Skip to main content

raja-pedang-35-kho-ping-hoo

Beng San menggendong'buntalanpa-' kaiannya, lalu menoleh kepada nona yang masih duduk di lantai perahu. "Nona, aku berterima kasih sekali atas semua per-tolonganrnu. Pertolongan menyeberangkan aku darr terutama sekali..... pertolongan yang kauberikan ketika aku tenggelam. Nona, keadaan sedang kacau-balau, dalam perjalananku aku melihat perang dan maut merajalela. Kau kenapa seorang diri di sini berperahu? Di mana orang tuamu? Kurasa bagi seorang dara remaja seperti engkau ini, amat berbahaya hidup seorang diri di sini, lebih baik kau pu-lang dan berdiam di rumah dengan ayah bundamu....." Ucapan yang keluar dari hati yang tulus dari Beng San ini ter-dengar nyata, dengan suara yang me-ngandung penuh kejujuran seperti nasi-hat seorang yang lebih tua kepada orang muda.



 



Mendengar ini, sesaat gadis itu bengong, memandang kepada Beng San 1 dengan muka menengadah, sayu, kemudi-an tiba-tiba air matanya bercucuran dan la menangis terisak-isak, menelungkup di atas papan perahu' Beng San terkejut sekaii, tidak jadi melangkah keluar perahu, lalu berlutut di depan gadis itu. buaranya tergetar penuh keharuan ketika la berhasij membuka mulut.



 



"Nona..... kau kenapakah.....? Jangan menangis, ahhh..... maafkan kalau tadi aku berkata lancang menyinggung perasaanmu....."



 



Tangis dara itu makin menjadi, sam-pai bergoyang-goyang pundaknya, sedih sekali ia menangis tersedu-sedan. Sa-king besarnya rasa haru dan kasihan, tanpa disadari lagi Beng San mengelus-elus kepala dara itu, mengeluarkan kata-kata menghibur.



 



"Aku sebatangkara..... ah, nasibku sengsara....." Gadis itu bangun duduk, dan di lain saat la telah menjatuhkan diri di atas dada Beng San yang terpaksa memeluknya dengan bingung.



 



"Tenanglah..,.. diamlah..... Nona, jangan menangis. Ah, kau membuat aku ikut bersedih....." la tak dapat melanjut-kan kata-katanya, kerongkongannya se-rasa tersumbat. Memang pada dasarnya Beng San berwatak mulia, mudah me-naruh kasihan kepada lain orang.



 



Sambil menangis di atas dada Beng San, gadis itu berkata lirih, terputus-putus, "..... ibuku sudah meninggal..... ayah terbunuh orang..... aku yatim piatu, sebatangkara..... tiada orang tiada tem-pat tinggal..... selalu menerima hinaan orang..... baru kau..... baru kau seorang | yang baik kepadaku....."



 



"Hemmm, kasihan....." dan tiba-tiba Beng San menjadi begitu sedih sampai titik air mata membasahi pipinya sendiri. la teringat akan keadaan diri sendiri, yang juga sebatangkara, tidak tahu di mana adanya orang tuanya. "Sabarlah, Nona. Tidak hanya kau seorang di dunia ini yang bernasib seperti ini. Aku pun sebatangkara, aku pun hidup seorang diri di dunia yang luas ini."



 



Keduanya saling peluk, gadis itu ma- j| sih terisak-isak dan Beng San mengelus-elus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu. Hatinya tidak karuan rasanya. Baru kali ini dia mengalami keadaan seperti ini yang amat membingungkan, yang membuat jantungnya berloncatan tidak menentu.



 



"Kau baik sekali..... kau baik se-kali....." berkali-kali gadis itu berbisik.



 



"Kau pun orang yang baik, Nona. Kau baik dan patut dikasihani. Aku takkan melupakanmu selama hidupku. Siapakah namamu, Nona? Biarlah nama itu akan selalu berada di ingatanku dan aku ber-janji akan membantumu mencari orang she Bun itu asal kau suka memberi tahu nama lengkapnya dan bagaimana orang-nya."



 



Tiba-tiba gadis itu melepaskan pelukan Beng San, duduk menjauhi dan meng-usap air matanya. Matanya yang bagus itu menjadi kemerahan, pipinya lebih merah lagi.



 



"Aku tidak tanya namamu, kau pun tak usah tahu namaku....."



 



"Bagaimana ini? Kau tentu punya nama, bukan?"



 



"Panggll saja aku Eng..... sudahlah, ,;! kaukenal aku sebagai dara baju hijau bernama Eng yang sengsara, sebatang-kara. Aku mengenal engkau sebagai orang she Tan yang baik hati, dan..... alangkah sayangnya..... orang she Tan yang baik hati tapi yang lemah..... ah, kalau saja kau pandai silat..... pergilah, pergilah tinggalkan aku seorang. diri....." la me-nangis lagi.



 



Beng San bangkit berdiri, menarik napas panjang. "Baiklah, Nona Eng. Ataukah lebih tepat kusebut Adik Eng? Aku pergi, selamat tinggal dan mudah-mudahan kita akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik." la keluar dari perahu itu dan tak lama kemudian Beng San sudah berjalan pergi, tidak tahu betapa gadis baju hijau itu sudah duduk memandangnya dari jauh dengan mata sayu.



Dengan bekal pakaian dan uang pem-berian orang-orang Pek-lian-pai kepada-nya, Beng San dapat rnelakukan perjalan-an sebagai seorang pelancong yang pan-tas. Benar saja, dengan pakaian seperti seorang pemuda terpelajar, dia tidak mengalami gangguan-gangguan di tengah perjalanan. Lima belas hari kemudian dia telah tiba di daerah Hoa-san dan be-berapa hari mendaki pegunungan, dia akhirnya tiba di puncak Hoa-san yang dijadikan pusat dari perkumpulan Hoa-san-pai. Hatinya berdebar ketika dia melihat tempat yang sudah dikenalnya baik ketika delapan tahun yang lalu itu. Dari jauh dia melihat betapa tempat itu sudah mulai dihias. Banyak sekali tosu mendirikan bangunan darurat yang besar. Ramai orang bekerja. Beng San sengaja mengambil jalan memutar. la hendak memasuki Hoa-san-pai dari belakang, menuju ke taman bunga di mana dahulu dia bermain-main dengan Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok. Apa-kah mereka berada pula di sini? Dan ba-gaimana dengan ketua Hoa-san-pai? Ah, di antara Hoa-san Sie-eng, hanya tinggal dua orang yang hidup, yaitu ayah Kwa Hong, Kwa Tin Siong dan Lie.n Sian Hwa. Bagaimana nanti sikap mereka kalau mereka melihat aku? Bermacam pikiran dan dugaan mengamuk dalam pikiran Beng San, membuat hatinya ber-debar tegang ketika dia mendekati taman bunga di belakang kelenteng Hoa-san-pai.



 



Tiba-tiba Beng San melompat ke be-lakang pohon lalu menyelinap menyem-bunyikan diri. Dengan gerakan yang tak menimbulkan suara sama sekali dia pindah bersembunyi ke dalam sebatang po-hon besar yang amat lebat daunnya. la bukan seorang yang suka mengintai orang lain, akan tetapi apa yang terlihat oleh matanya yang tajam luar biasa itu me-maksa dia bersembunyi dan mengintai. Di tengah taman yang sunyi dia melihat seorang gadis yang cantik sekali tengah duduk di atas bangku dekat kolam ikan yang penuh teratai merah di depannya berdiri seorang pemuda tampan yang menundukkan mukanya. Gadis itu kelihatan cerah mukanya, bibirnya tersenyum akan tetapi sepasang matanya bergerak-gerak setengah marah. Yang membuat Beng San terheran-heran dan cepat bersem-bunyi sambil berwaspada adalah ketika matanya yang tajam dapat melihat adanya seorang gadis lain yang juga berada di taman itu, akan tetapi gadis ini ke-lakuannya amat mencurigakan, yaitu ia sedang fnengintai sepasang muda-mudi itu dari balik rumpun kembang dan batu penghias taman!



 



Diam-diam Beng San memperhatikan tiga orang itu. Si pemuda adalah seorang pemuda yang wajahnya tampan, matanya tajam dan mukanya membayangkan ke- i angkuhan dan kegembiraan sekaligus, pakaiannya indah akan tetapi serba putih seperti orang berkabung. Bentuk tubuhnya sedang dan dia nampak gagah dengan topi bulu di kepala dan sebatang pedang tergantung di pinggang. Adapun dara jelita yang dihadapinya itu adalah seorang dara yang memiliki bentuk tubuh langsing tinggi» gerakannya lemah gemulai namun mengandung kegesitan dan kekuatan yang tidak terlepas dari pan-dang mata seorang ahli. Mukanya bulat telur, kulitnya putih sekali, putih kemerahan dan halus terpelihara, sepasang matanya seperti mata burung hong yang kadang-kadang dapat menyinarkan ke-mesraan dan kehalusan akan tetapi kadang-kadang nampak tajam menusuk dan galak. Pakaiannya berkembang indah, akan tetapi dasarnya merah sehingga mudah diduga bahwa dia memang me-nyukai warna merah. 3uga gadis cantik jelita ini membawa pedang yang dipasang di- belakang punggungnya sehingga di balik segala kecantikjelitaannya ini nnem-bayang keangkeran dan kegagahar. Se-telah melihat dengan teliti, hampir Beng San tak dapat. menahan ketawanya. Mu-dah saja dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Kui Lok. Telinganya yang lebar itu takkan dia lupakar. Dan gadis cantik jelita yang nampak manja irti, siapa lagi kalau bukan si kuntiianak? Kwa Hong, tak bisa lain orang. Mana ada lain o.-ang memiliki mata seperti itu?



 



Juga gadis ke dua yang bersembunyi sambij mengintai, yang tadinya menimbul-kan kecurigaan di hati Beng San, setelah dia pandang dengan teliti, dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah Thio Bwee. Gadis ini juga memiliki bentuk tubuh yang padat langsing, kulitnya halus dan tidak seputih Kwa Hong, namun tak dapat di-kata hitam. Kulit berwarna ke-gelapan -yang malah menambah kemanisannya. Wajahnya juga cantik sekali, hidungnya membayangkan hati yang keras. Seperti Kui Lok, gadis ini juga berpakai-an serba putih, namun tidak putih polos, melainkan putih berkembang. Di pung-gungnya, seperti juga Kwa Hong, ia mem-bawa sebatang pedang yang dironce putih pula.



 



"Hemmm, seperti menonton sandiwara ? Wayang saja," pikir Beng San geli, apakah yang sedang terjadi dengan anak-anak yang dulu nakal-nakal ini?" Teringat dia bahwa dia sendiri pun mem-perlihatkan kenakalannya, buktinya dia mengintai seperti yang dilakukan oleh Thio Bwee. Tak terasa lagi mengingat ini, Beng San tertawa lebar tanpa mengeluarkan bunyi, sambil menekan perutnya.



 



Kui Lok mengangkat mukanya yang tampan dan mulutnya yang selalu ter-senyum mengejek itu berkata, "Hong-moi, sekali lagi kutegaskan bahwa semenjak dulu aku selalu mencintamu, bu-kan sebagai saudara seperguruan, bukan sebagai kakak beradik, melainkan sebagai seorang pria terhadap seorang wanita pujaan hatinya. Hong-moi, aku cinta ....”



 



"Sudahlah, Lok-ko, jangan diulang-ulang lagi," Kwa Hong berkata sambil memandang tajam, kemudian tiba-tiba matanya bersinar nakal ketika ia berkata, "Tak enak bicara begini, kau berdiri dan aku duduk. Kau duduklah di I rumput supaya aku tidak selalu berdongak kalau bicara denganmu."



 



Kui Lok memandang ke bawah. Tidak 1 bersih tanah itu, biarpun ditumbuhi rum- 1 put hijau, tentu akan mengotorkan pakaiannya. Akan tetapi tanpa ragu-ragu dia menjatuhkan diri duduk di depan Kwa Hong, di atas tanah. Karena dara itu duduk di depannya dan dia duduk di ta» nah, kelihatan dia seperti berlutut di, depan orang yang lebih tinggi tingkatnya! Wajah Kwa Hong yang jelita itu nampak berseri ketika memandang ke bawah, kepada muka yang tampan dan penuh penyerahan, penuh harapan dan penuh ketaatan itu. Sebaliknya Kui Lok sekarang menengadah memandang wajah cantik jelita di sebelah atasnya.



 



"Lok-ko," kata Kwa Hong sambil ter-senyum semanis-manisnya, "aku tidak suka kalau kau setiap kali bertemu selalu menyatakan rasa cinta kasihmu. Aku jadi bosan mendengarnya. Sudah kukatakan kepadamu, sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk memikirkan soal itu. Kau bersabarlah karena aku belum dapat me-mastikan siapa yang akan kupilih kelak. Kau sendiri tahu, ayahku bermaksud men-jodohkan aku dengan Ki-ko, itu pun kutolak mentah-mentah. Aku akan memilth, sendiri, tapi kelak!"



 



"Baiklah, Moi-moi (Adinda), baiklah. Aku takkan mengulang lagi, tapi perbolehkan aku memujamu..... alangkah cantik jelitanya engkau, Hong-moi. Kupandang dari bawah, wajahmu mengalahkan ke-cemerlangan matahari di waktu pagi atau bulan di waktu senja. Aku sudah akan merasa hidup ini bahagia kalau dapat memandangi mukamu yang indah, men-dengar suaramu yang rnerdu bagaikan....."



 



"Sssttttt...... ada orang.....!" Kwa Hong yang aniat tajam pendengarannya itu bangkit berdiri dari duduknya. Sebetulnya dalam hal ini Kui Lok takkan kalah olehnya, akan tetapi karena pemuda itu tadi baru mabuk asmara, maka menjadi kurang hati-hati. Mereka berdua meloncat ke satu arah, yaitu arah gerombolan kembang dan sempat melihat tubuh Thio Bwee berlari pergi sambil menutupkan kedua tangan di depan muka. Keduanya berdiri bengong, dan keduanya memerah muka.



 



"Celaka, Enci Bwee melihat dan mendengar semua tadi!" Kwa Hong membanting-banting kaki kanannya. "Semua ini salahmu, Lok-ko! Kau tentu tahu betapa dia mencintamu dan sekarang kau suguhi ia adegan seperti ini. Bukankah ini berarti kau menyiksa batinnya?"



 



Kui Lok tnnduk dan berkata membela diri, "Apa dayaku, Hong-moi? Apa dayaku kalau tidak ada wanita lain di dunia ini yang merobohkan hatiku?" . :



 



"Bodoh kau! Enci Bwee cantik manis, lihai ilmu silatnya, sungguh amat cocok rnenjadi... eh...... menjadi jodohmu."



 



"Tapi kau lebih cantik, Hong-moi. Kau lebih....."



 



Kembali Kwa Hong membanting kaki-nya dengan gemas. "Sudah cukup! Kau pergilah dari sini, Lok-ko. Setelah Enci Bwee melihatnya, apa kau ingin lain orang melihat sikapmu yang memalukan tadi? Sudah cukup kataku!"



 



Kui Lok menarik napas panjang, ber-kata lemah, "Aku hanya mengharapkan belas kasihanmu....." lalu pergi dari situ dengan tubuh lemas. Kwa Hong juga menarik napas panjang, kelihatan tak senang dan duduknya gelisah.



 



Semua ini diJihat dan didengar oieh Beng San yang menghadapi semua ini dengan hati tidak karuan rasanya. Ia merasa geli dan ingin tertawa keras-keras, akan tetapi juga merasa terharu dan khawatir. la yang selama hidupnya belum pernah mimpi tentang cinta kasih orang muda, sekarang dihadapkan dengan pemandangan yang amat mengharukan hatinya. Ah, betapa membingungkan, pikirnya tanpa bergerak di tempat duduknya, di atas cabang dalam pohon itu. Kui Lok dicintai Thio Bwee, sebalik-nya pemuda ini mencinta Kwa Hong yang agaknya tidak menerimanya! Dan me-nurut pendengarannya tadi, ayah Kwa Hong malah bermaksud menjodohkan Kwa Hong dengan Thio Ki. Alangkah berbelit-belit asmara menggoda hati muda. Selagi dia berpikir bagaimana dia harus ber-buat selanjutnya di tempat itu, dia men-dengar suara orang mendatangi. Hampir meledak ketawanya ketika dari jauh dia melihat masuknya seorang pemuda de-ngan tergesa-gesa ke taman itu. Pemuda ini tinggi kurus, wajahnya tampan dan membayangkan kekerasaan dan keangkuh-an hati, di pinggangnya tergantung pe-dang dan pakalannya juga serba putih seperti yang dipakai Kui Lok dan Thio Bwee tadi. Sekali pandang saja, Beng San mengenalnya sebagai Thio Ki.



 



"Aduh, akan ramai kali ini....." Beng San tersenyum.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed