Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun
Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak
ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung,
bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan
nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak
hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang.
Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia
mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan
sesuatu.
Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat
dari belakang itu.
"Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan
sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih
kepada pemuda buta ini.
Kun Hong menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh perlahan, mulutnya
tersenyum lebar namun kedua telinga tetap waspada mendengarkan dan mengikuti segala
gerak-gerik di sekitarnya. Tentu saja dia mengenal suara perampok kasar yang dia jumpai
pagi tadi, akan tetapi dia pura-pura tidak mengenalnya dan bertanya,
"Saudara siapa dan apa maksud saudara mengejar aku si buta ini?" Dia tahu bahwa orang
kasar itu kini menjura kepadanya, membungkuk-bungkuk beberapa kali tanda
penghormatan. Gerakan tubuh ini saja tak dapat terlepas daripada pendengarannya yang
amat tajam melebihi orang biasa yang tidak buta. Hal ini amat menggirangkan dan
melegakan hatinya karena dia dapat menduga bahwa kedatangan belasan orang ini kiranya
tidak mengandung niat jahat.
"Tuan muda, saya Hek-twa-to datang untuk minta maaf atas kelancangan saya pagi tadi
dan untuk mengembalikan bungkusan pakaianmu,"
Wajah itu makin berseri, senyuman makin melebar ketika dia mengulurkan tangan untuk
menyambut bungkusan. "Ah, terima kasih, twako. Sebetulnya aku tidak begitu
membutuhkan pakaian ini, akan tetapi kalau kau tidak memerlukan, baik kuterima untuk
pengganti kalau yang kupakai sudah kotor. Berada padaku atau padamu sama saja, pakaian
gunanya untuk dipakai, siapapun yang memakainya tidak menjadi soal. Terima kasih." Dia
menggantungkan buntalan pakaian itu di pundaknya.
Hek-twa-to menjura lagi. "Juga saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan sinshe
(sebutan untuk tabib) yang telah menyembuhkan luka di dalam dadaku."
Kun Hong tertawa. "Tidak perlu berterima kasih. Yang menyembuhkan adalah kau sendiri,
Twako. Ketika kau menggunakan tenaga menghantam ke depan tadi, hawa pukulan
tertahan oleh jalan darah yang buntu merupakan kekuatan yang hebat. Aku hanya
membantu membuka jalan darah itu sehingga hawa itu menerobos dan sekaligus
menghalau hawa beracun yang mengeram di tubuhmu. Sama sekali tidak perlu berterima
kasih."
Hek-twa-to terkejut. Kiranya si buta ini yang menyentuh dadanya. Kenapa dia tidak
melihatnya sama sekali? Setelah saling pandang penuh keheranan dengan kawan-kawannya,
dia lalu menjura lagi dan berkata,
"Sekarang kami minta dengan hormat agar Sinshe suka ikut dengan kami ke tempat tinggal
kami di sebelah barat bukit ini..........."
"Sayang, tidak bisa..........." Kun Hong memotong, "aku adalah seorang manusia bebas,
tidak mau terikat oleh segala budi. Terima kasih, Twako, biarlah aku melanjutkan
perjalananku seenaknya dan harap kau dan teman-temanmu kembali."
Seorang kawan Hek-twa-to yang paling kasar wataknya di antara para perampok itu
menjadi marah dan berteriak, "Kita gusur saja tabib buta yang sombong ini!"
Kun Hong tersenyum sabar, maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang kasar yang
berwatak keji. "Aku adalah seorang buta lagi miskin tidak memiliki apa-apa, juga aku akan
mengalah kalau kalian menghendaki barang-barangku kecuali bungkusan obat dan tongkat
ini. Akan tetapi jangan harap aku akan suka menuruti paksaan orang, sungguhpun paksaan
untuk menjamuku dengan hidangan-hidangan mahal."
"Tong-te, kau tutup mulutmu!" bentak Hek-twa-to kepada kawannya yang kasar itu,
kemudian dia menghadapi Kun Hong lagi. "Siauw-sinshe, harap kau maafkan temanku yang
lancang mulut ini. Sesungguhnya kami mengharap kau suka ikut dengan kami karena kami
perlu pertolonganmu untuk mengobati ketua kami dan dua puluh orang lebih teman-teman
kami yang menderita luka-luka berat. Harap kau suka menolong kami seperti kau telah
lakukan kepadaku tadi. Jangan khawatir, untuk biaya pengobatan ini, berapapun juga kau
minta, ketua kami sudah pasti akan memenuhinya."
Berkerut kening di muka yang tampan itu. Kun Hong maklum bahwa orang-orang ini bukan
orang-orang baik, tentu ketuanya juga bukan orang baik. Agaknya golongan hitam
pengacau rakyat. Sebetulnya mengingat keadaan mereka, tidak patut ditolong. Akan tetapi
dia dapat membayangkan betapa sengsaranya mereka yang menderita sakit itu dan hatinya
yang penuh welas asih tidak kuasa menahan hasratnya hendak menolong.
"Hemm, begitukah? Kalau kalian mengundangku untuk menolong orang-orang sakit, lain lagi
halnya. Tak usah bicara tentang upah, kalau aku berhasil dapat mengurangi rasa nyeri yang
mereka derita, sudah cukup bagus untukku. Mari kita berangkat."
Berangkatlah rombongan itu turun bukit. Akan tetapi biarpun tongkatnya dituntun Hek-
twa-to, seorang buta sebagai Kun Hong tentu saja tidak dapat berjalan cepat. Rombongan
itu tidak sabar dan ketika Hek-twa-to mengusulkan untuk menggendong tabib buta itu, Kun
Hong tidak menolak. Maka digendonglah pemuda itu oleh Hek-twa-to yang kuat dan
rombongan ini berlari-lari turun bukit dengan cepat.
Makin curiga hati Kun Hong. Di atas gendongan, dia dapat mengira-ngira tingkat
kepandaian mereka. Ilmu lari cepat mereka lumayan tanda bahwa mereka ini, terutama
Hek-twa-to, memiliki kepandaian silat. Ketua mereka tentu seorang kosen. Kalau sampai
ketua mereka terluka, juga dua puluh orang lebih anak buahnya, alangkah tangguhnya
musuh mereka. Dan mengingat sikap mereka yang jahat, agaknya yang menyebabkan
mereka luka-luka itu tentulah seorang pendekar. Berkali-kali dia menarik napas panjang di
atas gendongan Hek-twa-to. Pendekar itu merobohkan dan melukai orang-orang karena
tugasnya sebagai pendekar yang membasmi kejahatan. Akan tetapi dia pergi akan
menyembuhkan mereka, juga hal ini karena tugasnya sebagai seorang ahli pengobatan yang
tidak boleh memilih penderita, baik dia kaya atau miskin, jahat atau tidak.
Ketika ketua Hui-houw-pang dan para tamunya yang terdiri dari jagoan-jagoan di dunia
kang-ouw dan bu-lim itu melihat bahwa tabib buta itu ternyata hanya seorang laki-laki
yang masih amat muda, mereka terbelalak keheranan, saling pandang dan ragu-ragu. Para
tamu yang hadir di situ adalah undangan-undangan Lauw Teng, terkenal sebagai tokoh-
tokoh kang-ouw. Malah di antaranya terdapat seorang tosu muka bopeng (burik) yang
mempunyai sinar mata tajam berkilat dan di punggungnya tergantung sepasang pedang
tipis. Mereka ini banyak mengenal orang pandai, malah pernah mendengar tentang setan
obat Toat-beng Yok-mo, sudah banyak melihat tabib-tabib pandai. Akan tetapi belum
pernah mereka melihat seorang ahli pengobatan masih begini muda. Tidak mengherankan
apabila mereka memperdengarkan suara mencemooh dan memandang rendah.
Ketua Hui-houw-pang kecewa sekali. Diam-diam dia marah kepada Hek-twa-to yang
dianggapnya membohong dan menipu. Untuk menutupi kekecewaannya, dia bertanya
dengan nada suara keras memandang rendah.
"Heh, orang muda buta. Apakah kau yang telah menyembuhkan Hek-twa-to seorang
anggautaku?"
Kun Hong tidak tahu siapa yang bicara dengannya, akan tetapi terang bahwa dia ini adalah
ketua yang dimaksudkan oleh Hek-twa-to tadi, entah ketua apa. Dia tersenyum dan
menjawab, "Dia yang menyembuhkan dirinya sendiri, aku hanya membantu." Kata-katanya
halus, akan tetapi sama sekali tidak merendahkan diri atau menghormat. Ketua Hui-houw-
pang yang biasanya disembah-sembah oleh anak buahnya yang pandai menjilat, ditakuti
semua orang, mendongkol juga melihat dan mendengar sikap orang buta ini.
"Orang buta, jangan kau main-main di sini. Apakah benar kau pandai mengobati orang sakit
dan terluka?"
"Tidak ada orang pandai di dunia ini, sahabat. Yang pandai hanya Tuhan, Aku hanya diberi
pengertian tentang pengobatan, pengertian kecil tak berarti. Kalau Tuhan menghendaki,
tentu akan menyembuhkan orang sakit."
"Dengar, orang muda. Kami dua puluh orang lebih menderita luka-luka. Kalau kau bisa
menyembuhkan kami, berapa saja upah yang kau minta, akan kubayar. Akan tetapi kalau
ternyata kau tidak mampu menyembuhkan kami, hemm, jangan tanya akan dosamu, kau
tentu akan kubunuh mampus karena kau telah mengetahui keadaan kami. Sanggupkah
kau?"
Diam-diam Kun Hong mendongkol sekali. Tidak salah dugaannya tadi bahwa ketua ini
tentulah orang yang berwatak keji pula. Namun sesuai dengan wataknya yang sabar dan
bijaksana, wajahnya tetap tersenyum.
"Aku selalu siap mengobati orang sakit. Sembuh atau tidaknya terserah ke dalam tangan
Tuhan. Kalau dapat sembuh, aku tidak menentukan upahnya, terserah kepada penderita
sakit. Kalau tidak dapat sembuh, itu sudah nasibnya, mengapa kau hendak membunuhku?
Bukan kau yang memberi kehidupan pada tubuhku, bagaimana kau bisa bicara tentang
mengambilnya, sahabat?"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa melengking tinggi disusul suara halus,
"Lauw-sicu, omongan bocah ini ada isinya, kau berhati-hatilah!"
Kun Hong tercengang, kiranya di tempat itu terdapat orang pandai, pikirnya. Pembicara ini
adalah seorang kakek berusia lima puluhan, memiliki Iweekang yang kuat dan pandang
mata yang tajam. Semua ini dapat dia mengerti dari pendengarannya, tentu saja dia tidak
tahu bahwa kakek yang bicara itu adalah seorang tosu yang bermuka burik, seorang di
antara para tamu undangan. Kun Hong agak miringkan kepalanya dan dia dapat mendengar
betapa tuan rumah bersama kakek yang bicara tadi kini menggerak-gerakkan tangan dan
jari, agaknya saling memberi isyarat agar apa yang mereka kehendaki tidak terdengar
olehnya.
"Sinshe muda," kata Lauw Teng suaranya agak berubah, tidak segalak tadi, "biarlah
kuanggap saja kau memang pandai mengobati. Nah, kau mulailah mengobati seorang anak
buahku yang menderita luka di dalam tubuhnya," Setelah berkata demikian, Lauw Teng
berteriak, "He, A Sam, kau yang paling berat lukamu, kau merangkaklah ke sini biar diobati
oleh Siauw-sinshe ini!"
Kun Hong terheran. Sejak tadi setelah bercakap-cakap dengan ketua ini, dia tahu atau
dapat menduga, bahwa ketua ini menderita luka yang amat parah di dalam tubuhnya yang
perlu segera diobati. Kenapa ketua ini sekarang menyuruh dia mengobati seorang anak
buahnya lebih dulu? Apakah ketua ini sengaja mengalah terhadap anak buahnya? Tak
mungkin, orang yang berhati keji selalu mementingkan diri sendiri. Ataukah masih belum
percaya kepadanya maka menyuruh anak buahnya maju untuk mencoba-coba?
Tapi Kun Hong tidak pedulikan ini semua. Dia lalu duduk di atas bangku yang disediakan
untuknya dan menurunkan buntalan obat. Dia tahu bahwa dari depan berjalan seseorang
dengan langkah perlahan, kemudian orang ini berjongkok di depannya sambil
mengeluarkan suara rintihan dan berkata lemah.
"Siauw-sinshe, tolonglah saya....... tak kuat lagi saya ....... sampai merangkakpun hampir
tidak kuat. Aku terkena pukulan beracun kakek Bhe jahanam ....."
Semenjak kecilnya, Kun Hong sudah memiliki kecerdikan yang luar biasa. Begitu
mendengar kata-kata ini, segeralah terbuka semua rahasia yang tak dapat dilihatnya.
Kiranya ketua she Lauw tadi bersama kakek itu bersekongkol untuk mempermainkan dan
menguji dia. Orang ini pura-pura menderita luka pukulan, disuruh datang minta tolong
sehingga mereka itu akan segera tahu tentang kepandaiannya mengobati. Hemm, mereka
tidak percaya dan hendak mempermainkan aku, pikir Kun Hong. Baiklah, aku akan
melayani sandiwara kalian.
Sambil membungkuk Kun Hong meraba nadi tangan dan dada dekat leher A Sam itu,
mengerutkan keningnya lalu berkata, "Aihh, kau benar-benar menderita penyakit
berbahaya sekali! Biang batuk sudah berkumpul di pintu paru-paru. Sekarang belum terasa
olehmu, akan tetapi begitu kau tertawa, akan meledaklah batukmu dan sukar ditolong lagi.
Kau sama sekali tidak terluka oleh pukulan orang she Bhe atau orang she Ma, melainkan
karena terlalu banyak keluar malam sehingga masuk angin jahat!" Tentu saja sambil
berkata demikian, jari-jari tangan Kun Hong yang dapat bergerak secara luar biasa dan
secepat kilat itu telah menekan beberapa jalan darah tertentu di dada dan leher.
Mendengar keterangan ini, meledaklah suara ketawa para perampok itu, termasuk
ketuanya, Lauw Teng dan para tamu undangan. Hanya tosu burik itu saja yang tidak
tertawa, melainkan memandang dengan mata tajam. Lauw Teng tidak marah karena
biarpun keterangan Kun Hong itu amat lucu, namun orang ini dapat mengetahui bahwa A
Sam tidak terluka oleh pukulan beracun. Lucunya, A Sam adalah seorang yang sehat dan
tidak pernah batuk, biarpun memang suka keluar malam akan tetapi lucu kiranya kalau
seorang gemblengan seperti A Sam itu mudah saja masuk angin!
A Sam juga tertawa terpingkal-pingkal, akan tetapi tiba-tiba semua orang yang tadi
tertawa geli itu menghentikan suara ketawa mereka. Kini hanya terdengar sebuah suara
saja, suara orang berbatuk-batuk amat hebatnya. Dan tidak aneh kalau semua orang kini
memandang terheran-heran karena yang batuk secara hebat itu bukan lain adalah A Sam!
Tadinya A Sam sendiri mengira bahwa batuknya ini adalah secara kebetulan saja, akan
tetapi dia mulai menjadi khawatir dan gugup setelah batuknya itu tidak juga mau berhenti,
malah makin hebat sampai dia tak dapat menahannya lagi. Di dalam leher dan dadanya
serasa dikitik-kitik, mendatangkan rasa gatal-gatal dan geli. Tak tertahankan lagi A Sam
terbatuk-batuk sambil memegangi perut dan dada, membungkuk-bungkuk dan akhirnya dia
sampai jatuh bergulingan. Bukan main hebat penderitaannya.
Tadinya orang-orang mengira bahwa A Sam yang suka berkelakar itu sengaja
mempermainkan si tabib buta, akan tetapi karena tidak juga A Sam berhenti batuk,
mereka mulai khawatir, mendekat dan dengan mata terbelalak melihat A Sam sampai
mendelik-delik matanya karena terbatuk-batuk terus.
"Aduh ....... uh uh uh ....... aduh ....... tolonglah .......uh-uh-uh, Siauw-sinshe ..... uk-uh-
uh ......." Sukar sekali A Sam mengeluarkan kata-kata ini karena batuk membuat napasnya
sesak dan suaranya hampir hilang.
"Hemmm, sudah kukatakan tadi, kau tidak boleh tertawa. Siapa kira kau masih tertawa
terbahak-bahak sehingga ledakan batukmu tak tertahankan lagi. Kalau didiamkan saja, kau
akan terus terbatuk-batuk sampai jantungmu pecah dan aku akan mendiamkan saja, A Sam
kecuali kalau kau suka berterus terang mengapa kau tadi pura-pura terluka parah."
"Ampun ....... uh-uh, ampun Sinshe....... uh-uh-uh, saya disuruh mencoba, uh-uh, main-
main ....... ampun ......."
Lauw Teng melangkah maju. "Siauw-sinshe, harap kau suka mengobatinya. Terus terang
saja, tadi kami meragukan kepandaianmu maka sengaja hendak mengujimu. Maafkanlah."
Kun Hong memang bukan seorang pendendam. Tentu saja dia memaafkan mereka yang tadi
hendak, main-main kepadanya. Malah perbuatannya terhadap A Sam ini pun hanya untuk
main-main belaka. Dia segera maju mendekat, beberapa kali dia membetot urat-urat di
leher dan di bawah pangkal lengan. Sebentar saja berhentilah A Sam berbatuk-batuk,
peluhnya keluar semua dan dia segera terduduk saking lelahhya.
"Siauw-sinshe, sekarang kuharap kau suka mengobati semua orangku, juga mengobati
lukaku sendiri. Ketahuilah bahwa aku adalah Hui-houw-pangcu (ketua Hui-houw-pang)
Lauw Teng. Tentu kau sudah mendengar tentang Hui-houw-pang, bukan? Ketua ini mengira
bahwa tentu sinshe buta yang masih muda ini akan terkejut sekali mengetahui bahwa dia
berada di dalam markas Hui-houw-pang yang, sudah amat terkenal di seluruh Propinsi
Santung. Akan tetapi dia terheran dan juga kecewa ketika orang muda buta itu menggeleng
kepalanya dan berkata tak acuh.
"Aku baru saja datang di pegunungan ini, Lauw-pangcu, maka tidak mengenal
perkumpulanmu. Akan kucoba mengobati kalian. Suruh orang-orangmu yang menderita luka
sama dengan Hek-twa-to, yang ada bintik merahnya pada tubuh mereka, maju dan berjajal
di depanku." Ada delapan orang yang menderita Hek-twa-to Lima belas orang lain
menderita luka senjata yang parah dan luka-luka itu membengkak dan keracunan. Ketika
mengetahui bahwa belasan orang ini terluka oleh macam-macam senjata, Kun Hong dapat
menduga tentu telah terjadi pertempuran hebat antara orang-orang Hui-houw-pang ini
melawan rombongan lain yang agaknya dikepalai oleh seorang she Bhe yang telah melukai
delapan orang itu dan tentu seorang yang berkepandaian tinggi juga. Cepat dia menuliskan
resep obat untuk orang-orang yang terluka. Tulisannya cepat dan tidak memperdulikan
seruan-seruan heran dari semua orang yang melihat betapa seorang buta dapat menulis
secepat dan seindah itu. Untuk luka-luka yang dapat dia obati dengan obat-obatan yang
tersedia dalam buntalannya, segera dia obati.
Akan tetapi ketika Kun Hong memeriksa tubuh Lauw Teng, diam-diam dia terkejut sekali.
Dengan rabaan tangannya dia mendapat kenyataan bahwa ketua ini memiliki tubuh yang
kuat dan Iweekang yang tinggi. Namun ternyata dia terkena pukulan beracun yang amat
keji. Pukulan yang mengenai pundak itu busuk menghitam sedangkan tulang pundaknya
remuk-remuk. Hebat sekali penderitaan ketua ini, namun dia tadi masih dapat
menahannya, membuktikan bahwa Lauw Teng adalah seorang yang amat kuat. Diam-diam
Kun Hong mengeluh. Agaknya dugaannya bahwa yang merobohkan orang-orang ini tentu
seorang pendekar kiranya tidak betul. Seorang pendekar gagah tidak mungkin memiliki
ilmu pukulan yang begini keji, atau andaikata memiliki juga, tidak akan sudi
mempergunakan. Kalau begini, agaknya fihak yang menjadi lawan Hui-houw-pang ini pun
bukan golongan baik-baik!
Kun Hong menarik napas panjang, menyesalkan dirinya yang tanpa disengaja telah
memasuki dunia golongan hitam. Akan tetapi dia berusaha juga menolong Lauw Teng,
menggunakan sebatang jarum perak untuk mengoperasi luka itu, mengurut beberapa jalan
darah dan menempelkan obat luka buatannya sendiri yang amat manjur. Kemudian dia
menulis sebuah resep obat untuk ketua Hui-houw-pang ini.
Begitu dia selesai mengobati Lauw Teng dan ketua ini mengucapkan terima kasihnya, tiba-
tiba terdengar suara keras dan tahu-tahu ada hawa menyambar ke arah Kun Hong. Pemuda
buta ini maklum bahwa ada orang menyerangnya, maka dia cepat menjatuhkan jarumnya
ke bawah dan membungkuk untuk memungut jarum itu. Hal ini dia lakukan untuk mengelak
dengan gerakan seperti tidak disengaja. Akan tetapi kiranya serangan itu bukan untuk
memukulnya, melainkan untuk menangkap pergelangan tangannya. Kun Hong tersenyum
dan membiarkan pergelangan tangan kanannya dicengkeram orang. Dia pura-pura kaget
dan berseru,
"Eh, siapa memegang lenganku? Kau mau apa?"
"Orang muda, katakan, apa hubunganmu dengan Toat-beng Yok-mo? Penanya ini adalah
kakek bersuara halus melengking tadi.
"Orang tua, beginikah caranya orang bertanya? Apakah harus mencengkeram lengan orang
yang ditanya? Pakaianmu seperti pendeta, kenapa sikapmu kasar seperti penjahat?"
Tosu itu cepat melepaskan cengkeraman tangannya, mukanya yang bopeng menjadi merah
sekali dan dia melangkah mundur tiga langkah. Heran sekali dia bagaimana orang buta ini
dapat mengenal pakaiannya? Tentu saja dia tidak tahu bahwa pendengaran Kun Hong yang
luar biasa dapat menggambarkan bentuk pakaian!
"Siauw-sinshe, tamuku yang terhormat ini adalah Ban Kwan Tojin yang berdiam di Kuil Pek-
kiok-si (Kuil Seruni Putih). Beliau seorang tokoh pantai timur yang terkenal, harap kau suka
menjawab pertanyaannya."
Kun Hong menjura ke arah Ban Kwan Tojin. "Maaf, kiranya seorang tosu. Ban Kwan Tojin
tadi bertanya tentang Toat-beng Yok-mo? Dia terhitung guruku karena aku mendapatkan
ilmu pengobatan ini dari kitab-kitabnya."
Tidak hanya Ban Kwan Tojin yang berseru kaget, bahkan Lauw Teng dan anak buahnya
menjadi kaget sekali, juga girang. Siapa tidak mengenal nama mendiang Toat-beng Yok-mo
yang bukan saja terkenal sebagai setan obat, akan tetapi juga sebagai seorang sakti yang
luar biasa? Di samping kekagetan, keheranan dan kegirangan ini, kembali timbul keraguan
dan tidak percaya. Apalagi Ban Kwan Tojin yang tahu betul bahwa belum pernah Toat-beng
Yok-mo mempunyai seorang murid buta.
"Siauw-sinshe, bolehkah pinto mengetahui namamu yang terhormat?" dia bertanya,
suaranya menghormat karena betapapun juga, pemuda buta ini sudah membuktikan
kepandaiannya tentang ilmu pengobatan.
"Namaku Kwa Kun Hong, Totiang."
"Hemm, serasa belum pernah mendengar nama ini ..........."
"Tentu saja belum, apa sih artinya nama seorang tabib buta?" Kun Hong tersenyum polos.
"Kwa-sinshe, kalau kau betul murid Toat-beng Yok-mo, tahukah kau di mana sekarang
gurumu itu berada?" Pertanyaan dari tosu ini terdengar oleh Kun Hong sebagai pancingan,
kata-kata penuh nafsu menyelidiki.
"Dia sudah meninggal dunia, tiga tahun yang lalu," jawabnya bersahaja.
"Ah, jadi kau tahu bahwa tiga tahun yang lalu dia tewas dalam pertempuran di puncak
Thai-san, ketika Thai-san-pai didirikan? Dan kau diam saja tidak berusaha membalas
dendam? Tahukah kau siapa yang membunuhnya, Sinshe?" Pertanyaan yang bertubi-tubi
dari tosu itu hanya diterima dengan senyum saja. Sudah tentu saja dia tahu bagaimana
tewasnya Toat-beng Yok-mo karena kakek iblis itu tewas ketika bertanding melawan dia
sendiri. Kakek berhati iblis yang amat jahat itu tewas karena bertindak curang kepadanya
dalam pertempuran itu dan boleh dibilang tewasnya adalah karena perbuatannya sendiri.
"Tentu saja aku tahu siapa yang membunuhya. Yang membunuhnya adalah dia sendiri, ya
....... dia membunuh diri sendiri."
Hati Kun Hong mulai tidak enak. Jangan-jangan tosu ini tiga tahun yang lalu hadir pula di
Thai-san dan melihat betapa Toat-beng Yok-mo tewas ketika berhadapan dengan dia
sebelum dia buta dan sekarang tosu ini sengaja memancing-mancing.
"Totiang, kalau tiga tahun yang lalu kau sendiri hadir di sana, mengapa mesti bertanya-
tanya?" jawabnya pendek.
Tosu itu tertawa. "Ha-ha-ha, kalau pinto hadir tidak nanti bertanya lagi. Sayangnya pinto
tidak hadir ketika itu, hanya mendengar berita dari kawan-kawan bahwa gurumu itu telah
tewas dalam pertempuran. Kau yang menjadi muridnya tentu tahu lebih jelas bukan?"
"Sudah kujelaskan bahwa dia mati karena perbuatannya sendiri."
"Jadi kau tidak ada niat untuk mencari musuh-musuh gurumu itu dan membalas dendam?
Hemm, murid yang baik kau itu, Kwa-sinshe." Ban Kwan Tojin mengejek.
"Toat-beng Yok-mo terkenal jahat. Biarpun dia guruku, hanya guru dalam ilmu pengobatan
saja. Dia boleh bermusuhan dengan orang lain, akan tetapi aku tidak berniat bermusuhan.
Kepandaianku menyembuhkan orang sakit supaya sehat, bukan menjadikan orang sehat
supaya sakit. Sudahlah, Lauw-pangcu, setelah selesai tugasku di sini, aku mohon diri
hendak melanjutkan perjalananku." Dia menjura ke depan ke kanan kiri, lalu membereskan
buntalan obatnya dan bersiap-siap untuk pergi. Ketika mengerjakan semua ini, juga ketika
tadi melakukan pengobatan, Kun Hong tidak lupa menyelipkan tongkatnya di punggung.
Bagi seorang buta seperti dia, tongkat merupakan pengganti mata dalam melakukan
perjalanan, apalagi kalau tongkat itu seperti tongkatnya, tongkat yang berisi pedang
pusaka Ang-hong-kiam, tongkat yang sengaja dibuat oleh kakek sakti Song-bun-kwi (Setan
Berkabung) untuknya (baca cerita Rajawali Emas).
Pada saat itu terdengar suara seorang wanita, "Ayah ...........!"
Lauw Teng menengok dan keningnya berkerut ketika dia melihat anaknya, seorang gadis
berusia dua puluh tahun, gadis yang berdandan secara mewah, muncul dari pintu samping.
Gadis ini perawakanya tinggi besar, cukup manis dan gerak-geriknya kasar dan genit,
pakaiannya serba indah dan di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya
terhias ronce-ronce merah, berkibar di dekat rambutnya yang disanggul tinggi dan dihias
kupu-kupu emas bertabur mutiara.
"Swat-ji, ada keperluan apa kau datang ke sini?" tegur Lauw Teng marah. Seharusnya
anaknya itu berdiam bersama ibunya dan keluarga Hiu-houw-pang di perkampungan,
biarpun dia menjadi kepala para perampok namun dia tidak senang melihat anak
perempuannya bergaul dengan para perampok yang kasar dan biasa mengeluarkan ucapan-
ucapan kotor dan tak sopan. Memang beginilah watak orang seperti Lauw Teng, biarpun dia
sendiri sudah biasa tidak menghormati kaum wanita, namun dia tidak suka melihat wanita-
wanita keluarganya tidak dihormati orang!
Dengan lagak genit, tersenyum-senyum, dan melirik-lirik gadis itu menjawab, "Ayah, kau
dan semua orang sibuk berobat, kabarnya ada tabib pandai di sini, mengapa tidak
menyuruh tabib itu datang ke kampung? Ibu menderita batuk, bibi masuk angin dan aku
sendiri sering merasa dingin kalau malam. Suruh dia ke kampung Ayah." Mendengar ucapan
terakhir ini di sana-sini sudah terdengar suara orang terkekeh-kekeh, akan tetapi segera
berhenti ketika Lauw Teng dengan mata tajam menengok ke arah suara orang-orang
tertawa itu.
"Huh, dasar perempuan, baru sakit batuk dan masuk angin saja sudah ribut-ribut.
Pulanglah, biar nanti kumintakan obat kepada siauw-sinshe."
Akan tetapi ketika dia menengok, dia melihat anaknya itu berdiri di dekat, Kun Hong,
memandang bengong kepada pemuda buta yang sedang membereskan buntalannya.
"Swat-ji, lekas pulang!" tegur ayahnya.
Swat-ji, gadis itu, seperti baru sadar, menengok kepada ayahnya dan berkata. "Ayah, dia
inikah tabibnya? Masih muda benar dan....... dan agaknya dia....... dia buta, Ayah."
Mendengar gadis itu bicara dekat di depannya Kun Hong merasa tidak enak sekali. Akan
tetapi dia segera bangkit berdiri, menjura dan berkata sambil tersenyum ramah. "Bukan
agaknya lagi, Nona, memang aku seorang buta."
Sejenak Swat-ji berdiri bengong memandang wajah Kun Hong. Belum pernah ia melihat
seorang pemuda setampan ini, apalagi ketika tersenyum, benar-benar membuat Swat-ji
seperti kena pesona. Mata yang buta itu bahkan menambah rasa kasihan yang mendalam.
"Swat-ji, pulang kataku!" Lauw Teng membentak marah.
"Ayah, kulihat kau dan para paman sudah sembuh. Tentu sinshe buta ini yang menolong
kalian. Setelah ditolong, kenapa tidak berterima kasih? Sepatutnya kita membawanya ke
kampung, menjamunya dengan pesta tanda terima kasih. Ayah, kalau sekarang kau
membiarkan penolong pergi begitu saja, bukankah Hui-houw-pang akan ditertawai orang
dan dianggap tak kenal budi?"
"Ha-ha-ha, tepat sekali ucapan Nona! Lauw-sicu, benar-benar pinto tidak pernah mengira
bahwa kau mempunyai seorang anak perempuan yang begini cantik lahir batinnya. Benar-
benar pinto kagum dan terpaksa pinto berfihak kepada puterimu, Lauw-sicu."
Mendapat bantuan omongan tosu itu, Swat-ji tersenyum dan melirik. Kun Hong diam-diam
merasa muak mendengar ucapan si tosu, apalagi dia dapat menangkap getaran dalam suara
itu dan dapat menduga bahwa tosu ini biarpun tua tentulah seorang mata keranjang. Nona
bernama Swat-ji itu tentu seorang gadis yang cantik dan dia dapat tahu pula bahwa gadis
itu berwatak genit.
Cepat-cepat Kun Hong menjura. "Tidak usah....... tidak usah, aku tidak dapat tinggal lama,
Nona. Malah tadi aku sudah berpamit kepada ayahmu, aku harus segera pergi melanjutkan
perjalananku."
"Ah, mana bisa begitu? Sinshe, kau harus menerima pernyataan terima kasih kami,
terutama dari aku sendiri yang amat berterima kasih karena kau telah menyembuhkan
ayah. Mari, mari kuantar kau, Sinshe. Biar kutuntun tongkatmu."
Pada saat Kun Hong berdiri bingung menghadapi desakan gadis yang "nekat" ini, tiba-tiba
semua orang terkejut melihat datangnya seorang di antara mereka yang berlari-lari dalam
keadaan luka parah.
"Musuh........... musuh........... telah menyerbu ...........!" katanya dan dia roboh
terguling. Keadaan menjadi panik di situ, semua orang berlari-lari untuk melakukan
persiapan menyambut serbuan musuh.
Lauw Teng tidak perdulikan anaknya lagi, dia sibuk memberi perintah dan mengatur anak
buahnya dan enam puluh orang lebih banyaknya itu untuk melakukan penjagaan di sana-
sini. Hanya tosu itu yang kelihatan tenang-tenang saja.
"Lauw-sicu, jangan gugup. Biarlah kita menanti kedatangan mereka di sini, hendak pinto
lihat apakah orang she Bhe itu mempunyai tiga kepala dan enam lengan?"
Sementara itu, tiba-tiba Kun Hong merasa betapa telapak tangan yang halus telah
memegang tangannya dan terdengar bisikan gadis itu, "Sinshe, mari kita bersembunyi ke
sudut sana sambil menonton. Biar kuceritakan kepadamu nanti jalannya pertandingan,
sebentar lagi akan terjadi pertempuran hebat."
Sedianya Kun Hong akan menolak dan pergi. Akan tetapi karena dia amat tertarik ingin
mengetahui apakah sebenarnya yang telah terjadi dan siapakah pula musuh Hui-houw-pang
ini, pula dia ingin seberapa bisa mencegah terjadinya pertempuran dan bunuh-membunuh,
maka dia diam saja dan menurut ketika gadis itu menuntunnya pergi dari situ. Malah dia
mengharapkan untuk mendapatkan keterangan dari gadis ini tentang sebab-sebab
permusuhan.
Karena semua orang sedang sibuk mengatur penjagaan, Swat-ji mengajak Kun Hong duduk
di atas bangku panjang yang tersembunyi di sudut ruangan muka. Gadis itu tetap
menggandeng tangan Kun Hong dan baru setelah mereka duduk di atas bangku, Kun Hong
menarik tangannya dan bertanya,
"Nona, ada apakah ribut-ribut ini? Siapa yang menyerbu dan mengapa terjadi permusuhan?"
Gadis itu tertawa merdu dan genit. "Ah, biasa saja berebutan mangsa! Akan tetapi kali ini
yang diperebutkan adalah barang yang amat berharga sehingga ayah membelanya mati-
matian. Mereka yang datang menyerbu adalah orang-orang Kiang-liong-pang (Perkumpulan
Naga Sungai)."
"Kiang-liong-pang? Perkumpulan apakah itu dan perkumpulan ayahmu yang bernama Hui-
houw-pang ini pun perkumpulan apakah sebetulnya?"
"Iihh, kiranya kau tidak tahu apa-apa! Hui-houw-pang amat terkenal di Propinsi Santung,
setidaknya tidak kalah terkenal dengan Kiang-liong-pang. Semua perampok di wilayah ini
tunduk kepada Hui-houw-pang, dan ayah merupakan penarik pajak jalan yang paling adil di
dunia ini."
"Apa itu pekerjaan penarik pajak jalan? Kau maksudkan perampok?"
"Sebaliknya dari perampok! Anggauta-anggauta kami menjaga jalan-jalan sunyi di gunung
dan hutan, dan sama sekali tidak merampok rombongan pedagang atau pelancong yang
lewat, karena itu mereka harus memberi pajak jalan kepada kami. Bukankah itu adil? Kalau
mereka memberi pajak jalan, mereka takkan diganggu."
Kun Hong mengangguk-angguk, dalam hati dia mencela. Apa bedanya pemerasan dengan
perampokan?
"Adapun Kiang-liong-pang adalah perkumpulan para bajak air atau bajak sungai yang
menguasai semua bajak di Yang-ce dan Huang-ho sampai ke muara. Memang seringkali
terjadi perebutan kekuasaan antara darat dan sungai ini dan memang orang-orang Kiang-
liong-pang amat kurang ajar. Belum lama ini kami terpaksa menyita rombongan bekas
pembesar yang mengundurkan diri karena pembesar sombong itu tidak mau membayar
pajak jalan. Pertempuran terjadi dan kami berhasil melukai pembesar itu dan membunuh
orang-orangnya. Akan tetapi, tiba-tiba muncul orang-orang Kiang-liong-pang yang segera,
turun tangan pula, menyatakan bahwa pembesar itu sedang menawar perahu dan
karenanya menjadi mangsa mereka. Terjadi perang lebih hebat lagi memperebutkan harta
pusaka yang ternyata amat banyak. Banyak orang kami luka-luka termasuk ayah yang kau
obati tadi. Akan tetapi barang-barang pusaka yang paling berharga dapat kami bawa
pulang, di antaranya sebuah mahkota emas penuh permata yang tak ternilai harganya,
mahkota yang dibawa oleh bekas pembesar itu dari istana. Kabarnya itu adalah bekas
mahkota yang dipakai oleh permaisuri kaisar di jaman Kerajaan Tang dahulu."
Muak rasa hati Kun Hong mendengar penuturan ini. Tidak salah dugaannya yang
mengecewakan hatinya tadi bahwa baik perkumpulan Hui-houw-pang maupun lawannya,
yaitu Kiang-liong-pang, adalah perkumpulan golongan hitam. Kiranya mereka adalah
perampok-perampok yang sekarang sedang bertengkar dengan para bajak!
"Sebenarnya, biarpun saling bersaingan, kalau hanya untuk urusan harta benda biasa saja
tak mungkin kedua fihak sampai bertempur." gadis itu melanjutkan penuturannya. "Akan
tetapi untuk mahkota ini kami tidak mau mengalah begitu saja."
"Apakah karena terlalu berharga?" Kun Hong tertarik.
"Bukan, tapi karena mahkota itu dapat menjadi jalan agar kami dapat mendekati kaisar
baru, mengambil hatinya dan memperoleh kedudukan tinggi dalam kerajaan. Kabarnya
kaisar muda yang baru ini amat mudah diambil hatinya."
"Kaisar baru? Kaisar muda? Apa maksudmu?!" Kun Hong menahan gelora hatinya mendengar
kata-kata ini.
"Iihhh, kau benar-benar buta!" Gadis itu tertawa.
"Memang aku buta, siapa pernah membantah?" Kun Hong terpaksa melayani kelakar ini agar
si gadis suka melanjutkan ceritanya yang mulai menarik hatinya.
Dengan lagak genit Swat-ji mencubit lengan Kun Hong. "Kau memang buta, tapi kau
tampan dan pandai ....... eh, aku suka padamu, kau lucu ......."
Tentu saja Kun Hong tidak mau melayani kegenitan gadis itu, tapi dia pun tidak
mencelanya, hanya berkata halus. "Nona, aku ingin sekali mendengar penjelasanmu
tentang kaisar baru tadi."
"Kau benar-benar belum mendengarnya? Kaisar tua sudah meninggal tiga bulan yang lalu,
dan sekarang di kota raja terjadi keributan dalam menentukan siapa yang akan
menggantinya. Akan tetapi sudah tentu calon kaisar adalah Pangeran Kian Bun Ti, cucu
kaisar yang tercinta, sebagai anak dari pangeran sulung yang telah tiada. Nah, kau tahu
sekarang dan tentang mahkota itu, sebetulnya telah dilarikan oleh bekas pembesar dari
kota raja yang agaknya mempergunakan saat kota raja ribut-ribut, lalu lari membawa
mahkota kuno yang tak ternilai harganya itu. Sekarang mahkota itu berada di tangan kami,
dan tentu akan membawa ayah ke depan kaisar untuk menerima anugerah dan
kedudukan."
Diam-diam Kun Hong kaget juga. Selama tiga tahun ini dia merantau tidak pernah
memperhatikan persoalan dunia.
Kiranya Kaisar Thai-cu, yaitu pendiri Kerajaan Beng, seorang pahlawan yang sejak dahulu
sering dipuji-puji ayahnya, kini telah meninggal dunia dan singgasana kerajaan agaknya
dijadikan bahan perebutan oleh para pangeran. Mengingat bahwa Pangeran Kian Bun Ti
dicalonkan menjadi kaisar diam-diam Kun Hong menarik napas panjang. Dia sudah pernah
bertemu dengan pangeran ini (baca cerita Rajawali Emas), dan dia sudah mengenal watak
yang kurang baik dari pangeran itu yang dahulu tidak segan-segan untuk mencoba memaksa
dua orang keponakannya, yaitu Thio Hui Cu dan Kui Li Eng, untuk menjadi selir-selirnya!
Tiba-tiba dia sadar dari lamunannya ketika kembali lengannya dicubit dan suara gadis itu
terkekeh,
"Hi-hik, kenapa kau termenung setelah mendengar tentang kaisar? Apakah kau ingin
menjadi kaisar? Hi-hi-hi, alangkah lucu dan bagusnya, kaisar buta! Sinshe yang baik, kau
tidak usah melamun menjadi kaisar, biarlah kau menjadi tabib kami saja di sini, malam
nanti kau boleh memijati tubuhku yang lelah. Kau pandai memijatkan?" Gadis itu
menggeser duduknya, merapatkan tubuhnya yang hangat itu kepada Kun Hong.
Kun Hong tidak memperdulikan hal ini karena pikirannya sedang bekerja keras. Telinganya
sudah dapat menangkap derap kaki orang banyak menuju ke tempat itu. Berdebar dia
kalau teringat betapa sebentar lagi akan terjadi pertempuran, bunuh-membunuh di depan
matanya yang buta.
"Nona, sebentar lagi musuh-musuhmu menyerbu, melihat betapa ayahmu dan anak buahnya
terluka, tentu musuh itu amat kuat. Apakah kau tidak takut?"
"Ihh, mengapa takut? Dengan pedangku aku mampu menjaga diri. Malah aku ingin
mencobai kelihaian jahanam tua she Bhe itu dengan pedangku!"
"Tapi ....... tapi mereka datang untuk mahkota itu. Bagaimana kalau mereka menyerbu ke
rumah ayahmu dan merampas mahkota? Kupikir, mahkota itu harus disembunyikan dulu
......."
"Ah, kau pintar juga!" Tangan yang halus itu mengusap dagu Kun Hong, membuat pemuda
buta ini merasa dingin di belakang punggungnya. "Tapi ayah dan aku lebih pintar. Mahkota
itu tak pernah terpisah dari tubuhku." kata-kata ini dibisikkan di dekat telinga Kun Hong
sehingga pemuda buta ini dapat merasa betapa napas Swat-ji panas-panas meniup pipinya.
Cepat laksana kilat Kun Hong menggerakkan tangannya dan tahulah dia pada detik lain
bahwa mahkota yang dimaksudkan itu berada dalam buntalan yang digendong oleh gadis
ini.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan nyaring dan Kun Hong mendengar suara kaki
beberapa orang yang menggunakan ilmu meringankan tubuh memasuki ruangan depan
tempat Swat-ji berbisik, "Mereka sudah datang, Bhe Ham Ko sendiri yang memimpin ......."
Gadis inipun tidak berani main-main lagi sekarang, ia mengalihkan perhatiannya dari tabib
buta yang menarik hatinya itu kepada para musuh yang telah berada di situ. Yang kelihatan
berada di luar halaman saja sedikitnya ada dua puluh orang Kiang-liong-pang.
Adapun yang sudah meloncat memasuki pekarangan adalah seorang tua tinggi kurus yang
memegang sebatang dayung kuningan. Swat-ji menduga bahwa tentu inilah orangnya yang
bernama Bhe Ham Ko, ketua dari Kiang-liong-pang yang telah melukai ayahnya. Di samping
kakek ini berdiri lima orang laki-laki tinggi besar yang menilik pakaiannya tentulah tokoh-
tokoh dalam perkumpulan bajak itu. Di belakang mereka, berdiri acuh tak acuh, tampak
seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam, berusia empat puluh tahun lebih. Berbeda
dengan Bhe Ham Ko dan lima orang pembantunya yang berdiri dengan senjata di tangan,
laki-laki ini membiarkan ruyung bajanya tergantung di pinggang dan tidak memperlihatkan
muka yang serius, malah menengok ke sana ke mari seperti seorang pelancong melihat-
lihat pemandangan indah.
"Hui-houw-pangcu Lauw Teng, kami dewan pengurus Kiang-liong-pang sudah datang
mengunjungimu. Keluarlah agar kita dapat merundingkan perkara sampai beres!" kakek she
Bhe itu mengeluarkan suaranya. "Kamipun membawa obat dan ahli untuk menyembuhkan
luka-luka para sahabat dari Hui-houw-pang!"
Jelas terdengar dalam suara ini bahwa ketua Kiang-liong-pang ini mengandung ancaman
dan bujukan. Membujuk untuk berbaik di samping mengingatkan bahwa pertempuran hanya
akan mendatangkan kerusakan dan kerugian pada fihak Hui-houw-pang!
"Kiang-liong-pangcu Bhe Ham Ko, luka-luka yang kecil tiada artinya itu tidak perlu
dibicarakan. Kami sudah siap menanti kedatanganmu!" Muncullah Lauw Teng diiringi tujuh
orang pembantunya dengan langkah gagah dan senjata siap ditangan kanan!
Berubah wajah Bhe Ham Ko melihat bekas lawannya itu kelihatan sehat benar, malah para
pembantunya yang tadinya terkena pukulannya yang mengandung hawa beracun kini sudah
muncul dalam keadaan sehat! Akan tetapi keheranannya lenyap ketika dia melirik dan
melihat seorang tosu berjalan keluar dari samping. Dia tertawa bergelak sambil mengelus
jenggotnya yang tipis.
"Ha-ha-ha, kiranya Lauw-pangcu mendapat bantuan orang pandai. Pantas saja tidak
membutuhkan obat-obatan dari kami lagi. Ataukah engkau hendak mempelajari kitab To-
tik-keng bersama anak buahmu, memang pantas kalau gedung ini diubah menjadi kuil."
Inilah ucapan menghina dan menyindir karena fihak Hui-houw-pang terdapat seorang tosu
tua.
