Skip to main content

raja-pedang-33-kho-ping-hoo

Panas perut Beng San rasanya. Ia mengukur dengan pandang matanya ucin akhirnya harus mengakui bahwa permainan sandiwaranya memang agak keterlaluan. Setiap orang laki-laki yang tidak mengerti ilmu silat, asal dia tidak ter-lalu penakut, tentu akan dapat meloncat ke perahu itu.



 



"Tentu saja aku laki-laki sejati!" kata-nya mendongkol. "Tidak seperti kau, perempuan tukang merengek, belum bisa mendapatkan yang dicari-cari, sudah mulai mengeluh panjang pendek. Tentu saja aku berani meloncat ke situ!"



 



Dara itu seketika hilang senyumnya, kembali memandang tajam dan berkata, suaranya terdengar ganjil, "Kalau begitu, kau loncatlah!"



 



Beng San beraksi seperti orang yang menghadapi pekerjaan berat. Kantong uang dia masukkan ke saku bajunya yang lebar, sedangkan bungkusan pakaian dia ikatkan pada lengannya. Kemudian dia mengambil posisi dan meloncat ke ba-wah. Alangkah kagetnya ketika dia me-lihat gadis itu tiba-tiba mendayung pe-rahunya ke depan sehingga perahu itu seolah-olah mengelak dari loncatannya! Tentu saja, dengan kepandaiannya me-ringankan tubuh Beng San dengan mudah sekali akan dapat bersalto ke arah pera-hu, akan tetapi dia memang sudah meng-ambil keputusan untuk menyembunyikan kepandaiannya. Apa boleh buat, dia me-lanjutkan loncatannya dan tentu saja ke..... air. Sebelum tubuhnya menimpa air dia sempat memaki.



 



"Siauw-kwi (Setan cilik)...,.!" Ia hanya mendengar suara ketawa nyaring dan air muncrat tinggi, tubuhnya terus tenggelam.



 



Biarpun berusaha menyembunyikan kepandaiannya, kiranya Beng San takkan begitu sembrono untuk membiarkan diri-nya tenggelam dan terancam bahaya kalau saja dia tidak memiliki kepandaian bermain di dalam air. Baginya, permain-an di dalam air bukanlah apa-apa lagi setelah delapan tahun dia bekerja sebagai nelayan, setiap hari hanya bermain de-ngan ikan dan air. la sengaja mengorban^ kan dirinya menjadi basah kuyup, tidak saja untuk menyembunyikan kepandaian, akan tetapi juga ingin membalas kena-kalan gadis itu. Dengan enak, seperti seekor ikan besar, dia menyelam terus ke bawah perahu gadis tadi dengan mak-sud hendak menggulingkan perahu dari bawah agar gadis itu pun menjadi basah kuyup.



 



Tiba-tiba dia melihat seekor ikan yang sepaha besarnya, ikan yang gemuk dan sebagai bekas nelayan dia mengenal ikan ini sebagai ikan yang arncrt enak dagingnya, gemuk dan tidak berduri ke-cil. Cepat tangannya meraih dan ikan itu sudah dia tangkap, kepalanya dia masuk-kan ke dalam bungkusan pakaian sehingga tak dapat bergerak melepaskan diri lagi. Kemudian dia hendak menangkap dasar perahu untuk digulingkan. Tapi gerakan ini dia tahan ketika dia mendengar air di atas memercik dan sebuah benda kehijau-an menyelam. Ternyata dara baju hijau itu telah meloncat ke air dan menyelam dengan gerakan seorang ahli dalam air!



 



Beng San tersenyum nakal. Baiknya dia belum menggulingkan perahu, pikir-nya. Kiranya bocah nakal ini masih ber-hati emas, kini berusaha menolongnya. Benar saja dugaannya, ketika dia me-ronta-ronta dan beraksi seperti orang yang tak pandai berenang, tenggelam dan akan hanyut, tiba-tiba tangan gadis itu meraihnya dan rambutnya telah kena di-jambak dan ditarik ke atas! Mendongkol lagi hati Beng San yang tadinya sudah dingin. Ikatan rambutnya sampai terlepas dan dengan rambut awut-awutan dia ditarik oleh dara itu seperti orang n»e-narik ekor ikan besar.



 



"Laki-laki apa kau ini? Berenang pun tak pandai!" kata gadis itu mencemooh ketika sudah timbul ke permukaan air. "Hayo pegang pinggiran perahu dan naik," perintahnya sedangkan dia sendiri dengap loncatan indah naik ke perahu.



 



 



"Aku..... aku tidak bisa..... tolonglah....." Beng San berpura-pura, kini sudah panas lagi perutnya dan otaknya diputar untuk membalas dendam. Gadis itu bersungut-sungut menghina, akan tetapi la ulurkan tangan juga mencengkeram pun-dak Beng San dan menarik pemuda itu ke atas perahu. Beng San terseret naik, dengan canggungnya dia mencoba melompat, tapi terhuyung-huyung dan akanjBl jatuh menubruk gadis itu. Bungkusan pakaiannya melayang ke depan dan oto-matis ikan besar itu pun melayang de-ngan ekornya yang panjang menampar pipi gadis baju hijau.



 



"liiiihhhhh...,., apa ini.....?" teriak gadis itu kaget sambil menangkis. Pipinya tidak terkena tamparan ekor ikan, akan tetapi air dan lendir ikan dari ekor itu melayang dan tak dapat dicegah lagi membasahi mukanya. Lendir ikan yang manis itu memasuki mulut dan hidungnya yang mancung.



 



"Uiuhhhhh....." Gadis itu hampir mun-tah dan meludah-ludah, kemudian cepat mencelupkan mukanya dan kepalanya ke dalam air dari pinggir perahu sehingga untuk ke dua kalinya kepalanya basah kuyup. Beng San menahan ketawanya, perutnya terasa kaku saking geli hatinya.



 



Dara baju hijau itu menarik kembali kepalanya dari air, mengusap air dari muka. Mukanya basah kuyup, pipinya makin kemerahan, rambutnya basah awut-awutan. Tapi aneh, makin manis saja dia! Matanya' memperlihatkan kemarahan ke-tika ia memandang ke arah ikan sebesar paha yang kepalanya berada dalam bung-kusan pakaian.



 



"Dari mana ikan itu?" bentaknya.



 



"Tentu saja dari air, masa ikan dari gunung?" Beng San menggoda.



 



"Jangan main-main! Kau yang hampir mati tenggelam, bagaimana bisa men-dapatkan ikan di air?" Gadis itu meman-dang penuh curiga.



 



Ah, bodoh aku, celaka kali ini, pikir Beng San. Akan tetapi otaknya cepat bekerja. "Entah, aku tadi tenggelam, dalam bingungku aku menggerak-gerakkan tangan dan tahu-tahu aku merasa bungkusan menjadi berat. Agaknya ikan bodoh ini terjerat oleh tali bungkusan pakaianku dan tak dapat terlepas lagi."



 



Gadis itu memperhatikan muka Beng San yang berlagak bodoh, lalu berkata marah, "Memang ikan bodoh, seperti kau, laki-laki goblok."



 



Beng San tunduk, agak lega hatinya. Untuk melenyapkan sama sekali kecuriga-an gadis itu, dia mengangguk dan berkata perlahan, "Memang dia bodoh seperti aku."



 



"Air ikan itu tadi mengotori mukaku, sekarang kau harus membayar. Nah, kau makan ikan ini mentah-mentah!"



 



Beng San merrlbelalakkan matanya. Seharusnya dia marah kepada gadis nakal ini, akan tetapi aneh, muka yang manis ini tidak patut dimarahi. Sukar baginya untuk bisa marah, malah dia menganggap sikap gadis ini lucu sekali. la sama se-kali tidak dapat melihat sinar jahat da-lam pandang mata yang bening itu.



 



"Ah, mana bisa ikan dimakan mentah? " Ikan ini enak sekali dagingnya, kalau di-panggang. Aku sudah biasa memanggang ikan seperti ini. Apalagi daging di kepala dan ekornya, waaah, gurih dan sedap. Perutku lapar, apakah kau tidak lapar? Kalau ada api di sini, aku bisa memang-gang ikan ini, lumayan untuk kita berdua, bisa melegakan perut lapar." Beng San terus saja bicara tentang kelezatan daging ikan itu. Si gadis mendengarkan dan akhirnya tertarik juga.



 



la mengangguk dan berkata, suaranya masih aaja ketus, "Kau boleh panggang, tapi awas, kalau kau bohong, kalau ikan itu tidak enak, kau harus makan sendiri sampai habis dengan tulang-tulangnya. Tahu?" Gadis itu lalu memasuki kepala perahu yang dipasangi bilik bambu. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dan alangkah mendongkol dan iri hati rasanya hati Beng San ketika melihat bahwa gadis itu sudah bertukar pakaian baru yang kering dan enak! Juga pakaian yang dipakainya kini terbuat daripada sutera hijau.



"Eh, kenapa kau masih belum me-manggang ikan itu?" bentaknya melihat Beng San masih duduk terlongong.



 



"Bagiaimana aku bisa memanggang ikan?" Beng San tidak dapat menyembunyikan suaranya yang mendongkol karena melihat gadis itu sudah bertukar pakaiari kering sedangkan dia sendiri masih basrah g kuyup. "Kulihat ada tempat api di perahu ini, tapi tidak ada apinya. Dan ikan ini harus dibuang sisiknya, harus dipotong-potong. Kau kerjakanlah itu, nanti aku yang memanggang."



 



"Cih, tak bermalu! Kau bersihkan dan potong-potong sendiri."



 



"Biasanya yang mengerjakan adalah wanita. Tentu kau menyimpan pisau dapur. Kulihat kau menyediakan tempat masak, biasanya tentu masak sendiri.



 



"Aku tidak punya pisau. Hayolah, lekas kerjakan, jangan bikin aku habis-sabar!"



 



Beng San makin mendongkol.' Gadis itu tadi memasuki kamar tanpa mem-ba


 



Tapi sebelum dia dapat menyentuh-nya, gadis itu sudah bergerak dan tahu-tahiu pedang sudah di tangannya, "Nteu apa kau dengan pedang ini?" bentaknya.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed