Skip to main content

Pendekar Buta 1 -> karya : kho ping hoo

Puncak Lao-san menjulang tinggi di antara pegunungan di Propinsi Santung yang kecil-kecil,biarpun sebenarnya Lao-san hanya 1100 meter. tingginya. Pemandangan alam dari puncakini amat indahnya. Memandang ke sebelah timur tampak Laut Kuning yang luas, ke sebelah

utara Selat Pohai, ke sebelah barat Pegunungan Santung dengan puncak Thai-san tampak gagah menjulang tinggi, kemudian ke sebelah selatan tampak sawah ladang dan perkampungan yang subur. Hari masih pagi benar, namun sepagi itu sudah ada, seorang manusia duduk di atas batu gunung di puncak Lao-san. Angin dari Laut Kuning menambah hawa gunung menjadi makin dingin sejuk, memecahkan kulit muka dan menusuk-nusuk tulang. Namun orang yang duduk di atas batu itu seakan-akan tidak merasakan ini semua. Tentu orang akan mengira dia telah membeku atau membatu, kalau saja mulutnya tidak terdengar bersajak dengan suara nyaring, jelas dan bersemangat.

"Wahai kasih, aku di sini! Di puncak Lao-san menjulang tinggi Menjadi raja sunyi di angkasa raya, Naga-naga awan muncul dari laut di bawah kaki Terbang melayang menuju kemari Bersujud di sekelilingku meniupkan angin sejuk, Kasih, aku menanti kehadiranmu memberi cahaya dan kehangatan pada jiwa ragaku Wahai kasih, aku di sini!"



Agaknya orang ini merasa gembira dengan sajak yang dikarangnya sambil duduk itu. Diulangnya sajak ini, malah kemudian dinyanyikannya dengan suara nyaring. Tangan kanannya memukul-mukulkan tongkat ke batu yang menimbulkan bunyi "tok-tak-tok-tak" berirama, mengiringi suara nyanyiannya. Suaranya yang nyaring bergema di puncak, terbawa angin dan kadang-kadang terdengar bergetar penuh perasaan, terutama di bagian "........,. kasih, aku di sini ..........."



Kadang-kadang tangan kirinya meraba-raba ke atas tanah di mana terdapat dua macam bungkusan, agaknya dia khawatir kalau-kalau angin yang keras akan menerbangkan dua bungkusan pakaian dan obat-obatan itu. Melihat cara ia meraba-raba, mudah diduga bahwa orang ini adalah seorang buta. Memang sebenarnyalah. Dia seorang buta, Masih muda benar, baru dua puluh tahun lebih, takkan lewat dari dua puluh lima tahun umurnya. Sesungguhnya amat tampan wajahnya, kulit mukanya putih bersih dengan dahi lebar, daun telinga panjang, hidung mancung dan mulut yang manis bentuknya. Alisnya yang hitam berbentuk golok melindungi sepasang mata yang selalu dimeramkan, mata yang sudah tidak ada bijinya sehingga kelihatan pelupuknya mencekung, mendatangkan keharuan bagi yang melihatnya. Rambutnya yang hitam digelung ke atas dan dibungkus kain kepala hijau. Pakaiannya sederhana, baju berlengan panjang dan lebar berwarna kuning kemerahan, celana berwarna kuning dan biarpun pakaian ini terbuat dari bahan yang kasar, namun amat bersih.



"Wahai kasih, aku di sini ...........!" Si buta ini bangkit berdiri dan mengembangkan kedua lengannya, seakan-akan hendak menyambut atau memeluk kedatangan kekasihnya. Namun tidak ada kekasihnya itu, yang ada hanya sinar matahari pagi yang mulai menyembul ke luar dari permukaan Laut Kuning.



"Kasihku ........... matahariku ........... dengan kehadiranmu di sampingku .......... aku sanggup bertahan seribu tahun lagi........"



Si buta ini tersenyum-senyum dan wajah itu menjadi makin tampan, akan tetapi juga makin mengharukan. Ia benar-benar kelihatan gembira sekali. Setelah "menyambut kekasihnya" yang agaknya sinar matahari itulah, si buta lalu duduk kembali, membuka bungkusan pakaiannya, mengeluarkan sepotong roti kering dan mulailah dia sarapan dengan enaknya.



Agaknya dia tidak tahu bahwa sudah semenjak tadi, kurang lebih seratus meter di sebelah belakangnya, berdiri seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam. Laki-laki ini usianya empat puluhan, berkumis panjang tanpa jenggot, pakaiannya serba hitam dan gerak-

geriknya kasar, di pinggangnya tergantung sebatang golok telanjang dan di punggungnya sebuah bungkusan kain kuning. Setelah memperhatikan beberapa lama kepada si buta dan melihat si buta mulai sarapan pagi, laki-laki tinggi besar ini mengomel.



"Sialan! Sekali mendapat mangsa, seorang buta gila!" Ia terbatuk-batuk beberapa kali. Angin sejuk itu agaknya amat mengganggu pernapasannya. Namun dia tidak menghentikan langkahnya mendekati si buta yang sedang makan. Setelah tiba di belakang si buta dalam

jarak satu meter, dia berhenti dan membentak.



''He, buta gila! Apa isi kedua bungkusanmu itu?'' Orang muda buta itu memutar diri, masih duduk dan cepat-cepat menjawab dengan suara ramah. "Wah, ada teman! Bagus, mari silakan duduk, sahabat. Rotiku masih banyak, mari kita sarapan bersama." Tangannya meraba-raba, mengeluarkan sepotong besar roti kering dari bungkusannya dan dengan wajah tersenyum serta pelupuk mata cekung itu bergerak pula, dia mengangsurkan roti itu kepada si muka hitam.



Si muka hitam dengan geram menggerakkan kaki dan roti di tangan si buta itu terlempar jauh, menggelinding dan lenyap ke dalam jurang.



"Siapa sudi roti busukmu?" Orang muda buta itu menyeringai, tapi menghela napas panjang dan suaranya tetap halus ketika dia berkata, "Sahabat, kiranya kau tidak lapar. Heran sekali ada orang menolak makan di saat Cahaya kehidupan mulai menerangi bumi. Semua mahluk sibuk mencari makan, jangan-jangan kau sakit ..........."



"Cerewet! Berikan bungkusan pakaianmu kepadaku!" bentak si muka hitam.



"Oooh, jadi pakaiankah yang kau butuhkan?" si buta mengangguk-angguk dan tangannya diulur ke depan, meraba ujung baju si muka hitam. "Hemm, pakaianmu masih baik tapi amat kotor. Boleh, boleh, biarlah kuberi satu stel kepadamu, aku masih mempunyai tiga

stel dalam bungkusan ini ..........."



"Buta gila, serahkan semua pakaianmu kepadaku!" dengus si muka hitam yang disusul oleh suara batuk-batuk. "Semua milikmu harus kau serahkan kepadaku kalau kau ingin hidup."



Si buta menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang. ''Aihh, kiranya kau benar-benar sakit! Dua macam penyakit mencengkerammu, sahabat. Yang satu adalah penyakit akibat luka dalam di tubuhmu, di dalam tubuhmu sudah kemasukan hawa beracun yang menimbulkan rasa gatal pada kerongkonganmu dan sewaktu-waktu, apalagi kalau kau marah-marah seperti sekarang ini, timbul rasa sesak di dalam dada sebelah kanan. Penyakit pertama ini tidak hebat, paling-paling merenggut nyawa dari tubuh, akan tetapi penyakitmu yang ke dua lebih payah lagi karena merupakan penyakit jiwa yang membuat kau tidak menaruh kasihan kepada orang lain, membuat kau kejam dan suka

mempergunakan kekerasan untuk mengganggu orang lain."



"Tutup mulutmu dan serahkan bungkusan-bungkusan itu!" Si muka hitam bergerak maju dan menyambar bungkusan pakaian. Akan tetapi dia tidak berhasil merampas bungkusan obat yang dipeluk erat-erat oleh si buta.



"Ambillah...........! Ambillah bungkusan pakaianku. Aku tidak gila pakaian seperti engkau. Tapi bungkusan obat ini tak boleh kau ambil, aku sendiri tidak membutuhkan, akan tetapi orang-orang lain yang sakit akan membutuhkannya."



Ia sudah berdiri sekarang, bungkusan obat itu dia sampirkan di pundak, tongkat dipegang di tangan kiri. Si muka hitam ragu-ragu, tidak jadi merampas bungkusan obat, tapi juga tidak segera pergi dari situ. Dia memandang tajam lalu, bertanya dengan suara kasar, "Heh, buta, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku menderita luka dalam?"



Orang muda buta itu tersenyum lebar. Deretan giginya yang sehat kuat mengkilap terkena cahaya matahari pagi, putih seperti deretan mutiara.


"Aku si buta ini tukang obat, kau tahu? Tentu saja aku dapat mengetahui keadaanmu karena kau terbatuk-batuk tadi. Sahabat, maukah kau kuobati?" Si muka hitam melengak, memandang penuh selidik. Mana dia bisa percaya? Baru saja dia merampas pakaian orang ini, mungkinkah dia mau mengobatinya? "Tidak sudi Kau kira aku begitu bodoh?" jawabnya sambil tertawa mengejek. "Kau berpura-pura hendak mengobati, padahal kau tentu akan memberi racun untuk membunuhku, membalas dendam karena pakaianmu kurampas. Ha-ha-ha, jangan kaukira aku tolol. Aku adalah Hek-twa-to (Si Hitam Bergolok Besar), mana bisa kau akali begitu saja? Bukan aku yang akan mati karena kau racuni, melainkan kau yang akan mampus di tanganku. Kau tahu aku terluka, tentu kau anak buah si tua bangka Bhe jahanam!" Setelah berkata demikian si muka hitam melangkah maju dan tangan kanannya menghantam ke arah orang muda buta itu. Hebat pukulannya, keras sekali sampai mendatangkan sambaran angin! Agaknya dengan sekali pukulan ini si muka hitam yang berjuluk Hek-twa-to itu bermaksud untuk membikin remuk kepala si buta.



Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba lengan kanannya terbentur dengan sesuatu yang keras dan membuat tangannya lumpuh, kemudian dia merasa dadanya diraba orang, membuat napasnya sesak dan dia terhuyung-huyung mundur. Dia terheran-heran melihat si buta itu masih berdiri tersenyum-senyum seperti tadi. Sama sekali dia tidak melihat si buta ini tadi bergerak. Akan tetapi siapakah tadi yang menangkis pukulannya dan siapa pula yang meraba-raba ke arah dadanya?



Ia merasa jerih, mengira bahwa tentu ada orang sakti membantu si buta ini, atau jangan-jangan si tua bangka Bhe sendiri yang berada di sini? Punggungnya terasa dingin dan seram. Cepat dicabutnya golok besarnya. Betapapun juga kalau benar-benar orang she Bhe itu muncul, dia hendak melawan mati-matian. Dengan garang goloknya dia gerak-gerakkan kekanan kiri sampai terlihat cahaya kilat menyambar-nyambar ketika golok itu tertimpa sinar matahari. Mendadak si buta tertawa dan berkata,"Sahabat tinggi besar, untung kau bahwa luka dalam di tubuhmu sudah lenyap sekarang..........." dan orang buta itu membalikkan tubuh, duduk di atas batu tadi dan tidak memperdulikan pemegang golok yang masih menggerak-gerakkan goloknya.



Hek-twa-to makin curiga. Jelas bahwa tidak ada orang lain di situ. Selihai-lihainya si tua Bhe, kalau dia berada di situ tentu akan nampak olehnya. Habis siapa yang melawannya tadi? Si buta inikah? Tak mungkin! Perlahan-lahan dia menghampiri. Sekali bacok akan mampuslah si buta. Sudah banyak dia membunuh orang, baik bersebab maupun tidak. Saat itu dia sedang mengkal hati, dikalahkan orang dan terluka hebat. Si buta ini tahu dia terluka, memalukan saja, maka harus dibunuh.

Comments

Popular posts from this blog

Modul Pemrograman Berbasis WEB

Ini semua saya ambil dari web poltek ITS untuk di baca dan di amalkan !!! Praktikum WEB 7 Praktikum WEB 6 Praktikum WEB 5 Praktikum WEB 4 Praktikum WEB 3 Praktikum WEB 2 Praktikum WEB 1 Modul CSS Modul HTML Modul MySQL Modul WAP Modul PHP 4 Modul PHP 3 Modul JavaScript Modul PHP 2 Modul PHP 1

Pendekar Buta 38 -> karya : kho ping hoo

Kun Hong mengerahkan seluruh tenaga sakti di dalam tubuhnya. Dia dapat mengusir pengaruh totokan dan jalan darahnya normal kembali, akan tetapi karena pengerahan tenaga ini, gerakannya kurang cepat ketika mengelak dan "craattt!" ujung pedang itu biarpun tidak mengenai lambungnya, masih menancap dan mengiris robek kulit dan daging pada pangkal pahanya bagian belakang! "The Sun keparat jahanan!!" Kun Hong menggereng, tubuhnya menubruk maju, tongkat dan tangan kirinya dikerjakan. Gerakannya cepat laksana kilat menyambar sehingga dia berhasil merampas kembali mahkota dari tangan The Sun, akan tetapi dia tidak berhasil merobohkan The Sun yang cepat menghindar pergi sambil tertawa mengejek. Agaknya pemuda yang ternyata adalah seorang di antara musuh itu telah maklum akan kelihaian Kun Hong dan tidak mau secara ceroboh menyambut serangan tadi. Kun Hong cepat menyimpan mahkota dalam buntalannya lagi dan dadanya penuh hawa amarah, penuh dendam dan penasaran. Ternyata dia tel...

Komunikasi Data

Link ini juga saya letakkan di ebook campuran http://www.ziddu.com/download/3344575/Komdat1.pdf.html http://www.ziddu.com/download/3344576/Komdat5.pdf.html http://www.ziddu.com/download/3344577/Komdat4.pdf.html http://www.ziddu.com/download/3344578/Komdat3.pdf.html http://www.ziddu.com/download/3344579/Komdat2.pdf.html http://www.ziddu.com/download/3344815/Komdat9.pdf.html http://www.ziddu.com/download/3344816/Komdat6.pdf.html http://www.ziddu.com/download/3344817/Komdat7.pdf.html http://www.ziddu.com/download/3344818/Komdat8.pdf.html