'"Benar ucapan dia itu. Tamu tidak boleh meremehkan tuan rumah dan berbuat seenaknya sendiri!" Suaranya merdu dan halus, akan tetapi mengandung keangkuhan tinggi seperti suara seorang puteri terhadap para abdinya! Kemudian dara jubah merah ini meloncat ringan, tahu-tahu sudah berada di depan Lian Bu Tojin, menjura dan berkata.
"Ayahku karena repot tidak dapat berkunjung ke Hoa-san. Oleh karena itu, aku mewakili keluarga Cia dari selatan sengaja berkunjung mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai. Selain itu, juga ayah menyuruh aku memberi tahu kepada se-mua orang gagah yang berkumpul ini hari di Hoa-san-pai, bahwa sebagai pe-megang gelar Raja Pedang terakhir, ayah menetapkan hari perlombaan gelar Raja Pedang satu tahun kemudian dihitung mulai bulan ini, pada pertengahan bulan purnama, di puncak Thai-san. Nah, aku sudah berbicara, selamat tinggal, Lian Bu totiang!" Suara gadis jelita ini selain angkuh, juga amat nyaring dan jelas, membuat semua tamu melongo kagum.
"Ayaaa, kiranya anak Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tak Terlawan) Cia Hui Gan? Bagiis, sudah lama pinto ingin berkenalan dengan ilrnu pedangnya!" kata» kata ini disusul meloncatnya dua orang kakek berkepala gundul. Mereka ini ada-lah dua orang hweslo yang duduk di ruang tamu kehormatan dan yang semenjak tadi duduk diam saja. Seperti diceritakan di bagian depan, di dal&m ruartg tamtti kehormatan ini selain duduk para pimpinan partai besar, juga duduk dua orang hwesio ini, dua orang kakek petani dan tiga orang tosu. Sejak tadi tujuh orang' kakek ini duduk diam dan menonton sambil mendengarkarf saja, akar» tetapi begitu muncul nona baju merah ini, mereka kelihatan memperhatikan sekali. Kini dua orang hwesio itu melompat dan tahu-tahu mereka telah berdiri di depan nona tadi sambil menggerak-gerakkan tongkat baja masing-masing yang panjang dan berat.
Nona itu nnenggerakkan alisnya yang kecil hitam, matanya menyambar-nyambar lalu ia tersenyum. Senyum yang manis sekali akan tetapi matanya mengerling tajam laksana pisau. la memperhatikan kedudukan kaki dan cara dua orang hwesio memegang tongkat, lalu berkata.
"Agaknya Hwesio Hitam dan Hwesio Putih yang menegurku. Kalian berdua pernah dirobohkan dalam lima jurus oleh ayah, apa hubungannya dengan aku? Siapa yang ingin menonton pameranmu tongkat hitam dan putih itu?" Suaranya masih nyaring tinggi, mengandung penuh ejekan dan tidak memandang mata sedikit pun juga.
Dua orang hwesio itu diam-diam terkejut. Lima tahun yang lalu mereka per-nah dirobohkan dalam lima jurus saja oleh Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan. Ke-tika itu tentu dara ini masih kecil, ke-napa sekarang sekali lihat saja sudah tahu? Mereka ini adalah hwesio-hwesio yang berilmu tinggi, tokoh pelarian dari Siauw-lim-pai yang memiliki ilmu tong-kat tingkat tinggi. Memang, karena kehebatan ilmu tongkatnya, maka keduanya dijuluki orang Hek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Hitam) dan Pek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Putih). Karena julukan ini pula maka sengaja Hek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja hitanr» sedangkan Pek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja. putih. Mereka sudah kenal dengan Lian' Bu Tojin yang menganggap mereka orang setingkat ka-rena memang ilmu silat mereka sudah amat tinggi, maka mereka diberi tempaf di ruang tamu kehormatan.
"Ha-ha-ha, Nona. Kau sombong sekali. Agaknya kau mengandalkan kepandaiar» ayahmu untuk menjual lagak di sini. Pinceng (aku) berdua bukan hendak me-lawan anak kecil, akan tetapi mengingat bahwa kau puteri tunggal Raja Pedang tentu ilmu pedangmu hebat. Kami hendak mencoba untuk mengalahkan pedang"? pedangmu dalam lima jurus pula. Beranikah kau menghadapi kami?" kata Pek-tung Hwesio. Terang bahwa hwesio ini hanya bermaksud menebus penghinaan dahulu dan hanya ingin mengalahkar» nona itu dalam lima jurus sehingga kalau hal ini terjadi, sedikitnya dia dapat membersihkan mukanya.
Nona itu mencibirkan mulutnya. Kalian dua hwesio tua bangka hanya namanya saja menakutkan, tongkat-tongkat macam ini hanya untuk menakut-nakuti anjing dan maling kecil. Mengapa aku takut? Tapi kedatanganku kesini bukan Untuk melayani segala macam .hwesio tua bangka tak tahu malu." Benar-benar galak nona ini, pikir Beng San mengerutkan keninenya. Masa terhadap dua orang hwesio tua sama sekali tidak menaruh hormat? Galak dan kurang ajar!
Dua orang hwesio itu marah sekali, namun sebagai orang-orang tua mereka dapat menahan kemarahan, malu untuk mengumbar nafsu marah di tempat umum. Bagus, kalau begitu!" kata Pek-tung Hwesio. "Coba kaulayani kami selama lima jurus, Nona'"
Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, dua batang tongkat panjang yang amat berat itu sudah melayang ke atas, menyambar-nyambar mengeluarkan suara mengaung. Beng San terkejut dan ngeri juga. Semua tamu juga merasa ngeri bahkan Lian Bu Tojin berseru.
"Harap Ji-wi (saudara berdua) maaf-kan seorang muda!"
Tidak sangka sama sekali bahwa ucapan ini diterima dengan marah oleh nona itu. Matanya berapi-api dan kedua tangannya bergerak. "Srattt." Semua orang menjadi silau ketika nona itu sekarang telah mencabut keluar sepasang pedang yang amat tajam sampai sinarnya ber-kilauan. Kemudian nona itu berkelebat, terdengar suaranya, "Lian Bu totiang, jangan pandang rendah orang muda!" Kemudian ia menari! Ya, menari di arrtara sambaran-sambaran dua batang tongkat itu. Gerakannya indah bukan main, tidak seperti orang bersilat, melainkan seperti orang menari-nari. Pedangnya bermain menjadi dua gulung sinar seperti bunga, ikat pinggangnya yang merah itu bergulung-gulung pula seperti hidup, tubuh-nya bergerak-gerak dengan indahnya. Beng San sampai melongo. Baginya yang sudah memiliki pandang mata tajam sekali, maklum bahwa biarpun nona itu menitikberatkan gerakan untuk keindahan, '' namun justeru di dalann keindahan inilah letaknya kehebatan dan kelihaian ilmu pedang itu'. Hanya dengan tekukan pinggang yang indah, sambaran tongkat putih ke arah tubuhnya dapat dihindarkan, dan hanya dengan mengembangkan pedang di kedua tangan dan meloncat lincah ke atas, serampangan tongkat hitam mengenai angin. Untuk menambah keindahan yang tiada bandingnya ini, si nona baju merah masih menambah dengan senyum simpul yang manis menarik.
"Heee, mana ada aturan dua orang ! laki-laki mengeroyok seorang wanita?" Beng San berteriak-teriak tanpa menyatakan bahwa mereka sudah bertempur sampai sepuluh jurus lebih. la bersikap ketolol-tololan.
Nona baju merah itu tertawa. "Dua hwesio kerbau! Kalian mau merobohkan aku dalam lima jurus, sekarang sudah belasan jurus. Kiranya aku tidak segoblok kalian ketika roboh oleh ayah dalann lima jurus." Tiba-tiba sepasang pedangnya bergerak cepat sekali setelah saling bentur mengeluarkan api berpijar. Bunga api ini menyambar ke arah muka dua orang lawannya yang menjadi kaget dan lebih gugup ketika tahu-tahu sepasang pedang itu sudah meluncur mendekati leher mereka. Cepat mereka membuang diri ke belakang dan....."trang! tranggg!" Tongkat mereka ternyata telah terbabat putus ketika mereka dalam gugup tadi tidate mengerahkan tenaga.
Si nona baju merah menjura ke arah Lian Bu Tojin setelah tanpa dapat diikuti lagi dengan mata ta telah menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian berkata keras, "Selamat tinggal!" Tubuhnya lenyap, yang nampak hanyalah ba-yangan merah melesat keluar dari tempat itu.
Dua orang hwesio itu menjadi pucat sekali mukanya. Mereka melempar sisa potongan tongkat ke atas tanah, lalu menjura kepada Lian Bu Tojin dan k^luar dengan langkah lebar.
Sernentara itu, setelah ta.di berhenti sebentar menonton pertandingan ini, Pek Gan Siansu yang tadi sudah berpamit, lalu mengajak Bun Lim Kwi melanjutkan perjalanan, keluar dari tempat itu. Thio Eng dengan sinar mata marah segera mengejarnya, pergi tanpa pamit.
Lian Bu Tojin menarik napas panjang berulang-ulang, malah tidak peduli lagi ketika Giam Ki juga tertawa-tawa dan bertindak keluar dengan langkah panjang. Kwa Tin Siong berusaha keras untuk hnelanjutkan perayaan itu, dan semua hidangan dapat juga dibagi-bagikan biar-pun keadaan pesta tidak semeriah tadi.
Kwa Hong dengan penuh keheranan melihat bahwa di situ tidak ada lagi bayangan Beng San yang tadi menimbulkan heboh. Pemuda ini sudah lenyap pula» entah ke mana pula larinya. Kwa Hong.- yang menjadi penasaran segera mencari sampai ke belakang, sampai ke tempat di mana pemuda itu menginap, tapi alangkah herannya katika ia melihat bahwa bungkusan pakaian pemuda itu pun sudah lenyap pula!
"Ah dia aneh sekali...,." pikir dara ini kecewa, "aneh dan gagah bukan main. Alangkah beraninya dia tadi..... hemrnm, sayang tidak pandai ilmu silat....." la melamun membayangkan betapa akan mengagumkan kalau seorang pemuda dengan keberanian sebesar itu memiliki kepandaian ilmu silat pula. Ketika dengan kecewa ia hendak meninggalkan kamar Beng San, ia tertarik oleh sepotong keras di atas meja. Cepat di-ambilnya kertas itu dan ternyata ada tulisannya, tulisannya tangan yang jelas dan indah, tulisan tangan Beng San.
BENG-SAN BERJANJI MENCARl KWEE SIN.
Cepat Kwa Hong membawa surat itu kepada ayahnya dan memperlihatkannya. Wajah Kwa Tin Siong berubah. "Anak itu aneh, sepak terjangnya tak dapat diduga semula. Bagaimana mungkin dia dapat niembawa Kwee Sin ke sini?" Betapapun juga dia memperlihatkan surat itu kepada gurunya yang menarik napas panjang.
"Memang bocah luar biasa Beng San itu. Kita Hoa-san-pai hari ini berhutang budi kepadanya yang berhasil mencegah pertempuran. Kalau dia bisa membawa Kwee Sin ke sini, budinya bertumpuk. Tapi..... dapatkah kiranya dia berhasil?"
"Meragukan sekali, Suhu," kata Kwa Tin Siong, juga Liem Sian Hwa dan para murid Hoa-san-pai tidak percaya kalau Beng San akan berhasil membawa musuh besar itu ke Hoa-san. Akan tetapi tiba-tiba Kwa Hong berkata, suaranya nyaring dan matanya bersinar-sinar.
"Aku merasa yakin bahwa pada suatu hari dia akan datang bersama Kwee Sin ke sini!" Semua mata memandangnya, terutama mata Kwa Tin Siong yang seakan-akan hendak menembus dada anak-nya. Kwa Hong menjadi merah mukanya dan pergi tanpa pamit lagi.
* * *
Apa yang menyebabkan Beng San pergi dari Hoa-san-pai secara diam-diam, .serentak tanpa pannit? Banyak hal yang menyebabkan dia terburu-buru itu. Ternyata selama di tempat pesta tadi dia telah mengalami hal-hal yang nrieng-guncangkan hati dan membingungkan pikirannya. Mula-mula pertemuannya dengan teman Souw Kian Bi, pemuda tinggi tegap yang she Tan itu cukup hebat mengguncang perasaannya karena dia menduga keras bahwa orang itu adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui. Akan tetapi kenapa kalau benar pemuda itu kakak kandungnya, tidak mengenala dia dan malah tadi melihatnya lalu membuang ludah dengan amat menyolok dan menghina? Hal ini perlu penyelidikannya.
Hal ke dua adalah Thio Eng dan Bun Lim Kwi. Dia sudah berjanji kepada men-diang Bun Si Teng untuk mengamat-amati pemuda itu, sekarang dia dapat menduga bahwa Thio Eng tentu akan berusaha membunuh Lim Kwi. la tidak boleh membiarkan Lim Kwi terbunuh tanpa berbuat sesuatu. Apalagi kalau yang hendak membunuh itu Thio Eng, gadis yang..... ah yang dia suka dan yang dia kasihani'' nasibnya. Soal ini pun memerlukan dia turun tangan dan mencarikan pemecahannya.
Hal ketiga yang mengguncangkan benar-benar hatinya adalah kemunculan nona baju merah she Cia tadi. Bukan, sama sekali bukan karena wajah yang cantik jelita melebihi semua wanita yang pernah dilihatnya, bukan karena bentuk tubuh dan tarian-tariannya. Sama sekali bukan! Akan tetapi ketika nona tadi mencabut sepasang pedang, pedang berkilau-kilauan seperti mengeluarkan api, sebuah panjang sebuah pendek, yang membuat matanya silau, adalah..... Liong-cu Siang-kiam yang dicuri orang dari .tatftgan; Lo-tong Souw Lee! Jadi gadis jeiita inikah pencurinya? Berdebar tidak karuan hati Beng San kalau teringat akan hal ini. la harus merampas sepasang pedang itu dan..... kedua pipinya menjadi merah dan terasa mukanya panas kalau dia. teringat akan pesan Lo-tong Souw Lee bahwa dia harus mencari pencuri pedang dan kalau pencuri itu seorang wanita, dia harus mengambilnya sebagai isteri! Dia mengambil istri nona Cia yang seperti bidadari tadi? Hebat"
Hal ke empat yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan yang menyangkut diri Kwee Sin, jago termuda dari Kun-lun-pai itu. Memang harus diakui bahwa orang inilah yang menjadi biang keladi segala pertstiwa permusuhari itu. Dia merasa yakin bahwa jika dia dapat mengajak Kwee Sin ke Hoa-san-pai untuk mempertanggungjawabkan semua tuduhan yang dijatuhkan kepadanya, segala per-musuhan akan menjadi beres. la masih cukup percaya, melihat sikap Kwee Sin ketika datang ke Hoa-san-pai, bahwa jago itu masih mempunyai cukup sifat ksatria untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya atau setidaknya perbuatan yang diperkirakan orang kepadanya.
Empat hal 'inilah, dan keempatnya sama pentingnya, membuat Beng San tidak mau lama-lama membuang waktu di Hoa-san, biarpun di lubuk hatinya dia merasa berat juga harus meninggalkan Hoa-san..... eh, sesungguhnya, meninggal-kan Kwa Hong begitu saja! la sudah merasa cukup berbahagia bahwa sedikit-jpya usahanya yang diharapkan oleh Ciu Goan Ciang dan Tan Hok serta semua pejuang, yakni mencegah Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai bertempur, untuk sementara ini mencapai hasil baik.
Kita mengikuti perjalanan Bun Lim Kwi yang pergi meninggalkan Hoa-san bersama gurunya, Pek Gan Siansu. Ketika mereka tiba di kaki gunung, tiba-tiba Lim Kwi rnenjatuhkan diri berlutut di depan suhunya dan menangis! Pek Gan Siansu berhenti, memandang muridnya itu dan dengan wajah murung kakek tua ini menggeleng-geleng kepalanya, mengelus jenggotnya.
"Lim Kwi, aku tahu bahwa biarpun selama ini kau diam saja tak pernah membantah semua perintahku, namun sesungguhnya kau menyimpan ganjalan hati yang membuat kau banyak menderita batin. Muridku, sekarang di tempat sunyi ini kaukeluarkanlah isi hatimu, berlakulah jujur kepada gurumu. Seorang enghiong (ksatria) harus selalu dapat menjaga satunya pikiran, kata-kata dan perbuatan. Satu saja di antara ketiganya ini tidak cocok, tak patut dia disebut enghiong. Selama ini kata-kata dan per-buatanmu mentaati aku, akan tetapi aku khawatir sekali bahwa pikiranmu berbeda."
"Ampunkan teecu yang tidak berbakti, Suhu. Sesungguhnya telah susah payah teecu memaksa diri untuk berbakti ke-pada Suhu, akan tetapi apa daya, hati dan pikiran teecu selalu tergoda, selalu terbayang wajah ayah dan paman yang telah terbunuh orang. Setelah mendengar semua yang telah diucapkan orang di Hoa-san tadi, teecu berpendapat bahwa kalau ganjalan hati ini belum dilaksana-kan, selalu teecu akan berbakti secara palsu, yaitu tidak terus ke dalam hati."
"Hemmm, lebih baik berterus terang begitu. Kau bukan kanak-kanak lagi, kau sudah dewasa dan tentu saja kau berhak untuk mempunyai pendapat sendirL Se-karang .katakanlah, apa yang hendak kau-lakukan? Apakah kau akan menurutkan nafsu hatimu menyerbu ke Hoa-san-pai dan menantang orang-orang Hoa-san-pai?"
Kakek itu mengerutkan alisnya yang sudah putih semua.
"Tidak sekali-kali teecu berani melangar garis yang sudah diambil oleh Suhu. Teecu menyetujui garis perdamaian itu, bahkan teecu takkan membantah tentang soal usul perjodohan yang diajukan Suhu tadi. Akan tetapi..... Suhu, apakah kematian ayah dan paman harus didiamkan dan dibiarkan begitu saja? Apakah roh mereka akan dapat tenteram melihat teecu berpeluk tangan saja?"
"Hemmm, orang muda...... alangkah jauh perkiraanmu tentang roh! Kalau tidak keliru wawasanku, roh ayah dan pamanmu sampai sekarang masih merasa menyesal mengapa tadinya mereka terseret ke dalam nafsu bermusuhan dan bunuh-membunuh. Agaknya mereka akan lebih menyesal lagi kalau dapat melihat kau melanjutkan kekeliruan mereka sewaktu hidup. Tapi, aku takkan berkeras rnencegah dan merusak hatimu, muridku. Sekarang katakan sejujurnya, apa yang hendak kaulakukan?"
"Teecu tadi sudah banyak mendengar tentang Kwee-susiok (paman guru Kwee) dan teecu berpendapat bahwa hanya Kwee-susiok seoranglah yang akan dapat menerangkan ini semua. Kalau dari mulut Kwee-susiok sendiri....."
”Hemmmmm, jangan kau mcnyebut paman guru kepada Kwee Sin. Aku sudah tidak mengakui dia sebagai muridku lagi!" kata-kata Pek Gan Siansu terdengar keras.
"Baiklah, Suhu. Teecu ingin mendengar dari mulut Kwee Sin sendiri apa yang telah terjadi ketika mendiang ayah dan paman naik ke Hoa-san. Kalau memang benar bahwa ayah dan paman yang salah, yaitu membantu Kwee Sin yang memusuhi Hoa-san-pai, maka sakit hati teecu akan teecu alihkan kepada diri Kwee Sin."
"Hemmm, kau hendak mengajak dia bertanding?"
"Kalau perlu, apa boleh buat, Suhu. Kalau dia mau, hendak teecu ajak dia itu ke Hoa-san-pai agar segala persoalan menjadi beres dan dapat diketahui siapa salah siapa benar."
"Ha-ha-ha, kau hendak berlumba dengan bocah sastrawan yang luar biasa tadi? Heh, kau takkan menang, Lim Kwi!" Ketua Kun-lun-pai tertawa dan agaknya hatinya sudah gembira lagi mendengar keputusan yang diambil muridnya ini. Tadinya dia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau Lim Kwi hendak memusuhi orang Hoa-san-pai secara langsung.
Bun Lim Kwi memandang gurunya, tak percaya.
"Lim Kwi, jangan kaupandang ringan bocah sastrawan tadi. Aku sudah tua, sudah banyak pengalaman. Orang seperti dia itu bukanlah orang sembarangan. Nyali dan sikapnya jelas menonjolkafi keluarbiasaannya. Dia bukan manusia biasa dan percayalah kepadaku, apabila kau bertemu dengan dia, kau boleh men-dengarkan semua nasihatnya. Aku me-nyetujui rencanamu, biar aku pulang ke Kun-lun dan menanti beritamu di sana,. Semoga kau takkan menyeleweng dari-pada jalan kebenaran dan dapat bersikap selamanya sebagai seorang enghiong dari Kun-lun-pai yang harus kaujunjung tinggi nama besarnya." Setelah berkata demikian, Sekali berkelebat kakek ini lenyap dari situ, meninggalkan Lim Kwi yang tahu-tahu kehilangan pedang pusaka yang tadi masih dipegangnya. la segera ber-lutut dan diam-diam merasa amat kagum. Gurunya itu biar tua akan tetapi masih luar biasa sekali kelihaian ilmunya sampai-sampai mengambil kembali pedang pusaka Kun-lu-pai dan pergi dari situ tanpa dia rasai dan tak dapat dia ikbti dengan pandang matanya. Setelah ber-lutut memberi hormat, pemuda ini ba-ngun dan menaHk napas panjang. Aku masih harus banyak belajar untuk dapat mencapai tingkat seperti suhu, pikirnya.
Kemudian dia teringat kepada Kwee Sin. Ke mana dia harus mencari orang itu? la banyak mendengar tentang Kwee Sin bekas paman gurunya itu. Kabarnya selalu muncul bersama Ngo-lian-pai, malah banyak hubungannya dengan tentara Mongol. Ada kabar lagi bahwa Kwee sudah diangkat oleh kerajaan menjadi perwira tinggi tentara Kerajaan Mongol Ngo-lian-pai atau Ngo-lian-kauw adalah partai rahasia yang tidak mempunyai markas tertentu, maka takkan mudah fnencari sarang partai ini. Lebih baik kalau mencari berita atau keterangan tentang Kwee Sin di pusat tentara Mo-ngol. Di mana lagi kalau tidak di kota raja? Bun Lim Kwi maklum akan bahayanya kalau berani memasuki kota raja, akan tetapi dia sudah bertekat bulat untuk mencari Kwee Sin, maka tanpa pedulikan segala ancaman bahaya, berang-katlah dia menuju ke kota raja.
Tapi baru saja dia keluar dari daerah berhutan di kaki Gunung Hoa-san itu, sesosok bayangan hijau berkelebat di-barengi bentakan, "Orang she Bun, bersiaplah menebus dosa ayahmu!" Dan di depannya sudah berdiri gadis cantik ber-baju hijau yang tadi menyerangnya di puncak Hoa-san! Gadis itu kini dengan tnuka agak pucat telah berdiri meng-hadangnya dengan pedang tajam melin-tang di dada, pedang yang ujungnya su-dah buntung sedikit oleh pedang nona baju merah tadi.
Bun Lim Kwi menarik napas panjang, wajahnya yang tampan menjadi muram, "Nona," ia menjura sebagai tanda peng-hormatan dan suaranya mengandung ke-sedihan besar, kenapa Nona memusuhi saya? Apakah dosaku dan apa pula ge-rangan kesalahan mendiang ayahku yang sudah tidak ada di dunia ini?"
Thio Eng, gadis itu, menggigit bibirnya dengan gemas, matanya memanielr-kan sinar kemarahan. "Dua saudara Bun dari Kun-lun-pai telah membunuh ayahku ketika aku masih kecil."
"Nona, kalau ayah dan pamanku yang membunuh ayahmu, mengapa kau memusuhi aku? Apa salahku dalam hal ini bantahnya.
"Aku hendak membalas kepada ayah dan pamanmu tapi mereka sudah maw-pus, kaulah anaknya yang harus mempertanggungjawabkan pembalasannya. Orang she Bun, tak usah banyak cakap. Aku sudah cukup bersabar, cabut pedangmu dan mari kita lanjutkan pertempuran tadi!" la sudah marah sekali dan ppdang di tangannya sudah gemetar.
Tiba-tiba Lim Kwi merasa tubuhnya lemas. Entah mengapa, melihat wajah nona ini, melihat sinar matanya yang redup dan sayu penuh kedukaan, kekerasan hatinya mencair seperti lilin dekat api. Timbul rasa kasihan di hatinya, bahkan ada rasa suka yang timbul karena persamaan penderitaan. la menganggap dara ini senasib, ayah dibunuh orang, hidup menderita dendam. la tersenyum pahit, merasa betapa sama nasibnya dengan nona ini akan tetapi dia menyalah-kan sikap Thio Eng. Andaikata dia ber-pendapat seperti nona ini lalu memusuhi 'anak-anak dari musuh yang membunuh ayahnya, tentu dia tidak akan sudi di-calonkan sebagai jodoh seorang gadis yang masih keturunan musuh-musuh pembunuh ayahnya! Juga timbul ingatannya bahwa segala persoalan, seperti juga .persoalannya sendiri, harus diselidiki «secara teliti. Andaikata benar ayah dan pamannya membunuh ayah gadis ^ i.tu, pasti ada sebab-sebabnya.
"Nona, kalau ayah dan pamanku be-nar-benar telah membunuh ayahmu, sudah dapat dipastikan bahwa ayahmu melakukan sesuatu yang tidak baik. Ayah dan pamanku adalah dua orang tertua dari Kun^lun Sam-hengte yang bernama bersih tak ternoda."
Wajah yang agak pucat dari nona ini sekarang berubah merah sekali, matanya berkilat-kilat. "Apa kaukata? Tidak peduli mereka itu Kun-lun Sam-hengte atau pendekar-pendekar dari langit sekalipun, kalau sudah bermusuhan dengan ayahku sudah pasti kesalahan terletak di tangan ayah dan pamanmu! Ayah adalah seorang patriot besar, seorang pejuang. Siapa di antara para pejuang yang tak pernah mendengar nama besar Thio San? Ke-salahannya tentu terletak pada ayah dan pamanmu. Kun-lun Sam-hengte? Huh, buktinya yang termuda juga bukan orang baik-baik!" Setelah berkata deinikian, pedangnya bergerak menyerang pemuda itu.
Serangan ini hebat, cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Bun Lim Kwi dapat melompat ke samping dan rJienghindarkan diri. "Tahan dulu, Nona....." Namun no-na yang sydah marah itu makin penasaran dan menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi maklum bahwa menghadap»? nona ini yang sudah dia kenal kepandaiannya bermain pedang yang hebat, akan berbahaya sekali kalau dia bertangar» kosong. Terpaksa dia mencabut keluar; pedangnya yang juga sudah buntung ujung-nya dan menangkis. Bunga api berpijar ketika sepasang pedang itu bertemu.
"Nona, aku..... aku maklum akan isi hatimu. Keadaanmu sama dengan keadaan-ku. Aku maklum akan penderitaanmu, . akan dendammu....."
"Ayahku karena repot tidak dapat berkunjung ke Hoa-san. Oleh karena itu, aku mewakili keluarga Cia dari selatan sengaja berkunjung mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai. Selain itu, juga ayah menyuruh aku memberi tahu kepada se-mua orang gagah yang berkumpul ini hari di Hoa-san-pai, bahwa sebagai pe-megang gelar Raja Pedang terakhir, ayah menetapkan hari perlombaan gelar Raja Pedang satu tahun kemudian dihitung mulai bulan ini, pada pertengahan bulan purnama, di puncak Thai-san. Nah, aku sudah berbicara, selamat tinggal, Lian Bu totiang!" Suara gadis jelita ini selain angkuh, juga amat nyaring dan jelas, membuat semua tamu melongo kagum.
"Ayaaa, kiranya anak Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tak Terlawan) Cia Hui Gan? Bagiis, sudah lama pinto ingin berkenalan dengan ilrnu pedangnya!" kata» kata ini disusul meloncatnya dua orang kakek berkepala gundul. Mereka ini ada-lah dua orang hweslo yang duduk di ruang tamu kehormatan dan yang semenjak tadi duduk diam saja. Seperti diceritakan di bagian depan, di dal&m ruartg tamtti kehormatan ini selain duduk para pimpinan partai besar, juga duduk dua orang hwesio ini, dua orang kakek petani dan tiga orang tosu. Sejak tadi tujuh orang' kakek ini duduk diam dan menonton sambil mendengarkarf saja, akar» tetapi begitu muncul nona baju merah ini, mereka kelihatan memperhatikan sekali. Kini dua orang hwesio itu melompat dan tahu-tahu mereka telah berdiri di depan nona tadi sambil menggerak-gerakkan tongkat baja masing-masing yang panjang dan berat.
Nona itu nnenggerakkan alisnya yang kecil hitam, matanya menyambar-nyambar lalu ia tersenyum. Senyum yang manis sekali akan tetapi matanya mengerling tajam laksana pisau. la memperhatikan kedudukan kaki dan cara dua orang hwesio memegang tongkat, lalu berkata.
"Agaknya Hwesio Hitam dan Hwesio Putih yang menegurku. Kalian berdua pernah dirobohkan dalam lima jurus oleh ayah, apa hubungannya dengan aku? Siapa yang ingin menonton pameranmu tongkat hitam dan putih itu?" Suaranya masih nyaring tinggi, mengandung penuh ejekan dan tidak memandang mata sedikit pun juga.
Dua orang hwesio itu diam-diam terkejut. Lima tahun yang lalu mereka per-nah dirobohkan dalam lima jurus saja oleh Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan. Ke-tika itu tentu dara ini masih kecil, ke-napa sekarang sekali lihat saja sudah tahu? Mereka ini adalah hwesio-hwesio yang berilmu tinggi, tokoh pelarian dari Siauw-lim-pai yang memiliki ilmu tong-kat tingkat tinggi. Memang, karena kehebatan ilmu tongkatnya, maka keduanya dijuluki orang Hek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Hitam) dan Pek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Putih). Karena julukan ini pula maka sengaja Hek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja hitanr» sedangkan Pek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja. putih. Mereka sudah kenal dengan Lian' Bu Tojin yang menganggap mereka orang setingkat ka-rena memang ilmu silat mereka sudah amat tinggi, maka mereka diberi tempaf di ruang tamu kehormatan.
"Ha-ha-ha, Nona. Kau sombong sekali. Agaknya kau mengandalkan kepandaiar» ayahmu untuk menjual lagak di sini. Pinceng (aku) berdua bukan hendak me-lawan anak kecil, akan tetapi mengingat bahwa kau puteri tunggal Raja Pedang tentu ilmu pedangmu hebat. Kami hendak mencoba untuk mengalahkan pedang"? pedangmu dalam lima jurus pula. Beranikah kau menghadapi kami?" kata Pek-tung Hwesio. Terang bahwa hwesio ini hanya bermaksud menebus penghinaan dahulu dan hanya ingin mengalahkar» nona itu dalam lima jurus sehingga kalau hal ini terjadi, sedikitnya dia dapat membersihkan mukanya.
Nona itu mencibirkan mulutnya. Kalian dua hwesio tua bangka hanya namanya saja menakutkan, tongkat-tongkat macam ini hanya untuk menakut-nakuti anjing dan maling kecil. Mengapa aku takut? Tapi kedatanganku kesini bukan Untuk melayani segala macam .hwesio tua bangka tak tahu malu." Benar-benar galak nona ini, pikir Beng San mengerutkan keninenya. Masa terhadap dua orang hwesio tua sama sekali tidak menaruh hormat? Galak dan kurang ajar!
Dua orang hwesio itu marah sekali, namun sebagai orang-orang tua mereka dapat menahan kemarahan, malu untuk mengumbar nafsu marah di tempat umum. Bagus, kalau begitu!" kata Pek-tung Hwesio. "Coba kaulayani kami selama lima jurus, Nona'"
Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, dua batang tongkat panjang yang amat berat itu sudah melayang ke atas, menyambar-nyambar mengeluarkan suara mengaung. Beng San terkejut dan ngeri juga. Semua tamu juga merasa ngeri bahkan Lian Bu Tojin berseru.
"Harap Ji-wi (saudara berdua) maaf-kan seorang muda!"
Tidak sangka sama sekali bahwa ucapan ini diterima dengan marah oleh nona itu. Matanya berapi-api dan kedua tangannya bergerak. "Srattt." Semua orang menjadi silau ketika nona itu sekarang telah mencabut keluar sepasang pedang yang amat tajam sampai sinarnya ber-kilauan. Kemudian nona itu berkelebat, terdengar suaranya, "Lian Bu totiang, jangan pandang rendah orang muda!" Kemudian ia menari! Ya, menari di arrtara sambaran-sambaran dua batang tongkat itu. Gerakannya indah bukan main, tidak seperti orang bersilat, melainkan seperti orang menari-nari. Pedangnya bermain menjadi dua gulung sinar seperti bunga, ikat pinggangnya yang merah itu bergulung-gulung pula seperti hidup, tubuh-nya bergerak-gerak dengan indahnya. Beng San sampai melongo. Baginya yang sudah memiliki pandang mata tajam sekali, maklum bahwa biarpun nona itu menitikberatkan gerakan untuk keindahan, '' namun justeru di dalann keindahan inilah letaknya kehebatan dan kelihaian ilmu pedang itu'. Hanya dengan tekukan pinggang yang indah, sambaran tongkat putih ke arah tubuhnya dapat dihindarkan, dan hanya dengan mengembangkan pedang di kedua tangan dan meloncat lincah ke atas, serampangan tongkat hitam mengenai angin. Untuk menambah keindahan yang tiada bandingnya ini, si nona baju merah masih menambah dengan senyum simpul yang manis menarik.
"Heee, mana ada aturan dua orang ! laki-laki mengeroyok seorang wanita?" Beng San berteriak-teriak tanpa menyatakan bahwa mereka sudah bertempur sampai sepuluh jurus lebih. la bersikap ketolol-tololan.
Nona baju merah itu tertawa. "Dua hwesio kerbau! Kalian mau merobohkan aku dalam lima jurus, sekarang sudah belasan jurus. Kiranya aku tidak segoblok kalian ketika roboh oleh ayah dalann lima jurus." Tiba-tiba sepasang pedangnya bergerak cepat sekali setelah saling bentur mengeluarkan api berpijar. Bunga api ini menyambar ke arah muka dua orang lawannya yang menjadi kaget dan lebih gugup ketika tahu-tahu sepasang pedang itu sudah meluncur mendekati leher mereka. Cepat mereka membuang diri ke belakang dan....."trang! tranggg!" Tongkat mereka ternyata telah terbabat putus ketika mereka dalam gugup tadi tidate mengerahkan tenaga.
Si nona baju merah menjura ke arah Lian Bu Tojin setelah tanpa dapat diikuti lagi dengan mata ta telah menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian berkata keras, "Selamat tinggal!" Tubuhnya lenyap, yang nampak hanyalah ba-yangan merah melesat keluar dari tempat itu.
Dua orang hwesio itu menjadi pucat sekali mukanya. Mereka melempar sisa potongan tongkat ke atas tanah, lalu menjura kepada Lian Bu Tojin dan k^luar dengan langkah lebar.
Sernentara itu, setelah ta.di berhenti sebentar menonton pertandingan ini, Pek Gan Siansu yang tadi sudah berpamit, lalu mengajak Bun Lim Kwi melanjutkan perjalanan, keluar dari tempat itu. Thio Eng dengan sinar mata marah segera mengejarnya, pergi tanpa pamit.
Lian Bu Tojin menarik napas panjang berulang-ulang, malah tidak peduli lagi ketika Giam Ki juga tertawa-tawa dan bertindak keluar dengan langkah panjang. Kwa Tin Siong berusaha keras untuk hnelanjutkan perayaan itu, dan semua hidangan dapat juga dibagi-bagikan biar-pun keadaan pesta tidak semeriah tadi.
Kwa Hong dengan penuh keheranan melihat bahwa di situ tidak ada lagi bayangan Beng San yang tadi menimbulkan heboh. Pemuda ini sudah lenyap pula» entah ke mana pula larinya. Kwa Hong.- yang menjadi penasaran segera mencari sampai ke belakang, sampai ke tempat di mana pemuda itu menginap, tapi alangkah herannya katika ia melihat bahwa bungkusan pakaian pemuda itu pun sudah lenyap pula!
"Ah dia aneh sekali...,." pikir dara ini kecewa, "aneh dan gagah bukan main. Alangkah beraninya dia tadi..... hemrnm, sayang tidak pandai ilmu silat....." la melamun membayangkan betapa akan mengagumkan kalau seorang pemuda dengan keberanian sebesar itu memiliki kepandaian ilmu silat pula. Ketika dengan kecewa ia hendak meninggalkan kamar Beng San, ia tertarik oleh sepotong keras di atas meja. Cepat di-ambilnya kertas itu dan ternyata ada tulisannya, tulisannya tangan yang jelas dan indah, tulisan tangan Beng San.
BENG-SAN BERJANJI MENCARl KWEE SIN.
Cepat Kwa Hong membawa surat itu kepada ayahnya dan memperlihatkannya. Wajah Kwa Tin Siong berubah. "Anak itu aneh, sepak terjangnya tak dapat diduga semula. Bagaimana mungkin dia dapat niembawa Kwee Sin ke sini?" Betapapun juga dia memperlihatkan surat itu kepada gurunya yang menarik napas panjang.
"Memang bocah luar biasa Beng San itu. Kita Hoa-san-pai hari ini berhutang budi kepadanya yang berhasil mencegah pertempuran. Kalau dia bisa membawa Kwee Sin ke sini, budinya bertumpuk. Tapi..... dapatkah kiranya dia berhasil?"
"Meragukan sekali, Suhu," kata Kwa Tin Siong, juga Liem Sian Hwa dan para murid Hoa-san-pai tidak percaya kalau Beng San akan berhasil membawa musuh besar itu ke Hoa-san. Akan tetapi tiba-tiba Kwa Hong berkata, suaranya nyaring dan matanya bersinar-sinar.
"Aku merasa yakin bahwa pada suatu hari dia akan datang bersama Kwee Sin ke sini!" Semua mata memandangnya, terutama mata Kwa Tin Siong yang seakan-akan hendak menembus dada anak-nya. Kwa Hong menjadi merah mukanya dan pergi tanpa pamit lagi.
* * *
Apa yang menyebabkan Beng San pergi dari Hoa-san-pai secara diam-diam, .serentak tanpa pannit? Banyak hal yang menyebabkan dia terburu-buru itu. Ternyata selama di tempat pesta tadi dia telah mengalami hal-hal yang nrieng-guncangkan hati dan membingungkan pikirannya. Mula-mula pertemuannya dengan teman Souw Kian Bi, pemuda tinggi tegap yang she Tan itu cukup hebat mengguncang perasaannya karena dia menduga keras bahwa orang itu adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui. Akan tetapi kenapa kalau benar pemuda itu kakak kandungnya, tidak mengenala dia dan malah tadi melihatnya lalu membuang ludah dengan amat menyolok dan menghina? Hal ini perlu penyelidikannya.
Hal ke dua adalah Thio Eng dan Bun Lim Kwi. Dia sudah berjanji kepada men-diang Bun Si Teng untuk mengamat-amati pemuda itu, sekarang dia dapat menduga bahwa Thio Eng tentu akan berusaha membunuh Lim Kwi. la tidak boleh membiarkan Lim Kwi terbunuh tanpa berbuat sesuatu. Apalagi kalau yang hendak membunuh itu Thio Eng, gadis yang..... ah yang dia suka dan yang dia kasihani'' nasibnya. Soal ini pun memerlukan dia turun tangan dan mencarikan pemecahannya.
Hal ketiga yang mengguncangkan benar-benar hatinya adalah kemunculan nona baju merah she Cia tadi. Bukan, sama sekali bukan karena wajah yang cantik jelita melebihi semua wanita yang pernah dilihatnya, bukan karena bentuk tubuh dan tarian-tariannya. Sama sekali bukan! Akan tetapi ketika nona tadi mencabut sepasang pedang, pedang berkilau-kilauan seperti mengeluarkan api, sebuah panjang sebuah pendek, yang membuat matanya silau, adalah..... Liong-cu Siang-kiam yang dicuri orang dari .tatftgan; Lo-tong Souw Lee! Jadi gadis jeiita inikah pencurinya? Berdebar tidak karuan hati Beng San kalau teringat akan hal ini. la harus merampas sepasang pedang itu dan..... kedua pipinya menjadi merah dan terasa mukanya panas kalau dia. teringat akan pesan Lo-tong Souw Lee bahwa dia harus mencari pencuri pedang dan kalau pencuri itu seorang wanita, dia harus mengambilnya sebagai isteri! Dia mengambil istri nona Cia yang seperti bidadari tadi? Hebat"
Hal ke empat yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan yang menyangkut diri Kwee Sin, jago termuda dari Kun-lun-pai itu. Memang harus diakui bahwa orang inilah yang menjadi biang keladi segala pertstiwa permusuhari itu. Dia merasa yakin bahwa jika dia dapat mengajak Kwee Sin ke Hoa-san-pai untuk mempertanggungjawabkan semua tuduhan yang dijatuhkan kepadanya, segala per-musuhan akan menjadi beres. la masih cukup percaya, melihat sikap Kwee Sin ketika datang ke Hoa-san-pai, bahwa jago itu masih mempunyai cukup sifat ksatria untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya atau setidaknya perbuatan yang diperkirakan orang kepadanya.
Empat hal 'inilah, dan keempatnya sama pentingnya, membuat Beng San tidak mau lama-lama membuang waktu di Hoa-san, biarpun di lubuk hatinya dia merasa berat juga harus meninggalkan Hoa-san..... eh, sesungguhnya, meninggal-kan Kwa Hong begitu saja! la sudah merasa cukup berbahagia bahwa sedikit-jpya usahanya yang diharapkan oleh Ciu Goan Ciang dan Tan Hok serta semua pejuang, yakni mencegah Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai bertempur, untuk sementara ini mencapai hasil baik.
Kita mengikuti perjalanan Bun Lim Kwi yang pergi meninggalkan Hoa-san bersama gurunya, Pek Gan Siansu. Ketika mereka tiba di kaki gunung, tiba-tiba Lim Kwi rnenjatuhkan diri berlutut di depan suhunya dan menangis! Pek Gan Siansu berhenti, memandang muridnya itu dan dengan wajah murung kakek tua ini menggeleng-geleng kepalanya, mengelus jenggotnya.
"Lim Kwi, aku tahu bahwa biarpun selama ini kau diam saja tak pernah membantah semua perintahku, namun sesungguhnya kau menyimpan ganjalan hati yang membuat kau banyak menderita batin. Muridku, sekarang di tempat sunyi ini kaukeluarkanlah isi hatimu, berlakulah jujur kepada gurumu. Seorang enghiong (ksatria) harus selalu dapat menjaga satunya pikiran, kata-kata dan perbuatan. Satu saja di antara ketiganya ini tidak cocok, tak patut dia disebut enghiong. Selama ini kata-kata dan per-buatanmu mentaati aku, akan tetapi aku khawatir sekali bahwa pikiranmu berbeda."
"Ampunkan teecu yang tidak berbakti, Suhu. Sesungguhnya telah susah payah teecu memaksa diri untuk berbakti ke-pada Suhu, akan tetapi apa daya, hati dan pikiran teecu selalu tergoda, selalu terbayang wajah ayah dan paman yang telah terbunuh orang. Setelah mendengar semua yang telah diucapkan orang di Hoa-san tadi, teecu berpendapat bahwa kalau ganjalan hati ini belum dilaksana-kan, selalu teecu akan berbakti secara palsu, yaitu tidak terus ke dalam hati."
"Hemmm, lebih baik berterus terang begitu. Kau bukan kanak-kanak lagi, kau sudah dewasa dan tentu saja kau berhak untuk mempunyai pendapat sendirL Se-karang .katakanlah, apa yang hendak kau-lakukan? Apakah kau akan menurutkan nafsu hatimu menyerbu ke Hoa-san-pai dan menantang orang-orang Hoa-san-pai?"
Kakek itu mengerutkan alisnya yang sudah putih semua.
"Tidak sekali-kali teecu berani melangar garis yang sudah diambil oleh Suhu. Teecu menyetujui garis perdamaian itu, bahkan teecu takkan membantah tentang soal usul perjodohan yang diajukan Suhu tadi. Akan tetapi..... Suhu, apakah kematian ayah dan paman harus didiamkan dan dibiarkan begitu saja? Apakah roh mereka akan dapat tenteram melihat teecu berpeluk tangan saja?"
"Hemmm, orang muda...... alangkah jauh perkiraanmu tentang roh! Kalau tidak keliru wawasanku, roh ayah dan pamanmu sampai sekarang masih merasa menyesal mengapa tadinya mereka terseret ke dalam nafsu bermusuhan dan bunuh-membunuh. Agaknya mereka akan lebih menyesal lagi kalau dapat melihat kau melanjutkan kekeliruan mereka sewaktu hidup. Tapi, aku takkan berkeras rnencegah dan merusak hatimu, muridku. Sekarang katakan sejujurnya, apa yang hendak kaulakukan?"
"Teecu tadi sudah banyak mendengar tentang Kwee-susiok (paman guru Kwee) dan teecu berpendapat bahwa hanya Kwee-susiok seoranglah yang akan dapat menerangkan ini semua. Kalau dari mulut Kwee-susiok sendiri....."
”Hemmmmm, jangan kau mcnyebut paman guru kepada Kwee Sin. Aku sudah tidak mengakui dia sebagai muridku lagi!" kata-kata Pek Gan Siansu terdengar keras.
"Baiklah, Suhu. Teecu ingin mendengar dari mulut Kwee Sin sendiri apa yang telah terjadi ketika mendiang ayah dan paman naik ke Hoa-san. Kalau memang benar bahwa ayah dan paman yang salah, yaitu membantu Kwee Sin yang memusuhi Hoa-san-pai, maka sakit hati teecu akan teecu alihkan kepada diri Kwee Sin."
"Hemmm, kau hendak mengajak dia bertanding?"
"Kalau perlu, apa boleh buat, Suhu. Kalau dia mau, hendak teecu ajak dia itu ke Hoa-san-pai agar segala persoalan menjadi beres dan dapat diketahui siapa salah siapa benar."
"Ha-ha-ha, kau hendak berlumba dengan bocah sastrawan yang luar biasa tadi? Heh, kau takkan menang, Lim Kwi!" Ketua Kun-lun-pai tertawa dan agaknya hatinya sudah gembira lagi mendengar keputusan yang diambil muridnya ini. Tadinya dia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau Lim Kwi hendak memusuhi orang Hoa-san-pai secara langsung.
Bun Lim Kwi memandang gurunya, tak percaya.
"Lim Kwi, jangan kaupandang ringan bocah sastrawan tadi. Aku sudah tua, sudah banyak pengalaman. Orang seperti dia itu bukanlah orang sembarangan. Nyali dan sikapnya jelas menonjolkafi keluarbiasaannya. Dia bukan manusia biasa dan percayalah kepadaku, apabila kau bertemu dengan dia, kau boleh men-dengarkan semua nasihatnya. Aku me-nyetujui rencanamu, biar aku pulang ke Kun-lun dan menanti beritamu di sana,. Semoga kau takkan menyeleweng dari-pada jalan kebenaran dan dapat bersikap selamanya sebagai seorang enghiong dari Kun-lun-pai yang harus kaujunjung tinggi nama besarnya." Setelah berkata demikian, Sekali berkelebat kakek ini lenyap dari situ, meninggalkan Lim Kwi yang tahu-tahu kehilangan pedang pusaka yang tadi masih dipegangnya. la segera ber-lutut dan diam-diam merasa amat kagum. Gurunya itu biar tua akan tetapi masih luar biasa sekali kelihaian ilmunya sampai-sampai mengambil kembali pedang pusaka Kun-lu-pai dan pergi dari situ tanpa dia rasai dan tak dapat dia ikbti dengan pandang matanya. Setelah ber-lutut memberi hormat, pemuda ini ba-ngun dan menaHk napas panjang. Aku masih harus banyak belajar untuk dapat mencapai tingkat seperti suhu, pikirnya.
Kemudian dia teringat kepada Kwee Sin. Ke mana dia harus mencari orang itu? la banyak mendengar tentang Kwee Sin bekas paman gurunya itu. Kabarnya selalu muncul bersama Ngo-lian-pai, malah banyak hubungannya dengan tentara Mongol. Ada kabar lagi bahwa Kwee sudah diangkat oleh kerajaan menjadi perwira tinggi tentara Kerajaan Mongol Ngo-lian-pai atau Ngo-lian-kauw adalah partai rahasia yang tidak mempunyai markas tertentu, maka takkan mudah fnencari sarang partai ini. Lebih baik kalau mencari berita atau keterangan tentang Kwee Sin di pusat tentara Mo-ngol. Di mana lagi kalau tidak di kota raja? Bun Lim Kwi maklum akan bahayanya kalau berani memasuki kota raja, akan tetapi dia sudah bertekat bulat untuk mencari Kwee Sin, maka tanpa pedulikan segala ancaman bahaya, berang-katlah dia menuju ke kota raja.
Tapi baru saja dia keluar dari daerah berhutan di kaki Gunung Hoa-san itu, sesosok bayangan hijau berkelebat di-barengi bentakan, "Orang she Bun, bersiaplah menebus dosa ayahmu!" Dan di depannya sudah berdiri gadis cantik ber-baju hijau yang tadi menyerangnya di puncak Hoa-san! Gadis itu kini dengan tnuka agak pucat telah berdiri meng-hadangnya dengan pedang tajam melin-tang di dada, pedang yang ujungnya su-dah buntung sedikit oleh pedang nona baju merah tadi.
Bun Lim Kwi menarik napas panjang, wajahnya yang tampan menjadi muram, "Nona," ia menjura sebagai tanda peng-hormatan dan suaranya mengandung ke-sedihan besar, kenapa Nona memusuhi saya? Apakah dosaku dan apa pula ge-rangan kesalahan mendiang ayahku yang sudah tidak ada di dunia ini?"
Thio Eng, gadis itu, menggigit bibirnya dengan gemas, matanya memanielr-kan sinar kemarahan. "Dua saudara Bun dari Kun-lun-pai telah membunuh ayahku ketika aku masih kecil."
"Nona, kalau ayah dan pamanku yang membunuh ayahmu, mengapa kau memusuhi aku? Apa salahku dalam hal ini bantahnya.
"Aku hendak membalas kepada ayah dan pamanmu tapi mereka sudah maw-pus, kaulah anaknya yang harus mempertanggungjawabkan pembalasannya. Orang she Bun, tak usah banyak cakap. Aku sudah cukup bersabar, cabut pedangmu dan mari kita lanjutkan pertempuran tadi!" la sudah marah sekali dan ppdang di tangannya sudah gemetar.
Tiba-tiba Lim Kwi merasa tubuhnya lemas. Entah mengapa, melihat wajah nona ini, melihat sinar matanya yang redup dan sayu penuh kedukaan, kekerasan hatinya mencair seperti lilin dekat api. Timbul rasa kasihan di hatinya, bahkan ada rasa suka yang timbul karena persamaan penderitaan. la menganggap dara ini senasib, ayah dibunuh orang, hidup menderita dendam. la tersenyum pahit, merasa betapa sama nasibnya dengan nona ini akan tetapi dia menyalah-kan sikap Thio Eng. Andaikata dia ber-pendapat seperti nona ini lalu memusuhi 'anak-anak dari musuh yang membunuh ayahnya, tentu dia tidak akan sudi di-calonkan sebagai jodoh seorang gadis yang masih keturunan musuh-musuh pembunuh ayahnya! Juga timbul ingatannya bahwa segala persoalan, seperti juga .persoalannya sendiri, harus diselidiki «secara teliti. Andaikata benar ayah dan pamannya membunuh ayah gadis ^ i.tu, pasti ada sebab-sebabnya.
"Nona, kalau ayah dan pamanku be-nar-benar telah membunuh ayahmu, sudah dapat dipastikan bahwa ayahmu melakukan sesuatu yang tidak baik. Ayah dan pamanku adalah dua orang tertua dari Kun^lun Sam-hengte yang bernama bersih tak ternoda."
Wajah yang agak pucat dari nona ini sekarang berubah merah sekali, matanya berkilat-kilat. "Apa kaukata? Tidak peduli mereka itu Kun-lun Sam-hengte atau pendekar-pendekar dari langit sekalipun, kalau sudah bermusuhan dengan ayahku sudah pasti kesalahan terletak di tangan ayah dan pamanmu! Ayah adalah seorang patriot besar, seorang pejuang. Siapa di antara para pejuang yang tak pernah mendengar nama besar Thio San? Ke-salahannya tentu terletak pada ayah dan pamanmu. Kun-lun Sam-hengte? Huh, buktinya yang termuda juga bukan orang baik-baik!" Setelah berkata deinikian, pedangnya bergerak menyerang pemuda itu.
Serangan ini hebat, cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Bun Lim Kwi dapat melompat ke samping dan rJienghindarkan diri. "Tahan dulu, Nona....." Namun no-na yang sydah marah itu makin penasaran dan menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi maklum bahwa menghadap»? nona ini yang sudah dia kenal kepandaiannya bermain pedang yang hebat, akan berbahaya sekali kalau dia bertangar» kosong. Terpaksa dia mencabut keluar; pedangnya yang juga sudah buntung ujung-nya dan menangkis. Bunga api berpijar ketika sepasang pedang itu bertemu.
"Nona, aku..... aku maklum akan isi hatimu. Keadaanmu sama dengan keadaan-ku. Aku maklum akan penderitaanmu, . akan dendammu....."
Comments