"Pisau dapurmu memang aneh, ter-lalu panjang! Mau apa katamu? Tentu saja untuk membersihkan ikan dan me-motong-motongnya."
"Edan! Mana ada orang membersihkan ikan memakai pedang?"
"Habis apa gunanya benda tajam ini di sini? Tentu kaupergunakan untuk alat dapur, bukan?" Beng San berpura-pura tolol.
"Bodoh! Agaknya matamu sudah penuh oleh tinta dan huruf, sampai-sampai tidak mengerti gunanya pedang." Setelah berkata demikian gadis itu menggerakkan tangannya dan "srattt!" sebuah pedang yang putih berkilauan saking tajamnya telah tercabut dari sarungnya.
"Aduh tajamnya! Berbahaya sekalt untuk pisau dapur, bisa-bisa makan jari-mu yang kecil halus itu!" Ucapan tentang jari ini sama sekali bukan dia sengaja untuk memuji, akan tetapi tiba-tiba gadis itu menjadi agak lunak sikapnya.
"Benarkah jari tanganku kecil dan halus?" la mengulur tangan kirinya ke-pada Beng San. Beng San memegang tangan itu, membelai-belai jari tangannya seperti orang memeriksa dan menaksir.
"Memang kecil, halus, berkuku bagus, bersih, lunak dan hangat."
Tiba-tiba wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan perlahan-lahan ia me-narik kembali tangannya., "Cih, tak tahu malu!" katanya, akan tetapi nada kata-kata ini sama sekali tidak\ marah, malahan bibir yang manis itu tersenyum. "Nih, kali boleh pakai untuk memotong ikan, biar nanti aku yang memanggangnya."
Beng San menerima pedang itu dan dengan canggung sekali dia memegang gagangnya, lalu mengerik sisik ikan de-ngan hati-hati, takut kalau-kalau jari tangannya terluka oleh pedang. Dara baju hijau itu menonton saja sambil tertawa-tawa geli melihat kecanggungan Beng San. Kadang-kadang gadis itu termenung dan menatap wajah Beng San yang tam-pan, seperti orang melamun. Kalau tanpa sengaja Beng San menengok, dua pasang mata bertemu pandang. Mata gadis itu setengah dikatupkan, bibirnya merekah dan barulah dia sadar dan menjadi ke-merah-merahan mukanya kalau sadar bahwa sudah lama mereka bertemu pan-dang, membuang muka dan pada sudut bibirnya membayangkan senyum. Beng San juga diam saja, hatinya penuh ke-heranan. Tidak mengerti dia akan sikap wanita, sama sekali dia tidak dapat me-nerka apa gerangan yang berkecamuk dalam lubuk hati gadis baju hijau ini.
"Ampun...... ada orang begini canggungnya. Ke sinikan, biar aku yang mem-bersihkan ikan!" Akhirnya gadis itu ber-kata sambil menahan ketawanya.
Beng San memberikan ikan dan pedangnya. Dengan cekatan gadis baju hijau itu mengerik sisik ikan, memotong-motongnya dan membuang isi perutnya. Jari-jarinya yang kecil lentik itu cekatan sekali, membuat Beng San sekarang yang mendapat giliran menonton menjadi ka-gum.
"Pakaianmu basah kuyup, tidak dinginkah? Kenapa tidak bertukar pakaian?" Sambil memotong ikan itu, gadis baju hijau bertanya.
Beng San cemberut. "Semua pakaianku basah, bagaimaa bisa bertukar? Sama saja, penggantinya juga basah. Gara-gara kau ....”.
Gadis itu tertawa lagi, matanya ber-seri-seri ketika ia mengangkat muka me-mandang pemuda itu. "Kau kan sudah membalas?"
Beng San tercengang, mengira bahwa perbuatannya menyerang dengan ekor ikan tadi diketahui. Tapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya, "Membalas apa? Kaumajukan perahu, aku tenggelam ham-pir mampus!"
"Kau tadi sudah memaki-maki aku sebagai setan cilik, bukankah itu sudah merupakan balasan? Bodoh, pakaianmu basah, kenapa tidak diperas dan dijemur? Sebentar juga kering dan dapat dibuat pengganti."
Beng San baru sadar. Benar juga, matahari sudah mulai naik, pakaian da-lam buntalan itu basah semua, kalau tidak diperas dan dijemur, kapan kering-nya? Tanpa menjawab, dia lalu membuka buntalari pakaiannya, memeras pakaian itu sata demi satu lalu menjemurnya di atas atap kamar perahu. Baru sekarang dia melihat pakaiannya ini yang dia teri-ma dari orang-orang Pek-lian-pai, semua pakaian itu (nasih baik sekali, dari kain sutera dengan warna biru dan kuning.
"Heee, aku yang mengganti kau me-motong ikan, kenapa sekarang kau tidak membantu? Hayo buat api."
"Bagaimana? Mana batu apinya?'*
Gadis itu nampak gemas. "Benar-benar kau canggung. Lihat, pedangku tidak hanya dapat dipakai untuk memotong ikan." Sekali pedangnya terayun, ujungnya menyentuh sebuah batu yang sengaja di-taruh di pinggir perahu. Bunga api ber-pijar besar menyambar daun yang sudah beri minyak, menyala. Beng San ber-seru girang dan kagum, lalu mengambil daun itu, ditaruh di dalam anglo (tempat perapian) dan membuat api unggun de-ngan kayu ranting dan daun kering yang juga sudah tersedia di situ, dalam sebuah keranjang.
Tak lama kemudian, bau daging ikan dipanggang menusuk hidung. Sedap dan gurih. Untungnya di situ memang sudah tersedia bumbu-bumbu, maka mudah bagi Beng San untuk membuat ikan panggang yang dibumbui lengkap. Hidung yang kecil mancung dari nona baju hijau itu berkernbang-kempis.
"Aduh, bukan main sedap baunya....."
"Itu baru baunya, belum rasanya!" . Beng San membangga. "Sekali kau men-cicipi, aku khawatir takkan kebagian."
"Idih sombongnya!" Gadis itu sudah mulai jenaka dan Beng San girang sekali bahwa tafsirannya dalam hati tentang gadis ini ternyata cocok. la tadi sudah menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai hati yang baik, jenaka, gem-bira dan kadang-kadang saja galak. Sedikit banyak dia sudah dapat menduga karena dia teringat akan watak dan sikap Kwa Hong dahulu.
Ketika panggang daging ikan matang, pakaian sutera tipis yang dijemur pun sudah kering. Beng San bingung. "Aku hendak berganti pakaian, tapi di mana? Boleh aku memasuki kamarmu?"
"Jangan!" Gadis itu membentak. "Biar aku yartg sembunyi di dalam dan kau bisa bertukar pakaian di sini."
Ketika gadis itu menyelinap masuk ke dalam kamarnya yang kecil di atas pe-rahu, Beng San membelakangi kamar itu, lalu menanggalkan pakaiannya yang juga sudah hampir kering, itu, menukarnya dengan pakaian pengganti yang sudah kering betul. Setelah menyimpan pakaian-pakaiannya, dibungkus kembali, dia ber-jongkok memeriksa panggang ikannya yang sudah matang.
"Heee, Nona! Keluarlah, aku sudah selesai!" teriaknya. Akan tetapi ketika dia menengok, dia merasa betapa tiada gunanya dia berteriak-teriak. memanggil karena nona itu sudah berdiri di belakangnya!
"Tak usah berteriak-teriak, aku sudah tahu!" jawab si nona.
"Bagaimana kau bisa tahu aku sudah selesai berpakaian?" tanya Beng San, pertanyaan sewajarnya tidak mengandung maksud apa-apa. Akan tetapi nona itu menjadi merah sekali mukanya dan ia memalingkan muka ke kiri. Tanpa me-mandang pemuda itu ia berkata.
"Lancang! Kaukira aku...........mengintaimu?"
Beng San tertawa dan tiba-tiba mukanya sendiri menjadi merah saking jengah. "Ah, aku sama sekali tidak menyangka yang bukan-bukan, Nona. Daging ini su-dah cukup matang, boleh dimakan. Sila-kan."
Nona baju hijau itu tanpa sungkanAB sungkan lagi lalu duduk di atas lantai perahu menghadapi Beng San setelah mengeluarkan sebuah guci terisi air teh dan keduanya lalu makan daging yang memang sedap dan gurih itu. Selama makan dan minum teh itu keduanya tidak berkata-kata, hanya kadang-kadang sinar mata mereka saling sambar tanpa mak- 1 sud tertentu. Kenyang juga perut mereka setelah daging ikan sebesar paha itu amblas ke dalam perut, tinggal tulang-tulang ikan saja yang berserakan di lantai. Setelah mencuci bibir dan mulut, baru Beng San berkata.
"Kau baik sekali, Nona, sudah suka menolongku. Sayang kau mempunyai gan-jalan hati, belum terdapat apa yang kau-cari-cari. Kalau saja kau suka memberi tahu kepadaku apa atau siapa yang kau-cari, aku berjanji akan membantumu."
Tiba-tiba gadis baju hijau itu mern-belalakkan kedua matanya yang bagus, dan di lain saat tangannya sudah men-cengkeram pundak Beng San. Cengkeram-an yang amat kuat dan pemuda ini mak-lum bahwa seorang pemuda biasa saja tentu akan remuk tulang pundaknya kalau gadis ini menggunakan tenaganya me-remas. la kagum dan juga makin kaget _ melihat sikap ini.
"Kau she (bernama keturunan) Bun?" Gadis itu membentak, matanya berapi.
"Bukan, aku she Tan."
"Sayang....." Gadis itu melepaskariB cekalannya pada pundak, meraba-raba gagang pedang dan memandang ke air di pinggir perahu seperti orang melamun. Kekecewaan dan kemurungan kembali membayang di antara seri wajahnya yang manis.
Beng San terheran, juga hatinya ber-debar. Ketika gadis tadi menggerakkan tangan mencengkeram pundaknya, dia teringat bahwa dia pernah melihat gerak-an ini, pernah merasai serangan seperti ini dan tiba-tiba dia teringat bahwa ba-yangan yang langsing malam tadi, yang menyerangnya ketika dia membawa lari Tan Hok, amat boleh jadi adalah gadis baju hijau inilah! Apakah dia tidak me-ngenalku? Akan tetapi dia tetap bersikap tenang, mengambil keputusan untuk terus „ bersandiwara, berpura-pura bodoh.
”Andaikata aku orang she Bun, mengapa?" tanyanya ingin tahu. Gadis itu tiba-tiba mencabut pedangnya dan "srrrattt!" pedang sudah menyambar ke permukaan air dekat perahu dan..... seekor ikan sebesar lengan yang tadi berenang di pinggir perahu telah terpotong menjadi dua, tepat di antara kepala dan badan. Dua potong tubuh ikan itu mengambang di air, hanyut perlahan terbawa saluran air.
"Kalau kau orang she Bun, akan men-jadi seperti itulah....." Gadis itu berkata lagi tanpa menengok. Beng San meman-dang ke arah ikan yang terbacok tadi. Bergidik. Gadis begini manis mengapa bisa begitu kejam? Tentu mengandung penasaran yang niendalam, pikirnya. Me-mang aneh watak nona ini. Baik hati karena mau membawanya ke perahu, akan tetapi kadang-kadang kejam seperti tadi ketika sengaja menggerakkan perahu agar dia jatuh ke air. Tapi kembali ber-baik hati karena terjun dan menyelam untuk menolongnya. Gadis yang jenaka, lucu, manis, galak dan kadang-kadang ! kejam. Ada titik persamaan antara gadis baju hijau ini dengan Kwa Hong..... eh, ya. Dia kan sedang menuju ke Hoa-san? Kenapa sekarang mengobrol dengan gadis baju hijau ini? Beng San memandang ke depan dan kaget melihat bahwa tanpa dia sadan lagi perahu itu telah meluncur sejak tadi, jauh meninggalkan tempat di mana dia hendak menyeberang.
la melirik gadis itu yang masih duduk|g termenung, kelihatan berduka dan bersunyi. la merasa kasihan. Tentu gadis ini sudah lama sekali mencari orang she Bun"?" yang agaknya musuh besarnya. "Sayang aku bukan she Bun," dia mencoba meng-hibur.
Gadis itu menoleh kepadanya dan perlahan-lahan kemurungannya buyar. "Kaumaksudkan sayang bahwa kau orang yang ber-she Tan tidak pandai silat."
Beng San tidak mau orang bicara tentang dirinya. yang hendak dia sem-bunyikan keadaannya, maka dia segera berkata, "Eh, kenapa perahu ini tidak menyeberang? Aku sampai lupa. Nona, tolong seberangkan aku ke sana."
Dara berpakaian hijau itu tersenyum. "Aku pun lupa." la segera mendayung, perlahan tapi perahu itu meluncur cepat seperti ikan hiu, sebentar saja dengan melawan arus air sudah sampai ke seberang. la menancapkan dayung di tanah dan mengikat perahu dengan dayung itu yang sekarang dipergunakan sebagai pa-tok. Mereka saling pandang merasa bahwa saat perpisahan tiba.
"Edan! Mana ada orang membersihkan ikan memakai pedang?"
"Habis apa gunanya benda tajam ini di sini? Tentu kaupergunakan untuk alat dapur, bukan?" Beng San berpura-pura tolol.
"Bodoh! Agaknya matamu sudah penuh oleh tinta dan huruf, sampai-sampai tidak mengerti gunanya pedang." Setelah berkata demikian gadis itu menggerakkan tangannya dan "srattt!" sebuah pedang yang putih berkilauan saking tajamnya telah tercabut dari sarungnya.
"Aduh tajamnya! Berbahaya sekalt untuk pisau dapur, bisa-bisa makan jari-mu yang kecil halus itu!" Ucapan tentang jari ini sama sekali bukan dia sengaja untuk memuji, akan tetapi tiba-tiba gadis itu menjadi agak lunak sikapnya.
"Benarkah jari tanganku kecil dan halus?" la mengulur tangan kirinya ke-pada Beng San. Beng San memegang tangan itu, membelai-belai jari tangannya seperti orang memeriksa dan menaksir.
"Memang kecil, halus, berkuku bagus, bersih, lunak dan hangat."
Tiba-tiba wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan perlahan-lahan ia me-narik kembali tangannya., "Cih, tak tahu malu!" katanya, akan tetapi nada kata-kata ini sama sekali tidak\ marah, malahan bibir yang manis itu tersenyum. "Nih, kali boleh pakai untuk memotong ikan, biar nanti aku yang memanggangnya."
Beng San menerima pedang itu dan dengan canggung sekali dia memegang gagangnya, lalu mengerik sisik ikan de-ngan hati-hati, takut kalau-kalau jari tangannya terluka oleh pedang. Dara baju hijau itu menonton saja sambil tertawa-tawa geli melihat kecanggungan Beng San. Kadang-kadang gadis itu termenung dan menatap wajah Beng San yang tam-pan, seperti orang melamun. Kalau tanpa sengaja Beng San menengok, dua pasang mata bertemu pandang. Mata gadis itu setengah dikatupkan, bibirnya merekah dan barulah dia sadar dan menjadi ke-merah-merahan mukanya kalau sadar bahwa sudah lama mereka bertemu pan-dang, membuang muka dan pada sudut bibirnya membayangkan senyum. Beng San juga diam saja, hatinya penuh ke-heranan. Tidak mengerti dia akan sikap wanita, sama sekali dia tidak dapat me-nerka apa gerangan yang berkecamuk dalam lubuk hati gadis baju hijau ini.
"Ampun...... ada orang begini canggungnya. Ke sinikan, biar aku yang mem-bersihkan ikan!" Akhirnya gadis itu ber-kata sambil menahan ketawanya.
Beng San memberikan ikan dan pedangnya. Dengan cekatan gadis baju hijau itu mengerik sisik ikan, memotong-motongnya dan membuang isi perutnya. Jari-jarinya yang kecil lentik itu cekatan sekali, membuat Beng San sekarang yang mendapat giliran menonton menjadi ka-gum.
"Pakaianmu basah kuyup, tidak dinginkah? Kenapa tidak bertukar pakaian?" Sambil memotong ikan itu, gadis baju hijau bertanya.
Beng San cemberut. "Semua pakaianku basah, bagaimaa bisa bertukar? Sama saja, penggantinya juga basah. Gara-gara kau ....”.
Gadis itu tertawa lagi, matanya ber-seri-seri ketika ia mengangkat muka me-mandang pemuda itu. "Kau kan sudah membalas?"
Beng San tercengang, mengira bahwa perbuatannya menyerang dengan ekor ikan tadi diketahui. Tapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya, "Membalas apa? Kaumajukan perahu, aku tenggelam ham-pir mampus!"
"Kau tadi sudah memaki-maki aku sebagai setan cilik, bukankah itu sudah merupakan balasan? Bodoh, pakaianmu basah, kenapa tidak diperas dan dijemur? Sebentar juga kering dan dapat dibuat pengganti."
Beng San baru sadar. Benar juga, matahari sudah mulai naik, pakaian da-lam buntalan itu basah semua, kalau tidak diperas dan dijemur, kapan kering-nya? Tanpa menjawab, dia lalu membuka buntalari pakaiannya, memeras pakaian itu sata demi satu lalu menjemurnya di atas atap kamar perahu. Baru sekarang dia melihat pakaiannya ini yang dia teri-ma dari orang-orang Pek-lian-pai, semua pakaian itu (nasih baik sekali, dari kain sutera dengan warna biru dan kuning.
"Heee, aku yang mengganti kau me-motong ikan, kenapa sekarang kau tidak membantu? Hayo buat api."
"Bagaimana? Mana batu apinya?'*
Gadis itu nampak gemas. "Benar-benar kau canggung. Lihat, pedangku tidak hanya dapat dipakai untuk memotong ikan." Sekali pedangnya terayun, ujungnya menyentuh sebuah batu yang sengaja di-taruh di pinggir perahu. Bunga api ber-pijar besar menyambar daun yang sudah beri minyak, menyala. Beng San ber-seru girang dan kagum, lalu mengambil daun itu, ditaruh di dalam anglo (tempat perapian) dan membuat api unggun de-ngan kayu ranting dan daun kering yang juga sudah tersedia di situ, dalam sebuah keranjang.
Tak lama kemudian, bau daging ikan dipanggang menusuk hidung. Sedap dan gurih. Untungnya di situ memang sudah tersedia bumbu-bumbu, maka mudah bagi Beng San untuk membuat ikan panggang yang dibumbui lengkap. Hidung yang kecil mancung dari nona baju hijau itu berkernbang-kempis.
"Aduh, bukan main sedap baunya....."
"Itu baru baunya, belum rasanya!" . Beng San membangga. "Sekali kau men-cicipi, aku khawatir takkan kebagian."
"Idih sombongnya!" Gadis itu sudah mulai jenaka dan Beng San girang sekali bahwa tafsirannya dalam hati tentang gadis ini ternyata cocok. la tadi sudah menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai hati yang baik, jenaka, gem-bira dan kadang-kadang saja galak. Sedikit banyak dia sudah dapat menduga karena dia teringat akan watak dan sikap Kwa Hong dahulu.
Ketika panggang daging ikan matang, pakaian sutera tipis yang dijemur pun sudah kering. Beng San bingung. "Aku hendak berganti pakaian, tapi di mana? Boleh aku memasuki kamarmu?"
"Jangan!" Gadis itu membentak. "Biar aku yartg sembunyi di dalam dan kau bisa bertukar pakaian di sini."
Ketika gadis itu menyelinap masuk ke dalam kamarnya yang kecil di atas pe-rahu, Beng San membelakangi kamar itu, lalu menanggalkan pakaiannya yang juga sudah hampir kering, itu, menukarnya dengan pakaian pengganti yang sudah kering betul. Setelah menyimpan pakaian-pakaiannya, dibungkus kembali, dia ber-jongkok memeriksa panggang ikannya yang sudah matang.
"Heee, Nona! Keluarlah, aku sudah selesai!" teriaknya. Akan tetapi ketika dia menengok, dia merasa betapa tiada gunanya dia berteriak-teriak. memanggil karena nona itu sudah berdiri di belakangnya!
"Tak usah berteriak-teriak, aku sudah tahu!" jawab si nona.
"Bagaimana kau bisa tahu aku sudah selesai berpakaian?" tanya Beng San, pertanyaan sewajarnya tidak mengandung maksud apa-apa. Akan tetapi nona itu menjadi merah sekali mukanya dan ia memalingkan muka ke kiri. Tanpa me-mandang pemuda itu ia berkata.
"Lancang! Kaukira aku...........mengintaimu?"
Beng San tertawa dan tiba-tiba mukanya sendiri menjadi merah saking jengah. "Ah, aku sama sekali tidak menyangka yang bukan-bukan, Nona. Daging ini su-dah cukup matang, boleh dimakan. Sila-kan."
Nona baju hijau itu tanpa sungkanAB sungkan lagi lalu duduk di atas lantai perahu menghadapi Beng San setelah mengeluarkan sebuah guci terisi air teh dan keduanya lalu makan daging yang memang sedap dan gurih itu. Selama makan dan minum teh itu keduanya tidak berkata-kata, hanya kadang-kadang sinar mata mereka saling sambar tanpa mak- 1 sud tertentu. Kenyang juga perut mereka setelah daging ikan sebesar paha itu amblas ke dalam perut, tinggal tulang-tulang ikan saja yang berserakan di lantai. Setelah mencuci bibir dan mulut, baru Beng San berkata.
"Kau baik sekali, Nona, sudah suka menolongku. Sayang kau mempunyai gan-jalan hati, belum terdapat apa yang kau-cari-cari. Kalau saja kau suka memberi tahu kepadaku apa atau siapa yang kau-cari, aku berjanji akan membantumu."
Tiba-tiba gadis baju hijau itu mern-belalakkan kedua matanya yang bagus, dan di lain saat tangannya sudah men-cengkeram pundak Beng San. Cengkeram-an yang amat kuat dan pemuda ini mak-lum bahwa seorang pemuda biasa saja tentu akan remuk tulang pundaknya kalau gadis ini menggunakan tenaganya me-remas. la kagum dan juga makin kaget _ melihat sikap ini.
"Kau she (bernama keturunan) Bun?" Gadis itu membentak, matanya berapi.
"Bukan, aku she Tan."
"Sayang....." Gadis itu melepaskariB cekalannya pada pundak, meraba-raba gagang pedang dan memandang ke air di pinggir perahu seperti orang melamun. Kekecewaan dan kemurungan kembali membayang di antara seri wajahnya yang manis.
Beng San terheran, juga hatinya ber-debar. Ketika gadis tadi menggerakkan tangan mencengkeram pundaknya, dia teringat bahwa dia pernah melihat gerak-an ini, pernah merasai serangan seperti ini dan tiba-tiba dia teringat bahwa ba-yangan yang langsing malam tadi, yang menyerangnya ketika dia membawa lari Tan Hok, amat boleh jadi adalah gadis baju hijau inilah! Apakah dia tidak me-ngenalku? Akan tetapi dia tetap bersikap tenang, mengambil keputusan untuk terus „ bersandiwara, berpura-pura bodoh.
”Andaikata aku orang she Bun, mengapa?" tanyanya ingin tahu. Gadis itu tiba-tiba mencabut pedangnya dan "srrrattt!" pedang sudah menyambar ke permukaan air dekat perahu dan..... seekor ikan sebesar lengan yang tadi berenang di pinggir perahu telah terpotong menjadi dua, tepat di antara kepala dan badan. Dua potong tubuh ikan itu mengambang di air, hanyut perlahan terbawa saluran air.
"Kalau kau orang she Bun, akan men-jadi seperti itulah....." Gadis itu berkata lagi tanpa menengok. Beng San meman-dang ke arah ikan yang terbacok tadi. Bergidik. Gadis begini manis mengapa bisa begitu kejam? Tentu mengandung penasaran yang niendalam, pikirnya. Me-mang aneh watak nona ini. Baik hati karena mau membawanya ke perahu, akan tetapi kadang-kadang kejam seperti tadi ketika sengaja menggerakkan perahu agar dia jatuh ke air. Tapi kembali ber-baik hati karena terjun dan menyelam untuk menolongnya. Gadis yang jenaka, lucu, manis, galak dan kadang-kadang ! kejam. Ada titik persamaan antara gadis baju hijau ini dengan Kwa Hong..... eh, ya. Dia kan sedang menuju ke Hoa-san? Kenapa sekarang mengobrol dengan gadis baju hijau ini? Beng San memandang ke depan dan kaget melihat bahwa tanpa dia sadan lagi perahu itu telah meluncur sejak tadi, jauh meninggalkan tempat di mana dia hendak menyeberang.
la melirik gadis itu yang masih duduk|g termenung, kelihatan berduka dan bersunyi. la merasa kasihan. Tentu gadis ini sudah lama sekali mencari orang she Bun"?" yang agaknya musuh besarnya. "Sayang aku bukan she Bun," dia mencoba meng-hibur.
Gadis itu menoleh kepadanya dan perlahan-lahan kemurungannya buyar. "Kaumaksudkan sayang bahwa kau orang yang ber-she Tan tidak pandai silat."
Beng San tidak mau orang bicara tentang dirinya. yang hendak dia sem-bunyikan keadaannya, maka dia segera berkata, "Eh, kenapa perahu ini tidak menyeberang? Aku sampai lupa. Nona, tolong seberangkan aku ke sana."
Dara berpakaian hijau itu tersenyum. "Aku pun lupa." la segera mendayung, perlahan tapi perahu itu meluncur cepat seperti ikan hiu, sebentar saja dengan melawan arus air sudah sampai ke seberang. la menancapkan dayung di tanah dan mengikat perahu dengan dayung itu yang sekarang dipergunakan sebagai pa-tok. Mereka saling pandang merasa bahwa saat perpisahan tiba.
Comments