung-burung
beterbangan, merak........ aduh indahnya......."
Wajah Kun Hong berseri gembira, kerut-merut di antara matanya makin jelas tampak,
senyumnya membayangkan kepahitan. Agaknya Loan Ki menoleh dan menatap wajahnya.
Gadis ini kembali memegang lengannya dan kini suaranya sudah kehilangan kegembiraan.
"Ah, sebetulnya hanya taman biasa, Hong-ko. Masih tidak menang dengan taman ayahku.
Tapi, merupakan tempat pendaratan yang baik bagi kita."
Loan Ki mendayung perahunya ke pinggir. Tiba-tiba ia berseru kaget dan perahu berhenti
melaju.
"Ada apa, Ki-moi?"
Dara itu menyumpah perlahan. "Gila benar! Banyak sekali teratai liar di sini, sambung-
menyambung dan tebal. Perahu kita tak dapat lewat, celaka. Biar kucari jalan dari sana.
Sebelah sana itu agaknya kelihatan bersih dari gangguan tanaman-tanaman ini." Ia
mendayung kembali perahunya mundur untuk melepaskan diri dari taman teratai di air ini.
Agak lama ia mendayung mencari air bersih untuk meminggirkan perahunya.
Akhirnya dapat juga ia minggir. "Kita mendarat, Hong-ko." Gadis itu memegang ujung
tambang, lalu menggandeng tangan Kun Hong. Keduanya melompat ke darat dan Loan Ki
mengikatkan tambang kepada sebatang pohon di pinggir telaga.
"Lho, di mana kita ini.......?" Tiba-tiba ia mengeluh. Suaranya terdengar begitu kaget dan
heran sehingga Kun Hong cepat memegang tangannya.
"Ada apa lagi, Ki-moi?"
"Aneh, Hong-ko. Benar-benar aku bingung dan tidak mengerti. Ke mana lenyapnya taman
surga tadi? Baru saja masih ada, aku tahu betul, malah perahu kudaratkan di pinggir
taman, tampak jelas dari perahu tadi. Tapi setelah kita mendarat, kenapa kita di tempat
yang buruk, liar merupakan hutan gelap begini?"
"Barangkali hutan ini merupakan bagian daripada taman tadi, Ki-moi. Mari kita cari ke
depan. Anehnya, ganda harum tadi juga lenyap dan sekarang........ hemmm, baunya amat
tidak enak, Ki-moi."
"Benar, Hong-ko. Aku pun merasa muak dan ingin muntah. Bau apa sih ini?"
Pegangan tangan Kun Hong pada lengan gadis itu tiba-tiba menjadi lebih erat.
"Ki-moi, mari kita kembali saja. Kalau aku tidak salah duga, ini bau....... amisnya ular-ular
beracun! Agaknya pulau ini banyak rahasianya dan merupakan tempat amat berbahaya bagi
seorang luar."
"Tidak, Hong-ko. Aku tidak takut! Aku malah makin ingin sekali menyelidiki tempat aneh ini
berikut penghuni-penghuninya. Hayo kita maju, Hong-ko."
Dengan berhati-hati dua orang muda itu berjalan maju. Belum ada sepuluh langkah mereka
memasuki hutan liar itu, tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kiri, cepat
seperti kilat menyambar. Loan Ki kaget dan menengok ke kiri dan...... ia menahan jeritnya
melihat seekor ular sebesar lengan tangan telah hancur kepalanya, berkelojotan dan
menggeliat-geliat di atas tanah. Ular itu kulitnya berwarna hijau mengkilap, seluruh tubuh
mengeluarkan lendir berminyak ketika dia berkelojotan itu. Bau amis makin memuakkan.
Dalam kengeriannya, Loan Ki diam-diam makin kagum dan heran sekali kepada pemuda
buta ini. Bagaimana seorang buta malah lebih "awas" daripada ia yang selain berkepandaian
tinggi, juga memiliki sepasang mata yang tajam?
"Ki-moi, daerah ini berbahaya sekali. Apakah warna kulit ular itu?"
"Hijau......." jawab Loan Ki, suaranya masih gemetar sedikit karena tegang. Ia maklum
betapa berbahayanya ular itu, ular berbisa yang amat jahat.
"Hemm, ching-coa (ular hijau)....... agaknya penghuni aseli pulau ini .......
Ki-moi, kau keluarkan pedangmu, siap-siap menghadapi segala kemungkinan. Aku khawatir
kalau-kalau kita dikurung musuh."
Mendadak dari arah belakang mereka terdengar suara yang sayup sampai dibawa angin,
"Haaiiiii! Anak-anak nakal, jangan tergesa-gesa mendarat .......!"
Kun Hong dan Loan Ki terkejut, cepat membalikkan tubuh. Kun Hong memasang telinga
memperhatikan tapi tidak mendengar suara apa-apa. "Apa yang kau lihat, Ki-moi? Siapa
yang datang dari telaga?" bisiknya.
Loan Ki membelalakkan mata memandang. Cuaca sudah mulai gelap, akan tetapi ia dapat
melihat datangnya sebuah perahu besar berlayar kuning dengan cepat menuju pantai. Ia
kaget sekali dan mengira bahwa suara tadi ditujukan kepada mereka. Mungkinkah dari
jarak yang begitu jauh orang di dalam perahu itu dapat melihat mereka? Ia menarik tangan
Kun Hong diajak menyelinap bersembunyi di balik rumpun pohon kembang.
"Ki-moi, apakah ada perahu datang?" Sekali lagi Loan Ki heran dan kagum. Jalan pikiran Kun
Hong benar-benar tajam dan cerdik biarpun pemuda ini tak dapat melihat lagi. Memang
sesungguhnya Kun Hong cerdik. Kalau ada orang atau apa saja berada di darat di sekitar
tempat itu yang terlihat oleh Loan Ki, tentu akan dapat ditangkap oleh telinga atau
hidungnya. Terang bahwa Loan Ki melihat sesuatu, dan karena tidak mendengar apa-apa,
maka dapat dia menduga bahwa suara orang tadi tentulah datang dari perahu.
"Perahu besar......." kata Loan Ki, "berlayar kuning....... ada lima orang laki-laki
berpakaian hijau di atas perahu, memegang tongkat....... eh, seperti suling. Perahu sudah
minggir, Hong-ko....... kulihat benda-benda panjang kecil meloncat ke air, ke darat,
seperti ranting-ranting kayu panjang....... heiii, benda-benda itu bergerak....... ohh,
Hong-ko. Ular! Ular-ular besar kecil, banyak sekali, puluhan....... ah, ratusan mungkin
ribuan. Dan lima orang itu berjalan di belakang mereka. Apa itu.......? Ah, mereka.......
mereka agaknya menggembala ular-ular itu!"
Kun Hong miringkan kepala, hidungnya mengembang-kempis. "Ki-moi, lihat baik-baik.
Apakah di antara mereka terdapat seorang tua bongkok yang bercacat, telinga kiri dan
lengan kiri buntung, mata kiri buta, dan mulutnya lebar seperti robek?"
"Tidak ada, Hong-ko. Tapi....... tapi ular-ular itu menuju ke sini, Hong-ko. Celaka, mari
kita lari menjauhi mereka!" Loan Ki memegang tangan kiri Kun Hong dan menariknya lari
dari situ, memasuki hutan. Tangan gadis itu agak dingin, tanda bahwa ia merasa ngeri
sekali.
Siapa tidak akan merasa ngeri kalau melihat ular-ular yang amat banyak itu bergerak-gerak
maju seperti mengejar, dengan baunya yang amat amis? Apalagi tak lama kemudian
terdengar seorang di antara lima "penggembala ular" itu berteriak keras.
"Heeiii, seekor peliharaan kita mati dengan kepala hancur di sini! Wah, ini tentu perbuatan
orang. Hayo kita cari!"
"Jangan-jangan perahu kecil tadi yang membawa orang asing datang ke sini," kata suara
lain.
"Ular ini baru saja bertemu musuh, tubuhnya masih berkelojotan. Tentu pembunuhnya
belum pergi jauh. Hayo kejar, pergunakan anak-anak kita!" kata suara pertama bernada
memimpin. Lalu terdengar suara suling yang ditiup secara aneh sekali.
Mendengar ini, Kun Hong berkata perlahan. "Hemm, kiranya benar ular-ular terpelihara.
Jangan-jangan dia di belakang ini semua."
"Dia siapa, Hong-ko?"
Kun Hong memegang lengan gadis itu dan berkata, suaranya sungguh-sungguh,
"Ki-moi, kalau benar dugaanku, kita benar-benar telah berada di tempat yang amat
berbahaya. Terang bahwa suling itu bersuara untuk memberi aba-aba kepada ular-ular itu
untuk mengejar kita. Heii, awas!" Tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kanan
dua kali dan ketika-Loan Ki menoleh....... kiranya dua ekor ular sebesar paha telah putus
lehernya. Darahnya menyembur-nyembur dan tubuh ular yang empat lima meter
panjangnya itu berkelojotan, saling belit! Dengan hati penuh ketegangan, Loan Ki lalu
menarik tangan Kun Hong dan mengajak pemuda itu lari lebih cepat lagi.
"Wah, suara suling itu malah memberi perintah kepada semua ular yang berada di tempat
ini," kata Kun Hong. "Hati-hati, Ki-moi!"
Benar saja dugaan Kun Hong, karena beberapa kali mereka diserang ular-ular besar kecil,
Loan Xi menggunakan pedangnya membunuh beberapa ekor ular yang, rnenghadang di
depan, juga Kun Hong selalu menggunakan tongkatnya untuk membunuh ular-ular yang
hendak mengganggu. Mereka tidak pernah berhenti, terus berlari ke depan dan akhirnya
mereka keluar dari hutan itu. Jalan mulai memburuk, penuh batu karang dan kiranya di
situ terdapat pegunungan batu karang yang sukar dilalui. Karena tidak mengenal jalan
kedua orang itu terpaksa maju terus dan sementara itu, cuaca sudah mulai gelap, senja
telah lewat terganti datangnya malam. Suara ular-ular yang mendesis-desis beserta para
penggembala yang berteriak-teriak sudah tak terdengar lagi. Dua orang itu mendaki gunung
kecil.
"Kita harus mencari tempat sembunyi yang aman," kata Loan Ki. "Dengan adanya ular-ular
itu, tak mungkin kita bergerak di waktu malam gelap."
Kun Hong menghela napas. Jalan itu benar sukar dan andaikata dia tidak dituntun oleh
Loan Ki, tentu akan amat lambat dia dapat maju mencari jalan.
"Siapa kira, karena kau ingin melihat tontonan lucu, akhirnya menjadi tidak lucu. Kita
menjadi buronan di pulau orang. Baiknya besok kita segera kembali saja ke daratan sana."
"Hong-ko, bukankah pengalaman kita tadi cukup hebat, menegangkan dan lucu? Mungkin
besok kita bertemu dengan pengalaman yang lebih lucu dan hebat lagi siapa tahu?
Sementara ini, kita masih selamat. Nah, itu di depan kulihat banyak lubang-lubang besar di
dinding karang, tentu ada gua yang dapat kita pakai tempat bersembunyi."
Mereka mempercepat pendakian yang sukar itu. Baiknya Loan Ki memiliki ginkang yang
cukup tinggi sehingga Kun Hong dapat mengikutinya dengan baik, tanpa mengkhawatirkan
keadaan temannya itu. Akhirnya telah sampai di dekat dinding karang yang banyak
berlubang merupakan gua-gua besar, jalannya menjadi rata.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari depan, "Siapa berani masuk Ching-coa-to tanpa ijin?
Benar-benar sudah bosan hidup!" Dan muncullah seorang laki-laki pendek yang bersenjata
ruyung baja. Tanpa banyak cakap lagi laki-laki itu segera menerjang maju sambil
mengerahkan ruyungnya. Loan Ki marah dan dengan pedang di tangan ia memapaki. Ketika
ruyung menyambar ke arah kepalanya, gadis itu meliukkan tubuh ke kiri tanpa menunda
terjangannya. Sambil miring ke kiri pedangnya menyambar secepat kilat. Orang itu
berteriak kaget, akan tetapi masih sempat membuang diri ke kiri sambil membabatkan
ruyungnya. Dia terhindar dari bahaya, akan tetapi keringat dingin membasahi dahinya. Tak
dia sangka bahwa gadis remaja itu demikian hebat ilmu pedangnya.
Gerakan Loan Ki yang sekali gebrakan saja sudah hampir dapat merobohkan lawan,
membuat lawannya ragu-ragu untuk menyerang lagi. Dia bersuit keras dan terdengar
suitan-suitan dari beberapa penjuru. Loan Ki terkejut, maklum bahwa mereka berdua telah
terkepung. Akan tetapi Kun Hong lebih cepat lagi. Sekali bergerak pemuda buta itu sudah
melompat ke arah si pendek. Dalam keadaan remang-remang itu si pemegang ruyung tidak
tahu bahwa yang melompatinya adalah seorang buta. Dia kaget dan menghantamkan
ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba dia jatuh lemas dan ruyungnya terlempar entah ke mana.
Tanpa dia ketahui bagaimana caranya, dia telah roboh tertotok dan lemas tak dapat
bergerak maupun bersuara lagi!
"Ki-moi, lekas, cari tempat sembunyi.......!" kata Kun Hong yang tidak menghendaki
terjadinya pertempuran di tempat itu. Dia benar-benar merasa tidak enak sekali telah
mengganggu tempat orang dan menimbulkan keonaran.
Loan Ki adalah seorang dara remaja yang tidak pernah mengenal artinya takut dalam
menghadapi lawan dalam pertempuran, maka sekarang pun biar ia tahu telah dikurung
musuh, ia tidak merasa gentar. Akan tetapi karena ia sudah mulai mengenal watak
temannya yang buta dan aneh, kini ia maklum pula bahwa Kun Hong tidak suka menghadapi
pertempuran dengan orang-orang yang sebetulnya memang tidak mempunyai urusan apa-
apa dengan mereka berdua. Maka ia lalu menggandeng tangan Kun Hong, diajak lari
kembali menuruni puncak. Akan tetapi tiba-tiba ia bergidik, terdengar suara mendesis-
desis dan dari bawah puncak merayap ular-ular tadi bersama penggembala-
penggembalanya yang bersuit-suit. Lawan manusia biasa Loan Ki takkan undur, akan tetapi
menghadapi ular-ular itu ia benar-benar merasa jijik dan ngeri. Ia cepat mengajak Kun
Hong naik ke puncak lagi dan sekarang di depan mereka sudah muncul dua orang laki-laki
yang memegang golok. Tanpa banyak tanya dua orang laki-laki itu segera menerjang
mereka karena baru saja mereka melihat seorang kawan mereka rebah tak bergerak dan
mereka kira sudah tewas.
Juga kali ini Kun Hong yang cepat bergerak. Bagaikan seekor burung rajawali sakti dia
melayang ke arah dua orang itu. Dua buah golok berkelebat menyambar ke arah tubuhnya,
akan tetapi golok-golok itu segera terlempar jauh dan dua orang itu memekik lemah terus
roboh tak berkutik!
"Kau hebat, Hong-ko.......!" Loan Ki memuji dengan kagum sekali. Ia sendiri mewarisi Ilmu
Silat Sian-li-kun-hoat yang terkenal amat indah gerakan-gerakannya, akan tetapi
menyaksikan gerakan Kun Hong tadi ia benar-benar merasa kagum. Akan tetapi yang
dipujinya sama sekali tidak memperdulikan, malah membentak,
"Hayo lekas cari tempat sembunyi, Ki-moi!"
Loan Ki kembali menarik tangan Kun Hong dan berlari ke arah dinding batu karang. Dari
sebelah kanan dan kiri terdengar bentakan-bentakan orang, juga dari belakang. Gadis itu
melihat banyak lubang-lubang pada dinding itu, lalu menarik Kun Hong masuk ke dalam
sebuah lubang yang cukup besar untuk dimasuki orang sambil merangkak. Karena didorong
oleh Loan Ki, Kun Hong masuk dulu, merangkak seperti seekor tikus memasuki lubangnya,
kemudian disusul oleh Loan Ki.
Lubang itu kurang lebih lima meter dalamnya, terus ke dalam, kemudian menukik ke
bawah. Kun Hong berhenti merangkak ketika tangan dan kakinya meraba lubang yang
menukik ke bawah.
"Terus, Hong-ko........ terus. Mereka sudah sampai ke sini......." bisik Loan Ki di belakang
pemuda buta itu.
"Tak dapat terus, lubangnya menukik ke bawah......." jawab Kun Hong.
"....... kau mepetlah, Hong-ko, biarkan aku lewat dan memeriksa di depan ......."
Karena merasa bahwa dia adalah seorang buta, lupa bahwa di dalam keadaan gelap pekat
seperti itu sebetulnya dia tidak lebih buta daripada Loan Ki sendiri. Kun Hong lalu
berbaring mepet untuk memberi jalan kepada gadis itu yang hendak melewatinya. Lubang
itu tidak besar maka ketika Loan Ki merayap melewatinya, dua orang itu berhimpitan di
dalam lubang. Kun Hong merasa tak enak sekali, jengah dan berdebar hatinya. Baiknya
mereka berdua adalah orang-orang yang telah memiliki kepandaian tinggi sehingga dengan
Ilmu Sia-kut-kang (ilmu Melemaskan Tulang) mereka berhasil bersimpang di lubang yang
sempit itu. Loan Ki agaknya juga merasakan apa yang dirasai Kun Hong, buktinya gadis
yang biasanya jenaka gembira itu kali ini tidak membuka suara kecuali "ah-uh" seperti
orang kepanasan. Dengan hati-hati gadis itu merangkak ke depan sampai tiba di tempat
yang menukik ke bawah.
"Agak lebar di bawah, Hong-ko. Seperti sumur ..........."
"Memang, karena kita tidak tahu bagaimana dasarnya, tak mungkin turun ke bawah ......."
Pada saat itu dari luar lubang terdengar suara mendesis-desis, disusul suara seorang laki-
laki yang parau, "Anak-anak, hayo masuk kandang, jangan berkeliaran lagi, besok kalian
harus membantu mencari dua orang musuh itu."
Disusul lagi suara yang tinggi, "Heran, ke mana larinya dua orang tadi? Mereka itu manusia
atau setan? He, Lao Siong, apakah sudah dilaporkan kepada toa-nio?"
"Tentu sudah." Lalu mereka bercakap-cakap akan tetapi sambil menjauhi mulut lubang
sehingga Kun Hong dan Loan Ki tak dapat mendengar lagi apa yang mereka bicarakan.
Akan tetapi betapa kaget hati dua orang itu ketika terdengar suara mendesis-desis dari
arah belakang disusul bau yang amat amis. Kiranya lubang pada dinding batu itu adalah
sarang-sarang ular atau dijadikan "kandang" untuk ular-ular itu!
"Celaka, ular-ular itu masuk ke sini.......!" Kun Hong yang berada di belakang berkata
perlahan. Dia cukup tabah dan tenang, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tentu saja
dia merasa ngeri juga.
"Lekas, Hong-ko, di belakangmu ada batu yang kuseret masuk tadi. Kau pergunakan itu
untuk menutup lubang yang paling sempit dan....... hei, aduh,
waahh....... bungkusanku jatuh ke dalam sumur, Hong-ko."
Kun Hong mendengar suara barang berat jatuh. Dengan pendengarannya yang tajam dia
mendapat kenyataan yang menggirangkan hatinya. Lubang itu ternyata dasarnya tidak
keras, juga tidak begitu dalam. Hal ini tentu saja dapat dia ketahui ketika buntalan
pakaian dan mahkota yang dibawa gadis itu terjatuh ke bawah. Akan tetapi pada saat itu
dia sibuk mendorong batu besar untuk menutupi lubang. Tentu saja tidak tertutup rapat,
akan tetapi lumayan untuk menahan membanjirnya ular-ular itu ke dalam.
Setelah itu dia segera berkata, "Ki-moi, mari kita masuk saja ke dalam sumur itu.
Tempatnya tidak dalam dan dasarnya mungkin tanah tidak keras."
"Bagaimana kau bisa tahu?" Bisik Loan Ki meragu.
"Buntalanmu tadi melayang ke bawah tidak terlalu lama, juga suaranya ketika menimpa
dasar sumur menyatakan bahwa dasar itu tidak keras. Tapi tunggu, biar aku yang
melompat masuk lebih dulu. Kau mepetlah!"
Seperti tadi, dua orang itu kembali berhimpitan untuk dapat bertukar tempat, kini Kun
Hong di depan dan gadis itu di belakangnya. Akan tetapi karena perasaan mereka
terlampau tegang, mereka tidak merasakan lagi kecanggungan seperti tadi. "Ki-moi,
membaliklah ke belakang dan siap dengan pedangmu kalau-kalau ada ular menerobos
masuk. Aku akan meluncur ke bawah dulu!"
Loan Ki mendengar suara perlahan lalu disusul suara Kun Hong dari bawah,
"Ki-moi, lekas kau turun. Tidak begitu dalam di sini dan aku akan membantumu jangan
takut!"
Loan Ki merangkak mundur, ketika kakinya menyentuh sumur, hatinya berdebar juga. Siapa
orangnya takkan merasa ngeri kalau harus masuk ke dalam sumur yang begitu gelap? Akan
tetapi adanya Kun Hong di dalam sumur itu membesarkan hatinya dan tanpa ragu-ragu lagi
ia melorot turun sambil mengerahkan ginkangnya ketika tubuhnya melayang ke bawah. Ia
memegang pedangnya tinggi-tinggi dan kedua kakinya sudah siap untuk menyentuh tanah
di dasar sumur. Akan tetapi tiba-tiba dua buah lengan yang kuat dan cekatan menerima
tubuhnya, lalu menurunkannya ke atas tanah. Kembali ia kagum akan kehebatan Kun Hong.
"Hong-ko, sumur ini dalam juga, sedikitnya tiga kali tinggi orang. Bagaimana kita akan
dapat keluar dari sini?" Loan Ki dalam gelap meraba ke sana ke mari dan hatinya kecut
ketika mendapat kenyataan bahwa sumur ini pun tidak lebar, hanya cukup mereka berdua
berdiri. Tak mungkin meloncat ke luar dari tempat sesempit ini.
"Jangan khawatir, aku akan dapat merayap naik," kata Kun Hong tenang. "Ini buntalanmu,
baru kuingat bahwa kau membawa mahkota kuno itu. Ah, jangan-jangan rusak mahkota itu
ketika jatuh."
Loan Ki menerima buntalan itu dan mengikatnya di punggung. Untuk melakukan ini saja
beberapa kali tangan dan sikunya menyentuh dada Kun Hong, begitu sempitnya tempat itu.
Hawanya juga panas bukan main. Sumur itu dindingnya adalah batu karang, hanya dasarnya
saja tanah lunak. Karena tidak ada hawa, atau kalau ada pun amat sedikit masuk dari
lubang yang kini hampir tertutup rapat oleh batu tadi, di situ amat panasnya. Apalagi hawa
yang masuk telah membawa bau amis dari ular-ular yang memenuhi lubang di sebelah luar,
maka pernapasan mereka sesak dan sebentar saja Loan Ki menjadi pusing.
Makin lama hawa makin panas. Loan Ki dan Kun Hong biarpun memiliki hawa murni dan
Iweekang yang kuat, tetap saja menderita hebat dan tubuh mereka telah penuh keringat.
Pakaian mereka basah semua.
"Aduh....... Hong-ko, napasku sesak, aku muak........ tak kuat bertahan. Kita harus keluar
dari neraka ini......." keluh Loan Ki.
Kun Hong bingung. "Bagaimana mungkin, Ki-moi? Kalau kita naik, tentu akan bertemu ular-
ular itu di dalam lubang jalan ke luar. Menghadapi ular-ular itu memang bisa kita
tanggulangi, akan tetapi kau dalam gelap.......ah, dan siapa tahu orang-orang itu masih
menjaga di luar. Kau harus dapat bertahan, mungkin besuk pagi-pagi mereka dan ular-ular
itu akan ke luar dari lubang dan kita dapat menerobos ke luar kalau memang ada jalan
lain. Setidaknya kalau cuaca terang, kau bisa melihat. Bergerak di malam hari, kita sama-
sama buta, tentu payah."
"Tapi....... aduh, panas dan sesak, Hong-ko......." Gadis itu betul-betul payah dan kini
menyandarkan kepalanya yang terasa pusing berputar-putar itu kepada tubuh Kun Hong.
Dahi gadis itu ternyata sudah basah semua oleh keringat dan tubuhnya panas sekali. Diam-
diam Kun Hong terkejut. Kiranya Iweekang gadis ini belum begitu tinggi tingkatnya dan
terang takkan dapat menahan. Dia lalu berusaha untuk berkelakar.
"Wah, kita basah oleh keringat, Ki-moi. Celakanya, keringatku tentu berbau tak enak dan
kuingat kau paling tidak kuat kalau mencium bau keringat, seperti ketika kau dikeroyok
tempo hari. Jangan-jangan keringatku yang membuat kau muak dan pusing."
Kun Hong sengaja berkelakar untuk membangkitkan kegembiraan dan kejenakaan gadis ini
sehingga berkurang penderitaan itu. Akan tetapi dia gagal karena dengan lemah Loan Ki
menjawab, "Tidak, keringatmu tidak bau, Hong-ko....... tapi ular-ular itu....... ah, ngeri
aku......." dan gadis itu tiba-tiba saja menangis!
"Lho, kenapa menangis? Adik Loan Ki, jangan bilang bahwa kau takut.......!"
"....... tidak! Tidak takut...... kalau ular-ular itu masuk ke sini, kita akan dimakan
habis....... ihhh, dan semua ini kesalahanku yang membawamu ke sini."
Kun Hong mendekap kepala di dadanya sambil mengelus rambut yang halus basah itu
dengan sikap menghibur, malah dia memaksa diri tertawa. "Ah, kau aneh-aneh saja. Ular-
ular itu takkan berani menjatuhkan diri ke dalam lubang, juga tidak akan dapat merayap
turun, Andaikata ada yang berani, sekali pukul juga akan remuk kepalanya. Takut apa?
Tentang datang ke sini....... eh, aku sendiri pun ingin melihat badut-badut itu dihukum!"
Biarpun lemah dan pusing, bangkit juga kegembiraan Loan Ki mendengar ini dan ia
berbisik, ".... kau ..... melihat??"
"Aha, sampai lupa aku bahwa aku sudah buta. Bukan melihat dengan mataku, tapi aku kan
bisa meminjam matamu. Kau yang melihat dan kau ceritakan kepadaku, bukankah sama
saja .......?"
Loan Ki dapat juga tertawa. "....... Hong-ko, kau....... baik sekali ......."
Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis di atas. Loan Ki merenggutkan kepalanya dan
tubuhnya menegang. "Celaka....... mereka turun....... ular-ular itu......." katanya dengan
suara mengandung kengerian.
Bau amis makin menghebat, hawa panas pun tak tertahankan lagi oleh Loan Ki. Ia
melepaskan buntalan pakaian dan mahkota yang membikin tubuhnya lebih panas lagi.
Buntalan itu ia lemparkan begitu saja di atas tanah dan ia bersiap-siap untuk menghadapi
perjuangan mati hidup melawan ular-ular itu. Buntalan jatuh dan menggelinding di atas
tanah, ikatannya terbuka dan tiba-tiba saja keadaan yang amat gelap pekat itu berubah.
Ada cahaya yang membuat kegelapan itu berubah remang-remang.
"Hong-ko! Aku bisa melihat! Eh, sekarang tidak segelap tadi...... heeiii, Hong-ko, kiranya
mahkota itu yang mengeluarkan cahaya!" Suara Loan Ki bersemangat kembali, ia
membungkuk, mengambil mahkota itu dan berseru, "Betul, Hong-ko, ada tiga batu permata
di bagian depan mahkota ini yang mengeluarkan cahaya. Nah, begini baru enak hatiku, bisa
melihat kalau ada ular menyerangku!" Suara gadis itu mulai gembira.
Kun Hong dengan pendengarannya dapat menangkap hal yang lebih menggembirakan
hatinya lagi. Dia tahu sekarang bahwa kelemahan dan kepusingan gadis itu tadi sebagian
besar adalah pengaruh dari rasa ngeri di dalam kegelapan sehingga mengakibatkan pusing.
Selain ini, dengan girang dia mendengar betapa suara mendesis-desis di atas tadi tiba-tiba
saja lenyap dan bau amis tidak begitu hebat lagi, tanda bahwa ular-ular itu takut kepada
batu-batu permata yang mengeluarkan cahaya. Dia dahulu pernah mendengar dongeng
kakek Song-bun-kwi di puncak Thai-san bahwa di dunia ini memang banyak terdapat benda-
benda mujijat dan aneh, di antaranya batu-batu mutiara yang disebut Ya-beng-cu. Mutiara
Ya-beng-cu ini mengeluarkan cahaya di tempat gelap dan selain itu, juga ditakuti oleh
sebagian besar binatang-binatang buas.
"Wah, agaknya Thian Yang Maha Kuasa sengaja menolong kita, Ki-moi. Kalau tidak salah,
batu permata di mahkota itu adalah mutiara-mutiara Ya-beng-cu dan aku pernah
mendengar bahwa binatang-binatang takut kepada sinarnya. Sekarang kau bersiaplah, kita
harus keluar dari tempat ini!
"Keluar?" Loan Ki kaget. "Bukankah amat berbahaya katamu tadi, Hong-ko? Menghadapi
ular-ular itu dalam terowongan sempit, belum lagi para penjaga pulau ini......."
Kun Hong menggeleng kepala. "Sekarang tidak lagi, adikku. Tadi yang paling
mengkhawatirkan hatiku adalah kalau melawan ular-ular itu, ular-ular berbisa yang amat
jahat, apalagi kita harus menghadapinya dalam terowongan sempit. Akan tetapi sekarang,
dengan Ya-beng-cu ada pada kita, ular-ular itu pasti takkan berani mengganggu kita. Kita
keluar dan tentang para penjaga, yaaahhh, terpaksa kita menghadapi mereka. Kita
jelaskan maksud kedatangan kita yang tidak mengandung maksud buruk, kalau mereka
tidak mau menerimanya, kita robohkan mereka dan melarikan diri!"
Loan Ki mengangguk-angguk, tapi ketika melihat ke sekelilingnya adalah dinding batu yang
licin, ia mengerutkan kening. "Hong-ko, bagaimana kita bisa naik? Meloncat begitu saja?
Mungkin sanggup aku meloncat ke atas dan menangkap pinggiran sumur, akan tetapi,
bagaimana kalau ada ular-ular di sana? Pula resikonya terlalu besar kalau sampai tidak
berhasil menangkap pinggiran sumur, apalagi kalau di waktu meloncat kepalaku tertumbuk
batu karang yang menonjol."
"Tak usah meloncat, Kau bawa buntalanmu, pakai mahkota itu di kepalamu."
Gadis itu terdiam, agaknya heran. Tapi diambilnya buntalan pakaian dan diikatkan ke
pundak. Tiba-tiba ia tertawa, tawa jenaka seperti yang sudah-sudah sehingga Kun Hong
ikut tersenyum gembira. Agaknya di dunia ini sukar mencari orang yang takkan ikut
tersenyum mendengar suara yang mengandung kesegaran watak itu.
"Hi-hi-hik, Hong-ko....... mahkota ini pas betul dengan kepalaku. Menurut dongeng
permaisuri Kerajaan Tang yang memakai mahkota ini adalah seorang puteri cantik jelita
yang terkenal dengan julukan Puteri Harum karena tubuhnya memiliki keharuman seribu
bunga. Kiranya kepalanya hanya seukuran dengan kepalaku....... hi-hik.......!"
Mendengar kegembiraan gadis itu yang berarti bahwa semangatnya telah kembali, Kun
Hong girang. Perjalanan ke luar dari tempat itu, bahkan keluar dari Pulau Ching-coa-to,
bukanlah hal yang mudah dan mungkin akan menghadapi bahaya-bahaya dan rintangan.
Maka timbulnya semangat gadis ini kembali merupakan hal yang amat penting. Mengingat
ini, dia segera terjun ke dalam kegembiraan itu dan berkata,
"Apa anehnya persamaan kepala itu, Ki-moi? Memang cocok dongeng itu, kalau kepala
permaisuri Kerajaan Tang itu seperti kepalamu, maka sudah semestinya dia cantik jelita
dan mempunyai ukuran kepala yang tepat."
"Eh, Hong-ko kau mana bisa melihat kepalaku?"
"Melihat sih tidak, akan tetapi tadi....... eh, meraba saja sudah cukup jelas bagiku ......."
Loan Ki teringat betapa dalam gelap tadi ia menangis dan bersandar di dada Kun Hong,
malah kepalanya dielus-elus oleh pemuda buta itu, Hal ini mendebarkan jantungnya
sungguhpun ia tidak mengerti mengapa dadanya berhal seperti itu, berdenyar-denyar.
"Tapi, Hong-ko, mana kau tahu aku....... cantik jelita?"
Kun Hong tertawa, geli juga mendengar ucapan kekanak-kanakan ini. "Apa susahnya?
Mendengar suaramu saja sudah cukup bagiku."
Hening sejenak, lalu gadis itu berkata perlahan, "Orang bilang aku cantik, tapi belum tentu
secantik puteri pemakai mahkota ini. Pula, ia terkenal sebagai Puteri Harum, mana aku
bisa sama? Ih, tadi keringatku tentu membasahi bajumu, Hong-ko......"
"Aku pun berkeringat sampai basah semua pakaianku, Ki-moi, dan tentang keharuman itu,
hemmm....... kurasa keringatmu pun....... sedap ......." Kun Hong setengah berbohong.
Mana ada keringat sedap di dunia ini? Akan tetapi memang baginya, keringat Loan Ki tidak
berbau tak enak. Dia sengaja melebih-lebihkan dan mengatakan sedap hanya untuk
menambah kegembiraan hati gadis kekanak-kanakan ini agar semangatnya tidak menurun.
Gadis itu tidak berkata apa-apa, malah suara ketawanya terhenti dan ia diam saja sampai
agak lama setelah ucapan Kun Hong terakhir ini. Kun Hong heran, miringkan kepala dan
bertanya,
"Ki-moi, kenapa diam saja, kau?" Dia mengulur tangan ke depan, menyentuh tangan gadis
itu dan memegangnya. Akan tetapi Loan Ki cepat merenggutnya terlepas dan terdengar
suaranya agak gemetar.
"Buntalan pakaian sudah kubawa, mahkota sudah kupakai. Bagaimana kita akan naik?"
Sesekali Kun Hong tak pernah menduga di dalam hatinya bahwa ucapan-ucapan yang
bersifat kelakar baginya itu ternyata mendatangkan kesan luar biasa bagi Loan Ki,
membekas amat dalam dihatinya.
"Kau duduklah di pundak kananku, pedangmu siap menghalau perintang di atas. Aku akan
merayap naik." Kun Hong lalu berjongkok untuk memudahkan Loan Ki duduk di pundaknya.
Tapi gadis itu tidak segera duduk. Dengan mata terbelalak kagum gadis itu memandang Kun
Hong. Ia tahu bahwa agaknya si buta ini hendak mempergunakan Ilmu Pek-houw-yu-chong
yang mengandalkan ginkang dan Iweekang yang amat tinggi sehingga membuat orang dapat
merayap seperti seekor cecak pada dinding yang terjal. Kalau si buta ini sudah dapat
melakukan ilmu ini, berarti bahwa tingkat kepandaian si buta ini jauh melampauinya,
malah jauh lebih lihai daripada ayahnya sendiri, Sin-kiam-eng! Di samping kekaguman ini,
juga jantungnya berdebar-debar mengingat bahwa ia harus duduk di atas pundak orang,
suatu perasaan yang belum pernah ia rasai sebelumnya dan Hal ini tanpa ia sadari
disebabkan oleh kelakar pujian tadi.
Ia pun maklum mengapa pemuda buta itu menyuruh ia duduk di atas pundaknya. Memang
hanya itulah jalan satu-satunya yang paling baik. Dengan duduk di pundak, selain ia dapat
ikut "membonceng" naik, juga ia bertugas sebagai mata pemuda itu, dengan mahkota di
atas kepala itu sebagai pengganti obor penerangan, Memang begini lebih aman daripada si
buta itu harus merayap naik seorang diri, sungguhpun harus diakui bahwa untuk dapat
mempergunakan Ilmu Pek-houw-yu-chong dengan diboncengi pundaknya, benar-benar
merupakan hal yang luar biasa sekali.
"Hayo, lekas kau duduk, tunggu apa lagi?" Kun Hong bertanya heran ketika belum juga Loan
Ki duduk di pundaknya. Tanpa berkata apa-apa gadis itu lalu duduk di atas pundak kanan
Kun Hong yang segera bangkit berdiri. "Hati-hati jangan banyak bergerak, tapi awas
melihat rintangan di atas,"
Mulailah Kun Hong merayap ke atas. Memang hebat tenaga dalam pemuda buta ini, dengan
punggungnya menempel dinding, dia menggunakan tangan kanan dan kedua kaki untuk
merayap naik, kedua kakinya bergantian mendorong dinding sebelah depan, tangan
kanannya mencari pegangan batu menonjol untuk menarik tubuhnya ke atas, sedangkan
punggungnya dipergunakan sebagai alat penahan tubuhnya supaya tidak merosot ke bawah!
Tangan kiri yang memegangi tongkat tetap siap menjaga datangnya bahaya serangan.
Kagum sekali Loan Ki. Sedikit demi sedikit mereka naik dan akhirnya sampai juga ke
pinggiran sumur. Dengan girang Loan Ki melihat bahwa di situ tidak ada ular. Ia lalu
meloncat ke luar, dan menarik tangan Kun Hong untuk membantu pemuda ini ke luar pula,
bantuan yang sebetulnya tidak perlu bagi pemuda lihai itu.
"Tidak ada ular di sini......." bisik Loan Ki. "Entah ke mana mereka pergi."
"Agaknya ular-ular itu takut kepada cahaya mutiara Ya-beng-cu, Ki-moi. Bagus sekali,
dengan mahkota ini kita akan ke luar tanpa khawatir diganggu ular-ular berbisa itu."
"Kalau begitu mari kita ke luar sekarang juga, Hong-ko. Kita mencari tempat istirahat lain,
tadi kita telah tersesat memasuki tempat ini."
Mereka lalu merangkak ke luar, Loan Ki yang mengenakan mahkota merangkak di depan.
Batu penutup lubang disingkirkan dan benar saja, tidak ada ular berani menghadang
mereka. Agaknya ular-ular itu ketakutan melihat cahaya mutiara itu dan pergi
meninggalkan lubang. Setelah tiba di luar, Loan Ki meloncat turun, diikuti oleh Kun Hong.
Girang hati mereka mendapat kenyataan bahwa di situ sunyi sekali, tak tampak seorang
pun manusia. Dan lebih girang lagi hati Loan Ki melihat adanya bulan yang cukup terang di
angkasa. Begitu menginjak tanah dan berada di udara terbuka, kedua orang muda ini
merasa nyaman sekali sehingga berkali-kali mereka menarik napas panjang, menyedot
hawa seperti orang kehausan mendapat minum air segar!
"Hong-ko, bulan bersinar, aku dapat melihat jalan. Lebih baik kita tinggalkan daerah ini."
Kun Hong tidak membantah dan demikianlah, di bawah sinar bulan tiga perempat itu kedua
orang muda ini dengan hati lapang meninggalkan tempat yang penuh pengalaman
mengerikan tadi langsung menuruni puncak yang penuh batu karang.
Kurasa tidak baik kita berkeliaran di malam hari, apalagi tempat ini agaknya mengandung
banyak rahasia. Lebih baik kita mengaso malam ini dan besok pagi kita berusaha keluar dan
kembali ke daratan.
"Mana ada tempat bermalam yang baik di tempat ular ini, Hong-ko?"
"Paling baik di atas pohon besar. Bahaya satu-satunya hanya ular, akan tetapi dcngan
adanya mahkota pusaka itu, kita tak usah khawatir."
Demikianlah, dua orang muda itu meloncat ke atas pohon besar, memilih cabang besar
yang enak diduduki dan beristirahat melewatkan malam. Kun Hong duduk bersila di atas
cabang pohon, tak bergerak seperti patung. Tahu bahwa orang muda yang sakti itu duduk
bersamadhi, Loan Ki tidak mau mengganggunya, hanya memandang bayangan orang buta
itu dengan penuh kekaguman. Berkali-kali ia mendengar bisikan hatinya sendiri, ".......
sayang matanya buta....... sayang dia buta....... sayang......." Ia merasa jengkel akan
bisikan perasaan ini karena ia benar-benar tak mengerti mengapa ia merasa sayang akan
kebutaan Kun Hong.
"Orang seperti dia tidak seharusnya dikasihani," ia menghibur diri, "biarpun buta, dia
melebihi sepuluh orang pendekar melek (dapat melihat)......." Akhirnya ia tertidur juga di
atas cabang pohon. Seorang ahli silat tinggi seperti Loan Ki memang tidak khawatir akan
terjatuh di waktu tidur, karena ia sudah terlatih akan kebiasaan ini dan sudah banyak ia
merantau dan seringkali tidur di dalam hutan seorang diri.
***
"Hong-ko....... bangun, Hong-ko....... tuh di sana kumelihat air telaga!" pagi-pagi sekali
Loan Ki sudah berteriak-teriak membangunkan Kun Hong yang sebetulnya memang sudah
sadar atau terjaga daripada tidur dan samadhinya. Beberapa ekor burung sampai kaget
oleh teriakan Loan Ki dan beterbangan sambil berbunyi keras. Gadis itu tertawa geli
menyaksikan tingkah burung-burung itu. Akan tetapi Kun Hong sebaliknya geli mendengar
suara Loan Ki.
"Bagus, kalau begitu kita tinggal menuju ke sana, mencari perahu untuk menyeberang."
jawab Kun Hong sambil meluncur turun dari batang pohon itu.
Loan Ki juga meloncat turun, lalu tertawa. "Wah, kelihatan sekarang betapa kotor pakaian
kita, Hong-ko. Penuh tanah lempung!"
"Tidak apa, pakaian kotor dapat dicuci, Ki-moi."
"Ah, malu kalau bertemu orang. Aku hendak menukar pakaian dulu, Hong-ko. Kan padaku
ada bekal pakaian bersih. Wah, di mana ya bisa bertukar pakaian?"
Gadis itu berjalan ke sana ke mari, agaknya mencari gerombolan tanaman yang dapat ia
pergunakan untuk sembunyi dan bertukar pakaian.
"Hong-ko," terdengar suaranya dari depan agak jauh, "kau menghadaplah ke sana dulu,
membelakangi aku!"
Hampir-hampir tidak dapat Kun Hong menahan ketawanya. Dia tersenyum lebar dan
mengacungkan tangan seperti hendak menampar kepala temannya itu. "Bocah nakal,
apakah aku kurang buta sehingga kau suruh menghadap ke lain jurusan? Andaikata kau
bertukar pakaian di depan mataku, aku pun tak dapat melihatmu, Ki-moi." Akan tetapi
tetap saja dia memutar tubuhnya menghadap ke lain jurusan.
Setelah selesai berpakaian, Loan Ki menghampiri Kun Hong dan berkata,
"Hong-ko, kau selalu mengajak aku kembali ke daratan, seakan-akan kau takut berada di
pulau ini. Malah kau kemarin menyebut apakah aku melihat seorang kakek yang buntung
lengan dan telinga kiri, mata kiri buta, siapakah orang itu?"
"Sebetulnya orang itu sudah mati, Ki-moi. Yang kumaksudkan itu adalah seorang tokoh
jahat bernama Siauw-coa-ong Giam Kin. Karena aku mendengar suling dan berkumpulnya
ular-ular itu, aku jadi teringat kepada tokoh ini yang juga seorang ahli memelihara ular."
"Kau aneh, Hong-ko. Kalau dia sudah mati, kenapa kau takut?"
"Aku hanya terheran-heran mendengar ular-ular yang digembalakan orang. Ki-moi, dan aku
dapat menduga bahwa pemilik-pemilik pulau ini pasti adalah orang-orang pandai seperti
Giam Kin itu. Kalau kita berdua membikin onar di sini, alangkah tidak baiknya. Inilah
sebabnya maka aku mengusulkan agar kita kembali saja dan jangan menimbulkan keonaran
di tempat orang."
"Baiklah, malam tadi pun aku sudah merasa menyesal datang ke pulau iblis ini. Mari kita
pergi ke pantai telaga yang kulihat dari atas pohon tadi, Hong-ko."
Loan Ki menggandeng tangan Kun Hong dan mengajak pemuda itu berlari cepat ke arah
pantai telaga yang ia lihat tadi, yaitu ke sebelah, timur dari mana cahaya matahari
memerah membakar angkasa raya. Mahkota yang semalam telah menyelamatkan mereka
itu kini telah aman berada dalam buntalan pakaian yang tergantung di punggung Loan Ki
lagi. Biarpun yang seorang adalah orang buta, namun mereka lari cepat sekali. Memang
inilah cara satu-satunya untuk mengajak Kun Hong berlari cepat, yaitu dengan
menggandeng tangannya. Tanpa dituntun, biarpun pemuda itu memiliki kesaktian, tak
mungkin dia akan dapat berlari cepat, tentu akan menabrak-nabrak.
"He, Ki-moi, kenapa belum juga sampai dan kenapa kau bawa aku menikung-nikung tidak
karuan begini?"
Loan Ki berhenti, lalu menghela napas panjang. "Pulau ini benar-benar aneh, Hong-ko.
Pulau iblis! Terdapat jalan yang rata, akan tetapi heran sekali, mengikuti jalan ini agaknya
akan membawa kita terputar-putar tidak karuan. Kulihat seakan-akan keadaan tempat di
mana kita berdiri ini serupa benar dengan tempat di mana kita berangkat tadi......." Ia
berseru kaget, lari ke depan meninggalkan Kun Hong, lalu kembali lagi sambil berkata,
"Wah, benar-benar ini tempat yang tadi, Hong-ko! Tuh, di sana adanya gerombolan pohon
kembang di mana aku bertukar pakaian tadi, pengikat rambutku yang terjatuh di sana
masih ada."
Kun Hong mengangguk-anggukkan kepala, kulit di antara kedua matanya berkerut.
"Kurasa pemilik pulau ini adalah seorang ahli dalam alat-alat rahasia dan sengaja mengatur
pulaunya penuh rahasia agar menyukarkan orang asing memasukinya, seperti keadaan di
Thai-san. Ki-moi, kau lihat dari atas pohon tadi, pantai berada di jurusan manakah?"
"Di timur karena kulihat cahaya matahari di sana pula."
"Nah, kalau begitu, sekarang kita harus langsung menuju ke timur, jangan menggunakan
jalan yang sengaja dibuat untuk menyesatkan kita. Kita ambil jalan liar, kalau perlu
menerabas hutan, asal terus ke timur. Pasti akan sampai di pantai itu."
Akan tetapi hal itu ternyata lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Jalan menuju ke
timur ini ternyata harus melalui hutan-hutan liar yang penuh alang-alang, melalui rawa dan
malah melalui hutan kecil penuh duri. Jalannya menanjak dan pada akhirnya mereka tiba
di tebing yang curam. Ketika Loan Ki menjenguk ke bawah, memang tampak air telaga di
bawah sana, namun dalamnya dari tebing itu tidak kurang dari seratus meter!
Loan Ki melepaskan tangan Kun Hong, berjalan ke sana ke mari mencari jalan untuk
menuruni tebing curam itu. "Wah, sampai di sini buntu, Hong-ko. Biar kucari jalan untuk
turun. Tuh, di bawah sudah kelihatan telaganya, dan jauh ke depan itu menyeberangi
telaga akan sampai di darat kembali. Agaknya jalan menurun di alang-alang itu...... heeii,
aduhhh....... Hong-ko....... tolong.......!"
Kun Hong terkejut sekali, cepat dia bergerak maju dengan didahului tongkatnya, ke arah
suara Loan Ki. Dia mendengar batu-batu banyak sekali menggelinding dan lenyaplah suara
Loan Ki. Kagetnya bukan kepalang ketika dia sampai di tempat dari mana suara gadis itu
terdengar, tongkatnya meraba tempat kosong! Kiranya dia berdiri di tepi tebing yang entah
berapa dalamnya dan tongkatnya yang meraba gugusan batu yang pecah, agaknya Loan Ki
yang tadi berdiri di situ telah terperosok dan jatuh ke bawah bersama pecahan tanah dan
batu-batu.
Kun Hong mengerahkan khikangnya dan berteriak ke bawah, "Ki-moi .......!"
Hanya gema suaranya yang menjawab.
"Loan Ki .......!!"
Kembali suaranya yang menjawab.
"Celaka...... apa yang terjadi dengan dia?" Kun Hong bingung dan menyesal sekali. Baru kali
ini selama dia buta, dia menyesal akan kebutaan matanya sehingga dia tidak dapat melihat
apa yang terjadi dengan gadis itu dan tak dapat menolongnya. Dia mengambil sebuah batu
kecil dan melepaskannya ke bawah. Kepalanya dimiringkan, bibirnya berkemak-kemik
menghitung waktu. Tujuh belas kali dia menghitung, baru batu itu menyentuh air! Kun
Hong bergidik. Tak mungkin dia mengikuti gadis itu terjun ke bawah. Hal ini berarti
kematian baginya. Akan tetapi dia masih mempunyai harapan yang menghibur hatinya.
Bukankah Loan Ki pernah bilang bahwa gadis itu pandai berenang? Kalau dasar, di bawah
tebing itu air, belum tentu gadis itu tewas. Akan tetapi, kalau selamat, kenapa tidak
menjawab panggilannya?
Kembali pemuda buta ini menjenguk ke depan dan memanggil. Suaranya nyaring sekali dan
bergema, mengejutkan burung-burung yang beterbangan di sekeliling tempat itu. Bebarapa
kali dia memanggil namun tak pernah terjawab kecuali oleh gema suaranya sendiri. Kun
Hong menjadi sedih, pelupuk matanya gemetar, kulit di antara kedua matanya berkerut
dalam, wajahnya agak pucat. Lalu dia meraba-raba dengan tongkatnya mencari jalan
turun. Dia hendak menurupi tebing itu dan mencari Loan Ki di bawah sana.
Akhirnya dapat juga dia turun melalui celah-celah batu karang. Sukar sekali perjalanan
menurun ini, merayap seperti seekor monyet, hanya berpegang pada batu-batu karang
yang menonjol. Kadang-kadang Kun Hong yang meraba sana meraba sini kehabisan
pegangan dan terpaksa ia menggunakan tongkatnya yang ditancapkan kepada dinding
karang.
Demikianlah, sambil meraba-raba dia merayap turun terus, tidak tahu ke mana akhirnya
dia akan sampai. Dia tahu bahwa jalan yang ditempuhnya ini membelok ke sana ke mari
karena memang seringkali dia bertemu dengan jalan buntu yang mengharuskan dia mencari
jalan memutar.
Dia merasa heran sekali karena ternyata dia tidak sampai di pinggir telaga, malah tiba-tiba
alat penggandanya mencium keharuman bunga-bunga yang beraneka warna dan kakinya
menginjak tanah berumput yang halus. Ketika dia meraba dengan tangannya, kiranya dia
telah sampai di tengah rumput yang segar gemuk dan di sana-sini semerbak harum bunga.
"Heran sekali seakan-akan aku berada di dalam taman bunga yang amat luas penuh
bermacam-macam bunga......" pikirnya dan teringatlah dia akan seruan Loan Ki pada saat
kedatangan mereka di tempat itu. Gadis itu telah melihat sebuah taman bunga yang indah.
Inikah taman bunga itu?
Angin semilir sejuk dan pendengarannya yang tajam menangkap suara orang bercakap-
cakap, suara wanita yang halus terbawa angin. Kun Hong girang sekali, mengira bahwa
tentu Loan Ki yang sedang bercakap-cakap itu. Akan tetapi dia tidak berani berlaku
sembrono memanggil gadis itu karena dia belum tahu dengan siapa gadis itu bercakap-
cakap dan dalam keadaan bagaimana. Dengan hati-hati dia bergerak maju ke arah suara.
Setelah agak dekat dan dapat mendengar jelas, dia menyelinap di balik sebuah pohon buah
yang besar, bersembunyi dan mendengarkan penuh perhatian. Besar kekecewaan hatinya
ketika mendengar bahwa yang bercakap-cakap itu sama sekali bukanlah Loan Ki seperti
yang diharapkannya, melainkan suara wanita-wanita yang lain, Suara wanita yang dingin
dan tajam mendatangkan perasaan ngeri kepadanya karena dari suara ini dia dapat menilai
orang yang memiliki watak yang aneh dan dapat kejam melebihi iblis sendiri. Akan tetapi
suara ke dua membuat dia berdebar dan kagum. Suara ini halus lunak, merdu dan kiranya
hanya patut dipunyai oleh bidadari, bukan wanita biasa. Suara pertama adalah suara
seorang wanita yang sukar ditaksir usianya, akan tetapi takkan kurang dari empat puluhan.
Adapun suara "bidadari" itu adalah suara seorang gadis remaja. Bukan main suaranya,
seperti nyanyian dewi malam, mengelus-elus perasaan hatinya sungguhpun dia menangkap
getaran-getaran aneh pula dalam suara merdu merayu ini. Getaran yang mengandung
sesuatu yang rahasia dan yang menyembunyikan watak daripada si pemilik suara.
"Hui Kauw, cukup sudah semua alasanmu itu!" terdengar suara dingin dengan nada kesal.
"Jodohmu adalah Pangeran Souw Bu Lai dan kau tak boleh membantah lagi. Kau tahu,
pangeran itu setelah sekarang kaisar muda yang tak becus menduduki tahta, mempunyai
banyak harapan menjadi kaisar membangun lagi Kerajaan Goan, dan kau mempunyai
harapan menjadi permaisuri kaisar! Orang apa itu si pemuda she Bun? Huh, hanya anak
ketua Kun-lun-pai, biar tampan dan gagah, hanya orang biasa, mana boleh anakku tergila-
gila kepada orang macam itu?"
"Ibu, aku tidak tergila-gila........ aku hanya bertemu satu kali dengan Bun-enghiong, aku
hanya bilang bahwa dia seorang pendekar perkasa. Bukan karena dia aku tidak sudi
menjadi calon jodoh Pangeran Mongol itu, melainkan karena....... karena aku tidak suka
menikah. Aku lebih senang tinggal di sini......."
"Huh, alasan kosong. Siapa tidak tahu hati muda? Melihat wajah tampan dan watak
pendekar lalu jatuh hati, hemm. Sudahlah, tak mau aku berpanjang debat, aku harus
menyambut para tamu kita yang akan membicarakan soal membantu usaha Pangeran Souw
Bu Lai. Dan kau harus tahu, dalam hal kegagahan, kiraku orang she Bun itu, takkan dapat
menandingi Pangeran Souw."
"Ibu......."
Kun Hong mendengar betapa wanita bersuara dingin itu berkelebat pergi dan terkejutlah
dia ketika menangkap desir angin yang amat cepat ketika wanita ini pergi. Wah, kiranya si
suara dingin ini memiliki kepandaian yang hebat. Ginkangnya terang tidak di sebelah
bawah kepandaian Loan Ki!
Selain dua orang wanita yang bercakap-cakap ini, Kun Hong tahu bahwa di situ terdapat
sedikitnya tiga orang wanita lain yang lemah lembut gerakan-gerakannya, mungkin dayang-
dayang yang melayani nona bersuara bidadari ini. Diam-diam Kun Hong merasa terharu dan
juga tercengang. Tak mungkin salah lagi, yang disebut-sebut sebagai pemuda she Bun
dalam percakapan tadi, tentulah bukan lain Bun Wan, putera dari ketua Kun-lun-pai! Bun
Wan, bekas tunangan kekasihnya, mendiang Cui Bi. Hatinya berdebar dan telinganya serasa
mengiang-ngiang. Sungguh sebuah hal yang amat kebetulan sekali, urusan yang amat cocok
dengan pengalamannya dahulu. Seperti juga Cui Bi yang mencintanya dan sudah
ditunangkan dengan Bun Wan (baca Rajawali Emas) juga si suara bidadari ini hendak
dipaksa ibunya berjodoh dengan seorang Pangeran Mongol, padahal si bidadari ini agaknya
condong hatinya kepada Bun Wan! Benar-benar hal yang terbalik. Kalau dulu (dalam cerita
Rajawali Emas), Bun Wan merupakan tunangan yang tidak dipilih dan tidak disukai oleh
calon jodohnya, kini rupanya dia malah terbalik memegang peranan sebagai orang yang
menjadi sebab terhalangnya perjodohan orang lain! Bun Wan kini memegang peranan yang
dipegangnya dahulu, peranan yang berakhir dengan pengorbanan kedua matanya untuk
mengimbangi pengorbanan Cui Bi yang menyerahkan nyawanya!
Dia memperhatikan terus. Beberapa kali terdengar si bidadari itu menarik napas panjang.
Dasar suara bidadari. Tarikan napas panjang saja terdengar begitu halus dan seakan-akan
helaan napas itu menambah keharuman bunga-bunga di taman! Perasaan Kun Hong
menggetar, penuh iba kasihan. Teringat dia akan Cui Bi. Serupa benar nasib dara bidadari
ini dengan mendiang Cui Bi. Apakah ia akan mengalami nasib seperti Cui Bi pula? Gagal
dalam berkasih asmara, dan berakhir mengorbankan nyawa? Tidak! Tidak boleh! Peristiwa
mengenaskan itu tak boleh terulang lagi. Apa pula terhadap diri seorang dara yang
bersuara bidadari ini. Dia akan berusaha menghalau bahaya itu.
Langkah-langkah kecil dan ringan terdengar, disusul suara bening. "Siocia, ini minuman
susu madu yang kau pesan, dan ini pengganti saputangan sutera......."
"A Man, kau letakkan saja di atas meja itu kemudian kau pergilah bersama semua temanmu
tinggalkan aku di sini...."
"Tapi Siocia (nona), toa-nio (nyonya besar) akan marah kalau saya dan teman-teman tidak
menjaga dan melayani Nona di sini......."
"A Man, aku bukan anak kecil lagi yang harus dijaga setiap waktu. Aku mau berlatih
pedang, apakah kau bermaksud hendak mencuri lihat?"
"Ah....... mana berani....... mana berani, Nona."
"Nah, lebih baik kau lekas pergi keluar dari taman ini. Lebih berguna kalau kau dan teman-
temanmu ikut mencari dua orang asing yang katanya telah memasuki pulau dan membunuh
banyak ular. Kalau bertemu dengan mereka yang tentu lihai, kau dan teman-temanmu bisa
mencoba semua kepandaian kalian. Apakah percuma saja kalian selama ini dilatih ilmu
silat? Hayo, keluarlah dari sini, lekas!"
Terdengar para pelayan itu pergi sambil tertawa-tawa. Ternyata ada lima orang pelayan
wanita dan agaknya yang bernama A Man itu adalah pelayan kepala atau yang paling
disayang oleh nona bidadari, yang bernama Hui Kauw ini. Kun Hong mendengarkan semua
itu dengan kagum. Makin indah suara nona ini ketika bercakap-cakap dengan para pelayan.
Malah ucapan paling akhir itu mengandung sendau gurau yang halus. Alangkah jauh
bedanya dengan Loan Ki atau Cui Bi. Loan Ki dan mendiang Cui Bi, adalah gadis-gadis yang
lincah jenaka, gembira dan bebas, andaikata kembang adalah kembang mawar hutan yang
tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan tidak takut akan angin ribut dan selalu berseri
namun siap melukai siapa pun yang ingin merabanya dengan duri-duri meruncing. Adapun
dara bersuara bidadari ini yang tadi oleh ibunya disebut Hui Kauw, adalah seorang dara
yang lemah lembut, halus gerak-geriknya, halus pula tutur sapanya, bagaikan setangkai
bunga seruni yang indah jelita, kecantikannya menenteramkan hati, suaranya bagai musik
surga mengamankan jiwa.
Kemudian Kun Hong mendengar desir angin permainan pedang. Mula-mula angin sambaran
itu lambat-lambat juga perlahan saja, tanda bahwa pemainnya belum mahir benar dan
tenaganya kecil. Kun Hong mmengerutkan keningnya. Gadis bersuara bidadari ini kalau
dalam hal ilmu pedang jauh di bawah tingkat Loan Ki, apalagi tingkat Cui Bi. Akan tetapi
hawa pukulan pedangnya benar-benar aneh merupakan garis lingkaran-lingkaran.
Permainan pedang dengan cara membentuk lingkaran-lingkaran seperti itu memang banyak
dalam kalangan ilmu pedang tinggi, akan tetapi lingkaran ini biasanya terus menjurus ke
arah lingkaran lain yang sejalan atau berubah menjadi tusukan, bacokan miring, bacokan
lurus dan lain cara penyerangan lagi. Anehnya, gerakan pedang dara bersuara bidadari ini
lingkarannya berubah-ubah menjadi lingkaran yang bertentangan, kadang-kadang berputar
dari kanan, kadang-kadang dari kiri. Cara bermain pedang seperti ini, mana bisa
dipergunakan untuk bertempur, pikir Kun Hong heran.
Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya dan wajahnya sampai berkerut-merut karena dia
mencurahkan seluruh perhatiannya mempergunakan pendengarannya yang mengikuti desir
angin pedang. Makin lama mukanya berubah makin merah ketika dia mengikuti terus
permainan pedang itu. Gerakan yang tadinya membayangkan kecanggungan, kekakuan dan
kelemahan itu lambat laun berubah, bagaikan gelombang samudera yang sedang pasang,
tidak kentara perubahannya makin lama makin sigap, makin licin, makin kuat. Lingkaran-
lingkaran membesar, meluas, dan masih saja mengandung pertentangan, yaitu lingkaran-
lingkaran yang membalik gerakannya. Kun Hong menjadi bingung dan malu kepada diri
sendiri. Kiranya dia tadi salah duga dan baru kali ini pendengarannya menipunya, baru kali
ini pendengarannya kalah "awas" oleh sepasang mata. Kiranya dara bersuara bidadari ini
memiliki ilmu pedang yang benar-benar luar biasa dan juga tinggi sekali tingkatnya, malah
kini dia dapat mendengar betapa tenaga Iweekang yang terkandung dalam gerakan-gerakan
itu amat dalam, sukar diukur dan ilmu pedang itu sendiri memiliki gerakan lingkaran yang
penuh rahasia!
"Siuuuttt....... cratt!" Sebatang pedang menancap pada pohon di depan Kun Hong, batang
pohon yang menutupi dan menyembunyikan tubuh pemuda buta ini. Kun Hong kaget sekali.
Apakah nona itu melihatnya dan sengaja menakut-nakutinya dengan melemparkan pedang
pada batang pohon itu? Dia bersikap waspada, akan tetapi tidak bergerak ke luar dari
tempat sembunyinya. Dia merasa malu sekali dan sedang memutar otaknya bagaimana dia
akan menjawab nanti kalau ditanya tentang kehadirannya di taman orang dan "mengintai"
dengan telinganya tanpa ijin pemilik taman.
Langkah kaki yang ringan dan lesu mendekati pohon. Hidung Kun Hong kembang-kempis.
Keharuman yang sedap dan aneh mengalir memasuki lubang hidungnya, bau yang luar biasa
harumnya seperti....... seperti apakah gerangan?
Tidak ada bunga yang seharum ini, harum yang tidak memuakkan, tidak keras, seperti
harum bunga mawar? Tidak, lain lagi. Seperti harum minyak wangi dan dupa? Juga bukan,
sungguhpun memiliki daya penenteram rasa seperti keharuman dupa. Apakah bau cendana?
Juga bukan, cendana terlalu wangi sehingga memusingkan kepala. Tiba-tiba wajah Kun
Hong tersenyum berseri. Inikah bau sedap seperti bau anak kecil? Ya, pernah dalam
perantauannya dia dimintai tolong orang supaya mengobati anak-anak dan seperti inilah
anak bayi itu baunya. Sedap dan mengamankan hati!
Comments