Merah wajah Lauw Teng, juga dia menjadi heran sekali. Biasanya, seperti yang dia ketahui,
ketua Kiang-liong-pang ini adalah seorang yang amat hati-hati dan bukan seorang kasar
yang sembrono. Kenapa hari ini menjadi begini sombong, berani sekali menghinanya dan
malah berani mengejek Ban Kwan Tojin? Tentu ada sebabnya, pikirnya dan ketika dia
melihat sikap acuh tak acuh dari orang tinggi besar muka hitam di belakang rombongan
ketua Kiang-liong-pang itu, dapatlah dia menduga bahwa tentu orang itu yang dijadikan
andalan.
"Bhe-pangcu, tak perlu banyak bicara lagi kiranya. Kita sudah lama tahu apa maksudmu
datang mengunjungiku pada saat ini, lengkap dengan anak buah dan senjata. Nah,
keluarkan isi hatimu. Bagi kami, tetap kami tidak akan suka mengalah, oleh karena kami
merasa bahwa pembesar she Tan itu adalah mangsa kami di daratan. Barang-barang
bekalnya yang terampas oleh kami menjadi hak kami dan tak seekor setanpun boleh
mengambilnya begitu saja dari tangan kami!"
Bhe Ham Ko tertawa menyeringai dan menggerak-gerakkan dayungnya. "Aku tahu akan
kekerasan hati Lauw-pangcu, tahu pula bahwa benda pusaka itu kau kukuhi bukan karena
harganya, melainkan karena pentingnya guna membuka pintu kota raja. Bukankah begitu?"
Kembali wajah Lauw Teng menjadi merah. "Apapun yang akan kulakukan dengan benda
hakku itu, bukan menjadi urusanmu, Bhe-pangcu. Dan kiranya ....... setiap orang berhak
untuk mencari kemajuan dalam hidupnya ......." Dia merasa segan dan sungkan untuk
bicara terus terang dengan hasratnya mencari kedudukan di kota raja.
"Jadi kau berkukuh hendak memiliki mahkota pusaka kerajaan itu?" Bhe Ham Ko
membentak.
"Memang! Dan kami akan mempertahankannya dengan senjata kami!" jawab Lauw Teng
berani. Ketua Hui-houw-pang ini tentu saja menjadi besar hatinya karena dia
mengandalkan bantuan Ban Kwan Tojin dan tiga orang gagah lain yang menjadi tamu
undangannya, yang sekarangpun telah memasuki pekarangan dan berdiri dengan sikap
gagah di dekat Ban Kwan Tojin.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tua bangka she Bhe jangan menjual lagak di sini!"
Bayangan merah berkelebat dan ternyata Swat-ji sudah melompat ke depan rombongan
lawan dengan pedang di tangan, sikapnya gagah.
"Swat-ji.......!" Lauw Teng menegur kaget, bukan melihat puterinya hendak menentang
lawan, melainkan kaget karena tidak melihat buntalan di pungung Swat-ji, buntalan
mahkota yang sengaja dia suruh bawa anak gadisnya yang dia tahu memiliki ilmu pedang
yang cukup tinggi. Dalam hal ilmu silat, puteri ini tidak kalah lihai daripadanya sendiri.
"Ayah, biarkan aku mengusir anjjng tua ini agar jangan banyak menjual lagak di sini." Gadis
yang galak ini segera menggerakkan pedangnya menyerang Bhe Ham Ko.
Ketua Kiang-liong-pang tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, bapaknya harimau liar anaknyapun
sama juga. Biarlah aku orang tua menjinakkan macan betina liar ini!" Dengan tenang orang
she Bhe ini menggerakkan dayungnya menangkis, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan
tenaga Iweekangnya untuk membuat pedang gadis itu terlempar dengan sekali tangkis.
Swat-ji tidak bodoh. Tentu saja ia sudah mendengar tentang tenaga Iwee-kang yang
tangguh dari kakek ini, maka dengan gerakan pergelangan tangannya ia menyelewengkan
pedangnya menghindarkan benturan senjata lawan lalu dengan cepat dari samping
pedangnya mengirim tusukan miring ke arah lambung.
"Aiiih, tidak jelek .......!" Bhe Ham Ko berseru dan cepat melompat mundur sambil
mengelebatkan dayungnya yang menyambar dari atas ke arah kepala Swat-ji. Namun gadis
itu dengan gerakan yang lincah dapat pula mengelak sambil meneruskan dengan serangan
berantai. Gerakannya memang cepat dan agaknya dengan kecepatan ini ia hendak
mencapai kemenangan. Pedangnya menyambar-nyambar dan sama sekali ia tidak memberi
kesempatan kepada lawannya untuk membentur senjatanya.
"Bagus! Lauw-pangcu, kepandaian anakmu bagus juga!" Bhe Ham Ko berseru dan terpaksa
kakek ini memutar dayungnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya daripada hujan
tusukan dan bacokan.
Dengan menggunakan ketajaman pendengarannya Kun Hong dapat menduga bahwa biarpun
Swat-ji memiliki gerakan yang amat cepat, namun ia takkan menang menghadapi lawannya
yang memiliki gerakan antep, bertenaga, dan tenang itu. Dia mengerutkan keningnya.
Pertandingan besar-besaran dan mati-matian tentu takkan dapat dicegah lagi. Sebetulnya
dia boleh tak usah ambil perduli karena kedua fihak yang akan bertanding bunuh-
membunuh adalah golongan hitam atau Orang-orang yang mempunyai pekerjaan merampok
dan membunuh. Mereka adalah orang-orang jahat. Akan tetapi, pemuda buta ini merasa
tidak tega untuk membiarkan sesama manusia saling bunuh, hanya untuk memperebutkan
sebuah benda mati yang oleh Swat-ji dititipkan kepadanya dan kini berada di buntalan
pakaiannya itu. Alangkah bodohnya manusia. Untuk mencari harta atau kedudukan, rela
mengorbankan nyawa, malah tega untuk membunuh sesama manusia. Kun Hong berpikir
keras, mencari akal untuk mencegah permusuhan antara kedua golongan itu.
Akan tetapi, baru saja dia bangkit berdiri untuk mencegah menghebatnya perkelahian,
mendadak di sana-sini terdengar seruan heran dan marah. Sesosok bayangan hitam
berkelebat dan tahu-tahu dayung di tangan Bhe Ham Ko terpental ke belakang, sedangkan
Swat-ji terhuyung-huyung. Ketika mereka memandang, di situ telah berdiri seorang gadis
cantik jelita masih muda sekali, berpakaian serba hitam yang ringkas dan sikapnya gagah,
sepasang matanya yang jeli memandang ke kanan-kiri. Alisnya yang hitam panjang itu
berkerut, mulut yang kecil dengan bibir merah segar membayangkan kekerasan hati dan
keangkuhan.
Dengan sekali gerakan saja dapat mengundurkan Bhe Ham Ko dan Swat-ji, dapat
dibayangkan bahwa gadis jelita ini memiliki kepandaian yang hebat. Swat-ji yang
terhuyung-huyung itu amat marah, akan tetapi sebelum ia sempat mengembalikan
keseimbangan tubuhnya, bagaikan seekor burung walet, gadis baju hitam itu bergerak,
tubuhnya menyambar dan tahu-tahu Swat-ji merasa dirinya diangkat ke atas. Kiranya
tengkuknya telah dicengkeram oleh gadis itu dan betapapun ia berusaha melepaskan diri,
ia tidak mampu bergerak, bahkan pedang yang masih dipegangnya itu tak dapat pula ia
gerakkan seakan-akan seluruh tubuhnya menjadi lumpuh!
"Kaum kotor dari Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang dengarlah! Hari ini nonamu datang
untuk mengambil mahkota pusaka, kalian tidak boleh ribut-ribut lagi dan harus mengalah
kepada nonamu!"
Sikap yang amat sombong ini menimbulkan kemarahan, juga kegelian. Apalagi Lauw Teng
yang melihat anaknya ditangkap seperti itu, kemarahannya memuncak dan dia
membentak,
"Gadis liar dari mana datang mengacau? Kau siapa berani membuka mulut besar di sini?"
Gadis muda itu tersenyum mengejek. Manis sekali ia kalau tersenyum sehingga banyak di
antara para anak buah kedua fihak itu terpesona melihat cahaya gigi gemerlapan di balik
bibir yang merah dan berbentuk indah itu.
"Kau ketua dari Hui-houw-pang, tak perlu banyak cakap. Aku tahu bahwa mahkota berada
di tanganmu, lekas serahkan kepada nonamu, kalau tidak, akan kubanting hancur anak
perempuanmu yang tak tahu malu ini!"
Hemmm, kiranya bocah ini hendak memaksaku dengan menangkap anakku, pikir Lauw Teng
yang segera menjawab dengan tersenyum mengejek. "Boleh kau banting anak tiada guna
itu, mana bisa aku memberikan mahkota pusaka kepadamu? Gadis liar, lebih baik lekas
mengaku kau siapa dan siapa menyuruhmu datang mencampuri urusan kami?"
Gadis pakaian hitam itu nampak kecewa, lalu melemparkan tubuh Swat-ji sambil
mengomel, "Gadis sialan, sampai ayah sendiri tidak sayang kepadamu!" Swat-ji terlempar
dan jatuh bergulingan, tapi ia cepat melompat lagi dengan mata berapi-api dan muka
merah sekali. Kalau saja ia tidak ingat bahwa tingkat kepandaian gadis baju hitam itu jauh
lebih tinggi darinya, tentu akan diserangnya mati-matian, bukan main marahnya pada saat
itu.
"Pangcu dari Hui-houw-pang, juga kalian orang-orang Kiang-liong-pang. Kalian mau tahu
siapa nonamu ini? Dunia kang-ouw menyebutku Bi-yan-cu (Si Walet Jelita). Nama aseliku
tak perlu kuberitahu, kalian kurang berharga untuk mengenalnya. Ayahku adalah Sin-kiam-
eng Tan Beng Kui."
Ketika nona muda itu memperkenalkan julukannya, para penjahat itu saling pandang
sambil tersenyum-senyum karena memang nama itu tidak terkenal. Akan tetapi ketika
gadis itu menyebut nama Sin-kiam-eng Tan Beng Kui sebagai ayahnya, berubah wajah
mereka. Bahkan kedua pangcu itu dan para tamu undangan nampak kaget sekali. Sin-kiam-
eng Tan Beng Kui memang jarang muncul di dunia Kang-ouw, namun namanya dikenal
sebagal seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, yang sekarang hidup sebagai seorang "raja
kecil" di pantai Laut Pohai, di lembah muara Sungai Kuning. Karena kepandaiannya yang
tinggi tak seorang pun bajak laut atau perampok berani mengganggu perkampungan raja
kecil ini. Sekarang tahu-tahu seorang gadis jelita yang datang ini mengaku sebagai
puteranya dan bermaksud merampas mahkota pusaka yang sedang diperebutkan oleh
golongan itu.
Swat-ji yang masih merasa penasaran, ketika mendengar ini segera tahu bahwa gadis yang
dibencinya itu tentu akan dimusuhi oleh kedua fihak, maka keberaniannya timbul kembali.
Baginya yang belum banyak merantau, ia tidak mengenal siapa itu Sin-kiam-eng (Pendekar
Pedang Sakti) Tan Beng Kui.
"Budak liar jangan menjual lagak di sini!" Swat-ji memaki dan cepat menyerbu dengan
pedangnya, dari belakang langsung menyerang gadis yang berjuluk Bi-yan-cu itu.
Si Walet Jelita, gadis yang cantik itu, mengeluarkan suara mengejek dan ketika tubuhnya
bergerak dengan amat indahnya ternyata ia telah dapat mengelak tanpa mengubah
kedudukan kakinya dan selagi pedang lawannya menyambar lewat, tangan kirinya
mendorong. Tak dapat tertahankah lagi tubuh Swat-ji terdorong ke depan, apalagi dari
belakang ditambah sebuah tendangan ke tubuh belakang yang mengeluarkan bunyi "plok!"
membuat tubuh Swat-ji terperosok ke depan, pedangnya mencelat dan hidungnya yang
mencium tanah dengan keras itu mengeluarkan darah.
"Tangkap gadis liar ini!" terdengar Hui-houw-pangcu Lauw Teng memberi aba-aba.
"Bunuh saja dia!" terdengar ketua Kiang-liong-pang berseru. Dua fihak yang tadinya
bermusuhan, untuk sementara melupakan permusuhan mereka dan tanpa berunding sudah
bersekutu untuk mengalahkan gadis berbahaya itu.
Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat mengikuti semua peristiwa itu.
Hatinya berdebar ketika dia mendengar pengakuan gadis yang baru datang itu. Nama Tan
Beng Kui tentu saja dikenalnya baik sungguhpun belum pernah dia bertemu muka dengan
orangnya. Dia sudah banyak mendengar dari ayah bundanya tentang Tan Beng Kui karena
orang ini dahulu juga seorang pejuang gagah, murid pertama dari Raja Pedang Cia Hui Gan.
Bukan itu saja, malah Tan Beng Kui ini adalah kakak kandung dari Tan Beng San yang
sekarang menjadi ketua Thai-san-pai. Kun Hong amat kagum dan takluk kepada Tan Beng
San, orang yang amat dia hormati karena kegagahannya, apalagi kalau dia ingat bahwa Tan
Beng San adalah ayah dari mendiang kekasihnya, Tan Cui Bi, Malah boleh dibilang dia
adalah murid langsung dari Tan Beng San Si Raja Pedang itu, yang ketika dia menjadi buta,
telah membisikkan rahasia dari Ilmu Sakti Im-yang-sin-kun-hoat (Baca cerita Raja Pedang
dan Rajawali Emas).
Sekarang gadis yang mengaku berjuluk Bi-yan-cu Si Walet Jelita ini, yang bukan lain adalah
keponakan dari Tan Beng San, berada di sini dan terancam bahaya pengeroyokan dua fihak
yang tadinya bertentangan. Angin gerakan gadis itu tadi membuktikan bahwa ia
berkepandaian tinggi, tentu telah mewarisi Ilmu Silat Sian-li-kun-hoat dari ayahnya. Akan
tetapi menghadapi pengeroyokan demikian banyaknya orang, tentu berbahaya juga.
Seorang gadis yang menurut suaranya takkan lebih dari delapan belas tahun usianya itu
mana boleh mati dikeroyok, juga amat tidak baik kalau mengamuk dan menjadi pembunuh
puluhan orang manusia. Dia harus segera turun tangan, demikian Kun Hong mengambil
keputusan.
Sudah terdengar olehnya suara senjata beradu disusul pekik kesakitan banyak orang. Ah,
jelas bahwa gadis lihai itu tentu sudah mengamuk, pikirnya. Cepat Kun Hong melompat
berdiri, tongkatnya siap di tangan kanan dan tangan kirinya mengeluarkan mahkota itu,
diangkatnya tinggi-tinggi lalu dia berseru nyaring,
"Heeii, kalian semua berhentilah bertempur dan lihat apa yang berada di tanganku ini!!"
Karena ketika berseru ini Kun Hong mengerahkan sedikit tenaga khikang dari dalam
perutnya, tentu saja suaranya nyaring sekali mengatasi semua kegaduhan dan mendadak
semua pertempuran berhenti ketika mereka melihat benda emas mengkilap terhias
permata berkilauan berada di tangan kiri pemuda buta itu.
"Mahkota pusaka .......!" terdengar teriakan di sana-sini.
"Kalian bertempur untuk memperebutkan benda ini, bukan? Benar-benar kalian tak tahu
malu. Benda ini bukanlah milik kalian, terang bahwa benda ini dirampok dari tangan
seorang pembesar. Sungguh tak baik kalian. Rakyat sudah cukup penderitaannya, kalian
orang-orang kuat dan memiliki kepandaian, mengapa justeru mempergunakan kekuatan itu
untuk menambah kekacauan dan memperberat penderitaan rakyat? Sekarang benda ini
sudah berada di tanganku, hendak kukembalikan kepada yang berhak. Siapa saja tidak
boleh merampas benda ini dan kalian tidak perlu saling bermusuhan lagi!"
Semua orang itu berdiri melongo. Siapa yang takkan terheran-heran menyaksikan aksi
orang buta itu? Dan akhirnya meledaklah suara ketawa saking geli di samping marah dan
mendongkol. Yang paling marah dan mendongkol adalah Lauw Teng. Dia marah sekali
kepada puterinya. Benda itu dia suruh simpan atau bawa puterinya agar tidak diketahui
orang, siapa duga oleh puterinya dititipkan kepada sinshe buta ini.
"Kwa-sinshe, apakah ....... apakah kau sudah gila?" bentaknya marah.
Yang lebih dulu bergerak adalah Swat-ji. Gadis ini kaget dan takut sekali akan kemarahan
ayahnya ketika melihat orang buta itu begitu saja memperlihatkan mahkota kepada semua
orang. Ia cepat meloncat ke depan dengan hidung masih berdarah, menyambar dengan
tangannya untuk merampas mahkota itu dari tangan Kun Hong.
"Sinshe, kau kembalikan titipanku!" katanya. Akan tetapi aneh sekali, sambarannya tidak
mengenai sasaran sehingga ia terhuyung-huyung ke depan. Ia membalik dan dengan suara
merayu ia membujuk, "Sinshe yang baik, kau kembalikan benda itu kepadaku."
"Nona Lauw mahkota ini bukan milikmu, menyesal sekali tak dapat kuberikan kepada
siapapun juga."
Swat-ji marah dan menyerbu untuk merampas mahkota, namun tiba-tiba ia terjungkal dan
untuk kedua kalinya ia mencium tanah. Kini hidung yang tadinya berdarah, berubah
menjadi bengkak.
"Aduh ......." ia mengeluh, "kau ....... keterlaluan....... kau kejam. Tadi kau begitu baik
....... sinshe, bukankah malam nanti kau mau memijati badanku? Kenapa sekarang
merampas mahkota?"
Kembali beberapa orang tertawa mendengar ini dan muka Kun Hong yang berkulit putih itu
menjadi kemerahan. "Nona, jangan keluarkan omongan bukan-bukan!, Seharusnya sebagai
seorang gadis kau tidak bertingkah seperti ini ......."
Tapi pada saat itu Lauw Teng sudah menerjang maju, tangan kanan menghantam dada Kun
Hong sedangkan tangan kiri berusaha merampas mahkota sambil berseru.
"Sinshe buta, kiranya kau hendak mengacau!"
Seperti halnya Swat-ji, pukulan ini tidak mengenai sasaran, juga mahkota tidak terampas,
sebaliknya entah mengapa dan cara bagaimana, tahu-tahu tubuh ketua Hui-houw-pang itu
terjungkal ke bawah! Inilah hebat! Ketua Hui-houw-pang ini terkenal seorang yang cukup
kosen, berkepandaian tinggi. Bagaimana ketika menyerang sinshe muda buta itu seperti
tersandung batu kakinya dan terjungkal begitu mudah? Orang-orang tidak ada yang dapat
mengikuti gerakan Kun Hong dan bagi mereka seakan-akan pemuda buta itu tidak bergerak
apa-apa kecuali mengangkat mahkota itu tinggi-tinggi seperti takut dirampas! Hanya
beberapa orang saja yang menjadi tertegun dan berubah air mukanya. Mereka ini adalah
Lauw Teng sendiri, ketua Kiang-liong-pang, Bhe Ham Ko, tosu dan Kwan Tojin, laki-laki
tinggi besar muka hitam, beberapa orang tamu undangan Lauw Teng, dan juga, nona baju
hitam yang baru datang. Mereka itu melihat betapa ketua Hui-houw-pang tadi roboh oleh
gerakan tangan yang perlahan dan hampir tidak kelihatan dari sinshe buta itu! Keadaan
menjadi gempar dan kini segala kemarahan dan perhatian ditumpahkan semua kepada si
buta! Lupalah semua orang akan urusan yang tadi, lupa akan pertengkaran antara Hui-
houw-pang dan Kiang-liong-pang, lupa pula akan si nona baju hitam yang tadinya hendak
mereka keroyok. Sekarang mahkota berada di tangan sinshe buta, tentu saja dia inilah
yang menjadi sasaran. Dan hal ini tepat seperti yang dikehendaki oleh Kun Hong.
Setelah menyaksikan betapa dengan aneh Lauw Teng roboh sendiri ketika hendak
merampas mahkota, orang-orang tidak berani bertindak sembrono. Mereka memandang
orang buta itu dengan heran dan ragu-ragu apa yang harus mereka lakukan. Kun Hong juga
berdiri tak bergerak, siap untuk membela diri dari setiap serangan.
Seorang anggauta Kiang-liong-pang maju perlahan. Tangan kanannya memegang sebuah
ruyung besi yang berat, Sejak tadi dia mengincar Kun Hong dan dia tidak percaya kalau
tidak mampu menjatuhkan si buta ini. Apa sih sukarnya mengalahkan orang buta? Sekali
pukul beres. Agaknya si buta ini pandai silat, pikirnya, maka harus digunakan akal. Dengan
amat hati-hati dia melangkah terus maju sampai dekat sekali dengan Kun Hong, dalam
jarak satu meter. Pemuda itu tetap tidak, bergerak seakan-akan tidak tahu bahwa dia,
didekati lawan dari depan yang kini sudah menggeletar seluruh urat di tubuhnya untuk
menghantamnya. Tanpa mengeluarkan kata-kata, orang itu kini mengangkat ruyungnya
tinggi-tinggi, menghimpun tenaga lalu "wherrrr!" ruyungnya menimpa ke arah kepala Kun
Hong yang agaknya akan pecah berantakan tertimpa ruyung besi yang berat itu. Seperti
tadi, tanpa menggeser kakinya Kun Hong miringkan kepala dan sekali jari tangannya
bergerak, lawan itu jatuh tersungkur, mengaduh-aduh kesakitan karena ruyungnya
mencium kepalanya sendiri sampai benjol sebesar telur angsa.
Seorang anak buah Hui-houw-pang dari belakang Kun Hong berindap-indap menghampiri
dengan tombak runcing di tangan. Setelah dekat tiba-tiba dia menusuk.
Tombak menusuk angin, terdengar suara keras, tombak patah menjadi tiga dan orang itu
terlempar ke belakang.
Sekarang barulah semua orang tahu atau menduga bahwa si buta itu kiranya bukanlah
seorang sembarangan, melainkan seorang yang memiliki kepandaian luar biasa! Akan tetapi
karena dialah yang kini memegang mahkota yang amat diinginkan itu, semua orang kini
mulai mendekat dengan sikap mengancam.
Dengan kepala dimiringkan Kun Hong dapat mendengar betapa orang-orang itu mendekat
dan mengepungnya, malah yang mengurungnya kini bukanlah orang-orang biasa seperti tadi
telah menyerangnya. Agakhya tokoh-tokoh penting dari kedua fihak mulai hendak turun
tangan secara mengeroyoknya, juga dari sebelah kirinya dia tahu bahwa gadis yang
berjuluk Bi-yan-cu itupun hendak menyerbu dan merampas mahkota. Kun Hong memegang
tongkatnya erat-erat di tangan kanannya.
Dia tidak menanti lama. Segera didengarnya angin menyambar, angin senjata yang
menyerang dari kanan-kiri, depan dan belakang. Cepat dia menggerakkan tongkatnya dan
terdengar suara "cring-cring-cring" berulang-ulang disusul dengan suara gaduh dan jerit
kesakitan. Orang-orang yang belum ikut menyerbu memandang dengan mata terbelalak
keheranan. Mereka tadi melihat orang-orang pilihan dari kedua fihak menyerbu dan hanya
tampak kilat berkelebatan, tapi........... tahu-tahu banyak pedang, golok dan tombak
beterbangan dalam keadaan patah menjadi dua sedangkan lima orang sekaligus roboh
bergulingan, menjerit-jerit karena tangan atau lengan mereka berdarah, luka tergores
benda tajam! Hebatnya, ketika mereka melihat lagi ke arah sasaran, si buta itu masih
berdiri seperti biasa, dengan tangan kiri memegang mahkota tinggi dan tangan kanan
membawa tongkat!
"Minggir ...........!" Bentakan ini keluar dari mulut ketua Kiang-liong-pang dan kakek ini
dengan dayungnya menerjang hebat.
Lauw Teng yang tidak ingin melihat ketua fihak saingan ini dapat merampas mahkota,
cepat mencabut golok besarnya dan hampir berbarengan menyerbu pula ke depan.
Gerakannya ini diikuti oleh Ban Kwan Tojin yang sudah mencabut sepasang pedangnya
karena tosu ini yang berpemandangan tajam sudah mengetahui bahwa pemuda buta ini
bukan orang sembarangan dan memiliki kepandaian yang hebat. Apalagi kalau diingat
keterangan pemuda ini yang mengaku sebagai murid Toat-beng Yok-mo, tentu saja patut
miliki ilmu silat yang luar biasa.
Sementara itu, gadis baju hitam berjuluk Bi-yan-cu, semenjak tadi menahan senjatanya. Ia
seorang gadis yang mewarisi ilmu kepandaian tinggi, pandang matanya awas dan tajam.
Melihat gerak-gerik si buta ini, jantungnya berdebar. Segera ia dapat mengenal dasar-dasar
gerakan yang aneh dan luar biasa, dasar ilmu silat yang sakti. Oleh karena itu, biarpun ia
ikut mendekat, namun ia tidak berani sembrono melakukan penyerangan. Ia masih belum
tahu apa kehendak orang buta yang aneh itu, tidak tahu apakah dia itu kawan atau lawan
dan apa pula yang hendak dilakukan dengan perampasan mahkota itu. Akan tetapi melihat
si buta menentang dua perkumpulan penjahat sekaligus, di dalam hati gadis itu sudah
menganggap Kun Hong sebagai kawan. Maka ia bersikap waspada, pedang di tangan untuk
siap membantu si buta kalau-kalau terancam bahaya pengeroyokan puluhan orang
banyaknya itu.
Dalam waktu hampir bersamaan pelbagai senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan
terlatih itu menyambar ke arah tubuh Kun Hong. Yang terdahulu sekali adalah dayung di
tangan Bhe Ham Ko yang menyambar ke arah kepalanya, mengeluarkan suara mengiung
saking kerasnya. Dayung ini menyambar dari kanan ke kiri. Lalu disusul berkelebatnya
golok besar di tangan Lauw Teng. Sambaran golok ini mengarah leher, juga cepat dan
bertenaga sehingga mengeluarkan suara mendesing. Kemudian sepasang pedang di tangan
Ban Kwan Tojin pembantu Lauw Teng itu pun meluncur datang, yang kiri menusuk lambung
yang kanan menyerampang kaki. Gerakan ini dilakukan oleh tosu itu dengan menekuk
lutut, cepat dan berbahaya sekali datangnya pedang, hampir tak dapat diikuti pandangan
mata.
Diam-diam gadis jelita baju hitam mengeluarkan keringat dingin. Ia harus mengaku bahwa
tiga orang ini bukanlah merupakan lawan yang lunak dan andaikata ia sendiri yang diserang
secara berbareng seperti itu, hanya dengan meloncat jauh mengandalkan ginkang (ilmu
meringankan tubuh) saja agaknya akan dapat menyelamatkan dirinya. Akan tetapi orang
buta itu tidak kelihatan bergerak sama sekali, masih berdiri tegak dengan tangan kiri yang
memegang mahkota diangkat tinggi sedangkan tangan kanan memegangi tongkat melintang
di depan dada.
Akan tetapi tiba-tiba kelihatan sinar merah berkilat menyambar-nyambar, merupakan
gulungan sinar merah yang menyilaukan mata, disusul suara nyaring berdencingnya senjata
tajam saling bertemu dan........... tiga orang pengeroyok ini berseru kaget dan masing-
masing melompat mundur sampai tiga meter lebih.
Ketika semua orang yang tadi menjadi silau matanya oleh sinar merah yang bergulung-
gulung itu kini dapat memandang penuh perhatian, mereka melihat bahwa Bhe Ham Ko
bengong memandang dayungnya yang sudah patah menjadi dua potongan kecil di kedua
tangannya, Lauw Teng melongo menatap tangan kanannya yang hanya memegangi gagang
golok sedangkan Ban Kwan Tojin merah mukanya karena pedangnya yang kanan terbang
entah ke mana sedangkan yang kiri sudah semplok (patah) ujungnya!
Apabila semua orang memandang kepada pemuda buta itu, ternyata si buta ini masih saja
berdiri seperti tadi dengan tangan kiri tinggi-tinggi di atas kepala memegang mahkota
emas sedangkan tangan kanan masih memegang tongkat melintang! Apakah pemuda buta
ini main sihir? Demikian para anak buah kedua perkumpulan penjahat itu bertanya-tanya
dan merasa bingung, juga kaget, heran dan gentar. Akan tetapi tentu saja dugaan ini tidak
betul dan para pengeroyok tadi, juga si gadis baju hitam tahu belaka betapa secara hebat
pemuda buta itu tadi menggerakkan tongkatnya yang butut dan tampaklah sinar merah
bergulung-gulung yang menangkis dan merusak semua senjata itu. Yang membikin heran
mereka adalah kehebatan tongkat itu yang demikian ampuhnya sehingga dapat
mematahkan senjata-senjata tajam dan berat. Bukankah tongkat itu hanya tongkat kayu
belaka?
Tentu saja tidak demikian keadaan yang sesungguhnya. Biarpun hanya tongkat kayu, akan
tetapi di sebelah dalamnya adalah pedang Ang-hong-kiam, pedang pusaka yang ampuh
sekali. Apalagi digerakkan oleh tangan yang memiliki tenaga dan kepandaian sakti seperti
Kun Hong, sudah tentu para kepala penjahat itu bukanlah tandingannya!
Kun Hong tersenyum dan berkata, "Mahkota sudah berada di tanganku, akan kukembalikan
kepada yang berhak. Kalian tidak usah saling bermusuhan dan bunuh-membunuh. Lebih
tidak baik lagi kalau kalian meneruskan pekerjaan kalian yang hina dan kotor ini, pasti
kelak tidak akan membawa kalian kepada keselamatan hidup. Sudahlah, aku akan pergi
......."
Setelah berkata demikian dengan langkah perlahan pemuda buta itu berjalan maju
mendahului kedua kakinya dengan tongkat yang dipakai meraba-raba ke depan. Karena dia
buta, tentu saja dia tidak tahu bahwa dia telah salah mengambil jurusan sehingga dia
bukan hendak meninggalkan tempat itu, melainkan dia menuju ke arah kelompok pohon-
pohon besar yang memenuhi hutan kecil di lereng bukit. Kun Hong agak bingung ketika
tongkatnya bertemu dengan batang-batang pohon, dia meraba-raba dan berjalan di antara
pohon-pohon. Ketika dia melangkah maju, dia tidak melihat bahwa di atasnya ada sebuah
cabang pohon yang tergantung rendah. Tahu-tahu kepalanya tertumbuk kepada batang
pohon ini. Kagetnya bukan main karena kalau yang memukul kepala itu adalah serangan
lawan, tentu dia dapat mendengar angin pukulannya. Cepat dia miringkan kepala, akan
tetapi tak dapat dia mencegah keluarnya "telur kecil" menyendul di dahinya yang mencium
batang pohon tadi!
Semua orang yang berada di situ saling pandang dan tak terasa lagi muka tiga orang tokoh
yang keheranan tadi berubah menjadi merah sekali. Orang buta macam begitu saja tak
mampu mereka robohkan! Malah dalam satu kali gebrakan saja mereka telah kehilangan
senjata! Padahal si buta itu mencari jalanpun tidak becus!
"Serang dia!" Hampir berbareng Lauw Teng dan Bhe Ham Ko berseru. Ributlah para anak
buah bajak dan rampok berlari maju, menghujani tubuh Kun Hong dengan serbuan senjata
mereka. Akan tetapi kini Kun Hong tidak mau memberi hati lagi. Dia tadi turun tangan
dengan maksud untuk mencegah mereka saling bunuh dan sengaja dia menimpakan rasa
permusuhan mereka kepada dirinya karena dia yakin bahwa dia mampu menjaga diri
sendiri. Melihat dirinya dikepung dan diserbu, dia menggerakkan tongkatnya ke arah suara
senjata yang menyerangnyai Sinar merah bergulung-gulung dan segera terdengar suara
senjata beradu bertubi-tubi, disusul pekik kesakitan dan tampaklah senjata-senjata para
pengeroyok itu beterbangan seperti daun-daun kering rontok tertiup angin. Kali ini Kun
Hong sengaja menujukan tongkatnya kepada tangan-tangan yang memegang senjata
sehingga dalam sekejap mata saja belasan pengeroyok sudah terluka tangan mereka, luka
berdarah yang biarpun tidak membahayakan keselamatan mereka, namun cukup parah
sehingga membuat mereka tak berdaya dan tak dapat mengeroyok pula.
Serbuan gelombang ke dua juga mengakibatkan belasan orang pengeroyok lain mundur dan
memegangi tangan yang terluka, malah kali ini tidak ketinggalan tangan Lauw Teng, Bhe
Ham Ko dan tosu Ban Kwan Tojin juga terluka!
Melihat kehebatan pemuda buta ini, para pengeroyok menjadi gentar juga, apalagi ketika
Kun Hong yang kini berdiri tegak menghadapi mereka itu berkata, suaranya nyaring dan
penuh pengaruh,
"Jangan kira bahwa aku tidak mampu mengubah luka pada tangan dengan tabasan pada
leher atau tusukan pada ulu hati. Hemmm, orang-orang sesat, apakah kalian masih ingin
merampas mahkota ini yang bukan menjadi hak milik kalian? Sadarlah bahwa perbuatan
busuk takkan mendatangkan kebahagiaan dan keselamatan!"
Semua orang kini memandang betapa si buta itu melanjutkan perjalanannya, hati-hati
sekali berjalan didahului rabaan tongkatnya, malah kini agak membungkuk-bungkuk karena
takut kalau-kalau kepalanya bertumbukan dengan dahan pohon yang rendah lagi.
"Sinshe buta, berhenti kau!" tiba-tiba orang tinggi besar muka hitam yang tadi datang
bersama Bhe Ham Ko melompat ke depan dan menghadang di depan Kun Hong. Mendengar
angin lompatan ini, Kun Hong maklum bahwa orang yang baru datang menyusulnya ini
memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada tiga orang pengeroyoknya tadi.
"Sahabat siapakah dan ada keperluan apa menahanku?"
"Kau tinggalkan mahkota itu dan aku masih akan mengampuni perbuatanmu mengacau di
sini dan menghina kakak iparku, Kiang-liong-pangcu!"
"Hemm, kau siapakah berani bicara sesombong ini?" Kun Hong bertanya.
"Buka telingamu baik-baik. Tuan besarmu ini adalah Tiat-jin (Si Tangan Besi) Souw Ki,
seorang di antara tujuh pengawal kaisar. Mahkota itu adalah benda pusaka di dalam istana
yang dicuri dan dibawa lari oleh bekas pembesar Tan Hok yang berhenti dan mengundurkan
diri. Siapa yang merampas mahkota ini berarti dialah pencurinya dan patut dihukum
sebagai pengkhianat atau pemberontak. Nah, kau serahkan benda itu kepadaku!"
Fihak Hui-houw-pang terkejut sekali mendengar pengakuan orang tinggi besar ini dan
mereka, terutama Lauw Teng, memandang penuh perhatian. Kun Hong sendiri juga
terkejut. Tak disangkanya dia akan bertemu kembali dengan seorang di antara tujuh
pengawal Pangeran Mahkota Kian Bun Ti yang sekarang sudah menjadi calon kaisar karena
kematian kaisar tua, dan dengan sendirinya tujuh orang pengawalnya itu akan naik pangkat
menjadi pengawal kaisar pula. Setelah mendengar namanya, baru dia mengenal kembali
suara orang ini. Agaknya Tiat-jiu Souw Ki sendiri lupa kepadanya dan tidak mengenalnya.
Hal ini tidak aneh pula karena dia sudah menjadi buta dan di puncak Thai-san tiga tahun
yang lalu, ketika Tiat-jiu Souw Ki dan enam orang temannya datang pula mengacau, Kun
Hong belum buta (baca Rajawali Emas). Lebih besar lagi keheranan dan kekagetannya
ketika dia mendengar dari mulut pengawal itu bahwa pembesar yang telah dirampok, yang
katanya mengambil dan melarikan mahkota ini dari istana, bukan lain adalah Tan-taijin
yang merupakan kakak angkat dari Tan Beng San!
"Tidak boleh orang merampas dari tanganku," kata Kun Hong tenang dan suaranya keras.
"Kalau kalian tadinya merampas benda ini dari pembesar she Tan itu, aku harus
mengembalikan kepadanya juga."
"Keparat, berani kau melawan pengawal kaisar?" Tiat-jiu Souw Ki membentak dan tanpa
menanti jawaban Kun Hong dia sudah mengirim pukulan dengan tangan kanannya yang
disertai hawa pukulan dan tenaga dalam yang membuat kepalannya itu sekeras besi.
Memang Souw Ki ini waktu mudanya melatih tangannya dengan bubuk besi sehingga kini dia
memiliki Ilmu Tiat-see-ciang (Pukulan Pasir Besi) yang membuat kepalannya seperti besi
kerasnya dan karena ini pula dia mendapat julukan Tiat-jiu (Si Tangan Besi).
Sambaran pukulan tangan ini sudah cukup untuk diketahui Kun Hong tentang keahlian
lawan. Namun dia tidak gentar, malah mengempit tongkatnya dan menggunakan tangan
dan memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak tangannya.
"Dukkk!" Kepalan yang besar dan keras itu bertemu dengan telapak tangan Kun Hong yang
putih dan halus seperti tangan wanita. Akibatnya luar biasa sekali. Souw Ki marasa betapa
kepalannya seperti bertemu dengan kapas, seakan-akan tenaganya tenggelam ke dalam air
dan sebelum dia sempat menarik tangannya, dari telapak tangan itu timbul hawa panas
yang membakar tangannya. Tubuhnya menggigil, dia jatuh berlutut dan lengan tangannya
serasa lumpuh. Kagetnya bukan main dan cepat dia menarik tangannya sambil
mengerahkan tenaga. Kun Hong melepaskan dan betapa kaget hati Souw Ki melihat
kepalan tangannya membengkak dan mulailah terasa nyeri menusuk-nusuk. Dia melompat
mundur dan menyeringai kesakitan.
"Tanganmu tidak apa-apa, besok akan lenyap rasa nyerinya." kata Kun Hong. "Salahmu
sendiri menggunakan tenaga beracun dan kini hawa pukulan menyerang tanganmu sendiri."
Setelah berkata demikian, Kun Hong melanjutkan langkahnya. Tak seorang pun akan
mencoba untuk menyerang lagi sekarang, setelah melihat betapa semua serangan dapat
dipatahkan sekali gebrak saja oleh pemuda buta. Melihat si buta itu berjalan dengan
tongkat di depan, kelihatannya begitu lemah, begitu tak berdaya, akan tetapi hampir
seratus orang banyaknya itu tidak dapat menghalanginya membawa pergi mahkota itu,
benar-benar amat mengherankan! Orang-orang itu hanya mengikutinya dari jauh tak
seorangpun mengeluarkan suara.
Diam-diam gadis jelita baju hitam itupun mengikuti dari jauh. Ia makin kagum kepada Kun
Hong, dan ia dapat melihat sikap para penjahat itu yang agaknya tidak akan mengalah
begitu saja. Siapakah pemuda buta ini? Lihai bukan main, dari mana datangnya. dan apa
maksud sebenarnya membawa pergi mahkota kuno? Demikian bermacam pikiran mengaduk
di hati Bi-yan-cu. Sengaja ia menyelinap di antara pepohonan dan menghilang dari
pandangan mata orang banyak, lalu diam-diam ia mengikuti semua kejadian atas diri Kun
Hong.
Setelah Kun Hong menembus hutan kecil penuh pepohonan itu, barulah si gadis jelita kaget
sekali dan maklum apa yang diharapkan oleh para penjahat itu. Kiranya, tanpa
diketahuinya, orang buta itu salah jalan, menuju ke sebuah tebing yang buntu karena
berujung jurang yang amat curam dan luas, tak mungkin dilalui manusia! Tanpa
diketahuinya, si buta itu berjalan perlahan-lahan, tongkatnya meraba-raba menuju ke
pinggir jurang, sedangkan di belakangnya, hampir seratus orang dari kedua perkumpulan
penjahat itu mengikutinya, siap dengan senjata di tangan malah ada yang sudah
mementang busur!
Melihat betapa orang buta itu menghadapi bahaya maut yang hebat, Bi-yan-cu ingin
berteriak memberi peringatan. Akan tetapi ia menahan hatinya. Mengapa ia harus berbuat
demikian? Ia tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan si buta, kecuali bahwa mahkota
itu berada pada si buta dan harus ia rampas. Si buta itu boleh mampus di tangan penjahat-
penjahat ini, apa sangkut pautnya dengannya? Pula, orang buta itu masih muda dan
tampan sekali, kalau ia seorang gadis tanpa alasan membelanya, bukankah orang akan
menyangka yang bukan-bukan terhadap dirinya? Apalagi kalau diingat betapa si buta tadi
demikian dekat dan baik dengan gadis pesolek genit anak Lauw Teng, dapat diduga bahwa
orang buta itu pun bukan orang baik-baik biarpun kepandaiannya benar-benar amat lihai.
Biarlah mereka saling gempur, dan ia mencari kesempatan baik merampas mahkota itu.
Inilah siasat membiarkan anjing-anjing merebutkan daging sambil menanti kesempatan
untuk menyambar daging itu!
Ketika akhirnya tongkatnya meraba tempat kosong, Kun Hong juga merasa kaget sekali.
Diraba-rabanya sekali lagi ke depan, kanan kiri sama saja. Jelas bahwa tongkatnya memang
meraba tempat kosong. Dia berjongkok, mencoba untuk mengukur dalamnya "lobang" di
depannya itu, siapa tahu hanya sungai kecil. Tapi, biarpun dia sudah mengulur lengan dan
tongkatnya, masih juga belum menyentuh dasarnya. Dan dia tidak mendengar suara air
sungai. Kemudian dia mundur dan melangkah dua tindak ke belakang, keningnya berkerut.
Telinganya mendengar suara burung jauh di bawah ketika dia berjongkok tadi. Tahulah dia
sekarang bahwa di depannya adalah jurang yang sangat curam, bahwa di "bawah" sana itu
adalah kaki gunung, dusun-dusun dan pohon-pohon di mana burung-burung beterbangan!
"Kwan-sinshe, kau masih tidak mau menyerahkan mahkota itu?" tiba-tiba dia mendengar
suara bentakan di belakangnya, suara Lauw Teng, juga dia mendengar kaki puluhan orang
banyaknya, bergerak berindap-indap ke arahnya dari belakang, kanan dan kiri. Dia maklum
bahwa dirinya sudah terkurung dari kanan kiri belakang oleh para lawannya, dari depan
dihalangi jurang yang tak mungkin dilalui. Dia membalik, tersenyum dan menjawab,
"Pangcu, kalau mahkota ini terjatuh ke dalam tanganmu, tentu orang-orang Kiang-liong-
pang takkan diam begitu saja dan akan merampasnya dari tanganmu, sebaliknya kalau
kuberikan kepada ketua Kiang-liong-pang, tentu kau dan anak buahmu juga tidak akan mau
menerima begitu saja. Karena itu, biarlah tetap di tanganku dan kalian tidak usah saling
bermusuhan." Kun Hong melangkah maju, ingin segera menjauhi pinggir jurang karena hal
ini amat berbahaya baginya.
Akan tetapi atas dorongan ketua kedua perkumpulan, para bajak dan perampok segera
menyerbu, didahului melayangnya puluhan batang anak panah ke arah Kun Hong! Pemuda
buta itu cepat memutar tongkatnya dan anak-anak panah itu runtuh semua, ada yang
melejit dan meluncur kembali menyerang tuannya sendiri. Biarpun Kun Hong dihujani anak
panah, namun tak sebuah pun dapat menyentuhnya. Tongkat yang dia gerakkan merupakan
perisai yang amat tangguh, juga gerakannya mengandung hawa sakti yang amat kuat
sehingga anginnya saja cukup untuk mengusir pergi anak panah yang mendekatinya.
Akan tetapi puluhan orang itu mendesak maju, kini menggunakan toya, tombak dan
scnjata-senjata panjang lain. Kun Hong menangkis, mematahkan banyak tombak dan toya,
merobohkan banyak pengeroyok dengan melukai mereka tanpa membahayakan
keselamatan nyawa. Karena menghadapi pengeroyokan berat, dia terpaksa harus bergerak
ke sana ke mari, mulai menendang untuk membantu tongkatnya. Dia tidak gentar
menghadapi pengeroyokan orang-orang yang baginya bukan merupakan lawan yang tangguh
itu... akan tetapi karena para penjahat itu mengeroyoknya sambil berteriak, hal ini amat,
membingungkan Kun Hong. Harus diketahui bahwa pemuda buta ini dalam setiap
pertempuran mengandalkan telinganya. Kini orang-orang itu mengeluarkan teriakan-
teriakan gaduh, tentu saja pendengarannya menjadi kacau-balau dan dia tak dapat
menangkap desir angin sambaran senjata lagi. Dalam keadaan begini terpaksa Kun Hong
hanya mainkan tongkat melindungi dirinya saja, dan terpaksa dia menggunakan kakinya
untuk menendang dan merobohkan lawan, karena untuk merobohkan lawan dengan
tongkatnya, dia khawatir kalau-kalau akan menewaskannya.
Mendadak di antara para pengeroyok itu ada yang mengeluarkan tambang panjang,
dipegang melintang dan dipasang di depan Kun Hong yang masih sibuk menghadapi
pengeroyokan. Secara tiba-tiba tambang ditarik dan dipergunakan untuk membetot kaki
orang buta itu. Kun Hong kaget dan cepat melompat ke sana ke mari. Akan tetapi
celakalah dia kalau sampai jatuh karena libatan tambang, Orang-orang yang
mengeroyoknya bersorak dan pengeroyokan menjadi makin ketat.
"Manusia-manusia curang!" Bi-yan-cu tak dapat menahan kemarahannya lagi dan sesosok
bayangan hitam berkelebat didahului sinar pedang yang menyilaukan mata. Pekik kesakitan
susul-menyusul, dan beberapa orang penjahat roboh oleh pedang si gadis yang ampuh.
"Heee........... jangan...........!" Kun Hong berteriak mendengar jeritan-jeritan itu, akan
tetapi pada saat itu dia lupa dan melompat agak jauh. Celaka baginya, dia justeru
melompat ke arah jurang, tepat di pinggirnya, kakinya terpeleset dan tanpa dapat dicegah
lagi tubuhnya terguling ke dalam jurang.
Para bajak dan perampok bersorak-sorai dan mereka kini membalik untuk mengeroyok
gadis jelita baju hitam yang mengamuk seperti seekor naga betina.
Sebetulnya, ketua dari dua perkumpulan penjahat itu tidak ada nafsu untuk mengeroyok
Bi-yan-cu, karena selain mereka tidak suka bermusuhan dengan puteri Sin-kiam-eng Tan
Beng Kui si raja kecil dari pantai Po-hai, juga mahkota kuno yang diperebutkan berada di
tangan si buta yang kini sudah terjungkal ke dalam jurang. Perlu apa ribut-ribut dengan
gadis liar itu? Akan tetapi, keadaannya lain sekarang. Bukan mereka yang sengaja
mengeroyok, adalah Bi-yan-cu yang sengaja mengamuk! Entah bagaimana, melihat betapa
pemuda buta itu dikeroyok sampai terjungkal ke dalam jurang, gadis ini menjadi marah
sekali dan mengamuk seperti ayam betina diganggu anaknya.
Karena amukan gadis ini merobohkan banyak anak buah bajak dan perampok, dua orang
ketua itu bersama para pembantunya menjadi marah dan mereka lalu menyerbu dan
dikeroyoklah Bi-yan-cu oleh banyak orang kosen. Ilmu pedang gadis itu benar-benar hebat,
tepat seperti yang diduga oleh Kun Hong tadi. Gerakannya lincah dan lemas, seperti sedang
menari-nari dengan indahnya, namun setiap gerakan pedang pasti mematahkan senjata
lawan atau melukainya.
Betapapun juga, menghadapi pengeroyokan Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Bhe Ham Ko, lima
orang tamu undangan termasuk Tiat-jiu Souw Ki yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi
juga, gadis ini mulai terdesak. Ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Ilmu Pedang Sian-li-kiam-
sut (Ilmu Pedang Bidadari) memang dapat menyelamatkan dirinya. Gerakannya masih tetap
lincah dan indah, akan tetapi lewat seratus jurus, ia mulai lelah.
"Ha-ha-ha, gadis liar, apakah engkau masih hendak mengamuk lagi? Hemmmm, melihat
muka ayahmu, asal kau melepaskan pedang dan berlutut minta maaf, biarlah kulepaskan
kau!" kata Lauw Teng yang bagaimanapun juga masih merasa khawatir kalau-kalau dia
menimbulkan bibit permusuhan dengan raja kecil pantai Po-hai yang amat terkenal itu.
"Lebih baik mampus daripada minta maaf kepada penjahat-penjahat keji macam kalian!"
sambil memutar pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu berubah menjadi gundukan
sinar kemilauan, gadis itu memaki. "Manusia-manusia curang, kalau memang gagah jangan
main keroyokan!"
Sekali gulungan sinar pedang itu menyambar ke kiri, seorang pengeroyok menjerit dan
pundaknya terbabat pedang. Baiknya ia masih sempat melempar diri ke belakang sehingga
hanya kulit dan bagian daging pundaknya saja yang sapat oleh pedang. Namun cukup
mendatangkan rasa perih dan nyeri bukan main sehingga ia melompat mundur sambil
merintih-rintih. Lagi terdengar jeritan keras ketika pedang Bi-yan-cu yang dikelebatkan ke
belakangnya berhasil merobek kulit dan daging paha seorang pengeroyok lain, malah dalam
detik berikutnya pedang itu sudah menusuk ke arah leher Bhe Ham Ko dengan kecepatan
kilat. Orang she Bhe ini berseru kaget dan tak kuasa untuk menangkis atau mengelak lagi,
sudah meramkan mata menanti datangnya maut.
"Tranggg!" Ruyung di tangan Tiat-jiu Souw Ki menangkis pedang yang akan merenggut
nyawa kakak isterinya itu. Ujung ruyungnya terbabat putus akan tetapi gadis itu sendiri
terhuyung mundur, tangannya terasa sakit. Ia maklum bahwa tenaga Iweekang dari Si
Tangan Besi itu benar-benar kuat sekali. Sebelum ia dapat mengambil kedudukannya, ia
telah diserang gencar oleh senjata-senjata lawan secara bertubi-tubi.
Sekali putar pedangnya dapat menangkis semua senjata, dan ruyung yang sudah
menghantam pinggangnya telah ia tangkis dengan sebuah tendangan keras menggunakan
tumit kakinya. Pada saat itu, golok dan pedang lawan yang lain sudah menggempurnya, Bi-
yan-cu menggoyang pedangnya, tapi agaknya para pengeroyoknya yang terdiri dari orang-
orang pandai ini sudah bersepakat untuk mengalahkannya. Dari kanan kiri datang golok dan
pedang yang menjepit pedangnya. Bi-yan-cu kaget, mengerahkan tenaga untuk menarik
pulang pedangnya. Namun pada saat itu, sebatang pedang lain menyerampang kakinya.
Cepat ia meloncat ke atas dan tak dapat dicegah lagi ia harus menerima hantaman dayung
yang datang dari kanan, menggunakan pangkal lengan kanannya.
"Bukkk!" Hantaman itu membuat tubuhnya tergetar tangan kanannya lumpuh kaku dan
terpaksa ia melepaskan pedangnya untuk dapat meloncat ke atas, lalu membalik ke
belakang dan keluar dari kepungan.
"Hayo berlutut minta ampun kalau tidak mau mampus!" sekali lagi Hui-houw-pangcu Lauw
Teng membentaknya.
Gadis itu berdiri dengan tegak, matanya berapi-api, kepalanya dikedikkan dan mulutnya
tersenyum mengejek. Ia adalah puteri seorang gagah perkasa dan semenjak kecil ia sudah
digembleng tentang kegagahan. Mati bukan apa-apa bagi Bi-yan-cu. Sambil mengeluarkan
pekik nyaring gadis ini malah menerjang maju dengan tangan kosong, menggunakan
kepalan tangan dan tendangan kaki!
Para pengeroyoknya yang sudah menjadi marah itu menyambutnya dengan hujan bacokan.
"Cring-cring-cring ...........!" Sinar merah berkelebat dan senjata-senjata para pengeroyok
itu berpelantingan. Semua orang mundur penuh keheranan dan ........ kiranya si buta
sudah berada di situ. Si buta inilah yang tadi menangkis semua senjata itu, menolong
nyawa Bi-yan-cu. Dan tangan kiri yang diangkat tinggi-tinggi itu masih memegang mahkota
yang diperebutkan!
Ketika Kun Hong menginjak pinggir jurang yang mengakibatkan dia terperosok dan
terguling ke dalam jurang, pemuda ini tidak kehilangan akal. Dengan menahan napas dia
mengerahkan seluruh kekuatan ginkangnya, memutar tongkatnya menusuk-nusuk ke kanan
kiri. Akhirnya usahanya berhasil. Sebelum terlalu dalam dia terjatuh, ujung tongkat yang
ditusukkan telah menancap dinding jurang yang merupakan tanah keras.
Dia bergantung di situ. Mahkota itu dia selipkan dalam buntalan di punggungnya, lalu
tangan kirinya meraba-raba. Begitu mendapat pegangan, yaitu batu yang menonjol pada
dinding itu, dia mencabut pedang, menggunakan tangan kiri menarik tubuh ke atas dan
menancapkan pedangnya di sebelah atas. Demikianlah, biarpun lambat akhirnya dia
berhasil merambat ke atas kembali dan meloncat ke luar dari jurang yang merupakan
mulut maut yang akan menelannya. Dan tepat sekali dia masih keburu menyelamatkan Bi-
yan-cu dari bahaya maut di tangan para penjahat.
Lauw Teng dan kawan-kawannya melihat munculnya si buta ini menjadi kaget dan khawatir
sekali. Akan tetapi Tiat-jiu Souw Ki yang berpikiran cepat dan cerdik segera berkata,
"Tawan dulu gadis liar ini!" Dia mendahului menubruk ke arah Bi-yan-cu, disusul kawan-
kawannya. Gadis itu tadinya merasa heran, kaget dan juga girang melihat Kun Hong,
sekarang dengan cepat ia berusaha untuk melawan. Akan tetapi karena lengan kanannya
terasa kaku dan lumpuh, sia-sia saja ia melawan dan dapatlah ia diringkus dan diikat kaki
tangannya.
"Sinshe buta, jangan bergerak atau........... gadis ini akan kami bunuh lebih dulu!" teriak
Tiat-jiu Souw Ki dengan suara nyaring sambil menempelkan ruyungnya pada kepala Bi-yan-
cu.
Lemas seluruh tubuh Kun Hong mendengar ini. Karena matanya sudah buta, ilmu silatnya
hanya dapat dia pergunakan untuk menjaga diri, yaitu dia dapat menghadapi tiap serangan
dan sekalian merobohkan lawannya. Akan tetapi untuk menyerang orang, sungguh sukar
baginya, apalagi untuk menolong gadis yang dikeroyok itu. Tadi dia masih dapat
menggerakkan tongkat untuk menghalau semua senjata mengandalkan pendengarannya
terhadap angin pukulan senjata itu, sekarang tak mungkin dia secara mengawur dapat
mengamuk. Pula, bukan maksudnya untuk menyerang orang kalau dia sendiri tidak
diganggu. Maka sejenak dia menjadi bingung, tak tahu dengan cara bagaimana dia dapat
menolong puteri dari Sin-kiam-eng Tan Beng Kui.
"Sudahlah," akhirnya dia berkata dengan suara rendah. "Kalian menghendaki mahkota butut
ini? Nah, kalian boleh menerimanya asal gadis itu dibebaskan."
Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Souw Ki, dan Bhe Ham Ko saling pandang. Lalu Tiat-jiu Souw
Ki mewakili mereka semua bersuara,
"Sinshe buta, kami baru mau membebaskan gadis ini kalau kau suka menyerah menjadi
tawanan kami dan menyerahkan mahkota itu."
Kun Hong mengerutkan kening. Tentu saja berbahaya baginya kalau dia sampai menyerah
dan menjadi tawanan orang-orang kejam ini. Besar kemungkinan dia akan dibunuh mati.
Sebaliknya, kalau tidak menyerah dan mengamuk, sungguhpun dia mampu mengalahkan
mereka, namun gadis puteri Tan Beng Kui itupun terancam keselamatan nyawanya. Gadis
yang menurut suaranya baru belasan tahun usianya itu benar-benar amat sayang kalau
harus mati, apalagi ia puteri Tan Beng Kui, atau lebih tepat lagi, ia apalagi kemenakan Tan
Beng San Taihiap! Berbeda dengan dia, seorang buta yang tidak berharga, baik jiwa
maupun raganya. Mati baginya hanya berarti mempercepat persatuan kembali dengan
mendiang Tan Cui Bi, kekasihnya, matahari hidupnya!
"Baiklah, aku menyerah. Kalian bebaskan gadis itu!" katanya sambil menarik napas
panjang.
"Ha-ha, pengemis buta! Jangan kira kami begitu bodoh. Kau harus menyerah untuk
dibelenggu kedua tanganmu!" Bhe Ham Ko tertawa mengejek.
Kun Hong tersenyum masam, menahan kemarahannya, lalu mengulurkan kedua lengan
disejajarkan ke depan. "Boleh, kalian belenggulah." Seorang anak buah Kiang-liong-pang
yang diberi isyarat oleh ketuanya lalu melangkah maju, membawa tambang kulit kerbau
yang kuat sekali.
"Jangan mau menyerah! Kau akan dibunuh oleh penjahat-penjahat jahanam ini!" tiba-tiba
Bi-yan-cu berseru nyaring.
Kun Hong menggelengkan kepala. "Lebih baik aku yang dibunuh, apa sih artinya orang
seperti aku? Hayo, kalian belenggulah aku, tapi lepaskan dulu gadis itu!"
"Kau harus dibelanggu lebih dulu!" Kata Bhe Ham Ko. Tentu saja dia tidak menghendaki si
buta ini kemudian tidak memegang janjinya setelah si gadis dibebaskan.
"Hah, kalian tidak percaya kepadaku. Hemmm, sebaliknya bagaimana aku dapat percaya
kepada kalian?"
"Jangan mau diperdayai!" kembali gadis itu mencela nyaring. "Kalau mereka berani
menggangguku, ayah akan datang menghancurkan jiwa anjing mereka, tidak seekor pun
akan diampuni!"
Kun Hong tidak membantah ketika anak buah bajak itu membelenggu kedua pergelangan
tangannya dengan tali kulit yang amat kuat itu, Juga mahkota itu diambil dari buntalannya
dan diserahkan orang kepada Souw Ki yang lalu tertawa bergelak.
"Lepaskan gadis liar itu," kata Souw Ki. "Jangan sampai dunia kang-ouw mengatakan kita
tidak memegang janji. Nona, katakan kepada ayahmu bahwa bukan sekali-kali kami hendak
memusuhinya, akan tetapi karena kau sendiri yang memusuhi kami, terpaksa kami
bertindak. Kau harus tahu bahwa aku adalah pengawal kaisar dan karena benda ini adalah
milik istana, sudah menjadi kewajibanku untuk mengambilnya kembali."
Nona itu dibebaskan. Ia meloncat berdiri akan tetapi terhuyung-huyung. Kakinya terasa
kaku dan tangan kanannya tak dapat digerakkan, agaknya ada tulang yang patah. Ia pergi
menjemput pedangnya yang menggeletak di atas tanah, memegangnya dengan tangan kiri,
dipegangnya erat-erat sambil menggigit bibir. Ingin ia mengamuk dan membunuh semua
penjahat ini untuk merampas mahkota dan menolong si buta, akan tetapi ia tidak begitu
bodoh dan tahu-pula bahwa usahanya ini akan sia-sia dan hanya akan mengorbankan nyawa
dengan sia-sia belaka. Andaikata belum terluka lengan kanannya tentu ia takkan menyerah
mentah-mentah.
Ia berdiri seperti patung melihat betapa ujung belenggu yang masih panjang ditarik orang
dan si buta itu diseret seperti orang menuntun kerbau saja. Beberapa kali Kun Hong
tersandung batu dan terhuyung-huyung akan jatuh, ditertawai oleh anak buah bajak dan
rampok. Tanpa menggunakan tongkatnya untuk meraba jalan di depan kakinya, tentu saja
dia tak dapat berjalan dengan baik, tidak melihat adanya batu-batu yang menghalang
kedua kakinya, apalagi diseret seperti itu. Tongkat itu masih dipegangnya, akan tetapi
tidak dapat digunakan karena kedua tangannya harus diangkat agak tinggi ketika diseret.
"Kenapa .......... kenapa kau lakukan ini...........?" gadis itu berteriak, menahan isak.
Kun Hong mendengar ini, biarpun teriakan itu sebetulnya hanya nyaring di dalam hati gadis
itu, yang keluar dari bibirnya keluhan perlahan. Dia menengok dan tersenyum, berkata,
"Nona, mengingat pamanmu, Tan Beng San taihiap, aku rela melakukan ini..........."
Sementara itu, kesibukan nampak pada para pimpinan kedua perkumpulan yang tadinya
saling bermusuhan tapi sekarang telah berbaik kembali.
"Souw-ciangkun, dalam merampas kembali mahkota dari tangan bekas pembesar Tan, kami
pun mempunyai jasa, jangan lupakan ini!" terdengar Lauw Teng berkata.
Tiat-jiu Souw Ki tertawa. "Jangan khawatir, Lauw-pangcu. Aku akan membawa kembali
mahkota ini ke kota raja dan di depan sri baginda kaisar pasti akan kulaporkan tentang jasa
Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang. Tunggu saja, tak lama kalian semua akan
memperoleh anugerah dari kaisar."
Para anak buah bajak dan rampok bersorak gembira. Souw Ki lalu memilih sepuluh orang
dari Hui-houw-pang dan sepuluh orang lagi dari Kiang-liong-pang untuk mengawalnya ke
kota raja. Malah Ban Kwan Tojin yang hendak berpesiar ke kota raja pun menyertai
rombongan ini. Hui-houw-pang yang merasa berterima kasih bahwa adik ipar dari bekas
musuhnya ini ternyata tidak memusuhinya cepat menyediakan dua puluh dua ekor kuda
yang kuat-kuat untuk rombongan itu.
Berangkatlah dua puluh dua orang itu naik kuda. Anak buah yang berkuda paling belakang
memegang ujung tali belenggu tangan Kun Hong. Begitu kuda bergerak, tubuh Kun Hong
tersentak ke depan dan terpaksa pemuda buta ini lari pontang-panting, meloncat-loncat
agar jangan tersandung batu, dengan kedua tangan diacungkan ke depan. Dia terhuyung-
huyung ke depan dan agaknya penglihatan ini amat lucu bagi kedua golongan hitam
buktinya mereka tertawa bergelak-gelak dengan geli.
Bi-yan-cu menyelinap pergi di antara pepohonan, tangan kiri yang menggenggam gagang
pedang diusapkan ke depan muka untuk menghapus air mata yang berderai jatuh ke atas
kedua pipinya.
***
Tiat-jiu Souw Ki memang seorang yang amat cerdik. Ketika mendengar bahwa pemuda buta
ini pandai ilmu pengobatan, timbul niat hatinya untuk memaksa pemuda itu ikut ke kota
raja agar dapat dipergunakan kepandaiannya itu. Tentang kepandaiannya ilmu silat yang
demikian hebatnya, ah, tak usah dikhawatirkan karena betapapun pandainya seorang buta
tentu mudah ditipu.
Biarpun kuda-kuda itu berlari tidak terlalu cepat, namun keadaan Kun Hong yang diseret-
seret cukup sengsara. Berkali-kali dia terperosok ke dalam lubang di tanah, atau
tersandung batu sehingga dia terjungkal ke depan dan terseret oleh kuda. Baiknya pemuda
ini memang memiliki ginkang yang tinggi dan tubuhnya sudah memiliki hawa murni yang
membuat kulitnya kebal sehingga biarpun tampaknya dia tersiksa sedemikian hebatnya,
namun sesungguhnya dia tidak sampai menderita nyeri dan tidak terluka sama sekali. Tadi
memang dia menyerahkan diri untuk menggantikan gadis itu, dan dia sengaja menurut saja
diseret-seret sampai beberapa jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada gadis itu
pergi menjauhkan diri. Selain itu, juga lebih mudah baginya untuk turun gunung dengan
cara "membonceng" seperti ini daripada harus mencari jalan sendiri di tempat yang asing
baginya. Memang cocok sekali harapannya, dia diseret turun gunung dan hari telah
menjelang senja ketika rombongan itu memasuki sebuah dusun di kaki gunung.
Bukan hal aneh pada masa itu bahwa rakyat amat takut terhadap setiap rombongan orang
yang bersenjata, baik rombongan ini merupakan pasukan tentara pemerintah atau bukan.
Ini terjadi akibat tekanan-tekanan dan gangguan yang selalu dilakukan oleh rombongan-
rombongan macam itu untuk menyenangkan diri sendiri tiap kali mereka melewati sebuah
dusun. Merampas makanan tanpa bayar, memaksa penduduk membawakan beban,
merampas kaum wanita dan sebagainya. Maka ketika pada sore hari itu rombongan Tiat-jiu
Souw Ki memasuki dusun di kaki gunung ini, penduduknya sudah pada lari menyembunyikan
diri, rumah-rumah sebagian besar ditutup pintunya.
Rombongan itu berhenti di tengah-tengah dusun, di depan sederetan rumah-rumah gubuk
kecil terbuat daripada bambu, rumah orang-orang miskin. Juga rumah-rumah ini biarpun
tidak ditutup pintunya, kelihatan sunyi tiada penghuninya. Memang perlu apa rumah-rumah
ini ditutup pintunya kalau di dalamnya tiada sesuatu yang cukup berharga untuk dicuri
orang?
Tiat-jiu Souw Ki yang merasa lapar dan haus, yang lelah setelah tadi mengalami
pertempuran, ingin beristirahat dan bermalam di kampung ini. Melihat kesunyian tempat
itu, dia mengerutkan kening dan mengomel.
"Sungguh tidak sopan penduduk dusun ini!" Ban Kwan Tojin menjawab. "Memang sebagian
besar dusun-dusun seperti ini selalu dikosongkan kalau ada rombongan orang-orang asing
lewat, Ciangkun. Karena itu, kalau pemerintah yang baru sekarang ini benar-benar sudah
lengkap, harus segera mengusahakan adanya penjabat-penjabat kecil di setiap dusun
sehingga segala sesuatu mengenai penghuni dusun-dusun dapat diatur sebaiknya."
Tiat-jiu melirik ke arah tosu itu dan diam-diam dia dapat menjeguk isi hati tosu ini yang
seperti juga orang-orang lain ternyata mempunyai ambisi untuk menjadi orang berpangkat.
Dia sedang hendak memerintahkan orang-orangnya untuk mencari tempat penginapan yang
baik baginya, tentu saja bukan rumah penginapan umum karena di dusun sekecil itu mana
ada losmen? Yang dia maksudkan adalah rumah terbaik, tak perduli tempat tinggal
siapapun, untuk dia mengaso malam itu. Akan tetapi tiba-tiba dari sebuah di antara rumah-
rumah gubuk itu keluarlah seorang anak laki-laki kecil. Usianya paling banyak lima tahun,
tubuhnya kurus kering dan setengah telanjang. Anak ini keluar setengah berlari, akan
tetapi tiba-tiba terhenyak di depan pintunya ketika dia melihat begitu banyak kuda-kuda
besar ditunggangi orang berkumpul di depan rumahnya. Sepasang matanya yang bening itu
berseri gembira dan mulutnya segera berseru,
"Kuda bagus....... kuda bagus.......!"
"........... A Wan .......... A Wan ........" tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil dari
dalam gubuk itu, suaranya yang terdengar gemetar ketakutan.
Akan tetapi anak kecil itu berjalan tertatih-tatih menonton kuda sampai dia tiba di bagian
paling belakang rombongan itu. Sejenak dia tertegun memandang kepada Kun Hong.
Pemuda buta ini berdiri dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya, ujung tambang
belenggu dipegang si penunggang kuda. Pakaian si buta itu di bagian punggung robek-robek
semua, di bagian lain sudah kotor oleh debu, juga mukanya berkeringat penuh debu,
membuat muka itu kotor dan hitam. Akan tetapi orang buta ini mulutnya tersenyum karena
sesungguhnya Kun Hong girang juga ketika mendapat kenyataan bahwa dia telah dapat
"membonceng" rombongan itu sampai ke sebuah dusun. Kalau dia sendiri yang turun dari
puncak tanpa penunjuk jalan, kiranya dia akan tersesat dan entah sampai kapan dapat
bertemu dengan dusun atau orang.
"Kasihan paman buta ........... lepaskan........... lepas...........!" Anak itu berteriak-teriak
sambil mendekati Kun Hong.
"Anak baik...........!" Kun Hong berkata halus, suara anak itu menggetarkan jantungnya.
"Anak haram, minggat!" seorang di antara para pengiring Souw Ki membentak dan "tar!
tar!" cambuknya menyambar ke tubuh anak itu.
Anak itu menjerit dan lari mundur sambil menangis. Dari dalam gubuk berlari ke luar
seorang wanita yang serta merta menubruk anaknya, lalu bersama anak itu ia berlutut.
"Ampun, Tai-ya........... ampunkan kami ..........." Wanita itu memohon sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya sampai menyentuh tanah, wajahnya pucat dan ketika ia
melirik ke arah Kun Hong, melihat orang buta ini dibelenggu dan pakaiannya rompang-
ramping mukanya kotor penuh debu, ia menjadi makin ngeri dan ketakutan sampai
tubuhnya menggigil!
Kun Hong tidak tahu mengapa si kejam itu menahan cambuknya, lalu terdengar orang-
orang itu tertawa kecil, malah si pemegang cambuk berkata perlahan, "Aiihh,
cantik..........."
Lalu terdengar suara Tiat-jiu Souw Ki, "Suruh dia melayaniku nanti!"
Si pemegang cambuk mengajukan kudanya mendekati wanita yang berlutut bersama
anaknya yang masih terisak-isak itu dan berkata dengan suaranya yang parau.
"He, manis, kau dengar sendiri ucapan Souw-ciangkun tadi. Sebentar malam kau diajak
minum arak manis, ha-ha-ha! Hayo kau ikut sekarang juga."
"Tidak ..........." perempuan itu menangis.
"Apa katamu? Setan! Berani kau menolak?"
"Ampun, Tai-yin........... hamba........ hamba tidak bisa ..........."
"Tar! Tar!" Cambuk berbunyi mengerikan di udara, di atas kepala wanita itu. "Anakmu
berbuat kurang ajar, ciangkun masih mengampuni malah hendak mengajak kau minum
arak, tapi kau benar-benar kurang terima. Agaknya kau hendak melihat anakmu dibanting
mampus baru menurut!" Cambuk itu menyambar ke arah bocah tadi dan tahu-tahu telah
melibat tubuhnya terus dihentakkan ke atas.
Berbareng dengan jerit mengerikan dari ibu muda itu, terdengar suara menggereng hebat,
sesosok bayangan menyambar ke arah si pemegang cambuk dan pada detik lain si
pemegang cambuk itu telah terbanting jatuh dari kudanya dan anak kecil itu telah berada
dalam pondongan Kun Hong! Kiranya pendekar buta yang sakti ini tidak dapat menahan lagi
hatinya mendengar semua peristiwa yang tak dapat dilihatnya itu. Karena maklum bahwa
ibu dan anak itu terancam bahaya hebat, sekali renggut saja belenggu yang mengikat
pergelangan tangannya putus semua dan sekali mengenjot tubuh dia telah menerjang si
pemegang cambuk yang kejam, mendorongnya jatuh sambil merampas bocah tadi. Kini
dengan tangan kiri memondong A Wan dan tangan kanan memegang tongkat erat-erat Kun
Hong menggeser kakinya mendekati si wanita yang masih berlutut dan menangis.
"Tiat-jiu Souw Ki, kau sejak dahulu tak pernah mengubah watakmu yang jahat!" Kun Hong
memaki, berdiri dengan tegak dan gagah. "Kau dan enam orang kawanmu benar-benar
merupakan tujuh pengawai yang jahat. Dahulu Pangeran Kian Bun Ti yang hendak
menggangu keponakan-keponakanku, sekarang kau dan anak buahmu ternyata juga bukan
manusia baik-baik. Hemm, kalau tidak lekas-lekas membawa orang-orangmu ini pergi
meninggalkan dusun ini jangan bilang aku keterlaluan kalau aku membikin kalian semua
tidak dapat lagi meninggalkan tempat ini!" Sambil berkata demikian Kun Hong membuat
gerakan melintangkan tongkatnya di depan dada, gerakan yang sudah dikenal baik oleh
Souw Ki dan teman-temannya ketika Kun Hong mengamuk dikeroyok tadi.
Souw Ki kaget dan pucat wajahnya. Dia memandang penuh perhatian, serasa pernah
melihat orang muda yang bersikap begini tabah dan berani, malah yang sekarang berani
sekali menyebut-nyebut nama kaisar baru begitu saja.
"Kau........... kau siapakah? Siapa namamu ...........?"
"Namaku Kun Hong. Kau hendak laporkan kepada Kian Bun Ti yang sekarang telah menjadi
kaisar? Boleh, dia sudah mengenal baik nama ini, malah dia pernah makan minum semeja
dengan aku!"
Bukan main kaget dan herannya Tiat-jiu Souw Ki. Teringatlah ia sekarang. Tapi pemuda ini
dahulu adalah seorang pemuda pelajar yang lemah, sungguhpun tak dapat disangkal
memiliki keberanian yang sukar dicari bandingnya. Di dalam cerita Rajawali Emas memang
telah dituturkan betapa Kun Hong dan dua orang keponakan perempuan, yaitu Kui Eng dan
Thio Hui Cu, diundang dan dijamu oleh Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Pada waktu itu,
pengeran muda mata keranjang ini jatuh hati kepada dua orang nona Hoa-san-pai ini dan
hendak mengganggunya, malah mereka telah ditawan. Kemudian dua orang nona itu
dirampas oleh Song-bun-kwi, sedangkan Kun Hong dapat menyelamatkan diri
mempergunakan ilmu sihirnya (baca cerita Rajawali Emas).
"Kau........... kau anak Hoa-san-pai........... putera ketua Hoa-san-pai.........?" Dia
bertanya gagap.
Kun Hong tersenyum, menarik napas panjang. "Cukup kau ketahui namaku, siapa
menyebut-nyebut Hoa-san-pai segala? Hayo pergi!"
Tiat-jiu Souw Ki sudah maklum akan kehebatan kepandaian Kun Hong. Tadi ketika
dikeroyok puluhan orang saja pemuda ini dapat membuat semua orang tak berdaya,
apalagi sekarang dia hanya berkawan sebanyak dua puluh orang lebih. Selain itu, sekarang
mahkota sudah berada di tangannya dan kalau membawa tawanan macam pemuda buta
ini, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan saja di tengah jalan. Adapun tentang wanita
itu, ah, dia hanya iseng-iseng saja, tidak ada harganya untuk diperebutkan.
"Pergi ...........!" Dia memberi aba-aba kepada para pengikutnya, lalu mengeprak kudanya.
Penunggang kuda yang tadi menyeret-nyeret Kun Hong dengan wajah pucat juga segera
membalapkan kuda pergi dari situ. Akan tetapi seorang perampok yang mendongkol
hatinya dan masih memandang rendah kepada seorang buta seperti Kun Hong, mengejek,
"Ho-ho, kiranya si buta juga mata keranjang! Kau hendak memiliki sendiri si manis ini, heh?
Hati-hati, manis, kau tuntun si buta ini baik-baik, ha-ha-ha!"
Kun Hong menggerakkan tangannya dan sebagian tambang yang tadi membelenggu
tangannya dan masih menempel di pergelangan tangan menyambar ke arah muka penjahat
itu. Terdengar suara keras dan si mulut kotor itu berteriak-teriak kesakitan,
"Aduhh........... aduh........... mulutku........... gigiku rontok semua........... aduh
........!" Dan dia membalapkan kudanya mengejar kawan-kawannya sambil mengaduh-
aduh.
Kun Hong masih berdiri tak bergerak, kedua kakinya terpentang, tangan kanan masih
memegang tongkat melintang di depan dada, sama sekali tak bergerak seperti patung
sampai suara derap kaki kuda tak terdengar lagi oleh telinganya. Pemuda buta ini merasa
betapa dada dan mukanya panas sekali, bukan main marahnya mendengar ucapan kotor
penjahat tadi. Dia menahan napas dan menekan perasaannya sampai perlahan-lahan hawa
panas dalam dadanya menurun dan akhirnya kembali dan timbul pulalah senyum yang
jarang meninggalkan bibirnya itu. Matanya yang berlubang itu tadi agak terbuka
pelupuknya ketika dia marah, kini tertutup lagi pelupuknya dan agak berkerut kulit di
antara kedua matanya.
"In-kong (tuan penolong)........... terima kasih atas budi In-kong yang telah
menyelamatkan nyawa kami ibu dan anak ..........." dengan suara tergetar penuh keharuan
wanita itu berlutut di depannya dan menyentuh kakinya yang tertutup sepatu rusak-rusak
dan penuh debu.
Kun Hong kaget mendengar suara ini dan cepat-cepat dia menarik kakinya lalu melangkah
mundur dua tindak. Dia mendengar suara seorang wanita yang masih amat muda, suara
wanita berusia dua puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini adalah seorang ibu, seorang
ibu muda.
"Jangan berlutut ............ jangan berlebihan, yang menyelamatkan nyawa manusia
hanyalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Bangkitlah, Twa-so (kakak), aku tidak berani menerima
penghormatan seperti ini."
Wanita itu bangkit sambil menahan isaknya yang masih menyesakkan kerongkongannya.
"Ibu, orang-orang nakal itu sudah pergi?" anak kecil itu bertanya, timbul pula
keberaniannya setelah orang-orang berkuda itu pergi tidak tampak lagi.
"Sudah, A Wan, mereka sudah pergi. Lain kali kau jangan nakal, jangan keluar sendiri. Kau
anak bandel, ibu sudah melarang tadi kau nekat saja. Untung ada paman ini yang menolong
kita ..........."
"Ibu, paman buta ini jagoan, ya? Orang-orang nakal itu takut!" Anak itu lalu tertawa-tawa
senang dan menghampiri Kun Hong sambil meraba tangannya. "Paman buta, kenapa kau
tadi diikat?"
Kun Hong tersenyum, membungkuk dan memondong anak itu dengan penuh kasih sayang.
"Anak baik, kau sudah dapat membedakan orang jahat dan tidak, bagus. Kelak kau tidak
boleh menjadi orang seperti mereka itu, ya!"
"Tidak!" jawab anak itu keras sambil merangkul leher Kun Hong. "Aku kelak ingin menjadi
seperti Paman yang jagoan. Tapi.......... Paman buta ..........."
"Hush, A Wan, jangan lancang mulutmu!" bentak ibunya. "In-kong, mari silakan singgah di
dalam gubukku, biar kita bicara di dalam."
"Tak usahlah, Twa-so, terima kasih. Aku harus melanjutkan perjalananku." Kun Hong
mencegah, dia dapat menduga bahwa ibu dan anak ini tentu keluarga miskin, terbukti dari
pakaian anak itu yang kasar dan ada tambalannya, tidak bersepatu pula. Dia tidak mau
mengganggu orang yang memang keadaannya sudah amat kekurangan itu.
"Jangan, In-kong. Kau harus singgah dulu. Pakaianmu robek-robek semua, lagi kotor. Aku
mempunyai sestel pakaian, boleh kau pakai dan pakaianmu itu akan kucuci, kujahit.
Dan........... dan........... kau harus makan dulu ..........." suara itu tergetar penuh
keharuan dan belas kasihan. Melihat orang buta itu menggerak-gerakkan tangan seperti
hendak menolak, wanita itu cepat-cepat melanjutkan, suaranya penuh permohonan, "In-
kong, tak boleh kau menolak. Kau telah menyelamatkan nyawa kami, kau telah menanam
budi sebesar gunung sedalam lautan, aku........... aku tak mampu membalasnya.
Biarlah aku menjahitkan dan mencuci pakaianmu dan memberi hidangan sekedarnya
........... untuk menyatakan terima kasihku. Kalau kau menolak dan pergi begitu
saja........... ah, In-kong, selama hidupku aku akan merasa menyesal kepada diri sendiri. A
Wan, kau ajak pamanmu masuk ke dalam!"
Anak itu dengan suara merdu berkata, "Paman buta, mari kita masuk. Ibu tadi masak bubur
dan ubi merah ..........."
"A Wan ..........." Dengan suara perih ibu itu mencegah anaknya membuka rahasia
kemiskinan mereka. Kun Hong merasa hatinya tertusuk. Dipeluknya anak itu dan dia
berkata sambil tertawa,
"Anak baik, biarlah kubikin lega hatimu dan hati ibumu. Kalian manusia-manusia
baik.................."
"Paman buta, mari kutuntun kau masuk." Anak itu melorot turun dan menggandeng tangan
Kun Hong. Ibunya memandang dengan senyum lega menghias wajahnya karena tadinya ia
sudah merasa bingung apakah ia yang harus menuntun tamunya itu memasuki rumah.
Tentu saja ia tidak tahu bahwa dengan mudah tamunya ini akan dapat memasuki rumah
tanpa dituntun, asalkan ia berjalan lebih dulu karena tamunya itu dapat mengikutinya dari
pendengarannya yang tajam, yang dapat mendengar tindakan kakinya. Sambil tersenyum
Kun Hong membiarkan dirinya dituntun oleh anak itu memasuki rumah yang berlantai
tanah.
Baru saja melangkahi ambang pintu, anak itu sudah berhenti. Hal itu berarti bahwa rumah
itu benar-benar amat kecilnya. "Mari silakan duduk, In-kong. Maaf, tidak ada apa-apa,
hanya ada tikar rombeng.............." Kembali Kun Hong menangkap getaran suara yang
menusuk hatinya.
"Sini, Paman, sini duduklah......." Anak itu pun mempersilakannya. Kun Hong maju dua
langkah dan ternyata di situ terbentang sehelai tikar di alas tanah! Dia lalu duduk bersila di
atas tikar dan ketika tangannya meraba ternyata tikar itu rombeng dan di bawah tikar
ditilami rumput kering. Kerut di antara kedua mata yang buta itu makin mendalam.
Alangkah miskinnya keluarga ini.
"Silakan duduk dulu, In-kong. Aku hendak mengambil pakaian untukmu."
Kun Hong cepat menggoyang-goyang tangannya ke atas. "Tidak usah, Twa-so, tidak usah.
Kalau ada pakaian, biarlah dipakai oleh A Wan ini.............. aku....... aku tidak perlu
berganti pakaian."
Ibu muda itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa kecil. "Pakaian yang kusimpan itu
adalah pakaian orang tua, mana bisa dipakai A Wan? Tunggulah sebentar."
"Itu pakaian ayah, Paman. Kau boleh pakai!" anak itu berkata. Hati Kun Hong tidak karuan
rasanya. Terang bahwa keluarga ini miskin, mungkin pakaian itu hanya satu-satunya yang
menjadi simpanan ayah anak ini, bagaimana dia boleh pakai? Ah, dia mendapat akal.
Perempuan ini mempunyai perasaan yang halus, terdorong oleh budinya yang baik. Tak
boleh dia mengecewakan hatinya. Biarlah dia berganti pakaian dan membiarkan dia
mencuci dan menambal pakaiannya sendiri yang robek-robek. Setelah itu dia boleh
memakai pakaiannya sendiri lagi dan mengembalikan pakaian yang dipakai untuk
sementara itu. Dengan demikian, tanpa merugikan keluarga ini banyak-banyak, ia dapat
memuaskan hati nyonya rumah.
Gemersik pakaian menandakan bahwa wanita itu sudah datang lagi. "Marilah kau berganti
dengan pakaian ini, In-kong, dan biarkan pakaianmu yang kotor dan robek-robek itu di sini,
sebentar kucuci dan kujahit. Aku permisi hendak menyiapkan makanan. A Wan, kau temani
pamanmu. Baik-baik jangan nakal, ya!"
"Tapi.......... tapi........" Kun Hong berusaha membantah.
"Harap In-kong jangan menolak, biarpun pakaian tua dan hidangan sederhana, kuharap In-
kong sudi menerima tanda terima kasihku yang mendalam ............"
Suara itu mengandung permohonan yang mutlak tak dapat dia bantah lagi.
"Tapi badanku kotor semua............. aku harus membersihkan badan dulu....... begini
kotor mana boleh memakai pakaian bersih dan makan?"
Mendengar ini, ibu muda itu tertawa. Kun Hong tertarik sekali mendengar suara ketawa ini.
Merdu dan sopan. Hanya orang dengan hati putih bersih dan jiwa murni yang dapat tertawa
seperti itu. Anak itupun tertawa karena menganggap ucapan Kun Hong ini sebagai kelakar
yang lucu. Memang sikap dan gerak-gerik seorang buta kadang-kadang nampak lucu, lucu
dan mengharukan hati. Mendengar ibu dan anak itu tertawa-tawa geli, mau tidak mau Kun
Hong tertawa pula sehingga di dalam rumah gubuk sepi miskin itu sekali ini penuh tawa
menggembirakan seperti cahaya matahari menyinari tempat gelap.
"A Wan, kau antarkan pamanmu ini ke anak sungai di belakang dusun!" kata wanita itu
sambil pergi ke belakang dengan suara ketawanya masih terdengar.
"Hayo, Paman buta!" Bocah itu menggandeng tangan Kun Hong dan pergilah keduanya ke
luar dari pondok, menuju ke anak sungai. Ketika ke luar dari pondok dan berjalan ke anak
sungai, Kun Hong mendengar bahwa di depan pondok berkumpul banyak orang, malah di
tengah perjalanan dia mendengar pula orang-orang berjalan.
"Siapa mereka, A Wan?" tanyanya.
"Paman-paman dan bibi-bibi tetangga, penduduk dusun ini, Paman," jawab anak itu dengan
singkat. Agaknya anak ini mempunyai rasa tidak senang kepada penduduk dusun dan
anehnya, tak seorang pun di antara mereka menegur anak ini!
Setelah mandi di sungai kecil yang airnya jernih dan segar itu, Kun Hong segera berganti
pakaian bersih dan dia malah mencuci pakaiannya sendiri, dibantu oleh A Wan. Ternyata
pakaian bersih yang terbuat daripada kain kasar itu, pas betul dengan tubuhnya. Agaknya
ayah anak ini sama perawakannya dengan dia.
Dalam perjalanan pulang, mereka juga bertemu dengan orang-orang dusun. Amat aneh
bagi pendengaran Kun Hong, orang-orang yang tengah bercakap-cakap tiba-tiba
menghentikan percakapan mereka di kala Kun Hong dan A Wan lewat. Ketika mereka
sampai di dekat pondok, tiba-tiba Kun Hong berkata kepada A Wan, "Kau diam saja, A Wan,
dan jangan mengeluarkan suara." Dia lalu bersama anak itu mendekati rumah dan
terdengarlah suara ibu anak itu, suaranya marah bercampur isak tertahan.
"............ perduli apa kau dengan urusan pribadiku? Kuberikan kepada siapa pun juga baju
suamiku, ada sangkut pautnya apakah denganmu? Kau............. kau selalu
mengganggu................ saudara misan yang durhaka!"
"Huh, dasar perempuan tak tahu malu! Semua orang memandangmu dengan hina, hanya
aku yang masih mau memperdulikan. Semua ini karena aku ingat bahwa di antara kita
masih ada hubungan keluarga, tahukah kau? Kalau tidak ada aku, apakah kau dan anakmu
tidak sudah kelaparan dan menjadi jembel pengemis? Awas kau, kulaporkan kepada Song-
wang-we (hartawan Song)!" Terdengar suara laki-laki memaki.
".............. pergi............! Pergi.......! Aku tidak sudi mendengar ocehanmu lagi.........!"
Wanita itu berseru marah.
"Ibu...............! Apakah paman Tiu mengganggumu lagi?" A Wan tak dapat menahan
suaranya dan merenggut tangannya lalu lari membuka pintu belakang.
"A Wan, kau sudah pulang?" Ibunya menegur dan Kun Hong mendengar betapa kaki seorang
laki-laki dengan cepat meninggalkan tempat itu lalu dia mendengar tindakan kaki ibu A
Wan dan anak itu sendiri menyambutnya.
Langkah kaki ibu anak itu secara tiba-tiba terhenti dan tidak terdengar suaranya bergerak
sedikitpun juga, sedangkan A Wan berlari menghampirinya dan memegang lagi tangannya.
Memang ibu A Wan kaget dan memandang ke wajah Kun Hong dengan mata terbuka lebar.
Setelah wajah pemuda buta itu tercuci bersih. alangkah jauh bedanya dengan tadi. Kalau
tidak datang bersama anaknya dan tidak mengenakan pakaian yang amat dikenalnya, tentu
ia pangling. Wajah si buta itu berkulit putih halus, wajah yang amat tampan, wajah
seorang kong-cu (tuan muda)! Kemudian ia melihat pakaian yang sudah dicuci, maka
serunya penuh penyesalan,
"Aiihh, In-kong, kenapa dicuci sendiri pakaiannya? Ah, mana bisa bersih? Berikan kepadaku,
biar sebentar kucuci lagi biar bersih. Syukur, kulihat pakaian itu pas benar dengan badan
In-kong."
"Terima kasih............... terima kasih............. aku menyusahkan saja," kata Kun Hong
dan tidak membantah ketika cucian itu diambil orang dari tangannya. Kun Hong memuji
bahwa ibu muda ini benar-benar seorang yang baik. Mengenal budi, peramah, dan pandai
menyimpan penderitaan hati. Dia berpura-pura tidak tahu akan persoalan yang baru saja
dia dengar tadi, dan mengambil keputusan bahwa dia akan segera pergi meninggalkan
tempat itu. setelah pakaiannya sendiri kering.
Tak lama kemudian nyonya rumah itu datang mengantar sebuah mangkok terisi bubur
hampir penuh. Dengan ujung-ujung jarinya Kun Hong dapat mengetahui bahwa mangkok itu
terbuat daripada tanah lempung dan sepasang supit dari bambu, alat-alat makan yang
paling sederhana dan murah yang dapat dipergunakan manusia.
"Waduh, enak, Paman buta. Buburnya pakai ubi merah! Hi-hik, kau tahu? Ubi merah ini
kucuri dari kebun paman Lui."
"A Wan!!" ibunya menegurnya.
"Paman, ibu selalu bilang bahwa mencuri adalah perbuatan jahat. Aku tidak pernah
mencuri. Tapi paman Lui ubinya begitu banyak dan aku............... aku dan ibu sudah lama
tak makan ubi merah."
Hampir Kun Hong tersedak karena keharuan membuat hawa dari dalam dada naik ke
kerongkongannya. "Ibu betul, A Wan, mencuri adalah perbuatan yang jahat. Lebih baik kau
minta saja kepada pemilik ubi ......................."
"Minta? Uhh, pernah aku minta, bukan mendapat ubi melainkan mendapat cambukan pada
pantatku. Tak sudi lagi aku minta. Tapi aku pun tidak akan men-curi lagi, ibu marah-
marah," kata anak itu dengan suara manja.
Bubur yang mereka makan itu sangat encer, terlalu banyak airnya dan ini pun
membuktikan betapa miskinnya keluarga itu. Setelah selesai makan, selesai sebelum
kenyang, nyonya rumah menyingkirkan mangkok-mangkok itu dan menyapu tikar dengan
kebutan. Senja telah lewat dan ibu anak itu menyalakan sebuah pelita kecil, dipasang di
sudut pondok. A Wan duduk di pangkuan Kun Hong dan agaknya anak ini masih menderita
oleh peristiwa sore tadi. Punggungnya yang kena sambaran cambuk diurut-urut oleh Kun
Hong dan sebentar saja anak itu tidur di pangkuannya.
"Dia sudah tidur, Twa-so. Di mana tempat tidurnya?" tanya Kun Hong perlahan.
Sampai lama baru terjawab lirih. "....... di sini juga.......... disini juga napas panjang,
tangannya mengelus-elus muka anak itu, meraba dahinya, alisnya, mata, hidung, mulut
dan dagu. Muka yang tampan, hidungnya mancung mulutnya kecil.
"In-kong, memang kami tidak mempunyai apa-apa. Dalam rumah ini kosong, hanya ada
tikar inilah................ tempat kami duduk, makan dan tidur............"
"Maaf, Twa-so, sejak tadi aku belum mendengar twa-ko (kakak) pulang. Ke manakah dia?"
Kembali sampai lama tiada jawaban, kemudian jawaban itu bercampur isak tertahan, "Dia
sudah.............. sudah tidak ada..................."
"Tidak ada? Ke mana ??" Kun Hong tidak menduga buruk.
"............. sudah meninggal dunia .......tiga bulan yang lalu .............."
"Ahhh.............!" Kerut di antara kedua mata yang buta itu mendalam. Ah, sekarang
tahulah Kun Hong akan sikap para penghuni dusun itu. Kiranya ibu muda ini seorang janda
muda. Dia tahu apa artinya menjadi janda di masa itu. Janda muda lagi. Betapa sukarnya
hidup bagi seorang janda yang miskin. Penghinaan akan menimpa dari segenap penjuru,
penghinaan lahir batin. Semua mata akan mengincarnya, penuh cemburu, setiap gerak
dapat menimbulkan fitnah. Sedang mata pria memandangnya lain lagi, pandangan yang
penuh nafsu mempermainkan. Seorang janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar dan
kemudi, terombang-ambing di tengah samudera hidup menjadi permainan gelombang.
Janda tua tentu saja lain lagi, yang pertama mengandalkan hartanya, yang belakangan
mengandalkan anak-anaknya.
Kembali jari-jari tangan Kun Hong meraba-raba muka A Wan. "Twa-so, apakah wajah A
Wan ini sama dengan wajahmu?"
Lama tak menjawab. Kun Hong tidak dapat melihat betapa wajah tanpa bedak yang amat
manis itu menunduk dan kedua pipi yang sehat itu memerah.
"Orang-orang bilang dia mirip dengan aku."
Hemmm, tak salah dugaanku, pikir Kun Hong. Janda muda lagi cantik. Makin berbahaya
kalau begini.
"Dan kau tentu belum ada dua puluh lima tahun usiamu," katanya pula.
"............... baru dua puluh tiga umurku.
Kun Hong merebahkan tubuh A Wan di atas tikar, lalu dia sendiri bangkit berlutut dan
berkata, "Twa-so, maaf. Tolong ambilkan pakaianku tadi, aku akan berganti pakaian dan
aku harus pergi sekarang juga."
"............ kenapa...........? In-kong, kenapa kau hendak pergi sekarang? Bajumu masih
belum kering benar, dan sedang kutambal punggungnya.............."
Kun Hong menggeleng kepala, mengulurkan kedua tangan untuk minta pakaian dan bangkit
berdiri. "Aku harus pergi. Twa-so, kau janda masih baru, kau berwajah cantik dan umurmu
baru dua puluh tiga tahun ............"
Wanita itu mengeluarkan jerit lirih dan sambit menangis ia menubruk kedua kaki Kun Hong!
Tentu saja Kun Hong menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"In-kong ............. engkau juga begitu............?? Ah, kalau begitu.............. kau
pukulkan tongkatmu itu kepadaku........ kau bunuh saja aku, In-kong ........... apa artinya
hidup kalau semua orang....... juga kau yang kumuliakan........... memandang serendah itu
kepadaku........? Kau bunuhlah aku............ kau bunuhlah."
Karena tangis ini, A Wan menjadi terbangun dan begitu melihat ibunya menangis sambil
merangkul kedua kaki Kun Hong yang berdiri seperti patung serta merta anak itu ikut
menangis sambil merangkul ibunya. "Ibu............. ibu."
"In-kong.................. kau bunuhlah kami.............. biar terbebas kami daripada
penderitaan ini ............."
Hancur perasaan hati Kun Hong mendengar ibu dan anak itu menangis dan memeluki kedua
kakinya.
"Kau salah sangka.............. kau salah mengerti........" katanya sambil duduk kembali.
"Aku sama sekali tidak memandang rendah atau menyangka yang bukan-bukan terhadapmu,
Twa-so..............."
"In-kong............." wanita itu tersedu-sedu dan sejenak menangis dengan muka di atas
dada Kun Hong. Pemuda buta itu membiarkannya saja, maklum betapa hancur hati wanita
itu, malah dia menepuk-nepuk bahunya dengan menghibur dan mengusap-usap rambut A
Wan yang menangis di atas pangkuannya.
"Tenanglah, duduklah Twa-so, dan mari kita bicara baik-baik."
Agaknya baru wanita itu sadar akan keadaan dirinya yang menangis sambil bersandar di
dada tamunya. "............. ohhh......... maafkan aku, In-kong ........."
Ia cepat-cepat mundur dan duduk menekuk lutut, membendung air mata yang bercucuran
dengan ujung lengan bajunya. A Wan diraihnya dan anak ini menidurkan kepala di atas
pangkuan ibunya sekarang.
"Twa-so, agaknya kau tadi salah duga. Aku hendak pergi sekali-kali bukan karena
memandang rendah kepadamu, sama sekali tidak. Malah sebaliknya. Aku sangat kagum
kepadamu dan menghormatimu, karena itu aku hendak pergi agar jangan sampai nama
baikmu dirusak orang dengan kehadiranku di sini semalam ini. Lebih baik aku tidur di
pinggir jalan daripada tidur menginap di sini dengan akibat merusak namamu, Twa-so!"
"Tidak ada bedanya, In-kong, sebelum kau datang, namaku sudah dirusak orang setiap hari.
Apa perduli dengan omongan orang asalkan kita benar-benar bersih? Dalam beberapa bulan
saja aku sudah kebal terhadap fitnah-fitnah dan omongan-omongan kotor mereka, In-kong.
Kalau mereka hendak melakukan fitnah dengan kehadiranmu malam ini di sini, biarlah
mereka lakukan. Aku tidak perduli karena aku yakin bahwa kau yang kuhormati dan
kumuliakan mengetahui akan kebersihanku."
Kun Hong menarik napas panjang, makin kagum. Wanita ini biarpun miskin dan janda yang
tak berdaya, ternyata seorang yang berpendirian.
"Twa-so, maafkan kata-kataku, akan tetapi kupikir............ akan lebih baik kiranya
bagimu dan bagi anakmu kalau kau........... menikah lagi."
"In-kong, siapakah di dunia ini mau secara jujur menikah dengan seorang janda miskin yang
mempunyai seorang anak? Kecuali laki-laki mata keranjang yang hanya bermaksud
mempermainkan saja. Semua laki-laki di sekitar tempat ini memandangku seperti itu,
tentu banyak yang mau memeliharaku, akan tetapi............... mereka hanya ingin
mempermainkan, In-kong. Aku tidak sudi....... apalagi Song-wangwe, aku tidak sudi, biar
dia boleh suruh tukang-tukang pukulnya memaksaku."
Kun Hong harus mengakui kebenaran kata-kata ini. Memang banyak laki-laki di dunia ini
yang seperti itu wataknya. Menganggap wanita hanya sebagai barang mainan, menarik
karena cantiknya, suka menikah dengan janda muda yang cantik hanya untuk dipermainkan
belaka. Sudah tentu saja tidak semua laki-laki demikian karena segala sesuatu di dunia ini
tentu ada pengecualiannya, akan tetapi sebagian besar laki-laki seperti itulah sifat dan
wataknya.
"Susah kalau begitu. Twa-so, apakah kau tidak mempunyai keluarga?"
"Ada seorang pamanku yang tinggal jauh di kota Cin-an, akan tetapi aku tidak tahu betul di
mana rumahnya. Satu-satunya orang yang tahu adalah saudara misanku yang jahat, si Tiu
yang keparat membantu cepatnya maut merenggut nyawa suamiku dan yang membujuk-
bujukku untuk menuruti kehendak hartawan Song!" Suara wanita itu memperdengarkan
kemarahan ketika menyebut-nyebut nama Tiu dan Song.
"Orang yang datang tadi? Hemm, sebetulnya, mengapa suamimu mati di waktu masih
muda? Dan apa maksud Tiu dan Song, Twa-so?"
Dengan suara menyedihkan janda muda itu lalu bercerita. Tadinya ia hidup bahagia dengan
suaminya, seorang petani muda she Yo. Biarpun keadaannya tidak dapat dikata berlebihan,
namun dengan milik mereka sebidang sawah, dapatlah mereka menutupi kebutuhan hidup
sederhana, bertiga dengan putera mereka, si kecil Yo Wan. Mereka sebenarnya adalah
suami isteri pendatang baru dari lain dusun di daerah banjir, mereka adalah korban-korban
yang lari mengungsi dan akhirnya menetap di dusun itu setelah menukar seluruh barang-
barang mereka dengan sebidang tanah.
Namun, malapetaka mulai mengintai mereka ketika di dusun itu datang pula Lao Tiu,
saudara misan Yo Kui, petani muda itu. Lao Tiu ini orangnya licik, curang dan kerjanya
hanya berjudi dan selalu terkenal sebagai seorang buaya petualang. Akhirnya si Lao Tiu ini
menjadi kaki tangan tuan tanah kaya raya yang menguasai sebagian besar tanah di sekitar
tempat itu dan yang pengaruh dan kekuasaannya dikenal di dusun-dusun sekitarnya. Tuan
tanah hartawan ini adalah Song-wangwe (hartawan she Song). Seorang laki-laki setengah
tua yang mata keranjang dan terkenal tak dapat tidur nyenyak sebelum mendapatkan
wanita yang dirindukan, baik wanita itu isteri orang lain atau bukan.
Karena kelicikan dan tipu muslihat Lao Tiu ini, akhirnya Yo Kui masuk perangkap si tuan
tanah. Mula-mula dia diberi hutang untuk membeli bibit padi dan kerbau, dan karena Yo
Kui seorang buta huruf, maka dia tidak tahu bahwa tuan tanah dan Lao Tiu yang "berbudi"
itu membuat surat perjanjian juai beli lalu menyuruh dia menanda-tangani dengan cap
jempol. Dengan ditandainya surat perjanjian yang tak diketahui isinya itu, Yo Kui berarti
telah menjual tanahnya, atau lebih tepat, menukar tanahnya hanya dengan kerbau seekor
dan bibit padi sekarung! Semenjak itu, mulailah Lao Tiu mengerjakan lidahnya yang
berbisa. Malah dengan berani mati dia membujuk Yo Kui supaya "menyerahkan" isteri yang
cantik manis itu menjadi "penghibur" tuan tanah Song, dan merelakan setiap kali hartawan
itu membutuhkannya.
Tentu saja Yo Kui menjadi marah sekali dan serta merta menghajar Lao Tiu saudara
misannya itu sampai jatuh bangun. Akan tetapi pada beberapa hari berikutnya, lima orang
tukang pukul tuan tanah itu datang kepada Yo Kui dan menagih pembayaran sewa tanah.
Yo Kui memaki-maki, bilang bahwa dia mengerjakan sawahnya sendiri, mengapa harus
bayar sewa? Kalau si hartawan menghendaki kembalinya kerbau dan bibit, boleh diambil
kembali kerbaunya dan bibitnya akan dikembalikan kelak kalau sudah panen. Terjadi
keributan dan Yo Kui disiksa oleh lima orang tukang pukul itu. Pemuda tani ini jatuh sakit,
muntah-muntah darah.
Namun dia masih belum mau menyerah. Setelah penyakitnya agak sembuh, dia pergi ke
kota melapor kepada pembesar setempat tentang perbuatan hartawan Song dengan kaki
tangannya. Apakah yang terjadi? Mudah diduga. Di dalam negara yang masih kacau seperti
Tiongkok di masa itu, jarang ada pembesar yang betul-betul memperhatikan kepentingan
rakyat, apalagi kepentingan rakyat kecil. Hukum diinjak-injak, peri kemanusiaan lenyap
dari lubuk hati manusia, agaknya orang malah lupa kepada Tuhan, mengumbar nafsu
sejadi-jadinya, mengandalkan setan yang pada waktu itu merubah diri di dalam tumpukan
harta dan tingginya kedudukan dan pangkat. Yang berharta dan berpangkat, merekalah
yang berkuasa, dialah yang menang, akhirnya siapa yang menang, dialah yang benar! Oleh
karena inilah maka tidak mengherankan apabila pembesar yang dilaporinya itu segera
turun tangan melakukan tindakan, periksa sana periksa sini, lalu keluarlah keputusan
"pengadilan", bahwa tanah itu telah menjadi milik Song-wang-we dengan sah, bahwa Yo Kui
harus membayar lunas uang sewa tanah dan mengembalikan tanah itu, dan bahwa Yo Kui
harus membayar biaya pengaduannya kepada pembesar itu!
Melihat dan mendengar keputusan pengadilan macam ini, kontan saja Yo Kui jatuh sakit!
Memang dia telah mendapat luka di dalam tubuhnya karena pengeroyokan para tukang
pukul, ditambah lagi tekanan batin hebat membuat dia tak dapat turun dari pembaringan,
isterinya menjadi gelisah sekali. Kerbau dan alat pertanian terpaksa dijual, sebagian untuk
membayar apa yang sudah diputuskan oleh pembesar itu, sebagian untuk pembeli obat dan
makan. Akan tetapi penyakit yang diderita Yo Kui makin payah. Dia sakit sampai berbulan-
bulan dan setelah semua barang yang ada di dalam rumah dijual oleh isterinya untuk obat
dan makan, akhirnya dia....... mati meninggalkan isterinya yang masih muda dan anaknya
yang masih kecil!
"Demikianlah, In-kong ............" Janda muda itu mengakhiri ceritanya sambil menghapus
air matanya yang bercucuran. "Penderitaanku tidak hanya sampai di situ saja...........
setelah suamiku meninggal, bermunculan setan-setan berupa orang-orang lelaki mata
keranjang yang seakan-akan bersaingan dan berebutan untuk membujukku
menjadi........... isteri muda atau piaraan. Terutama sekali si jahat Lao Tiu itu, dia setiap
hari membujuk-bujukku untuk menyerah kepada hartawan Song............."
Kun Hong menahan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya mendengar
penuturan janda muda ini.
"........ tapi aku bukanlah wanita rendah seperti yang mereka inginkan ........." janda itu
melanjutkan, masih terisak, "bagiku, lebih baik aku mati daripada menuruti kehendak
mesum mereka, In-kong........... kalau saja aku tidak melihat A Wan......... ah ...........
agaknya sudah lama aku menyusul suamiku ........"
Ia menangis lagi, kini lebih menyedihkan, sambil mendekap kepala puteranya di pangkuan.
"Besarkan hatimu, Twa-so, dan percayalah bahwa Thian Maha Adil Selalu akan menolong
manusia yang sengsaja. Kau tidurlah sekarang dan besok masih ada waktu untuk kita
mencari jalan sebaiknya. Hanya satu hal ingin kuketahui. Pamanmu yang tinggal di Cin-an
itu, andaikata kau dan anakmu datang padanya, apakah kiranya dia mau menerima kalian?"
"Dia orang baik, In-kong, dia adik mendiang ibuku, agaknya dia tentu mau menerima kami,
biar aku bekerja sebagai bujang tidak mengapa ............"
Percakapan terhenti dan janda muda itu biarpun berkali-kali diminta oleh Kun Hong agar
supaya mengaso, tetap saja duduk di dekat lampu untuk menyelesaikan pekerjaannya
menambal dan menjahit pakaian Kun Hong. Beberapa kali ia menengok dan memandang ke
arah tua penolongnya, ternyata si buta itu duduk bersila tak bergerak seperti patung. "In-
kong........... kau tidurlah ........."
"Biarlah, Twa-so, aku biasa tidur sambil duduk. Kau mengasolah, kurasa sudah hampir
tengah malam sekarang."
"Aku hendak menyelesaikan ini dulu........" jawab janda muda itu. Akan tetapi setelah
selesai menambal pakaian itu, ia duduk termenung sambil menatap wajah yang tak dapat
balas memandangnya itu. Hatinya penuh ketrenyuhan, iba hatinya melihat wajah tampan
yang berkerut di antara kedua matanya itu. Aduh kasihan, muda belia yang malang, pikir
janda muda ini. Apa bedanya bagi dia siang dan malam? Ah, mengapa aku tadi menyuruh
dia tidur? Bukankah selamanya dia seperti orang tidur kedua matanya? Jantungnya serasa
diiris-iris kalau ia menatap kedua pelupuk mata yang tertutup rata itu, mulut yang
mengarah senyum namun membayangkan bekas penderitaan batin yang hebat. Muda belia
buta yang malang...........! Memang aneh, janda muda yang sebetulnya juga amat
menderita batin dalam hidupnya itu, kini duduk termenung memandang ke arah pemuda
buta dengan hati penuh belas kasihan.
Hawa malam mulai dingin. Janda itu menyelimutkan sehelai karung tipis di atas tubuh
puteranya, lalu menengok ke arah Kun Hong yang masih saja duduk seperti patung. Ia
memperhatikan pernapasan Kun Hong yang rata dan panjang. Benarkah si buta ini bisa
tidur sambil duduk? Orang aneh. Muda belia yang malang dan aneh.
"In-kong...............?" Ia berbisik untuk meyakinkan apakah dia benar-benar tidur. Ingin ia
menawarkan selimut, selimutnya sendiri, juga sehelai karung tipis. Akan tetapi Kun Hong
tidak bergerak, tidak menjawab. Ah, dia sudah tidur, tak boleh diganggu. Janda muda itu
meniup padam api penerangan dan merebahkan diri di dekat anaknya, mendekap anaknya,
meringkuk seperti udang di atas tikar rombeng yang dingin.
Kun Hong tidak tidur. Dia tengah bersamadhi. Dia mendengar suara janda itu tadi, akan
tetapi sengaja tidak menjawab. Baru lega hatinya ketika janda itu memadamkan api
penerangan yang baginya tiada bedanya itu, karena hal itu berarti si janda akan tidur dan
dia dapat bersamadhi dengan bebas.
Ayam telah berkokok menyambut datangnya fajar ketika Kun Hong sadar dari tidurnya. Dia
segera menggosok-gosokkan jari tangan kepada jalan darah di sekeliling kepalanya untuk
menyegarkan perasaan. Pernapasan ibu dan anak yang tidur di depannya itu membuktikan
bahwa mereka masih pulas. Kun Hong tersenyum merasai perbedaan keadaan mereka
berdua itu antara hari kemarin dan sekarang ini. Duka maupun suka sebetulnya hanya
bersifat sementara saja, seperti halnya hidup ini sendiri. Kedukaan yang betapapun
besarnya akan lenyap di kala tidur, seperti halnya ibu dan anak di saat itu, tentu sama
sekali lupa akan segala penderitaan hidup, lupa akan segala ancaman-ancaman bahaya,
lupa bahwa mereka hidup serba kekurangan, malah kalau dikaji (dipikirkan masak-masak)
benar, dalam keadan sepulas mereka itu, apa sih bedanya hidup kaya atau miskin, apa
bedanya tidur diranjang berkasur atau di atas tikar rombeng?
Kun Hong merasa segar badannya. Kokok ayam jantan saling sahut menyegarkan perasaan
dan membangkitkan semangatnya. Malam tadi sudah diambilnya keputusan. Dia harus
menolong ibu dan anak ini dan dia harus memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang
menindas penghidupan orang-orang miskin di dusun itu.
Mendadak Kun Hong miringkan kepalanya. Dia mendengar derap banyak kaki orang menuju
ke rumah gubuk ini! Mencurigakan juga kalau sepagi itu ada serombongan orang laki-laki
mendatangi tempat itu, malah dari suara langkah kaki yang berat dan tergesa-gesa itu
dapat diduga bahwa orang-orangnya sedang marah!
"Perempuan tak tahu malu! Kau benar-benar membikin kotor dusun kami!" terdengar
bentakan suara laki-laki yang segera dikenal oleh Kun Hong sebagai suara Lao Tiu yang
kemarin sore diusir oleh janda muda itu.
"Dung! Dung-dung!" Pintu gubuk itu digedor-gedor dari luar. Janda muda itu dan anaknya
terkejut dan bangun. A Wan segera menangis ketakutan. Janda muda itupun ketakutan,
akan tetapi amatlah terharu hati Kun Hong ketika janda itu berbisik.
"Celaka, In-kong............., mereka tentu akan mencelakakan kau dengan fitnah........"
Benar-benar seorang berpribudi, pikir Kun Hong. Jelas orang-orang itu beralamat tidak baik
bagi si janda itu sendiri, namun yang dikhawatirkan oleh janda itu adalah diri tamunya,
bukan dirinya sendiri!
"Tenanglah, Twa-so............. tenang dan jangan takut. Orang yang benar akan dilindungi
Thian. Nanti kalau aku berdiri dan keluar, kau gendonglah A Wan dan kau harus ikut di
belakangku, jangan terlalu jauh. Kau percayalah kepadaku, tak seorang pun akan berani
mengganggu kau atau A Wan."
"Dung-dung-brakk!" Pintu itu hampir roboh oleh pukulan-pukulan dari luar.
"Sundal! Perempuan hina! Keluarlah bersama pacarmu, laki-laki hina si jembel buta itu
............. kalau tidak rumah ini akan kurobohkan!" teriakan Lao Tiu terdengar pula.
"Dipelihara Song-wangwe tidak mau malah memasukkan jembel buta, benar-benar seperti
anjing menolak roti mencari tai!"
"Kreeeeettttt..............!" Pintu dibuka oleh Kun Hong dari dalam. Semua mata mereka
yang merubung depan pintu pondok itu memandang. Si buta itu berdiri tegak di ambang
pintu, tongkatnya melintang di depan dada, wajahnya tenang mulutnya tersenyum tapi
kerut merut di antara kedua matanya makin dalam. Di belakangnya tampak janda itu
berdiri sambil memondong anaknya, jelas bahwa janda itu amat ketakutan, rambutnya
awut-awutan mukanya pucat.
"Wah, tak tahu malu.............. tak tahu malu........... berjina dengan jembel
buta............ kawan-kawan, hayo hajar mampus si buta, seret perempuan hina ini ke
depan kaki Song-wangwe!" Sementara itu tanpa memperdulikan Lao Tiu mencak-mencak,
Kun Hong berbisik kepada janda tadi menanyakan siapa mereka itu.
Janda itu berbisik menjawab, "Lao Tiu dan lima orang tukang pukul Song-wangwe
..........."
Panas rasa seluruh tubuh Kun Hong. Apalagi setelah Lao Tiu memberi aba-aba kepada lima
orang kawannya untuk turun tangan dan lima orang itu bergerak menyerbu. Kun Hong tak
dapat menahan sabar lagi. Enam orang itu, Lao Tiu dan lima orang tukang pukul, hanya
melihat bayangan berkelebat, sinar hitam menyambar-nyambar ke sekitar diri mereka dan
tahu-tahu mereka mengalami rasa sakit yang hebat. Seorang demi seorang menjerit, roboh
bergulingan di atas tanah seperti cacing terkena abu panas, mengaduh-aduh kesakitan
tanpa dapat mengerti sebetulnya bagian mana dari tubuh mereka yang nyeri. Sungguh aneh
dan lucu mereka itu, kadang-kadang menekan perut, lalu kepala, pundak, dada dan lain-
lain seperti orang dikeroyok ribuan ekor semut. Adapun Lao Tiu sendiri tahu-tahu sudah
dicengkeram tengkuknya oleh tangan yang amat kuat. Dia berusaha memberontak, namun
tengkuknya serasa hendak hancur dan panas seperti terbakar.
"Aduh.......... a ......... a ............. aduhh........... lepaskan.........." dia menjerit-jerit
seperti seekor babi disembelih, mukanya menengadah dan dapat ditundukkan. Dia masih
belum dapat melihat siapa orangnya yang mencengkeram tengkuknya karena dia tidak
mampu menggerakkan lehernya, hanya matanya melirik ke sana ke mari penuh rasa takut
karena kini dia dapat menduga bahwa yang mencekik tengkuknya pasti si buta itu, juga
yang merobohkan lima orang kawan yang dia andalkan. Sementara itu, para penduduk
dusun yang tadi beramai-ramai mengikuti rombongan ini dan hendak menonton,
memandang dengan mata terbelalak, malah rumah-rumah gubuk itu sekarang terbuka
semua pintunya dan berbondong-bondong penghuninya keluar untuk menonton ramai-ramai
di waktu fajar ini.
"Manusia berhati iblis! Manusia bermulut kotor!" Berkali-kali Kun Hong berkata perlahan,
lalu memaksa Lao Tiu untuk membungkuk, terus membungkuk sampai mukanya menyentuh
tanah. Beberapa kali Kun Hong menggosok-gosok muka itu dengan mulut di depan kepada
tanah, memukul-mukulkannya perlahan. Lao Tiu hanya bisa bersuara ah-ah-uh saja dan
ketika Kun Hong mengangkat kembali, mukanya penuh tanah dan mulutnya berdarah,
beberapa buah giginya copot!
"Mulutmu harus dirobek biar lebih mudah kau buka lebar-lebar mencaci maki orang!" kata
pula Kun Hong yang masih diracuni kemarahan itu. Tongkatnya digerakkan ke arah mulut
Lao Tiu.
"In-kong, jangan......... kasihan dia........" janda itu berseru penuh kengerian.
Kun Hong makin gemas. Tongkatnya tidak jadi merobek mulut, melainkan menampar pipi
kanan kiri sehingga kedua pipi itu menggembung. "Manusia keparat! Dengarlah kau? Dia
yang kau caci maki, kau hina, kau fitnah, kau bikin sengsara hidupnya, dia malah mintakan
ampun untukmu! Ah, kalau kau masih ada sedikit saja sifat manusia, tak malukah engkau?
Manusia keji, ah, alangkah inginku merobek mulutmu dari telinga kiri sampai ke telinga
kanan!"
"M......M... ampun.......... ampun........" dengan seluruh tubuh menggigil ketakutan Lao
Tiu meratap.
Kun Hong menengok ke kanan kiri, bahwa orang-orang dusun itu berkumpul semua di situ,
menonton. "Dengarlah kalian, sahabat-sahabat penghuni dusun ini! Kalian adalah orang-
orang bernyali kecil yang karena sifat pengecut kalian itu memang sudah patut dijadikan
orang-orang tertindas! Kalian tahu betapa jahatnya manusia-manusia macam ini dan
gembongnya yang merupakan diri hartawan dan tuan tanah Song, akan tetapi kalian tidak
menaruh kasihan kepada Yo-twaso yang tertindas ini, malah ikut menghinanya hanya untuk
menyenangkan hati Song-wangwe dan kaki tangannya! Hemmm, hari ini kebetulan aku
lewat di sini dan mendengar urusan penasaran ini, harap kalian jadikan contoh agar lain
kali kalian dapat bersatu padu melawan penindas yang membuat sengsara hidup kalian!"
Kun Hong menjambak rambut Lao Tiu dan didorongnya orang itu untuk berjalan. "Hayo
antar aku ke rumah majikanmu!" Kepada para penduduk yang berdiri terpaku keheranan itu
Kun Hong berkata,
"Kubiarkan lima orang tukang pukul ini menderita sebentar di sini, biar mereka merasakan
betapa sakitnya orang disiksa sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk
mengingat dan mengenangkan roh dari mendiang Yo Kui. Sahabat-sahabat semua tunggu
saja di sini jangan ikut aku ke rumah Song-wang-we. Aku hanya titip Yo-twaso dan
anaknya!"
Setelah berkata demikian, dia mendorong tubuh Lao Tiu yang karena ketakutan lalu
mengantarkannya ke rumah gedung keluarga Song yang amat megah dan besar. Di depan
pintu gerbang gedung itu, Kun Hong memaksa Lao Tiu untuk minta menghadap Song-
wangwe karena urusan yang sangat penting. Lao Tiu sudah mati kutunya, tidak berani
membantah dan minta kepada penjaga untuk , menyampaikan kepada Song-wangwe bahwa
dia minta bertemu untuk urusan "si janda Yo"!
Kiranya kalau bukan urusan ini yang diajukan oleh Lao Tiu, hartawan mata keranjang itu
belum tentu mau turun dari tempat tidurnya yang hangat. Sambil mengomel panjang
pendek mengapa si Lao Tiu itu begitu kurang ajar membangunkannya sepagi itu, dia keluar
juga karena memang sudah amat lama si bandot tua ini merindukan isteri Yo Kui yang
cantik manis yang seperti bandot mengilar ingin mendapatkan daun muda yang segar
kehijauan.
Akan tetapi kemarahannya lenyap seketika, terganti harapan dan kegembiraan ketika dia
melihat Lao Tiu di tempat yang agak gelap itu datang bersama seorang lain. Keadaan masih
remang-remang dan mata tuanya sudah agak lamur maka hartawan mata keranjang ini
menyangka bahwa Lao Tiu datang bersama si janda cantik!
"Aiih, Lao Tiu, kau pagi-pagi sudah memaksa aku meninggalkan ranjangku yang empuk. Eh,
kau datang dengan janda manis yang kurindukan? Heh-heh, mari masuk, manis, kebetulan
sekali."
Tiba-tiba kata-kata yang ramah itu terhenti, terganti seruan kaget yang hanya berbunyi
"eh-eh, ah-ah, oh-oh" saja karena seperti halnya Lao Tiu tadi, tengkuknya sudah dicekik
oleh Kun Hong yang bergerak cepat menyerbunya.
Kun Hong menyeret Song-wangwe dan Lao Tiu dengan kedua tangannya. Beberapa orang
penjaga datang memburu dan memaki, "Penjahat kurang ajar, apakah kau sudah gila?
Lepaskan Song-wangwe!"
Akan tetapi kata-kata makian ini hanya sampai di situ saja karena si pemakinya bersama
seorang kawannya yang lain sudah terlempar sejauh tiga meter lebih oleh tendangan kaki
Kun Hong. Penjaga-penjaga lain datang dengan senjata di tangan.
"Mundur semua!" Kun Hong membentak. "Kalau tidak, lebih dulu akan kupatahkan leher
majikanmu. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membereskan urusan penasaran
janda Yo!" Setelah mengancam demikian, Kun Hong mendorong terus dua orang
tawanannya itu kembali ke tempat tinggal janda Yo Kui. Para penjaga menjadi bingung dan
tentu saja tidak berani turun tangan untuk menjaga keselamatan majikan mereka.
Penjaga-penjaga itu berkumpul dan hanya berani mengikuti di belakang Kun Hong, sambil
berunding bagaimana harus menyerang si buta yang menawan majikan mereka.
"Jangan serang................ uh-uhh....... jangan serang.............. goblok..............!"
Song-wangwe berkali-kali berteriak mencegah kaki tangannya karena dia betul-betul
ketakutan dan sama sekali tidak dapat berkutik dalam cengkeraman yang amat kuat dan
menyakitkan leher itu.
Para penduduk dusun berseru keheranan, penuh kekagetan dan kekaguman ketika mereka
melihat si buta itu datang lagi, kini menyeret Lao Tiu dan Song-wangwe sedangkan di
belakangnya berjalan banyak penjaga tanpa berani bergerak menyerang sehingga
dipandang sepintas lalu seakan-akan mereka ini malah menjadi anak buah Kun Hong si
buta!
Setibanya di depan pondok janda Yo, Kun Hong melemparkan tubuh Lao Tiu ke bawah. Lao
Tiu bergulingan saling tindih dengan lima orang tukang pukul yang masih merintih-rintih
seperti ikan dilempar ke darat. Lao Tiu terlampau takut dan terlampau sakit-sakit
mukanya, sehingga diapun tidak sanggup bangkit lagi. Kedua pipinya membengkak besar
membiru, matanya merah, mukanya kotor dan mulutnya berdarah, bibirnya bengkak-
bengkak tebal, giginya banyak yang copot.
"Song-wangwe, apakah kau tahu apa sebabnya aku menawanmu dan menyeretmu ke
tempat ini?" tanya Kun Hong, suaranya tegas berwibawa.
Hartawan itu diam saja. Kun Hong memperkeras cengkeramannya dan membentak, "Hayo
jawab!"
"Tidak............... ti........... tidak tahu........" suaranya gemetar tubuhnya menggigil.
"Hayo kau ceritakan tentang urusanmu dengan mendiang Yo Kui dan tentang kehendakmu
yang kotor terhadap nyonya janda Yo. Tentang Lao Tiu yang kau suruh membujuk-bujuk,
tentang penipuanmu menggunakan surat perjanjian tanah, tentang cara kotormu menyogok
pembesar yang melakukan pengadilan, tentang lima orangmu yang mengeroyok dan
memukul mendiang Yo Kui. Hayo ceritakan, kalau ada yang kau lewatkan satu
saja............ hemmm, aku benar-benar akan mematahkan batang lehermu yang lapuk ini!"
Karena nyawanya benar-benar terancam maut di tangan kuat pemuda buta itu, dengan
suara tersendat-sendat si tua Song terpaksa menceritakan semua tipu muslihatnya
terhadap mendiang Yo Kui, dan betapa dengan bantuan tukang pukulnya dan Lao Tiu, dia
berusaha keras untuk menarik diri janda Yo menjadi kekasihnya. Kata-katanya yang
terputus-putus ini didengar oleh semua orang tanpa ada yang berani mengeluarkan suara,
hanya terdengar isak tangis nyonya janda muda itu yang merasa terharu dan juga bangga
karena sekali ini selain ia dapat membalas sakit hati, membuat roh suaminya tidak
penasaran, juga sekaligus ia dapat mencuci bersih namanya di depan umum.
Sebetulnya, hal ini bukanlah rahasia bagi para penduduk dusun itu, karena mereka semua
sudah tahu macam apa adanya tuan tanah itu dengan sekalian kaki tangannya. Akan tetapi
baru kali ini mereka mendengar hal ini dibongkar dan diceritakan oleh si tuan tanah
sendiri. Benar-benar hal yang amat luar biasa!
Setelah selesai membuat pengakuan, dengan suara serak tuan tanah itu meratap,
"............. ampunkan saya, Tai-hiap (pendekar besar), ampunkan saya............ saya
berjanji......... tidak berani lagi..........."
Gatal-gatal tangan para penjaga dan kaki tangan tuan tanah itu, namun mereka tak
berdaya dan tidak berani bergerak karena maklum bahwa si buta itu tak boleh dipandang
ringan. Buktinya, lima orang tukang pukul yang pandai silat itupun sekarang masih
merintih-rintih tak dapat bangun. Pula, kalau mereka hendak mengeroyok, tentu tuan
tanah itu akan terbunuh lebih dulu.
"Mudah saja mengampunkan orang macam kamu, tapi bagaimana dengan orang-orang yang
sudah mati karena perbuatanmu? Bagaimana dengan wanita-wanita yang sudah kau hina?"
Kun Hong membentak.
"Ampun............ ampun..........."
"Hayo kau suruh seorang di antara kaki tanganmu untuk mengambil lima ratus tail perak
untuk mengganti kerugian nyonya Yo, sediakan sebuah gerobak berikut kudanya. Cepat!
Hanya itu yang akan menjadi pengganti nyawamu."
Tanpa ayal lagi tuan tanah itu menyuruh seorang kepercayaannya yang berdiri melongo di
tempat itu untuk segera memenuhi permintaan Kun Hong ini. Para penduduk ramai
membicarakan hal ini, ada yang terheran-heran, ada yang kagum, ada yang iri hati kepada
nyonya janda yang sekarang berdiri dengan muka pucat dan bingung, terlalu kaget
menghadapi semua kejadian yang sekaligus mengubah jalan hidupnya ini.
Dengan berdiri tegak Kun Hong menanti sampai pesuruh tuan tanah itu datang kembali
membawa sebuah gerobak berikut kudanya yang cukup baik, terisi lima ratus tail perak!
Semua penduduk memandang dengan melongo. Belum pernah mereka melihat uang perak
sebanyak itu, jangankan melihat, mimpi pun belum pcrnah!
"Twa-so, gerobak dan uang ini milikmu. Dengan gerobak ini kau dan anakmu bisa mencari
pamanmu ke Cin-an dan uang ini dapat kau pakai sebagai modal hidup.
"........... ah............. terlalu............. terlalu banyak untuk apa ......?" Janda itu
berkata gagap.
Kun Hong tersenyum. "Untuk apa, terserah kepadamu karena uang ini milikmu yang sah!"
Janda itu memandang ke kanan kiri, melihat betapa para penduduk memandangnya dengan
mata terbelalak, dengan wajah mereka yang kurus-kurus dan pakaian mereka yang tambal-
tambalan. Mendadak janda muda itu sambil memondong anaknya lari ke arah gerobak,
melihat lima kantong uang perak bertumpuk di situ, lalu berpaling kepada seorang dusun
yang sudah tua.
"Chi-lopek (uwak Chi), kau turunkan tiga karung dan kau bagi-bagikan rata kepada semua
saudara penduduk dusun kita,"
Hampir saja semua orang tak dapat percaya apa yang mereka dengar ini, kemudian setelah
janda itu mengulangi perkataannya, terdengar mereka bersorak sorai dan memuji-muji
nyonya Yo. Malah beberapa orang wanita lari menghampiri, memeluknya, menciuminya
sambil menangis. Yang lelaki pada tertawa lebar, wajah yang kurus-kurus itu berseri-seri
timbul harapan baru dengan adanya tambahan bantuan uang yang tidak sedikit itu.
Kun Hong mengangguk-angguk, diam-diam dia kagum sekali dan benar-benar dia puas telah
menolong seorang yang memiliki pribadi setinggi nyonya janda itu. Biarpun seorang dusun,
ternyata wanita ini benar-benar seorang bidadari, pikirnya dan terbayanglah wajah Cui Bi
di depan mukanya. Setelah selesai tiga karung diturunkan, Kun Hong lalu melepaskan tuan
tanah, dengan jari tangannya dia menotok punggung dan pangkal paha. Tuan tanah itu
berteriak dan roboh, dari mulutnya keluar darah.
"Kau tidak akan mati," kata Kun Hong "akan tetapi ingat, sekali lagi kau melakukan
gangguan kepada orang-orang tak bersalah, aku akan datang kembali dan membikin
perhitungan yang lebih hebat denganmu. Pulanglah!" Tuan tanah itu merangkak bangun,
segera dituntun dan diangkat oleh orang-orangnya, Dia tidak tahu bahwa, semenjak saat
itu dia takkan mampu lagi melakukan perbuatan hina, tidak akan dapat mengganggu
wanita lagi karena dengan kepandaiannya, Kun Hong telah membuatnya menjadi seorang
laki-laki lemah. Kemudian Kun Hong menyembuhkan lima orang tukang pukul tadi, akan
tetapi mereka inipun mendapat bagian. Dengan memijat urat darah terpenting Kun Hong
membuat mereka berlima itu kehilangan tenaga pada kedua lengannya, sehingga
selanjutnya mereka takkan dapat menjadi tukang pukul lagi!
"Karena kau masih saudara misan Yo-twaso, kau kuampuni. Akan tetapi kau harus
mengantar Yo-twaso ke Cin-an sampai bertemu dengan pamannya. Awas, jangan kau main-
main karena sekali kau menyeleweng, nyawamu takkan tertolong lagi," kata Kun Hong
kepada Lao Tiu sambil cepat-cepat dia menyentuh jalan darah di dadanya. Lao Tiu
merintih, merasa betapa jantungnya berdetak keras dan ada rasa nyeri dan perih di dekat
lehernya.
"Kau terancam maut oleh luka di dadamu," kata Kun Hong, "dan obatnya hanya akan
dimengerti oleh Yo-twaso. Kalau kau sudah mengantarkan ia dengan selamat sampai di Cin-
an dan bertemu dengan pamannya, baru dia akan memberi tahu kepadamu cara
pengobatannya sampai kau sembuh. Nah, dengan jaminan ini, sekali kau menyeleweng, kau
akan mampus dan tubuhmu akan menjadi busuk sebelum nyawamu melayang." Kun Hong
sengaja mengeluarkan ancaman ini, padahal yang dia lakukan itu hanyalah totokan biasa
saja dan sama sekali tidak ada bahayanya, dalam waktu sebulan rasa tak enak itu akan
hilang sendiri. Akan tetapi dia perlu mengancam dan menakut-nakuti orang berwatak buruk
seperti Lao Tiu.
"Yo-twaso, mari kita masuk pondok. Akan kuberi tahu rahasia pengobatan dia itu dan aku
akan menukar pakaianku."
Dengan tongkat meraba-raba ke depan Kun Hong memasuki pondok Nyonya Janda Yo
sambil menggandeng tangan A Wan berlari mengikuti. Sampai di dalam pondok, janda
muda ini tak dapat menahan lagi hatinya yang penuh perasaan haru, girang, dan bahagia.
Sambil terisak menangis ia menubruk Kun Hong dan merangkulnya, menangis tersedu-sedu.
"In-kong............. ah, In-kong........... kau telah menyelamatkan hidupku..........
menyelamatkan nama baikku.......... In-kong, budimu setinggi gunung...... dan..............
kau seorang buta ............! Ah, betapa inginku membalas budimu .......... In-kong,
andaikata dapat, aku rela memberikan kedua mataku untukmu!"
Dengan penuh perasaan nyonya muda itu menarik leher Kun Hong dan tanpa malu-malu
karena perasaan terima kasih yang meluap-luap ia lalu menciumi kedua mata yang buta
itu!
"Twa-so, jangan..............!" Suara Kun Hong tersedak karena dia menahan perasaannya
dan kedua tangannya memegang pundak wanita itu, didorong menjauh. Sejenak wanita itu
menatap wajahnya, melihat betapa mata yang buta itu bergerak-gerak, celah-celah
belahan pelupuk membasah, hidung yang mancung itu kembang-kemping, bibirnya
bergerak-gerak gemetar.
"In-kong...........!" wanita itu lalu menjatuhkan dirinya, kini memeluk kedua kaki Kun Hong
dan menciumi sepatu yang kotor, membasahi dengan air mata dan menggosok-gosoknya
dengan rambut.
"In-kong, selama hidupku takkan dapat aku bertemu dengan manusia seperti In-
kong............ apa artinya menempuh hidup baru di Cin-an kalau aku takkan dapat
bertemu dengan orang sepertimu lagi? In-kong, biarlah aku membalas budimu dengan
menghambakan diri............. biarlah aku menjadi bujangmu. A Wan juga..............
biarkan kami berdua merawatmu, biarkan aku menuntunmu ............"
"Yo-twaso, diam..............!" Kun Hong mengeluarkan suara bentakan dan sekali tarik dia
membuat wanita itu berdiri. "Kau wanita baik-baik, kau seorang suci dan mulia hatimu.
Thian pasti akan memberkatimu. Hayo kita keluar, kau harus berangkat sekarang juga.
Mana pakaianku?"
Dengan masih terisak wanita itu berkata sedih, "Tidak akan kukembalikan, In-kong. kalau
tak dapat berkumpul dengan orangnya, biarlah pakaiannya menjadi kenang-kenangan.
Kuganti dengan pakaian suamiku pula.............. pergi meninggalkan kami berdua
..............." ia terisak lagi.
Kun Hong maklum bahwa paling berat adalah mempertahankan nafsu hati, oleh karena itu
dia tidak mau banyak ribut tentang pakaian, segera dia menuntun tangan A Wan keluar
dari pintu, diikuti oleh janda itu. Sambil terisak janda itu minta diri dari semua
tetangganya, lalu ia naik gerobak bersama A Wan. Lao Tiu sudah duduk di depan, orang ini
sekarang taat benar.
"Aku akan mengantar sampai keluar dusun," kata Kun Hong dan berangkatlah mereka.
Gerobak ditarik kuda berjalan perlahan meninggalkan kampung, di belakang gerobak, Kun
Hong berjalan sambil memegang tongkat, Di belakangnya, orang-orang dusun mengantar
sampai ke pinggir dusun, melambaikan tangan kepada A Wan dan ibunya.
Setelah gerobak meninggalkan dusun itu sejauh sepuluh li dan tiba di jalan simpang empat,
Kun Hong berkata,
"Lao tiu, berhenti dulu." Gerobak berhenti dan dia berkata kepada janda Yo, "Yo-twaso,
nah, sampai di sini kita berpisah. Selamat jalan dan semoga kau bahagia. A Wan, jaga
ibumu baik-baik, ya? Sudah, Lao Tiu, sekarang kau balapkan kudamu."
"Nanti dulu ..........!" Nyonya janda itu melompat begitu saja turun dari gerobak, lari
menghampiri Kun Hong dan berlutut di depannya. "Sekali lagi, In-kong........... bolehkan
aku dan A Wan menghambakan diri padamu? Biar kami ikut ke mana kau pergi............."
Suaranya penuh permohonan.
"Bodoh, kau orang baik. Aku seorang buta, seorang pengemis................"
"Tidak apa, aku masih bermata. Mataku sama dengan matamu, dan aku.......... aku
sanggup bekerja untukmu........... andaikata mengemis sekalipun................ aku yang
akan mengemis, In-kong ..........."
"Cukup semua ini! Twa-so, jangan lemah, ingatlah anakmu. Aku berjanji, kelak akan kucari
kau dan A Wan di Cin-an."
"Betulkah?" Terdengar suara mengandung harapan. "In-kong, sampai kini belum kuketahui
namamu yang mulia,"
Kun Hong tersenyum pahit, "Apa artinya nama? Kenalilah aku sebagai sibuta......... dan eh,
jangan lupa .........." Ia mendekatkan mukanya sambil mengangkat janda itu bangun
berdiri.
"...... si Lao Tiu tidak kuapa-apakan, kelak bilang saja obatnya minum abu hio, sehari satu
sendok sampai sebulan. Nah, selamat jalan!" Kun Hong yang tak ingin wanita itu menunda-
nunda perjalanannya, tiba-tiba mengangkat tubuh wanita itu dan..............
melontarkannya ke depan.
Janda itu menjerit lirih, tubuhnya melayang dan............ jatuh dalam keadaan duduk di
atas gerobak, di dekat A Wan yang tertawa-tawa melihat ibunya "terbang" tadi.
Gerobak dijalankan cepat. Kun Hong berdiri tegak sampai lama menghadap ke arah
gerobak. Sudah lama gerobak itu menikung dan penumpangnya tidak melihatnya lagi,
namun telinganya masih dapat mendengar derap kaki kuda yang makin menjauh. Dia
menarik napas panjang, lega hatinya karena tadi dia benar-benar gelisah ketika
menghadapi bujukan dan permohonan janda muda itu.
"Berbahaya............ !" pikirnya, dia masih terharu kalau mengenangkan janda muda dan
puteranya itu. Akan tetapi dia segera mengusir perasaan ini dan melanjutkan
perjalanannya sambil bernyanyi.
Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak
ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung,
bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan
nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak
hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang.
Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia
mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan
sesuatu.
Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat
dari belakang itu.
"Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan
sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih
kepada pemuda buta ini.
Kun Hong menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh perlahan, mulutnya
tersenyum lebar namun kedua telinga tetap waspada mendengarkan dan mengikuti segala
gerak-gerik di sekitarnya. Tentu saja dia mengenal suara perampok kasar yang dia jumpai
pagi tadi, akan tetapi dia pura-pura tidak mengenalnya dan bertanya,
"Saudara siapa dan apa maksud saudara mengejar aku si buta ini?" Dia tahu bahwa orang
kasar itu kini menjura kepadanya, membungkuk-bungkuk beberapa kali tanda
penghormatan. Gerakan tubuh ini saja tak dapat terlepas daripada pendengarannya yang
amat tajam melebihi orang biasa yang tidak buta. Hal ini amat menggirangkan dan
melegakan hatinya karena dia dapat menduga bahwa kedatangan belasan orang ini kiranya
tidak mengandung niat jahat.
"Tuan muda, saya Hek-twa-to datang untuk minta maaf atas kelancangan saya pagi tadi
dan untuk mengembalikan bungkusan pakaianmu,"
Wajah itu makin berseri, senyuman makin melebar ketika dia mengulurkan tangan untuk
menyambut bungkusan. "Ah, terima kasih, twako. Sebetulnya aku tidak begitu
membutuhkan pakaian ini, akan tetapi kalau kau tidak memerlukan, baik kuterima untuk
pengganti kalau yang kupakai sudah kotor. Berada padaku atau padamu sama saja, pakaian
gunanya untuk dipakai, siapapun yang memakainya tidak menjadi soal. Terima kasih." Dia
menggantungkan buntalan pakaian itu di pundaknya.
Hek-twa-to menjura lagi. "Juga saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan sinshe
(sebutan untuk tabib) yang telah menyembuhkan luka di dalam dadaku."
Kun Hong tertawa. "Tidak perlu berterima kasih. Yang menyembuhkan adalah kau sendiri,
Twako. Ketika kau menggunakan tenaga menghantam ke depan tadi, hawa pukulan
tertahan oleh jalan darah yang buntu merupakan kekuatan yang hebat. Aku hanya
membantu membuka jalan darah itu sehingga hawa itu menerobos dan sekaligus
menghalau hawa beracun yang mengeram di tubuhmu. Sama sekali tidak perlu berterima
kasih."
Hek-twa-to terkejut. Kiranya si buta ini yang menyentuh dadanya. Kenapa dia tidak
melihatnya sama sekali? Setelah saling pandang penuh keheranan dengan kawan-kawannya,
dia lalu menjura lagi dan berkata,
"Sekarang kami minta dengan hormat agar Sinshe suka ikut dengan kami ke tempat tinggal
kami di sebelah barat bukit ini..........."
"Sayang, tidak bisa..........." Kun Hong memotong, "aku adalah seorang manusia bebas,
tidak mau terikat oleh segala budi. Terima kasih, Twako, biarlah aku melanjutkan
perjalananku seenaknya dan harap kau dan teman-temanmu kembali."
Seorang kawan Hek-twa-to yang paling kasar wataknya di antara para perampok itu
menjadi marah dan berteriak, "Kita gusur saja tabib buta yang sombong ini!"
Kun Hong tersenyum sabar, maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang kasar yang
berwatak keji. "Aku adalah seorang buta lagi miskin tidak memiliki apa-apa, juga aku akan
mengalah kalau kalian menghendaki barang-barangku kecuali bungkusan obat dan tongkat
ini. Akan tetapi jangan harap aku akan suka menuruti paksaan orang, sungguhpun paksaan
untuk menjamuku dengan hidangan-hidangan mahal."
"Tong-te, kau tutup mulutmu!" bentak Hek-twa-to kepada kawannya yang kasar itu,
kemudian dia menghadapi Kun Hong lagi. "Siauw-sinshe, harap kau maafkan temanku yang
lancang mulut ini. Sesungguhnya kami mengharap kau suka ikut dengan kami karena kami
perlu pertolonganmu untuk mengobati ketua kami dan dua puluh orang lebih teman-teman
kami yang menderita luka-luka berat. Harap kau suka menolong kami seperti kau telah
lakukan kepadaku tadi. Jangan khawatir, untuk biaya pengobatan ini, berapapun juga kau
minta, ketua kami sudah pasti akan memenuhinya."
Berkerut kening di muka yang tampan itu. Kun Hong maklum bahwa orang-orang ini bukan
orang-orang baik, tentu ketuanya juga bukan orang baik. Agaknya golongan hitam
pengacau rakyat. Sebetulnya mengingat keadaan mereka, tidak patut ditolong. Akan tetapi
dia dapat membayangkan betapa sengsaranya mereka yang menderita sakit itu dan hatinya
yang penuh welas asih tidak kuasa menahan hasratnya hendak menolong.
"Hemm, begitukah? Kalau kalian mengundangku untuk menolong orang-orang sakit, lain lagi
halnya. Tak usah bicara tentang upah, kalau aku berhasil dapat mengurangi rasa nyeri yang
mereka derita, sudah cukup bagus untukku. Mari kita berangkat."
Berangkatlah rombongan itu turun bukit. Akan tetapi biarpun tongkatnya dituntun Hek-
twa-to, seorang buta sebagai Kun Hong tentu saja tidak dapat berjalan cepat. Rombongan
itu tidak sabar dan ketika Hek-twa-to mengusulkan untuk menggendong tabib buta itu, Kun
Hong tidak menolak. Maka digendonglah pemuda itu oleh Hek-twa-to yang kuat dan
rombongan ini berlari-lari turun bukit dengan cepat.
Makin curiga hati Kun Hong. Di atas gendongan, dia dapat mengira-ngira tingkat
kepandaian mereka. Ilmu lari cepat mereka lumayan tanda bahwa mereka ini, terutama
Hek-twa-to, memiliki kepandaian silat. Ketua mereka tentu seorang kosen. Kalau sampai
ketua mereka terluka, juga dua puluh orang lebih anak buahnya, alangkah tangguhnya
musuh mereka. Dan mengingat sikap mereka yang jahat, agaknya yang menyebabkan
mereka luka-luka itu tentulah seorang pendekar. Berkali-kali dia menarik napas panjang di
atas gendongan Hek-twa-to. Pendekar itu merobohkan dan melukai orang-orang karena
tugasnya sebagai pendekar yang membasmi kejahatan. Akan tetapi dia pergi akan
menyembuhkan mereka, juga hal ini karena tugasnya sebagai seorang ahli pengobatan yang
tidak boleh memilih penderita, baik dia kaya atau miskin, jahat atau tidak.
Ketika ketua Hui-houw-pang dan para tamunya yang terdiri dari jagoan-jagoan di dunia
kang-ouw dan bu-lim itu melihat bahwa tabib buta itu ternyata hanya seorang laki-laki
yang masih amat muda, mereka terbelalak keheranan, saling pandang dan ragu-ragu. Para
tamu yang hadir di situ adalah undangan-undangan Lauw Teng, terkenal sebagai tokoh-
tokoh kang-ouw. Malah di antaranya terdapat seorang tosu muka bopeng (burik) yang
mempunyai sinar mata tajam berkilat dan di punggungnya tergantung sepasang pedang
tipis. Mereka ini banyak mengenal orang pandai, malah pernah mendengar tentang setan
obat Toat-beng Yok-mo, sudah banyak melihat tabib-tabib pandai. Akan tetapi belum
pernah mereka melihat seorang ahli pengobatan masih begini muda. Tidak mengherankan
apabila mereka memperdengarkan suara mencemooh dan memandang rendah.
Ketua Hui-houw-pang kecewa sekali. Diam-diam dia marah kepada Hek-twa-to yang
dianggapnya membohong dan menipu. Untuk menutupi kekecewaannya, dia bertanya
dengan nada suara keras memandang rendah.
"Heh, orang muda buta. Apakah kau yang telah menyembuhkan Hek-twa-to seorang
anggautaku?"
Kun Hong tidak tahu siapa yang bicara dengannya, akan tetapi terang bahwa dia ini adalah
ketua yang dimaksudkan oleh Hek-twa-to tadi, entah ketua apa. Dia tersenyum dan
menjawab, "Dia yang menyembuhkan dirinya sendiri, aku hanya membantu." Kata-katanya
halus, akan tetapi sama sekali tidak merendahkan diri atau menghormat. Ketua Hui-houw-
pang yang biasanya disembah-sembah oleh anak buahnya yang pandai menjilat, ditakuti
semua orang, mendongkol juga melihat dan mendengar sikap orang buta ini.
"Orang buta, jangan kau main-main di sini. Apakah benar kau pandai mengobati orang sakit
dan terluka?"
"Tidak ada orang pandai di dunia ini, sahabat. Yang pandai hanya Tuhan, Aku hanya diberi
pengertian tentang pengobatan, pengertian kecil tak berarti. Kalau Tuhan menghendaki,
tentu akan menyembuhkan orang sakit."
"Dengar, orang muda. Kami dua puluh orang lebih menderita luka-luka. Kalau kau bisa
menyembuhkan kami, berapa saja upah yang kau minta, akan kubayar. Akan tetapi kalau
ternyata kau tidak mampu menyembuhkan kami, hemm, jangan tanya akan dosamu, kau
tentu akan kubunuh mampus karena kau telah mengetahui keadaan kami. Sanggupkah
kau?"
Diam-diam Kun Hong mendongkol sekali. Tidak salah dugaannya tadi bahwa ketua ini
tentulah orang yang berwatak keji pula. Namun sesuai dengan wataknya yang sabar dan
bijaksana, wajahnya tetap tersenyum.
"Aku selalu siap mengobati orang sakit. Sembuh atau tidaknya terserah ke dalam tangan
Tuhan. Kalau dapat sembuh, aku tidak menentukan upahnya, terserah kepada penderita
sakit. Kalau tidak dapat sembuh, itu sudah nasibnya, mengapa kau hendak membunuhku?
Bukan kau yang memberi kehidupan pada tubuhku, bagaimana kau bisa bicara tentang
mengambilnya, sahabat?"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa melengking tinggi disusul suara halus,
"Lauw-sicu, omongan bocah ini ada isinya, kau berhati-hatilah!"
Kun Hong tercengang, kiranya di tempat itu terdapat orang pandai, pikirnya. Pembicara ini
adalah seorang kakek berusia lima puluhan, memiliki Iweekang yang kuat dan pandang
mata yang tajam. Semua ini dapat dia mengerti dari pendengarannya, tentu saja dia tidak
tahu bahwa kakek yang bicara itu adalah seorang tosu yang bermuka burik, seorang di
antara para tamu undangan. Kun Hong agak miringkan kepalanya dan dia dapat mendengar
betapa tuan rumah bersama kakek yang bicara tadi kini menggerak-gerakkan tangan dan
jari, agaknya saling memberi isyarat agar apa yang mereka kehendaki tidak terdengar
olehnya.
"Sinshe muda," kata Lauw Teng suaranya agak berubah, tidak segalak tadi, "biarlah
kuanggap saja kau memang pandai mengobati. Nah, kau mulailah mengobati seorang anak
buahku yang menderita luka di dalam tubuhnya," Setelah berkata demikian, Lauw Teng
berteriak, "He, A Sam, kau yang paling berat lukamu, kau merangkaklah ke sini biar diobati
oleh Siauw-sinshe ini!"
Kun Hong terheran. Sejak tadi setelah bercakap-cakap dengan ketua ini, dia tahu atau
dapat menduga, bahwa ketua ini menderita luka yang amat parah di dalam tubuhnya yang
perlu segera diobati. Kenapa ketua ini sekarang menyuruh dia mengobati seorang anak
buahnya lebih dulu? Apakah ketua ini sengaja mengalah terhadap anak buahnya? Tak
mungkin, orang yang berhati keji selalu mementingkan diri sendiri. Ataukah masih belum
percaya kepadanya maka menyuruh anak buahnya maju untuk mencoba-coba?
Tapi Kun Hong tidak pedulikan ini semua. Dia lalu duduk di atas bangku yang disediakan
untuknya dan menurunkan buntalan obat. Dia tahu bahwa dari depan berjalan seseorang
dengan langkah perlahan, kemudian orang ini berjongkok di depannya sambil
mengeluarkan suara rintihan dan berkata lemah.
"Siauw-sinshe, tolonglah saya....... tak kuat lagi saya ....... sampai merangkakpun hampir
tidak kuat. Aku terkena pukulan beracun kakek Bhe jahanam ....."
Semenjak kecilnya, Kun Hong sudah memiliki kecerdikan yang luar biasa. Begitu
mendengar kata-kata ini, segeralah terbuka semua rahasia yang tak dapat dilihatnya.
Kiranya ketua she Lauw tadi bersama kakek itu bersekongkol untuk mempermainkan dan
menguji dia. Orang ini pura-pura menderita luka pukulan, disuruh datang minta tolong
sehingga mereka itu akan segera tahu tentang kepandaiannya mengobati. Hemm, mereka
tidak percaya dan hendak mempermainkan aku, pikir Kun Hong. Baiklah, aku akan
melayani sandiwara kalian.
Sambil membungkuk Kun Hong meraba nadi tangan dan dada dekat leher A Sam itu,
mengerutkan keningnya lalu berkata, "Aihh, kau benar-benar menderita penyakit
berbahaya sekali! Biang batuk sudah berkumpul di pintu paru-paru. Sekarang belum terasa
olehmu, akan tetapi begitu kau tertawa, akan meledaklah batukmu dan sukar ditolong lagi.
Kau sama sekali tidak terluka oleh pukulan orang she Bhe atau orang she Ma, melainkan
karena terlalu banyak keluar malam sehingga masuk angin jahat!" Tentu saja sambil
berkata demikian, jari-jari tangan Kun Hong yang dapat bergerak secara luar biasa dan
secepat kilat itu telah menekan beberapa jalan darah tertentu di dada dan leher.
Mendengar keterangan ini, meledaklah suara ketawa para perampok itu, termasuk
ketuanya, Lauw Teng dan para tamu undangan. Hanya tosu burik itu saja yang tidak
tertawa, melainkan memandang dengan mata tajam. Lauw Teng tidak marah karena
biarpun keterangan Kun Hong itu amat lucu, namun orang ini dapat mengetahui bahwa A
Sam tidak terluka oleh pukulan beracun. Lucunya, A Sam adalah seorang yang sehat dan
tidak pernah batuk, biarpun memang suka keluar malam akan tetapi lucu kiranya kalau
seorang gemblengan seperti A Sam itu mudah saja masuk angin!
A Sam juga tertawa terpingkal-pingkal, akan tetapi tiba-tiba semua orang yang tadi
tertawa geli itu menghentikan suara ketawa mereka. Kini hanya terdengar sebuah suara
saja, suara orang berbatuk-batuk amat hebatnya. Dan tidak aneh kalau semua orang kini
memandang terheran-heran karena yang batuk secara hebat itu bukan lain adalah A Sam!
Tadinya A Sam sendiri mengira bahwa batuknya ini adalah secara kebetulan saja, akan
tetapi dia mulai menjadi khawatir dan gugup setelah batuknya itu tidak juga mau berhenti,
malah makin hebat sampai dia tak dapat menahannya lagi. Di dalam leher dan dadanya
serasa dikitik-kitik, mendatangkan rasa gatal-gatal dan geli. Tak tertahankan lagi A Sam
terbatuk-batuk sambil memegangi perut dan dada, membungkuk-bungkuk dan akhirnya dia
sampai jatuh bergulingan. Bukan main hebat penderitaannya.
Tadinya orang-orang mengira bahwa A Sam yang suka berkelakar itu sengaja
mempermainkan si tabib buta, akan tetapi karena tidak juga A Sam berhenti batuk,
mereka mulai khawatir, mendekat dan dengan mata terbelalak melihat A Sam sampai
mendelik-delik matanya karena terbatuk-batuk terus.
"Aduh ....... uh uh uh ....... aduh ....... tolonglah .......uh-uh-uh, Siauw-sinshe ..... uk-uh-
uh ......." Sukar sekali A Sam mengeluarkan kata-kata ini karena batuk membuat napasnya
sesak dan suaranya hampir hilang.
"Hemmm, sudah kukatakan tadi, kau tidak boleh tertawa. Siapa kira kau masih tertawa
terbahak-bahak sehingga ledakan batukmu tak tertahankan lagi. Kalau didiamkan saja, kau
akan terus terbatuk-batuk sampai jantungmu pecah dan aku akan mendiamkan saja, A Sam
kecuali kalau kau suka berterus terang mengapa kau tadi pura-pura terluka parah."
"Ampun ....... uh-uh, ampun Sinshe....... uh-uh-uh, saya disuruh mencoba, uh-uh, main-
main ....... ampun ......."
Lauw Teng melangkah maju. "Siauw-sinshe, harap kau suka mengobatinya. Terus terang
saja, tadi kami meragukan kepandaianmu maka sengaja hendak mengujimu. Maafkanlah."
Kun Hong memang bukan seorang pendendam. Tentu saja dia memaafkan mereka yang tadi
hendak, main-main kepadanya. Malah perbuatannya terhadap A Sam ini pun hanya untuk
main-main belaka. Dia segera maju mendekat, beberapa kali dia membetot urat-urat di
leher dan di bawah pangkal lengan. Sebentar saja berhentilah A Sam berbatuk-batuk,
peluhnya keluar semua dan dia segera terduduk saking lelahhya.
"Siauw-sinshe, sekarang kuharap kau suka mengobati semua orangku, juga mengobati
lukaku sendiri. Ketahuilah bahwa aku adalah Hui-houw-pangcu (ketua Hui-houw-pang)
Lauw Teng. Tentu kau sudah mendengar tentang Hui-houw-pang, bukan? Ketua ini mengira
bahwa tentu sinshe buta yang masih muda ini akan terkejut sekali mengetahui bahwa dia
berada di dalam markas Hui-houw-pang yang, sudah amat terkenal di seluruh Propinsi
Santung. Akan tetapi dia terheran dan juga kecewa ketika orang muda buta itu menggeleng
kepalanya dan berkata tak acuh.
"Aku baru saja datang di pegunungan ini, Lauw-pangcu, maka tidak mengenal
perkumpulanmu. Akan kucoba mengobati kalian. Suruh orang-orangmu yang menderita luka
sama dengan Hek-twa-to, yang ada bintik merahnya pada tubuh mereka, maju dan berjajal
di depanku." Ada delapan orang yang menderita Hek-twa-to Lima belas orang lain
menderita luka senjata yang parah dan luka-luka itu membengkak dan keracunan. Ketika
mengetahui bahwa belasan orang ini terluka oleh macam-macam senjata, Kun Hong dapat
menduga tentu telah terjadi pertempuran hebat antara orang-orang Hui-houw-pang ini
melawan rombongan lain yang agaknya dikepalai oleh seorang she Bhe yang telah melukai
delapan orang itu dan tentu seorang yang berkepandaian tinggi juga. Cepat dia menuliskan
resep obat untuk orang-orang yang terluka. Tulisannya cepat dan tidak memperdulikan
seruan-seruan heran dari semua orang yang melihat betapa seorang buta dapat menulis
secepat dan seindah itu. Untuk luka-luka yang dapat dia obati dengan obat-obatan yang
tersedia dalam buntalannya, segera dia obati.
Akan tetapi ketika Kun Hong memeriksa tubuh Lauw Teng, diam-diam dia terkejut sekali.
Dengan rabaan tangannya dia mendapat kenyataan bahwa ketua ini memiliki tubuh yang
kuat dan Iweekang yang tinggi. Namun ternyata dia terkena pukulan beracun yang amat
keji. Pukulan yang mengenai pundak itu busuk menghitam sedangkan tulang pundaknya
remuk-remuk. Hebat sekali penderitaan ketua ini, namun dia tadi masih dapat
menahannya, membuktikan bahwa Lauw Teng adalah seorang yang amat kuat. Diam-diam
Kun Hong mengeluh. Agaknya dugaannya bahwa yang merobohkan orang-orang ini tentu
seorang pendekar kiranya tidak betul. Seorang pendekar gagah tidak mungkin memiliki
ilmu pukulan yang begini keji, atau andaikata memiliki juga, tidak akan sudi
mempergunakan. Kalau begini, agaknya fihak yang menjadi lawan Hui-houw-pang ini pun
bukan golongan baik-baik!
Kun Hong menarik napas panjang, menyesalkan dirinya yang tanpa disengaja telah
memasuki dunia golongan hitam. Akan tetapi dia berusaha juga menolong Lauw Teng,
menggunakan sebatang jarum perak untuk mengoperasi luka itu, mengurut beberapa jalan
darah dan menempelkan obat luka buatannya sendiri yang amat manjur. Kemudian dia
menulis sebuah resep obat untuk ketua Hui-houw-pang ini.
Begitu dia selesai mengobati Lauw Teng dan ketua ini mengucapkan terima kasihnya, tiba-
tiba terdengar suara keras dan tahu-tahu ada hawa menyambar ke arah Kun Hong. Pemuda
buta ini maklum bahwa ada orang menyerangnya, maka dia cepat menjatuhkan jarumnya
ke bawah dan membungkuk untuk memungut jarum itu. Hal ini dia lakukan untuk mengelak
dengan gerakan seperti tidak disengaja. Akan tetapi kiranya serangan itu bukan untuk
memukulnya, melainkan untuk menangkap pergelangan tangannya. Kun Hong tersenyum
dan membiarkan pergelangan tangan kanannya dicengkeram orang. Dia pura-pura kaget
dan berseru,
"Eh, siapa memegang lenganku? Kau mau apa?"
"Orang muda, katakan, apa hubunganmu dengan Toat-beng Yok-mo? Penanya ini adalah
kakek bersuara halus melengking tadi.
"Orang tua, beginikah caranya orang bertanya? Apakah harus mencengkeram lengan orang
yang ditanya? Pakaianmu seperti pendeta, kenapa sikapmu kasar seperti penjahat?"
Tosu itu cepat melepaskan cengkeraman tangannya, mukanya yang bopeng menjadi merah
sekali dan dia melangkah mundur tiga langkah. Heran sekali dia bagaimana orang buta ini
dapat mengenal pakaiannya? Tentu saja dia tidak tahu bahwa pendengaran Kun Hong yang
luar biasa dapat menggambarkan bentuk pakaian!
"Siauw-sinshe, tamuku yang terhormat ini adalah Ban Kwan Tojin yang berdiam di Kuil Pek-
kiok-si (Kuil Seruni Putih). Beliau seorang tokoh pantai timur yang terkenal, harap kau suka
menjawab pertanyaannya."
Kun Hong menjura ke arah Ban Kwan Tojin. "Maaf, kiranya seorang tosu. Ban Kwan Tojin
tadi bertanya tentang Toat-beng Yok-mo? Dia terhitung guruku karena aku mendapatkan
ilmu pengobatan ini dari kitab-kitabnya."
Tidak hanya Ban Kwan Tojin yang berseru kaget, bahkan Lauw Teng dan anak buahnya
menjadi kaget sekali, juga girang. Siapa tidak mengenal nama mendiang Toat-beng Yok-mo
yang bukan saja terkenal sebagai setan obat, akan tetapi juga sebagai seorang sakti yang
luar biasa? Di samping kekagetan, keheranan dan kegirangan ini, kembali timbul keraguan
dan tidak percaya. Apalagi Ban Kwan Tojin yang tahu betul bahwa belum pernah Toat-beng
Yok-mo mempunyai seorang murid buta.
"Siauw-sinshe, bolehkah pinto mengetahui namamu yang terhormat?" dia bertanya,
suaranya menghormat karena betapapun juga, pemuda buta ini sudah membuktikan
kepandaiannya tentang ilmu pengobatan.
"Namaku Kwa Kun Hong, Totiang."
"Hemm, serasa belum pernah mendengar nama ini ..........."
"Tentu saja belum, apa sih artinya nama seorang tabib buta?" Kun Hong tersenyum polos.
"Kwa-sinshe, kalau kau betul murid Toat-beng Yok-mo, tahukah kau di mana sekarang
gurumu itu berada?" Pertanyaan dari tosu ini terdengar oleh Kun Hong sebagai pancingan,
kata-kata penuh nafsu menyelidiki.
"Dia sudah meninggal dunia, tiga tahun yang lalu," jawabnya bersahaja.
"Ah, jadi kau tahu bahwa tiga tahun yang lalu dia tewas dalam pertempuran di puncak
Thai-san, ketika Thai-san-pai didirikan? Dan kau diam saja tidak berusaha membalas
dendam? Tahukah kau siapa yang membunuhnya, Sinshe?" Pertanyaan yang bertubi-tubi
dari tosu itu hanya diterima dengan senyum saja. Sudah tentu saja dia tahu bagaimana
tewasnya Toat-beng Yok-mo karena kakek iblis itu tewas ketika bertanding melawan dia
sendiri. Kakek berhati iblis yang amat jahat itu tewas karena bertindak curang kepadanya
dalam pertempuran itu dan boleh dibilang tewasnya adalah karena perbuatannya sendiri.
"Tentu saja aku tahu siapa yang membunuhya. Yang membunuhnya adalah dia sendiri, ya
....... dia membunuh diri sendiri."
Hati Kun Hong mulai tidak enak. Jangan-jangan tosu ini tiga tahun yang lalu hadir pula di
Thai-san dan melihat betapa Toat-beng Yok-mo tewas ketika berhadapan dengan dia
sebelum dia buta dan sekarang tosu ini sengaja memancing-mancing.
"Totiang, kalau tiga tahun yang lalu kau sendiri hadir di sana, mengapa mesti bertanya-
tanya?" jawabnya pendek.
Tosu itu tertawa. "Ha-ha-ha, kalau pinto hadir tidak nanti bertanya lagi. Sayangnya pinto
tidak hadir ketika itu, hanya mendengar berita dari kawan-kawan bahwa gurumu itu telah
tewas dalam pertempuran. Kau yang menjadi muridnya tentu tahu lebih jelas bukan?"
"Sudah kujelaskan bahwa dia mati karena perbuatannya sendiri."
"Jadi kau tidak ada niat untuk mencari musuh-musuh gurumu itu dan membalas dendam?
Hemm, murid yang baik kau itu, Kwa-sinshe." Ban Kwan Tojin mengejek.
"Toat-beng Yok-mo terkenal jahat. Biarpun dia guruku, hanya guru dalam ilmu pengobatan
saja. Dia boleh bermusuhan dengan orang lain, akan tetapi aku tidak berniat bermusuhan.
Kepandaianku menyembuhkan orang sakit supaya sehat, bukan menjadikan orang sehat
supaya sakit. Sudahlah, Lauw-pangcu, setelah selesai tugasku di sini, aku mohon diri
hendak melanjutkan perjalananku." Dia menjura ke depan ke kanan kiri, lalu membereskan
buntalan obatnya dan bersiap-siap untuk pergi. Ketika mengerjakan semua ini, juga ketika
tadi melakukan pengobatan, Kun Hong tidak lupa menyelipkan tongkatnya di punggung.
Bagi seorang buta seperti dia, tongkat merupakan pengganti mata dalam melakukan
perjalanan, apalagi kalau tongkat itu seperti tongkatnya, tongkat yang berisi pedang
pusaka Ang-hong-kiam, tongkat yang sengaja dibuat oleh kakek sakti Song-bun-kwi (Setan
Berkabung) untuknya (baca cerita Rajawali Emas).
Pada saat itu terdengar suara seorang wanita, "Ayah ...........!"
Lauw Teng menengok dan keningnya berkerut ketika dia melihat anaknya, seorang gadis
berusia dua puluh tahun, gadis yang berdandan secara mewah, muncul dari pintu samping.
Gadis ini perawakanya tinggi besar, cukup manis dan gerak-geriknya kasar dan genit,
pakaiannya serba indah dan di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya
terhias ronce-ronce merah, berkibar di dekat rambutnya yang disanggul tinggi dan dihias
kupu-kupu emas bertabur mutiara.
"Swat-ji, ada keperluan apa kau datang ke sini?" tegur Lauw Teng marah. Seharusnya
anaknya itu berdiam bersama ibunya dan keluarga Hiu-houw-pang di perkampungan,
biarpun dia menjadi kepala para perampok namun dia tidak senang melihat anak
perempuannya bergaul dengan para perampok yang kasar dan biasa mengeluarkan ucapan-
ucapan kotor dan tak sopan. Memang beginilah watak orang seperti Lauw Teng, biarpun dia
sendiri sudah biasa tidak menghormati kaum wanita, namun dia tidak suka melihat wanita-
wanita keluarganya tidak dihormati orang!
Dengan lagak genit, tersenyum-senyum, dan melirik-lirik gadis itu menjawab, "Ayah, kau
dan semua orang sibuk berobat, kabarnya ada tabib pandai di sini, mengapa tidak
menyuruh tabib itu datang ke kampung? Ibu menderita batuk, bibi masuk angin dan aku
sendiri sering merasa dingin kalau malam. Suruh dia ke kampung Ayah." Mendengar ucapan
terakhir ini di sana-sini sudah terdengar suara orang terkekeh-kekeh, akan tetapi segera
berhenti ketika Lauw Teng dengan mata tajam menengok ke arah suara orang-orang
tertawa itu.
"Huh, dasar perempuan, baru sakit batuk dan masuk angin saja sudah ribut-ribut.
Pulanglah, biar nanti kumintakan obat kepada siauw-sinshe."
Akan tetapi ketika dia menengok, dia melihat anaknya itu berdiri di dekat, Kun Hong,
memandang bengong kepada pemuda buta yang sedang membereskan buntalannya.
"Swat-ji, lekas pulang!" tegur ayahnya.
Swat-ji, gadis itu, seperti baru sadar, menengok kepada ayahnya dan berkata. "Ayah, dia
inikah tabibnya? Masih muda benar dan....... dan agaknya dia....... dia buta, Ayah."
Mendengar gadis itu bicara dekat di depannya Kun Hong merasa tidak enak sekali. Akan
tetapi dia segera bangkit berdiri, menjura dan berkata sambil tersenyum ramah. "Bukan
agaknya lagi, Nona, memang aku seorang buta."
Sejenak Swat-ji berdiri bengong memandang wajah Kun Hong. Belum pernah ia melihat
seorang pemuda setampan ini, apalagi ketika tersenyum, benar-benar membuat Swat-ji
seperti kena pesona. Mata yang buta itu bahkan menambah rasa kasihan yang mendalam.
"Swat-ji, pulang kataku!" Lauw Teng membentak marah.
"Ayah, kulihat kau dan para paman sudah sembuh. Tentu sinshe buta ini yang menolong
kalian. Setelah ditolong, kenapa tidak berterima kasih? Sepatutnya kita membawanya ke
kampung, menjamunya dengan pesta tanda terima kasih. Ayah, kalau sekarang kau
membiarkan penolong pergi begitu saja, bukankah Hui-houw-pang akan ditertawai orang
dan dianggap tak kenal budi?"
"Ha-ha-ha, tepat sekali ucapan Nona! Lauw-sicu, benar-benar pinto tidak pernah mengira
bahwa kau mempunyai seorang anak perempuan yang begini cantik lahir batinnya. Benar-
benar pinto kagum dan terpaksa pinto berfihak kepada puterimu, Lauw-sicu."
Mendapat bantuan omongan tosu itu, Swat-ji tersenyum dan melirik. Kun Hong diam-diam
merasa muak mendengar ucapan si tosu, apalagi dia dapat menangkap getaran dalam suara
itu dan dapat menduga bahwa tosu ini biarpun tua tentulah seorang mata keranjang. Nona
bernama Swat-ji itu tentu seorang gadis yang cantik dan dia dapat tahu pula bahwa gadis
itu berwatak genit.
Cepat-cepat Kun Hong menjura. "Tidak usah....... tidak usah, aku tidak dapat tinggal lama,
Nona. Malah tadi aku sudah berpamit kepada ayahmu, aku harus segera pergi melanjutkan
perjalananku."
"Ah, mana bisa begitu? Sinshe, kau harus menerima pernyataan terima kasih kami,
terutama dari aku sendiri yang amat berterima kasih karena kau telah menyembuhkan
ayah. Mari, mari kuantar kau, Sinshe. Biar kutuntun tongkatmu."
Pada saat Kun Hong berdiri bingung menghadapi desakan gadis yang "nekat" ini, tiba-tiba
semua orang terkejut melihat datangnya seorang di antara mereka yang berlari-lari dalam
keadaan luka parah.
"Musuh........... musuh........... telah menyerbu ...........!" katanya dan dia roboh
terguling. Keadaan menjadi panik di situ, semua orang berlari-lari untuk melakukan
persiapan menyambut serbuan musuh.
Lauw Teng tidak perdulikan anaknya lagi, dia sibuk memberi perintah dan mengatur anak
buahnya dan enam puluh orang lebih banyaknya itu untuk melakukan penjagaan di sana-
sini. Hanya tosu itu yang kelihatan tenang-tenang saja.
"Lauw-sicu, jangan gugup. Biarlah kita menanti kedatangan mereka di sini, hendak pinto
lihat apakah orang she Bhe itu mempunyai tiga kepala dan enam lengan?"
Sementara itu, tiba-tiba Kun Hong merasa betapa telapak tangan yang halus telah
memegang tangannya dan terdengar bisikan gadis itu, "Sinshe, mari kita bersembunyi ke
sudut sana sambil menonton. Biar kuceritakan kepadamu nanti jalannya pertandingan,
sebentar lagi akan terjadi pertempuran hebat."
Sedianya Kun Hong akan menolak dan pergi. Akan tetapi karena dia amat tertarik ingin
mengetahui apakah sebenarnya yang telah terjadi dan siapakah pula musuh Hui-houw-pang
ini, pula dia ingin seberapa bisa mencegah terjadinya pertempuran dan bunuh-membunuh,
maka dia diam saja dan menurut ketika gadis itu menuntunnya pergi dari situ. Malah dia
mengharapkan untuk mendapatkan keterangan dari gadis ini tentang sebab-sebab
permusuhan.
Karena semua orang sedang sibuk mengatur penjagaan, Swat-ji mengajak Kun Hong duduk
di atas bangku panjang yang tersembunyi di sudut ruangan muka. Gadis itu tetap
menggandeng tangan Kun Hong dan baru setelah mereka duduk di atas bangku, Kun Hong
menarik tangannya dan bertanya,
"Nona, ada apakah ribut-ribut ini? Siapa yang menyerbu dan mengapa terjadi permusuhan?"
Gadis itu tertawa merdu dan genit. "Ah, biasa saja berebutan mangsa! Akan tetapi kali ini
yang diperebutkan adalah barang yang amat berharga sehingga ayah membelanya mati-
matian. Mereka yang datang menyerbu adalah orang-orang Kiang-liong-pang (Perkumpulan
Naga Sungai)."
"Kiang-liong-pang? Perkumpulan apakah itu dan perkumpulan ayahmu yang bernama Hui-
houw-pang ini pun perkumpulan apakah sebetulnya?"
"Iihh, kiranya kau tidak tahu apa-apa! Hui-houw-pang amat terkenal di Propinsi Santung,
setidaknya tidak kalah terkenal dengan Kiang-liong-pang. Semua perampok di wilayah ini
tunduk kepada Hui-houw-pang, dan ayah merupakan penarik pajak jalan yang paling adil di
dunia ini."
"Apa itu pekerjaan penarik pajak jalan? Kau maksudkan perampok?"
"Sebaliknya dari perampok! Anggauta-anggauta kami menjaga jalan-jalan sunyi di gunung
dan hutan, dan sama sekali tidak merampok rombongan pedagang atau pelancong yang
lewat, karena itu mereka harus memberi pajak jalan kepada kami. Bukankah itu adil? Kalau
mereka memberi pajak jalan, mereka takkan diganggu."
Kun Hong mengangguk-angguk, dalam hati dia mencela. Apa bedanya pemerasan dengan
perampokan?
"Adapun Kiang-liong-pang adalah perkumpulan para bajak air atau bajak sungai yang
menguasai semua bajak di Yang-ce dan Huang-ho sampai ke muara. Memang seringkali
terjadi perebutan kekuasaan antara darat dan sungai ini dan memang orang-orang Kiang-
liong-pang amat kurang ajar. Belum lama ini kami terpaksa menyita rombongan bekas
pembesar yang mengundurkan diri karena pembesar sombong itu tidak mau membayar
pajak jalan. Pertempuran terjadi dan kami berhasil melukai pembesar itu dan membunuh
orang-orangnya. Akan tetapi, tiba-tiba muncul orang-orang Kiang-liong-pang yang segera,
turun tangan pula, menyatakan bahwa pembesar itu sedang menawar perahu dan
karenanya menjadi mangsa mereka. Terjadi perang lebih hebat lagi memperebutkan harta
pusaka yang ternyata amat banyak. Banyak orang kami luka-luka termasuk ayah yang kau
obati tadi. Akan tetapi barang-barang pusaka yang paling berharga dapat kami bawa
pulang, di antaranya sebuah mahkota emas penuh permata yang tak ternilai harganya,
mahkota yang dibawa oleh bekas pembesar itu dari istana. Kabarnya itu adalah bekas
mahkota yang dipakai oleh permaisuri kaisar di jaman Kerajaan Tang dahulu."
Muak rasa hati Kun Hong mendengar penuturan ini. Tidak salah dugaannya yang
mengecewakan hatinya tadi bahwa baik perkumpulan Hui-houw-pang maupun lawannya,
yaitu Kiang-liong-pang, adalah perkumpulan golongan hitam. Kiranya mereka adalah
perampok-perampok yang sekarang sedang bertengkar dengan para bajak!
"Sebenarnya, biarpun saling bersaingan, kalau hanya untuk urusan harta benda biasa saja
tak mungkin kedua fihak sampai bertempur." gadis itu melanjutkan penuturannya. "Akan
tetapi untuk mahkota ini kami tidak mau mengalah begitu saja."
"Apakah karena terlalu berharga?" Kun Hong tertarik.
"Bukan, tapi karena mahkota itu dapat menjadi jalan agar kami dapat mendekati kaisar
baru, mengambil hatinya dan memperoleh kedudukan tinggi dalam kerajaan. Kabarnya
kaisar muda yang baru ini amat mudah diambil hatinya."
"Kaisar baru? Kaisar muda? Apa maksudmu?!" Kun Hong menahan gelora hatinya mendengar
kata-kata ini.
"Iihhh, kau benar-benar buta!" Gadis itu tertawa.
"Memang aku buta, siapa pernah membantah?" Kun Hong terpaksa melayani kelakar ini agar
si gadis suka melanjutkan ceritanya yang mulai menarik hatinya.
Dengan lagak genit Swat-ji mencubit lengan Kun Hong. "Kau memang buta, tapi kau
tampan dan pandai ....... eh, aku suka padamu, kau lucu ......."
Tentu saja Kun Hong tidak mau melayani kegenitan gadis itu, tapi dia pun tidak
mencelanya, hanya berkata halus. "Nona, aku ingin sekali mendengar penjelasanmu
tentang kaisar baru tadi."
"Kau benar-benar belum mendengarnya? Kaisar tua sudah meninggal tiga bulan yang lalu,
dan sekarang di kota raja terjadi keributan dalam menentukan siapa yang akan
menggantinya. Akan tetapi sudah tentu calon kaisar adalah Pangeran Kian Bun Ti, cucu
kaisar yang tercinta, sebagai anak dari pangeran sulung yang telah tiada. Nah, kau tahu
sekarang dan tentang mahkota itu, sebetulnya telah dilarikan oleh bekas pembesar dari
kota raja yang agaknya mempergunakan saat kota raja ribut-ribut, lalu lari membawa
mahkota kuno yang tak ternilai harganya itu. Sekarang mahkota itu berada di tangan kami,
dan tentu akan membawa ayah ke depan kaisar untuk menerima anugerah dan
kedudukan."
Diam-diam Kun Hong kaget juga. Selama tiga tahun ini dia merantau tidak pernah
memperhatikan persoalan dunia.
Kiranya Kaisar Thai-cu, yaitu pendiri Kerajaan Beng, seorang pahlawan yang sejak dahulu
sering dipuji-puji ayahnya, kini telah meninggal dunia dan singgasana kerajaan agaknya
dijadikan bahan perebutan oleh para pangeran. Mengingat bahwa Pangeran Kian Bun Ti
dicalonkan menjadi kaisar diam-diam Kun Hong menarik napas panjang. Dia sudah pernah
bertemu dengan pangeran ini (baca cerita Rajawali Emas), dan dia sudah mengenal watak
yang kurang baik dari pangeran itu yang dahulu tidak segan-segan untuk mencoba memaksa
dua orang keponakannya, yaitu Thio Hui Cu dan Kui Li Eng, untuk menjadi selir-selirnya!
Tiba-tiba dia sadar dari lamunannya ketika kembali lengannya dicubit dan suara gadis itu
terkekeh,
"Hi-hik, kenapa kau termenung setelah mendengar tentang kaisar? Apakah kau ingin
menjadi kaisar? Hi-hi-hi, alangkah lucu dan bagusnya, kaisar buta! Sinshe yang baik, kau
tidak usah melamun menjadi kaisar, biarlah kau menjadi tabib kami saja di sini, malam
nanti kau boleh memijati tubuhku yang lelah. Kau pandai memijatkan?" Gadis itu
menggeser duduknya, merapatkan tubuhnya yang hangat itu kepada Kun Hong.
Kun Hong tidak memperdulikan hal ini karena pikirannya sedang bekerja keras. Telinganya
sudah dapat menangkap derap kaki orang banyak menuju ke tempat itu. Berdebar dia
kalau teringat betapa sebentar lagi akan terjadi pertempuran, bunuh-membunuh di depan
matanya yang buta.
"Nona, sebentar lagi musuh-musuhmu menyerbu, melihat betapa ayahmu dan anak buahnya
terluka, tentu musuh itu amat kuat. Apakah kau tidak takut?"
"Ihh, mengapa takut? Dengan pedangku aku mampu menjaga diri. Malah aku ingin
mencobai kelihaian jahanam tua she Bhe itu dengan pedangku!"
"Tapi ....... tapi mereka datang untuk mahkota itu. Bagaimana kalau mereka menyerbu ke
rumah ayahmu dan merampas mahkota? Kupikir, mahkota itu harus disembunyikan dulu
......."
"Ah, kau pintar juga!" Tangan yang halus itu mengusap dagu Kun Hong, membuat pemuda
buta ini merasa dingin di belakang punggungnya. "Tapi ayah dan aku lebih pintar. Mahkota
itu tak pernah terpisah dari tubuhku." kata-kata ini dibisikkan di dekat telinga Kun Hong
sehingga pemuda buta ini dapat merasa betapa napas Swat-ji panas-panas meniup pipinya.
Cepat laksana kilat Kun Hong menggerakkan tangannya dan tahulah dia pada detik lain
bahwa mahkota yang dimaksudkan itu berada dalam buntalan yang digendong oleh gadis
ini.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan nyaring dan Kun Hong mendengar suara kaki
beberapa orang yang menggunakan ilmu meringankan tubuh memasuki ruangan depan
tempat Swat-ji berbisik, "Mereka sudah datang, Bhe Ham Ko sendiri yang memimpin ......."
Gadis inipun tidak berani main-main lagi sekarang, ia mengalihkan perhatiannya dari tabib
buta yang menarik hatinya itu kepada para musuh yang telah berada di situ. Yang kelihatan
berada di luar halaman saja sedikitnya ada dua puluh orang Kiang-liong-pang.
Adapun yang sudah meloncat memasuki pekarangan adalah seorang tua tinggi kurus yang
memegang sebatang dayung kuningan. Swat-ji menduga bahwa tentu inilah orangnya yang
bernama Bhe Ham Ko, ketua dari Kiang-liong-pang yang telah melukai ayahnya. Di samping
kakek ini berdiri lima orang laki-laki tinggi besar yang menilik pakaiannya tentulah tokoh-
tokoh dalam perkumpulan bajak itu. Di belakang mereka, berdiri acuh tak acuh, tampak
seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam, berusia empat puluh tahun lebih. Berbeda
dengan Bhe Ham Ko dan lima orang pembantunya yang berdiri dengan senjata di tangan,
laki-laki ini membiarkan ruyung bajanya tergantung di pinggang dan tidak memperlihatkan
muka yang serius, malah menengok ke sana ke mari seperti seorang pelancong melihat-
lihat pemandangan indah.
"Hui-houw-pangcu Lauw Teng, kami dewan pengurus Kiang-liong-pang sudah datang
mengunjungimu. Keluarlah agar kita dapat merundingkan perkara sampai beres!" kakek she
Bhe itu mengeluarkan suaranya. "Kamipun membawa obat dan ahli untuk menyembuhkan
luka-luka para sahabat dari Hui-houw-pang!"
Jelas terdengar dalam suara ini bahwa ketua Kiang-liong-pang ini mengandung ancaman
dan bujukan. Membujuk untuk berbaik di samping mengingatkan bahwa pertempuran hanya
akan mendatangkan kerusakan dan kerugian pada fihak Hui-houw-pang!
"Kiang-liong-pangcu Bhe Ham Ko, luka-luka yang kecil tiada artinya itu tidak perlu
dibicarakan. Kami sudah siap menanti kedatanganmu!" Muncullah Lauw Teng diiringi tujuh
orang pembantunya dengan langkah gagah dan senjata siap ditangan kanan!
Berubah wajah Bhe Ham Ko melihat bekas lawannya itu kelihatan sehat benar, malah para
pembantunya yang tadinya terkena pukulannya yang mengandung hawa beracun kini sudah
muncul dalam keadaan sehat! Akan tetapi keheranannya lenyap ketika dia melirik dan
melihat seorang tosu berjalan keluar dari samping. Dia tertawa bergelak sambil mengelus
jenggotnya yang tipis.
"Ha-ha-ha, kiranya Lauw-pangcu mendapat bantuan orang pandai. Pantas saja tidak
membutuhkan obat-obatan dari kami lagi. Ataukah engkau hendak mempelajari kitab To-
tik-keng bersama anak buahmu, memang pantas kalau gedung ini diubah menjadi kuil."
Inilah ucapan menghina dan menyindir karena fihak Hui-houw-pang terdapat seorang tosu
tua.
Merah wajah Lauw Teng, juga dia menjadi heran sekali. Biasanya, seperti yang dia ketahui,
ketua Kiang-liong-pang ini adalah seorang yang amat hati-hati dan bukan seorang kasar
yang sembrono. Kenapa hari ini menjadi begini sombong, berani sekali menghinanya dan
malah berani mengejek Ban Kwan Tojin? Tentu ada sebabnya, pikirnya dan ketika dia
melihat sikap acuh tak acuh dari orang tinggi besar muka hitam di belakang rombongan
ketua Kiang-liong-pang itu, dapatlah dia menduga bahwa tentu orang itu yang dijadikan
andalan.
"Bhe-pangcu, tak perlu banyak bicara lagi kiranya. Kita sudah lama tahu apa maksudmu
datang mengunjungiku pada saat ini, lengkap dengan anak buah dan senjata. Nah,
keluarkan isi hatimu. Bagi kami, tetap kami tidak akan suka mengalah, oleh karena kami
merasa bahwa pembesar she Tan itu adalah mangsa kami di daratan. Barang-barang
bekalnya yang terampas oleh kami menjadi hak kami dan tak seekor setanpun boleh
mengambilnya begitu saja dari tangan kami!"
Bhe Ham Ko tertawa menyeringai dan menggerak-gerakkan dayungnya. "Aku tahu akan
kekerasan hati Lauw-pangcu, tahu pula bahwa benda pusaka itu kau kukuhi bukan karena
harganya, melainkan karena pentingnya guna membuka pintu kota raja. Bukankah begitu?"
Kembali wajah Lauw Teng menjadi merah. "Apapun yang akan kulakukan dengan benda
hakku itu, bukan menjadi urusanmu, Bhe-pangcu. Dan kiranya ....... setiap orang berhak
untuk mencari kemajuan dalam hidupnya ......." Dia merasa segan dan sungkan untuk
bicara terus terang dengan hasratnya mencari kedudukan di kota raja.
"Jadi kau berkukuh hendak memiliki mahkota pusaka kerajaan itu?" Bhe Ham Ko
membentak.
"Memang! Dan kami akan mempertahankannya dengan senjata kami!" jawab Lauw Teng
berani. Ketua Hui-houw-pang ini tentu saja menjadi besar hatinya karena dia
mengandalkan bantuan Ban Kwan Tojin dan tiga orang gagah lain yang menjadi tamu
undangannya, yang sekarangpun telah memasuki pekarangan dan berdiri dengan sikap
gagah di dekat Ban Kwan Tojin.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tua bangka she Bhe jangan menjual lagak di sini!"
Bayangan merah berkelebat dan ternyata Swat-ji sudah melompat ke depan rombongan
lawan dengan pedang di tangan, sikapnya gagah.
"Swat-ji.......!" Lauw Teng menegur kaget, bukan melihat puterinya hendak menentang
lawan, melainkan kaget karena tidak melihat buntalan di pungung Swat-ji, buntalan
mahkota yang sengaja dia suruh bawa anak gadisnya yang dia tahu memiliki ilmu pedang
yang cukup tinggi. Dalam hal ilmu silat, puteri ini tidak kalah lihai daripadanya sendiri.
"Ayah, biarkan aku mengusir anjjng tua ini agar jangan banyak menjual lagak di sini." Gadis
yang galak ini segera menggerakkan pedangnya menyerang Bhe Ham Ko.
Ketua Kiang-liong-pang tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, bapaknya harimau liar anaknyapun
sama juga. Biarlah aku orang tua menjinakkan macan betina liar ini!" Dengan tenang orang
she Bhe ini menggerakkan dayungnya menangkis, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan
tenaga Iweekangnya untuk membuat pedang gadis itu terlempar dengan sekali tangkis.
Swat-ji tidak bodoh. Tentu saja ia sudah mendengar tentang tenaga Iwee-kang yang
tangguh dari kakek ini, maka dengan gerakan pergelangan tangannya ia menyelewengkan
pedangnya menghindarkan benturan senjata lawan lalu dengan cepat dari samping
pedangnya mengirim tusukan miring ke arah lambung.
"Aiiih, tidak jelek .......!" Bhe Ham Ko berseru dan cepat melompat mundur sambil
mengelebatkan dayungnya yang menyambar dari atas ke arah kepala Swat-ji. Namun gadis
itu dengan gerakan yang lincah dapat pula mengelak sambil meneruskan dengan serangan
berantai. Gerakannya memang cepat dan agaknya dengan kecepatan ini ia hendak
mencapai kemenangan. Pedangnya menyambar-nyambar dan sama sekali ia tidak memberi
kesempatan kepada lawannya untuk membentur senjatanya.
"Bagus! Lauw-pangcu, kepandaian anakmu bagus juga!" Bhe Ham Ko berseru dan terpaksa
kakek ini memutar dayungnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya daripada hujan
tusukan dan bacokan.
Dengan menggunakan ketajaman pendengarannya Kun Hong dapat menduga bahwa biarpun
Swat-ji memiliki gerakan yang amat cepat, namun ia takkan menang menghadapi lawannya
yang memiliki gerakan antep, bertenaga, dan tenang itu. Dia mengerutkan keningnya.
Pertandingan besar-besaran dan mati-matian tentu takkan dapat dicegah lagi. Sebetulnya
dia boleh tak usah ambil perduli karena kedua fihak yang akan bertanding bunuh-
membunuh adalah golongan hitam atau Orang-orang yang mempunyai pekerjaan merampok
dan membunuh. Mereka adalah orang-orang jahat. Akan tetapi, pemuda buta ini merasa
tidak tega untuk membiarkan sesama manusia saling bunuh, hanya untuk memperebutkan
sebuah benda mati yang oleh Swat-ji dititipkan kepadanya dan kini berada di buntalan
pakaiannya itu. Alangkah bodohnya manusia. Untuk mencari harta atau kedudukan, rela
mengorbankan nyawa, malah tega untuk membunuh sesama manusia. Kun Hong berpikir
keras, mencari akal untuk mencegah permusuhan antara kedua golongan itu.
Akan tetapi, baru saja dia bangkit berdiri untuk mencegah menghebatnya perkelahian,
mendadak di sana-sini terdengar seruan heran dan marah. Sesosok bayangan hitam
berkelebat dan tahu-tahu dayung di tangan Bhe Ham Ko terpental ke belakang, sedangkan
Swat-ji terhuyung-huyung. Ketika mereka memandang, di situ telah berdiri seorang gadis
cantik jelita masih muda sekali, berpakaian serba hitam yang ringkas dan sikapnya gagah,
sepasang matanya yang jeli memandang ke kanan-kiri. Alisnya yang hitam panjang itu
berkerut, mulut yang kecil dengan bibir merah segar membayangkan kekerasan hati dan
keangkuhan.
Dengan sekali gerakan saja dapat mengundurkan Bhe Ham Ko dan Swat-ji, dapat
dibayangkan bahwa gadis jelita ini memiliki kepandaian yang hebat. Swat-ji yang
terhuyung-huyung itu amat marah, akan tetapi sebelum ia sempat mengembalikan
keseimbangan tubuhnya, bagaikan seekor burung walet, gadis baju hitam itu bergerak,
tubuhnya menyambar dan tahu-tahu Swat-ji merasa dirinya diangkat ke atas. Kiranya
tengkuknya telah dicengkeram oleh gadis itu dan betapapun ia berusaha melepaskan diri,
ia tidak mampu bergerak, bahkan pedang yang masih dipegangnya itu tak dapat pula ia
gerakkan seakan-akan seluruh tubuhnya menjadi lumpuh!
"Kaum kotor dari Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang dengarlah! Hari ini nonamu datang
untuk mengambil mahkota pusaka, kalian tidak boleh ribut-ribut lagi dan harus mengalah
kepada nonamu!"
Sikap yang amat sombong ini menimbulkan kemarahan, juga kegelian. Apalagi Lauw Teng
yang melihat anaknya ditangkap seperti itu, kemarahannya memuncak dan dia
membentak,
"Gadis liar dari mana datang mengacau? Kau siapa berani membuka mulut besar di sini?"
Gadis muda itu tersenyum mengejek. Manis sekali ia kalau tersenyum sehingga banyak di
antara para anak buah kedua fihak itu terpesona melihat cahaya gigi gemerlapan di balik
bibir yang merah dan berbentuk indah itu.
"Kau ketua dari Hui-houw-pang, tak perlu banyak cakap. Aku tahu bahwa mahkota berada
di tanganmu, lekas serahkan kepada nonamu, kalau tidak, akan kubanting hancur anak
perempuanmu yang tak tahu malu ini!"
Hemmm, kiranya bocah ini hendak memaksaku dengan menangkap anakku, pikir Lauw Teng
yang segera menjawab dengan tersenyum mengejek. "Boleh kau banting anak tiada guna
itu, mana bisa aku memberikan mahkota pusaka kepadamu? Gadis liar, lebih baik lekas
mengaku kau siapa dan siapa menyuruhmu datang mencampuri urusan kami?"
Gadis pakaian hitam itu nampak kecewa, lalu melemparkan tubuh Swat-ji sambil
mengomel, "Gadis sialan, sampai ayah sendiri tidak sayang kepadamu!" Swat-ji terlempar
dan jatuh bergulingan, tapi ia cepat melompat lagi dengan mata berapi-api dan muka
merah sekali. Kalau saja ia tidak ingat bahwa tingkat kepandaian gadis baju hitam itu jauh
lebih tinggi darinya, tentu akan diserangnya mati-matian, bukan main marahnya pada saat
itu.
"Pangcu dari Hui-houw-pang, juga kalian orang-orang Kiang-liong-pang. Kalian mau tahu
siapa nonamu ini? Dunia kang-ouw menyebutku Bi-yan-cu (Si Walet Jelita). Nama aseliku
tak perlu kuberitahu, kalian kurang berharga untuk mengenalnya. Ayahku adalah Sin-kiam-
eng Tan Beng Kui."
Ketika nona muda itu memperkenalkan julukannya, para penjahat itu saling pandang
sambil tersenyum-senyum karena memang nama itu tidak terkenal. Akan tetapi ketika
gadis itu menyebut nama Sin-kiam-eng Tan Beng Kui sebagai ayahnya, berubah wajah
mereka. Bahkan kedua pangcu itu dan para tamu undangan nampak kaget sekali. Sin-kiam-
eng Tan Beng Kui memang jarang muncul di dunia Kang-ouw, namun namanya dikenal
sebagal seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, yang sekarang hidup sebagai seorang "raja
kecil" di pantai Laut Pohai, di lembah muara Sungai Kuning. Karena kepandaiannya yang
tinggi tak seorang pun bajak laut atau perampok berani mengganggu perkampungan raja
kecil ini. Sekarang tahu-tahu seorang gadis jelita yang datang ini mengaku sebagai
puteranya dan bermaksud merampas mahkota pusaka yang sedang diperebutkan oleh
golongan itu.
Swat-ji yang masih merasa penasaran, ketika mendengar ini segera tahu bahwa gadis yang
dibencinya itu tentu akan dimusuhi oleh kedua fihak, maka keberaniannya timbul kembali.
Baginya yang belum banyak merantau, ia tidak mengenal siapa itu Sin-kiam-eng (Pendekar
Pedang Sakti) Tan Beng Kui.
"Budak liar jangan menjual lagak di sini!" Swat-ji memaki dan cepat menyerbu dengan
pedangnya, dari belakang langsung menyerang gadis yang berjuluk Bi-yan-cu itu.
Si Walet Jelita, gadis yang cantik itu, mengeluarkan suara mengejek dan ketika tubuhnya
bergerak dengan amat indahnya ternyata ia telah dapat mengelak tanpa mengubah
kedudukan kakinya dan selagi pedang lawannya menyambar lewat, tangan kirinya
mendorong. Tak dapat tertahankah lagi tubuh Swat-ji terdorong ke depan, apalagi dari
belakang ditambah sebuah tendangan ke tubuh belakang yang mengeluarkan bunyi "plok!"
membuat tubuh Swat-ji terperosok ke depan, pedangnya mencelat dan hidungnya yang
mencium tanah dengan keras itu mengeluarkan darah.
"Tangkap gadis liar ini!" terdengar Hui-houw-pangcu Lauw Teng memberi aba-aba.
"Bunuh saja dia!" terdengar ketua Kiang-liong-pang berseru. Dua fihak yang tadinya
bermusuhan, untuk sementara melupakan permusuhan mereka dan tanpa berunding sudah
bersekutu untuk mengalahkan gadis berbahaya itu.
Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat mengikuti semua peristiwa itu.
Hatinya berdebar ketika dia mendengar pengakuan gadis yang baru datang itu. Nama Tan
Beng Kui tentu saja dikenalnya baik sungguhpun belum pernah dia bertemu muka dengan
orangnya. Dia sudah banyak mendengar dari ayah bundanya tentang Tan Beng Kui karena
orang ini dahulu juga seorang pejuang gagah, murid pertama dari Raja Pedang Cia Hui Gan.
Bukan itu saja, malah Tan Beng Kui ini adalah kakak kandung dari Tan Beng San yang
sekarang menjadi ketua Thai-san-pai. Kun Hong amat kagum dan takluk kepada Tan Beng
San, orang yang amat dia hormati karena kegagahannya, apalagi kalau dia ingat bahwa Tan
Beng San adalah ayah dari mendiang kekasihnya, Tan Cui Bi, Malah boleh dibilang dia
adalah murid langsung dari Tan Beng San Si Raja Pedang itu, yang ketika dia menjadi buta,
telah membisikkan rahasia dari Ilmu Sakti Im-yang-sin-kun-hoat (Baca cerita Raja Pedang
dan Rajawali Emas).
Sekarang gadis yang mengaku berjuluk Bi-yan-cu Si Walet Jelita ini, yang bukan lain adalah
keponakan dari Tan Beng San, berada di sini dan terancam bahaya pengeroyokan dua fihak
yang tadinya bertentangan. Angin gerakan gadis itu tadi membuktikan bahwa ia
berkepandaian tinggi, tentu telah mewarisi Ilmu Silat Sian-li-kun-hoat dari ayahnya. Akan
tetapi menghadapi pengeroyokan demikian banyaknya orang, tentu berbahaya juga.
Seorang gadis yang menurut suaranya takkan lebih dari delapan belas tahun usianya itu
mana boleh mati dikeroyok, juga amat tidak baik kalau mengamuk dan menjadi pembunuh
puluhan orang manusia. Dia harus segera turun tangan, demikian Kun Hong mengambil
keputusan.
Sudah terdengar olehnya suara senjata beradu disusul pekik kesakitan banyak orang. Ah,
jelas bahwa gadis lihai itu tentu sudah mengamuk, pikirnya. Cepat Kun Hong melompat
berdiri, tongkatnya siap di tangan kanan dan tangan kirinya mengeluarkan mahkota itu,
diangkatnya tinggi-tinggi lalu dia berseru nyaring,
"Heeii, kalian semua berhentilah bertempur dan lihat apa yang berada di tanganku ini!!"
Karena ketika berseru ini Kun Hong mengerahkan sedikit tenaga khikang dari dalam
perutnya, tentu saja suaranya nyaring sekali mengatasi semua kegaduhan dan mendadak
semua pertempuran berhenti ketika mereka melihat benda emas mengkilap terhias
permata berkilauan berada di tangan kiri pemuda buta itu.
"Mahkota pusaka .......!" terdengar teriakan di sana-sini.
"Kalian bertempur untuk memperebutkan benda ini, bukan? Benar-benar kalian tak tahu
malu. Benda ini bukanlah milik kalian, terang bahwa benda ini dirampok dari tangan
seorang pembesar. Sungguh tak baik kalian. Rakyat sudah cukup penderitaannya, kalian
orang-orang kuat dan memiliki kepandaian, mengapa justeru mempergunakan kekuatan itu
untuk menambah kekacauan dan memperberat penderitaan rakyat? Sekarang benda ini
sudah berada di tanganku, hendak kukembalikan kepada yang berhak. Siapa saja tidak
boleh merampas benda ini dan kalian tidak perlu saling bermusuhan lagi!"
Semua orang itu berdiri melongo. Siapa yang takkan terheran-heran menyaksikan aksi
orang buta itu? Dan akhirnya meledaklah suara ketawa saking geli di samping marah dan
mendongkol. Yang paling marah dan mendongkol adalah Lauw Teng. Dia marah sekali
kepada puterinya. Benda itu dia suruh simpan atau bawa puterinya agar tidak diketahui
orang, siapa duga oleh puterinya dititipkan kepada sinshe buta ini.
"Kwa-sinshe, apakah ....... apakah kau sudah gila?" bentaknya marah.
Yang lebih dulu bergerak adalah Swat-ji. Gadis ini kaget dan takut sekali akan kemarahan
ayahnya ketika melihat orang buta itu begitu saja memperlihatkan mahkota kepada semua
orang. Ia cepat meloncat ke depan dengan hidung masih berdarah, menyambar dengan
tangannya untuk merampas mahkota itu dari tangan Kun Hong.
"Sinshe, kau kembalikan titipanku!" katanya. Akan tetapi aneh sekali, sambarannya tidak
mengenai sasaran sehingga ia terhuyung-huyung ke depan. Ia membalik dan dengan suara
merayu ia membujuk, "Sinshe yang baik, kau kembalikan benda itu kepadaku."
"Nona Lauw mahkota ini bukan milikmu, menyesal sekali tak dapat kuberikan kepada
siapapun juga."
Swat-ji marah dan menyerbu untuk merampas mahkota, namun tiba-tiba ia terjungkal dan
untuk kedua kalinya ia mencium tanah. Kini hidung yang tadinya berdarah, berubah
menjadi bengkak.
"Aduh ......." ia mengeluh, "kau ....... keterlaluan....... kau kejam. Tadi kau begitu baik
....... sinshe, bukankah malam nanti kau mau memijati badanku? Kenapa sekarang
merampas mahkota?"
Kembali beberapa orang tertawa mendengar ini dan muka Kun Hong yang berkulit putih itu
menjadi kemerahan. "Nona, jangan keluarkan omongan bukan-bukan!, Seharusnya sebagai
seorang gadis kau tidak bertingkah seperti ini ......."
Tapi pada saat itu Lauw Teng sudah menerjang maju, tangan kanan menghantam dada Kun
Hong sedangkan tangan kiri berusaha merampas mahkota sambil berseru.
"Sinshe buta, kiranya kau hendak mengacau!"
Seperti halnya Swat-ji, pukulan ini tidak mengenai sasaran, juga mahkota tidak terampas,
sebaliknya entah mengapa dan cara bagaimana, tahu-tahu tubuh ketua Hui-houw-pang itu
terjungkal ke bawah! Inilah hebat! Ketua Hui-houw-pang ini terkenal seorang yang cukup
kosen, berkepandaian tinggi. Bagaimana ketika menyerang sinshe muda buta itu seperti
tersandung batu kakinya dan terjungkal begitu mudah? Orang-orang tidak ada yang dapat
mengikuti gerakan Kun Hong dan bagi mereka seakan-akan pemuda buta itu tidak bergerak
apa-apa kecuali mengangkat mahkota itu tinggi-tinggi seperti takut dirampas! Hanya
beberapa orang saja yang menjadi tertegun dan berubah air mukanya. Mereka ini adalah
Lauw Teng sendiri, ketua Kiang-liong-pang, Bhe Ham Ko, tosu dan Kwan Tojin, laki-laki
tinggi besar muka hitam, beberapa orang tamu undangan Lauw Teng, dan juga, nona baju
hitam yang baru datang. Mereka itu melihat betapa ketua Hui-houw-pang tadi roboh oleh
gerakan tangan yang perlahan dan hampir tidak kelihatan dari sinshe buta itu! Keadaan
menjadi gempar dan kini segala kemarahan dan perhatian ditumpahkan semua kepada si
buta! Lupalah semua orang akan urusan yang tadi, lupa akan pertengkaran antara Hui-
houw-pang dan Kiang-liong-pang, lupa pula akan si nona baju hitam yang tadinya hendak
mereka keroyok. Sekarang mahkota berada di tangan sinshe buta, tentu saja dia inilah
yang menjadi sasaran. Dan hal ini tepat seperti yang dikehendaki oleh Kun Hong.
Setelah menyaksikan betapa dengan aneh Lauw Teng roboh sendiri ketika hendak
merampas mahkota, orang-orang tidak berani bertindak sembrono. Mereka memandang
orang buta itu dengan heran dan ragu-ragu apa yang harus mereka lakukan. Kun Hong juga
berdiri tak bergerak, siap untuk membela diri dari setiap serangan.
Seorang anggauta Kiang-liong-pang maju perlahan. Tangan kanannya memegang sebuah
ruyung besi yang berat, Sejak tadi dia mengincar Kun Hong dan dia tidak percaya kalau
tidak mampu menjatuhkan si buta ini. Apa sih sukarnya mengalahkan orang buta? Sekali
pukul beres. Agaknya si buta ini pandai silat, pikirnya, maka harus digunakan akal. Dengan
amat hati-hati dia melangkah terus maju sampai dekat sekali dengan Kun Hong, dalam
jarak satu meter. Pemuda itu tetap tidak, bergerak seakan-akan tidak tahu bahwa dia,
didekati lawan dari depan yang kini sudah menggeletar seluruh urat di tubuhnya untuk
menghantamnya. Tanpa mengeluarkan kata-kata, orang itu kini mengangkat ruyungnya
tinggi-tinggi, menghimpun tenaga lalu "wherrrr!" ruyungnya menimpa ke arah kepala Kun
Hong yang agaknya akan pecah berantakan tertimpa ruyung besi yang berat itu. Seperti
tadi, tanpa menggeser kakinya Kun Hong miringkan kepala dan sekali jari tangannya
bergerak, lawan itu jatuh tersungkur, mengaduh-aduh kesakitan karena ruyungnya
mencium kepalanya sendiri sampai benjol sebesar telur angsa.
Seorang anak buah Hui-houw-pang dari belakang Kun Hong berindap-indap menghampiri
dengan tombak runcing di tangan. Setelah dekat tiba-tiba dia menusuk.
Tombak menusuk angin, terdengar suara keras, tombak patah menjadi tiga dan orang itu
terlempar ke belakang.
Sekarang barulah semua orang tahu atau menduga bahwa si buta itu kiranya bukanlah
seorang sembarangan, melainkan seorang yang memiliki kepandaian luar biasa! Akan tetapi
karena dialah yang kini memegang mahkota yang amat diinginkan itu, semua orang kini
mulai mendekat dengan sikap mengancam.
Dengan kepala dimiringkan Kun Hong dapat mendengar betapa orang-orang itu mendekat
dan mengepungnya, malah yang mengurungnya kini bukanlah orang-orang biasa seperti tadi
telah menyerangnya. Agakhya tokoh-tokoh penting dari kedua fihak mulai hendak turun
tangan secara mengeroyoknya, juga dari sebelah kirinya dia tahu bahwa gadis yang
berjuluk Bi-yan-cu itupun hendak menyerbu dan merampas mahkota. Kun Hong memegang
tongkatnya erat-erat di tangan kanannya.
Dia tidak menanti lama. Segera didengarnya angin menyambar, angin senjata yang
menyerang dari kanan-kiri, depan dan belakang. Cepat dia menggerakkan tongkatnya dan
terdengar suara "cring-cring-cring" berulang-ulang disusul dengan suara gaduh dan jerit
kesakitan. Orang-orang yang belum ikut menyerbu memandang dengan mata terbelalak
keheranan. Mereka tadi melihat orang-orang pilihan dari kedua fihak menyerbu dan hanya
tampak kilat berkelebatan, tapi........... tahu-tahu banyak pedang, golok dan tombak
beterbangan dalam keadaan patah menjadi dua sedangkan lima orang sekaligus roboh
bergulingan, menjerit-jerit karena tangan atau lengan mereka berdarah, luka tergores
benda tajam! Hebatnya, ketika mereka melihat lagi ke arah sasaran, si buta itu masih
berdiri seperti biasa, dengan tangan kiri memegang mahkota tinggi dan tangan kanan
membawa tongkat!
"Minggir ...........!" Bentakan ini keluar dari mulut ketua Kiang-liong-pang dan kakek ini
dengan dayungnya menerjang hebat.
Lauw Teng yang tidak ingin melihat ketua fihak saingan ini dapat merampas mahkota,
cepat mencabut golok besarnya dan hampir berbarengan menyerbu pula ke depan.
Gerakannya ini diikuti oleh Ban Kwan Tojin yang sudah mencabut sepasang pedangnya
karena tosu ini yang berpemandangan tajam sudah mengetahui bahwa pemuda buta ini
bukan orang sembarangan dan memiliki kepandaian yang hebat. Apalagi kalau diingat
keterangan pemuda ini yang mengaku sebagai murid Toat-beng Yok-mo, tentu saja patut
miliki ilmu silat yang luar biasa.
Sementara itu, gadis baju hitam berjuluk Bi-yan-cu, semenjak tadi menahan senjatanya. Ia
seorang gadis yang mewarisi ilmu kepandaian tinggi, pandang matanya awas dan tajam.
Melihat gerak-gerik si buta ini, jantungnya berdebar. Segera ia dapat mengenal dasar-dasar
gerakan yang aneh dan luar biasa, dasar ilmu silat yang sakti. Oleh karena itu, biarpun ia
ikut mendekat, namun ia tidak berani sembrono melakukan penyerangan. Ia masih belum
tahu apa kehendak orang buta yang aneh itu, tidak tahu apakah dia itu kawan atau lawan
dan apa pula yang hendak dilakukan dengan perampasan mahkota itu. Akan tetapi melihat
si buta menentang dua perkumpulan penjahat sekaligus, di dalam hati gadis itu sudah
menganggap Kun Hong sebagai kawan. Maka ia bersikap waspada, pedang di tangan untuk
siap membantu si buta kalau-kalau terancam bahaya pengeroyokan puluhan orang
banyaknya itu.
Dalam waktu hampir bersamaan pelbagai senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan
terlatih itu menyambar ke arah tubuh Kun Hong. Yang terdahulu sekali adalah dayung di
tangan Bhe Ham Ko yang menyambar ke arah kepalanya, mengeluarkan suara mengiung
saking kerasnya. Dayung ini menyambar dari kanan ke kiri. Lalu disusul berkelebatnya
golok besar di tangan Lauw Teng. Sambaran golok ini mengarah leher, juga cepat dan
bertenaga sehingga mengeluarkan suara mendesing. Kemudian sepasang pedang di tangan
Ban Kwan Tojin pembantu Lauw Teng itu pun meluncur datang, yang kiri menusuk lambung
yang kanan menyerampang kaki. Gerakan ini dilakukan oleh tosu itu dengan menekuk
lutut, cepat dan berbahaya sekali datangnya pedang, hampir tak dapat diikuti pandangan
mata.
Diam-diam gadis jelita baju hitam mengeluarkan keringat dingin. Ia harus mengaku bahwa
tiga orang ini bukanlah merupakan lawan yang lunak dan andaikata ia sendiri yang diserang
secara berbareng seperti itu, hanya dengan meloncat jauh mengandalkan ginkang (ilmu
meringankan tubuh) saja agaknya akan dapat menyelamatkan dirinya. Akan tetapi orang
buta itu tidak kelihatan bergerak sama sekali, masih berdiri tegak dengan tangan kiri yang
memegang mahkota diangkat tinggi sedangkan tangan kanan memegangi tongkat melintang
di depan dada.
Akan tetapi tiba-tiba kelihatan sinar merah berkilat menyambar-nyambar, merupakan
gulungan sinar merah yang menyilaukan mata, disusul suara nyaring berdencingnya senjata
tajam saling bertemu dan........... tiga orang pengeroyok ini berseru kaget dan masing-
masing melompat mundur sampai tiga meter lebih.
Ketika semua orang yang tadi menjadi silau matanya oleh sinar merah yang bergulung-
gulung itu kini dapat memandang penuh perhatian, mereka melihat bahwa Bhe Ham Ko
bengong memandang dayungnya yang sudah patah menjadi dua potongan kecil di kedua
tangannya, Lauw Teng melongo menatap tangan kanannya yang hanya memegangi gagang
golok sedangkan Ban Kwan Tojin merah mukanya karena pedangnya yang kanan terbang
entah ke mana sedangkan yang kiri sudah semplok (patah) ujungnya!
Apabila semua orang memandang kepada pemuda buta itu, ternyata si buta ini masih saja
berdiri seperti tadi dengan tangan kiri tinggi-tinggi di atas kepala memegang mahkota
emas sedangkan tangan kanan masih memegang tongkat melintang! Apakah pemuda buta
ini main sihir? Demikian para anak buah kedua perkumpulan penjahat itu bertanya-tanya
dan merasa bingung, juga kaget, heran dan gentar. Akan tetapi tentu saja dugaan ini tidak
betul dan para pengeroyok tadi, juga si gadis baju hitam tahu belaka betapa secara hebat
pemuda buta itu tadi menggerakkan tongkatnya yang butut dan tampaklah sinar merah
bergulung-gulung yang menangkis dan merusak semua senjata itu. Yang membikin heran
mereka adalah kehebatan tongkat itu yang demikian ampuhnya sehingga dapat
mematahkan senjata-senjata tajam dan berat. Bukankah tongkat itu hanya tongkat kayu
belaka?
Tentu saja tidak demikian keadaan yang sesungguhnya. Biarpun hanya tongkat kayu, akan
tetapi di sebelah dalamnya adalah pedang Ang-hong-kiam, pedang pusaka yang ampuh
sekali. Apalagi digerakkan oleh tangan yang memiliki tenaga dan kepandaian sakti seperti
Kun Hong, sudah tentu para kepala penjahat itu bukanlah tandingannya!
Kun Hong tersenyum dan berkata, "Mahkota sudah berada di tanganku, akan kukembalikan
kepada yang berhak. Kalian tidak usah saling bermusuhan dan bunuh-membunuh. Lebih
tidak baik lagi kalau kalian meneruskan pekerjaan kalian yang hina dan kotor ini, pasti
kelak tidak akan membawa kalian kepada keselamatan hidup. Sudahlah, aku akan pergi
......."
Setelah berkata demikian dengan langkah perlahan pemuda buta itu berjalan maju
mendahului kedua kakinya dengan tongkat yang dipakai meraba-raba ke depan. Karena dia
buta, tentu saja dia tidak tahu bahwa dia telah salah mengambil jurusan sehingga dia
bukan hendak meninggalkan tempat itu, melainkan dia menuju ke arah kelompok pohon-
pohon besar yang memenuhi hutan kecil di lereng bukit. Kun Hong agak bingung ketika
tongkatnya bertemu dengan batang-batang pohon, dia meraba-raba dan berjalan di antara
pohon-pohon. Ketika dia melangkah maju, dia tidak melihat bahwa di atasnya ada sebuah
cabang pohon yang tergantung rendah. Tahu-tahu kepalanya tertumbuk kepada batang
pohon ini. Kagetnya bukan main karena kalau yang memukul kepala itu adalah serangan
lawan, tentu dia dapat mendengar angin pukulannya. Cepat dia miringkan kepala, akan
tetapi tak dapat dia mencegah keluarnya "telur kecil" menyendul di dahinya yang mencium
batang pohon tadi!
Semua orang yang berada di situ saling pandang dan tak terasa lagi muka tiga orang tokoh
yang keheranan tadi berubah menjadi merah sekali. Orang buta macam begitu saja tak
mampu mereka robohkan! Malah dalam satu kali gebrakan saja mereka telah kehilangan
senjata! Padahal si buta itu mencari jalanpun tidak becus!
"Serang dia!" Hampir berbareng Lauw Teng dan Bhe Ham Ko berseru. Ributlah para anak
buah bajak dan rampok berlari maju, menghujani tubuh Kun Hong dengan serbuan senjata
mereka. Akan tetapi kini Kun Hong tidak mau memberi hati lagi. Dia tadi turun tangan
dengan maksud untuk mencegah mereka saling bunuh dan sengaja dia menimpakan rasa
permusuhan mereka kepada dirinya karena dia yakin bahwa dia mampu menjaga diri
sendiri. Melihat dirinya dikepung dan diserbu, dia menggerakkan tongkatnya ke arah suara
senjata yang menyerangnyai Sinar merah bergulung-gulung dan segera terdengar suara
senjata beradu bertubi-tubi, disusul pekik kesakitan dan tampaklah senjata-senjata para
pengeroyok itu beterbangan seperti daun-daun kering rontok tertiup angin. Kali ini Kun
Hong sengaja menujukan tongkatnya kepada tangan-tangan yang memegang senjata
sehingga dalam sekejap mata saja belasan pengeroyok sudah terluka tangan mereka, luka
berdarah yang biarpun tidak membahayakan keselamatan mereka, namun cukup parah
sehingga membuat mereka tak berdaya dan tak dapat mengeroyok pula.
Serbuan gelombang ke dua juga mengakibatkan belasan orang pengeroyok lain mundur dan
memegangi tangan yang terluka, malah kali ini tidak ketinggalan tangan Lauw Teng, Bhe
Ham Ko dan tosu Ban Kwan Tojin juga terluka!
Melihat kehebatan pemuda buta ini, para pengeroyok menjadi gentar juga, apalagi ketika
Kun Hong yang kini berdiri tegak menghadapi mereka itu berkata, suaranya nyaring dan
penuh pengaruh,
"Jangan kira bahwa aku tidak mampu mengubah luka pada tangan dengan tabasan pada
leher atau tusukan pada ulu hati. Hemmm, orang-orang sesat, apakah kalian masih ingin
merampas mahkota ini yang bukan menjadi hak milik kalian? Sadarlah bahwa perbuatan
busuk takkan mendatangkan kebahagiaan dan keselamatan!"
Semua orang kini memandang betapa si buta itu melanjutkan perjalanannya, hati-hati
sekali berjalan didahului rabaan tongkatnya, malah kini agak membungkuk-bungkuk karena
takut kalau-kalau kepalanya bertumbukan dengan dahan pohon yang rendah lagi.
"Sinshe buta, berhenti kau!" tiba-tiba orang tinggi besar muka hitam yang tadi datang
bersama Bhe Ham Ko melompat ke depan dan menghadang di depan Kun Hong. Mendengar
angin lompatan ini, Kun Hong maklum bahwa orang yang baru datang menyusulnya ini
memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada tiga orang pengeroyoknya tadi.
"Sahabat siapakah dan ada keperluan apa menahanku?"
"Kau tinggalkan mahkota itu dan aku masih akan mengampuni perbuatanmu mengacau di
sini dan menghina kakak iparku, Kiang-liong-pangcu!"
"Hemm, kau siapakah berani bicara sesombong ini?" Kun Hong bertanya.
"Buka telingamu baik-baik. Tuan besarmu ini adalah Tiat-jin (Si Tangan Besi) Souw Ki,
seorang di antara tujuh pengawal kaisar. Mahkota itu adalah benda pusaka di dalam istana
yang dicuri dan dibawa lari oleh bekas pembesar Tan Hok yang berhenti dan mengundurkan
diri. Siapa yang merampas mahkota ini berarti dialah pencurinya dan patut dihukum
sebagai pengkhianat atau pemberontak. Nah, kau serahkan benda itu kepadaku!"
Fihak Hui-houw-pang terkejut sekali mendengar pengakuan orang tinggi besar ini dan
mereka, terutama Lauw Teng, memandang penuh perhatian. Kun Hong sendiri juga
terkejut. Tak disangkanya dia akan bertemu kembali dengan seorang di antara tujuh
pengawal Pangeran Mahkota Kian Bun Ti yang sekarang sudah menjadi calon kaisar karena
kematian kaisar tua, dan dengan sendirinya tujuh orang pengawalnya itu akan naik pangkat
menjadi pengawal kaisar pula. Setelah mendengar namanya, baru dia mengenal kembali
suara orang ini. Agaknya Tiat-jiu Souw Ki sendiri lupa kepadanya dan tidak mengenalnya.
Hal ini tidak aneh pula karena dia sudah menjadi buta dan di puncak Thai-san tiga tahun
yang lalu, ketika Tiat-jiu Souw Ki dan enam orang temannya datang pula mengacau, Kun
Hong belum buta (baca Rajawali Emas). Lebih besar lagi keheranan dan kekagetannya
ketika dia mendengar dari mulut pengawal itu bahwa pembesar yang telah dirampok, yang
katanya mengambil dan melarikan mahkota ini dari istana, bukan lain adalah Tan-taijin
yang merupakan kakak angkat dari Tan Beng San!
"Tidak boleh orang merampas dari tanganku," kata Kun Hong tenang dan suaranya keras.
"Kalau kalian tadinya merampas benda ini dari pembesar she Tan itu, aku harus
mengembalikan kepadanya juga."
"Keparat, berani kau melawan pengawal kaisar?" Tiat-jiu Souw Ki membentak dan tanpa
menanti jawaban Kun Hong dia sudah mengirim pukulan dengan tangan kanannya yang
disertai hawa pukulan dan tenaga dalam yang membuat kepalannya itu sekeras besi.
Memang Souw Ki ini waktu mudanya melatih tangannya dengan bubuk besi sehingga kini dia
memiliki Ilmu Tiat-see-ciang (Pukulan Pasir Besi) yang membuat kepalannya seperti besi
kerasnya dan karena ini pula dia mendapat julukan Tiat-jiu (Si Tangan Besi).
Sambaran pukulan tangan ini sudah cukup untuk diketahui Kun Hong tentang keahlian
lawan. Namun dia tidak gentar, malah mengempit tongkatnya dan menggunakan tangan
dan memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak tangannya.
"Dukkk!" Kepalan yang besar dan keras itu bertemu dengan telapak tangan Kun Hong yang
putih dan halus seperti tangan wanita. Akibatnya luar biasa sekali. Souw Ki marasa betapa
kepalannya seperti bertemu dengan kapas, seakan-akan tenaganya tenggelam ke dalam air
dan sebelum dia sempat menarik tangannya, dari telapak tangan itu timbul hawa panas
yang membakar tangannya. Tubuhnya menggigil, dia jatuh berlutut dan lengan tangannya
serasa lumpuh. Kagetnya bukan main dan cepat dia menarik tangannya sambil
mengerahkan tenaga. Kun Hong melepaskan dan betapa kaget hati Souw Ki melihat
kepalan tangannya membengkak dan mulailah terasa nyeri menusuk-nusuk. Dia melompat
mundur dan menyeringai kesakitan.
"Tanganmu tidak apa-apa, besok akan lenyap rasa nyerinya." kata Kun Hong. "Salahmu
sendiri menggunakan tenaga beracun dan kini hawa pukulan menyerang tanganmu sendiri."
Setelah berkata demikian, Kun Hong melanjutkan langkahnya. Tak seorang pun akan
mencoba untuk menyerang lagi sekarang, setelah melihat betapa semua serangan dapat
dipatahkan sekali gebrak saja oleh pemuda buta. Melihat si buta itu berjalan dengan
tongkat di depan, kelihatannya begitu lemah, begitu tak berdaya, akan tetapi hampir
seratus orang banyaknya itu tidak dapat menghalanginya membawa pergi mahkota itu,
benar-benar amat mengherankan! Orang-orang itu hanya mengikutinya dari jauh tak
seorangpun mengeluarkan suara.
Diam-diam gadis jelita baju hitam itupun mengikuti dari jauh. Ia makin kagum kepada Kun
Hong, dan ia dapat melihat sikap para penjahat itu yang agaknya tidak akan mengalah
begitu saja. Siapakah pemuda buta ini? Lihai bukan main, dari mana datangnya. dan apa
maksud sebenarnya membawa pergi mahkota kuno? Demikian bermacam pikiran mengaduk
di hati Bi-yan-cu. Sengaja ia menyelinap di antara pepohonan dan menghilang dari
pandangan mata orang banyak, lalu diam-diam ia mengikuti semua kejadian atas diri Kun
Hong.
Setelah Kun Hong menembus hutan kecil penuh pepohonan itu, barulah si gadis jelita kaget
sekali dan maklum apa yang diharapkan oleh para penjahat itu. Kiranya, tanpa
diketahuinya, orang buta itu salah jalan, menuju ke sebuah tebing yang buntu karena
berujung jurang yang amat curam dan luas, tak mungkin dilalui manusia! Tanpa
diketahuinya, si buta itu berjalan perlahan-lahan, tongkatnya meraba-raba menuju ke
pinggir jurang, sedangkan di belakangnya, hampir seratus orang dari kedua perkumpulan
penjahat itu mengikutinya, siap dengan senjata di tangan malah ada yang sudah
mementang busur!
Melihat betapa orang buta itu menghadapi bahaya maut yang hebat, Bi-yan-cu ingin
berteriak memberi peringatan. Akan tetapi ia menahan hatinya. Mengapa ia harus berbuat
demikian? Ia tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan si buta, kecuali bahwa mahkota
itu berada pada si buta dan harus ia rampas. Si buta itu boleh mampus di tangan penjahat-
penjahat ini, apa sangkut pautnya dengannya? Pula, orang buta itu masih muda dan
tampan sekali, kalau ia seorang gadis tanpa alasan membelanya, bukankah orang akan
menyangka yang bukan-bukan terhadap dirinya? Apalagi kalau diingat betapa si buta tadi
demikian dekat dan baik dengan gadis pesolek genit anak Lauw Teng, dapat diduga bahwa
orang buta itu pun bukan orang baik-baik biarpun kepandaiannya benar-benar amat lihai.
Biarlah mereka saling gempur, dan ia mencari kesempatan baik merampas mahkota itu.
Inilah siasat membiarkan anjing-anjing merebutkan daging sambil menanti kesempatan
untuk menyambar daging itu!
Ketika akhirnya tongkatnya meraba tempat kosong, Kun Hong juga merasa kaget sekali.
Diraba-rabanya sekali lagi ke depan, kanan kiri sama saja. Jelas bahwa tongkatnya memang
meraba tempat kosong. Dia berjongkok, mencoba untuk mengukur dalamnya "lobang" di
depannya itu, siapa tahu hanya sungai kecil. Tapi, biarpun dia sudah mengulur lengan dan
tongkatnya, masih juga belum menyentuh dasarnya. Dan dia tidak mendengar suara air
sungai. Kemudian dia mundur dan melangkah dua tindak ke belakang, keningnya berkerut.
Telinganya mendengar suara burung jauh di bawah ketika dia berjongkok tadi. Tahulah dia
sekarang bahwa di depannya adalah jurang yang sangat curam, bahwa di "bawah" sana itu
adalah kaki gunung, dusun-dusun dan pohon-pohon di mana burung-burung beterbangan!
"Kwan-sinshe, kau masih tidak mau menyerahkan mahkota itu?" tiba-tiba dia mendengar
suara bentakan di belakangnya, suara Lauw Teng, juga dia mendengar kaki puluhan orang
banyaknya, bergerak berindap-indap ke arahnya dari belakang, kanan dan kiri. Dia maklum
bahwa dirinya sudah terkurung dari kanan kiri belakang oleh para lawannya, dari depan
dihalangi jurang yang tak mungkin dilalui. Dia membalik, tersenyum dan menjawab,
"Pangcu, kalau mahkota ini terjatuh ke dalam tanganmu, tentu orang-orang Kiang-liong-
pang takkan diam begitu saja dan akan merampasnya dari tanganmu, sebaliknya kalau
kuberikan kepada ketua Kiang-liong-pang, tentu kau dan anak buahmu juga tidak akan mau
menerima begitu saja. Karena itu, biarlah tetap di tanganku dan kalian tidak usah saling
bermusuhan." Kun Hong melangkah maju, ingin segera menjauhi pinggir jurang karena hal
ini amat berbahaya baginya.
Akan tetapi atas dorongan ketua kedua perkumpulan, para bajak dan perampok segera
menyerbu, didahului melayangnya puluhan batang anak panah ke arah Kun Hong! Pemuda
buta itu cepat memutar tongkatnya dan anak-anak panah itu runtuh semua, ada yang
melejit dan meluncur kembali menyerang tuannya sendiri. Biarpun Kun Hong dihujani anak
panah, namun tak sebuah pun dapat menyentuhnya. Tongkat yang dia gerakkan merupakan
perisai yang amat tangguh, juga gerakannya mengandung hawa sakti yang amat kuat
sehingga anginnya saja cukup untuk mengusir pergi anak panah yang mendekatinya.
Akan tetapi puluhan orang itu mendesak maju, kini menggunakan toya, tombak dan
scnjata-senjata panjang lain. Kun Hong menangkis, mematahkan banyak tombak dan toya,
merobohkan banyak pengeroyok dengan melukai mereka tanpa membahayakan
keselamatan nyawa. Karena menghadapi pengeroyokan berat, dia terpaksa harus bergerak
ke sana ke mari, mulai menendang untuk membantu tongkatnya. Dia tidak gentar
menghadapi pengeroyokan orang-orang yang baginya bukan merupakan lawan yang tangguh
itu... akan tetapi karena para penjahat itu mengeroyoknya sambil berteriak, hal ini amat,
membingungkan Kun Hong. Harus diketahui bahwa pemuda buta ini dalam setiap
pertempuran mengandalkan telinganya. Kini orang-orang itu mengeluarkan teriakan-
teriakan gaduh, tentu saja pendengarannya menjadi kacau-balau dan dia tak dapat
menangkap desir angin sambaran senjata lagi. Dalam keadaan begini terpaksa Kun Hong
hanya mainkan tongkat melindungi dirinya saja, dan terpaksa dia menggunakan kakinya
untuk menendang dan merobohkan lawan, karena untuk merobohkan lawan dengan
tongkatnya, dia khawatir kalau-kalau akan menewaskannya.
Mendadak di antara para pengeroyok itu ada yang mengeluarkan tambang panjang,
dipegang melintang dan dipasang di depan Kun Hong yang masih sibuk menghadapi
pengeroyokan. Secara tiba-tiba tambang ditarik dan dipergunakan untuk membetot kaki
orang buta itu. Kun Hong kaget dan cepat melompat ke sana ke mari. Akan tetapi
celakalah dia kalau sampai jatuh karena libatan tambang, Orang-orang yang
mengeroyoknya bersorak dan pengeroyokan menjadi makin ketat.
"Manusia-manusia curang!" Bi-yan-cu tak dapat menahan kemarahannya lagi dan sesosok
bayangan hitam berkelebat didahului sinar pedang yang menyilaukan mata. Pekik kesakitan
susul-menyusul, dan beberapa orang penjahat roboh oleh pedang si gadis yang ampuh.
"Heee........... jangan...........!" Kun Hong berteriak mendengar jeritan-jeritan itu, akan
tetapi pada saat itu dia lupa dan melompat agak jauh. Celaka baginya, dia justeru
melompat ke arah jurang, tepat di pinggirnya, kakinya terpeleset dan tanpa dapat dicegah
lagi tubuhnya terguling ke dalam jurang.
Para bajak dan perampok bersorak-sorai dan mereka kini membalik untuk mengeroyok
gadis jelita baju hitam yang mengamuk seperti seekor naga betina.
Sebetulnya, ketua dari dua perkumpulan penjahat itu tidak ada nafsu untuk mengeroyok
Bi-yan-cu, karena selain mereka tidak suka bermusuhan dengan puteri Sin-kiam-eng Tan
Beng Kui si raja kecil dari pantai Po-hai, juga mahkota kuno yang diperebutkan berada di
tangan si buta yang kini sudah terjungkal ke dalam jurang. Perlu apa ribut-ribut dengan
gadis liar itu? Akan tetapi, keadaannya lain sekarang. Bukan mereka yang sengaja
mengeroyok, adalah Bi-yan-cu yang sengaja mengamuk! Entah bagaimana, melihat betapa
pemuda buta itu dikeroyok sampai terjungkal ke dalam jurang, gadis ini menjadi marah
sekali dan mengamuk seperti ayam betina diganggu anaknya.
Karena amukan gadis ini merobohkan banyak anak buah bajak dan perampok, dua orang
ketua itu bersama para pembantunya menjadi marah dan mereka lalu menyerbu dan
dikeroyoklah Bi-yan-cu oleh banyak orang kosen. Ilmu pedang gadis itu benar-benar hebat,
tepat seperti yang diduga oleh Kun Hong tadi. Gerakannya lincah dan lemas, seperti sedang
menari-nari dengan indahnya, namun setiap gerakan pedang pasti mematahkan senjata
lawan atau melukainya.
Betapapun juga, menghadapi pengeroyokan Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Bhe Ham Ko, lima
orang tamu undangan termasuk Tiat-jiu Souw Ki yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi
juga, gadis ini mulai terdesak. Ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Ilmu Pedang Sian-li-kiam-
sut (Ilmu Pedang Bidadari) memang dapat menyelamatkan dirinya. Gerakannya masih tetap
lincah dan indah, akan tetapi lewat seratus jurus, ia mulai lelah.
"Ha-ha-ha, gadis liar, apakah engkau masih hendak mengamuk lagi? Hemmmm, melihat
muka ayahmu, asal kau melepaskan pedang dan berlutut minta maaf, biarlah kulepaskan
kau!" kata Lauw Teng yang bagaimanapun juga masih merasa khawatir kalau-kalau dia
menimbulkan bibit permusuhan dengan raja kecil pantai Po-hai yang amat terkenal itu.
"Lebih baik mampus daripada minta maaf kepada penjahat-penjahat keji macam kalian!"
sambil memutar pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu berubah menjadi gundukan
sinar kemilauan, gadis itu memaki. "Manusia-manusia curang, kalau memang gagah jangan
main keroyokan!"
Sekali gulungan sinar pedang itu menyambar ke kiri, seorang pengeroyok menjerit dan
pundaknya terbabat pedang. Baiknya ia masih sempat melempar diri ke belakang sehingga
hanya kulit dan bagian daging pundaknya saja yang sapat oleh pedang. Namun cukup
mendatangkan rasa perih dan nyeri bukan main sehingga ia melompat mundur sambil
merintih-rintih. Lagi terdengar jeritan keras ketika pedang Bi-yan-cu yang dikelebatkan ke
belakangnya berhasil merobek kulit dan daging paha seorang pengeroyok lain, malah dalam
detik berikutnya pedang itu sudah menusuk ke arah leher Bhe Ham Ko dengan kecepatan
kilat. Orang she Bhe ini berseru kaget dan tak kuasa untuk menangkis atau mengelak lagi,
sudah meramkan mata menanti datangnya maut.
"Tranggg!" Ruyung di tangan Tiat-jiu Souw Ki menangkis pedang yang akan merenggut
nyawa kakak isterinya itu. Ujung ruyungnya terbabat putus akan tetapi gadis itu sendiri
terhuyung mundur, tangannya terasa sakit. Ia maklum bahwa tenaga Iweekang dari Si
Tangan Besi itu benar-benar kuat sekali. Sebelum ia dapat mengambil kedudukannya, ia
telah diserang gencar oleh senjata-senjata lawan secara bertubi-tubi.
Sekali putar pedangnya dapat menangkis semua senjata, dan ruyung yang sudah
menghantam pinggangnya telah ia tangkis dengan sebuah tendangan keras menggunakan
tumit kakinya. Pada saat itu, golok dan pedang lawan yang lain sudah menggempurnya, Bi-
yan-cu menggoyang pedangnya, tapi agaknya para pengeroyoknya yang terdiri dari orang-
orang pandai ini sudah bersepakat untuk mengalahkannya. Dari kanan kiri datang golok dan
pedang yang menjepit pedangnya. Bi-yan-cu kaget, mengerahkan tenaga untuk menarik
pulang pedangnya. Namun pada saat itu, sebatang pedang lain menyerampang kakinya.
Cepat ia meloncat ke atas dan tak dapat dicegah lagi ia harus menerima hantaman dayung
yang datang dari kanan, menggunakan pangkal lengan kanannya.
"Bukkk!" Hantaman itu membuat tubuhnya tergetar tangan kanannya lumpuh kaku dan
terpaksa ia melepaskan pedangnya untuk dapat meloncat ke atas, lalu membalik ke
belakang dan keluar dari kepungan.
"Hayo berlutut minta ampun kalau tidak mau mampus!" sekali lagi Hui-houw-pangcu Lauw
Teng membentaknya.
Gadis itu berdiri dengan tegak, matanya berapi-api, kepalanya dikedikkan dan mulutnya
tersenyum mengejek. Ia adalah puteri seorang gagah perkasa dan semenjak kecil ia sudah
digembleng tentang kegagahan. Mati bukan apa-apa bagi Bi-yan-cu. Sambil mengeluarkan
pekik nyaring gadis ini malah menerjang maju dengan tangan kosong, menggunakan
kepalan tangan dan tendangan kaki!
Para pengeroyoknya yang sudah menjadi marah itu menyambutnya dengan hujan bacokan.
"Cring-cring-cring ...........!" Sinar merah berkelebat dan senjata-senjata para pengeroyok
itu berpelantingan. Semua orang mundur penuh keheranan dan ........ kiranya si buta
sudah berada di situ. Si buta inilah yang tadi menangkis semua senjata itu, menolong
nyawa Bi-yan-cu. Dan tangan kiri yang diangkat tinggi-tinggi itu masih memegang mahkota
yang diperebutkan!
Ketika Kun Hong menginjak pinggir jurang yang mengakibatkan dia terperosok dan
terguling ke dalam jurang, pemuda ini tidak kehilangan akal. Dengan menahan napas dia
mengerahkan seluruh kekuatan ginkangnya, memutar tongkatnya menusuk-nusuk ke kanan
kiri. Akhirnya usahanya berhasil. Sebelum terlalu dalam dia terjatuh, ujung tongkat yang
ditusukkan telah menancap dinding jurang yang merupakan tanah keras.
Dia bergantung di situ. Mahkota itu dia selipkan dalam buntalan di punggungnya, lalu
tangan kirinya meraba-raba. Begitu mendapat pegangan, yaitu batu yang menonjol pada
dinding itu, dia mencabut pedang, menggunakan tangan kiri menarik tubuh ke atas dan
menancapkan pedangnya di sebelah atas. Demikianlah, biarpun lambat akhirnya dia
berhasil merambat ke atas kembali dan meloncat ke luar dari jurang yang merupakan
mulut maut yang akan menelannya. Dan tepat sekali dia masih keburu menyelamatkan Bi-
yan-cu dari bahaya maut di tangan para penjahat.
Lauw Teng dan kawan-kawannya melihat munculnya si buta ini menjadi kaget dan khawatir
sekali. Akan tetapi Tiat-jiu Souw Ki yang berpikiran cepat dan cerdik segera berkata,
"Tawan dulu gadis liar ini!" Dia mendahului menubruk ke arah Bi-yan-cu, disusul kawan-
kawannya. Gadis itu tadinya merasa heran, kaget dan juga girang melihat Kun Hong,
sekarang dengan cepat ia berusaha untuk melawan. Akan tetapi karena lengan kanannya
terasa kaku dan lumpuh, sia-sia saja ia melawan dan dapatlah ia diringkus dan diikat kaki
tangannya.
"Sinshe buta, jangan bergerak atau........... gadis ini akan kami bunuh lebih dulu!" teriak
Tiat-jiu Souw Ki dengan suara nyaring sambil menempelkan ruyungnya pada kepala Bi-yan-
cu.
Lemas seluruh tubuh Kun Hong mendengar ini. Karena matanya sudah buta, ilmu silatnya
hanya dapat dia pergunakan untuk menjaga diri, yaitu dia dapat menghadapi tiap serangan
dan sekalian merobohkan lawannya. Akan tetapi untuk menyerang orang, sungguh sukar
baginya, apalagi untuk menolong gadis yang dikeroyok itu. Tadi dia masih dapat
menggerakkan tongkat untuk menghalau semua senjata mengandalkan pendengarannya
terhadap angin pukulan senjata itu, sekarang tak mungkin dia secara mengawur dapat
mengamuk. Pula, bukan maksudnya untuk menyerang orang kalau dia sendiri tidak
diganggu. Maka sejenak dia menjadi bingung, tak tahu dengan cara bagaimana dia dapat
menolong puteri dari Sin-kiam-eng Tan Beng Kui.
"Sudahlah," akhirnya dia berkata dengan suara rendah. "Kalian menghendaki mahkota butut
ini? Nah, kalian boleh menerimanya asal gadis itu dibebaskan."
Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Souw Ki, dan Bhe Ham Ko saling pandang. Lalu Tiat-jiu Souw
Ki mewakili mereka semua bersuara,
"Sinshe buta, kami baru mau membebaskan gadis ini kalau kau suka menyerah menjadi
tawanan kami dan menyerahkan mahkota itu."
Kun Hong mengerutkan kening. Tentu saja berbahaya baginya kalau dia sampai menyerah
dan menjadi tawanan orang-orang kejam ini. Besar kemungkinan dia akan dibunuh mati.
Sebaliknya, kalau tidak menyerah dan mengamuk, sungguhpun dia mampu mengalahkan
mereka, namun gadis puteri Tan Beng Kui itupun terancam keselamatan nyawanya. Gadis
yang menurut suaranya baru belasan tahun usianya itu benar-benar amat sayang kalau
harus mati, apalagi ia puteri Tan Beng Kui, atau lebih tepat lagi, ia apalagi kemenakan Tan
Beng San Taihiap! Berbeda dengan dia, seorang buta yang tidak berharga, baik jiwa
maupun raganya. Mati baginya hanya berarti mempercepat persatuan kembali dengan
mendiang Tan Cui Bi, kekasihnya, matahari hidupnya!
"Baiklah, aku menyerah. Kalian bebaskan gadis itu!" katanya sambil menarik napas
panjang.
"Ha-ha, pengemis buta! Jangan kira kami begitu bodoh. Kau harus menyerah untuk
dibelenggu kedua tanganmu!" Bhe Ham Ko tertawa mengejek.
Kun Hong tersenyum masam, menahan kemarahannya, lalu mengulurkan kedua lengan
disejajarkan ke depan. "Boleh, kalian belenggulah." Seorang anak buah Kiang-liong-pang
yang diberi isyarat oleh ketuanya lalu melangkah maju, membawa tambang kulit kerbau
yang kuat sekali.
"Jangan mau menyerah! Kau akan dibunuh oleh penjahat-penjahat jahanam ini!" tiba-tiba
Bi-yan-cu berseru nyaring.
Kun Hong menggelengkan kepala. "Lebih baik aku yang dibunuh, apa sih artinya orang
seperti aku? Hayo, kalian belenggulah aku, tapi lepaskan dulu gadis itu!"
"Kau harus dibelanggu lebih dulu!" Kata Bhe Ham Ko. Tentu saja dia tidak menghendaki si
buta ini kemudian tidak memegang janjinya setelah si gadis dibebaskan.
"Hah, kalian tidak percaya kepadaku. Hemmm, sebaliknya bagaimana aku dapat percaya
kepada kalian?"
"Jangan mau diperdayai!" kembali gadis itu mencela nyaring. "Kalau mereka berani
menggangguku, ayah akan datang menghancurkan jiwa anjing mereka, tidak seekor pun
akan diampuni!"
Kun Hong tidak membantah ketika anak buah bajak itu membelenggu kedua pergelangan
tangannya dengan tali kulit yang amat kuat itu, Juga mahkota itu diambil dari buntalannya
dan diserahkan orang kepada Souw Ki yang lalu tertawa bergelak.
"Lepaskan gadis liar itu," kata Souw Ki. "Jangan sampai dunia kang-ouw mengatakan kita
tidak memegang janji. Nona, katakan kepada ayahmu bahwa bukan sekali-kali kami hendak
memusuhinya, akan tetapi karena kau sendiri yang memusuhi kami, terpaksa kami
bertindak. Kau harus tahu bahwa aku adalah pengawal kaisar dan karena benda ini adalah
milik istana, sudah menjadi kewajibanku untuk mengambilnya kembali."
Nona itu dibebaskan. Ia meloncat berdiri akan tetapi terhuyung-huyung. Kakinya terasa
kaku dan tangan kanannya tak dapat digerakkan, agaknya ada tulang yang patah. Ia pergi
menjemput pedangnya yang menggeletak di atas tanah, memegangnya dengan tangan kiri,
dipegangnya erat-erat sambil menggigit bibir. Ingin ia mengamuk dan membunuh semua
penjahat ini untuk merampas mahkota dan menolong si buta, akan tetapi ia tidak begitu
bodoh dan tahu-pula bahwa usahanya ini akan sia-sia dan hanya akan mengorbankan nyawa
dengan sia-sia belaka. Andaikata belum terluka lengan kanannya tentu ia takkan menyerah
mentah-mentah.
Ia berdiri seperti patung melihat betapa ujung belenggu yang masih panjang ditarik orang
dan si buta itu diseret seperti orang menuntun kerbau saja. Beberapa kali Kun Hong
tersandung batu dan terhuyung-huyung akan jatuh, ditertawai oleh anak buah bajak dan
rampok. Tanpa menggunakan tongkatnya untuk meraba jalan di depan kakinya, tentu saja
dia tak dapat berjalan dengan baik, tidak melihat adanya batu-batu yang menghalang
kedua kakinya, apalagi diseret seperti itu. Tongkat itu masih dipegangnya, akan tetapi
tidak dapat digunakan karena kedua tangannya harus diangkat agak tinggi ketika diseret.
"Kenapa .......... kenapa kau lakukan ini...........?" gadis itu berteriak, menahan isak.
Kun Hong mendengar ini, biarpun teriakan itu sebetulnya hanya nyaring di dalam hati gadis
itu, yang keluar dari bibirnya keluhan perlahan. Dia menengok dan tersenyum, berkata,
"Nona, mengingat pamanmu, Tan Beng San taihiap, aku rela melakukan ini..........."
Sementara itu, kesibukan nampak pada para pimpinan kedua perkumpulan yang tadinya
saling bermusuhan tapi sekarang telah berbaik kembali.
"Souw-ciangkun, dalam merampas kembali mahkota dari tangan bekas pembesar Tan, kami
pun mempunyai jasa, jangan lupakan ini!" terdengar Lauw Teng berkata.
Tiat-jiu Souw Ki tertawa. "Jangan khawatir, Lauw-pangcu. Aku akan membawa kembali
mahkota ini ke kota raja dan di depan sri baginda kaisar pasti akan kulaporkan tentang jasa
Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang. Tunggu saja, tak lama kalian semua akan
memperoleh anugerah dari kaisar."
Para anak buah bajak dan rampok bersorak gembira. Souw Ki lalu memilih sepuluh orang
dari Hui-houw-pang dan sepuluh orang lagi dari Kiang-liong-pang untuk mengawalnya ke
kota raja. Malah Ban Kwan Tojin yang hendak berpesiar ke kota raja pun menyertai
rombongan ini. Hui-houw-pang yang merasa berterima kasih bahwa adik ipar dari bekas
musuhnya ini ternyata tidak memusuhinya cepat menyediakan dua puluh dua ekor kuda
yang kuat-kuat untuk rombongan itu.
Berangkatlah dua puluh dua orang itu naik kuda. Anak buah yang berkuda paling belakang
memegang ujung tali belenggu tangan Kun Hong. Begitu kuda bergerak, tubuh Kun Hong
tersentak ke depan dan terpaksa pemuda buta ini lari pontang-panting, meloncat-loncat
agar jangan tersandung batu, dengan kedua tangan diacungkan ke depan. Dia terhuyung-
huyung ke depan dan agaknya penglihatan ini amat lucu bagi kedua golongan hitam
buktinya mereka tertawa bergelak-gelak dengan geli.
Bi-yan-cu menyelinap pergi di antara pepohonan, tangan kiri yang menggenggam gagang
pedang diusapkan ke depan muka untuk menghapus air mata yang berderai jatuh ke atas
kedua pipinya.
***
Tiat-jiu Souw Ki memang seorang yang amat cerdik. Ketika mendengar bahwa pemuda buta
ini pandai ilmu pengobatan, timbul niat hatinya untuk memaksa pemuda itu ikut ke kota
raja agar dapat dipergunakan kepandaiannya itu. Tentang kepandaiannya ilmu silat yang
demikian hebatnya, ah, tak usah dikhawatirkan karena betapapun pandainya seorang buta
tentu mudah ditipu.
Biarpun kuda-kuda itu berlari tidak terlalu cepat, namun keadaan Kun Hong yang diseret-
seret cukup sengsara. Berkali-kali dia terperosok ke dalam lubang di tanah, atau
tersandung batu sehingga dia terjungkal ke depan dan terseret oleh kuda. Baiknya pemuda
ini memang memiliki ginkang yang tinggi dan tubuhnya sudah memiliki hawa murni yang
membuat kulitnya kebal sehingga biarpun tampaknya dia tersiksa sedemikian hebatnya,
namun sesungguhnya dia tidak sampai menderita nyeri dan tidak terluka sama sekali. Tadi
memang dia menyerahkan diri untuk menggantikan gadis itu, dan dia sengaja menurut saja
diseret-seret sampai beberapa jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada gadis itu
pergi menjauhkan diri. Selain itu, juga lebih mudah baginya untuk turun gunung dengan
cara "membonceng" seperti ini daripada harus mencari jalan sendiri di tempat yang asing
baginya. Memang cocok sekali harapannya, dia diseret turun gunung dan hari telah
menjelang senja ketika rombongan itu memasuki sebuah dusun di kaki gunung.
Bukan hal aneh pada masa itu bahwa rakyat amat takut terhadap setiap rombongan orang
yang bersenjata, baik rombongan ini merupakan pasukan tentara pemerintah atau bukan.
Ini terjadi akibat tekanan-tekanan dan gangguan yang selalu dilakukan oleh rombongan-
rombongan macam itu untuk menyenangkan diri sendiri tiap kali mereka melewati sebuah
dusun. Merampas makanan tanpa bayar, memaksa penduduk membawakan beban,
merampas kaum wanita dan sebagainya. Maka ketika pada sore hari itu rombongan Tiat-jiu
Souw Ki memasuki dusun di kaki gunung ini, penduduknya sudah pada lari menyembunyikan
diri, rumah-rumah sebagian besar ditutup pintunya.
Rombongan itu berhenti di tengah-tengah dusun, di depan sederetan rumah-rumah gubuk
kecil terbuat daripada bambu, rumah orang-orang miskin. Juga rumah-rumah ini biarpun
tidak ditutup pintunya, kelihatan sunyi tiada penghuninya. Memang perlu apa rumah-rumah
ini ditutup pintunya kalau di dalamnya tiada sesuatu yang cukup berharga untuk dicuri
orang?
Tiat-jiu Souw Ki yang merasa lapar dan haus, yang lelah setelah tadi mengalami
pertempuran, ingin beristirahat dan bermalam di kampung ini. Melihat kesunyian tempat
itu, dia mengerutkan kening dan mengomel.
"Sungguh tidak sopan penduduk dusun ini!" Ban Kwan Tojin menjawab. "Memang sebagian
besar dusun-dusun seperti ini selalu dikosongkan kalau ada rombongan orang-orang asing
lewat, Ciangkun. Karena itu, kalau pemerintah yang baru sekarang ini benar-benar sudah
lengkap, harus segera mengusahakan adanya penjabat-penjabat kecil di setiap dusun
sehingga segala sesuatu mengenai penghuni dusun-dusun dapat diatur sebaiknya."
Tiat-jiu melirik ke arah tosu itu dan diam-diam dia dapat menjeguk isi hati tosu ini yang
seperti juga orang-orang lain ternyata mempunyai ambisi untuk menjadi orang berpangkat.
Dia sedang hendak memerintahkan orang-orangnya untuk mencari tempat penginapan yang
baik baginya, tentu saja bukan rumah penginapan umum karena di dusun sekecil itu mana
ada losmen? Yang dia maksudkan adalah rumah terbaik, tak perduli tempat tinggal
siapapun, untuk dia mengaso malam itu. Akan tetapi tiba-tiba dari sebuah di antara rumah-
rumah gubuk itu keluarlah seorang anak laki-laki kecil. Usianya paling banyak lima tahun,
tubuhnya kurus kering dan setengah telanjang. Anak ini keluar setengah berlari, akan
tetapi tiba-tiba terhenyak di depan pintunya ketika dia melihat begitu banyak kuda-kuda
besar ditunggangi orang berkumpul di depan rumahnya. Sepasang matanya yang bening itu
berseri gembira dan mulutnya segera berseru,
"Kuda bagus....... kuda bagus.......!"
"........... A Wan .......... A Wan ........" tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil dari
dalam gubuk itu, suaranya yang terdengar gemetar ketakutan.
Akan tetapi anak kecil itu berjalan tertatih-tatih menonton kuda sampai dia tiba di bagian
paling belakang rombongan itu. Sejenak dia tertegun memandang kepada Kun Hong.
Pemuda buta ini berdiri dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya, ujung tambang
belenggu dipegang si penunggang kuda. Pakaian si buta itu di bagian punggung robek-robek
semua, di bagian lain sudah kotor oleh debu, juga mukanya berkeringat penuh debu,
membuat muka itu kotor dan hitam. Akan tetapi orang buta ini mulutnya tersenyum karena
sesungguhnya Kun Hong girang juga ketika mendapat kenyataan bahwa dia telah dapat
"membonceng" rombongan itu sampai ke sebuah dusun. Kalau dia sendiri yang turun dari
puncak tanpa penunjuk jalan, kiranya dia akan tersesat dan entah sampai kapan dapat
bertemu dengan dusun atau orang.
"Kasihan paman buta ........... lepaskan........... lepas...........!" Anak itu berteriak-teriak
sambil mendekati Kun Hong.
"Anak baik...........!" Kun Hong berkata halus, suara anak itu menggetarkan jantungnya.
"Anak haram, minggat!" seorang di antara para pengiring Souw Ki membentak dan "tar!
tar!" cambuknya menyambar ke tubuh anak itu.
Anak itu menjerit dan lari mundur sambil menangis. Dari dalam gubuk berlari ke luar
seorang wanita yang serta merta menubruk anaknya, lalu bersama anak itu ia berlutut.
"Ampun, Tai-ya........... ampunkan kami ..........." Wanita itu memohon sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya sampai menyentuh tanah, wajahnya pucat dan ketika ia
melirik ke arah Kun Hong, melihat orang buta ini dibelenggu dan pakaiannya rompang-
ramping mukanya kotor penuh debu, ia menjadi makin ngeri dan ketakutan sampai
tubuhnya menggigil!
Kun Hong tidak tahu mengapa si kejam itu menahan cambuknya, lalu terdengar orang-
orang itu tertawa kecil, malah si pemegang cambuk berkata perlahan, "Aiihh,
cantik..........."
Lalu terdengar suara Tiat-jiu Souw Ki, "Suruh dia melayaniku nanti!"
Si pemegang cambuk mengajukan kudanya mendekati wanita yang berlutut bersama
anaknya yang masih terisak-isak itu dan berkata dengan suaranya yang parau.
"He, manis, kau dengar sendiri ucapan Souw-ciangkun tadi. Sebentar malam kau diajak
minum arak manis, ha-ha-ha! Hayo kau ikut sekarang juga."
"Tidak ..........." perempuan itu menangis.
"Apa katamu? Setan! Berani kau menolak?"
"Ampun, Tai-yin........... hamba........ hamba tidak bisa ..........."
"Tar! Tar!" Cambuk berbunyi mengerikan di udara, di atas kepala wanita itu. "Anakmu
berbuat kurang ajar, ciangkun masih mengampuni malah hendak mengajak kau minum
arak, tapi kau benar-benar kurang terima. Agaknya kau hendak melihat anakmu dibanting
mampus baru menurut!" Cambuk itu menyambar ke arah bocah tadi dan tahu-tahu telah
melibat tubuhnya terus dihentakkan ke atas.
Berbareng dengan jerit mengerikan dari ibu muda itu, terdengar suara menggereng hebat,
sesosok bayangan menyambar ke arah si pemegang cambuk dan pada detik lain si
pemegang cambuk itu telah terbanting jatuh dari kudanya dan anak kecil itu telah berada
dalam pondongan Kun Hong! Kiranya pendekar buta yang sakti ini tidak dapat menahan lagi
hatinya mendengar semua peristiwa yang tak dapat dilihatnya itu. Karena maklum bahwa
ibu dan anak itu terancam bahaya hebat, sekali renggut saja belenggu yang mengikat
pergelangan tangannya putus semua dan sekali mengenjot tubuh dia telah menerjang si
pemegang cambuk yang kejam, mendorongnya jatuh sambil merampas bocah tadi. Kini
dengan tangan kiri memondong A Wan dan tangan kanan memegang tongkat erat-erat Kun
Hong menggeser kakinya mendekati si wanita yang masih berlutut dan menangis.
"Tiat-jiu Souw Ki, kau sejak dahulu tak pernah mengubah watakmu yang jahat!" Kun Hong
memaki, berdiri dengan tegak dan gagah. "Kau dan enam orang kawanmu benar-benar
merupakan tujuh pengawai yang jahat. Dahulu Pangeran Kian Bun Ti yang hendak
menggangu keponakan-keponakanku, sekarang kau dan anak buahmu ternyata juga bukan
manusia baik-baik. Hemm, kalau tidak lekas-lekas membawa orang-orangmu ini pergi
meninggalkan dusun ini jangan bilang aku keterlaluan kalau aku membikin kalian semua
tidak dapat lagi meninggalkan tempat ini!" Sambil berkata demikian Kun Hong membuat
gerakan melintangkan tongkatnya di depan dada, gerakan yang sudah dikenal baik oleh
Souw Ki dan teman-temannya ketika Kun Hong mengamuk dikeroyok tadi.
Souw Ki kaget dan pucat wajahnya. Dia memandang penuh perhatian, serasa pernah
melihat orang muda yang bersikap begini tabah dan berani, malah yang sekarang berani
sekali menyebut-nyebut nama kaisar baru begitu saja.
"Kau........... kau siapakah? Siapa namamu ...........?"
"Namaku Kun Hong. Kau hendak laporkan kepada Kian Bun Ti yang sekarang telah menjadi
kaisar? Boleh, dia sudah mengenal baik nama ini, malah dia pernah makan minum semeja
dengan aku!"
Bukan main kaget dan herannya Tiat-jiu Souw Ki. Teringatlah ia sekarang. Tapi pemuda ini
dahulu adalah seorang pemuda pelajar yang lemah, sungguhpun tak dapat disangkal
memiliki keberanian yang sukar dicari bandingnya. Di dalam cerita Rajawali Emas memang
telah dituturkan betapa Kun Hong dan dua orang keponakan perempuan, yaitu Kui Eng dan
Thio Hui Cu, diundang dan dijamu oleh Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Pada waktu itu,
pengeran muda mata keranjang ini jatuh hati kepada dua orang nona Hoa-san-pai ini dan
hendak mengganggunya, malah mereka telah ditawan. Kemudian dua orang nona itu
dirampas oleh Song-bun-kwi, sedangkan Kun Hong dapat menyelamatkan diri
mempergunakan ilmu sihirnya (baca cerita Rajawali Emas).
"Kau........... kau anak Hoa-san-pai........... putera ketua Hoa-san-pai.........?" Dia
bertanya gagap.
Kun Hong tersenyum, menarik napas panjang. "Cukup kau ketahui namaku, siapa
menyebut-nyebut Hoa-san-pai segala? Hayo pergi!"
Tiat-jiu Souw Ki sudah maklum akan kehebatan kepandaian Kun Hong. Tadi ketika
dikeroyok puluhan orang saja pemuda ini dapat membuat semua orang tak berdaya,
apalagi sekarang dia hanya berkawan sebanyak dua puluh orang lebih. Selain itu, sekarang
mahkota sudah berada di tangannya dan kalau membawa tawanan macam pemuda buta
ini, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan saja di tengah jalan. Adapun tentang wanita
itu, ah, dia hanya iseng-iseng saja, tidak ada harganya untuk diperebutkan.
"Pergi ...........!" Dia memberi aba-aba kepada para pengikutnya, lalu mengeprak kudanya.
Penunggang kuda yang tadi menyeret-nyeret Kun Hong dengan wajah pucat juga segera
membalapkan kuda pergi dari situ. Akan tetapi seorang perampok yang mendongkol
hatinya dan masih memandang rendah kepada seorang buta seperti Kun Hong, mengejek,
"Ho-ho, kiranya si buta juga mata keranjang! Kau hendak memiliki sendiri si manis ini, heh?
Hati-hati, manis, kau tuntun si buta ini baik-baik, ha-ha-ha!"
Kun Hong menggerakkan tangannya dan sebagian tambang yang tadi membelenggu
tangannya dan masih menempel di pergelangan tangan menyambar ke arah muka penjahat
itu. Terdengar suara keras dan si mulut kotor itu berteriak-teriak kesakitan,
"Aduhh........... aduh........... mulutku........... gigiku rontok semua........... aduh
........!" Dan dia membalapkan kudanya mengejar kawan-kawannya sambil mengaduh-
aduh.
Kun Hong masih berdiri tak bergerak, kedua kakinya terpentang, tangan kanan masih
memegang tongkat melintang di depan dada, sama sekali tak bergerak seperti patung
sampai suara derap kaki kuda tak terdengar lagi oleh telinganya. Pemuda buta ini merasa
betapa dada dan mukanya panas sekali, bukan main marahnya mendengar ucapan kotor
penjahat tadi. Dia menahan napas dan menekan perasaannya sampai perlahan-lahan hawa
panas dalam dadanya menurun dan akhirnya kembali dan timbul pulalah senyum yang
jarang meninggalkan bibirnya itu. Matanya yang berlubang itu tadi agak terbuka
pelupuknya ketika dia marah, kini tertutup lagi pelupuknya dan agak berkerut kulit di
antara kedua matanya.
"In-kong (tuan penolong)........... terima kasih atas budi In-kong yang telah
menyelamatkan nyawa kami ibu dan anak ..........." dengan suara tergetar penuh keharuan
wanita itu berlutut di depannya dan menyentuh kakinya yang tertutup sepatu rusak-rusak
dan penuh debu.
Kun Hong kaget mendengar suara ini dan cepat-cepat dia menarik kakinya lalu melangkah
mundur dua tindak. Dia mendengar suara seorang wanita yang masih amat muda, suara
wanita berusia dua puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini adalah seorang ibu, seorang
ibu muda.
"Jangan berlutut ............ jangan berlebihan, yang menyelamatkan nyawa manusia
hanyalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Bangkitlah, Twa-so (kakak), aku tidak berani menerima
penghormatan seperti ini."
Wanita itu bangkit sambil menahan isaknya yang masih menyesakkan kerongkongannya.
"Ibu, orang-orang nakal itu sudah pergi?" anak kecil itu bertanya, timbul pula
keberaniannya setelah orang-orang berkuda itu pergi tidak tampak lagi.
"Sudah, A Wan, mereka sudah pergi. Lain kali kau jangan nakal, jangan keluar sendiri. Kau
anak bandel, ibu sudah melarang tadi kau nekat saja. Untung ada paman ini yang menolong
kita ..........."
"Ibu, paman buta ini jagoan, ya? Orang-orang nakal itu takut!" Anak itu lalu tertawa-tawa
senang dan menghampiri Kun Hong sambil meraba tangannya. "Paman buta, kenapa kau
tadi diikat?"
Kun Hong tersenyum, membungkuk dan memondong anak itu dengan penuh kasih sayang.
"Anak baik, kau sudah dapat membedakan orang jahat dan tidak, bagus. Kelak kau tidak
boleh menjadi orang seperti mereka itu, ya!"
"Tidak!" jawab anak itu keras sambil merangkul leher Kun Hong. "Aku kelak ingin menjadi
seperti Paman yang jagoan. Tapi.......... Paman buta ..........."
"Hush, A Wan, jangan lancang mulutmu!" bentak ibunya. "In-kong, mari silakan singgah di
dalam gubukku, biar kita bicara di dalam."
"Tak usahlah, Twa-so, terima kasih. Aku harus melanjutkan perjalananku." Kun Hong
mencegah, dia dapat menduga bahwa ibu dan anak ini tentu keluarga miskin, terbukti dari
pakaian anak itu yang kasar dan ada tambalannya, tidak bersepatu pula. Dia tidak mau
mengganggu orang yang memang keadaannya sudah amat kekurangan itu.
"Jangan, In-kong. Kau harus singgah dulu. Pakaianmu robek-robek semua, lagi kotor. Aku
mempunyai sestel pakaian, boleh kau pakai dan pakaianmu itu akan kucuci, kujahit.
Dan........... dan........... kau harus makan dulu ..........." suara itu tergetar penuh
keharuan dan belas kasihan. Melihat orang buta itu menggerak-gerakkan tangan seperti
hendak menolak, wanita itu cepat-cepat melanjutkan, suaranya penuh permohonan, "In-
kong, tak boleh kau menolak. Kau telah menyelamatkan nyawa kami, kau telah menanam
budi sebesar gunung sedalam lautan, aku........... aku tak mampu membalasnya.
Biarlah aku menjahitkan dan mencuci pakaianmu dan memberi hidangan sekedarnya
........... untuk menyatakan terima kasihku. Kalau kau menolak dan pergi begitu
saja........... ah, In-kong, selama hidupku aku akan merasa menyesal kepada diri sendiri. A
Wan, kau ajak pamanmu masuk ke dalam!"
Anak itu dengan suara merdu berkata, "Paman buta, mari kita masuk. Ibu tadi masak bubur
dan ubi merah ..........."
"A Wan ..........." Dengan suara perih ibu itu mencegah anaknya membuka rahasia
kemiskinan mereka. Kun Hong merasa hatinya tertusuk. Dipeluknya anak itu dan dia
berkata sambil tertawa,
"Anak baik, biarlah kubikin lega hatimu dan hati ibumu. Kalian manusia-manusia
baik.................."
"Paman buta, mari kutuntun kau masuk." Anak itu melorot turun dan menggandeng tangan
Kun Hong. Ibunya memandang dengan senyum lega menghias wajahnya karena tadinya ia
sudah merasa bingung apakah ia yang harus menuntun tamunya itu memasuki rumah.
Tentu saja ia tidak tahu bahwa dengan mudah tamunya ini akan dapat memasuki rumah
tanpa dituntun, asalkan ia berjalan lebih dulu karena tamunya itu dapat mengikutinya dari
pendengarannya yang tajam, yang dapat mendengar tindakan kakinya. Sambil tersenyum
Kun Hong membiarkan dirinya dituntun oleh anak itu memasuki rumah yang berlantai
tanah.
Baru saja melangkahi ambang pintu, anak itu sudah berhenti. Hal itu berarti bahwa rumah
itu benar-benar amat kecilnya. "Mari silakan duduk, In-kong. Maaf, tidak ada apa-apa,
hanya ada tikar rombeng.............." Kembali Kun Hong menangkap getaran suara yang
menusuk hatinya.
"Sini, Paman, sini duduklah......." Anak itu pun mempersilakannya. Kun Hong maju dua
langkah dan ternyata di situ terbentang sehelai tikar di alas tanah! Dia lalu duduk bersila di
atas tikar dan ketika tangannya meraba ternyata tikar itu rombeng dan di bawah tikar
ditilami rumput kering. Kerut di antara kedua mata yang buta itu makin mendalam.
Alangkah miskinnya keluarga ini.
"Silakan duduk dulu, In-kong. Aku hendak mengambil pakaian untukmu."
Kun Hong cepat menggoyang-goyang tangannya ke atas. "Tidak usah, Twa-so, tidak usah.
Kalau ada pakaian, biarlah dipakai oleh A Wan ini.............. aku....... aku tidak perlu
berganti pakaian."
Ibu muda itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa kecil. "Pakaian yang kusimpan itu
adalah pakaian orang tua, mana bisa dipakai A Wan? Tunggulah sebentar."
"Itu pakaian ayah, Paman. Kau boleh pakai!" anak itu berkata. Hati Kun Hong tidak karuan
rasanya. Terang bahwa keluarga ini miskin, mungkin pakaian itu hanya satu-satunya yang
menjadi simpanan ayah anak ini, bagaimana dia boleh pakai? Ah, dia mendapat akal.
Perempuan ini mempunyai perasaan yang halus, terdorong oleh budinya yang baik. Tak
boleh dia mengecewakan hatinya. Biarlah dia berganti pakaian dan membiarkan dia
mencuci dan menambal pakaiannya sendiri yang robek-robek. Setelah itu dia boleh
memakai pakaiannya sendiri lagi dan mengembalikan pakaian yang dipakai untuk
sementara itu. Dengan demikian, tanpa merugikan keluarga ini banyak-banyak, ia dapat
memuaskan hati nyonya rumah.
Gemersik pakaian menandakan bahwa wanita itu sudah datang lagi. "Marilah kau berganti
dengan pakaian ini, In-kong, dan biarkan pakaianmu yang kotor dan robek-robek itu di sini,
sebentar kucuci dan kujahit. Aku permisi hendak menyiapkan makanan. A Wan, kau temani
pamanmu. Baik-baik jangan nakal, ya!"
"Tapi.......... tapi........" Kun Hong berusaha membantah.
"Harap In-kong jangan menolak, biarpun pakaian tua dan hidangan sederhana, kuharap In-
kong sudi menerima tanda terima kasihku yang mendalam ............"
Suara itu mengandung permohonan yang mutlak tak dapat dia bantah lagi.
"Tapi badanku kotor semua............. aku harus membersihkan badan dulu....... begini
kotor mana boleh memakai pakaian bersih dan makan?"
Mendengar ini, ibu muda itu tertawa. Kun Hong tertarik sekali mendengar suara ketawa ini.
Merdu dan sopan. Hanya orang dengan hati putih bersih dan jiwa murni yang dapat tertawa
seperti itu. Anak itupun tertawa karena menganggap ucapan Kun Hong ini sebagai kelakar
yang lucu. Memang sikap dan gerak-gerik seorang buta kadang-kadang nampak lucu, lucu
dan mengharukan hati. Mendengar ibu dan anak itu tertawa-tawa geli, mau tidak mau Kun
Hong tertawa pula sehingga di dalam rumah gubuk sepi miskin itu sekali ini penuh tawa
menggembirakan seperti cahaya matahari menyinari tempat gelap.
"A Wan, kau antarkan pamanmu ini ke anak sungai di belakang dusun!" kata wanita itu
sambil pergi ke belakang dengan suara ketawanya masih terdengar.
"Hayo, Paman buta!" Bocah itu menggandeng tangan Kun Hong dan pergilah keduanya ke
luar dari pondok, menuju ke anak sungai. Ketika ke luar dari pondok dan berjalan ke anak
sungai, Kun Hong mendengar bahwa di depan pondok berkumpul banyak orang, malah di
tengah perjalanan dia mendengar pula orang-orang berjalan.
"Siapa mereka, A Wan?" tanyanya.
"Paman-paman dan bibi-bibi tetangga, penduduk dusun ini, Paman," jawab anak itu dengan
singkat. Agaknya anak ini mempunyai rasa tidak senang kepada penduduk dusun dan
anehnya, tak seorang pun di antara mereka menegur anak ini!
Setelah mandi di sungai kecil yang airnya jernih dan segar itu, Kun Hong segera berganti
pakaian bersih dan dia malah mencuci pakaiannya sendiri, dibantu oleh A Wan. Ternyata
pakaian bersih yang terbuat daripada kain kasar itu, pas betul dengan tubuhnya. Agaknya
ayah anak ini sama perawakannya dengan dia.
Dalam perjalanan pulang, mereka juga bertemu dengan orang-orang dusun. Amat aneh
bagi pendengaran Kun Hong, orang-orang yang tengah bercakap-cakap tiba-tiba
menghentikan percakapan mereka di kala Kun Hong dan A Wan lewat. Ketika mereka
sampai di dekat pondok, tiba-tiba Kun Hong berkata kepada A Wan, "Kau diam saja, A Wan,
dan jangan mengeluarkan suara." Dia lalu bersama anak itu mendekati rumah dan
terdengarlah suara ibu anak itu, suaranya marah bercampur isak tertahan.
"............ perduli apa kau dengan urusan pribadiku? Kuberikan kepada siapa pun juga baju
suamiku, ada sangkut pautnya apakah denganmu? Kau............. kau selalu
mengganggu................ saudara misan yang durhaka!"
"Huh, dasar perempuan tak tahu malu! Semua orang memandangmu dengan hina, hanya
aku yang masih mau memperdulikan. Semua ini karena aku ingat bahwa di antara kita
masih ada hubungan keluarga, tahukah kau? Kalau tidak ada aku, apakah kau dan anakmu
tidak sudah kelaparan dan menjadi jembel pengemis? Awas kau, kulaporkan kepada Song-
wang-we (hartawan Song)!" Terdengar suara laki-laki memaki.
".............. pergi............! Pergi.......! Aku tidak sudi mendengar ocehanmu lagi.........!"
Wanita itu berseru marah.
"Ibu...............! Apakah paman Tiu mengganggumu lagi?" A Wan tak dapat menahan
suaranya dan merenggut tangannya lalu lari membuka pintu belakang.
"A Wan, kau sudah pulang?" Ibunya menegur dan Kun Hong mendengar betapa kaki seorang
laki-laki dengan cepat meninggalkan tempat itu lalu dia mendengar tindakan kaki ibu A
Wan dan anak itu sendiri menyambutnya.
Langkah kaki ibu anak itu secara tiba-tiba terhenti dan tidak terdengar suaranya bergerak
sedikitpun juga, sedangkan A Wan berlari menghampirinya dan memegang lagi tangannya.
Memang ibu A Wan kaget dan memandang ke wajah Kun Hong dengan mata terbuka lebar.
Setelah wajah pemuda buta itu tercuci bersih. alangkah jauh bedanya dengan tadi. Kalau
tidak datang bersama anaknya dan tidak mengenakan pakaian yang amat dikenalnya, tentu
ia pangling. Wajah si buta itu berkulit putih halus, wajah yang amat tampan, wajah
seorang kong-cu (tuan muda)! Kemudian ia melihat pakaian yang sudah dicuci, maka
serunya penuh penyesalan,
"Aiihh, In-kong, kenapa dicuci sendiri pakaiannya? Ah, mana bisa bersih? Berikan kepadaku,
biar sebentar kucuci lagi biar bersih. Syukur, kulihat pakaian itu pas benar dengan badan
In-kong."
"Terima kasih............... terima kasih............. aku menyusahkan saja," kata Kun Hong
dan tidak membantah ketika cucian itu diambil orang dari tangannya. Kun Hong memuji
bahwa ibu muda ini benar-benar seorang yang baik. Mengenal budi, peramah, dan pandai
menyimpan penderitaan hati. Dia berpura-pura tidak tahu akan persoalan yang baru saja
dia dengar tadi, dan mengambil keputusan bahwa dia akan segera pergi meninggalkan
tempat itu. setelah pakaiannya sendiri kering.
Tak lama kemudian nyonya rumah itu datang mengantar sebuah mangkok terisi bubur
hampir penuh. Dengan ujung-ujung jarinya Kun Hong dapat mengetahui bahwa mangkok itu
terbuat daripada tanah lempung dan sepasang supit dari bambu, alat-alat makan yang
paling sederhana dan murah yang dapat dipergunakan manusia.
"Waduh, enak, Paman buta. Buburnya pakai ubi merah! Hi-hik, kau tahu? Ubi merah ini
kucuri dari kebun paman Lui."
"A Wan!!" ibunya menegurnya.
"Paman, ibu selalu bilang bahwa mencuri adalah perbuatan jahat. Aku tidak pernah
mencuri. Tapi paman Lui ubinya begitu banyak dan aku............... aku dan ibu sudah lama
tak makan ubi merah."
Hampir Kun Hong tersedak karena keharuan membuat hawa dari dalam dada naik ke
kerongkongannya. "Ibu betul, A Wan, mencuri adalah perbuatan yang jahat. Lebih baik kau
minta saja kepada pemilik ubi ......................."
"Minta? Uhh, pernah aku minta, bukan mendapat ubi melainkan mendapat cambukan pada
pantatku. Tak sudi lagi aku minta. Tapi aku pun tidak akan men-curi lagi, ibu marah-
marah," kata anak itu dengan suara manja.
Bubur yang mereka makan itu sangat encer, terlalu banyak airnya dan ini pun
membuktikan betapa miskinnya keluarga itu. Setelah selesai makan, selesai sebelum
kenyang, nyonya rumah menyingkirkan mangkok-mangkok itu dan menyapu tikar dengan
kebutan. Senja telah lewat dan ibu anak itu menyalakan sebuah pelita kecil, dipasang di
sudut pondok. A Wan duduk di pangkuan Kun Hong dan agaknya anak ini masih menderita
oleh peristiwa sore tadi. Punggungnya yang kena sambaran cambuk diurut-urut oleh Kun
Hong dan sebentar saja anak itu tidur di pangkuannya.
"Dia sudah tidur, Twa-so. Di mana tempat tidurnya?" tanya Kun Hong perlahan.
Sampai lama baru terjawab lirih. "....... di sini juga.......... disini juga napas panjang,
tangannya mengelus-elus muka anak itu, meraba dahinya, alisnya, mata, hidung, mulut
dan dagu. Muka yang tampan, hidungnya mancung mulutnya kecil.
"In-kong, memang kami tidak mempunyai apa-apa. Dalam rumah ini kosong, hanya ada
tikar inilah................ tempat kami duduk, makan dan tidur............"
"Maaf, Twa-so, sejak tadi aku belum mendengar twa-ko (kakak) pulang. Ke manakah dia?"
Kembali sampai lama tiada jawaban, kemudian jawaban itu bercampur isak tertahan, "Dia
sudah.............. sudah tidak ada..................."
"Tidak ada? Ke mana ??" Kun Hong tidak menduga buruk.
"............. sudah meninggal dunia .......tiga bulan yang lalu .............."
"Ahhh.............!" Kerut di antara kedua mata yang buta itu mendalam. Ah, sekarang
tahulah Kun Hong akan sikap para penghuni dusun itu. Kiranya ibu muda ini seorang janda
muda. Dia tahu apa artinya menjadi janda di masa itu. Janda muda lagi. Betapa sukarnya
hidup bagi seorang janda yang miskin. Penghinaan akan menimpa dari segenap penjuru,
penghinaan lahir batin. Semua mata akan mengincarnya, penuh cemburu, setiap gerak
dapat menimbulkan fitnah. Sedang mata pria memandangnya lain lagi, pandangan yang
penuh nafsu mempermainkan. Seorang janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar dan
kemudi, terombang-ambing di tengah samudera hidup menjadi permainan gelombang.
Janda tua tentu saja lain lagi, yang pertama mengandalkan hartanya, yang belakangan
mengandalkan anak-anaknya.
Kembali jari-jari tangan Kun Hong meraba-raba muka A Wan. "Twa-so, apakah wajah A
Wan ini sama dengan wajahmu?"
Lama tak menjawab. Kun Hong tidak dapat melihat betapa wajah tanpa bedak yang amat
manis itu menunduk dan kedua pipi yang sehat itu memerah.
"Orang-orang bilang dia mirip dengan aku."
Hemmm, tak salah dugaanku, pikir Kun Hong. Janda muda lagi cantik. Makin berbahaya
kalau begini.
"Dan kau tentu belum ada dua puluh lima tahun usiamu," katanya pula.
"............... baru dua puluh tiga umurku.
Kun Hong merebahkan tubuh A Wan di atas tikar, lalu dia sendiri bangkit berlutut dan
berkata, "Twa-so, maaf. Tolong ambilkan pakaianku tadi, aku akan berganti pakaian dan
aku harus pergi sekarang juga."
"............ kenapa...........? In-kong, kenapa kau hendak pergi sekarang? Bajumu masih
belum kering benar, dan sedang kutambal punggungnya.............."
Kun Hong menggeleng kepala, mengulurkan kedua tangan untuk minta pakaian dan bangkit
berdiri. "Aku harus pergi. Twa-so, kau janda masih baru, kau berwajah cantik dan umurmu
baru dua puluh tiga tahun ............"
Wanita itu mengeluarkan jerit lirih dan sambit menangis ia menubruk kedua kaki Kun Hong!
Tentu saja Kun Hong menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"In-kong ............. engkau juga begitu............?? Ah, kalau begitu.............. kau
pukulkan tongkatmu itu kepadaku........ kau bunuh saja aku, In-kong ........... apa artinya
hidup kalau semua orang....... juga kau yang kumuliakan........... memandang serendah itu
kepadaku........? Kau bunuhlah aku............ kau bunuhlah."
Karena tangis ini, A Wan menjadi terbangun dan begitu melihat ibunya menangis sambil
merangkul kedua kaki Kun Hong yang berdiri seperti patung serta merta anak itu ikut
menangis sambil merangkul ibunya. "Ibu............. ibu."
"In-kong.................. kau bunuhlah kami.............. biar terbebas kami daripada
penderitaan ini ............."
Hancur perasaan hati Kun Hong mendengar ibu dan anak itu menangis dan memeluki kedua
kakinya.
"Kau salah sangka.............. kau salah mengerti........" katanya sambil duduk kembali.
"Aku sama sekali tidak memandang rendah atau menyangka yang bukan-bukan terhadapmu,
Twa-so..............."
"In-kong............." wanita itu tersedu-sedu dan sejenak menangis dengan muka di atas
dada Kun Hong. Pemuda buta itu membiarkannya saja, maklum betapa hancur hati wanita
itu, malah dia menepuk-nepuk bahunya dengan menghibur dan mengusap-usap rambut A
Wan yang menangis di atas pangkuannya.
"Tenanglah, duduklah Twa-so, dan mari kita bicara baik-baik."
Agaknya baru wanita itu sadar akan keadaan dirinya yang menangis sambil bersandar di
dada tamunya. "............. ohhh......... maafkan aku, In-kong ........."
Ia cepat-cepat mundur dan duduk menekuk lutut, membendung air mata yang bercucuran
dengan ujung lengan bajunya. A Wan diraihnya dan anak ini menidurkan kepala di atas
pangkuan ibunya sekarang.
"Twa-so, agaknya kau tadi salah duga. Aku hendak pergi sekali-kali bukan karena
memandang rendah kepadamu, sama sekali tidak. Malah sebaliknya. Aku sangat kagum
kepadamu dan menghormatimu, karena itu aku hendak pergi agar jangan sampai nama
baikmu dirusak orang dengan kehadiranku di sini semalam ini. Lebih baik aku tidur di
pinggir jalan daripada tidur menginap di sini dengan akibat merusak namamu, Twa-so!"
"Tidak ada bedanya, In-kong, sebelum kau datang, namaku sudah dirusak orang setiap hari.
Apa perduli dengan omongan orang asalkan kita benar-benar bersih? Dalam beberapa bulan
saja aku sudah kebal terhadap fitnah-fitnah dan omongan-omongan kotor mereka, In-kong.
Kalau mereka hendak melakukan fitnah dengan kehadiranmu malam ini di sini, biarlah
mereka lakukan. Aku tidak perduli karena aku yakin bahwa kau yang kuhormati dan
kumuliakan mengetahui akan kebersihanku."
Kun Hong menarik napas panjang, makin kagum. Wanita ini biarpun miskin dan janda yang
tak berdaya, ternyata seorang yang berpendirian.
"Twa-so, maafkan kata-kataku, akan tetapi kupikir............ akan lebih baik kiranya
bagimu dan bagi anakmu kalau kau........... menikah lagi."
"In-kong, siapakah di dunia ini mau secara jujur menikah dengan seorang janda miskin yang
mempunyai seorang anak? Kecuali laki-laki mata keranjang yang hanya bermaksud
mempermainkan saja. Semua laki-laki di sekitar tempat ini memandangku seperti itu,
tentu banyak yang mau memeliharaku, akan tetapi............... mereka hanya ingin
mempermainkan, In-kong. Aku tidak sudi....... apalagi Song-wangwe, aku tidak sudi, biar
dia boleh suruh tukang-tukang pukulnya memaksaku."
Kun Hong harus mengakui kebenaran kata-kata ini. Memang banyak laki-laki di dunia ini
yang seperti itu wataknya. Menganggap wanita hanya sebagai barang mainan, menarik
karena cantiknya, suka menikah dengan janda muda yang cantik hanya untuk dipermainkan
belaka. Sudah tentu saja tidak semua laki-laki demikian karena segala sesuatu di dunia ini
tentu ada pengecualiannya, akan tetapi sebagian besar laki-laki seperti itulah sifat dan
wataknya.
"Susah kalau begitu. Twa-so, apakah kau tidak mempunyai keluarga?"
"Ada seorang pamanku yang tinggal jauh di kota Cin-an, akan tetapi aku tidak tahu betul di
mana rumahnya. Satu-satunya orang yang tahu adalah saudara misanku yang jahat, si Tiu
yang keparat membantu cepatnya maut merenggut nyawa suamiku dan yang membujuk-
bujukku untuk menuruti kehendak hartawan Song!" Suara wanita itu memperdengarkan
kemarahan ketika menyebut-nyebut nama Tiu dan Song.
"Orang yang datang tadi? Hemm, sebetulnya, mengapa suamimu mati di waktu masih
muda? Dan apa maksud Tiu dan Song, Twa-so?"
Dengan suara menyedihkan janda muda itu lalu bercerita. Tadinya ia hidup bahagia dengan
suaminya, seorang petani muda she Yo. Biarpun keadaannya tidak dapat dikata berlebihan,
namun dengan milik mereka sebidang sawah, dapatlah mereka menutupi kebutuhan hidup
sederhana, bertiga dengan putera mereka, si kecil Yo Wan. Mereka sebenarnya adalah
suami isteri pendatang baru dari lain dusun di daerah banjir, mereka adalah korban-korban
yang lari mengungsi dan akhirnya menetap di dusun itu setelah menukar seluruh barang-
barang mereka dengan sebidang tanah.
Namun, malapetaka mulai mengintai mereka ketika di dusun itu datang pula Lao Tiu,
saudara misan Yo Kui, petani muda itu. Lao Tiu ini orangnya licik, curang dan kerjanya
hanya berjudi dan selalu terkenal sebagai seorang buaya petualang. Akhirnya si Lao Tiu ini
menjadi kaki tangan tuan tanah kaya raya yang menguasai sebagian besar tanah di sekitar
tempat itu dan yang pengaruh dan kekuasaannya dikenal di dusun-dusun sekitarnya. Tuan
tanah hartawan ini adalah Song-wangwe (hartawan she Song). Seorang laki-laki setengah
tua yang mata keranjang dan terkenal tak dapat tidur nyenyak sebelum mendapatkan
wanita yang dirindukan, baik wanita itu isteri orang lain atau bukan.
Karena kelicikan dan tipu muslihat Lao Tiu ini, akhirnya Yo Kui masuk perangkap si tuan
tanah. Mula-mula dia diberi hutang untuk membeli bibit padi dan kerbau, dan karena Yo
Kui seorang buta huruf, maka dia tidak tahu bahwa tuan tanah dan Lao Tiu yang "berbudi"
itu membuat surat perjanjian juai beli lalu menyuruh dia menanda-tangani dengan cap
jempol. Dengan ditandainya surat perjanjian yang tak diketahui isinya itu, Yo Kui berarti
telah menjual tanahnya, atau lebih tepat, menukar tanahnya hanya dengan kerbau seekor
dan bibit padi sekarung! Semenjak itu, mulailah Lao Tiu mengerjakan lidahnya yang
berbisa. Malah dengan berani mati dia membujuk Yo Kui supaya "menyerahkan" isteri yang
cantik manis itu menjadi "penghibur" tuan tanah Song, dan merelakan setiap kali hartawan
itu membutuhkannya.
Tentu saja Yo Kui menjadi marah sekali dan serta merta menghajar Lao Tiu saudara
misannya itu sampai jatuh bangun. Akan tetapi pada beberapa hari berikutnya, lima orang
tukang pukul tuan tanah itu datang kepada Yo Kui dan menagih pembayaran sewa tanah.
Yo Kui memaki-maki, bilang bahwa dia mengerjakan sawahnya sendiri, mengapa harus
bayar sewa? Kalau si hartawan menghendaki kembalinya kerbau dan bibit, boleh diambil
kembali kerbaunya dan bibitnya akan dikembalikan kelak kalau sudah panen. Terjadi
keributan dan Yo Kui disiksa oleh lima orang tukang pukul itu. Pemuda tani ini jatuh sakit,
muntah-muntah darah.
Namun dia masih belum mau menyerah. Setelah penyakitnya agak sembuh, dia pergi ke
kota melapor kepada pembesar setempat tentang perbuatan hartawan Song dengan kaki
tangannya. Apakah yang terjadi? Mudah diduga. Di dalam negara yang masih kacau seperti
Tiongkok di masa itu, jarang ada pembesar yang betul-betul memperhatikan kepentingan
rakyat, apalagi kepentingan rakyat kecil. Hukum diinjak-injak, peri kemanusiaan lenyap
dari lubuk hati manusia, agaknya orang malah lupa kepada Tuhan, mengumbar nafsu
sejadi-jadinya, mengandalkan setan yang pada waktu itu merubah diri di dalam tumpukan
harta dan tingginya kedudukan dan pangkat. Yang berharta dan berpangkat, merekalah
yang berkuasa, dialah yang menang, akhirnya siapa yang menang, dialah yang benar! Oleh
karena inilah maka tidak mengherankan apabila pembesar yang dilaporinya itu segera
turun tangan melakukan tindakan, periksa sana periksa sini, lalu keluarlah keputusan
"pengadilan", bahwa tanah itu telah menjadi milik Song-wang-we dengan sah, bahwa Yo Kui
harus membayar lunas uang sewa tanah dan mengembalikan tanah itu, dan bahwa Yo Kui
harus membayar biaya pengaduannya kepada pembesar itu!
Melihat dan mendengar keputusan pengadilan macam ini, kontan saja Yo Kui jatuh sakit!
Memang dia telah mendapat luka di dalam tubuhnya karena pengeroyokan para tukang
pukul, ditambah lagi tekanan batin hebat membuat dia tak dapat turun dari pembaringan,
isterinya menjadi gelisah sekali. Kerbau dan alat pertanian terpaksa dijual, sebagian untuk
membayar apa yang sudah diputuskan oleh pembesar itu, sebagian untuk pembeli obat dan
makan. Akan tetapi penyakit yang diderita Yo Kui makin payah. Dia sakit sampai berbulan-
bulan dan setelah semua barang yang ada di dalam rumah dijual oleh isterinya untuk obat
dan makan, akhirnya dia....... mati meninggalkan isterinya yang masih muda dan anaknya
yang masih kecil!
"Demikianlah, In-kong ............" Janda muda itu mengakhiri ceritanya sambil menghapus
air matanya yang bercucuran. "Penderitaanku tidak hanya sampai di situ saja...........
setelah suamiku meninggal, bermunculan setan-setan berupa orang-orang lelaki mata
keranjang yang seakan-akan bersaingan dan berebutan untuk membujukku
menjadi........... isteri muda atau piaraan. Terutama sekali si jahat Lao Tiu itu, dia setiap
hari membujuk-bujukku untuk menyerah kepada hartawan Song............."
Kun Hong menahan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya mendengar
penuturan janda muda ini.
"........ tapi aku bukanlah wanita rendah seperti yang mereka inginkan ........." janda itu
melanjutkan, masih terisak, "bagiku, lebih baik aku mati daripada menuruti kehendak
mesum mereka, In-kong........... kalau saja aku tidak melihat A Wan......... ah ...........
agaknya sudah lama aku menyusul suamiku ........"
Ia menangis lagi, kini lebih menyedihkan, sambil mendekap kepala puteranya di pangkuan.
"Besarkan hatimu, Twa-so, dan percayalah bahwa Thian Maha Adil Selalu akan menolong
manusia yang sengsaja. Kau tidurlah sekarang dan besok masih ada waktu untuk kita
mencari jalan sebaiknya. Hanya satu hal ingin kuketahui. Pamanmu yang tinggal di Cin-an
itu, andaikata kau dan anakmu datang padanya, apakah kiranya dia mau menerima kalian?"
"Dia orang baik, In-kong, dia adik mendiang ibuku, agaknya dia tentu mau menerima kami,
biar aku bekerja sebagai bujang tidak mengapa ............"
Percakapan terhenti dan janda muda itu biarpun berkali-kali diminta oleh Kun Hong agar
supaya mengaso, tetap saja duduk di dekat lampu untuk menyelesaikan pekerjaannya
menambal dan menjahit pakaian Kun Hong. Beberapa kali ia menengok dan memandang ke
arah tua penolongnya, ternyata si buta itu duduk bersila tak bergerak seperti patung. "In-
kong........... kau tidurlah ........."
"Biarlah, Twa-so, aku biasa tidur sambil duduk. Kau mengasolah, kurasa sudah hampir
tengah malam sekarang."
"Aku hendak menyelesaikan ini dulu........" jawab janda muda itu. Akan tetapi setelah
selesai menambal pakaian itu, ia duduk termenung sambil menatap wajah yang tak dapat
balas memandangnya itu. Hatinya penuh ketrenyuhan, iba hatinya melihat wajah tampan
yang berkerut di antara kedua matanya itu. Aduh kasihan, muda belia yang malang, pikir
janda muda ini. Apa bedanya bagi dia siang dan malam? Ah, mengapa aku tadi menyuruh
dia tidur? Bukankah selamanya dia seperti orang tidur kedua matanya? Jantungnya serasa
diiris-iris kalau ia menatap kedua pelupuk mata yang tertutup rata itu, mulut yang
mengarah senyum namun membayangkan bekas penderitaan batin yang hebat. Muda belia
buta yang malang...........! Memang aneh, janda muda yang sebetulnya juga amat
menderita batin dalam hidupnya itu, kini duduk termenung memandang ke arah pemuda
buta dengan hati penuh belas kasihan.
Hawa malam mulai dingin. Janda itu menyelimutkan sehelai karung tipis di atas tubuh
puteranya, lalu menengok ke arah Kun Hong yang masih saja duduk seperti patung. Ia
memperhatikan pernapasan Kun Hong yang rata dan panjang. Benarkah si buta ini bisa
tidur sambil duduk? Orang aneh. Muda belia yang malang dan aneh.
"In-kong...............?" Ia berbisik untuk meyakinkan apakah dia benar-benar tidur. Ingin ia
menawarkan selimut, selimutnya sendiri, juga sehelai karung tipis. Akan tetapi Kun Hong
tidak bergerak, tidak menjawab. Ah, dia sudah tidur, tak boleh diganggu. Janda muda itu
meniup padam api penerangan dan merebahkan diri di dekat anaknya, mendekap anaknya,
meringkuk seperti udang di atas tikar rombeng yang dingin.
Kun Hong tidak tidur. Dia tengah bersamadhi. Dia mendengar suara janda itu tadi, akan
tetapi sengaja tidak menjawab. Baru lega hatinya ketika janda itu memadamkan api
penerangan yang baginya tiada bedanya itu, karena hal itu berarti si janda akan tidur dan
dia dapat bersamadhi dengan bebas.
Ayam telah berkokok menyambut datangnya fajar ketika Kun Hong sadar dari tidurnya. Dia
segera menggosok-gosokkan jari tangan kepada jalan darah di sekeliling kepalanya untuk
menyegarkan perasaan. Pernapasan ibu dan anak yang tidur di depannya itu membuktikan
bahwa mereka masih pulas. Kun Hong tersenyum merasai perbedaan keadaan mereka
berdua itu antara hari kemarin dan sekarang ini. Duka maupun suka sebetulnya hanya
bersifat sementara saja, seperti halnya hidup ini sendiri. Kedukaan yang betapapun
besarnya akan lenyap di kala tidur, seperti halnya ibu dan anak di saat itu, tentu sama
sekali lupa akan segala penderitaan hidup, lupa akan segala ancaman-ancaman bahaya,
lupa bahwa mereka hidup serba kekurangan, malah kalau dikaji (dipikirkan masak-masak)
benar, dalam keadan sepulas mereka itu, apa sih bedanya hidup kaya atau miskin, apa
bedanya tidur diranjang berkasur atau di atas tikar rombeng?
Kun Hong merasa segar badannya. Kokok ayam jantan saling sahut menyegarkan perasaan
dan membangkitkan semangatnya. Malam tadi sudah diambilnya keputusan. Dia harus
menolong ibu dan anak ini dan dia harus memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang
menindas penghidupan orang-orang miskin di dusun itu.
Mendadak Kun Hong miringkan kepalanya. Dia mendengar derap banyak kaki orang menuju
ke rumah gubuk ini! Mencurigakan juga kalau sepagi itu ada serombongan orang laki-laki
mendatangi tempat itu, malah dari suara langkah kaki yang berat dan tergesa-gesa itu
dapat diduga bahwa orang-orangnya sedang marah!
"Perempuan tak tahu malu! Kau benar-benar membikin kotor dusun kami!" terdengar
bentakan suara laki-laki yang segera dikenal oleh Kun Hong sebagai suara Lao Tiu yang
kemarin sore diusir oleh janda muda itu.
"Dung! Dung-dung!" Pintu gubuk itu digedor-gedor dari luar. Janda muda itu dan anaknya
terkejut dan bangun. A Wan segera menangis ketakutan. Janda muda itupun ketakutan,
akan tetapi amatlah terharu hati Kun Hong ketika janda itu berbisik.
"Celaka, In-kong............., mereka tentu akan mencelakakan kau dengan fitnah........"
Benar-benar seorang berpribudi, pikir Kun Hong. Jelas orang-orang itu beralamat tidak baik
bagi si janda itu sendiri, namun yang dikhawatirkan oleh janda itu adalah diri tamunya,
bukan dirinya sendiri!
"Tenanglah, Twa-so............. tenang dan jangan takut. Orang yang benar akan dilindungi
Thian. Nanti kalau aku berdiri dan keluar, kau gendonglah A Wan dan kau harus ikut di
belakangku, jangan terlalu jauh. Kau percayalah kepadaku, tak seorang pun akan berani
mengganggu kau atau A Wan."
"Dung-dung-brakk!" Pintu itu hampir roboh oleh pukulan-pukulan dari luar.
"Sundal! Perempuan hina! Keluarlah bersama pacarmu, laki-laki hina si jembel buta itu
............. kalau tidak rumah ini akan kurobohkan!" teriakan Lao Tiu terdengar pula.
"Dipelihara Song-wangwe tidak mau malah memasukkan jembel buta, benar-benar seperti
anjing menolak roti mencari tai!"
"Kreeeeettttt..............!" Pintu dibuka oleh Kun Hong dari dalam. Semua mata mereka
yang merubung depan pintu pondok itu memandang. Si buta itu berdiri tegak di ambang
pintu, tongkatnya melintang di depan dada, wajahnya tenang mulutnya tersenyum tapi
kerut merut di antara kedua matanya makin dalam. Di belakangnya tampak janda itu
berdiri sambil memondong anaknya, jelas bahwa janda itu amat ketakutan, rambutnya
awut-awutan mukanya pucat.
"Wah, tak tahu malu.............. tak tahu malu........... berjina dengan jembel
buta............ kawan-kawan, hayo hajar mampus si buta, seret perempuan hina ini ke
depan kaki Song-wangwe!" Sementara itu tanpa memperdulikan Lao Tiu mencak-mencak,
Kun Hong berbisik kepada janda tadi menanyakan siapa mereka itu.
Janda itu berbisik menjawab, "Lao Tiu dan lima orang tukang pukul Song-wangwe
..........."
Panas rasa seluruh tubuh Kun Hong. Apalagi setelah Lao Tiu memberi aba-aba kepada lima
orang kawannya untuk turun tangan dan lima orang itu bergerak menyerbu. Kun Hong tak
dapat menahan sabar lagi. Enam orang itu, Lao Tiu dan lima orang tukang pukul, hanya
melihat bayangan berkelebat, sinar hitam menyambar-nyambar ke sekitar diri mereka dan
tahu-tahu mereka mengalami rasa sakit yang hebat. Seorang demi seorang menjerit, roboh
bergulingan di atas tanah seperti cacing terkena abu panas, mengaduh-aduh kesakitan
tanpa dapat mengerti sebetulnya bagian mana dari tubuh mereka yang nyeri. Sungguh aneh
dan lucu mereka itu, kadang-kadang menekan perut, lalu kepala, pundak, dada dan lain-
lain seperti orang dikeroyok ribuan ekor semut. Adapun Lao Tiu sendiri tahu-tahu sudah
dicengkeram tengkuknya oleh tangan yang amat kuat. Dia berusaha memberontak, namun
tengkuknya serasa hendak hancur dan panas seperti terbakar.
"Aduh.......... a ......... a ............. aduhh........... lepaskan.........." dia menjerit-jerit
seperti seekor babi disembelih, mukanya menengadah dan dapat ditundukkan. Dia masih
belum dapat melihat siapa orangnya yang mencengkeram tengkuknya karena dia tidak
mampu menggerakkan lehernya, hanya matanya melirik ke sana ke mari penuh rasa takut
karena kini dia dapat menduga bahwa yang mencekik tengkuknya pasti si buta itu, juga
yang merobohkan lima orang kawan yang dia andalkan. Sementara itu, para penduduk
dusun yang tadi beramai-ramai mengikuti rombongan ini dan hendak menonton,
memandang dengan mata terbelalak, malah rumah-rumah gubuk itu sekarang terbuka
semua pintunya dan berbondong-bondong penghuninya keluar untuk menonton ramai-ramai
di waktu fajar ini.
"Manusia berhati iblis! Manusia bermulut kotor!" Berkali-kali Kun Hong berkata perlahan,
lalu memaksa Lao Tiu untuk membungkuk, terus membungkuk sampai mukanya menyentuh
tanah. Beberapa kali Kun Hong menggosok-gosok muka itu dengan mulut di depan kepada
tanah, memukul-mukulkannya perlahan. Lao Tiu hanya bisa bersuara ah-ah-uh saja dan
ketika Kun Hong mengangkat kembali, mukanya penuh tanah dan mulutnya berdarah,
beberapa buah giginya copot!
"Mulutmu harus dirobek biar lebih mudah kau buka lebar-lebar mencaci maki orang!" kata
pula Kun Hong yang masih diracuni kemarahan itu. Tongkatnya digerakkan ke arah mulut
Lao Tiu.
"In-kong, jangan......... kasihan dia........" janda itu berseru penuh kengerian.
Kun Hong makin gemas. Tongkatnya tidak jadi merobek mulut, melainkan menampar pipi
kanan kiri sehingga kedua pipi itu menggembung. "Manusia keparat! Dengarlah kau? Dia
yang kau caci maki, kau hina, kau fitnah, kau bikin sengsara hidupnya, dia malah mintakan
ampun untukmu! Ah, kalau kau masih ada sedikit saja sifat manusia, tak malukah engkau?
Manusia keji, ah, alangkah inginku merobek mulutmu dari telinga kiri sampai ke telinga
kanan!"
"M......M... ampun.......... ampun........" dengan seluruh tubuh menggigil ketakutan Lao
Tiu meratap.
Kun Hong menengok ke kanan kiri, bahwa orang-orang dusun itu berkumpul semua di situ,
menonton. "Dengarlah kalian, sahabat-sahabat penghuni dusun ini! Kalian adalah orang-
orang bernyali kecil yang karena sifat pengecut kalian itu memang sudah patut dijadikan
orang-orang tertindas! Kalian tahu betapa jahatnya manusia-manusia macam ini dan
gembongnya yang merupakan diri hartawan dan tuan tanah Song, akan tetapi kalian tidak
menaruh kasihan kepada Yo-twaso yang tertindas ini, malah ikut menghinanya hanya untuk
menyenangkan hati Song-wangwe dan kaki tangannya! Hemmm, hari ini kebetulan aku
lewat di sini dan mendengar urusan penasaran ini, harap kalian jadikan contoh agar lain
kali kalian dapat bersatu padu melawan penindas yang membuat sengsara hidup kalian!"
Kun Hong menjambak rambut Lao Tiu dan didorongnya orang itu untuk berjalan. "Hayo
antar aku ke rumah majikanmu!" Kepada para penduduk yang berdiri terpaku keheranan itu
Kun Hong berkata,
"Kubiarkan lima orang tukang pukul ini menderita sebentar di sini, biar mereka merasakan
betapa sakitnya orang disiksa sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk
mengingat dan mengenangkan roh dari mendiang Yo Kui. Sahabat-sahabat semua tunggu
saja di sini jangan ikut aku ke rumah Song-wang-we. Aku hanya titip Yo-twaso dan
anaknya!"
Setelah berkata demikian, dia mendorong tubuh Lao Tiu yang karena ketakutan lalu
mengantarkannya ke rumah gedung keluarga Song yang amat megah dan besar. Di depan
pintu gerbang gedung itu, Kun Hong memaksa Lao Tiu untuk minta menghadap Song-
wangwe karena urusan yang sangat penting. Lao Tiu sudah mati kutunya, tidak berani
membantah dan minta kepada penjaga untuk , menyampaikan kepada Song-wangwe bahwa
dia minta bertemu untuk urusan "si janda Yo"!
Kiranya kalau bukan urusan ini yang diajukan oleh Lao Tiu, hartawan mata keranjang itu
belum tentu mau turun dari tempat tidurnya yang hangat. Sambil mengomel panjang
pendek mengapa si Lao Tiu itu begitu kurang ajar membangunkannya sepagi itu, dia keluar
juga karena memang sudah amat lama si bandot tua ini merindukan isteri Yo Kui yang
cantik manis yang seperti bandot mengilar ingin mendapatkan daun muda yang segar
kehijauan.
Akan tetapi kemarahannya lenyap seketika, terganti harapan dan kegembiraan ketika dia
melihat Lao Tiu di tempat yang agak gelap itu datang bersama seorang lain. Keadaan masih
remang-remang dan mata tuanya sudah agak lamur maka hartawan mata keranjang ini
menyangka bahwa Lao Tiu datang bersama si janda cantik!
"Aiih, Lao Tiu, kau pagi-pagi sudah memaksa aku meninggalkan ranjangku yang empuk. Eh,
kau datang dengan janda manis yang kurindukan? Heh-heh, mari masuk, manis, kebetulan
sekali."
Tiba-tiba kata-kata yang ramah itu terhenti, terganti seruan kaget yang hanya berbunyi
"eh-eh, ah-ah, oh-oh" saja karena seperti halnya Lao Tiu tadi, tengkuknya sudah dicekik
oleh Kun Hong yang bergerak cepat menyerbunya.
Kun Hong menyeret Song-wangwe dan Lao Tiu dengan kedua tangannya. Beberapa orang
penjaga datang memburu dan memaki, "Penjahat kurang ajar, apakah kau sudah gila?
Lepaskan Song-wangwe!"
Akan tetapi kata-kata makian ini hanya sampai di situ saja karena si pemakinya bersama
seorang kawannya yang lain sudah terlempar sejauh tiga meter lebih oleh tendangan kaki
Kun Hong. Penjaga-penjaga lain datang dengan senjata di tangan.
"Mundur semua!" Kun Hong membentak. "Kalau tidak, lebih dulu akan kupatahkan leher
majikanmu. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membereskan urusan penasaran
janda Yo!" Setelah mengancam demikian, Kun Hong mendorong terus dua orang
tawanannya itu kembali ke tempat tinggal janda Yo Kui. Para penjaga menjadi bingung dan
tentu saja tidak berani turun tangan untuk menjaga keselamatan majikan mereka.
Penjaga-penjaga itu berkumpul dan hanya berani mengikuti di belakang Kun Hong, sambil
berunding bagaimana harus menyerang si buta yang menawan majikan mereka.
"Jangan serang................ uh-uhh....... jangan serang.............. goblok..............!"
Song-wangwe berkali-kali berteriak mencegah kaki tangannya karena dia betul-betul
ketakutan dan sama sekali tidak dapat berkutik dalam cengkeraman yang amat kuat dan
menyakitkan leher itu.
Para penduduk dusun berseru keheranan, penuh kekagetan dan kekaguman ketika mereka
melihat si buta itu datang lagi, kini menyeret Lao Tiu dan Song-wangwe sedangkan di
belakangnya berjalan banyak penjaga tanpa berani bergerak menyerang sehingga
dipandang sepintas lalu seakan-akan mereka ini malah menjadi anak buah Kun Hong si
buta!
Setibanya di depan pondok janda Yo, Kun Hong melemparkan tubuh Lao Tiu ke bawah. Lao
Tiu bergulingan saling tindih dengan lima orang tukang pukul yang masih merintih-rintih
seperti ikan dilempar ke darat. Lao Tiu terlampau takut dan terlampau sakit-sakit
mukanya, sehingga diapun tidak sanggup bangkit lagi. Kedua pipinya membengkak besar
membiru, matanya merah, mukanya kotor dan mulutnya berdarah, bibirnya bengkak-
bengkak tebal, giginya banyak yang copot.
"Song-wangwe, apakah kau tahu apa sebabnya aku menawanmu dan menyeretmu ke
tempat ini?" tanya Kun Hong, suaranya tegas berwibawa.
Hartawan itu diam saja. Kun Hong memperkeras cengkeramannya dan membentak, "Hayo
jawab!"
"Tidak............... ti........... tidak tahu........" suaranya gemetar tubuhnya menggigil.
"Hayo kau ceritakan tentang urusanmu dengan mendiang Yo Kui dan tentang kehendakmu
yang kotor terhadap nyonya janda Yo. Tentang Lao Tiu yang kau suruh membujuk-bujuk,
tentang penipuanmu menggunakan surat perjanjian tanah, tentang cara kotormu menyogok
pembesar yang melakukan pengadilan, tentang lima orangmu yang mengeroyok dan
memukul mendiang Yo Kui. Hayo ceritakan, kalau ada yang kau lewatkan satu
saja............ hemmm, aku benar-benar akan mematahkan batang lehermu yang lapuk ini!"
Karena nyawanya benar-benar terancam maut di tangan kuat pemuda buta itu, dengan
suara tersendat-sendat si tua Song terpaksa menceritakan semua tipu muslihatnya
terhadap mendiang Yo Kui, dan betapa dengan bantuan tukang pukulnya dan Lao Tiu, dia
berusaha keras untuk menarik diri janda Yo menjadi kekasihnya. Kata-katanya yang
terputus-putus ini didengar oleh semua orang tanpa ada yang berani mengeluarkan suara,
hanya terdengar isak tangis nyonya janda muda itu yang merasa terharu dan juga bangga
karena sekali ini selain ia dapat membalas sakit hati, membuat roh suaminya tidak
penasaran, juga sekaligus ia dapat mencuci bersih namanya di depan umum.
Sebetulnya, hal ini bukanlah rahasia bagi para penduduk dusun itu, karena mereka semua
sudah tahu macam apa adanya tuan tanah itu dengan sekalian kaki tangannya. Akan tetapi
baru kali ini mereka mendengar hal ini dibongkar dan diceritakan oleh si tuan tanah
sendiri. Benar-benar hal yang amat luar biasa!
Setelah selesai membuat pengakuan, dengan suara serak tuan tanah itu meratap,
"............. ampunkan saya, Tai-hiap (pendekar besar), ampunkan saya............ saya
berjanji......... tidak berani lagi..........."
Gatal-gatal tangan para penjaga dan kaki tangan tuan tanah itu, namun mereka tak
berdaya dan tidak berani bergerak karena maklum bahwa si buta itu tak boleh dipandang
ringan. Buktinya, lima orang tukang pukul yang pandai silat itupun sekarang masih
merintih-rintih tak dapat bangun. Pula, kalau mereka hendak mengeroyok, tentu tuan
tanah itu akan terbunuh lebih dulu.
"Mudah saja mengampunkan orang macam kamu, tapi bagaimana dengan orang-orang yang
sudah mati karena perbuatanmu? Bagaimana dengan wanita-wanita yang sudah kau hina?"
Kun Hong membentak.
"Ampun............ ampun..........."
"Hayo kau suruh seorang di antara kaki tanganmu untuk mengambil lima ratus tail perak
untuk mengganti kerugian nyonya Yo, sediakan sebuah gerobak berikut kudanya. Cepat!
Hanya itu yang akan menjadi pengganti nyawamu."
Tanpa ayal lagi tuan tanah itu menyuruh seorang kepercayaannya yang berdiri melongo di
tempat itu untuk segera memenuhi permintaan Kun Hong ini. Para penduduk ramai
membicarakan hal ini, ada yang terheran-heran, ada yang kagum, ada yang iri hati kepada
nyonya janda yang sekarang berdiri dengan muka pucat dan bingung, terlalu kaget
menghadapi semua kejadian yang sekaligus mengubah jalan hidupnya ini.
Dengan berdiri tegak Kun Hong menanti sampai pesuruh tuan tanah itu datang kembali
membawa sebuah gerobak berikut kudanya yang cukup baik, terisi lima ratus tail perak!
Semua penduduk memandang dengan melongo. Belum pernah mereka melihat uang perak
sebanyak itu, jangankan melihat, mimpi pun belum pcrnah!
"Twa-so, gerobak dan uang ini milikmu. Dengan gerobak ini kau dan anakmu bisa mencari
pamanmu ke Cin-an dan uang ini dapat kau pakai sebagai modal hidup.
"........... ah............. terlalu............. terlalu banyak untuk apa ......?" Janda itu
berkata gagap.
Kun Hong tersenyum. "Untuk apa, terserah kepadamu karena uang ini milikmu yang sah!"
Janda itu memandang ke kanan kiri, melihat betapa para penduduk memandangnya dengan
mata terbelalak, dengan wajah mereka yang kurus-kurus dan pakaian mereka yang tambal-
tambalan. Mendadak janda muda itu sambil memondong anaknya lari ke arah gerobak,
melihat lima kantong uang perak bertumpuk di situ, lalu berpaling kepada seorang dusun
yang sudah tua.
"Chi-lopek (uwak Chi), kau turunkan tiga karung dan kau bagi-bagikan rata kepada semua
saudara penduduk dusun kita,"
Hampir saja semua orang tak dapat percaya apa yang mereka dengar ini, kemudian setelah
janda itu mengulangi perkataannya, terdengar mereka bersorak sorai dan memuji-muji
nyonya Yo. Malah beberapa orang wanita lari menghampiri, memeluknya, menciuminya
sambil menangis. Yang lelaki pada tertawa lebar, wajah yang kurus-kurus itu berseri-seri
timbul harapan baru dengan adanya tambahan bantuan uang yang tidak sedikit itu.
Kun Hong mengangguk-angguk, diam-diam dia kagum sekali dan benar-benar dia puas telah
menolong seorang yang memiliki pribadi setinggi nyonya janda itu. Biarpun seorang dusun,
ternyata wanita ini benar-benar seorang bidadari, pikirnya dan terbayanglah wajah Cui Bi
di depan mukanya. Setelah selesai tiga karung diturunkan, Kun Hong lalu melepaskan tuan
tanah, dengan jari tangannya dia menotok punggung dan pangkal paha. Tuan tanah itu
berteriak dan roboh, dari mulutnya keluar darah.
"Kau tidak akan mati," kata Kun Hong "akan tetapi ingat, sekali lagi kau melakukan
gangguan kepada orang-orang tak bersalah, aku akan datang kembali dan membikin
perhitungan yang lebih hebat denganmu. Pulanglah!" Tuan tanah itu merangkak bangun,
segera dituntun dan diangkat oleh orang-orangnya, Dia tidak tahu bahwa, semenjak saat
itu dia takkan mampu lagi melakukan perbuatan hina, tidak akan dapat mengganggu
wanita lagi karena dengan kepandaiannya, Kun Hong telah membuatnya menjadi seorang
laki-laki lemah. Kemudian Kun Hong menyembuhkan lima orang tukang pukul tadi, akan
tetapi mereka inipun mendapat bagian. Dengan memijat urat darah terpenting Kun Hong
membuat mereka berlima itu kehilangan tenaga pada kedua lengannya, sehingga
selanjutnya mereka takkan dapat menjadi tukang pukul lagi!
"Karena kau masih saudara misan Yo-twaso, kau kuampuni. Akan tetapi kau harus
mengantar Yo-twaso ke Cin-an sampai bertemu dengan pamannya. Awas, jangan kau main-
main karena sekali kau menyeleweng, nyawamu takkan tertolong lagi," kata Kun Hong
kepada Lao Tiu sambil cepat-cepat dia menyentuh jalan darah di dadanya. Lao Tiu
merintih, merasa betapa jantungnya berdetak keras dan ada rasa nyeri dan perih di dekat
lehernya.
"Kau terancam maut oleh luka di dadamu," kata Kun Hong, "dan obatnya hanya akan
dimengerti oleh Yo-twaso. Kalau kau sudah mengantarkan ia dengan selamat sampai di Cin-
an dan bertemu dengan pamannya, baru dia akan memberi tahu kepadamu cara
pengobatannya sampai kau sembuh. Nah, dengan jaminan ini, sekali kau menyeleweng, kau
akan mampus dan tubuhmu akan menjadi busuk sebelum nyawamu melayang." Kun Hong
sengaja mengeluarkan ancaman ini, padahal yang dia lakukan itu hanyalah totokan biasa
saja dan sama sekali tidak ada bahayanya, dalam waktu sebulan rasa tak enak itu akan
hilang sendiri. Akan tetapi dia perlu mengancam dan menakut-nakuti orang berwatak buruk
seperti Lao Tiu.
"Yo-twaso, mari kita masuk pondok. Akan kuberi tahu rahasia pengobatan dia itu dan aku
akan menukar pakaianku."
Dengan tongkat meraba-raba ke depan Kun Hong memasuki pondok Nyonya Janda Yo
sambil menggandeng tangan A Wan berlari mengikuti. Sampai di dalam pondok, janda
muda ini tak dapat menahan lagi hatinya yang penuh perasaan haru, girang, dan bahagia.
Sambil terisak menangis ia menubruk Kun Hong dan merangkulnya, menangis tersedu-sedu.
"In-kong............. ah, In-kong........... kau telah menyelamatkan hidupku..........
menyelamatkan nama baikku.......... In-kong, budimu setinggi gunung...... dan..............
kau seorang buta ............! Ah, betapa inginku membalas budimu .......... In-kong,
andaikata dapat, aku rela memberikan kedua mataku untukmu!"
Dengan penuh perasaan nyonya muda itu menarik leher Kun Hong dan tanpa malu-malu
karena perasaan terima kasih yang meluap-luap ia lalu menciumi kedua mata yang buta
itu!
"Twa-so, jangan..............!" Suara Kun Hong tersedak karena dia menahan perasaannya
dan kedua tangannya memegang pundak wanita itu, didorong menjauh. Sejenak wanita itu
menatap wajahnya, melihat betapa mata yang buta itu bergerak-gerak, celah-celah
belahan pelupuk membasah, hidung yang mancung itu kembang-kemping, bibirnya
bergerak-gerak gemetar.
"In-kong...........!" wanita itu lalu menjatuhkan dirinya, kini memeluk kedua kaki Kun Hong
dan menciumi sepatu yang kotor, membasahi dengan air mata dan menggosok-gosoknya
dengan rambut.
"In-kong, selama hidupku takkan dapat aku bertemu dengan manusia seperti In-
kong............ apa artinya menempuh hidup baru di Cin-an kalau aku takkan dapat
bertemu dengan orang sepertimu lagi? In-kong, biarlah aku membalas budimu dengan
menghambakan diri............. biarlah aku menjadi bujangmu. A Wan juga..............
biarkan kami berdua merawatmu, biarkan aku menuntunmu ............"
"Yo-twaso, diam..............!" Kun Hong mengeluarkan suara bentakan dan sekali tarik dia
membuat wanita itu berdiri. "Kau wanita baik-baik, kau seorang suci dan mulia hatimu.
Thian pasti akan memberkatimu. Hayo kita keluar, kau harus berangkat sekarang juga.
Mana pakaianku?"
Dengan masih terisak wanita itu berkata sedih, "Tidak akan kukembalikan, In-kong. kalau
tak dapat berkumpul dengan orangnya, biarlah pakaiannya menjadi kenang-kenangan.
Kuganti dengan pakaian suamiku pula.............. pergi meninggalkan kami berdua
..............." ia terisak lagi.
Kun Hong maklum bahwa paling berat adalah mempertahankan nafsu hati, oleh karena itu
dia tidak mau banyak ribut tentang pakaian, segera dia menuntun tangan A Wan keluar
dari pintu, diikuti oleh janda itu. Sambil terisak janda itu minta diri dari semua
tetangganya, lalu ia naik gerobak bersama A Wan. Lao Tiu sudah duduk di depan, orang ini
sekarang taat benar.
"Aku akan mengantar sampai keluar dusun," kata Kun Hong dan berangkatlah mereka.
Gerobak ditarik kuda berjalan perlahan meninggalkan kampung, di belakang gerobak, Kun
Hong berjalan sambil memegang tongkat, Di belakangnya, orang-orang dusun mengantar
sampai ke pinggir dusun, melambaikan tangan kepada A Wan dan ibunya.
Setelah gerobak meninggalkan dusun itu sejauh sepuluh li dan tiba di jalan simpang empat,
Kun Hong berkata,
"Lao tiu, berhenti dulu." Gerobak berhenti dan dia berkata kepada janda Yo, "Yo-twaso,
nah, sampai di sini kita berpisah. Selamat jalan dan semoga kau bahagia. A Wan, jaga
ibumu baik-baik, ya? Sudah, Lao Tiu, sekarang kau balapkan kudamu."
"Nanti dulu ..........!" Nyonya janda itu melompat begitu saja turun dari gerobak, lari
menghampiri Kun Hong dan berlutut di depannya. "Sekali lagi, In-kong........... bolehkan
aku dan A Wan menghambakan diri padamu? Biar kami ikut ke mana kau pergi............."
Suaranya penuh permohonan.
"Bodoh, kau orang baik. Aku seorang buta, seorang pengemis................"
"Tidak apa, aku masih bermata. Mataku sama dengan matamu, dan aku.......... aku
sanggup bekerja untukmu........... andaikata mengemis sekalipun................ aku yang
akan mengemis, In-kong ..........."
"Cukup semua ini! Twa-so, jangan lemah, ingatlah anakmu. Aku berjanji, kelak akan kucari
kau dan A Wan di Cin-an."
"Betulkah?" Terdengar suara mengandung harapan. "In-kong, sampai kini belum kuketahui
namamu yang mulia,"
Kun Hong tersenyum pahit, "Apa artinya nama? Kenalilah aku sebagai sibuta......... dan eh,
jangan lupa .........." Ia mendekatkan mukanya sambil mengangkat janda itu bangun
berdiri.
"...... si Lao Tiu tidak kuapa-apakan, kelak bilang saja obatnya minum abu hio, sehari satu
sendok sampai sebulan. Nah, selamat jalan!" Kun Hong yang tak ingin wanita itu menunda-
nunda perjalanannya, tiba-tiba mengangkat tubuh wanita itu dan..............
melontarkannya ke depan.
Janda itu menjerit lirih, tubuhnya melayang dan............ jatuh dalam keadaan duduk di
atas gerobak, di dekat A Wan yang tertawa-tawa melihat ibunya "terbang" tadi.
Gerobak dijalankan cepat. Kun Hong berdiri tegak sampai lama menghadap ke arah
gerobak. Sudah lama gerobak itu menikung dan penumpangnya tidak melihatnya lagi,
namun telinganya masih dapat mendengar derap kaki kuda yang makin menjauh. Dia
menarik napas panjang, lega hatinya karena tadi dia benar-benar gelisah ketika
menghadapi bujukan dan permohonan janda muda itu.
"Berbahaya............ !" pikirnya, dia masih terharu kalau mengenangkan janda muda dan
puteranya itu. Akan tetapi dia segera mengusir perasaan ini dan melanjutkan
perjalanannya sambil bernyanyi.
Comments