Skip to main content

Rajawali Emas 12 - Kho Ping Hoo

Mendengar ucapan Li Eng dan melihat sikap dua orang gadis yang menantang itu, Sin- toa-to Liong Ki Nam yang berangasan itu tak dapat menahannya lagi. Ia melangkah maju dan membentak, "Bocah cilik, kalian sombong sekali! Lebih baik lekas kau berlutut dan mentaati perintah Pangeran, jangan sampai membuat guru besarmu ini marah dan kehabisan kesabaran, lalu turun tangan kepadamu.

Li Eng adalah seorang yang juga m.emiliki kekerasan hati. Dengan mata berkilat ia memandang Liong Ki Nam, lalu mengeluarkan dengus mengejek dan berkata, "Keledai sombong! Keluarkan golok babimu itu, kutanggung dalam beberapa jurus kau akan minta ampun kepadaku!"

Berdiri alis Liong Ki Nam. "Keparat, gadis liar! Kau tidak tahu siapa aku? Akulah Sin- toa-to Liong, Ki Nam! Golok saktiku ini kalau sudah kucabut harus membikin melayang jiwa orang, dan kau berani menyebutnya golok babi?"

"Hi-hik, mungkin untuk menyembelih babi juga kurang tajam. Entah kalau untuk memotong leher ayam. Eh, manusia sombong, tentu sudah banyak jiwa ayam kau bikin melayang dengan golokmu itu, ya? Asal jangan ayam tetangga masih boleh juga," Li Eng melampiaskan kemarahannya dengan cara mengejek dan menghina.

"Setan perempuan!!" Tampak sinar berkelebat disusul gulungan sinar itu menyambar ke arah Li Eng. Kiranya dengan amat cepat Si Golok Sakti ini sudah mencabut senjatanya dan membacok ke arah Li Eng. Memang gerakannya hebat dan luar biasa cepatnya, namun kini ia menghadapi. Li Eng dara perkasa yang sudah mewarisi ilmu sakti dari Im- kan-kok (Lembah Akhirat).

"Trang! Tar-tar" Bunga api berpijar dan terpaksa Si Golok Sakti meloncat ke ke belakang untuk menghindari serangan ujung sabuk sutera hitam itu. Sebaliknya diam-diam Li Eng terkejut sekali karena telapak tangarnya terasa menggetar ketika ujung sabuk suteranya menangkis golok lawan tadi. Ia maklum bahwa lawan ini benar-benar tak boleh dibuat main-main. Namun ia masih mengejek,

"Hi-hik, kenapa mundur? takutkah?" Di pihak Sin-toa-to Liong Ki Nam yang sudah

banyak pengalaman, ia pun terkejut karena mendapat kenyataan bahwa dara remaja ini benar-benar lihai, tidak saja dapat menangkis serangan goloknya, malah dapat membalas dengan serangan sabuk sutera hitam yang aneh itu. Namun tentu saja ia tidak takut. Ia mengeluarkan suara menggereng ketika mendengar ejekan ini, lalu ia membentak,

"Siluman betina, kau tunggu golokku menamatkan riwayatmu!" Goloknya diputar-putar

di atas kepala, berubah menjadi gulungan sinar mengerikan yang mengeluarkan suara mendesing-desing.

Tiba-tiba sebatang sinar hitam berkelebat memasuki gulungan sinar putih itu dan terdengar Liong Ki Nam berseru tertahan disusul loncatannya ke belakang dan ia berjungkir-balik lalu memandang kepada Bhong Lo-koai yang sudah berdiri di depannya bersandarkan tongkat hitam, matanya penuh pertanyaan dan teguran mengapa temannya ini tadi menahannya.

"Liong-kauwsu, sudah seringkali aku beri tahu bahwa amatlah tidak baik menurutkan nafsu amarah, membuat orang lupa diri. Kau pun tadi tak mampu mengendalikan kemarahan sampai kau lupa bahwa yang hendak kau serang itu adalah siuli-siuli pilihan Pangeran. Andaikata kau dapat membunuh mereka, apakah yang akan dikatakan kelak oleh Pangeran?"

Muka yang merah dari Liong Ki Nam tiba-tiba berubah pucat dan ingatlah ia bahwa tadi ia telah menurutkan nafsu dan sama sekali tidak ingat bahwa hampir saja ia mencelakai dirinya sendiri. Memang, sudah jelas bahwa Pangeran tergila-gila kepada dua orang gadis manis ini dan Pangeran menyerahkan persoalan ini, yaitu agar supaya dua orang gadis ini dapat menjadi selir-selir terkasih. Kalau sampai dia salah tangan membunuh mereka bukankah ia akan mendapat marah dari Pangeran? Bukan tak mungkin karena mengecewakan dan menyusahkan hati Pangeran, lehernya sendiri akan terpenggal tanpa ia mampu mempertahankannya lagi. Karena ini ia cepat mundur, menyimpan goloknya dan tidak berani berkata apa-apa lagi.

Sementara itu Bhong-lokai sudah melangkah maju. Tongkatnya yang hitam dan buruk itu bergerak perlahan ke arah Li Eng dan Hui Cu. Dua orang gadis ini adalah ahli-ahli silat tinggi tak dapat ditipu dengan gerakan yang kelihatannya lemah dan lembut ini. Segera keduanya mengangkat pedang menangkis. Dua batang pedang di tangan gadis itu bertemu dengan tongkat dan... tanpa mengeluarkan suara dua batang pedang itu menempel pada tongkat, tak dapat dilepaskan lagi seperti dua batang jarum menempel pada besi sembrani yang amat kuat.

"Nona berdua, lebih baik menyerah saja. Tiada gunanya memberontak terhadap perintah Pangeran, kalian akan berdosa besar," kata kakek aneh itu, matanya yang sipit itu makin meram. Diam-diam kakek ini mengerahkan seluruh tenaga Iwee-kangnya, karena selain ia harus menempel sepasang pedang dua orang gadis itu, juga ia berusaha menarik dan merampasnya. Alangkah kagetnya ketika ia menghadapi perlawanan tenaga Iwee-kang yang juga tidak lemah, apalagi dari pihak Li Eng. Demikianlah, biarpun tampaknya tiga

orang ini tidak bergerak dengan senjata mereka saling tempel, sebetulnya mereka sedang mengadu hawa sakti dalam tubuh untuk mencapai kemenangan.

Li Eng tak dapat menahan kemarahannya lagi. Orang-orang ini menganggap dia orang apakah maka berani main gila? Dengan seruan nyaring dan merdu tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah leher Bhong Lo-koai. Cepat sekali sambaran ini dan dengan jitu mengarah jalan darah yang amat berbahaya bagi keselamatan kakek itu.

Bong Lo-koai mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan marahnya. Tiba-tiba tongkatnya melepaskan tempelannya pada dua batang pedang, bergerak menangkis sabuk sutera itu. Ia mengalami kekagetan hebat namun berhasil menyelamatkan diri. Adapun Li Eng terkejut ketika merasa betapa sabuk suteranya terbetot dan lengannya kesemutan ketika tongkat itu menangkisnya. Malah Hui Cu terhuyung sedikit ketika pedangnya terlepas dari tempelan tongkat. Ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga Iwee-kang dari kakek ini luar biasa.

Kini maklumlah Li Eng dan Hui Cu bahwa mereka berdua menghadapi lawan-lawan tangguh. Baru dua orang itu saja, Sin-toa-to Liong Ki Nam dan terutama kakek ini, Bhong Lo-koai, memiliki kepandaian yang tinggi, malah Li Eng dapat menduga bahwa tingkat dua orang ini lebih tinggi dari tingkat Hui Cu, dan agaknya kakek aneh ini bukan merupakan lawan ringan baginya. Apalagi kalau tujuh orang itu semua maju, siapa tahu di antara mereka malah ada yang lebih lihai dari Bhong Lo-koai. Akan tetapi urusan ini menyangkut kehormatan mereka, tak mungkin mereka menyerah menjadi selir Pangeran! Biar mereka harus mempertaruhkan nyawa, mereka akan melawan sekuat tenaga. Dengan mata berkilat-kilat Li Eng dan Hui Cu memasang kuda-kuda dan Lie Eng berteriak marah,

"Anjing-anjing penjilat! Majulah kalian, majulah semua. Jangan harap kami akan menyerah sebelum leher kami putus!"

Ang-moko, yaitu seorang di antara para jagoan, yang tertua dan yang sejak tadi hanya tersenyum saja, kini berkata, "Kalau kalian tidak berhasil menawan dua ekor kuda betina liar ini, tidak saja Pangeran akan marah kepada kalian, juga nama kalian akan menjadi rusak. Masa tua bangka-tua bangka seperti kalian tidak mampu menangkap dua ekor kuda betina yang muda ini? Heh-heh-heh, memalukan sekali!"

"He, Ang-moko kakek tua! Kau hanya membuka mulut saja tapi tidak mau turun tangan. Habis apa kerjamu di sini?" teriak Souw Ki kasar.

Ang-moko tertawa lagi terpingkal-pingkal. "Aku suka mengurus pkerjaan besar, bukan segala macam usaha menangkap kuda betina yang liar. Kau lebih patut untuk pekerjaan macam ini."

"Sudahlah, untuk apa melayani kegilaan Ang-moko?" kata Sin-toa-to Liong Ki Nam. "Kita beramai tangkap dan tawan dua orang gadis ini, tangkap hidup-hidup jangan

sampai lolos atau terluka." Enam orang itu memasang kuda-kuda, adapun Ang-moko hanya menonton sambil tertawa-tawa.

"Paman Hong, kalau aku mati di sini, tolong sampaikan kepada Ayah dan ibu bahwa anaknya mati sebagai seorang gagah!" kata Li Eng tanpa mengalihkan perhatiannya kepada para jagoan yang sudah siap hendak menerjangnya itu.

"Sampaikan hormatku kepada ayah ibuku, Hong susiok," kata Hui Cu, berbeda dengan Li Eng suaranya agak terharu dan sungguh-sungguh.

Kun Hong gelisah sekali, seperti diremas rasa hatinya. Ia tak kuasa mencegah pertempuran yang pasti akan berlangsung hebat ini, karena ia maklum bahwa dua orang keponakannya itu sudah tentu lebih baik berjuang sampai mati daripada menyerah menjadi selir Pangeran mata keranjang itu. Akan tetapi tidak benar ini, pikirnya. Melawan pemerintah, sama pula memberontak. Biarpun tidak salah, dunia akan mengecapnya sebagai pemberontak dan pengkhianat dan hal ini akan menyeret nama baik seluruh keluarga. Tak boleh ia membiarkan dua orang keponakannya itu melakukan dosa seperti ini. Dikumpulkannya tenaga batinnya yang gelisah, dipusatkan hawa sakti di tubuhnya, semua ditarik ke pusat pandangan mata lalu ia membentak,

"Li Eng dan Hui Cu! Simpan pedangmu dan jangan melawan."

Ketika ia berteriak demikian itu, para jagoan, sudah mulai bergerak maju mengeroyok Li Eng dan Hui Cu. Suara beradunya senjata sudah terdengar bertubi-tubi dan tubuh kedua orang gadis itu sudah lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka sendiri. Namun begitu teriakan ini terdengar, dua orang gadis itu melompat ke dekat Kun Hong seperti ditarik oleh tenaga gaib.

"Baiklah, Paman Hong," kata keduanya seperti dari satu mulut dan berbareng pula keduanya menyimpan pedang dan berdiri tegak menghadapi para jagoan itu yang saling pandang dan merasa terheran-heran. Hanya dua orang gadis itu saja yang merasakan betapa hebat dan ampuhnya pengaruh suara Kun Hong tadi, suara yang tak mungkin terbantah oleh mereka, suara yang harus mereka turut dan taati karena seakan-akan adalah suara dari hati mereka sendiri yang melumpuhkan seluruh daya kemauan. Kun Hong sendiri sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan yang tegang dan menggelisahkan tadi, ia telah mempergunakan tenaga batin dari ilmu hoat-sut yang ia baca dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok sehingga ia telah "menyihir" dua orang keponakannya sendiri sehingga dua orang dara itu menuruti perintah tanpa syarat lagi.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Kiranya tidak keliru Pangeran memilih kau sebagai pengurus perpustakaan. Agaknya kau tidak sebodoh yang kami kira," kata Thian It Tosu. "Memang jauh lebih baik menyerah dan hidup penuh kemuliaan di sini daripada melawan kekuasaan Pangeran karena akan membuang nyawa sia-sia belaka."

"Kami bertiga menyerah untuk ditawan, bukan menyerah untuk menerima kedudukan," jawab Kun Hong dengan suara dingin.

Kembali tujuh orang itu saling pandang lalu Thian It Tosu mengangkat pundak. "Kalian orang-orang aneh, tapi urusan kami sudah selesai, biarlah selanjutnya Tan-taijin yang akan mengurus kalian. Serahkan senjata!" Li Eng dan Hui Cu tidak melawan ketika pedang mereka dan sabuk sutera Li Eng dilucuti, sedangkan pedang di pinggang Kun Hong tidak ada yang menganggap karena memang tidak ada yang tahu. Siapakah orangnya dapat menduga bahwa pemuda yang lemah ini membawa-bawa pedang.

Mereka ditahan dalam tempat terpisah dan sebelum berpisah, Kun Hong berkata kepada dua orang gadis itu, "Jangan kuatir, aku akan berdaya upaya untuk menginsyafkan Pangeran agar kita dibebaskan kembali. Kita tidak berdosa.

Jangan kalian menggunakan kekerasan. Percayalah, orang yang benar pasti dilindungi Tuhan Yang Maha Adil."

Akan tetapi alangkah kaget hati Kun Hong ketika tiba-tiba Ang-moko dan Bhong Lo-koai bergerak ke depan menggerakkan tangan menyerang dua orang gadis itu. Karena Li Eng dan Hui Cu sama sekali tidak mengira akan datangnya serangan mendadak ini, mereka tak dapat mengelak dan roboh lemas dalam keadaan tertotok. Kiranya dua orang jagoan tua ini telah saling memberi tanda-tanda dan karena mereka tidak ingin melihat dua orang gadis yang kosen ini akan menimbulkan kerewelan lagi, keduanya turun tangan menotok jalan darah mereka.

"He, apa yang kalian lakukan?" Kun Hong berteriak-teriak. "Akan kulaporkan ini, kalian akan dihukum! Kami sudah menyerah, kenapa kalian merobohkan dua orang keponakanku? jahat sekali kalian

...." Akan tetapi tujuh orang itu tidak mempedulikannya lagi, malah ia segera diseret ke lain jurusan sedangkan dua orang gadis yang sudah lemas tidak berdaya lagi itu dibawa ke tempat lain. Percuma saja Kun Hong berteriak-teriak sampai suaranya serak. Ia dilempar ke dalam sebuah kamar kosong yang berjendela kecil beruji besi. Hanya ada sebuah bangku panjang dan sebliah meja kecil di kamar ini, selebihnya kosong. Dengan hati risau Kun Hong melempar diri ke atas bangku dan dengan gelisah memikirkan nasib kedua orang keponakannya.

Pembesar yang oleh Kaisar dikuasai untuk mengatur semua urusan yang timbul dan terjadi di lingkungan istana, adalah Tan-taijin. Tan-taijin ini orang yang berwatak jujur dan setia, orangnya tinggi besar seperti raksasa dan mempunyai wibawa besar. Kiranya para pembaca masih ingat akan tokoh cerita ini yang bernama Tan Hok, pemimpin kaum Pek-lian-pai yang amat berjasa terhadap perjuangan. Malah dalam pergolakan belasan tahun yang lalu ketika para bekas pejuang saling brebutan kedudukan malah ada yang memberontak kepada Kaisar, kembali Tan Hok ini memperlihatkan jasanya dan menolong Kaisar dari serbuan kaum petualang yang hendak merebut kekuasaan. Akhirnya,Tan Hok yang tubuhnya tinggi besar dan gagah ini diangkat oleh Kaisar menjadi pengawal pribadinya dan kemudian malah diberi pangkat untuk mengurus segala persoalan yang terjadi di lingkungan istana. Karena ini maka Tan Hok yang sekarang disebut Tan-taijin ini mempunyai pengaruh yang amat besar, semua kata-katanya.

dipercaya oleh Kaisar dan sebagai seorang jujur dan keras hati, ia ditakuti dan disegani kerabat istana.

Seperti telah kita ketahui dalam bagian depan dari cerita ini, antara Tan Hok dan Tan Beng San terdapat pertalian persahabatan yang amat erat, malah pendekar sakti Tan Beng San menganggap raksasa ini sebagai kakak angkatnya. Oleh karena inilah maka semenjak Tan Beng San bersama isterinya, Cia Li Cu, tinggal di Thai-san, kedua orang gagah ini seringkali mengadakan hubungan. Tan-taijin seringkali pergi mengunjungi Thai-san, malah sudah beberapa kali Tan Beng San sekeluarganya berkunjung ke kota raja dan bermalam di gedung Tan-taijin, Karena Tan-taijin sendiri yang menikah dengan seorang gadis kota raja tidak mempunyai keturunan, maka seringkali puteri tunggal Tan Beng San tinggal di situ sampai berbulan-bulan. Malah atas anjurannya, juga karena sayangnya ayah bundanya, puteri tunggal ini mempelajari segala kerajinan tangan wanita di kota raja sehingga selain mewarisi ilmu silat sakti dari ayah ibunya, gadis ini pun memiliki kepandaian puteri-puteri istana seperti sastra, menyulam, bermain musik, bermain catur dan lain-lain.

Urusan Kun Hong dan dua orang keponakannya pun otomatis terjatuh ke dalam tangan Tan-taijin, karena urusan itu merupakan urusan dalam. Para jagoan sudah maklum akan kelihaian Tan-taijin dalam menyelesaikan urusan yang sulit-sulit, maka setelah menjebloskan Kun Hong ke dalam penjara di dalam istana dan memasukkan dua orang gadis itu ke dalam kamar para selir Pangeran, mereka lalu melaporkannya kepada Tan- taijin.

Mula-mula Tan-taijin mengomel ketika mendengar bahwa secara mendadak Pangeran Mahkota mengangkat seorang pemuda menjadl pengurus perpustakaan dan dua orang gadis begitu saja menjadi selir. Watak orang muda omelnya, segala tergesa-gesa menurutkan nafsu hati. tetapi ia segera tertarik sekali mendengar bahwa "pemuda kepala batu" yang menolak anugerah besar ini ternyata adalah seorang dari Hoa-san-pai, demikian pula dua orang gadis yang katanya menolak pula anugerah Pangeran. Tadinya ia pun hampir tak dapat percaya kalau ada dua orang gadis muda yang menolak diangkat sebagai selir Pangeran Mahkota, akan tetapi setelah ia mendengar bahwa dua orang dara remaja itu adalah orang-orang Hoa-san-pai, ketidak percayaannya berubah dan ia tertarik sekali. Ia cukup mengenal pendekar-pendekar wanita yang tidak boleh disamakan dengan wanita-wanita biasa. Kalau yang menolak anugerah tertinggi itu adalah pendekar- pendekar wanita dari Hoa-san-pai, hal itu bukanlah hal yang aneh. Dia harus dapat mengurus hal ini, mengatasinya dan mencari jalan pemecahannya yang baik. Karena ia mendengar bahwa pemuda yang diangkat menjadi pengurus perpustakaan itu adalah paman dari kedua gadis tadi, maka ia segera memberi perintah agar supaya pemuda bandel itu malam itu juga diantar ke gedungnya, akan ditemui dan diperiksa. Diam-diam ia menduga-duga siapakah pemuda ini dan putera siapa karena ia mengenal semua tokoh Hoa-san-pai.

Sebagai seorang tawanan, biarpun orang-orang tahu bahwa dia seorang laki-laki yang lemah, kedua tangan Kun Hong dibelenggu ketika orang membawanya menghadap Tan- taijin di ruangan tengah. Waktu itu hari sudah gelap dan di ruangan itu dipasangi lampu

yang amat terang. Tan-taijin sendiri duduk menghadapi meja besar dalam pakaian kebesaran karena ia sedang memeriksa seorang tahanan. Amat gagahlah pembesar ini dalam pakaiannya yang mentereng seperti Kwan Kong saja. Benar-benar berwibawa setiap orang pesakitan tentu akan tunduk dan takut kalau diperiksa oleh seorang seperti Tan-taijin ini.

Melihat seorang pemuda kurus dan tampak lemah digiring masuk, Tan-taijin merasa kecewa. Tak patut pemuda ini menjadi murid Hoa-san-pai. Tadinya ia menduga akan bertemu dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang kesatria keturunan pendekar besar. Akan tetapi pemuda itu mempunyai keistimewaan pada matanya, yang mengingatkan Tan-taijin kepada sahabat dan saudara yang tercinta, pendekar besar Tan Beng San Si Raja Pedang! Banyak persamaan antara mata kedua orang itu, pikirnya, begitu tajam, begitu cemerlang dan berani menentang segala.

Setelah pemuda itu berlutut di depan meja, Tan-taijin memberi isyarat kepada dua orang pengawal untuk meninggalkan ruangan itu. Ia ingin bicara empat mata dengan pemuda ini, ingin melakukan pemeriksaan mendalam tanpa disaksikan orang lain. Sejenak ia melihat kepala yang menunduk itu, lalu terdengar suaranya yang besar, tetap dan nyaring,

"Orang muda, kau berdirilah!" Kun Hong bangkit berdiri dan mereka berpandangan. Sejenak sinar mata mereka saling mengukur, saling menentang, kemudian meragu dan masing-masing seperti sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang lawan yang tidak mudah menyerah kalah.

"Orang muda, siapakah namamu, dari mana asalmu dan mengapa kau sampai ke kota raja sehingga menjadi seorang tahanan. Ceritakan semua dari awal sejelasnya, siapa tahu dari pengakuanmu itu aku akan dapat membebaskanmu." Suara Tan-taijin jelas, lambat, keras dan sekata demi sekata berkesan dalam hati Kun Hong. Namun, ketika pemuda ini tadi melihat pakaian yang indah mentereng, ruangan yang serem dan sikap yang agung dari pembesar yang memeriksanya, diam-diam ia mengeluh dan tidak dapat banyak mengharapkan keadilan.

Mendengar pertanyaan yang sekaligus mencakup seluruh persoalan yang harus ia ceritakan itu, Kun Hong menjawab singkat tanpa mengangkat muka yang menunduk memandang lantai.

'"Nama saya Kwa Kun Hong berasal dari Hoa-san, tidak sengaja sampai ke kota raja karena bersama dua orang keponakanku hanya hendak melihat-lihat saja. Kebetulan terdengar oleh Pangeran dari kami menerima undangan, Siapa tahu, Pangeran hendak memaksa kedua keponakan saya menjadi selirnya dan saya menjadi pengurus perpustakaan. Kami tidak mau dan ditahan.

Melihat sikap pemuda yang tenang-tenang dan sama sekali tidak takut ini, diam-diam Tan-taijin kagum juga. Apa lagi mendengar nama keturunan pemuda ini Kwa. Pernah apakah dengan Kwa Tin Siong? Pada saat itu, pintu di sebelah dalam terbuka dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali, dengan sepasang mata bersinar-sinar

seperti bintang. Kun Hong sejenak terbelalak kagum, akan tetapi segera timbul ketidak senangannya karena ia melihat bahwa pemuda yang tampan itu ternyata hanya pemuda pesolek yang terlalu halus gerak-geriknya. Sebaliknya pemuda tampan itu seakan-akan tidak melihat kehadiran Kun Hong yang berdiri dengan keduua tangan terbelenggu, langsung berkata kepada Tan-taijin.

"Pek-hu (uwa), kautolonglah... aku, mendengar ada dua orang gadis muda jelita dari Hoa- san-pai ditahan dan hendak dipaksa menjadi selir oleh Pangeran!"

Tan-taijin dengan gerak matanya memberi isyarat bahwa di situ ada orang lain. Pemuda

itu mencari dan melihat Kun Hong, maka ia segera melanjutkan, "Pangeran sudah terlalu banyak selir-selirnya? Yang sudah punya banyak ingin tembah terus, aku yang belum punya seorang pun tidak kebagian!"

Makin muak perasaan Kun Hong terhadap pemuda tampan itu, maka ia memandang dengan mata melotot, terang-terangan ia menyatakan kemarahannya.

Pemuda itu balas memandang, mengerutkan alisnya dan bertanya,

"Ah, kiranya aku mengganggu Pek-hu. Bajingan apakah yang Pek-hu periksa malam- malam begini? Apakah dia tukang colong ayam Istana? Ataukah tukang copet? Jangan- jangan dia maling kuda, kabarnya banyak kuda hilang secara aneh dari kandang istana. Tapi dia tidak patut menjadi pencuri kuda, pantasnya menjadi maling ayam!" Terang bahwa pemuda ini sengaja menghina Kun Hong yang melotot marah itu.

Begitu pemuda tampan itu muncul wajah Tan-taijin yang tadinya bersungguh-sungguh berubah terang berseri. Ia segera menggerakkan tangannya dan berkata, "Kau duduklah, Tan-ji (Anak Tan) dan justeru dua gadis yang kaubicarakan itu ada hubungannya dengan orang ini. Kau duduk dan dengarlah."

Pemuda itu duduk tak jauh dari meja, duduk di atas bangku dan menumpangkan paha kiri ke atas paha kanannya, dengan sikap angkuh memandang Kun Hong yang menjadi makin gemas. Tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut, turun dari bangku, menghampiri Kun Hong dan begitu tangannya bergerak ia telah mengambil pedang di balik baju Kun Hong. "Ih, dia menyembunyikan pedang, Pek-hu!" katanya memperlihatkan pedang itu. Diam-diam Kun Hong terkejut dan kecewa. Tadinya ia sudah merasa girang bahwa tidak ada orang menaruh curiga kepadanya. Kiranya pemuda ini yang dapat melihat pedangnya, malah kini pedang itu dirampasnya.

Kening pembesar itu berkerut. "Hemmm, menurut laporan kau seorang pemuda sastrawan yang lemah mengapa kau menyembunyikan pedang?"

Kini marahlah Kun Hong. Ia menentang pandang mata pembesar itu dan menjawab, "Pedang tetap pedang, benda yang tidak berdosa. Tergantung tangan yang memegangnya. Pedang itu adalah pemberian orang suci kepadaku, kenapa takkan kubawa? Tapi sama sekali bukan untuk... membunuh orang atau untuk beraksi seperti dia itu!" Matanya

memandang pemuda yang kini sudah mencabut pedang itu dari sarungnya dan memegang serta memandanginya seperti seorang ahli.

"Hemmm, sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang baik. Eh, dari mana dia mencuri pusaka ini?" Pemuda tampan itu menoleh dan pandang matanya tajam penuh selidik, mengiris jantung, bukan karena keindahannya melainkan karena penghinaannya yang bagi Kun Hong terasa amat perih. Saking marahnya Kun Hong sampai tak dapat mengeluarkan suara. Ia sendiri merasa heran mengapa terhadap pemuda pesolek yang terlalu tampan ini ia mudah sekali tersinggung dan marah, padahal biasanya ia tenang dan sabar saja menghadapi segala sesuatu. Ketika bertemu pandang, sengaja ia membuang muka seperti orang melihat binatang yang menjijikkan.

Sementara itu, Tan-taijin tidak begitu heran melihat Kun Hong menyembunyikan pedang di balik jubahnya. Sebagai seorang murid Hoa-san-pai sudah tentu saja soal membawa pedang bukan merupakan soal aneh lagi. Yang aneh hanya karena pemuda ini tidak pandai ilmu silat, mengapa membawa pedang segala.

"Kwa Kun Hong" kata pula pembesar itu dengan suara keren, "Pangeran Mahkota begitu baik kepadamu, belum kenal sudah diundang, diadakan pesta, kemudian malah kau diberi anugerah pangkat. Mengapa kau menolaknya? Penolakanmu itu berarti kau tidak kenal budi, berarti kau tidak menghormat putera Kaisar, dan tidak taat. Padahal aku mendengar laporan bahwa kau menerima ketika diangkat menjadi ketua perkumpulan pengemis, mengapa sekarang kau malah menolak ketika diberi kedudukan betul-betul oleh Pangeran Mahkota. Bukankah itu menunjukkan bahwa kau tidak setia kepada junjungan dan punya hati memberontak?"

"Eh-eh, orang macam ini jadi raja pengemis?" lagi-lagi terdengar pemuda tampan itu yang membuat kedua telinga Kun Hong serasa dibakar. Ia mengangkat muka, berdiri tegak dan suaranya menggeledek ketika menjawab pembesar itu, jawaban yang diselimuti kemarahannya yang bangkit karena sikap dan kata-kata Si Pemuda Tampan tadi. "Taijin, saya ingin bicara terus terang, kalau menyinggung harap Taijin suka maafkan atau hukum, terserah, Setelah melihat keadaan di dalam istana-istana kerajaan, melihat kerajaan, melihat pembesar-pembesar istana, selaksa kali saya lebih suka menjadi ketua pengemis jembel daripada menjadi pembesar di istana! Menjadi ketua pengemis setidaknya masih mengingat akan nasib para pengemis, biarpun tampaknya hina namun merupakan pekerjaan mulia. Akan tetapi sebaliknya, orang-orang yang menyebut diri sendiri pembesar, yang hidup bergelimang dengan kemewahan, kemuliaan, dan kesenangan, apakah jasa mereka terhadap rakyat jelata? Pembesar-pembesar seperti Taijin ini, yang amat banyak jumlahnya di kota raja, pernahkah memikirkan nasib si kecil? Pernahkah mimpi bahwa kalau Taijin sedang tidur nyenyak di dalam gedung istana indah, ratusan ribu rakyat di gunung-gunung kedinginan karena dinding gubuk bobrok dan atap daun bocor? Kalau Taijin sedang makan masakan kota raja yang enak dan lezat, ingatkah akan ratusan ribu rakyat yang mengerang kelapar, bahkan ada yang mati karena perutnya kosong? Kalau setiap pagi dan sore berganti pakaian-pakaian indah dan mempersolek diri seperti Tuan Muda ini, pernahkah ingat akan ratusan ribu rakyat yang

telanjang dan kedinginan? Padahal..." Sampai di sini Kun Hong menarik napas panjang, lalu disambungnya lebih bersemangat lagi,

"padahal kalau tidak ada rakyat, takkan ada raja, takkan ada pembesar seperti Taijin ini, takkan ada istana-istana indah ini. Hemmm, sudah banyak kubaca tentang manusia- manusia yang menyebut diri sendiri pemimpin dan pembesar seperti Taijin dan sebangsanya. Di waktu perang? Ah, ada rakyat yang maju! Di waktu banjir? Musim kering panjang? Ada rakyat yang menanggulangi. Tapi kalau sudah mabuk penghidupan mewah dan enak rakyat dilupakan!"

Saking kaget, heran dan kagumnya, wajah Tan-taijin berubah-ubah dan wajah pemuda tampan itu kini menjadi merah sekali. Melihat wajah pembesar itu, Kun Hong makin bersemangat.

"Ah, Taijin terheran? Ha-ha, aku berani bertaruh bahwa orang seperti Taijin ini tak pernah keluar dari kota raja, setiap hari hanya mencium bau masakan sedap, melihat wanita cantik dan memakai pakaian indah. Coba Taijin tengok ke dusun-dusun, ke gunung-gunung, ke pinggir-pinggir laut, tengoklah kehidupan rakyat kecil di sana. Mungkin Taijin akan terbuka mata dan tidak berani lagi menari-nari di atas kemelaratan rakyat, berlaku sewenang-wenang, menangkap orang-orang tak berdosa, merampas gadis-gadis begitu saja..."

"Tutup mulutmu! Kau tak tahu dengan siapa kau bicara!" Tiba-tiba pemuda tampan itu melompat maju dan "plak! Plak!" kedua pipi Kun Hong ditamparnya kanan kiri. Mata pemuda tampan itu berapi-api, marah sekali ia rupanya.

"Jangan, Tan-ji! Mundurlah... betapapun juga, dia bicara tentang kenyataan, tentang kebenaran dan keadilan!" ....

"Tapi ia kurang ajar, Pek-hu. Ah, muak perutku melihatnya!" Pemuda tampan itu dengan marah lalu meninggalkan ruangan. Tan-taijin lalu bangkit dari bangkunya dan maju melepaskan belenggu tangan Kun Hong. Pemuda ini tidak merasa girang atau heran, hanya mengangkat kedua tangan mengusap kedua pipinya yang masih ada tanda lima jari merah bekas ditampar tadi. Panas tamparan tadi, tapi lebih panas lagi hatinya.

"Huh, laki-laki macam apa dia? pesolek dan galak, seperti banci saja!" gerutu Kun Hong dengan hati mengkal. Tan-taijin tersenyum ketika berkata,

"Kaumaafkanlah dia, dia itu masih seperti anak kecil saja, Kwa-sicu, semua omonganmu tadi memang tepat, akan tetapi kau hanya tahu ekor tak melihat kepalanya, tahu satu tidak tahu dua. Kau mengaku dari Hoa-san dan she Kwa, sebetulnya kau masih ada hubungan apakah dengan Ketua Hoa-san-pai, Kwa Tin Siong Tai-hiap?"

" jawab Kun Hong agak gagap, sama sekali tidak mengira bahwa agaknya pembesar ini mengenal ayahnya. "Saya... anaknya ....

"Ha-ha-ha, sudah kuduga!" kata Tan-taijin girang, kemudian ia mengelus jenggot dan menarik napas panjang. "Kau bersemangat seperti ayahmu. Hemm, tapi sebagai putra Ketua Hoa-san-pai, bagaimana kau tidak pandai ilmu silat? Tapi, hal itu bukan urusanku. Sekarang tentang dua orang gadis itu, kaubilang mereka itu adalah keponakanmu. Kalau begitu

...." Pembesar itu mengingat-ingat, "apakah mereka itu keturunan dari Saudara Thio Ki ataukah Saudara Kui Lok!"

Makin heranlah Kun Hong. Kiranya pembesar ini banyak mengenal keluarga Hoa-san- pai.

"Dugaan Taijin tidak keliru, Li Eng adalah puteri Paman Kui Lok, sedangkan Hui Cu adalah puteri Paman Thio Ki," katanya tepat dan kini ia mulai memperhatikan wajah yang tampan dan gagah dari pembesar bertubuh raksasa itu.

Bukan main kagetnya hati Tan-taijin. "Ah, aku harus cepat membebaskan mereka! Kwa Kun Hong, ketahuilah, aku adalah sahabat baik dari ayahmu dan semua orang Hoa-san- pai, bahkan sahabat seperjuangan. Sekarang terpaksa kau berdiam dulu dalam kamar tahanan, aku perlu pergi ke Istana Kembang membebaskan dua orang gadis itu." Kun Hong girang sekali akan tetapi sebelum ia sempat menyatakan terima kasihnya, pembesar itu menepuk tangan dan masuklah beberapa orang pengawal.

"Antarkan kembali pemuda ini ke dalam kamar tahanan, akan tetapi jangan dibelenggu dan perlakukan sebagai tamuku!" Para pengawal itu memberi hormat dan dengan halus Kun Hong digandeng pergi dari ruangan itu. Dengan sudut matanya Kun Hong berusaha mencari pemuda tampan yang tadi menampar pipinya, akan tetapi tidak terlihat dan diam- diam ia berjanji kelak akan membalas tamparan ini. Baru kali ini bisa timbul dendam di hati Kun Hong, suatu hal yang baginya sendiri teramat aneh.

Tergesa-gesa Tan-taijin malam hari itu juga pergi menuju ke Istana Kembang dengan maksud membebaskan Li Eng dan Hui Cu dari tahanan. Ia kuatir sekali kalau-kalau kedatangannya terlambat. Kalau sampai dua orang gadis itu diganggu oleh Pangeran, hal ini akan mempunyai akibat yang hebat sekali. Mereka adalah putera-puteri tokoh Hoa- san-pai, kalau terjadi hal ini berarti Pangeran telah menodai nama baik Hoa-san-pai. Tidak saja pihak Hoa-san-pai tentu takkan dapat menerimanya, bahkan dunia kang-ouw akan geger karenanya, terutama sekali saudara angkatnya, Si Raja Pedang Tan Beng San yang mempunyai hubungan erat dengan Hoa-san-pai, tentu akan menyesal bukan main, Paling perlu ia membebaskan dua orang gadis itu dulu, baru pada keesokan harinya ia bo- leh bicara dengan Pangeran Mahkota. Kalau ia menceritakan keadaan yang sebenarnya dan tentang jasa-jasa Hoa-san-pai, kiranya Pangeran takkan menyesal dengan dibebaskannya dua orang gadis itu. Andaikata Pangeran tetap menyesal, ia dapat mempergunakan pengaruh Kaisar untuk meredakannya atau kalau perlu, demi kepentingan ini, ia rela mengundurkan diri, kembali ke dusun. Kata-kata Kun Hong tadi membangkitkan semangatnya, membuat ia terkenang akan keadaan dahulu dan diam- diam ia harus mengaku bahwa selama bertahun-tahun ia hidup di istana, memang hampir terlupa olehnya bahwa rakyat hingga sekarang masih banyak yang menderita.

Akan tetapi, setibanya ia di Istana Kembang, ternyata kedatangannya telah terlambat! Bukan terjadi seperti yang ia kuatirkan. Pangeran Mahkota tidak sempat mengganggu dua orang gadis itu karena belum datang malam itu, masih di istana. Akan tetapi terjadi lain hal yang hebat, yaitu, dua orang gadis itu telah berhasil melarikan diri dan seluruh penghuni Istana Kembang itu, dua orang selir Pangeran yang bertugas membujuk dua orang gadis itu, empat orang pelayan wanita yang bertugas melayani, dan lima orang perajurit pengawal yang tinggi juga kepandaiannya, semua telah tewas! Dua orang gadis Hoa-san-pai itu lenyap dan sebelas orang manusia terbunuh. Istana Kembang yang indah, yang biasanya menjadi tempat peristirahatan Pangeran, sekarang menjadi tempat menyeramkan dengan darah berceceran dan mayat ber-gelimpangan.

Tan-taijin kaget sekali, membanting-banting kedua kaki. Ia menyesal mengapa Pangeran begitu gegabah, bermain kasar terhadap murid-murid Hoa-san-pai, juga ia menyesal sekali mengapa dua orang gadis itu setelah berhasil melarikan diri, berlaku begini ganas dan kejam? Cepat ia melakukan pemeriksaan dan sebentar saja para jagoan dari istana berdatangan ketika mendengar peristiwa hebat itu. Sebetulnya apakah yang telah terjadi.

Seperti telah kita ketahui, karena sama sekali tidak menyangka akan diserang dan juga karena memang kepandaian Ang-moko dan Bong-lokai amat tinggi, Li Eng dan Hui Cu secara tiba-tiba tertotok roboh dan mereka ini sama sekali tidak melawan ketika dibawa ke dalam Istana Kembang dan ditahan di dalam sebuah kamar yang indah dan mewah. Sebelum meninggalkan dua orang gadis tawanan ini kepada dua orang selir Pangeran yang diserahi tugas untuk membujuk halus, lebih dulu mengikat tangan nona itu agar kalau nanti kembali dari totokan, takkan mengamuk. Kemudian para jagoan meninggalkan Istana Kembang untuk memberi laporan kepada Pangeran yang tadi pulang terlebih dulu. Pada malam hari itu, selagi Tan-taijin memeriksa Kun Hong dan Pangeran Mahkota dengan girang mendengarkan laporan para jagoannya bahwa dua orang dara remaja yang dirindukannya itu telah tertawan, terjadilah hal yang hebat di Istana Kembang itu. Sesosok bayangan berjalan lambat memasuki pekarangan istana itu. Orang ini sudah tua, tubuhnya tinggi besar dan kokoh kekar, jalannya sempoyongan dan tenggorokannya mengeluarkan suara meringik-ringik atau merintih-rintih seperti orang menangis. Akan tetapi mulutnya terdengar menggerutu, "Anak murid Hoa-san-pai? Ha, anak murid Hoa-san-pai .... "

Lima orang perajurit pengawal yang bertugas menjaga Istana Kembang di malam itu, terheran-heran melihat datangnya seorang kakek berpakaian putih di situ. Mereka mengira bahwa tentulah seorang pengemis gila, maka seorang di antaranya segera membentak,

"Hee! Kakek gila, keluar kau"

Akan tetapi kakek berpakaian putih ini seperti tidak mendengar bentakannya, terus melanjutkan perjalanannya melewati pekarangan menuju ke pintu depan. Tentu saja lima orang pengawal itu menjadi marah dan juga curiga. Dengan gerakan cepat mereka melompat dan tahu-tahu mereka sudah berdiri menghadang di depan kakek itu.

"He, Kakek! Apa kehendakmu dan siapa kau?" tegur seorang di antara mereka dengan sikap mengancam.

Kakek itu tetap tidak mengacuhkan mereka, memandang pun tidak, hanya menggumam, "Anak murid Hoa-san-pai..."

Lima orang itu makin curiga dan mereka sudah meraba gagang golok dan pedang. Jangan-jangan orang ini adalah teman gadis-gadis yang ditahan dan hendak merampasnya, pikir mereka.

"Siapa kau? Jangan main-main di sini, orang gila. Keluar atau kau akan merasakan tajamnya golokku!" seru seorang di antara mereka sambil mencabut goloknya. empat orang yang lain juga sudah mencabut senjata masing-masing.

Namun kakek itu agaknya benar-benar gila. Ringik tangis di tenggorokannya masih terdengar terus dan bibirnya tiada hentinya berkata, "Serahkan padaku anak murid Hoa- san-pai ....

" Sementara itu kedua kakinya masih terus melangkah ke arah pintu, agaknya hendak memaksa memasuki istana itu.

"Orang gila sudah bosan hidup!" teriak para pengawal marah dan berbareng mereka menggerakkan senjata, ada yang menusuk paha, ada yang membacok pundak, pendeknya mereka hendak merobohkan kakek itu tanpa membunuhnya. Akan tetapi semua bacokan itu mengenai angin belaka, padahal kakek itu kelihatannya tidak mengelak sama sekali! Para pengawal itu terkejut bukan main dan mereka sadar bahwa orang gila ini bukanlah orang sembarangan. Namun kesadaran mereka terlambat karena dengan sekali renggut saja kakek itu telah mencabut sebatang pohon bunga di depan istana, tercabut berikut akar-akarnya pohon sebesar paha orang itu, kemudian tanpa banyak cakap lagi ia menghajar lima orang pengawal dengan pohon ini! Lima orang pengawal itu mencoba sedapat mungkin untuk menangkis atau mengelak, meloncat ke sana ke mari, namun sia- sia belaka, Tak sampai lima menit mereka semua telah roboh dengan kepala pecah dan tulang-tulang patah tanpa nyawa lagi! Setelah merobohkan lima orang ini, kakek gila tadi melemparkan batang pohon secara sembarangan, lalu berjalan terus dengan langkah lebar ke pintu. Pintu itu terpalang dari depan, namun sekali dorong daun pintu yang tebal itu terbuka, palangnya patah-patah dan sambil mengomel panjang pendek dan ringik tangis masih terdengar, kakek ini melangkah masuk.

Dua orang pelayan wanita muncul dengan kaget dari dalam. Mereka menjerit ngeri ketika melihat seorang kakek aneh berjalan masuk dan daun pintu telah roboh dan pecah. Kakek itu agaknya marah mendengar jeritan mereka. Tangannya bergerak ke arah mereka dan pelayan itu roboh terjungkal, mati tanpa dapat bersambat lagi. Lalu kakek ini melangkah terus.

"Anak murid Hoa-san-pai, mana anak murid Hoa-san-pai?" demikian terdengar ia bicara perlahan. Semua pintu kamar dibukanya dan ia mencari terus sampai ke kamar di sebelah belakang.

Pada saat itu, dua orang selir Pangeran dengan lagak genit dan centil sekali tengah membujuk Li Eng dan Hui Cu yang terbelenggu di atas pembaringan. Mereka membujuk-bujuk agar supaya dua orang gadis itu menurut saja menjadi selir Pangeran, malah tanpa malu-malu lagi dua orang wanita yang sudah tidak mengenal lagi kesusilaan ini menceritakan hal-hal yang tak patut didengar telinga sopan, memuji-muji Pangeran yang muda dan tampan itu dan betapa senangnya menjadi selirnya. Mula-mula Li Eng dan Hui Cu memaki-maki, akan tetapi lama-lama mereka lelah sendiri dan meramkan mata, sama sekali tidak mau melihat atau mendengar lagi. Kalau saja tangan mereka tidak terbelenggu, pasti sekali pukul mereka merobohkan dua orang yang tak tahu malu ini. Sementara itu, dua orang pelayan wanita juga berada di dalam kamar untuk melayani dua orang selir tadi.

Tiba-tiba pintu kamar itu terdorong dari luar, terbuka dan masuklah Si Kakek tadi. Dua orang selir Pangeran itu bukanlah wanita-wanita lemah, mereka melompat dan menyambar pedang masing-masing.

?" Belum habis gema suara ini, dua orang selir itu telah terlempar dan kepala mereka terbentur tembok, pecah dan tewaslah mereka. Diam-diam kaget sekali hati Li Eng dan Hui Cu melihat betapa dengan gerakan kedua tangannya, kakek ini melakukan pukulan jarak jauh yang mampu membinasakan dua orang selir itu. Adapun dua orang pelayan yang menjadi ketakutan segera menjerit-jerit. Akan tetapi dua kali tendangan menamatkan hidup mereka. Sekaligus kakek ini telah membunuh empat orang di dalam kamar itu, dua orang di luar kamar dan lima orang di luar rumah. Kemudian ia menghampiri Li Eng dan Hui Cu, memandang sejenak lalu terdengar ia berkata, "Siapa kau ....

?" Li Eng dari Hui Cu tidak tahu siapa kakek ini dan apa gerangan maksudnya dengan perbuatannya yang mengerikan itu, tidak tahu pula apa maksudnya bertanya tentang anak murid Hoa-san-pai. Akan tetapi karena dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang tokoh luar biasa di dunia kang-ouw dan tentu mengenal baik Hoa-san-pai, Li Eng yang lebih tabah itu menjawab, "Anak murid Hoa-san-pai ....

" Tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangan dan lain saat tubuh Li Eng dan Hui Cu telah dipanggulnya di kanan kiri atas pundaknya, kemudian bagaikan terbang ia berlari keluar dari istana yang penghuninya telah dibunuhnya semua itu. "Benar, Locianpwe, kami berdua adalah murid Hoa-san-pai ....

Ketika kota raja geger dan pintu pintu gerbang kota raja sudah ditutup dan dijaga keras, kakek ini telah lama meninggalkan kota raja dengan memanggul dua tubuh gadis itu. Ia berlari terus secepat angin menembus gelap malam dan menjelang tengah malam tibalah ia di sebuah hutan, langsung memasuki hutan itu dan menuju ke sebuah kelenteng, kuno yang sudah kosong.

Ia masuk di ruangan belakang kelenteng itu yang ternyata bersih. Melihat betapa di dalam gelap ia dapat bergerak leluasa, dapat diduga bahwa ia sudah hafal akan tempat ini. Sambil meringik-ringik terus ia melepaskan dua tubuh dara itu ke atas lantai secara kasar,

mulutnya tiada hentinya berbisik.'"Anakmurid Hoa-san-pai... hemm, anak murid Hoa- san-pai..."

Li Eng dan Hui Cu sudah terbebas dari totokan dan kini mereka berusaha melepaskan belenggu yang mengikat kedua tangan mereka. Tentu saja mereka dapat menggerakkan kaki dan andaikata menghadapi seorang biasa saja, dengan kaki mereka dua orang dara perkasa ini sanggup merobohkannya. Akan tetapi kini mereka menghadapi seorang kakek aneh yang saktl, tentu saja mereka tidak berani berlaku sembrono menyerang dengan kaki saja! Mereka mendapat kenyataan bahwa lantai itu licin dan bersih, dan mereka menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh kakek itu terhadap diri mereka, tiba-tiba terdengar bunyi benda-benda nyaring dan terjadilah api. Tak lama kemudian ruangan itu menjadi terang oleh sebatang lilin yang dipasang oleh kakek itu di atas sebuah meja sembahyang yang sudah butut. Ngeri juga hati dua orang gadis itu melihat wajah kakek yang tua dan menyeramkan tadi tersinar cahaya lilin. Kakek itu kini tertawa terkekeh- kekeh sambil memandang mereka.

"Heh-heh-heh-heh! Anak-anak murid Hoa-san-pai! Muda-muda dan cantik, tapi semua anak murid Hoa-san-pai genit-genit, cabul dan tidak tahu malu!"

"Kakek tua bangka gila!" Li Eng tak dapat menahan kemarahannya mendengar kata-kata yang amat menghina nama baik Hoa-san-pai ini. "Mulutmu kotor, kau manusia ataukah iblis? Kami orang-orang Hoa-san-pai selalu memegang tinggi kesopanan dan pribudi kebijaksanaan, jangan sembarangan kau menuduh!"

Kakek itu tertegun kaget mendengar suara ini dan melihat sikap Li Eng yang berani. Akan tetapi hanya sebentar karena ia terkekeh kembali.

'"Heh-heh-heh! Sama saja semua. Kelihatannya memang sopan-sopan, lagaknya seperti pendekar-pendekar, akan tetapi begitu dekat laki-laki lalu menjadi cabul. Mempunyai anak di luar pernikahan, coba bilang, apakah itu tidak cabul dan tak tahu malu?"

"Keparat! tua bangka! Lepaskan belenggu ini dan mari kita bertanding untuk membela pendirian kita. Kau akan mampus di tanganku untuk menebus ucapanmu yang menghina Hoa-san-pai!" kata pula Li Eng.

"Heh-heh-heh, hendak kulihat kau akan mampu berbuat apa nanti. Tapi nanti, kau harus mengalami penghinaan lebih dulu. Semua wanita Hoa-san-pai harus mengalami penghinaan, sesuai dengan watak Hoa-san-pai yang hinal" Ucapan ini disusul gerakan tangannya menyambar ke arah tubuh Li Eng.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed