"Eh, eh..... sabar dulu..... Eng-moi, kita bicara di ruangan depan....."
Kwa Hong yang masih merah mukanya itu mendahului meloncat keluar dari kamar juga Beng San yang berdebar-debar hatinya cepat-cepat keluar dari kamar itu, memutar otak bagaimana dia harus bertindak untuk menguasai keadaan yang amat gawat dan sulit ini. Tiba-tiba dia mendengar sambaran angin, cepat dia menoleh dan kiranya Thio Eng yang sudah meloncat keluar dan gadis ini menggerakkan jari tangan menotok jalan darahnya. Tentu saja gerakan ini terlampau jelas bagi Beng San dan sekira-nya mau, pemuda ini dengan mudah akan dapat mengelak atau menangkis. Akan tetapi dia sengaja diam saja, membiarkan hiat-to (jalan darah) di tubuhnya tertotok. la mengeluh dan roboh lemas.
"Perempuan keji, kauapakan San-ko?" Kwa Hong membentak marah sekali dan melangkah maju. Akan tetapi Thio Eng sudah mencabut pedangnya yang tadi dia dapatkan di dalam kamar, dengan sikap menantang ia berdiri menghadapi Kwa Hong dan berkata dingin.
"Kau perempuan tak tahu malu! Semestinya tinggal di rumah mentaati perintah ayah sebagai seorang anak berbakti, eh, malah minggat dan mengejar-ngejar laki-laki! Perempuan macam engkau ini patut mampus di ujung pedangku!"
"Keparat!" Kwa Hong juga mencabut pedangnya yang tadi sudah dapat la ketemukan di sudut ruangan itu. "Peduli apa kau dengan urusan pribadiku? Kau-kira aku tidak tahu akan isi hatimu. Kau cemburu! Ya, kau cemburu dan iri hati melihat kami saling mencinta. Cih, tak tahu malu!"
"Tutup mulutmu!" Thio Eng makin marah, mukanya sebentar merah sebentar pucat. "Laki-laki tak berbudi macam ini, siapa menaruh hati? Mulutnya terlalu manis, satu hari mencinta gadis, lain hari mencinta lain orang gadis. Seperti engkau, dia pun harus mampus!"
Kwa Hong pucat mukanya dan mengerling ke arah Beng San. Mungkinkah Beng San juga pernah menyatakan cinta kasih kepada gadis ini? Akan tetapi hatinya sudah terlampau panas, sepanas hati Thio Eng dan tak dapat dicegah lagi dua orang gadis ini sudah saling terjang, bertanding pedang dengan hebatnya seperti dua ekor harimau betina memperebutkan seekor kelinci! Trang-tring-trang-tring bunyi pedang mereka dan bunga api berkilat di daiam ruangan yang sunyi itu. Thio Eng adalah murid tunggal Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, kepandaiannya tentu saja hebat. Kwa Hong adalah cucu murid Lian Bu Tojin yang sudah meneri-ma latihan dari ketua Hoa-san-pai ini sendiri, maka ilmu pedangnya juga tak boleh dipandang ringan. Betapapun juga, menghadapi Thio Eng, ia menemukan lawan terlalu berat dan segera ia men-dapat kenyataan bahwa biarpun ilmu pedangnya tak usah mengaku kalah dari ilmu pedang lawannya, namun dalam hal tenaga Iweekang ia toh kalah banyak. Setiap kali dua pedang bertemu, tangan-nya tergetar dan makin lama ia makin terdesak oleh gadis baju hijau itu.
Beng San merasa batinnya tersiksa bukan main menyaksikan pertempuran ini. Dengan amat terheran-heran dia tadi mendengarkan percakapan antara dua orang gadis itu dan benar-benar dia tidak mengerti. Mengapakah dua orang gadis yang disukai dan disayanginya ini seperti bertempur karena dia? Beng San masih terlampau hijau untuk dapat menangkap bahwa dua orang gadis ini sesungguhnya mencintandya dan kini mereka bertanding karena iri hati dan cemburu, atau secara kasarnya, untuk memperebutkan dia. Malah dalam kekecewaannya Thio Eng mempunyai nafsu untuk membunuh Kwa Hong dan dia pula. Dengan penuh kekhawatiran dia melihat betapa Kwa Hong makin terdesak hebat dan setiap saat ujung pedang di tangan Thio Eng mengancam keselamatan nyawanya.
"Eng-moi! Hong-moi! Sudahlah, jangan berkelahi!" Tiba-tiba Thio Eng dan Kwa Hong tergetar mundur pada saat pedang mereka saling bertemu dan pada saat itu Beng San sudah berdiri di antara mereka. Diam-diam Thio Eng kaget sekali, dan terheran-heran mengapa pemuda itu sudah terbebas daripada pengaruh totokannya. Apakah totokanku tadi kurang tepat sehingga pengaruhnya juga kurang lama? Tentu saja dia dan Kwa Hong tidak tahu bahwa mereka tadi keduanya mundur tergetar bukan karena pertemuan pedang mereka, melainkan karena getaran hawa dorongan tangan Beng San yang sengaja melerai mereka.
Kiranya dalam kebingungannya tadi, terbayang oleh Beng San ketika Thio Eng di dalam perahu pernah menangis dalam pelukannya seperti yang dilakukan Kwa Hong tadi, rnaka perasaannya membisikkan dugaan yang membuat dia segera melompat dan mencegah perkelahian itu. Memang sejak tadi dia tidak terpengaruh totokan karena begitu tertotok, dia telah menghentikan jalan darahnya dan hanya pura-pura roboh lemas.
"Eng-moi dan Hong-moi, jangan berkelahi....." katanya pula.
"Kau mau bicara apakah? Hayo bicara cepat, atau kau hendak membantu dia ini?" bentak Thio Eng yang sudah tidak sabar lagi
"Bukan, Eng-moi, bukan begitu....."
"Hemmm, San-ko, apakah kau hendak membela siluman hijau ini?" Kwa Hong bertanya dengan suara dingin.
"Tidak, tidak sekali-kali...... ahhh ....”
Beng San menggeleng-geleng kepalanya, mukanya merah sekali lalu berganti kehijau-hijauan karena dia merasa marah, menyesal, malu dan bingung. "Kalian berdua janganlah salah faham, aku..... aku tidak berat sebelah..... aku sayang dan suka kepada Eng-moi, juga sayang dan suka kepada Hong-moi. Aku tidak pilih kasih, kalian berdua kuanggap seperti adikku sendiri, maka jangan..... jangan bertempur....."
Seketika pucat wajah Kwa Hong, sepucat wajah Thio Eng. "San-ko..... jadi kau..... kau tadi.....?" Tak dapat Kwa Hong melanjutkan kata-katanya dan air matanya jatuh berderai.
"Setan, sudah kuduga! Kau palsu! Di perahu dulu itu.....? Ah, laki-laki tak berbudi!" Agaknya Thio Eng tak sesabar Kwa Hong karena segera ia menggerakkan pedangnya menusuk dada Beng San. Akan tetapi kali ini Beng San tidak berpura-pura lagi, cepat dia mengelak sambil berkata.
”Di perahu aku berbuat apa? Eng-moi, aku hanya kasihan dan suka kepadamu, juga Hong-moi aku suka dan sayang, tapi keduanya kuanggap seperti dua orang teman baik, atau sebagai adik-adikku yang akan kubela, bu..... bukan..... sebagai kekasih....."
"Ah, kau mempermainkan aku....." Kwa Hong menjadi malu sekali kalau ia ingat betapa tadi ia telah menyatakan cinta kasihnya begitu terus terang, tidak hanya didengar oleh Beng San, malah juga oleh Thio Eng. Pikiran ini membuat ia marah sekali dan otomatis pedangnya juga digerakkan menyerang Beng San. Dua orang gadis yang dikecewakan hatinya itu kini hanya mempunyai satu kandungan hati, yaitu membunuh laki-laki yang mereka cinta dan yang kini mereka benci karena tidak membalas Cinta kasih mereka. Dua pedang yang tadinya saling gempur itu kini saling bantu untuk berlumba dalam merenggut nyawa Beng San.
Aduh, Beng San bergidik. Benar-benar berbahaya permainan cinta. Cinta kasih dua orang dara ini sama berbahayanya dengan dua ujung pedang mereka. Ia terpaksa mengeluarkan kepandaiannya, sekali tangannya bergerak dia telah dapat merampas dua pedang itu dari tangan Thio Eng dan Kwa Hong. Dua orang gadis itu seketika melongo karena tidak tahu bagaimana caranya pedang mereka tahu-tahu sudah terampas dan kini Beng San dengan muka sedih mengembalikan pedang mereka, mengangsurkan dengan gagang pedang di depan. Thio Eng dan Kwa Hong seperti mendapat komando lalu merenggut pedang masing-masing dari kedua tangan Beng San dan otomatis kedua pedang mereka sudah menyerang lagi! Tapi kembali dengan gerakan aneh, tahu-tahu pedang mereka sudah berpindah tangan. Lagi-lagi Beng San mengangsurkan pedang itu terbalik sambil berkata,
"Adik-adikku yang baik, kasihanilah aku. Aku benar-benar sayang kepada kalian."
Mendadak dua orang gadis itu bercucuran air mata. "San-ko..... kiranya kau..... kau tidak hanya mempermainkan cinta orang...... juga telah mempermainkan orang dengan berpura-pura tolol dan bodoh,....." Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Kwa Hong membalikkan tubuh dan lari pergi.
"Orang she Tan..... jadi kau..... sejak di perahu dulu..... kau telah mempermainkan aku? Ah, alangkah kejam kau....." Sambil menangis Thio Eng juga berlari pergi dari situ dengan terhuyuhg-huyung dan lemas.
Tinggal Beng San yang berdiri melongo, memandangi dua pedang di kedua tangannya, berulang-ulang menarik napas panjang dan menjadi bingung. Apakah artinya itu semua? Benarkah dua orang gadis itu mencintanya? Ah, tak nnungkin rasanya. Mencinta dia, cinta sebagai seorang kekasih yang menghadapkan dia menjadi suami mereka? Aneh! Dengan kedua pedang masih dipeganginya, ter-bayanglah wajah gadis gagu, tersenyum-senyum kepadanya dengan wajah diliputi kesayuan, kemudian terngiang di telinganya pesan mendiang Lo-tong Souw Lee bahwa dia harus mengawini perampas Liong-cu Siang-kiam kalau pencurinya itu wanita, maka terbayang pula wajah puteri Cia yang cantik jelita, gadis yang luar biasa ilmu pedangnya itu.
Hatinya terasa perih kalau teringat kepada dua orang gadis tadi. Akan tetapi apakah yang dapat dia lakukan? Mereka cinta kepadanya, itu bukanlah kesalahannya. Tak mungkin dia mengimbangi cinta kasih setiap orang gadis Dan memang sesungguhnya hatinya masih bersih dari-pada perasaaan ini. Agaknya hanya kepada gadis gagu itulah dia dapat mencinta, atau..... kepada puteri pencuri pedangkah?
"Setan!" Beng San memaki diri sendiri mengusir bayangan semua gadis itu. Sepasang pedang rampasannya dia simpan, dijadikan satu dan disembunyikan di balik jubahnya. "Tak mungkin memikirkan gadis-gadis itu, paling perlu sekarang aku pergi mencari kakakku di kota raja." Makin diingat makin yakinlah hatinya bahwa pemuda she Tan yang datang ke Hoa-san-pai bersama Pangeran Souw Kian Bi itu tentulah Tan Beng Kui, kakaknya. Masih ingat betul dia akan muka kakak-nya itu. Hanya satu hal yang amat meragukan. Andaikata benar pemuda itu kakaknya, bagaimana dia bisa menjadi seorang yang begitu tinggi kedudukannya dan menjadi sahabat si Pangeran Mongol. la harus menemui Tan Beng Kui atau pemuda itu dan bicara secara terang-terangan. Dengan cepat Beng San lalu kembali ke kota raja, berusaha sekuat hatinya untuk melupakan peristiwa yang dia alami dengan Kwa Hong dan Thio Eng.
Setibanya di kota raja, dia mendengar berita yang amat mengejutkan hatinya. la sengaja bermalam di rumah penginapan di mana dia mengintai lima orang gagah itu dan mendengar berita bahwa empat orang kakek gagah itu, ialah Kim-mouw-sai Lim Seng jago Kwi-bun, Kang-jiu Bouw Hin jago Bi-nam murid Siauw-lim-pai dan dua orang kakek Phang pejuang dari Hun-lam, telah tewas semua dikeroyok perajurit-perajurit kerajaan yang dipimpin oleh Tan-ciangkun (Panglima Tan)! Jadi kakaknya sendiri yang telah memimpin barisan membuniih em-pat orang tokoh pejuang gagah perkasa! Sebetulnya apakah yang terjadi di situ?
Seperti telah diketahui di bagian depan, Phang Khai dan Phang Tui dua orang kakek itu, gagal menangkap Kwee Sin malah mereka sendiri hampir celaka kalau tidak tertolong oleh penolong rahasia. Setelah mereka sadar dan mendapatkan diri mereka berada di halaman kelenteng di mana mereka bermalam, keduanya menjadi terheran-heran dan juga marah terhadap seseorang yang mereka anggap telah mengkhianati mereka. Pada malam, ketiga, seperti telah dijanjikan, mereka mengunjungi rumah penginapan itu dan mengadakan pertemuan dengan Kang-jiu Bouw Hin, Kim-mouw-sai Lim Seng, dan nyonya Liong yang menjadi perantara dan orang kepercayaan Ji-enghiong dan Ji-enghiong, yaitu dua orang tokoh perjuangan yang menjadi pemimpin-pemimpin daripada gerakan rahasia atau jelasnya menjadi kepaia jaringan mata-mata yang bergerak di dalam kota raja!
Bouw Hin dan Lim Seng sudah hadir di situ lebih dulu. Nyonya Liong belum juga datang. Terhadap Bouw Hin dan Lim Seng, dua orang kakek Phang tidak mau menceritakan pengalaman mereka di gedung Kwee Sin. Akhirnya datang juga nyonya Liong yang kelihatan gelisah dan berduka. Semua ini tak terlepas dari pandang mata kedua kakek Phang yang penuh selidik. Mereka melihat betapa mata yang bening itu sekarang nampak sayu dan ada bekas-bekas air mata. Begitu memasuki kamar itu nyonya Liong segera memberi pesannya dengan suara perlahan dan tergesa-gesa.
"Kalian lekas pergi dari sini, keadaan berbahaya. Saudara Bouw Hin dan Lim Seng harap segera berangkat ke tempat markas para pendekar yang dipimpin oleh saudara Su Souw Hwee dan Tan Yu Liang. Katakan bahwa Ji-enghiong sendiri yang memesan supaya mereka memutar pasu-kan ke arah selatan untuk bergabung dengan pasukan besar Panglima Kok Ci Seng, dan ji-wi Saudara Phang-lopek harap segera mencari pasukan saudara Tan Hok dan minta pasukannya membantu teman-teman di barat yang mengalami pukulah hebat. Marap kalian cepat-cepat pergi dan jalankan tugas dengan baik, keadaan amat gawat di sini." Saiw bil berkata demikian, nyonya itu meman-dang kepada kedua orang saudara Phang itu dengan sinar mata menyesal.
Phang Tui yang tidak sabar lalu berkata, "Tentu saja semua tugas itu kami terima dengan baik dan akan kami jalankan seperti biasa. Akan tetapi ada satu hal yang kami minta supaya nona Lee bicara terus terang dan memberi penjelasan yang sewajarnya." Mendengar Phang Tui menyebutnya nona Lee, "nenek" itu mengeluarkan suara tertahan.
"Phang-lopek, apa..... apa maksudmu.....?" Dalam gugupnya, nenek ini lupa akan penyamarannya, suaranya tidak parau seperti biasanya melainkan merda dan halus, suara seorang wanita muda!
Phang Khai sekarang berdiri di saro-ping adiknya, suaranya terdengar keren penuh tuntutan. "Nona Lee, tak usah kau berpura-pura lagi, kami sudah tahu bahwa kau adalah seorang nona muda yang menjadi pembantu Pangeran Souw Kian Bi dan tan-ciangkun. Semua ttu tidak apa dan kami takkan peduli karena ke-nyataannya kau bekerja untuk perjuangan kita. Akan tetapi apa artinya pengkhianatanmu kepada kami dan memberi tahu kepada Kwee Sin akan ancaman kami hendak menangkapnya? Katakanlah, apa artinya semua ini? Siapa sebenarnya engkau ini? Seorang teman pejuang ataukah seorang pengkhianat, ataukah seorang mata-mata musuh?" Suara Phang Khai lerdengar penuh ancaman.
Tubuh "nenek" itu gemetar. "Phang-lopek, ahhh..... tiada kesempatan lagi. Terlalu panjang untuk diceritakan, juga rahasia..... ah, kalian percayalah kepadaku. Pergilah cepat-cepat meninggalkan kota raja, aku tak sempat bercerita..... entah lain kali, sudahlah, pergilah kalian ..”
"Kau harus terangkan lebih dulu!" Phang Tui membentak, sedangkan dua orang lain, yaitu Bouw Hin dan Lim Seng, hanya memandang dengan heran. Mereka belum tahu apa yang telah ter-jadi dan melihat sikap dua orang saudara Phang itu, timbul pula kecurigaan mereka terhadap nyonya Liong yang sekarang jelas adalah seorang nona muda she Lee adanya.
"Tidak ....tidak bisa , tak sempat lagi....."
"Kalau begitu, kami akan memaksamu!" Phang Tui dan Phang Khai bergerak dan menghadapi "nenek" itu dengan pedang di tangan.
Pada saat itu terdengar suara gerakan orang di luar dan terdengarlah bentakan keras, "Tangkap mata-mata pemberontak!" Sinar senjata rahasia melayang masuk kamar dan terdengar suara keras disusul padamnya lampu penerangan.
Phang Khai, Phang Tui, Bouw Hin dan Lim Seng cepat mencabut senjata dan nienerjang keluar. Akan tetapi mereka disambut oleh gerakan pedang yang amat cepat, dihujani pula dengan senjata-senjata rahasia. Karena keadaan amat gelap, maka mereka repot sekali dan beberapa buah senjata rahasia telah mengenai tubuh mereka.
'Tan Ciangkun, kau sudah disini? Ha-ha-ha, ternyata kau lebih cepat daripada aku. Bunuh semua mata-mata ini! Ha-ha-ha, tikus-tikus ini belum kenal kelihaian Pangeran Souw Kian Bi!" Orang yang bicara ini mainkan pedangnya de-ngan hebat sekali dan empat orang pe-juang itu biarpun sudah mempertahankan diri, namun mereka tidak kuat meng-hadapi desakan dua pedang dan hujan senjata rahasia itu. Beberapa jurus ke-mudian mereka roboh, terluka parah oleh pedang dan senjata rahasia. Di dalam gelap, Phang Khai dan Phang Tui yang sudah roboh itu mendengar bisikan suara merdu dan halus, suara "nenek Liong". 'Demi mendengar bisikan ini, Phang Tui berseru.
"Ayaaaaa, celaka...., bodoh benar aku ...”
Phang Khai berseru pula. "Aduhhh..... kalau begitu pantas mampus!"
Penerangan dinyalakan dan ternyata empat orang pejuang itu sudah tewas semua. Tentu saja Beng San hanya men-dengar berita tentang kematian empat orang mata-mata pemberontak di tempat itu. Ketika dia melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya, dia mendengar bahwa yang membuka rahasia mereka itu adalah seorang tokoh yang amat terkenal di kota raja yaitu Lee-siocia. Beng San membayangkan wajah nona cantik yang menemui Kwee Sin di malam itu, lalu teringat pula dia akan nyonya Liong. Diam-diam dia berpikir keras, tapi tak juga dapat mengerti apa maksudnya se-mua itu. Ketika dia mendengar pula bahwa pemimpin penyerbuan yang me-newaskan empat orang mata-mata pem-berontak itu adalan Tan-ciangkun, diam-diam Beng San menjadi sedih sekali.
"Hemmm, ternyata kakakku telah menjadi kakl tangan Mongol, agaknya menjadi kaki tangan Pangeran Souw Kian Bi yang jahat itulah. Celaka sekali, kalau orang-orang Han seperti kakakku dan Kwee Sin menjadi kaki tangan penjajah, seperti ribuan orang lain yang dapat dipikat dengan harta dan pangkat, bagaimana rakyat bisa terhindar daripada penindasan penjajah? Aku harus mengingatkannya." demikian Beng San mengambil keputusan di hatinya.
Malam hari itu dia berada di depan rumah gedung besar tempat tinggal Tan-ciangkun yang terjaga kuat oleh peraju-rit-perajurit tinggi besar. Sengaja Beng San memilih waktu malam" hari agar dapat bicara dengan bebas, dan memilih waktu tuan ritmah sudah selesai tugas dan sedang beristirahat. la menduga-duga apakah kakaknya itu sudah berkeluarga dan diam-diam dia harus mengakui bahwa gedung tempat tinggalnya itu benar-benar mewah dan megah. Melihat Beng San longak-longok di depan pintu gerbang, seorang penjaga membentaknya.
Beng San malah melangkah maju menghampiri penjaga itu dan berkata ramah. "Harap kau suka beritahukan kepada Tan-ciangkun bahwa adiknya Tan Beng 5an datang hendak bertemu."
Penjaga itu tertegun, memandang lebih teliti lalu memberi hormat karena dia pun melihat persamaan wajah antara pemuda ini dengan komandannya
"Silakan Kongcu masuk dan menanti di ruang tamu, saya akan melaporkan kedatangan Kongcu," katanya.
Tak lama kemudian Beng San di-persilakan masuk dan penjaga itu sendiri pergi keluar. Beng San memasuki ruangan dalam dengan hati berdebar tegang. la akan berhadapan dengan Beng Kui, orang yang selama ini selalu dirindukan, yangj selalu dia bayangkan dan dia impikan. Kakak kandungnya!
"Ada keperluan apakah kau datang ke sini?" Suara yang angkuh dan dingin, makin seram kareria suasana di ruangan itu remang-remang dan dingin, lagi sunyi. Beng San mengangkat muka. Dihatnya orang yang dianggap kakak kandungnya itu duduk di kursi menghadapi meja besar di ruangan yang kosong, pakaiannya dari sutera biru, matanya bersinar-sinar dan mulutnya menyeringai seperti orang mengejek dan memandang rendah.
Sejenak Beng San tak dapat berbicara, berdiri tegak di depan meja. Kemudian setelah saling berpandangan, ia berkata, "Kau..... bukankah kau kakakku Tan Beng Kui? Bukankah aku ini adik kandungmu? Kui-ko, di mana ayah dan ibu? Apa yang telah terjadi padaku waktu aku kecil'.'"' Suara Beng San mulai menggetar saking terharunya. Sikap dingin kakaknya tidak mengecilkan hatinya, tidak mengusir keharuannya bertemu dengan kakaknya ini.
"Aku tidak mempunyai adik seperti kau'" jawaban ini terdengar dingin dan amat mengagetkan hati Beng San. "Pergilah,kau jangan menggangguku."
Beng San menjadi marah, mukanya berubah merah. "Kenapa kau hendak menyangkal? Kenapa hendak membohong dan rrierahasiakan? Aku yakin bahwa kau adalah kakakku Beng Kui. Kui-ko, apakah kau sudah lupa? Bukankah di punggung-mu ada dua tahi lalat? Apa kau lupa bahwa jidat ayah ada goresan bekas luka dan lupa betapa lemah lembut ibu kita? Kui-ko....."
"Diam!" Beng Kui menggebrak meja sambil bangkit berdiri. Sepasang matanya memancarkan api kemarahan. "Andaikata dahulu aku mempunyai seorang adik, maka adikku itu sudah mati di air bah. Lebih baik mempunyai adik mati dibawa banjir daripada seorang pengacau yang goblok, seorang yang tolol akan tetapi bersikap pintar sendiri, membiarkan diri-nya terseret dalam pemberontakan jahat. Sudahlah, kau pergi dari sini, aku tidak kenal kau!
"Tapi..... tapi, aku....." Beng San tergagap, "..... aku ingin mengetahui di mana ayah ibuku,...." Hampir dia menangis karena sikap kakaknya ini benar-benar di luar dugaannya. Teringatlah dia ketika dahulu di Hoa-san-pai kakaknya ini pun membuang ludah ketika melihat dia.
"Sudah mati semua..mati ditelan Sungai Huang-ho...;."
Bercucuran air mata dl kedua pipi Beng San yang sekarang menjadi pucat. "Di mana..... dikuburnya? Aku..... aku ingin menyambangi makam mereka..... ingin bersembahyang..... ah, ayah ibu..,.,"
Kini suara Beng Kui juga terdengar serak dan menggetar, "Di dekat Kiu-liong-kiauw di Shan-si....."
Mendengar suara kakaknya ini, makin terharulah Beng San. la melangkah maju.
"'Kui-ko..... kakak kandungku...,. tak maukah kau memelukku.....?"
Pada saat itu terdengar suara penjaga dari luar, "Pangeran Souw datang hendak berkunjung kepada Tan-ciangkun!"
"Pergilah!" kata Beng Kui. "Kau hanya mengacau dan merusak kedudukanku. Aku tidak mau kenal kau lagi. Pergi sekarang, melalui pintu belakang ini, jangan kau datang lagi, kalau nekat, akan kutangkap dan kujatuhi hukuman sebagai pemberontak!"
Seketika menjadi panas hati Beng San. Tak disangkanya kakak kandungnya sejahat ini moralnya. "Kau..... anjing Mongol, kau sudah membunuh para orang gagah di rumah penginapan dan kau mengancam hendak membunuh adik kandung sendiri?"
"Tutup mulutmu dan pergilah! Siapa sudi bicara dengan segala macam pemberontak! Pergi!"
Dengan dada panas seperti hendak dibakar rasanya, Beng San melangkah pergi melalui pintu yang ditunjuk tadi. Begitu keluar, dia tiba di taman belakang dan seorang penjaga sudah siap mengantarnya keluar. Setelah tiba di tempat gelap, dengan kepandaiannya Beng San menyelinap dan meloncat masuk lagi, langsung dia melayangkan'tubuh-nya naik ke atas genteng dan di lain saat dia telah mengintai ke dalam ruangan di mana tadi kakaknya menyambut' kedatangannya. la melihat Pangeran Souw Kian Bi tertawa-tawa memasuki ruangan itu, disambut penuh kehormatan oleh Tan Beng Kui. ''
"Ha-ha-ha, Tan-ciangkun, kenapa kau main kucing-kucingan? Bukankah dia itu adik kandungmu yang betul-betul dan yang selama bertahun-tahun ini kaucari-cari?" Pangeran itu tertawa. "Alangkah lucunya kalau kuingat bahwa ketika kecilnya dulu pun aku pernah melihatnya. Ha-ha-ha, tolol tapi berani adikmu itu, sayang..... dia mau diperalat oleh pemberontak-pemberontak."
"Hemmm, siapa sudi mempunyai adik macam dia? Pangeran, satu kali ini saja aku mengampuni dia karena mengingat keturunan akan tetapi kalau lain kali dia berani muncul, di dalam hatiku aku sudah menganggap dia seorang anggauta pemberontak, bukan adik lagi. Lain kali tanganku sendiri akan menggunakan pedang memenggal lehernya."
"Bagus! Tentu saja aku sudah ketahui semua isi hati dan kesetiaanmu terhadap pemerintah, Ciangkun. Sekarang mari kita bicarakan hal penting. Kau tentu tahu bahwa usahaku dengan pasukan me-lakukan pengejaran atas diri Kwee-ciang-kun yang dilarikan orang-orang Pek-lian-pai tidak berhasil. Tadinya kusangk-adikmu yang tolol itu yang berubah lihai dan melarikannya, eh, kiranya dia masih oerada di sini. Jadi terang kalau di belakangnya ada tokoh-tokoh Pek-lian-pai. Maka aku lalu mengerahkan lima orang aerwira membawa sepasukan yang kuat, dibantu oleh dua cianpwe (orang tua gagah), pergi menyusul ke Hoa-san. Perbuatan kekerasaan menculik Kwee-ciang-kun yang sudah menjadi perwira ke Hoa-san, cukup dijadikan alasan bahvya Hoa-san-pai hendak membantu pemberontak."
Kwa Hong yang masih merah mukanya itu mendahului meloncat keluar dari kamar juga Beng San yang berdebar-debar hatinya cepat-cepat keluar dari kamar itu, memutar otak bagaimana dia harus bertindak untuk menguasai keadaan yang amat gawat dan sulit ini. Tiba-tiba dia mendengar sambaran angin, cepat dia menoleh dan kiranya Thio Eng yang sudah meloncat keluar dan gadis ini menggerakkan jari tangan menotok jalan darahnya. Tentu saja gerakan ini terlampau jelas bagi Beng San dan sekira-nya mau, pemuda ini dengan mudah akan dapat mengelak atau menangkis. Akan tetapi dia sengaja diam saja, membiarkan hiat-to (jalan darah) di tubuhnya tertotok. la mengeluh dan roboh lemas.
"Perempuan keji, kauapakan San-ko?" Kwa Hong membentak marah sekali dan melangkah maju. Akan tetapi Thio Eng sudah mencabut pedangnya yang tadi dia dapatkan di dalam kamar, dengan sikap menantang ia berdiri menghadapi Kwa Hong dan berkata dingin.
"Kau perempuan tak tahu malu! Semestinya tinggal di rumah mentaati perintah ayah sebagai seorang anak berbakti, eh, malah minggat dan mengejar-ngejar laki-laki! Perempuan macam engkau ini patut mampus di ujung pedangku!"
"Keparat!" Kwa Hong juga mencabut pedangnya yang tadi sudah dapat la ketemukan di sudut ruangan itu. "Peduli apa kau dengan urusan pribadiku? Kau-kira aku tidak tahu akan isi hatimu. Kau cemburu! Ya, kau cemburu dan iri hati melihat kami saling mencinta. Cih, tak tahu malu!"
"Tutup mulutmu!" Thio Eng makin marah, mukanya sebentar merah sebentar pucat. "Laki-laki tak berbudi macam ini, siapa menaruh hati? Mulutnya terlalu manis, satu hari mencinta gadis, lain hari mencinta lain orang gadis. Seperti engkau, dia pun harus mampus!"
Kwa Hong pucat mukanya dan mengerling ke arah Beng San. Mungkinkah Beng San juga pernah menyatakan cinta kasih kepada gadis ini? Akan tetapi hatinya sudah terlampau panas, sepanas hati Thio Eng dan tak dapat dicegah lagi dua orang gadis ini sudah saling terjang, bertanding pedang dengan hebatnya seperti dua ekor harimau betina memperebutkan seekor kelinci! Trang-tring-trang-tring bunyi pedang mereka dan bunga api berkilat di daiam ruangan yang sunyi itu. Thio Eng adalah murid tunggal Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, kepandaiannya tentu saja hebat. Kwa Hong adalah cucu murid Lian Bu Tojin yang sudah meneri-ma latihan dari ketua Hoa-san-pai ini sendiri, maka ilmu pedangnya juga tak boleh dipandang ringan. Betapapun juga, menghadapi Thio Eng, ia menemukan lawan terlalu berat dan segera ia men-dapat kenyataan bahwa biarpun ilmu pedangnya tak usah mengaku kalah dari ilmu pedang lawannya, namun dalam hal tenaga Iweekang ia toh kalah banyak. Setiap kali dua pedang bertemu, tangan-nya tergetar dan makin lama ia makin terdesak oleh gadis baju hijau itu.
Beng San merasa batinnya tersiksa bukan main menyaksikan pertempuran ini. Dengan amat terheran-heran dia tadi mendengarkan percakapan antara dua orang gadis itu dan benar-benar dia tidak mengerti. Mengapakah dua orang gadis yang disukai dan disayanginya ini seperti bertempur karena dia? Beng San masih terlampau hijau untuk dapat menangkap bahwa dua orang gadis ini sesungguhnya mencintandya dan kini mereka bertanding karena iri hati dan cemburu, atau secara kasarnya, untuk memperebutkan dia. Malah dalam kekecewaannya Thio Eng mempunyai nafsu untuk membunuh Kwa Hong dan dia pula. Dengan penuh kekhawatiran dia melihat betapa Kwa Hong makin terdesak hebat dan setiap saat ujung pedang di tangan Thio Eng mengancam keselamatan nyawanya.
"Eng-moi! Hong-moi! Sudahlah, jangan berkelahi!" Tiba-tiba Thio Eng dan Kwa Hong tergetar mundur pada saat pedang mereka saling bertemu dan pada saat itu Beng San sudah berdiri di antara mereka. Diam-diam Thio Eng kaget sekali, dan terheran-heran mengapa pemuda itu sudah terbebas daripada pengaruh totokannya. Apakah totokanku tadi kurang tepat sehingga pengaruhnya juga kurang lama? Tentu saja dia dan Kwa Hong tidak tahu bahwa mereka tadi keduanya mundur tergetar bukan karena pertemuan pedang mereka, melainkan karena getaran hawa dorongan tangan Beng San yang sengaja melerai mereka.
Kiranya dalam kebingungannya tadi, terbayang oleh Beng San ketika Thio Eng di dalam perahu pernah menangis dalam pelukannya seperti yang dilakukan Kwa Hong tadi, rnaka perasaannya membisikkan dugaan yang membuat dia segera melompat dan mencegah perkelahian itu. Memang sejak tadi dia tidak terpengaruh totokan karena begitu tertotok, dia telah menghentikan jalan darahnya dan hanya pura-pura roboh lemas.
"Eng-moi dan Hong-moi, jangan berkelahi....." katanya pula.
"Kau mau bicara apakah? Hayo bicara cepat, atau kau hendak membantu dia ini?" bentak Thio Eng yang sudah tidak sabar lagi
"Bukan, Eng-moi, bukan begitu....."
"Hemmm, San-ko, apakah kau hendak membela siluman hijau ini?" Kwa Hong bertanya dengan suara dingin.
"Tidak, tidak sekali-kali...... ahhh ....”
Beng San menggeleng-geleng kepalanya, mukanya merah sekali lalu berganti kehijau-hijauan karena dia merasa marah, menyesal, malu dan bingung. "Kalian berdua janganlah salah faham, aku..... aku tidak berat sebelah..... aku sayang dan suka kepada Eng-moi, juga sayang dan suka kepada Hong-moi. Aku tidak pilih kasih, kalian berdua kuanggap seperti adikku sendiri, maka jangan..... jangan bertempur....."
Seketika pucat wajah Kwa Hong, sepucat wajah Thio Eng. "San-ko..... jadi kau..... kau tadi.....?" Tak dapat Kwa Hong melanjutkan kata-katanya dan air matanya jatuh berderai.
"Setan, sudah kuduga! Kau palsu! Di perahu dulu itu.....? Ah, laki-laki tak berbudi!" Agaknya Thio Eng tak sesabar Kwa Hong karena segera ia menggerakkan pedangnya menusuk dada Beng San. Akan tetapi kali ini Beng San tidak berpura-pura lagi, cepat dia mengelak sambil berkata.
”Di perahu aku berbuat apa? Eng-moi, aku hanya kasihan dan suka kepadamu, juga Hong-moi aku suka dan sayang, tapi keduanya kuanggap seperti dua orang teman baik, atau sebagai adik-adikku yang akan kubela, bu..... bukan..... sebagai kekasih....."
"Ah, kau mempermainkan aku....." Kwa Hong menjadi malu sekali kalau ia ingat betapa tadi ia telah menyatakan cinta kasihnya begitu terus terang, tidak hanya didengar oleh Beng San, malah juga oleh Thio Eng. Pikiran ini membuat ia marah sekali dan otomatis pedangnya juga digerakkan menyerang Beng San. Dua orang gadis yang dikecewakan hatinya itu kini hanya mempunyai satu kandungan hati, yaitu membunuh laki-laki yang mereka cinta dan yang kini mereka benci karena tidak membalas Cinta kasih mereka. Dua pedang yang tadinya saling gempur itu kini saling bantu untuk berlumba dalam merenggut nyawa Beng San.
Aduh, Beng San bergidik. Benar-benar berbahaya permainan cinta. Cinta kasih dua orang dara ini sama berbahayanya dengan dua ujung pedang mereka. Ia terpaksa mengeluarkan kepandaiannya, sekali tangannya bergerak dia telah dapat merampas dua pedang itu dari tangan Thio Eng dan Kwa Hong. Dua orang gadis itu seketika melongo karena tidak tahu bagaimana caranya pedang mereka tahu-tahu sudah terampas dan kini Beng San dengan muka sedih mengembalikan pedang mereka, mengangsurkan dengan gagang pedang di depan. Thio Eng dan Kwa Hong seperti mendapat komando lalu merenggut pedang masing-masing dari kedua tangan Beng San dan otomatis kedua pedang mereka sudah menyerang lagi! Tapi kembali dengan gerakan aneh, tahu-tahu pedang mereka sudah berpindah tangan. Lagi-lagi Beng San mengangsurkan pedang itu terbalik sambil berkata,
"Adik-adikku yang baik, kasihanilah aku. Aku benar-benar sayang kepada kalian."
Mendadak dua orang gadis itu bercucuran air mata. "San-ko..... kiranya kau..... kau tidak hanya mempermainkan cinta orang...... juga telah mempermainkan orang dengan berpura-pura tolol dan bodoh,....." Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Kwa Hong membalikkan tubuh dan lari pergi.
"Orang she Tan..... jadi kau..... sejak di perahu dulu..... kau telah mempermainkan aku? Ah, alangkah kejam kau....." Sambil menangis Thio Eng juga berlari pergi dari situ dengan terhuyuhg-huyung dan lemas.
Tinggal Beng San yang berdiri melongo, memandangi dua pedang di kedua tangannya, berulang-ulang menarik napas panjang dan menjadi bingung. Apakah artinya itu semua? Benarkah dua orang gadis itu mencintanya? Ah, tak nnungkin rasanya. Mencinta dia, cinta sebagai seorang kekasih yang menghadapkan dia menjadi suami mereka? Aneh! Dengan kedua pedang masih dipeganginya, ter-bayanglah wajah gadis gagu, tersenyum-senyum kepadanya dengan wajah diliputi kesayuan, kemudian terngiang di telinganya pesan mendiang Lo-tong Souw Lee bahwa dia harus mengawini perampas Liong-cu Siang-kiam kalau pencurinya itu wanita, maka terbayang pula wajah puteri Cia yang cantik jelita, gadis yang luar biasa ilmu pedangnya itu.
Hatinya terasa perih kalau teringat kepada dua orang gadis tadi. Akan tetapi apakah yang dapat dia lakukan? Mereka cinta kepadanya, itu bukanlah kesalahannya. Tak mungkin dia mengimbangi cinta kasih setiap orang gadis Dan memang sesungguhnya hatinya masih bersih dari-pada perasaaan ini. Agaknya hanya kepada gadis gagu itulah dia dapat mencinta, atau..... kepada puteri pencuri pedangkah?
"Setan!" Beng San memaki diri sendiri mengusir bayangan semua gadis itu. Sepasang pedang rampasannya dia simpan, dijadikan satu dan disembunyikan di balik jubahnya. "Tak mungkin memikirkan gadis-gadis itu, paling perlu sekarang aku pergi mencari kakakku di kota raja." Makin diingat makin yakinlah hatinya bahwa pemuda she Tan yang datang ke Hoa-san-pai bersama Pangeran Souw Kian Bi itu tentulah Tan Beng Kui, kakaknya. Masih ingat betul dia akan muka kakak-nya itu. Hanya satu hal yang amat meragukan. Andaikata benar pemuda itu kakaknya, bagaimana dia bisa menjadi seorang yang begitu tinggi kedudukannya dan menjadi sahabat si Pangeran Mongol. la harus menemui Tan Beng Kui atau pemuda itu dan bicara secara terang-terangan. Dengan cepat Beng San lalu kembali ke kota raja, berusaha sekuat hatinya untuk melupakan peristiwa yang dia alami dengan Kwa Hong dan Thio Eng.
Setibanya di kota raja, dia mendengar berita yang amat mengejutkan hatinya. la sengaja bermalam di rumah penginapan di mana dia mengintai lima orang gagah itu dan mendengar berita bahwa empat orang kakek gagah itu, ialah Kim-mouw-sai Lim Seng jago Kwi-bun, Kang-jiu Bouw Hin jago Bi-nam murid Siauw-lim-pai dan dua orang kakek Phang pejuang dari Hun-lam, telah tewas semua dikeroyok perajurit-perajurit kerajaan yang dipimpin oleh Tan-ciangkun (Panglima Tan)! Jadi kakaknya sendiri yang telah memimpin barisan membuniih em-pat orang tokoh pejuang gagah perkasa! Sebetulnya apakah yang terjadi di situ?
Seperti telah diketahui di bagian depan, Phang Khai dan Phang Tui dua orang kakek itu, gagal menangkap Kwee Sin malah mereka sendiri hampir celaka kalau tidak tertolong oleh penolong rahasia. Setelah mereka sadar dan mendapatkan diri mereka berada di halaman kelenteng di mana mereka bermalam, keduanya menjadi terheran-heran dan juga marah terhadap seseorang yang mereka anggap telah mengkhianati mereka. Pada malam, ketiga, seperti telah dijanjikan, mereka mengunjungi rumah penginapan itu dan mengadakan pertemuan dengan Kang-jiu Bouw Hin, Kim-mouw-sai Lim Seng, dan nyonya Liong yang menjadi perantara dan orang kepercayaan Ji-enghiong dan Ji-enghiong, yaitu dua orang tokoh perjuangan yang menjadi pemimpin-pemimpin daripada gerakan rahasia atau jelasnya menjadi kepaia jaringan mata-mata yang bergerak di dalam kota raja!
Bouw Hin dan Lim Seng sudah hadir di situ lebih dulu. Nyonya Liong belum juga datang. Terhadap Bouw Hin dan Lim Seng, dua orang kakek Phang tidak mau menceritakan pengalaman mereka di gedung Kwee Sin. Akhirnya datang juga nyonya Liong yang kelihatan gelisah dan berduka. Semua ini tak terlepas dari pandang mata kedua kakek Phang yang penuh selidik. Mereka melihat betapa mata yang bening itu sekarang nampak sayu dan ada bekas-bekas air mata. Begitu memasuki kamar itu nyonya Liong segera memberi pesannya dengan suara perlahan dan tergesa-gesa.
"Kalian lekas pergi dari sini, keadaan berbahaya. Saudara Bouw Hin dan Lim Seng harap segera berangkat ke tempat markas para pendekar yang dipimpin oleh saudara Su Souw Hwee dan Tan Yu Liang. Katakan bahwa Ji-enghiong sendiri yang memesan supaya mereka memutar pasu-kan ke arah selatan untuk bergabung dengan pasukan besar Panglima Kok Ci Seng, dan ji-wi Saudara Phang-lopek harap segera mencari pasukan saudara Tan Hok dan minta pasukannya membantu teman-teman di barat yang mengalami pukulah hebat. Marap kalian cepat-cepat pergi dan jalankan tugas dengan baik, keadaan amat gawat di sini." Saiw bil berkata demikian, nyonya itu meman-dang kepada kedua orang saudara Phang itu dengan sinar mata menyesal.
Phang Tui yang tidak sabar lalu berkata, "Tentu saja semua tugas itu kami terima dengan baik dan akan kami jalankan seperti biasa. Akan tetapi ada satu hal yang kami minta supaya nona Lee bicara terus terang dan memberi penjelasan yang sewajarnya." Mendengar Phang Tui menyebutnya nona Lee, "nenek" itu mengeluarkan suara tertahan.
"Phang-lopek, apa..... apa maksudmu.....?" Dalam gugupnya, nenek ini lupa akan penyamarannya, suaranya tidak parau seperti biasanya melainkan merda dan halus, suara seorang wanita muda!
Phang Khai sekarang berdiri di saro-ping adiknya, suaranya terdengar keren penuh tuntutan. "Nona Lee, tak usah kau berpura-pura lagi, kami sudah tahu bahwa kau adalah seorang nona muda yang menjadi pembantu Pangeran Souw Kian Bi dan tan-ciangkun. Semua ttu tidak apa dan kami takkan peduli karena ke-nyataannya kau bekerja untuk perjuangan kita. Akan tetapi apa artinya pengkhianatanmu kepada kami dan memberi tahu kepada Kwee Sin akan ancaman kami hendak menangkapnya? Katakanlah, apa artinya semua ini? Siapa sebenarnya engkau ini? Seorang teman pejuang ataukah seorang pengkhianat, ataukah seorang mata-mata musuh?" Suara Phang Khai lerdengar penuh ancaman.
Tubuh "nenek" itu gemetar. "Phang-lopek, ahhh..... tiada kesempatan lagi. Terlalu panjang untuk diceritakan, juga rahasia..... ah, kalian percayalah kepadaku. Pergilah cepat-cepat meninggalkan kota raja, aku tak sempat bercerita..... entah lain kali, sudahlah, pergilah kalian ..”
"Kau harus terangkan lebih dulu!" Phang Tui membentak, sedangkan dua orang lain, yaitu Bouw Hin dan Lim Seng, hanya memandang dengan heran. Mereka belum tahu apa yang telah ter-jadi dan melihat sikap dua orang saudara Phang itu, timbul pula kecurigaan mereka terhadap nyonya Liong yang sekarang jelas adalah seorang nona muda she Lee adanya.
"Tidak ....tidak bisa , tak sempat lagi....."
"Kalau begitu, kami akan memaksamu!" Phang Tui dan Phang Khai bergerak dan menghadapi "nenek" itu dengan pedang di tangan.
Pada saat itu terdengar suara gerakan orang di luar dan terdengarlah bentakan keras, "Tangkap mata-mata pemberontak!" Sinar senjata rahasia melayang masuk kamar dan terdengar suara keras disusul padamnya lampu penerangan.
Phang Khai, Phang Tui, Bouw Hin dan Lim Seng cepat mencabut senjata dan nienerjang keluar. Akan tetapi mereka disambut oleh gerakan pedang yang amat cepat, dihujani pula dengan senjata-senjata rahasia. Karena keadaan amat gelap, maka mereka repot sekali dan beberapa buah senjata rahasia telah mengenai tubuh mereka.
'Tan Ciangkun, kau sudah disini? Ha-ha-ha, ternyata kau lebih cepat daripada aku. Bunuh semua mata-mata ini! Ha-ha-ha, tikus-tikus ini belum kenal kelihaian Pangeran Souw Kian Bi!" Orang yang bicara ini mainkan pedangnya de-ngan hebat sekali dan empat orang pe-juang itu biarpun sudah mempertahankan diri, namun mereka tidak kuat meng-hadapi desakan dua pedang dan hujan senjata rahasia itu. Beberapa jurus ke-mudian mereka roboh, terluka parah oleh pedang dan senjata rahasia. Di dalam gelap, Phang Khai dan Phang Tui yang sudah roboh itu mendengar bisikan suara merdu dan halus, suara "nenek Liong". 'Demi mendengar bisikan ini, Phang Tui berseru.
"Ayaaaaa, celaka...., bodoh benar aku ...”
Phang Khai berseru pula. "Aduhhh..... kalau begitu pantas mampus!"
Penerangan dinyalakan dan ternyata empat orang pejuang itu sudah tewas semua. Tentu saja Beng San hanya men-dengar berita tentang kematian empat orang mata-mata pemberontak di tempat itu. Ketika dia melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya, dia mendengar bahwa yang membuka rahasia mereka itu adalah seorang tokoh yang amat terkenal di kota raja yaitu Lee-siocia. Beng San membayangkan wajah nona cantik yang menemui Kwee Sin di malam itu, lalu teringat pula dia akan nyonya Liong. Diam-diam dia berpikir keras, tapi tak juga dapat mengerti apa maksudnya se-mua itu. Ketika dia mendengar pula bahwa pemimpin penyerbuan yang me-newaskan empat orang mata-mata pem-berontak itu adalan Tan-ciangkun, diam-diam Beng San menjadi sedih sekali.
"Hemmm, ternyata kakakku telah menjadi kakl tangan Mongol, agaknya menjadi kaki tangan Pangeran Souw Kian Bi yang jahat itulah. Celaka sekali, kalau orang-orang Han seperti kakakku dan Kwee Sin menjadi kaki tangan penjajah, seperti ribuan orang lain yang dapat dipikat dengan harta dan pangkat, bagaimana rakyat bisa terhindar daripada penindasan penjajah? Aku harus mengingatkannya." demikian Beng San mengambil keputusan di hatinya.
Malam hari itu dia berada di depan rumah gedung besar tempat tinggal Tan-ciangkun yang terjaga kuat oleh peraju-rit-perajurit tinggi besar. Sengaja Beng San memilih waktu malam" hari agar dapat bicara dengan bebas, dan memilih waktu tuan ritmah sudah selesai tugas dan sedang beristirahat. la menduga-duga apakah kakaknya itu sudah berkeluarga dan diam-diam dia harus mengakui bahwa gedung tempat tinggalnya itu benar-benar mewah dan megah. Melihat Beng San longak-longok di depan pintu gerbang, seorang penjaga membentaknya.
Beng San malah melangkah maju menghampiri penjaga itu dan berkata ramah. "Harap kau suka beritahukan kepada Tan-ciangkun bahwa adiknya Tan Beng 5an datang hendak bertemu."
Penjaga itu tertegun, memandang lebih teliti lalu memberi hormat karena dia pun melihat persamaan wajah antara pemuda ini dengan komandannya
"Silakan Kongcu masuk dan menanti di ruang tamu, saya akan melaporkan kedatangan Kongcu," katanya.
Tak lama kemudian Beng San di-persilakan masuk dan penjaga itu sendiri pergi keluar. Beng San memasuki ruangan dalam dengan hati berdebar tegang. la akan berhadapan dengan Beng Kui, orang yang selama ini selalu dirindukan, yangj selalu dia bayangkan dan dia impikan. Kakak kandungnya!
"Ada keperluan apakah kau datang ke sini?" Suara yang angkuh dan dingin, makin seram kareria suasana di ruangan itu remang-remang dan dingin, lagi sunyi. Beng San mengangkat muka. Dihatnya orang yang dianggap kakak kandungnya itu duduk di kursi menghadapi meja besar di ruangan yang kosong, pakaiannya dari sutera biru, matanya bersinar-sinar dan mulutnya menyeringai seperti orang mengejek dan memandang rendah.
Sejenak Beng San tak dapat berbicara, berdiri tegak di depan meja. Kemudian setelah saling berpandangan, ia berkata, "Kau..... bukankah kau kakakku Tan Beng Kui? Bukankah aku ini adik kandungmu? Kui-ko, di mana ayah dan ibu? Apa yang telah terjadi padaku waktu aku kecil'.'"' Suara Beng San mulai menggetar saking terharunya. Sikap dingin kakaknya tidak mengecilkan hatinya, tidak mengusir keharuannya bertemu dengan kakaknya ini.
"Aku tidak mempunyai adik seperti kau'" jawaban ini terdengar dingin dan amat mengagetkan hati Beng San. "Pergilah,kau jangan menggangguku."
Beng San menjadi marah, mukanya berubah merah. "Kenapa kau hendak menyangkal? Kenapa hendak membohong dan rrierahasiakan? Aku yakin bahwa kau adalah kakakku Beng Kui. Kui-ko, apakah kau sudah lupa? Bukankah di punggung-mu ada dua tahi lalat? Apa kau lupa bahwa jidat ayah ada goresan bekas luka dan lupa betapa lemah lembut ibu kita? Kui-ko....."
"Diam!" Beng Kui menggebrak meja sambil bangkit berdiri. Sepasang matanya memancarkan api kemarahan. "Andaikata dahulu aku mempunyai seorang adik, maka adikku itu sudah mati di air bah. Lebih baik mempunyai adik mati dibawa banjir daripada seorang pengacau yang goblok, seorang yang tolol akan tetapi bersikap pintar sendiri, membiarkan diri-nya terseret dalam pemberontakan jahat. Sudahlah, kau pergi dari sini, aku tidak kenal kau!
"Tapi..... tapi, aku....." Beng San tergagap, "..... aku ingin mengetahui di mana ayah ibuku,...." Hampir dia menangis karena sikap kakaknya ini benar-benar di luar dugaannya. Teringatlah dia ketika dahulu di Hoa-san-pai kakaknya ini pun membuang ludah ketika melihat dia.
"Sudah mati semua..mati ditelan Sungai Huang-ho...;."
Bercucuran air mata dl kedua pipi Beng San yang sekarang menjadi pucat. "Di mana..... dikuburnya? Aku..... aku ingin menyambangi makam mereka..... ingin bersembahyang..... ah, ayah ibu..,.,"
Kini suara Beng Kui juga terdengar serak dan menggetar, "Di dekat Kiu-liong-kiauw di Shan-si....."
Mendengar suara kakaknya ini, makin terharulah Beng San. la melangkah maju.
"'Kui-ko..... kakak kandungku...,. tak maukah kau memelukku.....?"
Pada saat itu terdengar suara penjaga dari luar, "Pangeran Souw datang hendak berkunjung kepada Tan-ciangkun!"
"Pergilah!" kata Beng Kui. "Kau hanya mengacau dan merusak kedudukanku. Aku tidak mau kenal kau lagi. Pergi sekarang, melalui pintu belakang ini, jangan kau datang lagi, kalau nekat, akan kutangkap dan kujatuhi hukuman sebagai pemberontak!"
Seketika menjadi panas hati Beng San. Tak disangkanya kakak kandungnya sejahat ini moralnya. "Kau..... anjing Mongol, kau sudah membunuh para orang gagah di rumah penginapan dan kau mengancam hendak membunuh adik kandung sendiri?"
"Tutup mulutmu dan pergilah! Siapa sudi bicara dengan segala macam pemberontak! Pergi!"
Dengan dada panas seperti hendak dibakar rasanya, Beng San melangkah pergi melalui pintu yang ditunjuk tadi. Begitu keluar, dia tiba di taman belakang dan seorang penjaga sudah siap mengantarnya keluar. Setelah tiba di tempat gelap, dengan kepandaiannya Beng San menyelinap dan meloncat masuk lagi, langsung dia melayangkan'tubuh-nya naik ke atas genteng dan di lain saat dia telah mengintai ke dalam ruangan di mana tadi kakaknya menyambut' kedatangannya. la melihat Pangeran Souw Kian Bi tertawa-tawa memasuki ruangan itu, disambut penuh kehormatan oleh Tan Beng Kui. ''
"Ha-ha-ha, Tan-ciangkun, kenapa kau main kucing-kucingan? Bukankah dia itu adik kandungmu yang betul-betul dan yang selama bertahun-tahun ini kaucari-cari?" Pangeran itu tertawa. "Alangkah lucunya kalau kuingat bahwa ketika kecilnya dulu pun aku pernah melihatnya. Ha-ha-ha, tolol tapi berani adikmu itu, sayang..... dia mau diperalat oleh pemberontak-pemberontak."
"Hemmm, siapa sudi mempunyai adik macam dia? Pangeran, satu kali ini saja aku mengampuni dia karena mengingat keturunan akan tetapi kalau lain kali dia berani muncul, di dalam hatiku aku sudah menganggap dia seorang anggauta pemberontak, bukan adik lagi. Lain kali tanganku sendiri akan menggunakan pedang memenggal lehernya."
"Bagus! Tentu saja aku sudah ketahui semua isi hati dan kesetiaanmu terhadap pemerintah, Ciangkun. Sekarang mari kita bicarakan hal penting. Kau tentu tahu bahwa usahaku dengan pasukan me-lakukan pengejaran atas diri Kwee-ciang-kun yang dilarikan orang-orang Pek-lian-pai tidak berhasil. Tadinya kusangk-adikmu yang tolol itu yang berubah lihai dan melarikannya, eh, kiranya dia masih oerada di sini. Jadi terang kalau di belakangnya ada tokoh-tokoh Pek-lian-pai. Maka aku lalu mengerahkan lima orang aerwira membawa sepasukan yang kuat, dibantu oleh dua cianpwe (orang tua gagah), pergi menyusul ke Hoa-san. Perbuatan kekerasaan menculik Kwee-ciang-kun yang sudah menjadi perwira ke Hoa-san, cukup dijadikan alasan bahvya Hoa-san-pai hendak membantu pemberontak."
Comments