Skip to main content

Rajawali Emas 24 - Kho Ping Hoo

Setelah belasan jurus saling serang, diam-diam Tok Kak Hwesio mengeluh di dalam hatinya. Ia tahu bahwa Song-bun-kwi adalah seorang tokoh besar yang sakti dan yang jauh lebih tinggi ilmunya daripada dia sendiri, akan tetapi sungguh ia tidak mengira bahwa cucunya, seorang pemuda yang usianya baru dua puluhan tahun, sudah memiliki kepandaian begini tinggi dan tenaga yang begini kuat. Di lain pihak, Kong Bu juga merasa sukar untuk menjatuhkan hwesio itu karena dia tak pernah berani melakukan tangkisan terhadap cengkeraman lawan. Dengan cara mengelak tiba-tiba ia dapat balas memukul sehingga biarpun ia dapat mendesaknya dengan hujan pukulan, namun masih kurang cepat dan selalu dapat dielakkan oleh hwesio kosen itu. Apa pula kalau hwesio itu menangkis sambil mencengkeram, ia selalu harus menghindarkan tangannya dan menarik kembali pukulannya.

Tiba-tiba ia mendengar suara lirih di dekat telinganya, "Cengkeraman cakar bebek begini saja takut apa? Paling-paling membikin lecet kulit" Kong Bu girang sekali. Itulah suara kakeknya.

Sejak tadi ia melihat-lihat akan tetapi di situ tidak kelihatan kakeknya muncul, sekarang tahu-tahu ada suaranya yang dikirim dari tempat jauh. Tadinya ia ragu-ragu untuk membiarkan tangannya dicengkram lalu membarengi memukul, sekarang mendengar bisikan ini, hatinya menjadi tabah. Ketika tangan kirinya menjotos dada, kakek itu menangkis sambil mencengkeram lengan Kong Bu. Pemuda ini sengaja berlaku lambat sehingga pergelangan tangan kirinya benar-benar dapat dicengkeram. Tok kak Hwesio sudah menyeringai kegirangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras, dadanya terkena jotosan hebat dari tangan kanan Kong Bu. Hwesio itu berteriak, tubuhnya terlempar ke bawah panggung dan roboh terbanting, bangkit lagi lalu muntah darah segar, terus ngeloyor pergi dari situ.

Toat-beng Yok-mo marah sekali, tubuhnya sudah melayang ke atas panggung. Akan tetapi sebelum Kong Bu menghadapinya, Kun Hong sudah berlari-lari naik ke panggung melalui anak tangga, terus menarik tangan Kong Bu yang kiri. "Wah, kau terkena racun!" bisiknya sambil menotok beberapa jalan darah di lengan itu, mengurut sebentar lalu berkata,

"Saudara Kong Bu, aku berterima kasih bahwa kau sudah mewakili aku, tapi aku tak senang kau atas namaku menjotos orang sampai muntah darah. Sekarang turunlah, minta Ayahmu supaya mengeluarkan darah di pergelangan tanganmu dengan melukainya,

kemudian kau telanlah dua butir pel ini." Ia mengeluarkan dua butir pel hijau buatannya sendiri dari daun-daun yang khasiatnya memunahkan racun. Kong Bu mengangguk dan hendak turun panggung, tapi ia memandang ragu kepada Toat-beng Yok-mo.

"Saudaraku, apakah kau benar-benar dapat menghadapi iblis ini?" bisiknya.

"Biarlah, itu tanggung jawabku, kau turunlah,'" jawab Kun Hong. Ketika Kong Bu menoleh ke arah ayahnya, ia melihat ayahnya memberi isyarat supaya ia turun, maka ia pun lalu melompat turun.

Adapun Toat-beng Yok-mo ketika melihat cara Kun Hong mengobati Kong Bu tadi, memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia mencak-mencak saking marahnya ketika ia mengenal bahwa cara pengobatan itu adalah pelajaran dari kitabnya.

"Pencuri, kau harus mampus di tanganku untuk menebus dosamu!" teriaknya marah.

"Nanti dulu, Toat-beng Yok-mo jangan sembarangan kau menuduh orang. Di sini banyak orang gagah yang menjadi saksi, tak boleh kau menuduh sebagai pencuri. Coba katakan orang yang kecurian tentu kehilangan sesuatu, dan kau kehilangan apamukah?"

"Aku tidak kehilangan sesuatu, tapi kau tetap mencuri, mencuri ilmuku pengobatan. Hayo katakan, apakah kau tidak membaca habis kitab-kitabku tentang ilmu pengobatan? Jawab!"

Kun Hong menghadapi para tamu yang dengan penuh perhatian mendengarkan perdebatan itu. "Cu-wi sekalian mendengar jelas bahwa kakek ini tidak kehilangan suatu, akan tetapi menuduh siauwte sebagai pencuri. Bukankah itu aneh? Yok-mo, kau membohong! Dulu ketika kau terluka, kau minta aku menolongmu, menggendongmu berhari-hari lamanya dan sementara itu, kau sudah memberi ijin kepadaku untuk membaca Kitab-kitabmu yang sudah kukembalikan pula. Jadi aku tidak mencuri baca kitab-kitabmu karena kau sudah memberi perkenan. Adapun tentang ilmu, ilmu itu bukankah milik pribadi siapapun juga. Siapapun dia orangnya yang suka mempelajari, akan memiliki ilmu itu, yang suka mempelajari akan mendapatkan ilmu, yang mengajar takkan kehilangan ilmu, karena ilmu bukanlah milik pribadi manusia dan akan lenyap bersama manusia, kembali ke tangan pemiliknya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Nah, sadarkah kau sekarang?"

"Sadar perutmu!" Toat-beng Yok-mo memaki. Siapa yang pernah kuobati dia harus kubunuh siapa yang memiliki ilmu pengobatanku dia pun harus kubunuh!"

"Wah-wah-wah, kalau begitu kau nyeleweng dari kebenaran. Kau nyeleweng dan tersesat jauh sekali, orang tua. Benar kata-kata kuno yang menyatakan bahwa segala sesuatu, baik buruknya tergantung dari manusla yang bersangkutan. Pisau tetap pisau, dapat dipergunakan untuk hal-hal yang baik misalnya pemotong sayur-sayur di dapur sebagai alat pembuat perabot rumah tangga, dan lain-lain. Akan tetapi pisau yang itu-itu juga dapat dipergunakan untuk hal yang buruk misalnya menusuk perut sesama manusia!

Segalanya tergantung kepada manusia yang memegangnya. Hemm, Toat-beng Yok-mo ilmu pengobatan pun demikian baik bentuknya tergantung kepada manusia yang menguasainya. Di tanganmu, ilmu itu menjadi alat kejahatan."

"Sudah, aku bukan datang untuk mendengar kuliahmu, melainkan untuk mencabut nyawamu. Hayo berani kau melawan aku?"

"Berani dan tidak bagiku tergantung dari persoalannya. Kalau aku berada di pihak benar, aku takkan mengenal takut, sebaliknya kalau aku berada di pihak salah, aku tak mengenal berani. Dalam persoalan antara kita, aku tidak bersalah, tentu aku tidak takut, Yok-mo."

"Keparat, lidahmu tak bertulang, bibirmu lemas seperti bibir perempuan, omonganmu berbelit-belit. Keluarkan senjatamu!"

"Apakah lidahmu bertulang? Bibirmu kaku?" Kun Hong menjawab, akan tetapi karena maklum bahwa kakek ini berkepandaian tinggi, ia lalu mencabut pedangnya secara terbalik yaitu memegang gagang pedang dengan ujung pedang menghadang ke dalam seperti orang memegang sebilah pisau belati.

"Awas serangan!" Yok-mo segera menerjang maju dengan tongkatnya, ingin sekali pukul menghancurkan kepala lawan, maka ia mengarah tubuh bagian atas ini.

"Wah, galaknya!" Kwa Hong membungkuk dengan kaku, gerakannya lucu seperti gerakan orang yang tidak pandai silat, namun anehnya, pukulan itu tidak mengenai kepalanya. Tongkat itu lewat dan langsung membabat kembali menyerang dada. Kun Hong terhuyung-huyung mundur, kakinya bergerak "set-set-set" dengan tubuh melengkung ke sana ke mari, kedua tangannya dikembangkan, kadang-kadang ia berdiri di kedua ujung jari kakinya, seperti penari ballet! Gerakannya lucu seperti badut menirukan penari-penari ballet, tapi hebatnya, semua serangan Toat-beng Yok-mu tak pernah menyentuh kulitnya

Sin Lee, Cui Bi, Li Eng dan Hui Cu biarpun sudah mengenal baik pemuda itu, kini tetap meragu dan gelisah. "Wah, Saudara Kun Hongr benar-benar gegabah sekali kakek itu lihai dan berbahaya." kata Kong Bu perlahan.

Sin Lee melongo dan memandang dengan mata terbelalak. "Aneh .... aneh .... "

Ia mengucapkan kata-kata ini berkali-kali karena makin lama makin jelas melihat gerakan-gerakan yang menyerupai gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari ibunya. Kaki itu, tangan itu yang dikembangkan, memang agak berbeda dan tidak "aseli" lagi, tapi lebih praktis lebih hebat. Apakah hal ini kebetulan saja?

Akan tetapi orang-orang ini menjadi tenang ketika mendengar suara Beng San perlahan, "Tak usah kuatir. Yok-mo takkan dapat menangkan Kun Hong. Hebat... Hebat orang muda itu..." Toat-beng Yok-mo menjadi merah mukanya seperti udang direbus. Ia merasa penasaran sekali, juga merasa dipermainkan di depan banyak tokoh kang-ouw.

Tongkatnya bergerak makin cepat tenaganya dikerahkan sehingga tongkatnya itu seakan- akan berubah menjadi puluhan batang yang menghadang dan menyerang tubuh Kun Hong dari segala penjuru.

Namun hebat sekali gerakan pemuda itu. Kelihatannya terhuyung-huyung, jongkok, berdiri, berloncatan ke kanan kiri, malah adakalanya membanting tubuh bergulingan, ada kalanya menari-menari dengan kedua lengan dikembangkan dan berdiri di ujung jari kaki, akan tetapi semua gerakan ini seirama dengan jurus-jurus penyerangan Toat-beng Yok-mo sehingga, semua serangan itu gagal.

Menyerang pemuda ini sama susahnya dengan menyerang bayangan sendiri.

"Iblis! Siluman! Hayo balas serang kalau kau memang laki-laki!" terlak Yok-mo dengan suara keras, saking marahnya.

"Sudahlah, Yok-mo. Kau tidak bisa mengalahkan aku, tidak bisa merobohkan aku, apakah kau masih belum mau terima?" kata Kun Hong sambil mengelak lagi dari sambaran tongkat dengan cara aneh, yaitu tubuhnya bagian atas meliuk ke kanan kiri tanpa mengeser kaki, seperti sebatatg rumput alang-alang tertiup angin besar.

Para penonton mulai bersorak-sorak dan terheran-heran. Bahkan golongan tua yang menonton pertunjukan ini saling pandang tidak percaya, Apakah Yok-mo yang main- main ataukah mata mereka yang sudah tidak terang lagi? Benar-benar belum pernah mereka melihat hal semacam itu, bahkan teori persilatan yang manapun belum pernah mereka mendengar apalagi melihat. Hanya Beng San seorang yang mengangguk-anguk puas. Dugaannya ternyata tidak keliru. Pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi, malah ia dapet merasa bahwa dasar ilmu yang berupa langkah-langkah sakti itu mirip dengan dasar ilmu silatnya sendiri mirip dengan dasar Im-yang Sin-hoat. Hanya bedanya, kalau Im-yang Sin-hoat dikembangkan menjadi ilmu pedang yang sakti, adalah ilmu yang dimiliki pemuda itu bercampur dengan gerakan-gerakan seekor burung sakti. Cara mengelak itu tidak salah lagi mempergunakan unsur Im dan yang, akan tetapi gayanya adalah gaya pengelakan seekor burung. Ia makin kagum, lebih-lebih kalau ia ingat betapa pemuda itu dengan rapat sekali dapat menjaga menutupi kepandaiannya yang jelas membayangkan watak merendah, watak yang tidak suka menonjolkan diri, apalagi berdasar watak welas asih yang tidak suka melihat bunuh-bunuhan.

"Iblls cilik, buat apa kau memegang pedang? Hayo serang aku, kalau kau memang berkepandaian!"

"Aku tidak berkepandaian apa-apa, akan tetapi kalau kau minta aku balas menyereng, boleh, Nah, jaga pedangku, ini!" Kun Hong menggerakkan pedangnya yang masih terbalik cara memegangnya itu, tangan kanannya bergerak seperti memukul dan tahu- tahu pedang itu membabat di pinggir lengannya, seperti seekor ayam jantan menggunakan jalu kakinya untuk menyerang, atau seperti seekor burung menerjang lawan menggunakan kakinya.

Yok-mo menangkis, sambi mengerahkan tenaga, dengan maksud membuat pedang lawan terlepas. Akan tetapi, begitu terdengar suara nyaring beradunya kedua senjata itu, Yok- mo merasa lengannya sakit-sakit dan tubuh Kun Hong terpental ke atas! Ternyata tubuh itu ringan sekali sehingga benturan senjata membuat ia terpental, tapi tidak mempengaruhi keadaannya, malah dari atas ia lalu menukik ke bawah seperti seekor burung yang mematuk, pedangnya mendahuluinya menusuk, kedua kakinya bergantian menendang dan tangan kirinya juga menampar dari samping. Sekaligus Yok-mo menghadapi dua tendangan, satu tamparan dan satu tusukan.

"Ahhhh!!" Sin Lee berseru sambil berdiri dari kursinya. Itulah gerakan Rajawali Mematuk! Tapi hebat sekali, lebih hebat daripada gerakannya sendiri.

Yok-mo terkejut bukan main, cepat ia menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah pedang sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba gerakan tongkatnya terhenti dan tahu-tahu tongkat itu sudah dicengkeram oleh tangan kiri Kun Hong! Ketika Yok-mo hendak membetot, kaki Kun Hong sudah menendang ke arah tangannya sehingga terpaksa kakek ini melepaskan tongkatnya dan melompat mundur. Namun terlambat, ujung pedang Kun Hong sempat menggaris tengkuknya, membuat luka memanjang yang tidak dalam namun cukup merobek baju dan kulit.

"Ah, aku menyesal sekali. Tidak sengaja .... " Kun Hong berseru dan mengembalikan

tongkat kepada Yok-mo..

Saking malunya, muka Yok-mo menjadi merah menghitam. Ia menerima tongkat dan tiba-tiba ia menekuk tubuhnya, membungkuk-bungkuk dan merintih-rintih,

"Aduh... aduh... perutku... kambuh sakitnya .... "

Kun Hong adalah seorang yang penuh welas asih, sama sekali tidak menaruh dendam kepada kakek itu. Melihat muka yang menyeringai kesakitan, ia cepat menyimpan pedangnya dan menghampiri.

"Ada apa? Apanya yang sakit? Biarlah aku memeriksanya, Yok-mo." Ia lalu berlutut dan mengulurkan kedua tangan memeriksa bagian perut kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba Yok- mo menggerakkan tongkatnya menghantam kepala Kun Hong sambil menendang dengan kaki ke arah dada pemuda itu.

"Heh! Curang!!" Tubuh Beng San. melayang ke atas panggung. Juga para penonton berteriak-teriak, "Curang... curang...!"

Kun Hong kaget sekali, tapi dengan cepat tubuhnya meliuk ke belakang, pukulan tongkat pada kepalanya meleset, akan tetapi dadanya kena tendang sehingga ia terjengkang dan bergulingan ke belakang. Anehnya, ia bangun lagi dan sama sekali tidak apa-apa! Sebaliknya, Yok-mo muntah-muntah darah lalu roboh dan napasnya putus! Apa yang terjadi? Kiranya tadi Kun Hong benar-benar hendak mengobatinya dan pemuda ini dengan kedua tangannya sudah mencengkeram jalan darah di kanan kiri perut kakek itu.

Tentu saja ia melakukan hal ini dengan maksud baik karena hendak mengobati. Siapa kira kakek itu malah memukul dan menendangnya. Gerakan ini sebetulnya sama sekali pantang bagi seorang yang urat perutnya dicengkeram, maka begitu menendang, kakek itu merasa perutnya muak dan sakit, kiranya urat-urat perutnya sudah hancur, dan membanjir ke dalam perut dan nyawanya tak dapat diselamatkan lagi. Kun Hong berdiri melongo, tak tahu apa yang menjadi sebab kematian kakek itu, wajahnya agak pucat.

"Aku... aku tidak bermaksud membunuhnya... aku tidak membunuh .... " katanya berulang-

ulang kepada Beng San yang sudah berada di panggung.

Beng San menepuk-nepuk pundak Kun Hong lalu diajaknya pemuda itu turun panggung, lalu ia memerintahkan anak buah Thai-san-pai untuk menurunkan mayat Yok-mo dan mengurusnya baik-baik.

"Jangan berduka, Kun Hong, Yok-mo tewas karena kesalahannya sendiri, bukan karena kau." Beng san menghibur, melihat wajah muram pemuda itu. "Kau hendak menolongnya, sebaliknya dia membalas dengan tendangan dan pukulan, memang sudah kehendak Thian bahwa siapa yang jahat takkan selamat."

Pada saat itu di atas panggung sudah muncul seorang kakek tua bertubuh kecil dengan muka tersenyum-senyum dan sepasang mata liar. Inilah Siauw-ong-kwi, kakek tokoh dari utara yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Kakek ini sebetulnya jerih menghadapi Beng San yang ia tahu memiliki ilmu silat hebat, akan tetapi karena dalam pengeroyokan kemarin dulu ia yakin betul bahwa Beng San terluka dalam parah sekali, kini ia hendak mempergunakan kesempatan untuk mengalahkan musuh ini dan mengangkat nama sendiri, sekalian untuk membalas dendam atas kematian muridnya, Giam Kin, di tempat itu. Giam Kin celaka dan tewas oleh Kwa Hong, sekarang Kwa Hong sudah tewas pula, maka sudah sepatutnya ia membalas kepada Beng San.

"Aku menantang kepada Ketua Thai-san-pai untuk memperlihatkan kepandaiannya sebagai Ketua Thai-san-pai. Kalau ketua Thai-san-pai bersembunyi di belakang orang- orang muda, biarlah kuanggap dia tak berani karena aku tidak sudi melawan orang-orang muda,"

Beng San maklum bahwa kakek dari utara ini sengaja menantang dia karena tahu bahwa

dia kemarin dulu terluka. Malah harus ia akui bahwa sekarang pun tenaganya belum pulih kembali dan Siauw-ong-kwi terkenal seorang ahli ilmu silat tangan kosong yang mengandalkan tenaga dalam. Tentu saja kakek ini baginya bukan apa-apa kalau ia tidak terluka sedemikian hebatnya sehingga hampir saja nyawanya melayang kalau tidak tertolong oleh Kun Hong. Sekarang pun andaikata mereka harus bertanding dengan senjata, pedangnya sudah pasti akan dapat mengatasi kakek ini. Ia bangkit dari tempat duduknya perlahan-lahan.

"Perlu apa melayani orang gila itu?" Li Cu segera melarang, "Biarlah aku yang melayaninya."

Beng San menggeleng kepalanya dan memberi isyart kepada isterinya supaya duduk kembali, "Kau tidak boleh bertempur, jaga kandunganmu," jawabnya perlahan. "Ayah, aku sanggup menghadapinya!" Cui Bi bangkit. "Kesehatanmu belum pulih, biar aku mewakilimu menghajar kakek gila itu."

"Aku pun sanggup menghadapinya," kata Kong Bu.

"Biar aku saja, Ayah," kata pula Sin Lee.

"Paman masih belum sehat benar, biarlah saya mewakili Paman." Li Eng tak mau ketinggalan.

Beng San tersenyum dan hatinya bangga, tapi ia menggeleng kepalanya lagi.

"Siauw-ong-kwi tadi menyatakan takkan melayani orang muda dan ia sengaja menantang kepadaku, Biarpun aku harus menghemat tenaga memulihkan kesehatan, namun setidaknya satu kali aku harus naik panggung, kalau tidak demikian Thai-san-pai akan dipandang rendah orang. Biarlah, aku masih kuat melayani dia. Setelah berkata demikian, Beng San berjalan menuju panggung dengan langkah lebar dan tenang lalu meloncat ke atas panggung disambut sorak-sorai para tamu yang mengaguminya. Dengan hormat Beng San menjura kepada tamunya, lalu menjura kepada Siauw-ong-kwi yang berdiri di depannya sambil memandang tajam dan tersenyum menyeringai.

"Siauw-ong-kwi apakah kau penasaran karena kegagalan kemarin dulu dan ingin merobohkan aku selagi terluka hebat? Kenapa kau begini membenciku, membenci Thai- san-pai yang pendiriannya sama sekali tidak merugikan dan menganggumu?"

Sikap sabar mengalah dari Beng San ini diterima keliru oleh Siauw-ong-kwi, dikira bahwa Ketua Thai-san-pai ini takut. "Ha-ha-Ha-ha, kau berani mendirikan perkumpulan persilatan baru, sudah sepatutnya berani menghadapi tantangan. Kebetulan sekali perhitungan lama dapat dibereskan sekarang, perlihatkanlah kemampuanmu mempertahankan nama Thai-san-pai yang kau dirikan dengan mengalahkan aku, ha-ha- ha!"

"Siauw-ong-kwi, semenjak dahulu kau gemar berkelahi, gemar memperlihatkan kepandaian, apa kau kira di dunia ini tidak ada lain orang yang lebih pandai daripadamu? Kau tahu aku terluka karena pengeroyokan curang, sekarang kau hendak mempergunakan keadaanku untuk memperoleh kemenangan, apakah ini sikap yang patut dipuji dari seorang tokoh besar sepertimu?"

"He, Ketua Thai-san-pai. Apakah kau takut? Ha-ha-ha, lihat, aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, kalau takut, pakailah pedangmu, pedang Liong-cu-kiam, biar aku bertangan kosong saja karena kau bilang bahwa kau sedang tak enak badan," kakek itu tertawa-tawa lagi dan ucapannya ini dikeluarkan dengan keras agar semua tamu mendengar. Beng San maklum bahwa kata-kata itu dikeluarkan justeru agar ia tidak

mempergunakan pedangnya. Ia maklum akan kelicikan orang ini, maka ia mengeraskan hatinya, hendak melawan Siauw-ong-kwi tanpa pedang! Ia hendak memperlihatkan bahwa biarpun keadaannya terluka, biarpun tanpa pedang, ia masih sanggup mempertahankan kebesaran Thai-san-pai yang baru saja didirikannya.

"Siauw-ong-kwi, dengan senjata maupun tidak, aku selalu siap melayanimu!" jawabnya dengan tenang, tapi di dalam suaranya yang tenang ini terkandung kekerasan.

Terdengar suara Kun Hong berseru nyaring, terdengar oleh semua tamu,

"Ketua Thai-san-pai sedang menderita sakit, tenaganya belum pulih semua, bagaimana orang tak tahu malu menantangnya berkelahi? Kalau dengan senjata masih mendingan, tapi tanpa senjata, bukankah itu berarti orang mempergunkan tipu muslihat dan ingin mencapai kemenangan secara curang?"

Beng San berterima kasih kepada Kun Hong, akan tetapi ia menoleh dan memberi isyarat dengan tangan agar supaya pemuda itu duduk kembali. Benar saja, keterangan Kun Hong ini mendatangkan suara berisik di antara para tamu yang menganggap bahwa Siauw-ong- kwi bersikap licik sekali, sudah tahu akan keadaan tuan rumah namun hendak mempergunakan kesempatan itu mencapai kemenangan. Dan diam-diam mereka kagum sekali melihat tuan rumah, biarpun menderita sakit, tetapi berani menyambut tantangan tanpa senjata. Hati mereka berdebar, penuh ketegangan karena maklum bahwa sebentar lagi tentu terjadi pertempuran mati-matian.

Siauw-ong-kwi tak tenang mendengar seruan pemuda itu, maka agar jangan sampai berlarut-larut pikiran dan pendapat para tamu, ia segera menerjang sambil berseru, "Tan Beng San, jagalah pukulanku ini!"

Beng San menangkis pukulan pertama itu. "Dukk!" dua lengan bertemu, Siauw-Ong-kwi mundur tiga langkah, Beng San hanya mundur selangkah, akan tetapi Ketua Thai-san-pai ini merasa dadanya sesak sehingga diam-diam ia mengeluh, ia tadi sengaja hendak mencoba tenaga lawan, juga hendak memeriksa keadaan sendiri ternyata biarpun tenaganya sebagian besar sudah pulih dan sanggup ia mengatasi lawan, namun pengerahan tenaga terlalu besar akan membuat lukanya di dalam dada kambuh kembali.

Di lain pihak, Siauw-ong-kwi kaget setengah mati. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa Beng San masih akan memiliki tenaga sehebat itu. Bukankah kemarin dulu ia melihat sendiri betapa hebat luka-luka yang diderita Ketua Thai-san-pai? Yok-mo sendiri sebagai seorang ahli pengobatan kemarin dulu menyatakan bahwa Ketua Thai-san-pai itu takkan dapat hidup lebih dari tujuh hari melihat luka-lukanya. Mengapa sekarang tidak saja kelihatan sehat, malah tenaganya masih sehebat itu? Diam-diam ia meragu dan mulai menyesal mengapa ia gegabah menantang. Kemarin dikeroyok begitu banyak orang saja mereka tidak mampu menewaskan Beng San, apalagi sekarang satu lawan satu. Akan tetapi karena sudah tak dapat mundur lagi, Siauw-ong-kwi menjadi nekat. Sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring tokoh dari utara ini, menerjang maju lagi, mempergunakan ilmunya yang paling lihai, yaitu pukulan-pukulan dengan ujung lengan

baju yang menyembunyikan pukulan-pukulan tangannya yang mengandung tenaga Iwee- kang hebat, di samping ini diselingi pula dengan ilmu menangkap dan mencengkeram model Mongol.

Makin lama Beng San merasa dadanya makin sesak. Akan tetapi seujung rambutpun ia tidak mundur, malah tidak memperlihatkan penderitaannya, malah ia menandingi serangan Siauw-ong-kwi dengan keras lawan keras. Semua penyerangan dan pukulan kakek itu ia tolak mundur dengan pukulan-pukulannya yang mengandung uap putih.

Akan tetapi pukulan-pukulan ini membutuhkan pengerahan Iwee-kang yang hebat, maka tentu saja makin lama keadaan dalam tubuh Beng San makin payah dan tak dapat dicegah pula, gerakannya menjadi lambat biarpun ia masih bertekad mempergunakan tenaga dalamnya sekuat mungkin tanpa mempedulikan keselamatan sendiri.

Kelambatan gerakan Beng San ini, kepucatan wajahnya dan sedikit darah yang keluar dari pinggir bibirnya, membuat Siauw-ong-kwi girang sekali dan tahulah kakek itu bahwa lawannya ini sebetulnya terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya akan tetapi nekat dan pura-pura tidak menderita. Melihat gerakan lawan menjadi kendur, cepat seperti kilat Siauw-ong-kwi mencengkeram dan tanpa dapat dicegah lagi pergelangan tangan kanan Beng San terancam cengkeraman yang berbahaya sekali. Tidak ada lain jalan bagi Beng San kecuali melawan keras dengan keras. Ia membuka jari-jari tangan kanannya dan menyabut cengkeraman itu dengan cengkeraman pula.

Siauw-ong-kwi tertawa mengejek. Ilmu mencengkram merupakan ilmu khusus baginya, sedangkan Beng San adalah seorang ahli pedang dan ahli pukulan, bagaimana dalam keadaan terluka dalam berani menyambut cengkeramannya?

Dua buah tangan itu bertemu, jari-jarinya saling cengkeram tak dapat dicegah lagi. Beng San merasa dadanya seperti tertusuk, akan tetapi, ia menahan napas mengerahkan tenaga melawan desakan tenaga dalam lawan.

Sambil menggereng seperti binatang, Siauw-ong-kwi mengangkat tangan kanannya menghantam ke arah kepala Beng San. Ketua Thai-san-pai ini tentu saja tidak mau menerima hantaman begitu saja. Ia mangangkat juga tangan kirinya dan menyambut hantaman itu dengan jotosan pula.

"Dukkk!" Dua pukulan tangan bertemu di udara sementara tangan yang satunya masih saling cengkeram. Siauw-ong-kwi mengeluarkan suara seperti orang kena ditendang perutnya sedangkan Beng San gemetar seluruh tubuhnya. Dengan nekat Siauw-ong-kwi memukul lagi, diterima lagi oleh kepalan tangan Beng Sen, Begitu kedua pukulan bertemu, Siauw-ong-kwi tentu mengeluarkan suara "hukkk!" seperti tertendang perutnya dan, tubuh Beng San makin keras menggigil. Akan tetapi kakek itu yang menjadi penasaran dan nekat, memukul terus, selalu ditangkis seperti tadi oleh Beng San.

Pergulatan mati-matian ini diikuti oleh para tamu dengan hati penuh ketegangan dan pihak tuan rumah tentu saja merasa cemas bukan main. Sin Lee, Cui Bi dan Kong Bu

sudah berdiri dengan pucat. Hanya karena pencegahan Li Cu saja tiga orang muda ini tidak meloncat ke atas panggung untuk menolong ayah mereka.

" kata Li Cu perlahan dengan suara mengandung isak, "ayah kalian akan marah... hal itu akan hina baginya dan lebih hebat daripada mati"Jangan bantu, jangan ....

.... "

Dapat dibayangkan betapa gelisah hati Li Cu, akan tetapi nyonya ini kenal betul akan watak suaminya. Malah ia sendiri pun sebagai puteri pendekar besar dan isteri pendekar sakti, juga mempunyai pandangan yang sama. Dalam pertandingan satu lawan satu seperti itu, biarpun harus menyaksikan suami tewas di depan mata, tak mungkin ia mau turun tangan membantu. Berbeda soalnya kalau suaminya dikeroyok seperti yang terjadi kemarin dulu. Sekarang mereka bertempur di atas panggung, disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw, dan Siauw-ong-kwi tadi mengajukan tantangan yang diterima oleh Beng San. Tidak ada kecurangan atau main paksa di sini, yang ada hanya pertandingan bebas seorang lawan seorang, cukup adil biarpun keadaan suaminya sedang sakit.

Kun Hong berkali-kali menutup mukanya. Tak tahan ia melihat pertandingan yang merupakan perjuangan antara mati dan hidup ini. Tapi telinganya masih mendengar pertemuan dua kepalan bertubi-tubi itu, "Dukk .... ! Dukk ....

!" ingin ia mencegahnya akan tetapi mendengar ucapan Li Cu tadi, ia pun tidak berani bergerak. Tak tega ia melihat muka Beng San karena tadi ia lihat pucat dan malah kehijauan seperti bukan muka manusia lagi, lebih pucat dari muka mayat. Ia memang tidak mengenal keadaan Beng San yang sebenarnya, tidak tahu bahwa di dalam tubuh pendekar sakti ini sudah mengalir hawa Im dan Yang, dua hawa yang bertentangan dan yang amat kuatnya menghuni tubuhnya sehingga sewaktu-waktu mukanya bisa merah sampai menghitam, dan ada kalanya muka yang gagah itu bisa berubah pucat sampai menghijau. Ini adalah pengaruh dari dua macam hawa sakti di tubuhnya itu, terdorong dari keadaan dan perasaannya di waktu itu.

!! Dukk...!!" Kedua kepalan tangan itu masih saling bertemu bertubi-tubi dan makin keras. Siauw-ong-kwi yang merasa penasaran memandang dengan mata mendelik, sebaliknya Beng San yang mukanya kehijauan itu menatap tajam. "Duk...!! Duk ....

Keduanya berhenti sebentar, tangan yang saling mencengkeram masih menjadi satu, napas terengah-engah. Kemudian Siauw-ong-kwi meramkan kedua matanya, menahan napas atau lebih tepat menarik napas dalam, mengumpulkan seluruh tenaganya pada tangan kanannya, Beng San yang maklum akan hal ini pun mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya pada lengan kiri sehingga lengan itu mengeluarkan uap putih.

Siauw-ong-kwi mengayun tangan kanan, jari-jari dibuka, dengan tangan terbuka menghantam ke depan hebat bukan main, Beng San juga mengayun tangan kiri dengan jari-jari terbuka, didahului uap putih.

"Dessss!!" Kedua telapak tangan berseru, hampir tak mengeluarkan suara, namun akibatnya hebat sekali. Tubuh Siauw-ong-kwi terpelanting sampai ke bawah panggung, bergulingan di atas tanah, sedangkan tubuh Beng San terpental ke belakang, terhuyung-

huyung, tapi pendekar ini masih dapat berdiri, lalu tiba-tiba mulutnya dibuka dan... ia muntahkan darah segar banyak sekali. Li Cu merintih dan mencelatlah tubuhnya ke atas panggung, memeluk suaminya dan dituntun turun panggung perlahan-lahan.

Adapun Siauw-ong-kwi setelah bergulingan, lalu merangkak bangun, tertawa-tawa dengan suara menyeramkan, namun melihat mukanya yang membiru, para tokoh berilmu di situ maklum bahwa kakek ini menderita luka dalam yang luar biasa parahnya. Dari pinggir mulutnya juga mengalir darah menghitam! Sambil terkekeh-kekeh Siauw-ong- kwi menengok ke sana ke mari, lalu menghampiri tempat tamu di mana rombongan Kun- lun-pai duduk. Ia menghampiri Ketua Kun-lun-pai, Bun Lim Kwi yang segera berdiri dengan ragu-ragu dan curiga karena kakek aneh itu jelas hendak mendekatinya,

Siauw-ong-kwi berdiri di depan Bun Lim Kwi dan Bun Wan yang juga sudah bangkit berdiri di sebelah ayahnya menjaga segala kemungkinan.

Siauw-ong-kwi meroboh saku bajunya, mengeluarkan kertas yang digumpal-gumpal lalu... menyambitkan kertas ini ke arah Bun Wan. Pemuda ini cepat mengulur tangan menyambut gumpalan kertas itu. Ia merasa tangannya tergetar namun kertas itu dapat ditangkapnya. Ini saja menandakan bahwa ia telah mewarisi kepandaian ayahnya.

"Heh-heh-heh, selamat .... selamat .... !"

Secara aneh Siauw-ong-kwi mengangkat kedua tangan ke dada memberi selamat. "Selamat berbesan dengan ketua Thai-san-pai yang sakti!" Lalu ia membalikkan tubuh, terhuyung-huyung, menghampiri Pak-thian Lo-cu, berkata perlahan.

"Suheng, balaskan nyawaku .... " lalu ia melompat dan lari terhuyung-huyung, sebentar

saja lenyap dari tempat itu.

Bun Wan dan ayahnya duduk kembali. Pemuda ini membuka gumpalan kertas, kedua matanya membaca, wajahnya tiba-tiba pucat dan matanya terbelalak seakan-akan tidak percaya akan isi kertas bertulis itu. Ayahnya melihat hal ini lalu mengambil kertas dari tangan anaknya, membaca dan juga Ketua Kun-lun-pai ini membelalakkan kedua matanya, mukanya merah sekali. Ia melihat Bun Wan bergerak di kursinya hendak berdiri lalu ia menyentuh lengannya, diberi isyarat supaya tenang dan duduk kembali, kadang- kadang menengok ke arah rombongan tuan rumah, mukanya sebentar pucat sebentar merah.

Dengan cepat Kun Hong memeriksa keadaan Beng San setelah Ketua Thai-san-pai ini duduk kembali di kursinya. "Syukur

...." bisik pemuda ini perlahan, "isi dada Paman memang tergetar hebat, tenaga dalam hampir habis, akan tetapi benar-benar Paman hebat sekali, dapat menahan semua itu. Tak berbahaya, dengan istirahat beberapa pekan akan sembuh kembali. Tapi Paman sekarang tidak boleh mengerahkan tenaga dalam lagi, bisa berbahaya sekali."

Beng San mengangguk dan tersenyum duka. Tak disangkanya bahwa perkumpulannya baru dibuka saja menghadapi persoalan sehebat ini. Ia juga menyesal akan kenekatan Siauw-ong-kwi yang ia tahu menderita luka parah dan agaknya sukar tertolong nyawanya. Pihak tuan rumah demikian sibuk dan gelisah tadi menyaksikan keadaan Beng San sehingga peristiwa di rombongan Kun-lun-pai tadi tak seorang pun di antara mereka melihatnya.

Sementara itu, di atas panggung berdiri seorang kakek tua renta. Kakek ini bukan lain adalah Pak-thian Locu, Di atas panggung ia kelihatan begitu tua dan kelihatannya lemah sekali sehingga tubuhnya tak pernah dapat berdiri diam, bergoyang-goyang seperti rumput tertiup angin. Agaknya kalau ada angin keras tubuh itu takkan kuat berdiri lagi. tetapi dalam penglihatan para ahli tubuh yang bergoyang-goyang ini bahkan menandakan bahwa kakek ini memiliki tenaga Iwee-kang. yang sudah mencapai puncaknya.

"Haaii, Ketua Thai-san-pai! Kau benar-benar kosen, telah dapat menewaskan suteku, hayo jangan kepalang, majulah lagi dan lawanlah aku, suheng dari Siauw-ong-kwi. Kalau hari ini aku Pak-thian Locu tewas di tanganmu, aku pun takkan merasa penasaran lagi!"

Mendengar suara ini, Beng San bergerak dalam kursinya. Akan tetapi Li Cu merangkul dan membujuknya,

"Kau tak mungkin dapat melawannya. Kau tidak boleh bertanding lagi!"

"Ayah, biarkan aku mewakilinya!" kata-kata ini hampir berbareng keluar dari mulut Cui Bi, Kong Bu dan Sin Lee.

Beng San menggoyang-goyang tangannya. "Tidak boleh... tidak boleh... dia itu lihai sekali. Pukulannya penuh hawa yang tak terlawan, aku pun hampir tak kuat menandinginya. Tidak boleh kalian maju, kalian... anak-anakku... bisa celaka ditangannya!" Ia bangkit berdiri. "Hanya aku seorang yang kuat menghadapi tenaganya yang mujijat."

"Jangan... kau sudah terluka hebat, mana bisa melawannya? Biarlah aku yang melawannya belum tentu aku kalah oleh tua bangka itu!" Li Cu berkata, marah memandang ke arah panggung.

"Apa aku gila membiarkan kau dan anak yang kau kandung terancam bahaya? Tidak, ini urusan Thai-san-pai, urusanku. Apa artinya mati dalam mempertahankan nama dan kehormatan? Anak-anak pun tidak boleh maju karena aku tahu pasti bahwa seorang di antara kalian bukan lawannya. Aku seoranglah yang bertanggung jawab!"

"Paman!" tiba-tiba Kun Hong memegang tangan Beng San dan berkata tegas, "Aku tidak mendahului kehendak Tuhan. Akan tetapi aku yakin betul bahwa kalau kali ini Paman bertanding, jangankan bertemu dengan ahli Iwee-kang, biarpun bertemu dengan seorang yang lebih rendah tingkatannya dari Siauw-ong-kwi tadi, Paman akan terluka hebat dan

sukar ditolong lagi. Paman biarlah aku saja menandinginya, aku mempunyai akal untuk mengalahkannya."

Beng San tersenyum, menepuk-nepuk bahu pemuda itu. "Kau memang hebat, akan tetapi kakek itu lain lagi, Kun Hong. Tak bisa kau samakan dengan Yok-mo. Kau memang bisa mengendalikan langkah-langkah ajaib itu untuk menyelamatkan diri dari serangan- serangan cepat, akan tetapi tak mungkin kau dapat menggunakannya untuk menghindarkan diri dari pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga Iwee-kang luar biasa. Tidak, tidak layak aku mengorbankan kau yang sudah besar sekali jasamu terhadap Thai-san-pai dan aku." Keputusan Beng San sudah bulat, ia sudah nekat.

Di atas panggung, kakek itu tertawa-tawa, "He, Ketua Thai-san-pai. Apakah kau sedang meninggalkan pesan-pesan terakhir kepada sanak keluargamu? Mengapa kau tak juga muncul? Ataukah barangkali kau takut mati? Kalau begitu kau tak patut menjadi pendiri Thai-san-pai"

Beng San sudah berdiri dan tangan kanannya meraba gagang pedang di punggungnya. "Dengan ilmu pedangku aku akan dapat mengatasinya," katanya lirih.

"Paman, aku mempunyai satu cara untuk membangkitkan tenaga dalammu dalam waktu singkat. Harap Paman suka duduk, biarlah aku mengerjakannya."

Karena sudah percaya betul akan kepandaian Kun Hong mengobati, Beng San percaya saja bahwa pemuda aneh ini benar-benar akan dapat melakukan hal luar biasa ini. Memang ia merasa betapa hawa murni di dalam dirinya berputaran kacau, dan ia merasa lemah sekali ia lalu duduk dan meramkan mata hendak menerima pengobatan aneh itu.

Kun Hong mendekatinya, berkedip aneh kepada Li Cu, meraba punggung dan leher lalu menotok jalan darah kedua tempat itu dengan amat cepatnya. Seketika Beng San menjadi lemas, tak mampu bergerak lagi dan tidak mampu mengeluarkan suara lagi.

Pendekar ini kaget bukan main, akan tetapi apa dayanya, ia hanya dapat memandang kepada pemuda itu yang kini telah berjalan menuju ke panggung, kemudian tubuh pemuda itu tahu-tahu melayang ke atas panggung. Kun Hong kini tidak berpura-pura lagi. Ia menghadapi keadaan gawat, maka ia mempergunakan kepandaiannya naik ke panggung. Gerakan ini disambut seruan-seruan heran, bahkan juga dari mulut Li Cu dan para muda. Li Eng dan yang lain sama sekali tidak tahu cara apa yang dipergunakan oleh Kun Hong untuk melayang naik. Tidak kelihatan pemuda itu menggerakkan kaki mengenjot tanah, tidak kelihatan menekuk lutut untuk menghimpun tenaga meloncat, tahu-tahu, kedua lengannya berkembang dan tubuhnya naik ke panggung seperti burung terbang saia. Sin Lee mengenal gerakan ini, akan tetapi ia sendiri takkan mampu melakukannya tanpa menekuk dan mengenjot tanah.

Kakek tua renta menyambut kedatangan Kun Hong dengan senyum mengejek lalu mendengus,

"Huh, kau pemuda yang melawan Yok-mo tadi? Apakah, Thai-san-pai begitu pengecut untuk ajukan seorang bocah macammu? Apa kehendakmu ke sini? Jangan main-main usiamu masih muda, sayang kalau kau mampus sia-sia saja, orang muda. Heee, Thai-san- pai, lebih baik mengirim tokoh yang lebih sakti dan matang, jangan mengirim bocah cilik!"

"Locianpwe, tenanglah dan dengarlah dulu omonganku, biar disaksikan oleh sekalian cianpwe yang hadir di sini," kata Kun Hong, suaranya terdengar aneh dan menggema seperti suara yang datang dari angkasa membuat kaget semua orang, juga kakek itu sendiri,

"Tak perlu disembunyikan lagi bahwa Paman Tan Beng San Ketua Thai-san-pai sedang menderita luka parah dan tidak mungkin dapat bertanding pula. Mungkin para Cianpwe tidak mengetahui, dan hal ini kau mengetahui baik-baik Locianpwe, bahwa Paman telah menderita luka berat karena pengeroyokan yang curang dan kau pun termasuk pengeroyok-pengeroyoknya. Namun karena semangatnya sebagai seorang gagah sejati, Paman tadi masih mau melayani Siauw-ong-kwi sehingga berhasil mengalahkan Siauw- ong-kwi, biarpun lukanya menjadi makin parah. Sekarang Paman tidak mungkin dapat melawanmu. Kalau kau orang tua begini bernafsu hendak bertanding melawan Paman Tan Beng San kau kembalilah Barang tiga empat pekan lagi, tentu dengan senang hati Paman akan melayanimu. Kami bersumpah takkan mengeroyokmu seperti yang kau lakukan kemarin dulu terhadap pamanku itu, Sekarang kalau kau suka bersabar dan menanti sampai tiga empat pekan, kau pergilah dan Paman akan menanti kembalimu. Akan tetapi kalau kau hendak mempergunakan kelicikan, menantang Paman selagi beliau tak dapat bergerak, benar-benar kau tidak tahu malu dan biarlah aku yang muda mewakili Paman untuk menghadapimu!"

Semua orang yang hadir tercengang mendengar ucapan yang bergema ini. Heran akan keberanian pemuda ini, dan juga mendengar betapa Tan Beng San sudah terluka kemarin dulu karena dikeroyok, orang-orang menjadi berisik,

"He, bocah sombong, kau siapakah? Siapa namamu dan apakah kau anak murid Thai- san-pai?"

"Namaku Kwa Kun Hong, aku bukan anak murid Thai-san-pai, melainkan anak dari Ketua Hoa-san-pai. Biarpun aku tidak berkepandaian, namun aku menyediakan selembar nyawaku untuk memberantas ketidakadilan ini. Kakek tua, kau sudah tua, seharusnya mencari jalan terang. Pergilah dan padamkan nafsumu, atau kalau kau tetap hendak berkelahi dengan Paman, kembalilah empat pekan lagi."

"Keparat, aku tetap menantang Ketua Thai-san-pai sekarang juga!"

"Kalau begitu, akulah lawanmu."

"Kau berani melawan aku, bocah ingusan?"

"Yang benar takkan penah mengenal takut, kalah menang bukan soal."

"Monyet kecil, kalau kau tidak roboh dalam sepuluh jurus pukulanku, kau akan kusembah!"

"Aku tidak butuh kau sembah, kalau mau pukul terserah."

Tidak kelihatan tangan kakek itu bergerak, tahu-tahu angin menyambar mendahului gerakan tangan kanan kakek itu mendorong ke arah tubuh Kun Hong.

Pemuda ini sudah kuat sekali nalurinya maka ia cepat mengerjakan langkah-langkah Kim-tiauw-kun. Ujung bajunya berkibar terkena angin pukulan, namun tubuhnya sama sekali tidak terkena. Angin pukulan ke dua menyambar, dan kakek itu masih berdiri di tempatnya, hanya sekarang kuda-kudanya miring, tangan kirinya mendorong dari samping. Kun Hong , masih terus melangkah terhuyug-huyung dan "brakkk!" papan di belakangnya amblong terkena angin pukulan yang hebat itu.

Para tamu mengeluarkan suara kaget. Ilmu pukulan sehebat itu baru sekali ini mereka saksikan dan tadinya mereka sangka hanya terdapat dalam dongeng belaka. Makin lama makin penasaran kakek itu, pukulannya makin hebat sehingga di sana-sini papan menjadi pecah dan amblong. Namun dengan gerakan tenang namun aneh,bukan main pemuda itu menjalankan langkah-langkah ajaibnya dan pukulan terdekat hanya membuat rambutnya berkibar awut-awutan, namun belum juga terkena pukulan.

Sudah sepuluh jurus!" terdengar teriakan dari bawah panggung, teriakan seorang tamu yang merasa penasaran terhadap kakek itu.

Pak-thian Locu berhenti, tubuhnya bergoyang-goyang, tertawa lalu tiba-tiba ia berlutut.

"Orang muda, sekarang aku akan menyembahmu!" Kedua tangannya bergerak dan pada saat itu terdengar seruan nyaring sekali.

"Orang muda, awas!!"

Namun terlambat, Kun Hong yang tadinya terheran-heran karena melihat kakek itu benar-benar berlutut dan hendak menyembah, tiba-tiba merasa ada angin yang luar biasa keras dan kuatnya menyambar dari depan. Ia cepat merendahkan dirinya, melipat diri menutupi muka seperti trenggiling melingkar dan mengerahkan hawa murni dalam tubuh.

Tubuhnya seperti didorong oleh tenaga raksasa dan melayang keluar dan turun dari panggung! Ia terbanting dan bergulingan, akan tetapi segera meloncat berdiri dan tidak apa-apa! Dengan tenang sekali Kun Hong melompat lagi ke atas panggung.

Akan tetapi di atas panggung berdiri seorang kakek tinggi besar, Song-bun-kwi yang memandang kepada Pak-thian Lo-cu dengan mata mendelik. "Tua bangka gila! Tak tahu malu benar engkau, melawan seorang bocah mempergunakan akal muslihat curang!"

"Heh-heh, Song-bun-kwi iblis jahat. Apakah kau pun sekarang hendak menjilat pantat Thai-san-pai?"

Dari bawah panggung terdekar suara Beng San. "Gak-hu (Ayah Mertua), harap jangan mengeroyok!" Ternyata setelah Kun Hong bertempur, Li Cu membebaskan totokan pada diri suaminya sehingga pendekar ini dapat bergerak dan bersuara lagi. Ia tahu bahwa betapapun juga, dalam diri Kun Hong bersembunyi kepandaian yang sukar dijajaki, maka melihat cara Kun Hong menerima pukulan tadi, ia menjadi lega dan harapannya membesar. Karena pemuda ini berjuang atas nama Thai-san-pai, maka ia tidak setuju kalau mertuanya membantu, membikin cemar nama Thai-san-pai, sungguhpun ia girang sekali menyaksikan perubahan sikap ayah mertua yang aneh ini.

"Kakek, jangan mengeroyok, memalukan saja!" Kong Bu juga berseru kepada kakeknya.

Song-bun-kwi menoleh, matanya mendelik, "Tak puas kalau belum memukul!" tubuhnya merendah hampir berjongkok, kedua tangannya mendorong ke depan. Itulah ilmu pukulan jarak jauh dari Ilmu Silat Yang-sin Kun-hoat yang paling diandalkan. Kakek tua renta itu menolak dengan kedua tangannya pula dan tubuh Song-bun-kwi terlempar sampai dua meter ke belakang, hampir saja terguling dari atas panggung.

"Hebat tenagamu, tua bangka!" berseru Song-bun-kwi dan ia tak dapat turun tangan pula karena pada saat itu Kun Hong sudah berkelebat lewat di sampingnya.

"Orang muda. Hoa-san-pai, kau berhati-hatilah!" Song-bun-kwi berseru sambil melompat turun. Kakek yang gagah ini baru sekarang selama hidupnya melihat orang muda yang begini aneh, malah lebih aneh daripada Beng San ketika muda dahulu, maka timbullah simpatinya.

Melihat Kun Hong tidak apa-apa dan sudah naik, kakek itu tercengang, lalu ia mengeluarkan sebatang pedang yang tipis dan ringan sekali berwarna putih seperti perak.

Ia tahu bahwa biarpun lawannya masih muda sekali, namun agaknya memiliki kesaktian, maka ia tidak mau mencoba-coba lagi seperti tadi. Melihat kakek tua itu mengeluarkan pedang, Kun Hong juga mencabut Ang-hong-kiam dari balik jubahnya. Sinar merah memancar ketika ia mencabut pedangnya.

"Heh, bukankah itu Ang-hong-kiam? Dari mana kau dapat?" Kakek menegur, kelihatan kaget, akan tetapi dasar licik, sebelum dijawab pedangnya sudah menerjang dengan lambat sekali, namun jangan dikira tidak berbahaya karena angin serangan pedang ini sudah cukup memisahkan kepala lawan dari badannya.

Kun Hong cepat mengelak dan bersilat dengan Ilmu Silat Kim-tiauw-kun yang ia latih di dalam guha dahulu. Gerakan-gerakannya aneh sekali, cara memegang gagang pedang juga aneh dan lucu. Berkali-kali Kun Hong diserang dan ia masih belum juga membalas. Ia sedang memperhatikan cara lawan mempergunakan pedang, akan tetapi sebegitu jauh

belum dapat ia menjajaki. Ilmu pedang lawannya juga aneh dan banyak ragamnya. Memang kakek setua ini sudah terlalu banyak mempelajari ilmu silat sehingga jurusnya ia robah-robah dan ia ganti-ganti. Baiknya Kun Hong terus mempergunakan langkah- langkah ajaib sehingga dapat menghindar dengan tepat.

"Hong-ko, balas serangan!" tiba-tiba terdengar suara merdu dan nyaring. Itulah suara Cui Bi dan suara ini membuat dua orang di antara para tamu menengok dengan mata terbelalak marah, yaitu mata Bun Lim Kwi dan Bun Wan.

Mendengar seruan ini, barulah Kun Hong teringat bahwa di dalam pertempuran, ia harus membalas serangan kalau tidak mau kalah. Maka ia lalu mulai menyerang. Akan tetapi alangkah ganjilnya, pedangnya tidak menyerang tubuh orang melainkan menyerang udara di sekitar tubuh lawan itu. Hebatnya, kakek itu berseru keras dan selalu menangkis atau mengelak tiap kali pedang Kun Hong berkelebat. Kiranya hanya gayanya saja menyerang udara untuk membuat lawan lengah, padahal dilanjutkan dengan serangan yang berbahaya dan jitu. Malah tiba-tiba Kun Hong membentak dan pedangnya menusuk ke arah dadanya sendiri! Cui Bi sampai terteriak kaget melihat ini, tapi ayahnya menyentuh tangannya menyuruh ia diam. Sejenak kakek tua renta itu pun kaget dan heran, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika pedang yang hampir menyentuh dada Kun Hong itu, tiba-tiba membalik dan mempergunakan kesempatan selagi ia terheran-heran, ujung pedang sudah dekat sekali dengan lehernya.

"Celaka, mengelaklah, orang tua!" Seru Kun Hong. Jurus ini adalah jurus yang mujijat dari ilmu Silat Kim-tiauw-kun, maka tak dapat ia tarik kembali dan ia sudah ngeri melihat betapa ujung pedangnya akan menembus leher kakek itu.

Hanya dengan menggulingkan diri ke atas papan saja kakek itu dapat menyelamatkan diri. Ia bergulingan terus dan "brakk!" tahu-tahu kakinya terjeblos kedalam lubang di papan yang tadi amblong oleh pukulannya sendiri. Lucu sekali keadaan kakek itu. Ia terperosok sampai ke pinggangnya hanya badan bagian atas saja yang tampak, kedua tangannya melambai-lambai ke atas.

!" dasar sudah tua sekali ia menjadi pikun. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu saja dengan mudah ia dapat keluar dari lubang itu. Akan tetapi ketuaannya dan kepikunannya membuat ia kebingungan setengah mati dan berseru minta tolong! Di antara para tamu ada yang tertawa-tawa dan bersorak-sorak saking gelinya melihat ini. Para tokoh tua, termasuk Song-bun-kwi, menyumpah-nyumpah dan menggeleng-geleng kepala. "Tolong ....

Kalau Kun Hong pada saat itu menyerang, kiranya kakek itu takkan mampu membela diri lagi karena sedang kebingungan, berkutetan dalam usahanya membetot tubuhnya keluar. Akan tetapi, bukan kakek itu saja yang pikun sehingga kelakuannya aneh, pemuda ini malah lebih aneh lagi. Ia memegang pedang dengan tangan kiri, mengulurkan tangan kanan mendekati kakek itu dan berkata, lembah-lembut seperti seorang dewasa menolong seorang kanak-kanak.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed