Skip to main content

Rajawali Emas 11 - Kho Ping Hoo

"Li Eng, Hui Cu, sudah cukup, mundurlah!" Kun Hong membentak, kuatir kalau-kalau kedua orang gadis itu akan turun tangan terus dan membunuh orang.

Sambil tertawa-tawa Li Eng menarik kembali sabuknya dan Hui Cu juga tidak menyerang terus, membiarkan lawannya mundur dengan muka merah padam kemalu- maluan. Terdengar seruan-seruan memuji dari para pengemis dan tahulah mereka bahwa dua orang gadis keponakan "ketua baru" itu benar-benar lihai sekaii, apalagi gadis lincah yang bersenjata sabuk hitam.

"Hwa-i Lok-kai mengandalkan tenaga dari luar menghina anak buah sendiri, benar-benar bagus!" terdengar beberapa suara orang dan ternyata yang mengeluarkan suara ini adalah para pemimpin perkumpulan pengemis baju hijau dan baju merah. "Saudara-saudara, kita

golongan pengemis harus diketuai oleh pengemis pula, mana bisa dipimpin oleh seorang sastrawan muda jembel? Yang tidak puas dengan pimpinan Hwa-i Kai-pang, boleh datang ke tempat kami. Pintu kami terbuka lebar-lebar untuk saudara sekalian!"

Hwa-i Lo-kai tidak menjawab, hanya memandang dengan mata tajam ke arah para rombongan tamu yang berangsur-angsur bergerak meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi. Yang membikin hatinya panas dan kecewa adalah ketika ia melihat Beng-lokai, diikuti oleh banyak pengemis Hwa-i Kai-pang, pergi pula meninggalkan tempat itu untuk menggabung kepada perkumpuan-perkumpulan lain.

"Hwa-i Lo-kai harap jangan berduka," kata Kun Hong yang dapat melihat keadaan hati orang dan dapat menduga pula apa sebabnya. "Dua orang lokai itu memang mempunyai hati yang bengkok terhadap Hwa-i Kai-pang. Karena mereka tidak mempunyai harapan untuk menjadi ketua di sini, mereka pergi ke perkumpulan lain. Biarlah, orang-orang yang tidak setia kepada perkumpulan sendiri, berarti mempunyai watak yang tidak jujur dan lebih baik kalau perkumpulan ini dijauhi orang-orang seperti itu. Sekarang aku minta diri, Lo-kai, karena aku harus pulang ke Hoa-san."

Hwa-i Lo-kai dan Coa-lokai membujuk agar Kun Hong dan dua orang gadis itu suka tinggal di situ beberapa hari lagi akan tetapi Kun Hong tetap menolaknya. Akhirnya Hwa-i Lo-kai terpaksa melepaskan mereka pergi setelah memberi bekal roti kering, potongan perak dan tiga ekor kuda yang bagus kepada ketua baru bersama dua orang keponakannya itu.

Baru saja tiga orang muda itu sampai di luar dusun menunggangi kuda mereka, tiba-tiba Kun Hong memberi tanda berhenti. Hui Cu dan Li Eng segera menahan kuda masing- masing.

"Hui Cu, Li Eng, mari kita turun. Aku tidak suka menunggang kuda," kata Kun Hong.

Dua orang gadis itu saling pandang dengan heran. Li Eng tentu saja segera membantah. "Paman Hong ini bagaimana sih? Perjalanan kita amat jauh, menunggang kuda saja belum tentu bisa sampai tiga empat bulan. Sudah ada kuda pada kita, bagaimana sekarang hendak turun lagi?"

"Kau anak kecil tahu apa?" Kun Hong membentak. "Tiga ekor kuda ini harganya tentu tidak murah. Hwa-i Kai-pang lebih membutuhkannya daripada kita. Kita masih muda, mempunyai sepasang kaki dan bisa berjalan, kalau perlu bisa lari. Kuda ini kita kembalikan saja."

"Ah, Susiok (Paman Guru) aneh sekali... orang sudah memberikan kepada kita, kenapa hendak dikembalikan? Kalau memang tidak suka, kenapa tadi tidak ditolak saja?" lagi- lagi Li Eng membantah dengan bibir semberut.

Akan tetapi Kun Hong tidak mempedulikan protes gadis lincah itu dan kebetulan sekali dari depan tampak seorang pengemis baju kembang lewat di jalan itu. Kun Hong segera

memanggiinya dan pengemis ini segera datang dengan membungkuk-bungkuk memberi hormat karena ia pun mengenal ketua baru ini bersama dua orang keponakannya yang lihai.

"Pangcu hendak memerintah apakah?" tanyanya.

"Lo-kai, kau tuntunlah tiga ekor kuda ini dan kembalikan kepada Hwa-i Lo-kai, katakan bahwa kami bertiga hendak melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki saja. Nah, cepat bawalah."

Sejenak pengemis itu terlongong, akan tetapi ia tidak berani membantah lalu dituntunnya tiga ekor kuda itu kembali ke tempat semula, yaitu di kaki Pegunungan Tapie-san.

Ada pun Kun Hong mengajak dua orang keponakannya melanjutkan perjalanan. "Li Eng, kau jangan cemberut saja. Kau memang rewel, tidak seperti Hui Cu yang pendiam dan manis," kata Kun Hong.

Makin meruncing bibir Li Eng. "Kau memang tidak tahu disayang orang! Aku rewel dan cerewet bukan untuk diriku sendiri. Bagi aku dan Cici Hui Cu, jalan kaki apa sukarnya? Kami memiliki ilmu berlari cepat dan kiranya tidak akan kalah cepat dengan larinya kuda. Akan tetapi bagaimana dengan kau, Paman Hong? Kau tentu tidak kuat berjalan jauh, lagi pula jalanmu perlahan-lahan. Perjalanan kita masih jauh sekali, kalau menuruti kau berjalan seperti siput, sampai bertahun-tahun kita takkan bisa pulang ke Hoa-san!"

Kun Hong tersenyum menggoda. "Biar sampai sepuluh tahun, melakukan perjalanan bersama kalian berdua aku takkan menjadi bosan."

"Iihhh, dasar .... " Li Eng melerok.

Hui Cu yang sejak tadi diam saja sekarang berkata kepada Kun Hong tanpa berani memandang wajah pemuda itu, "Paman agaknya belum tahu bahwa kita tidak akan menuju ke Hoa-san karena kami berdua memang diberi tugas oleh Sukong untuk pergi ke Thai-san."

?? Ke Thai-san? Bukankah Thai-san itu tempat tinggal pendekar sakti Tan Beng San Taihiap yang dipuji-puji oleh Ayah dan katanya menjadi Raja Pedang?" Kun Hong bertanya dengan tercengang. "Heee ....

"Kalau dia raja, kau pun raja, Paman Hong," kata Li Eng sudah gembira kembali dari kecewanya kehilangan kuda. "Cuma bedanya, kalau Tan Beng San Tai-hiap itu Raja Pedang, kau adalah raja pengemis!"

Senang hati Kun Hong melihat gadis lincah itu tidak marah lagi karena kehilangan kuda. "Bagus, bagus, kau pun hanya menjadi keponakan raja pengemis, Li Eng, jangan main- main lekas ceritakan betulkah kita akan ke Thai-san dan ada keperluan apakah Ayah menyuruh kalian ke sana?"

Li Eng menjura dengan tubuh membungkuk dalam. "Baiklah, Paman Raja. Hamba tidak berani main-main lagi. Hamba berdua diperintah pergi ke Thai-san untuk melihat apakah benar Sang Puteri dari Raja Pedang betul-betul cantik jelita dan gagah perkasa seperti yang disohorkan orang dan kalau betul begitu, hamba berdua disuruh... eh, melamar untuk Paduka Paman Raja."

"Iihh, Adik Eng! Terlalu sekali kau mempermainkan Susiok!" Hui Cu menegur. Li, Eng tersenyum lebar dan memandang kepada Kun Hong sambil berkata,

"Apa salahnya, Cu-cici? Kalau bukan pamannya yang baik, yang sabar, yang budiman dan bijaksana, masa aku berani monggoda dan main-main. Betul tidak, Susiok?" pandang matanya dan senyumnya menjadi amat manja sehingga tak mungkin orang dapat marah kepada gadis remaja yang menggemaskan dan lucu ini.

Untuk sejenak Kun Hong melongo memandang tingkah Li Eng yang amat menarik hatinya ini. Kemudian ia menarik napas panjang dan berkata.

"Sudahlah, memang sejak dahulu Li Eng suka menggoda orang. Hui Cu, coba kauceritakan dengan jelas apa maksud kalian ke Thai-san."

Sambil berjalan perlahan Hui Cu bercerita, "Sukong mendapat kabar bahwa Tan-taihiap

di Thai-san-pai hendak meresmikan pendirian Thai-san-pai sebagai perkumpulan persilatan baru di dunia kang-ouw. Peresmian ini disertai pesta dan banyak tokoh-tokoh di dunia kang-ouw diundang. Sukong sendiri tidak bisa pergi, maka mengutus kami berdua pergi ke Thai-san dan menyampaikan selamat serta barang sumbangan. Karena waktunya masih lama, kami berdua sengaja mengambil jalan ini dengan maksud melihat- lihat di kota raja lebih dulu. Siapa kira di sini bertemu dengan Susiok."

"Dicari-cari setengah mampus ke mana-mana tidak bisa bertemu, sampai Sukong menjadi berkuatir sekali. Hampir dua tahun Susiok pergi tak berbekas, kami pun sudah beberapa kali mencari ke segala penjuru dunia tanpa hasil. Eh, sekarang tahu-tahu nongol di sini!" Li Eng berkata sambii menggeleng-geleng kepalanya. "Siapa tidak menjadi gemas?"

Kun Hong kelihatan gembira bukan main. "Bagus, bagus!" ia bertepuk tangan. "Aku pun hendak ikut ke Thai-san. Dan kebetulan sekali, aku juga memang ingin melihat-lihat kota raja, sekarang ada kalian berdua menjadi teman, wah, senang sekali!"

"Tapi kita tidak boleh terlalu lama di kota raja, Susiok. Jangan sampai kita terlambat tiba di Thai-san," kata Hui Cu mengingatkan. Gadis ini jarang bicara dan kalau sudah bicara selalu serius, tidak pernah main-main seperti Li Eng yang jenaka.

Kun Hong mengerutkan keningnya. "Berapa jauhnya sih Thai-san dari sini?"

"Kalau jalan kaki biasa sedikitnya satu bulan baru sampai," jawab Hui Cu.

"Kalau kami berlari cepat, seminggu juga sampai," sambung Li Eng. "Tapi Paman Hong mana bisa lari cepat?"

" tiba-tiba Kun Hong menghentikan kata-katanya karena teringat bahwa ia telah bicara terlanjur. Saking kagetnya ia menutupi mulut dengan tangan sendiri. "Ah, begitu dekat? Sehari juga sampai kalau naik kim-tiauw ....

Dua orang gadis itu memandang heran, malah Li Eng tidak main-main lagi, melainkan memandang tajam penuh selidjk. "Apa maksudmu, Susiok? Kaubilang tadi menunggang kim-tiauw? Apakah kau bertemu dengan rajawali emas?" tanya Hui Cu, mukanya berubah.

Li Eng memegang tangan Kun Hong. "Paman Hong, di mana kau melihat rajawali emas? Di mana? Lekas beritahukan, di mana ada burung itu, tentu ada dia!"

Kun Hong menyesal sekali mengapa ia membuka rahasianya. Akan tetapi karena sudah terlanjur, apa boleh buat. "Pantas kalian terheran-heran, Memang di dunia ini tidak ada keduanya burung rajawali seindah itu, dengan bulunya berkilauan kuning keemasan dan sepasang matanya seperti kumala. Kalian tahu, malah burung rajawali emas itu memakai kalung mutiara yang indah!"

?" Dua orang gadis itu bertanya mendesak, nampaknya tidak sabar lagi. Hal ini tidak mengherankan kalau keduanya memang sudah mendengar tentang Kwa Hong dan rajawali emasnya dan mereka menganggap Kwa Hong sebagai musuh besar yang telah menghina dan menyusahkan kedua orang tua mereka. "Di maha dia? Di mana ....

"Aaah, kalian ini anak-anak perempuan. Baru mendengar tentang mutiara indah saja sudah begini ribut. Apa kalian kira akan dapat dengan mudah saja mengambil kalung mutiara itu? Rajawali emas itu hebat sekali, bahkan Toat-beng Yok-mo saja tidak mampu menandinginya."

Dua orang gadis itu saling pandang lagi, nampak terheran. "Paman Hong, apakah kau bertemu pula dengan Toat-beng Yok-mo? Dan setelah bertemu dengan rajawali emas, tentu kau telah bertemu pula dengan... iblis betina itu?" tanya Hui Cu, suaranya sungguh- sungguh.

"Iblis apa? Aku tidak pernah bertemu dengan iblis, iblis betina maupun iblis jantan," jawab Kun Hong, heran mendengar pertanyaan Hui Cu ini.

"Hong-susiok, ceritakanlah semua pengalamanmu itu, ceritakan tentang pertemuanmu dengan rajawali emas, Aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Li Eng sambil menggandeng tangan kanan pemuda, itu.

"Kalian ingin mendengar? Baik, Hui Cu, ke sinilah dekat-dekat!" Ia menggunakan tangan kirinya untuk menggandeng tangan Hui Cu sehingga mereka bertiga berjalan perlahan

sambil bergandengan tangan. Kun Hong merasa gembira sekali dan dianggapnya bahwa dua orang keponakannya ini benar-benar menyenangkan dan amat manis budi. Dahulu ia pernah benci dan gemas terhadap kenakalan Li Eng, akan tetapi setelah berdekatan, mana bisa orang membenci dara remaja itu.

"Ketika dulu aku meninggalkan Hoa-san, aku sudah mengambil keputusan tidak akan kembali ke sana karena aku benci sekali melihat bunuh-bunuhan yang terjadi di sana. Sekarang pun aku benci melihat pembunuhan, kalau kalian membunuh orang, aku pun akan membenci kalian. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan Toat-beng Yok-mo yang terluka hebat, hampir mati."

"Hi-hik, dia boleh mampus karena racun tongkatnya sendiri dan terluka di dua tempat oleh ayah ibumu" kata Li Eng.

Mengkal hati Kun Hong diingatkan bahwa ayah bundanya telah melukai, malah banyak membunuh orang. "Keadaannya amat menderita dan ia minta tolong kepadaku untuk mengantarkannya pulang ke lembah Sungai Huai. Karena kasihan, aku lalu memenuhi permintaannya dan menggendongnya sepanjang jalan berpekan-pekan lamanya."

Li Eng tertawa. "Ayah ibunya yang melukai, anaknya yang menolong malah menggendongnya sepanjang jalan, benar-benar lucu. Masih untung kau tidak dibunuhnya, Paman Hong. Hebat sekali, iblis macam Toat-beng Yok-mo ditolong, malah digendong- gendong!"

Akan tetapi Hui Cu diam saja dan... diam-diam gadis ini merasa terharu dan kagum sekali akan pribadi pemuda yang menjadi paman gurunya ini. "Lalu bagaimana kau bisa bertemu dengan rajawali emas, Paman Hong?" tanyanya untuk menghentikan komentar Li Eng.

"Setelah kami tiba di dekat tempat tujuan, dalam sebuah hutan Toat-beng Yok-mo minta diturunkan dan ternyata ia sembuh kembali dan kuat."

"Hi-hik, memang ia sebetulnya tidak usah digendong. Tentu saja ia kuat karena memang

ia hanya mempergunakanmu sebagai perisai dan kau tentu akan dibunuhnya di tempat itu," kata pula Li Eng.

"Eh, bagaimana kau bisa tahu?" Kun Hong terheran-heran.

"Hanya orang tolol saja yang tidak tahu!" jawab Li Eng. "Namanya saja sudah Toat-beng Yok-mo tukang mencabut nyawa. Dia terluka dan harus pergi jauh dari Hoa-san. Paman adalah putera Ketua Hoa-san-pai, tentu saja dapat dijadikan perisai yang amat baik. Hemm, lagi-lagi harus kukatakan bahwa untung sekali Paman tidak sampai dibunuhnya."

"Eh, Adik Eng. Apakah kau berani mengatakan bahwa Susiok adalah seorang tolol?" Hui Cu menegur.

Li Eng pura-pura tidak mendengar jelas. "Berani mengatakan Susiok apa?"

"Bahwa Susiok adalah seorang tolol?" Hui Cu menjelaskan.

"Hi-hi-hik, kau mendengar sendiri, Paman Hong. Dua kali Cici Hui Cu memakimu sebagai orang tolol, bukan aku, lho!"

"Heee, kau memutar balikkan omongan!" Hui Cu memprotes akan tetapi Li Eng hanya tertawa-tawa saja. Kun Hong yang dipermainkan ini sama sekali tidak merasa dirinya dipermainkan, hanya tersenyum saja.

"Kalau pada saat itu tidak muncul rajawali emas, kiranya aku pun akan dibunuh oleh Toat-beng Yok-mo seperti yang dikatakan oleh Li Eng tadi," ia melanjutkan ceritanya, "Entah dari mana datangnya, seekor burung rajawali emas yang besar dan hebat sekali menyambar turun dan menerkam seekor kelinci. Melihat burung itu, Toat-beng Yok-mo lalu menyerangnya dan berusaha menangkapnya, akan tetapi berkali-kali Toat-beng Yok- mo roboh oleh burung itu, malah akhirnya kakek itu roboh pingsan oleh hantaman sayap burung."

Dua orang gadis remaja itu saling pandang, malah Li Eng menjulurkan lidahnya yang kecil merah itu keluar dari mulutnya tanda kagum dan terkejut. Kalau orang seperti Toat- beng Yok-mo dapat dikalahkan sedemikian mudahnya, alangkah lihainya burung itu. Apalagi pemiliknya.

"Kemudian rajawali emas itu menyambarku dan membawaku jauh sekali, ke puncak sebuah gunung yang tak kuketahui namanya. Di sana, dalam sebuah gua, aku hidup bersama burung itu sampai satu setengah tahun lamanya."

Li Eng memandang tajam dan tidak mau main-main lagi. "Paman Hong, apakah kau tidak bertemu dengan pemilik burung, dengan iblis wanita itu?"

"Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, Li Eng. Aku tidak melihat seorang pun manusia hidup di sana. Kemudian setelah aku mengenal burung itu baik-baik dan ia mengerti kata-kataku, setelah satu setengah tahun, aku menyuruh dia mengantarkan aku turun karena aku tidak bisa turun sendiri dari tempat yang curam dan berbahaya itu. Nah, setelah tiba di bawah gunung, burung itu terbang kembali ke puncak dan aku hendak kembali ke Hoa-san. Celakanya, aku sesat jaian dan sampai ke sini, karena sudah dekat kota raja, aku bermaksud melihat-lihat kota raja lebih dulu. Di sini aku bertemu dengan Sin-eng-cu Lui Bok yang mengakui aku sebagai murid keponakannya lalu aku terlibat dalam urusan Hwa-i Kai-pang sampai kalian berdua muncul." Kun Hong sengaja tidak mau bercerita tentang kitab-kitab yang ia baca, malah ada empat buah kitab yang ia bawa dalam saku bajunya, yaitu tiga buah kitab milik Toat-beng Yok-mo dan sebuah kitab pelajaran hoat-sut dari Sin-eng-cu Lui Bok.

Demikianlah, tiga orang muda itu melakukan perjalanan dengan penuh kegembiraan,

terutama sekali yang membuat mereka selalu bergembira adalah sifat Li Eng yang amat jenaka dan lincah. Sementara itu, dengan amat tekunnya Kun Hong mempergunakan setiap kesempatan waktu untuk membalik-balik lembaran kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok dan makin banyak ia membaca, makin tertariklah hatinya. Secara diam-diam mulailah dia berlatih diri mempelajari ilmu yang amat aneh dan ajaib, yang erat hubungannya dengan ilmu batin karena ilmu ini hanya dapat dilakukan dengan pengerahan tenaga murni dan hawa sakti dalam tubuh. Dengan petunjuk-petunjuk yang berada dalam kitab ini, makin teranglah bagi Kun Hong tentang rahasia samadhi dan mengatur napas, dan memperkuat daya sakti dalam tubuhnya.

Semua ini ia latih di luar sepengetahuan dua orang gadis remaja itu yang selalu yakin bahwa paman mereka adalah seorang pemuda yang tampan, berwatak halus, berbudi, dan buta ilmu silat.

Semenjak pemberontak-pernberontak dibasmi belasan tahun yang lalu keadaan, di kota raja aman dan tenteram. Namun hal ini hanya berjalan beberapa tahun saja karena kini timbullah persaingan baru yang lebih ganas. Persaingan antara putera-putera Kaisar termasuk keluarganya yang tentu saja merindukan singgasana untuk menggantikan Kaisar yang sudah tua. Mulailah para pangeran itu saling bermusuhan dalam usaha mereka menarik hati Kaisar agar mereka dijadikan calon pengganti Kaisar.

Demikian hebat persaingan ini yang kadang-kadang tidak dilakukan secara diam-diam melainkan secara terbuka, sehingga masing-masing mempunyai jagoan-jagoan sendiri. Persaingan mencapai puncaknya ketika putera mahkota, yaitu putera sulung dari Kaisar, telah tewas menjadi korban persaingan itu. Tak seorang pun tahu siapa pembunuhnya dan dengan apa dibunuhnya. Namun ahli silat tinggi maklum bahwa putera mahkota ini dibunuh oleh seorang ahli silat yang memiliki kepandaian luar biasa.

Seperti juga halnya dengan kaisar-kaisar lain atau hampir semua pemimpin dan pembesar yang menduduki kemuliaan dan memegang kekuasaan, Kaisar Tai-itsu juga mempunyai banyak isteri sehingga anaknya pun banyak pula. Hal ini membingungkan hatinya siapakah yang harus ia pilih menjadi putera mahkota setelah putera sulungnya meninggal dunia. Ia maklum akan persaingan dan permusuhan di antara putera-puteranya, selir- selirnya dan keluarganya. Maka karena Kaisar pun dapat menduga bahwa putera sulungnya itu terbunuh orang, ia menjatuhkan pilihannya kepada anak dari putera sulungnya itu yang bernama Hui Ti atau Kian Bun Ti menjadi pengganti putera mahkota. Hui Ti atau Kian Bun Ti ini adalah cucu Kaisar.

Pada waktu itu Kian Bun Ti ini telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan cerdik bukan main. Ia maklum akan bahayanya kedudukannya, maklum bahwa banyak paman- paman pangeran lain merasa iri hati akan kedudukannya. Maka dengan amat pandainya Kian Bun Ti mendekati Kaisar, berhasil menguasai hati dan kasih sayang kakeknya ini. Adalah atas bujukan pemuda cerdik inilah maka seorang pamannya yang dianggap paling berbahaya, yaitu Pangeran Yung Lo yang jujur dan keras, oleh Kaisar dihalau dari kota raja, diberi tugas pertahanan di utara, di kota raja lama, Peking. Memang pada waktu itu tiada hentinya bangsa Morngol, Mancu, dan lain-lain suku bangsa dari utara selalu

berusaha menyerang Kerajaan Beng yang baru ini. Pangeran Yung Lo tentu saja mentaati perintah dan berangkatlah dia ke utara menjalankan tugas berat ini.

Biarpun telah berhasil menghalau saingannya yang paling berbahaya, namun Kian Bun Ti masih belum lega karena ia maklum bahwa yang melihat kepadanya dengan mata penuh dengki masih banyak sekali. Maka ia pun lalu mengumpulkan orang-orang pandai untuk menjaga dirinya, bahkan dia sendiri mempelajari ilmu silat. Di samping kesukaannya mendekati ahli-ahli silat dan jagoan-jagoan, Pangeran yang masih muda ini pun terkenal sebagai seorang yang tak boleh melihat wanita cantik. Entah berapa banyaknya wanita- wanita cantik dan muda, jatuh hati dan menjadi korbannya, tertarik oleh ketampanannya atau kedudukannya maupun harta bendanya. Memang wanita manakah yang takkan tertarik oleh seorang pemuda yang tampan, cerdik, malah seorang pangeran calon kaisar pula.

Di dalam usahanya untuk menguasai keadaan dunia kang-ouw, Pangeran ini tidak segan- segan untuk mempergunakan perkumpulan-perkumpulan seperti Hek-kai-pang (Pengemis Hitam) dari mana ia bisa mendapatkan sumber berita tentang gerakan orang-orang kang- ouw sehingga ia dapat tahu siapa yang menjadi jagoan-jagoan baru dari para saingannya.

Pangeran Kian Bun Ti menjadi tertarik sekali ketika ia menerima laporan dari beberapa orang anggauta perkumpulan pengemis yang menjadi kaki tangan dan penyelidiknya tentang dua orang gadis cantik jelita anak murid Hoa-san-pai yang menggegerkan pertemuan dari Hwa-i Kai-pang. Pangeran ini tidak hanya tertarik oleh kecantikan dua orang dara remaja itu, melainkan terutama sekali tertarik oleh cerita tentang kehebatan ilmu silat mereka. Diam-diam ia mempunyai maksud hati yang baik sekali, maksud hati yang menjadi perpaduan dari seleranya terhadap dara ayu dan kebutuhannya akan pengawal yang lihai. Cepat ia memanggil beberapa orang kepercayaannya dan membagi- bagi perintah.

Sementara itu, Kun Hong dan dua orang dara remaja telah memasuki kota raja dengan gembira. Tiga orang muda yang semenjak kecilnya bertempat tinggal di pegunungan yang sunyi ini sekarang berjalan perlahan di atas jalan raya dengan mata terbelalak dan mulut tiada hentinya mengeluarkan seruan-seruan kagum dan memuji ketika mereka menyaksikan gedung-gedung terukir indah dl sepanjang jalan.

Apalagi Li Eng yang amat lincah itu, ia amat bergembira dan berlari ke kanan kiri mendekati setiap penglihatan yang baru dan asing baginya. Setiap ada bangunan indah dan besar ia berdiri terlongong di depannya, dan benda-benda yang diperdagangkan di sepanjang jalan dalam toko-toko pun tak lepas dari perhatiannya. Hui Cu yang lebih pendiam dan alim hanya merupakan, pengikut saja dan biarpun gadis ini juga amat kagum dan terheran-heran, namun ia dapat menekan perasaannya dan hanya tampak bibirnya yang kecil mungil mengulum senyum dan sepasang matanya bersinar-sinar menambah indah wajah yang berseri itu.

Pada waktu itu, orang-orang wanita berada di atas jalan raya bukanlah hal aneh. Banyak wanita berjalan di atas jalan raya, akan tetapi semua itu, adalah wanita-wanita pekerja

kasar dan pedagang kecil, pendeknya wanita yang agak tua atau yang agak buruk rupa. Puteri-puteri bangsawan yang cantik-cantik hanya menampakkan diri di atas jalan raya dalam kendaraan tertutup. Memang ada kalanya wanita-wanita kang-ouw, anak-anak penjual obat keliling memperlihatkan ilmu silat pasaran, tampak berjalan-jalan namun hal ini jarang terjadi. Oleh karena itu, ketika dua orang dara remaja ini memasuki kota raja, di sepanjang jalan mereka menjadi tontonan orang, terutama laki-laki muda dan tua yang tidak hanya mengagumi kecantikan dua orang gadis itu, akan tetapi terutama sekali mengagumi sikap mereka berdua yang begitu bebas. Dua orang gadis ini mudah saja menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah gadis-gadis kang-ouw yang berkepandaian silat, terbukti dari pedang yang tergantung di pinggang mereka. Mudah juga diduga bahwa mereka berdua tentulah memiliki ilmu silat yang lihai, kalau tidak demikian, bagaimana dua orang gadis remaja yang begitu cantik jelita bisa melakukan perjalanan dengan aman dan selamat sampai ke kota raja.

Kecantikan mereka yang luar biasa itu tentu akan menjadi sebab kemalangan mereka, tentu mereka telah ditahan dan diambil oleh orang-orang jahat. Karena dugaan inilah maka biarpun banyak mata laki-laki melotot dan mulut tersenyum-senyum, sejauh itu belum ada yang berani sembrono mengeluarkan kata-kata teguran atau godaan.

Yang mengherankan banyak orang adalah Kun Hong, Pemuda ini pakaiannya seperti seorang siucai, seorang terpelajar, akan tetapi pakaian itu sudah lapuk sehingga menimbulkan dugaan bahwa dia tentulah seorang terpelajar yang tidak lulus ujian dan jatuh miskin seperti banyak terdapat pada masa itu. Yang mengherankan orang, mengapa seorang siucai miskin seperti ini berjalan bersama dua orang dara remaja kang-ouw? Biasanya gadis-gadis kang-ouw yang cantik seperti ini tentu melakukan perjalanan, dengan laki-laki yang hebat pula yang luar biasa, aneh, atau yang gagah perkasa. Kenapa sekarang pengiringnya hanya seorang siucai jembel yang hanya tersenyum-senyum, berjalan perlahan seperti kehabisan tenaga? Lebih-lebih herannya orang-orang yang dekat dengan mereka ketika mendengar Li Eng dengan lincahnya menyebut siucai muda itu "paman". Heran sekali, usianya sepantar mengapa disebut paman?

Kalau dua orang dara itu mengagumi keindahan, ukir-ukiran, bangunan, benda-benda aneh yang diperdagangkan orang, apalagi melihat sutera-sutera beraneka warna yang halus dan mahal, adalah Kun Hong kembang-kempis hidungnya dan berkeruyukan perutnya karena mencium bau masakan yang gurih dan sedap keluar dari banyak rumah makan di sepanjang jalan. Bau sedap dari bau masakan daging, bawang dan bumbu- bumbu menusuk hidungnya, membuat semua itu tidak seindah mangkok berisi masakan yang mengebul panas-panas di atas meja! Akan tetapi pemuda ini menekan seleranya, maklum bahwa tak mungkin ia dapat membeli masakan-masakan yang mahal itu.

Kalau Li Eng tidak ada perhatian lain kecuali terhadap barang-barang indah dan bangunan-bangunan megah yang tak pernah dilihatnya itu, adalah Hui Cu yang pendiam dan selalu tanpa diketahui orang lain memperhatikan pamannya, segera dapat menduga bahwa pamannya itu merasa lapar dan ingin makan. Ia lalu menyentuh tangan Li Eng dan berbisik di dekat telinganya. Li Eng tersenyum, menoleh kepada Kun Hong yang tidak tahu apa yang dibicarakan antara dua orang gadis itu.

"Paman Hong, apakah kau lapar dan ingin makan?" tiba-tiba Li Eng yang tak pernah menaruh hati sungkan-sungkan itu bertanya.

" Kun Hong gagap karena pertanyaan yang tiba-tiba itu memang cocok sekali dengan pikirannya. "Apa .... ? Betul... eh, tidak apa ....

Li Eng segera menyambar tangannya dan digandeng menuju ke sebuah rumah makan. "Kalau lapar kenapa diam saja? Di sini banyak rumah makan, boleh kita pilih masakan yang enak!"

"Hush, jangan main-main." Kun Hong menahan. "Aku tidak punya uang, mana berani masuk rumah makan?"

Untuk apa uang? Kita tak usah beli, bisa minta," kata lagi Li Eng.

"Ihh, memalukan!" Kun Hong mencela.

Li Eng tertawa ditahan. "Hi-hik," kau lihat, Enci Hui Cu! Tidakkah aneh bukan main paman kita ini? Paman Hong, kau ini seorang kai-ong (raja pengemis) kok malu minta- minta?"

Digoda begini oleh Li Eng, gemas juga hati Kun Hong. "Sudah jangan terlalu menggoda orang kau, bocah nakal. Kujewer telingamu nanti!"

Li Eng hanya tertawa manja dan Hui Cu berkata, "Susiok, harap jangan kuatir, kami membawa bekal uang dan andaikata kurang, aku masih mempunyai gelang emas, dapat kita jual." Berbeda dengan Li Eng, suara nona ini sungguh-sungguh dan sama sekali tidak bermain-main.

"Nah, punya keponakan yang begini mencintai seperti Enci Cu, kau takut apa, Susiok?" Lagi-lagi Li Eng menggoda dan kali ini ia benar-benar menerima cubitan, bukan dari Kun Hong, melainkan dari Hui Cu sehingga ia menjerit mengaduh-aduh. Wajah Kun Hong sama merahnya dengan wajah Hui Cu. Ia merasa tidak enak sekali dengan godaan Li Eng itu, maka ia segera berkata dengan lagak seorang tua, "Sudahlah, di tengah jalan jangan bergurau-gurau. Tidak patut dilihat orang!" Kemudian ditambahnya, "Kalau memang kalian membawa uang, mari kita makan di rumah makan itu."

Tiga orang muda ini memasuki rumah makan yang besar dan mewah, juga kelihatan menarik sekali karena pintu, jendela dan meja bangkunya dicat merah dan kuning. Melihat tiga orang muda ini memasuki rumah makan, pelayan kepala menyambutnya sendiri, terbungkuk-bungkuk menyambut dengan seluruh muka bulat itu tersenyum lebar. "Silakan... silakan Sam-wi (Tuan Bertiga) masuk. Selamat datang dan silakan Sam-wi takkan kecewa memasuki rumah makan kami yang tersohor di seluruh negeri!"

Kalau Li Eng dan Hui Cu menerima, sambutan yang amat menghormati ini dengan

anggukan kepala angkuh, adalah Kun Hong yang menjadi sibuk membalas penghormatan orang. Ia melihat pelayan kepala ini orangnya gemuk, pakaiannya bersih dan rapi sekali, maka ketika ia melirik ke arah pakaiannya sendiri, ia menjadi malu dan sungkan. Pakaiannya lapuk dan kotor seperti pakaian jembel, bagaimana ia merasa enak hati menerima sambutan penghormatan sedemikian dari pengurus rumah makan ini.

Setelah ketiganya memilih sebuah meja di sudut dan mengambil tempat duduk, pelayan kepala ini seperti seekor burung kakatua nerocos terus,

"Sam-wi hendak menikmati apa? Arak wangi dari selatan, arak buah dari Tung-to, atau arak ketan dari pantai? Kami ada masakan-masakan istimewa, khusus untuk Sam-wi. Daging naga di tim, jantung hati burung sorga goreng setengah matang, kepala burung Hong dipanggang bumbu merah, kaki gajah masak sayur, buntut singa masak jamur, atau masih banyak macamnya.

Tiga orang itu saling pandang, Li Eng dan Hui Cu hanya tersenyum-senyum untuk menutupi perasaan malu karena semua nama masakan itu merupakan nama asing dan baru bagi mereka. Akan tetapi Kun Hong tanpa menyembunyikan keheranannya, mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Tidak main-mainkah pelayan ini? Bagaimana orang bisa memasak daging naga, jantung burung sorga, burung Hong, gajah, singa dan lain-lain itu? Dia sampai menjadi bingung dan tak dapat memilih. Bagaimana ia harus memilih antara masakan yang memang selama hidupnya baru kali ini ia dengar namanya itu? "Kalau Sam-wi sukar memilih, biarlah kami sediakan semua yang ada agar Sam-wi dapat makan seenaknya." Pelayan kepala itu lalu mengundurkan diri dan tak lama kemudian berdatanganlah pelayan-pelayan, ada yang membawa arak, ada yang mengantarkan mangkok dan cawan, ada yang mulai mengeluarkan masakan- masakan panas. Para tamu lain yang berada di situ memandang heran. Bagi orang kota ini, tidaklah aneh kalau ada orang memborong masakan-masakan mahal, akan tetapi kecantikan serta kebebasan dua orang dara remaja itu ditambah keadaan Kun Hong yang seperti jembel, benar-benar mendatangkan keheranan.

"Aku rela menghabiskan semua uang bekalku untuk dapat makan daging naga, burung Hong dan lain-lain binatang aneh itu," bisik Li Eng.

Hui Cu mengangguk. "Selama hidupku baru kali ini aku menjumpai masakan yang aneh. Untuk merasai daging naga aku pun rela mengorbankan gelangku."

Hanya Kun Hong yang bengong terlongong, setengah tidak percaya akan masakan yang aneh-aneh itu. Tak lama kemudian masakan yang berbau lezat dan sedap gurih telah tersedia di atas meja. Dengan selera besar tiga orang muda yang memang sudah lapar sekali ini mulai makan. Li Eng menggunakan Sumpit menjumputi daging dari setiap masakan untuk dicoba rasanya.

Ia terkikik lalu berkata, "Kurang ajar pelayan itu. Yang begini disebut daging ditim? Aku pernah makan daging ular kembang. Dan ini? Burung sorga apa? Ini kan hati burung dara

dan kepala burung Hong? Setan, ini hanya kepala ayam biasa. Kaki gajah? hi-hik, kaki babi dan buntut singa ini tentulah buntut kambing!"

Hui Cu juga tertawa kecil. Tak salah kata-katamu, Adik Eng. Akan tetapi harus diakui bahwa masakan ini bumbunya lengkap dan enak sekali."

Kun Hong juga tidak sungkan-sungkan menggasak makanan-makanan lezat itu. Mendengar percakapan dua orang dara itu ia memberi komentar, "Memang penggantian nama-nama itu hanya siasat untuk menarik perhatian tamu, apalagi yang datang dari luar kota raja."

"Tapi dia kurang ajar berani menipu kami," kata Li Eng. "Awas, orang itu patut dipukul kepalanya. Kita tak usah bayar!"

"Hush, omongan apa yang kau keluarkan itu, Li Eng?" Kun Hong membentak. "Jangan

kau mencari gara-gara. Apa tidak malu sudah makan membayar pukulan? Tidak boleh kau begitu!"

Li Eng bersungut-sungut. "Biarlah gelangku ini untuk bayar," kata Hui Cu.

"Tentu aku akan bayar, tapi juga akan kumaki karena dia telah menipu kita," kata pula Li Eng yang segera memberi isarat kepada pelayan kepala yang memandang dari jauh.

Dengan terbungkuk-bungkuk pelayan kepala ini datang menghampiri. Mukanya berseri dan mulutnya segera berkata, "Tidakkah Sam-wi puas dengan masakan kami?"

"He, muka babi! Kauanggap aku ini orang apa? Berani kau mempermainkan kami dan membohong. Daging ular kau katakan daging naga, burung dara kau katakan burung sorga dan ayam biasa kau sebut burung Hong. Mana ada kaki gajah? Kaki babi. Kau benar-benar muka babi berani mempermainkan kami, apakah kau sudah bosan hidup?"

Muka yang tadinya berseri-seri itu tiba-tiba berubah pucat. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang muda itu dan suaranya yang gemetar sukar sekali. ditangkap maksudnya. Namun Li Eng dapat mendengar bahwa orang itu minta-minta ampun dan mohon supaya jangan dilaporkan kepada Thaicu (Pangeran). Kun Hong dan dua orang gadis itu terheran-heran. Jelas bahwa pelayan kepala ini bukan takut kepada mereka, melainkan takut kalau-kalau mereka melaporkannya kepada Thaicu.

"Mana siauwte berani menghina tamu-tamu dari Thaicu? Memang nama masakan itu begitu .... " demikian antara lain kata-kata Si Pelayan Gemuk ini.

"Hemm, kau menyebut-nyebut Thaicu segala? Siapa itu?" akhirnya Kun Hong bertanya karena ia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalah pahaman.

Pada saat itu, dari luar masuklah dua orang yang berpakaian indah dan penutup kepalanya menandakan bahwa mereka adalah orang-orang berpangkat. Semua pelayan memberi

hormat kepada dua orang yang datang ini dan ketika mereka berdua berhadapan dengan Kun Hong, Li Eng, dan Hui Cu yang juga memandang dengan penuh perhatian, dua orang ini membungkuk-bungkuk dengan sikap menghormat.

"Sam-wi yang terhormat dipersilakan datang ke Istana Kembang di mana Putera Mahkota sudah menanti. Kendaraan tamu siap menanti di luar." Karuan saja Kun Hong dan dua orang dara itu terlongong heran dan tidak mengerti. "Apakah yang kalian maksudkan?" tanya Kun Hong. "Kami tidak mempunyai hubungan dan janji-janji dengan siapapun juga, tidak mengenal putera mahkota .... "

Dua orang tua itu membungkuk lagi. Thaicu amat tertarik kepada Sam-wi dan mulai saat beliau mendengar tentang Sam-wi, beliau menganggap Sam-wi sebagai tamu."

Li Eng segera berkata kepada Kun Hong "Paman Hong, lebih baik kita lekas pergi dari tempat ini, di sini banyak yang aneh-aneh dan membingungkan." Ia lalu mengeluarkan uang bekalnya dan bertanya kepada pelayan kepala, "Lekas hitung, berapa kami harus bayar makanan palsu ini."

Pelayan ini buru-buru menggerakkan tangannya menolak. "Ah, bagaimana Sio-cia (Nona) hendak membayar? Semua sudah terbayar lunas, malah berikut persennya, semua sudah beres oleh Thaicu."

Tiga orang muda itu kembali melengak. Lagi-lagi orang menyebut Thaicu. Kenapa putera mahkota begitu memperhatikan mereka. Sejak kapankah mereka kenal dengan putera mahkota.

"Li Eng, putera mahkota telah berlaku baik kepada kita, tidak seharusnya kita menolak kebaikan orang. Dia menghendaki kita datang ke Istana Kembang, bukankah kau tadi menyatakan keinginanmu untuk dapat kesempatan melihat keadaan istana dari dalam. Nah, kesempatan ini sekarang tiba, kenapa kita tidak menerimanya?"

"Pendapat yang bijaksana sekali!" seorang di antara dua pembesar itu berkata girang. "Marilah, Kongcu dan Ji-wi Siocia (Nona Berdua), mari menggunakan kendaraan yang sudah menanti di luar rumah makan."

Kun Hong mengajak dua orang keponakannya keluar dan benar saja, sebuah kereta yang amat indah dengan dua ekor kuda telah menanti di depan. Seorang di antara dua pembesar itu membukakan pintunya dan mempersilakan tiga orang "tamu agung" itu memasuki kereta. Tanpa ragu-ragu lagi Kun Hong naik dan diikuti oleh dua orang gadis yang masih ragu-ragu dan hanya terpaksa menrurut karena didahului oleh paman mereka. Andaikata tidak ada Kun Hong di situ, sudah pasti Li Eng dan Hui Cu tidak akan sudi menerima undangan orang.

Setelah mereka semua duduk di dalam kereta, dua orang "pembesar" itu segera mengambil tempat kusir dan orang ke dua di belakang. Kiranya mereka itu adalah kusir kereta dan keneknya! Merah muka Kun Hong kalau teringat betapa tadi di dalam rumah

makan ia mengira bahwa mereka adalah dua orang "pembesar" dari istana. Kiranya hanya kusir dan keneknya! Malu ia kalau melirik kearah pakaiannya sendiri yang patut membuat ia disebut orang jembel.

Di dalam kereta yang serba indah dan bersih itu, tiga orang muda ini duduk saling berpandangan dan sampai lama tidak membuka mulut. Betapapun tenangnya, hati Kun Hong berdebar juga kalau mengingat bahwa dia akan berhadapan dengan putera mahkota! Apalagi dua orang gadis itu yang tampak gelisah sekali.

"Paman Hong," akhirnya Li Eng berkata dengan suara berbisik, "Mengapa kau menerima undangan ini? Jangan-jangan orang bermaksud buruk dan jahat terhadap kita .... "

"Jangan curiga yang bukan-bukan, Li Eng. Tempat ini adalah kota raja dan sudah tentu

saja Kaisar sekeluarganya adalah tuan rumah. Kalau putera mahkota mengundang kita, berarti kita sebagai tamu diundang tuan rumah dan kehormatan besar ini sekali-kali tidak baik kalau kita tolak. Pula, apa buruknya kalau kita mendapat kesempatan bertemu dan bercakap-cakap dengan putera mahkota, dan berkesempatan pula melihat-lihat keadaan kota dalam Istana Kembang? Ah, kelak tentu kalian akan bercerita banyak di rumah tentang pengalaman ini."

Li Eng dan Hui Cu tidak berkata-kata lagi, terbenam dalam lamunan masing-masing. Memang menegangkan hati sekali perjalanan ini bagi mereka, akan tetapi juga mereka berdua merasa bahwa perjalanan ini amat berbahaya dan mencurigakan. Persamaan pendapat ini hanya mereka utarakan dengan pertukaran pandang mata. Hanya Kun Hong yang duduk enak-enak, nampaknya ayem dan tenang saja, malah sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar gembira.

Istana Kembang berada di lingkungan istana yang paling pinggir, termasuk pinggir kota yang sunyi. Di sekitar istana itu penuh hutan-hutan yang ditanami banyak pohon-pohon yang indah, pohon-pohon buah dan pohon-pohon kembang. Di sekeliling istana merupakan taman bunga yang besar dan luas, di mana ditanam segala macam bunga. Di sana-sini terdapat empang ikan yang selain menjadi tempat peliharaan ikan-ikan emas yang indah-indah, juga menjadi tempat tumbuhnya bunga teratai yang berwarna-warni.

Kereta berhenti di depan gedung yang tidak begitu besar, akan tetapi bentuknya mungil dan seluruh bagian bangunan ini penuh dengan hasil-hasil seni ukir dan seni lukis. Begitu turun dari kereta, tiga orang muda asal pegunungan ini berdiri ternganga. Istana dan keindahan sekitarnya bagi mereka begitu aneh dan begitu indah yang biasanya hanya dapat mereka bayangkan dalam alam mimpi saja.

Beberapa orang pelayan yang pakaiannya juga seperti pembesar-pembesar datang menyambut, "Sudah sejak tadi putera mahkota menanti kedatangan Sam-wi yang terhormat. Sam-wi (Tuan Bertiga) dipersilakan langsung menuju ke ruangan istirahat di mana Thaicu sudah menanti," begitulah kata mereka dan seperti dalam mimpi tiga orang muda itu mengikuti para pelayan menuju ke pintu depan istana. Begitu memasuki pintu ini, tiga orang muda itu tiada habisnya mengagumi segala keindahan yang terdapat di

situ. Lukisan-lukisan kuno, ukir-ukiran yang menghias ruangan dalam, perabot-perabot yang terbuat dari kayu harum, sutera-sutera yang berkilauan, batu-batu kemala dalam bentuk hiasan-hiasan, permadani halus yang menghias dinding dan lantai. Bukan main! Li Eng yang biasanya bebas dan tak mau tunduk itu kini merasa dirinya kecil sehingga tanpa ia sadari lagi berpegang erat-erat pada lengan kanan Kun Hong. Malah Hui Cu yang biasanya agak pemalu dan masih sungkan-sungkan bersikap terlalu intim terhadap pamannya, kini pun tanpa ia sadari lagi menggandeng tangan kiri Kun Hong. Sungguh sikap tiga orang muda ini seperti tiga ekor kelinci memasuki gua macan! Hanya Kun Hong yang biarpun tampak kagum sekali, masih dapat bersikap tenang, sedikit pun tidak ada perasaan takut seperti yang terdapat dalam pikiran dua orang dara remaja itu.

Di setiap lorong atau ruangan baru berganti pelayan yang bertugas mengantar mereka, Istana itu dari luar tampaknya kecil mungil, akan tetapi setelah dimasuki ternyata luas dan ruangan istirahat yang dimaksudkan itu ternyata jauh juga dari pintu depan. Kiranya berada di sebelah belakang, merupakan ruangan terbuka dengan atap berbentuk payung besar, tanpa dinding sehingga kelihatannya seperti dikelilingi kembang-kembang. Di empernya terdapat empang ikan yang lebar dan di tengah-tengahnya terdapat air mancur yang keluar dari mulut seekor naga batu. Benar-benar ruangan istirahat ini indah dan berhawa sejuk, tepat menjadi tempat beristirahat menghilangkan lelah.

Seorang laki-laki muda duduk menghadapi empang, kelihatannya melamun. Usianya sebaya Kun Hong, tampan dan pakaiannya indah sekali, terbuat dari sutera berlukiskan burung Hong. Topinya juga aneh dan bersulamkan gambar naga, akan tetapi agaknya pemuda itu sedang kurang gembira sehingga rambutnya yang hitam keluar dari bawah topi didiamkannya saja.

"Yang Mulia, tiga orang tamu yang dinanti-nantikan sudah datang menghadap!" seorang pelayan melapor sambil menjatuhkan diri berlutut. Pelayan lian sebelum berlutut berbisik kepada Kun Hong bertiga, "Harap Sam-wi berlutut memberi hormat."

Akan tetapi Kun Hong, apalagi Li, Eng juga Hui Cu, tidak mengerti akan bisikan ini, dan hanya memberi hormat seperti biasa mereka memberi hormat kepada orang lain yang sebaya usianya, yaitu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke dada. Orang muda itu cepat bangkit dari duduknya dan gerakannya cepat sekali sehingga Hui Cu dan Li Eng segera dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan juga. Setelah berhadapan, ternyata bahwa orang muda itu lebih berwajah gagah daripada tampan. Terutama sepasang matanya membuat orang tak berani menentang pandang matanya lama-lama, penuh wibawa dan gerak-geriknya agung dan hal ini mungkin ia biasakan untuk disesuaikan dengan kedudukannya, putera mahkota! Inilah dia Kian Bun Ti, putera mahkota yang sebetulnya adalah cucu dari Kaisar, putera dari mendiang Putera Mahkota atau putera sulung dari Kaisar.

Berdebar keras hati Li Eng dan Hui Cu ketika melihat betapa sepasang mata yang agak lebar itu memandang kepada mereka penuh perhatian, lalu terpancar sinar kagum dari mata itu sebelum mulutnya tersenyum dan suaranya terdengar ramah,

"Ah, Tai-hiap yang menjadi Sin-kai Pangcu (Ketua Perkumpulan pengemis baru) dan kedua Li-hiap (Pendekar Wanita)! Girang sekali hatiku Sam-wi suka datang bercakap- cakap!" Ia melangkah maju dan pandang matanya bergantian menelan wajah Li Eng dan Hui Cu. Kemudian ia menoleh kepada pelayan dan berkata dengan suara yang jauh berbeda, yaitu suara memerintah yang berpengaruh dan angker.

"Sediakan arak Sian-ciu (Arak Dewa) dan daging kering, kemudian enyahlah dari sini, beri tahu para cianpwe, supaya menunggu dan tidak boleh menghadap sebelum dipanggil!"

Pelayan-pelayan itu sambil merangkak mengundurkan diri dan tak lama kemudian mereka datang membawa hidangan yang diminta, lalu mengundurkan diri lagi. Pangeran Kian Bun Ti dengan ramah lalu mempersilakan tiga orang muda itu mengambil tempat duduk di dekat empang. Sikapnya yang ramah, budi bahasanya yang manis mengusir rasa sungkan dari tiga orang itu. Malah Li Eng dengan cepat menguasai kembali kelincahan dan kebebasannya.

Enci Cu, kau lihat yang di sudut itu... yang di sana itu... hi-hi, seperti ada jenggotnya!" Ia menarik tangan Hui Cu dan menuding-nuding dengan telunjuknya yang kecil runcing. "Aduh, indahnya ikan-ikan ini ....

Pangeran Kian Bun Ti memandang kagum kepada dua orang gadis itu, terutama kepada

Li Eng. Ia mendengar bahwa dua orang gadis itu memiliki kepandaian ilmu silat yang hebat. Tadi begitu bertemu, ia sudah heran bukan main karena sama sekali di luar dugaannya bahwa dua orang wanita kang-ouw yang menjadi "Jagoan" ternyata adalah dua orang dara remaja yang begini manis cantik jelita dengan bentuk tubuh yang tidak kalah oleh puteri-puteri istana. Apalagi sekarang, melihat mereka tertawa-tawa senang melihat ikan-ikan dengan sikap bebas dan sewajarnya, jauh bedanya dengan sikap puteri- puteri istana atau selir-selirnya, benar-benar menggugah rasa sayang di hati Pangeran ini. Akan tetapi diam-diam ia meragukan dan sangsi apakah benar-benar dua orang dara remaja jelita ini memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi? Rasa-rasanya tidak mungkin kalau melihat kehalusan sifat mereka dan usia mereka yang masih amat muda,

Pangeran mahkota ini lalu mengalihkan perhatiannya kepada Kun Hong. Seorang pemuda sederhana yang halus budi dan bersikap sopan, begitu penilaiannya. Akan tetapi ketika Pangeran ini mengajak tamunya bicara tentang ketatanegaraan, ia kecewa karena ternyata bahwa pemuda aneh yang telah dipilih sebagai ketua baru dari perkumpulan Hwa-i Kai-pang yang baru itu, ternyata sama sekali buta politik kenegaraan dan kata- katanya penuh mengandung inti dari filsafat dan kebatinan sebagai penuntun manusia ke arah kebajikan. Hemm, orang muda yang berbakat menjadi pendeta, pikirnya kecewa. Orang seperti ini sama sekali tiada gunanya bagiku, demikian Pangeran Mahkota itu berkata kepada dirinya sendiri. Perhatiannya lalu diarahkan kembali kepada Li Eng dan Hui Cu yang masih mengagumi keindahan kembang-kembang, ikan-ikan dan arca serta ukiran indah yang menghias. taman,

"Pangcu, apakah kedua orang Li-hiap itu benar-benar keponakanmu? Kau masih begini muda, tidak akan jauh selisihnya usiamu dengan mereka, bagaimana bisa menjadi paman mereka?" akhirnya Pangeran itu bertanya kepada Kun Hong. Pemuda ini sebetulnya merasa kurang enak mendapat sebutan pangcu itu, akan tetapi karena memang kenyataannya ia sudah menerima kedudukan ketua Hwa-i Kai-pang, ia tidak dapat membantah.

Mendengar pertanyaan ini, Kun Hong tersenyum.

"Bukan keponakan dalam hubungan keluarga, Pangeran, melainkan dalam hubungan perguruan. Ayah saya adalah supek (uwa guru) dari ayah ibu mereka, oleh karena itulah maka saya terhitung sebagai paman guru mereka." Pangeran Mahkota itu mengangguk- angguk. "Kalau begitu, Pangcu sebagai putera Ketua Hoa-san-pai dan sebagai paman dari kedua orang li-hiap ini, tentu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali."

Li Eng dan Hui Cu yang kini sudah duduk kembali di dekat Kun Hong, menahan senyum mereka mendengar ucapan ini. Kun Hong sendiri menjadi merah mukanya ketika ia menjawab,

"Ah, saya seorang yang bodoh mana tahu akan ilmu silat? Ayah dan Ibu pun melarang

saya belajar ilmu silat semenjak kecil. Berbeda dengan kedua orang keponakanku ini, sedikit-sedikit mereka mengerti ilmu silat, Pangeran."

Pangeran Kian Bun Ti memandang kepada dua orang dara itu. Li Eng menentang pandang mata itu dengan sinar mata terbuka dan berani, sebaliknya, Hui Cu hanya membalas tenang-tenang kemudian menundukkan pandang matanya.

"Alangkah senangnya memiliki kepandaian siiat tinggi seperti Ji-wi Siocia ini dan alangkah akan merasa aman di hati kalau mempunyai teman seperti Ji-wi Li-hiap," demikian kata Pangeran itu penuh kekaguman dan sepasang matanya memancarkan cahaya ganjil.

Namun Li Eng masih terlalu muda dan tidak ada pengalaman sehingga pandang mata seperti ini dianggapnya bukan apa-apa. Hui Cu lebih tajam dan perasa sehingga gadis ini berdebar-debar dan tidak berani lagi menentang pandang mata Pangeran muda itu.

"Ah, Pangeran terlalu memuji!" Li Eng malah berani membantah. "Sedikit ilmu silat seperti yang kami miliki ini apakah artinya dibandingkan dengan keadaan Pangeran? Tinggal di tempat begini indah, terjaga oleh penjaga yang kuat, tidak ada setan pun berani mengganggu!"

"Ha-ha-ha, Nona pintar sekali bicara!" Pangeran itu gelak terbahak. "Kau sama sekali tidak tahu betapa kedudukan seorang pangeran tidaklah seenak orang sangka. Bahaya selalu mengancam dari kanan kiri, nyawa selalu dalam bahaya. Karena itulah tadi aku mengatakan betapa akan senang dan amannya kalau dapat selalu berteman dengan Nona

berdua yang pandai ilmu silat dan yang tentu akan dapat menghalau setiap orang jahat yang datang hendak mengambil nyawaku!"

Kun Hong mengerutkan keningnya, di dalam hatinya ia tidak senang mendengar ucapan yang mengandung maksud hati seorang pria terhadap wanita ini. Namun ia tidak mau sembarangan mengeluarkan ketidak senangannya, apalagi karena Li Eng dan Hui Cu agaknya sama sekali tidak dapat menangkap maksud sebenarnya yang bersembunyi di balik pujian-pujian Pangeran itu.

Pada saat itu terdengar bentakan keras, "Hendak kami lihat siapa akan dapat membelamu, Pangeran! Kematianmu sudah di depan mata, siaplah!" Dan tahu-tahu dua orang laki-laki setengah tua dengan gerakan ringan dan cepat sekali telah melayang ke tempat itu, masing-masing tangan mereka memegang sebatang pedang dan langsung mereka itu menerjang Pangeran Kian Bun Ti.

"Celaka .... !" Pangeran itu menjadi pucat dan ketakutan.

"Bangsat hina jangan menjual lagak!" tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Li Eng sudah melompat ke depan, diikuti oleh Hui Cu yang juga sudah mencabut pedangnya. Terdengar suara nyaring ketika dua pasang pedang itu bertemu di udara dan dua orang laki-kaki itu berteriak kaget sambil melangkah mundur satu tindak.

"Li Eng, Hui Cu, jangan membunuh orang!" Kun Hong dalam kagetnya berteriak kepada dua orang keponakannya itu.

Sementara itu, dua orang itu sudah menerjang maju, sekarang sasaran mereka bukanlah Pangeran Kian Bun Ti yang sudah lari bersembunyi di belakang pilar. Penyerang yang seorang, bertubuh pendek berkepala besar, dilayani oleh Hui Cu karena Li Eng sudah mendahuluinya menerjang orang ke dua kurus kering berusia lima puluh tahun lebih, Li Eng yang bermata tajam, begitu melihat gerakan dua orang ini ketika menyerang Pangeran tadi segera dapat tahu bahwa orang ke dua yang kurus kering inilah yang terlihai di antara keduanya maka ia mendahului Hui Cu memapaki orang ini.

Memang tidak salah dugaan Li Eng. Orang kurus kering itu selain lihai dan cepat ilmu pedangnya, juga memiliki tenaga Iwee-kang yang tinggi sehingga pedang di tangannya itu tergetar-getar mengeluarkan hawa pukulan yang dahsyat. Pedangnya berkelebat seperti burung elang menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar putih, tangan kirinya tidak hanya dipergunakan untuk mengimbangi gerakan pedang di tangan kanan, malah kadang-kadang masih membantu serangan pedang dengan melancarkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan yang mengandung tenaga dalam yang berhawa panas! Pendeknya, orang ini adalah ahli silat kelas tinggi yang hanya dapat digolongkan dengan tingkat para busu pengawal pribadi kaisar. Namun kali ini ia ketemu batunya dalam menghadapi Li Eng. Dengan jurus-jurus gerakan Tian-mo Po-in (Payung Kilat Menyapu Awan) dari Hoa-san-pai gadis ini memapaki gulungan sinar pedang lawannya sehingga gulungan sinar pedang itu menjadi buyar dan kacau. Adapun pukulan-pukulan lawan dengan tangan kirinya itu dapat ia elakkan dengan mengandalkan kegesitannya.

"Eh, kenapa gerakan Tian-mo Po-in begini hebat?" tiba-tiba laki-laki itu berseru keras. "Jurus ini adalah jurus Hoa-san Kiam-hoat yang paling hebat, tapi kenapa begini aneh? Ayaaa!" Ia berseru makin kaget ketika pedang gadis itu hampir saja menusuk lehernya kalau ia tidak lekas-lekas membuang diri ke belakang. Aneh sekali sikap lawan ini, pikir Li Eng. Agaknya mengenal baik ilmu pedang Hoa-san-pai, akan tetapi mengapa berkata keras-keras seperti hendak memberitahukan kepada seseorang? Dengan gemas Li Eng lalu merubah ilmu pedangnya dan menyerang dengan dahsyat. Kembali orang itu berteriak keras sambil memutar pedang untuk menjaga diri.

"Eh, Hoa-san Kiam-hoat mengapa begini ganas? Kau campur dengan ilmu pedang dari manakah? Kau murid siapa?"

Panas juga perut Li Eng mendengar betapa orang ini agaknya mengenal baik ilmu pedangnya. Sambil mengirim tusukan bertubi-tubi ia berseru, "Orang macam kau perlu apa bicara tentang ilmu silat Hoa-san-pai? Kalau memang gagah, kau hadapi ini!" Tiba- tiba sinar hitam berkelebat dari tangan kirinya dan ternyata Li Eng sudah mengeluarkan sabuk sutera hitamnya dan kini pedang dan sutera hitam itu menyambar-nyambar dahsyat sekali, mengurung lawan itu dari segala penjuru! Orang itu lagi-lagi mengeluarkan seruan kaget, masih mencoba untuk menyebutkan satu demi satu semua jurus yang dimainkan Li Eng, akan tetapi akhirnya ia tidak dapat membuka mulut lagi karena sibuk menghadapi serangan yang membuat ia harus memeras tenaga dan kepandaian untuk melindungi tubuhnya.

Sementara itu, lawan yang menghadapi Hui Cu juga berteriak-teriak, "Bocah ini ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-hoat tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu pedang apa ini yang begini indah?"

"Tak usah banyak mulut, terimalah ini!" Hui Cu membentak dan menyerang lebih hebat lagi. Namun orang itu ternyata memiliki kepandaian yang tinggi juga sehingga ia mampu menangkis dan membalas. Malah ia masih terus berkata keras-keras,

"Eh, mengingatkan aku akan ilmu pedang dari Bu-tek Kiam-ong! He, bocah, kau pernah apa dengan Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan?"

Disebutnya nama guru ibunya itu, Hui Cu kaget juga akan tetapi tanpa menjawab ia menyerang terus bertubi-tubi dengan ilmu pedangnya yang amat indah.

!" Orang itu lagi-lagi memuji dan terpaksa berlaku hati-hati karena menghadapi dara remaja yang lihai ini ia maklum tak boleh sikap sembrono. "Hebat... hebat ....

Adapun Kun Hong yang bangun berdiri dan menonton dari pojok, maklum bahwa Li Eng dengan mudah akan dapat mengalahkan lawannya sedangkan Hui Cu juga seimbang kepandaiannya dengan lawan yang seorang lagi. Tanpa ia sadari Kun Hong sudah memiliki pengertian mendalam tentang ilmu silat dan terutama sekali Hoa-san Kiam-hoat pernah dibacanya sampai tamat. Ia juga melihat betapa gerakan-gerakan Li Eng amat

berbeda dengan ilmu yang dibacanya, lebih ganas dan juga aneh. Sedangkan ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Cu adalah Hoa-san Kiam-hoat yang bercampur dengan ilmu pedang yang indah gerakan-gerakannya. Betapapun juga, melihat gerakan kaki gadis ini ia terheran-heran karena ia merasa pernah mengenal gerakan-gerakan ini. Tiada hentinya pemuda ini berseru penuh kekuatiran, "Li Eng! Hui Cu! Hati-hati jangan kalian membunuh orang!" Ia sama sekali tidak menguatirkan keselamatan dua orang

keponakannya itu karena di luar kesadarannya ia telah dapat mengikuti pertandingan itu dan melakukan penilaian, akan tetapi ia amat kuatir kalau-kalau dua orang keponakannya itu melakukan pembunuhan, perbuatan yang amat dibencinya.

Pangeran Kian Bun Ti dengan mata berseri-seri memperhatikan dua orang gadis yang amat lihai itu, akan tetapi keningnya berkerut sebentar ketika ia menyaksikan sikap Kun Hong. Pikirnya, "Orang muda itu cerdik luar biasa, aneh dan baik budinya, tentu jujur dan setia. Akan tetapi sayang, hatinya lemah. Mana bisa aku memakai orang seperti ini?"

Biarpun wataknya jenaka dan nakal, namun entah bagaimana, Li Eng amat taat kepada pamannya atau lebih tepat lagi, ia tidak mau membikin marah atau susah kepada Kun Hong. Kalau menurut wataknya, orang yang jahat datang menyerang Pangeran ini patut ia bunuh kedua-duanya. Akan tetapi mendengar suara Kun Hong dan mengingat akan watak yang amat aneh dari pamannya ini, ia lalu memperhebat permainan sabuk suteranya sedangkan pedangnya hanya ia pakai untuk menangkis atau mengancam saja. Akhirnya lawannya tak dapat menahan lagi, terdengar bunyi "tar-tar-tar!" dengan nyaring bertubi-tubi dan orang itu memekik kesakitan, pedangnya terlepas dan ia meloncat tinggi lalu berjungkir-balik ke belakang. Muka, lengan dan leher luka-luka bekas cambukan sabuk sutera sedangkan beberapa bagian bajunya pecah-pecah.

"Si-te, lari!" teriaknya kepada temannya. Akan tetapi temannya pun amat bingung karena sedang didesak hebat oleh Hui Cu. Biarpun ia dapat mempertahankan diri, namun ia sama sekali tidak dapat mendesak gadis yang ilmu pedangnya indah dan lihai itu.

"Enci Cu, kata Paman tidak boleh dia dibunuh. Biarkan aku membagi hadiah kepadanya!" kata Li Eng sambil tertawa-tawa tanpa mengejar lawannya yang sudah kalah. Sebaliknya sabuk suteranya menyambar dan kini yang dijadikan bulan-bulanan adalah lawan Hui Cu. "Tar-tar-tar!" Orang ini pun menjerit dan pedang terlepas, muka dan badannya babak-belur dimakan cambuk. Karena Hui Cu tidak menyerangnya lagi dan gadis nakal itu hanya mempergunakan sabuk sutera untuk menghajarnya, ia lalu melompat jauh mengikuti temannya yang sudah lari terlebih dulu, meloncat pagar taman dan menghilang.

!! Pangeran Kian Bun Ti bertepuk tangan memuji sambil keluar dari belakang pilar, terus menghampiri Li Eng dan Hui Cu yang masih memegang pedang di tangan. Ia mengangguk-angguk dan berkata dengan wajah berseri, "Hebat! Bagus sekali ....

"Nona berdua telah menyelamatkan nyawaku, entah dengan jalan apa aku dapat membalas budi kalian!"

Dua orang dara remaja itu hanya tersenyum dan wajah mereka juga berseri girang. Mereka tidak saja telah menolong tuan rumah yang amat ramah, akan tetapi lebih dari itu, telah menolong Pangeran, Pangeran Mahkota lagi! Akan tetapi Kun Hong mengerutkan kening.

Perasaannya yang halus dan tajam dapat menangkap nada tersembunyi di dalam kata-kata itu tadi. Segera ia maju dan menjura kepada Pangeran Kian Bun Ti sambil berkata,

"Harap Pangeran jangan berkata demikian. Sudah semestinya kalau dua orang keponakan saya membela Pangeran dari penyerangan orang-orang jahat tadi. Dua orang keponakan saya tidak menanam budi dan Paduka tidak perlu berterima kasih."

Pangeran Kian Bun Ti menatap pandang mata pemuda ini dan untuk sejenak keduanya berpandangan, seakan-akan hendak menjenguk isi hati masing-masing dan seperti orang "mengukur tenaga", Pangeran itu hendak marah, dadanya sudah panas, akan tetapi ia menekan perasaannya lalu bertepuk tangan tiga kali. Sambil tersenyum ia berkata,

"Kegagahan dua orang Nona ini yang amat hebat sepatutnya dihormati dengan pesta dan perkenalan dengan para pembantuku."

Selagi tiga orang muda itu terheran-heran dan tidak mengerti, dari pintu dalam tiba-tiba bermunculan beberapa orang, setelah berkumpul semua ternyata mereka berjumlah tujuh orang. Ada yang berpakaian seperti pendeta, ada yang bertubuh gagah tinggi besar, ada pula yang lemah-lembut, akan tetapi semua orang ini segera memberi hormat kepada Pangeran Mahkota dengan cara masing-masing. Melihat bahwa semua membawa senjata di pinggang atau di punggung, dapat diduga bahwa tujuh orang ini tentulah orang-orang yang pandai ilmu silat.

Pangeran Kian Bun Ti memperkenalkan tujuh orang pembantunya itu dan menyebut nama mereka, akan tetapi Kun Hong dan dua orang keponakannya tidak memperhatikan biarpun mereka menjura dengan hormat. Hati dua orang dara itu mulai tak senang karena pandang mata tujuh orang ini mengandung sikap kurang ajar.

"Ha-ha-ha, kalian lihatlah. Dua orang Nona inilah baru patut disebut pendekar wanita yang gagah perkasa dan cantik jelita! Pernahkah kalian melihat dua orang dara remaja sehebat ini? Dengan tangkas dan mudahnya mereka berdua berhasil mengusir dua orang jagoan lari tunggang-langgang!"

Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan tadi diperkenalkan sebagai Souw Ki berjuluk Tiat-jiu Busu (Jagoan Tangan Besi), tersenyum ketika ia berkata, "Pilihan Paduka tepat sekali, Pangeran. Hamba menghaturkan selamat!"

"Ha-ha-ha! Benar-benar menggirangkan hati, Pangeran. Dengan adanya dua orang siuli (puteri-puteri istana) segagah ini, pinto dan teman-teman tidak akan begitu kuatir lagi apabila tidak sedang berada dekat Paduka!" Orang yang tertawa-tawa ini adalah seorang

berpakaian pendeta tosu berambut panjang yang tadi diperkenalkan dengan nama Thian It Tosu. Ia mengelus-elus jenggotnya yang panjang pula sambil memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan mata berkedip-kedip seperti seorang yang mengajak bermain mata. Bukan main sebalnya hati dua orang dara itu melihat kakek ini beraksi seperti monyet mencium terasi.

Sebelum Li Eng dan Hui Cu mengerluarkan suara untuk mengatakan kesebalan hati mereka, tiba-tiba terdengar suara berisik dan dari pintu yang menembus ke dalam gedung mungil itu berlari-larian keluar lima orang wanita muda yang cantik-cantik. Wanita- wanita ini masih muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun usianya dan pakaian mereka benar-benar membuat Li Eng dan Hui Cu memandang bengong. Pakaiannya itu mencolok sekali, terbuat dari sutera halus tipis sehingga samar-samar tampak pakaian dalam mereka yang berwarna-warni. Selain tipis membayang, juga amat ketat menempel pada tubuh mereka. Mereka ini rata-rata cantik jelita, ditambah dengan hiasan dan riasan pada muka dengan warna menghitam dan pemerah, kelima orang wanita muda ini semua memegang sebatang pedang terhunus yang mengkilap saking tajamnya! Munculnya lima orang wanita cantik berlenggang genit ini membuat tujuh orang tokoh jagoan itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik. Sementara itu, Pangeran Kian Bun Ti segera menegur, juga dengan senyum,

"Eh-eh, kalian ini Lima Macan Cantik datang-datang membawa pedang telanjang mau apakah?"

Seorang yang agaknya tertua di antara mereka berlima, menjawab dengan sikap manja dan genit kepada Pangeran Mahkota itu, "Hamba berlima mendengar bahwa Paduka menerima dua orang baru yang dibanggakan berkepandaian tinggi. Karena selama ini kami berlima yang menjadi selir-selir pengawal, maka diterimanya selir pengawal baru, kami ingin sekali mengukur kepandaian mereka." Setelah berkata demikian, dia dan empat orang temannya menoleh dan memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan pandang mata tajam dan marah.

Pangeran Mahkota itu tertawa bergelak, juga tujuh orang pembantunya tertawa. Mengertilah mereka bahwa Lima Macan Cantik ini ternyata menjadi cemburu dan iri hati setelah mendengar perihal dua orang pendekar wanita itu.

"Ha-ha-ha, biarpun kalian cukup lihai, tak mungkin kalian dapat menangkan dua orang Nona perkasa ini."

Kata-kata ini bagi lima orang wanita itu merupakan ijin, maka cepat mereka bergerak menghadapi Li Eng dan Hui Cu yang berdiri berdampingan dan yang memandang dan mendengarkan semua ini dengan kening berkerut. Ketika lima orang wanita yang indah- indah pakaiannya itu menghampiri mereka, keduanya juga balas memandang tajam penuh selidik. Mereka berdua harus mengakui bahwa lima orang ini benar-benar cantik dan bergaya lembut tapi angkuh seperti lagak puteri-puteri bangsawan. Setelah berdiri sejajar di depan dua orang gadis ini dengan pedang melintang di depan dada, yang tertua menudingkan telunjuk tangan kiri kepada mereka berdua sambil membentak,

"Dua bocah dari gunung, kalian mengandalkan apakah berani memikat perhatian Pangeran? Coba kalian hadapi pedang kami!"

Li Eng dan Hui Cu saling pandang. Gilakah perempuan ini? Siapa yang memikat perhatian Pangeran? Sementara itu, Kun Hong sudah melangkah maju dan menjura ke depan lima orang wanita itu.

"Ngo-wi Toanio (Nyonya Besar Berlima), harap sudi bersabar dan tidak salah duga. Dua orang keponakanku ini sama sekali tidak hendak memikat perhatian siapa-siapa dan kami percaya penuh bahwa Ngo-wi tentu paling cantik dan paling pandai. Dua orang keponakanku tidak berani melawan Ngo-wi .... "

Li Eng dan Hui Cu tidak senang sekali mendengar kata-kata paman mereka yang amat merendah ini, akan tetapi lima orang wanita-wanita itu jelas kelihatan bangga dan juga girang. Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa mereka berlima bukanlah wanita yang boleh dipermainkan, yang tertua segera menudingkan ujung pedangnya ke arah Kun Hong sambil membentak,

"Kau ini siucai jembel tak tahu aturan! Apa kaukira kami berlima ini adalah perempuan- perempuan sembarangan yang boleh diajak bicara oleh segala macam laki-laki seperti kau? Untuk dosamu ini seharusnya kupenggal kepalamu, akan tetapi karena Pangeran terkenal sebagai seorang besar yang budiman dan pengampun, biarlah kupotong telingamu yang kiri agar kau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat main-main!" Setelah berkata demikian, pedang ditangannya berkelebat ke arah telinga kiri Kun Hong. Pemuda ini di dalam hatinya terkejut sekali akan sikap yang berlebihan dari wanita-wanita ini. Terpaksa ia melangkah mundur terhuyung-huyung menurutkan gerak langkah ajaib. Wanita itu makin penasaran karena sabetannya luput, cepat ia melangkah maju dan mengayunkan pedangnya lagi ke arah telinga kiri Kun Hong. Pemuda ini tetap terhuyung-huyung ke belakang dan sabetan-sabetan pedang itu tak pernah mengenai telinganya.

"Toanio, telinga adalah alat untuk mendengar, mana boleh dipotong?" kata Kun Hong, suaranya tetap tenang-tenang saja dan inilah yang lucu karena suaranya demikian tenang, akan tetapi ia terhuyung-huyung dan kelihatan gerak-geriknya seperti kebingungan. Memang, bagi yang tidak tahu, gerak langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun memang merupakan gerakan orang ketakutan atau kebingungan. Maka tertawalah tujuh orang jagoan yang berdiri di situ.

Mendengar suara ketawa ini, wanita itu salah duga, mengira bahwa dialah yang ditertawai, maka naiklah darahnya. Kini pedangnya tidak hanya ditujukan untuk memotong telinga dari Kun Hong, malah dipergunakan untuk menyerang membabi-buta untuk merobohkan pemuda itu. Kelihatannya makin repotlah Kun Hong, terjengkang- jengkang dan terhuyung-huyung, namun tak pernah tersentuh pedang yang menyambar- nyambar itu.

"Tranggg!" Wanita itu memekik kaget dan melompat ke belakang, tangannya terasa gemetar dan sakit. Kiranya Hui Cu sudah berdiri menghadapinya dengan pedang ditangan dan dengan sikap marah.

"Perempuan tak tahu malu! Berani kau menghina pamanku yang tak bersalah apa-apa?"

Wanita itu hanya sebentar saja kaget, lalu ia tersenyum sambil menoleh kepada empat orang temannya. "Adik-adik, lihatlah baik-baik. Perempuan ini mengakui keparat itu sebagai pamannya, Hi-hi, siapa orangnya dapat dibohongi begitu saja? Orang muda itu usianya tidaklah tua, sebaya dengannya, juga biarpun jembel dan kotor, mukanya tidaklah buruk bagi seorang laki-laki. Hemm-hemm, bocah gunung, bilang saja dia itu kekasihmu, kami akan percaya sepenuhnya, jangan bilang pamanmu."

"Tutup mulutmu yang kotor!" Hui Cu yang memang tak pandai bicara itu memaki, matanya yang bening berkilat bercahaya akan tetapi kedua pipinya merah karena jengah.

"Adik-adik, mari kita beramai hajar bocah gunung ini!" wanita itu berseru dan berlima mereka siap menerjang Hui Cu dengan pedang mereka. Gerakan mereka cukup kuat dan pasangan kuda-kuda mereka ternyata serupa, tanda bahwa mereka adalah sealiran.

"Bagus, kalian sudah bosan hidup!" Hui Cu menggetarkan pedang di tangannya, akan tetapi tiba-tiba di belakangnya Kun Hong membentak,

"Hui Cu, tahan! Mundurlah dan simpan pedangmu, Li Eng, kaulah yang maju menghadapi kelima orang nyonya besar ini, akan tetapi ingat, jangan sekali-kali membunuh orang!"

Hui Cu kecewa akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak pamannya, dengan mata berkilat ia menarik kembali pedangnya, menyimpannya dan melangkah mundur. Li Eng sambil tersenyum-senyurn menggantikannya maju dan gadis lincah jenaka ini maklumlah sudah tahu apa maksud pamannya menyuruh dia menggantikan Hui Cu. Memang sesungguhnya melihat Hui Cu yang sudah marah sekali itu, Kun Hong menjadi kuatir kalau-kalau Hui Cu salah tangan membunuh orang. Apalagi dalam sebuah pertempuran yang ramai, sukarlah untuk mengalahkan lawan tanpa membunuh. Berbeda dengan Li Eng yang ia tahu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari Hui Cu. Apalagi Li Eng memiliki senjata istimewa, yaitu sabuk sutera yang lemas maka lebih mudahlah bagi Li Eng untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.

Anehnya, melihat pertempuran yang akan pecah ini, baik Pangeran Kian Bun Ti maupun tujuh orang jagoannya sama sekali tidak mencampurinya. Malah mereka berdiri menonton dengan wajah berseri, seakan-akan yang terjadi di depan mereka adalah sebuah adegan sandiwara yang menyenangkan dan menarik. Hal ini saja menimbulkan kerut di kening Kun Hong dan pemuda ini mengambil keputusan bahwa kalau Li Eng sudah berhasil mengalahkan lima orang wanita galak itu, ia cepat-cepat minta pamit dan

mengajak dua orang keponakannya meninggalkan tempat ini, malah harus cepat-cepat meninggalkan kota raja dengan segalanya yang serba aneh.

Li Eng yang dapat menangkap maksud hati pamannya, dengan gerakan tenang sekali meloloskan sabuk suteranya yang hitam panjang, menggulungnya di tangan kanan. Dengan senyum dikulum dan mata berseri ia memandang kepada lima orang puteri di depannya itu, menatap seorang demi seorang, lalu berkata dengan suaranya yang nyaring dan mengandung ejekan,

"Eh, lima orang nenek siluman betina, sungguh kau tak tahu diri. Kalau tidak paman kami yang menaruh kasihan, bukankah sekarang kalian berlima sudah menjadi bangkai di bawah pedang enci-ku?" Li Eng memang berani bersikap demikian karena ia sudah tahu pasti bahwa lima orang ini bukanlah lawan Hui Cu, apalagi lawan dia. Dari gerakan orang pertama ketika menyerang Kun Hong tadi saja tahulah dia bahwa lima orang wanita ini hanya lagaknya saja hebat, pada hakekatnya tidak memiliki kepandaian berarti. Dimaki sebagai nenek dan siluman betina, karuan saja lima orang selir Pangeran itu menjadi marah bukan main. Tanpa banyak cakap lagi mereka berlima menerjang maju sambil menggerakkan pedang menyerang Li Eng.

Li Eng tidak mau berlaku sungkan lagi. Kedua tangannya bergerak, sinar hitam berkelebat dan terdengarlah bunyi, "tar-tar-tar-tar!" berulang kali. Lima orang pengeroyoknya itu belum pernah selama hidupnya mengalami pertempuran seperti ini. Mereka merasa seakan-akan ada petir menyambar-nyambar di atas kepala dan berturut- turut lima batang pedang melayang jauh terlepas dari pegangan lima orang wanita itu. Li Eng menggerakkan sabuk suteranya yang menyambar-nyambar dari atas ke bawah mengeluarkan bunyi melecuti muka dan tubuh kelima orang pengeroyoknya. "tar-tar-tartar-tar!" Lima orang wanita itu menjerit-jerit, perih dan sakit kulit yang terkena cambukan, lalu sambil menutupi muka dengan tangan, mereka lari meninggalkan tempat itu kembali ke dalam. Amat lucu melihat mereka lari dikejar sabuk sutera yang masih sempat mencambuki tubuh belakang mereka, membuat mereka memindahkan tangan dari muka ke tubuh belakang yang sakit semua dihajar cambuk.

"Cukup, Li Eng!" Kun Hong berteriak dan Li Eng menyimpan kembali sabuknya, lalu berdiri di dekat pemuda ini.

"Harap Paduka memaafkan keponakanku." Kun Hong menjura. "Dan perkenankan kami bertiga mohon diri, hendak melanjutkan perjalanan."

Pangeran Kian Bun Ti menggerak-gerakkan tangan, lalu tertawa, "Ah, Saudara Kun Hong apakah marah karena peristiwa tadi? Mereka berlima hanyalah selir-selirku yang bodoh, yang merasa diri sendiri pintar. Kalau mereka tadi bersikap kurang ajar, biarlah sekarang juga kusuruh masukkan ke dalam penjara."

Mendengar ini terkejutlah Kun Hong. "Ah, tidak... tidak... mereka tidak apa-apa, Pangeran. Tak usah dihukum .... "

"Baiklah, dan untuk menebus kelancangan mereka, biarlah mulai sekarang mereka berlima menjadi pelayan dua orang keponakanmu ini."

Pucat muka Kun Hong sedangkan Hui Cu dan Li Eng saling pandang, masih belum mengerti apakah sebetulnya maksud hati dan kehendak Pangeran yang tampan dan selalu tersenyum-senyum itu.

Lagi-lagi Kun Hong menjura dan bicara sepertl orang yang belum mengerti akan maksud pangeran itu, "Banyak terima kasih atas anugerah Paduka kepada dua orang keponakan saya, juga terima kasih atas penyambutan serta kehormatan besar yang kami bertiga telah menerima dari Paduka. Akan tetapi terpaksa kami bertiga mohon diri, Pangeran. Perjalanan kami masih jauh dan harus kami lanjutkan sekarang juga."

"Perjalanan itu boleh dibatalkan atau ditunda!" Suara Pangeran itu kini terdengar sungguh-sungguh dan ketus. "Saudara Kun Hong, mulai saat ini aku mengangkat Li Eng sebagai selir pertama dan Hui Cu sebagai selir ke dua dan kedudukan mereka merangkap sebagai selir pengawal pribadiku!"

Baru sekaranglah dua orang dara remaja itu tahu akan maksud hati Pangeran itu. Muka mereka otomatis menjadi merah seperti udang direbus, mata mereka berkilat saking marah dan jengah, keduanya tanpa terasa telah meraba gagang pedang, Dengan dahi berkerut-kerut saking gelisah dan bingungnya, Kun Hong menjura berulang-ulang kepada Pangeran Mahkota itu, lalu bertanya,

"Pangeran, semenjak nenek moyang kita dahulu, bangsa kita selalu memegang teguh peraturan dan kesopanan. Dua orang keponakanku ini masih mempunyai orang tua, maka kiranya untuk urusan ini sebaiknya kalau Paduka berurusan dengan ayah bunda mereka seperti lazimnya. Sekarang, karena kami bertiga mempunyai tugas yang penting dan perjalanan masih jauh, perkenankanlah kami mengundurkan diri dan keluar dari sini." "Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong benar-benar mengagumkan, hafal akan segala pelajaran filsafat dan ujar-ujar kuno. Aku sama sekali tidak melanggar peraturan, karena bukankah kau ini paman dari mereka? Seorang paman, dalam hal ini, boleh menjadi wakil dan pengganti orang tua, karena itu, dihadapanmu aku mengajukan pinangan untuk menjadikan dua orang nona ini sebagai selir-selirku yang terkasih. Adapun kau sendiri, sesuai dengan bakat dan kepintaranmu, kuangkat menjadi pembesar yang mengurus perpustakaan istana!"

Tujuh orang jagoan itu mengeluarkan seruan kagum dan mereka segera mejura kepada Kun Hong sambil bersuara saling tunjang,

"Kionghi, kionghi (selamat)! Begini muda sudah menerima anugerah pangkat yang tinggi. Juga kionghi kepada dua orang Li-hiap ini!" Akan tetapi Kun Hong cepat mengangkat kedua tangan dan menggoyang-goyangnya tanda bahwa ia menolak kesemuanya itu. Juga Li Eng dan Hui Cu sudah hampir tak dapat menahah kemarahan mereka. Mereka merasa terhina sekali oleh sikap Pangeran ini yang

begitu mau menang sendiri, mengambil orang sebagai selirnya tanpa bertanya, baik kepada yang bersangkutan maupun kepada orang tuanya. Apakah dikiranya mereka itu seperti lima orang wanita tadi, dan dianggap sebagai perempuan murahan belaka.

"Terpaksa saya tidak dapat menerima semua itu, Pangeran. Pertama, saya yang muda mana berani mewakili orang tua mereka? Apalagi dalam soal perjodohan. Sama sekali saya tidak berani! Ke dua, saya merasa amat bodoh dari tidak terpelajar, bagaimana saya berani menerima kedudukan dari Paduka? Tidak, suigguhpun saya berterima kasih sekali, namun terpaksa saya menolak dan harapan saya hanya perkenan Paduka agar kami bertiga dapat pergi dari sini."

Merah wajah Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Selama hidupnya baru kali ini ia menghadapi orang-orangnya yang tidak lekas-lekas berlutut menghaturkan terima kasih setelah ia beri anugerah seperti itu. Wanita mana yang tidak ingin, bahkan saling berebut untuk menjadi selir terkasih dari Pangeran Kian Bun Ti yang terkenal muda, tampan, halus budi, dan calon kaisar? Laki-laki mana yang tidak ingin menjadi pembesar dan kedudukannya diberi sendiri oleh Pangeran Mahkota? Akan tetapi, pandang matanya tidak buta, pendengarannya tidak tuli, kali ini benar-benar dua orang dara muda, yang hendak diambil menjadi selirnya itu malah berdiri dengan muka marah sedangkan orang yang hendak diangkatnya menjadi pembesar perpustakaan malah menampik! Saking heran, marah dan kecewanya, Pangeran ini hanya berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak.

Seorang di antara tujuh jagoan pengawal Pangeran itu melompat maju, dan orang ini usianya sudah lewat lima puluh tahun, mukanya merah dan matanya jelas membayangkan bahwa dia adalah seorang pemarah dan sombong. Dia inilah yang terkenal dengan julukan Sin-toa-to (Golok Besar Sakti) bernama Liong Ki Nam. Di daerah Selatan namanya sudah amat terkenal dan ilmu goloknya memang hebat, boleh dibilang belum pernah ia menemui tandingan. Watak orang ini memang paling berangasan dari teman- temannya, maka melihat sikap tiga orang muda dan mendengar jawaban Kun Hong tadi, ia segera memaki,

"Bocah! Kau diberi hati makin melonjak, Pangeran telah berlaku baik hati dan menghormat, kau malah makin besar kepala. Kau berani membantah perintah Pangeran, berarti memberontak! Apakah kau sudah bosan hidup?"

Sementara itu, Pangeran Kian Bun Ti nampak kesal, lalu berkata kepada tujuh orang jagoannya, "Harap para busu membereskan ini, aku menanti kabar." Tanpa menoleh lagi kepada Kun Hong atau kepada dua orang dara remaja itu, Pangeran ini membalikkan tubuh dan dengan langkah yang membayangkan keagungan seorang calon kaisar, Pangeran ini memasuki rumah gedung.

Setelah Pangeran itu pergi, tosu rambut panjang, Thian It Tosu, mendekati Kun Hong dan berkata dengan suara halus,

"Orang muda, harap kau pikirkan baik-baik dan jangan membawa kemauan sendiri yang

tidak wajar. Ingatlah, semua orang muda, bahkan yang tua-tua sekalipun, di seluruh negeri akan mengiri kalau melihat peruntunganmu yang amat bagus ini. Kau diangkat menjadi pembesar dalam istana dan dua orang keponakanmu dapat merebut hati Pangeran Mahkota.

Siapa tahu kelak kalau Pangeran telah menjadi kaisar, dua orang keppnakanmu itu akan tetap menjadi kekasih, tentu kau akan diangkat menjadi menteri!"

Kun Hong tersenyum lemah dan menggerakkan kepala. "Tidak bisa, To-tiang. Sama sekali aku tidak bermaksud membantah Pangeran, apalagi memberontak. Akan tetapi sungguh-sungguh aku tidak bisa menerima jabatan karena aku memang tidak suka menjadi pembesar. Adapun tentang persoalan jodoh, kedua orang keponakanku ini mempunyai orang tua-orang tua, bagaimana aku berani melancangi mereka?"

"Eh, bocah goblok. Kau masih berkepala batu?" Sin-toa-to Liong Ki Nam lagi-lagi membentak dengan mata melotot. "Tidak usah banyak cerewet, pilih mana. Kau dan dua orang nona ini menurut dan menerima kemuliaan ataukah kalian ditangkap dan dijebloskan dalam penjara, mungkin dihukum penggal kepala!"

Tentu saja Kun Hong tidak takut mendengar ancaman maut ini. Baginya, tidak ada di dunia ini sesuatu yang dapat menimbulkan takut dalam hatinya asalkan ia yakin akan kebenarannya. Dan dalam hal ini ia sama sekali tidak merasa telah melakukan sesuatu kesalahan. Ia menarik napas panjang dan berkata,

"Belum pernah aku mendengar tentang pinangan dan pemberian anugerah yang bersifat paksaan. Baru saja dua orang keponakanku telah menolong pangeran dari bahaya maut akibat penyerangan dua orang jahat, akan tetapi sekarang dua orang keponakanku hendak dipaksa menjadi selir dengan ancaman hukuman penjara kalau tidak mau menurut. Benar-benar di tempat yang mewah ini tidak dikenal lagi kebenaran dan keadilan!"

Tujuh orang jagoan itu tertawa, agaknya geli mendengar ucapan ini, Malah Thian It Tosu lalu berkata, "Orang muda, kau benar-benar seperti katak dalam tempurung, berlagak pintar akan tetapi bodoh. Kau tidak tahu sampai di mana kekuasaan Pangeran Mahkota. Beliau adalah calon kaisar tahukah kau? Mana bisa orang jahat sembarangan hendak menyerang dan membunuh beliau? Kau kira kedua keponakanmu tadi menolong Pangeran dari penyerangan orang jahat? Ha-ha. Sebenarnya hanya karena Pangeran yang suka melihat dua orang gadis ini, ingin menguji sampai di mana tinggi kepandaian kedua Nona ini." Tosu itu bertepuk tangan dan dari luar berlari datang dua orang yang lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tujuh orang jagoan itu. Ketika Kun Hong dan dua orang keponakannya memandang, mereka ini kaget sekali karena mengenal bahwa dua orang yang baru datang ini bukan lain adalah... dua orang "penjahat" yang tadi menyerang Pangeran dan dihajar oleh Li Eng dan Hui Cu.

Kun Hong bengong, dan tahulah ia sekarang bahwa kiranya Pangeran hanya ingin menguji kepandaian dua orang keponakannya. Selagi ia kebingungan mengingat urusan sulit yang dihadapinya, terdengar Li Eng membentak keras dan mencabut pedangnya.

"Aturan mana semua ini? Biar Pangeran sekalipun, tidak boleh memaksa orang lain sesuka hatinya. Kami tidak sudi menuruti kehendak Pangeran, habis kalian ini mau apa?" Dengan gagah gadis ini berdiri tegak dengan pedang di tangan kanan dan sabuk sutera di tangan kiri, memasang kuda-kuda dan perbuatannya ini segera diturut oleh Hui Cu. "Li Eng, jangan .... " Kun Hong mencegah.

"Paman Hong, betapapun baik dan sabar hati orang, tak mungkih bisa memenuhi kehendakmu, mau dan diperhina oleh orang lain. Kita menolak paksaan mereka dan kalau mereka hendak menggunakan kekerasan, boleh dilihat. Orang-orang dari Hoa-san-pai bukanlah sebangsa pengecut yang takut mati demi membela kebenaran!" Suara Lie Eng penuh semangat dan baru kali ini terhadap Kun Hong ia bicara keras dan sungguh- sungguh.

"Kalian tidak boleh membunuh orang!" kata pula Kun Hong ketika melihat dua orang dara remaja itu sudah siap dengan pedang mereka dan tujuh orang jagoan itu pun tampaknya sudah siap untuk turun tangan.

"Kalau orang lain hendak mencelakakan kita, masa kita harus diam saja? Kalau orang lain hendak membunuh kita, masa kita harus mandah saja?" kata pula Li Eng penasaran.

"Lebih baik dibunuh daripada membunuh!" Kun Hong tetap membantah.

Sementara itu, tujuh orang jagoan itu saling pandang dan mereka ini rata-rata memandang rendah kepada Li Eng dan Hui Cu. Harus diketahui bahwa tujuh orang ini adalah tokoh-tokoh besar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka bukanlah jago- jago biasa macam dua orang yang tadi pura-pura menyerang Pangeran, melainkan tokoh- tokoh yang benar-benar termasuk ahli silat kelas tinggi.

Tiat-jiu Souw Ki yang bermuka hitam dan tinggi besar adalah seorang bajak tungal yang dahulu namanya malah lebih tenar daripada nama Ho-hai Sam-ong, tiga raja bajak di Huang-ho itu. Sesuai dengan nama. julukannya, Tiat-jiu berarti Kepalan Besi, tenaga luar dari tubuhnya hebat sekali, kepalan tangannya juga sekeras besi sehingga orang kata sekali pukul ia mampu membikin remuk kepala seekor harimau. Di samping kedahsyatan pukulan tangannya ini, ia pun seorang ahli bermain silat ruyung dengan ruyung bajanya yang besar dan berat.

Thian It Tosu adalah seorang tosu yang tingkatnya sudah tinggi di perkumpulan Ngo- lian-kauw, boleh dibilang merupakan tangan kanan dari Ketua Ngo-lian-kauwcu Kim- thouw Thian-li. Thian-It Tosu ini selain ilmu silatnya tinggi, tenaga dalam di tubuhnya amat kuat, juga sebagai seorang tosu ia mahir ilmu sihir dari Ngo-lian-kauw. Semenjak dahulu (baca cerita Raja Pedang) perkumpulan Ngo-lian-kauw ini memang selalu mencari kesempatan baik untuk menempel pihak yang menang, merupakan perkumpulan yang bersifat plin-plan. Sekarang, melihat betapa Pangeran Kian Bun Ti merupakan satu- satunya orang terkuat untuk menjadi calon pengganti Kaisar, perkumpulan ini tidak menyia-nyiakan kesempatan, lalu menempel Pangeran ini malah Thian It Tosu sendiri sebagai tokoh besar Ngo-lian-kauw masuk menjadi pengawal Pangeran Kian Bun Ti.

Orang ke tiga dan ke empat dari tujuh jagoan istana ini adalah sepasang saudara kembar dari Ho-pak. Dua orang yang usianya empat puluh lima tahun ini mempunyai muka yang sama bentuknya sehingga orang luar akan sukar untuk membedakan mereka kalau saja muka mereka tidak berbeda warnanya. Bu Sek, yang tua bermuka kuning sedangkan Bu Tai yang ke dua, bermuka merah.

Mereka berdua ini terkenal dengan sebutan Ho-pak Siang-sai (Sepasang Singa dari Ho- pak) dan ilmu pedang mereka amat terkenal sebagai ilmu pedang warisan dari keluarga Bu yang sudah turun-temurun menjadi panglima perang. Apalagi kalau sepasang saudara kembar ini maju bersama, ilmu pedang mereka menjadi ilmu pedang pasangan yang amat sukar dilawan, karena sebagai saudara kembar, mereka tidak saja memiliki persamaan dalam segala gerak-gerik, juga mereka mempunyai hubungan rasa yang amat erat sehingga permainan ilmu pedang mereka dapat digabung menjadi satu seolah-olah hanya seorang saja yang mainkan dua buah pedang.

Orang kelima adalah seorang kakek yang memegang sebuah tongkat bengkok, tongkat hitam yang terbuat dari kayu yang aneh dan kelihatan seperti sebatang tongkat pengcmis. Kakek ini pendiam dan kelihatan selalu seperti orang yang kurang semangat dan mengantuk, sama sekali tidak patut kalau disebut seorang jagoan. Usianya sudah enam puluh lima tahun lebih. Akan tetapi jangan dikira bahwa dia itu kurang bersemangat atau lemah. Kalau orang mendengar namanya, apalagi orang-orang kang-ouw tentu akan kaget setengah mati karena dia ini bukan lain adalah Bhong-lo-koai yang terkenal disebut Koai- tung (Tongkat Gila). Ilmu tongkatnya, untuk bagian tenggara tidak ada yang dapat menandingi.

Orang keenam adalah orang yang paling berangasan dan sombong, yaitu si ahli golok Sin-toa-to Liong Ki Nam. Usianya sudah lima puluh tahun akan tetapi ia terkenal pemarah dan bertenaga besar. Juga dia ini memiliki ilmu golok tunggal yang tidak dikenal asal-usulnya. Dahulunya Sin-toa-to Liong Ki Nam ini adalah seorang guru silat bayaran. Akan tetapi ternyata ia hanya memeras uang dari orang-orang kaya dan tidak pernah menurunkan ilmunya yang terkenal, yaitu ilmu goloknya. Ia hanya menurunkan ilmu silat pasaran saja sehingga tak pernah ia mempunyai murid yang berarti.

Betapapunjuga,tidak ada orang berani mengganggu murid-muridnya itu, karena biarpun

Si Murid ini tidak memiliki kepandaian berarti, sebaliknya Liong Ki Nam ini betul-betul seorang yang tangguh dan kosen, sukar dikalahkan. Akhirnya ia ditarik oleh Pangeran Kian Bun Ti dan dijadikan pengawal. Orang ke tujuh adalah orang yang paling kuat, usianya sudah enam puluh tahun lebih dan dialah yang paling aneh di antara tujuh jagoan ini. Orangnya tinggi kurus, sudah tua tapi pakaiannya selalu serba merah! Melihat mukanya yang terus-menerus tersenyum-senyum dan kalau bicara lucu, orang lain takkan menyangka bahwa dia seorang tokoh yang dihormati di istana. Kiranya lebih patut kalau ia dianggap orang yang miring otaknya. Akan tetapi kalau ada yang mendengar namanya, yaitu Ang-moko (Setan Merah), orang akan bergidik mengingat akan kekejaman orang ini yang dapat membunuh orang sambil tersenyum-senyum seperti, orang menyembelih ayam saja! Jangan dikira bahwa Ang-moko ini tidak lihai dan kalah oleh enam orang

yang lain itu. Biarpun ia tidak pernah kelihatan membawa senjata namun ilmu kepandaiannya ternyata malah paling tinggi di antara mereka yang berada di situ. Dan dalam hal kekejaman dan ketenaran namanya dia hanyalah di bawah tokoh-tokoh seperti Song-bun-kwi, Siauw-ong-kwi, Swi Lek Hosiang dan Hek-hwa Kui-bo, yaitu empat besar di dunia persilatan.

Demikianlah kedaan tujuh orang pengawal atau pembantu Pangeran Kian Bun Ti, maka juga tidaklah terlalu mengherankan apabila mereka ini sebagai tokoh tua memandang rendah kepada Li Eng dan Hui Cu yang masih belum ada nama. Kemenangan dua orang dara ini atas diri dua orang yang tadi pura-pura menyerang Pangeran, tidaklah berkesan apa-apa kepada mereka karena tingkat kepandaian dua orang ini pun hanya patut menjadi murid mereka.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed