Baru kurang lebih dua li Beng San berjalan di tengah hutan, menikmati keindahan suara burung-burung pagi yang mulai bernyanyi-nyanyi di antara daun-daun pohon, tiba-tiba dia berhenti, me-mandang tajam ke kiri. Serentak ber-munculan lima orang dari balik batang pohon besar. Kiranya mereka adalah sisa-sisa anggauta Pek-lian-pai, nampak sedih dan lelah, dipimpin oleh "pengemis" tua yang dahulu menyambut Beng San. Kakek pengemis ini pun terluka lengannya, ber-darah dan dibalut. Begitu melihat Beng San mereka lalu maju mendekat.
"Di mana Tan-hiante?" tanya penge-mis tua itu, sekarang tidak berpura-pura lagi minta sedekah seperti dulu.
"Dia selamat, minta kutinggalkan di tengah hutan, kurang lebih dua li dari sini. Harap kalian lekas menyusulnya dan merawat lukanya. Dua buah tulang rusuknya patah-patah. Akan tetapi keselamatan nyawanya tidak terancam," kata Beng San.
Kakek itu mengangguk-angguk dan melihat Beng San dengan kagum. "Kau masih muda, sudah begitu lihai. Pantas Tan-hiante mempercayaimu. Kalau tidak ada kau, kiranya kami semua sudah tewas. Hanya kami berlima, berenarn dengan Tan-hiante yang rnasih hidup. Orang muda, tentu kau sudah menerima tugas dari Tan-hiante pergi ke Hoa-san, bukan?"
Beng San mengangguk. Kakek itu memandangnya dari kepala sampai ke kaki penuh perhatian. "Tak baik.,..., pakaianmu itu. Seperti petani muda. Padahal setiap orang petani sekarang dicurigai. Kau bawa bekal uang?"
Beng San kali ini menggeleng kepala.
"Lebih tak baik lagi. Tanpa uang akan ;inudah dicap peniberontak. Orang muda yang gagah, kauterimalah beberapa stel pakaian ini dan sedikit uang untuk bekal. Tak boleh kautolak karena kau juga telah ynembantu perjuangan kami."
Tak enak hati Beng San untuk menolak karena dia sudah dapat menyelami watak orang-orang ini. Ia menerima se-bungkus besar pakaian dan sekantung uang perak, lalu menghaturkan terima kasih. Kemudian mereka berpisah.
Setelah di situ sunyi, Beng San hendak mentaati pesan kakek pengemis yang dia percaya sudah luas pengalamannya itu. Ia menanggalkan pakaiannya dan mengenakan satu stel pakaian pemberian mereka. Ternyata pas betul dan dia kini berubah sebagai seorang muda yang tampan dan pantas, mirip seorang pemuda terpelajar! Memandangi pakaiannya, Beng San merasa malu sendiri. Baru bisa ber-pakaian pantas kalau sudah diberi orang lain, pikirnya. Pemuda macam apa aku ini! Betapapun juga, dengan pakaian bersih menutupi tubuhnya, bahkan masih ada beberapa stel lagi digendong di punggung-nya, mengantongi bekal yang lumayan, dia merasa lebih lega. Semua ini akari melancarkan perjalananku, pikirnya. Dengan hati ringan dia lalu menyusuri tepi Sungai Yang-ce menuju ke Hoa-san.
Jalan yang .dilaluinya makin sunyi. Bukan merupakan jalan umum lagi. Jalan setapak yang liar dan makin jauh ke utara, makin sunyi dan dia harus membuka jalan di antara tetumbuhan liar pinggir sungai. la harus menyeberang dan "alangkah sukarnya menyeberangi sungai yang luar biasa lebarnya ini tanpa perahu. Tak mungkin itu. la berhenti di pinggir sungai, memandang kesana ke mari, mengharapkan adanya perahu agar dapat menyeberangkannya ke depan.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bernyanyi. Suara wanita, tak salah lagi, merdu dan nyaring. Makin lama suara itu makin jelas terdengar, Beng San berdiri terkesima ketika dia melihat seorang gadis berpakaian serba hijau mendayung perahu kecil di tengah sungai Mendayung perlahan tapi sengaja me-nimpakan. dayung ke air sehingga menimbulkan suara yang berirama, yang mengikuti irama lagunya. Merdu dan indah sekali bunyi dayung menimpa air memercik ke atas ini mengikuti suara nyanyiannya, indah dan aneh. Mulut yang kecil mungil dain berbibir merah itu bergerak-gerak menyanyi. Wajahnya manis sekali, dengan sepasang mata yang lebar dan hidung kecil mancung, sepasang pipi ke-merahan dan rambut yang dibiarkan ter-urai kacau ke kanan kiri itu menambah kemanisannya.
"Malam purnama sudah lalu,
bunga seruni sudah rontok,
aku yang merana seorang diri
kenapa belum mendapatkan yang kucari?"
Hanya demikian kata-kata yang di-nyanyikan, diulang-ulang lagi, tapi tidak iriembosankan. Beng San yang mendengar'» kan dengan teliti dapat menangkap hal-hal yang mengharukan hatinya. Di dalam nyanyian itu dia dapat membayangkan perasaan yang penuh harapan, penuh kemarahan, penuh sesal, penuh semangat dan juga penuh rahasia. Agaknya sudah lama nona itu mencari s-esuatu. Apakah sesuatu itu? Orangkah? Bendakah? Dia sudah mulai merasa habis sabar dan jengkel, juga berduka. Namun, masih sangat mengharapkan untuk dapat menemukan yang ia cari-cari. Siapakah nona itu? Demikianlah Beng San berpikir .Siapapun juga dia, bukankah dia memiliki perahu yang akan dapat menolongku menyeberang? Boleh kucoba.
"Eh, Nona yang berperahu.....'. la memanggil.
Kalau saja Beng San menjadi dewasa di kota, tentu dia sekali-kali tidak berani memanggil seorang gadis yang berperahu seorang din seperti ini. la tidak pernah bergaul dengan wanita, tidak mengerti pula akan tata cara kesopanan kota maka sikapnya terbuka dan jujur, sama sekali tidak mengerti bahwa sikap ini bisa dianggap kurang ajar atau ceriwis.
Nona berbaju hijau itu kaget mendengar teguran Beng San dan cepat menengok. Sepasang mata yang bersorot tajam dan galak menatap wajah Beng San yang memaksa diri tersenyum, biarpun hanya merasa tidak enak karena sikap nona itu seakan-akan hendak marah. la mengulangi kata-katanya.
"Nona berperahu yang baik hati. Tolonglah aku seorang pelancong menyeberang ke sana dengan perahu," la mengatur kata-katanya supaya terdengar halus. Sejenak nona baju hijau itu tidak menjawab, hanya sepasang matanya menatap tajam tak pernah berkedip sehingga Beng San merasa tidak makin tidak enak hatinya.
”Kuharap saja aku tidak terlalu mengganggumu dengan permintaan tolong ini," katanya lagi.
"Mengganggu katamu?" Bibir merah itu cemberut tapi tambah manisnya. "Kau laki-laki ceriwis! Laki-laki lancang mulut!"
Beng San menengok ke kanan kiri, mengira bahwa ada orang laki-laki lain yang bersikap kurang ajar berdiri di situ , dan dimaki oleh nona baju hijau ini. Tapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berada di situ hanya dia seorang bersama bayangannya, dia mulai percaya bahwa dialah yang dimaki.
"Ceriwis? Apa ceriwis itu? Bermulut lancang? Aku.....?" la bertanya penuh keheranan.
"Ya, kau kurang ajar dan bermulut lancang! Bcrani memanggil-manggil seorang wanita yang tak kaukenal!"
Beng San melengak, makin terheran. la memang ahli fiisafat, maka mendengar ucapan yang menyerangnya ini segera dia tangkis dengan kata-kata filsafat yang sifatnya berkelakar, "Kalau orang yang saling tak mengenal semua berdiam diri tak berani memanggil, alangkah akan sunyinya dunia ini! Kalau tadinya tidak mengenal, setelah dipanggil bukankah jadi kenal?"
"Kurang ajar kau ”. Gadis baju hijau itu makin marah.
"Kenapa kurang ajar? Aku minta tolong supaya diseberangkan ke sana. Aku butuh menyeberang, kau memiliki perahu, bukankah itu sudah cocok?"
"Kaukira aku ini gadis tukang menyeberangkan orang? Kaukira aku mencari nafkah dengan menyeberangkan segala orang?"
"Pakai biaya pun aku sanggup bayar, aku punya uang," jawab Beng San sejujurnya dan salah mengartikan kata-kata orang.
Sepasang mata itu berkilat-kilat, bibir yang tadinya cemberut agak tersenyum, seakan-akan ia mulai mengerti bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang tolol. Atau setidaknya, wajah yang tam-pan itu dan bentuk tubuh yang tegap, menimbulkan simpatinya.
"Kau bawa uang banyak?"
"Banyak sih tidak, kiranya kalau ha-nya seratus tail perak ada."
Dara baju hijau itu mengeluarkan suara mendengus seperti mengejek, lalu dengan dua kali mendayung saja perahu-nya meluncur seperti anak panah ke pinggir! Beng San diam-diam kaget se-kali. Itulah gerakan tangan yang amat kuatnya, gerakan seorang ahli ilmu silat tinggi. Apalagi setelah dia melihat se-batang pedang dengan gagang dan sarung-nya yang terukir indah menggeletak di perahu, tahulah dia bahwa dara baju hijau itu bukanlah orang sembarangan.
"Kau mau menyeberang? Nah, kau loncatlah ke perahu!"
Jarak antara perahu itu dengan tanah yang diinjak Beng San masih ada satu meter jauhnya, sedangkan tempat itu agak tinggi, ada dua meter. Beng San hendak menyembunyikan kepandaiannya, maka dia berpura-pura tidak berani dan berkata.
"Tolong dekatkan perahu sampai ke sini, agar mudah aku turun. Meioncat dan sini, setinggi ini, mana aku berani?" la sengaja memperlihatkan muka ketakutan.
Gadis itu tertawa kecil. Deretan gigi yang putih mengkilap menyilaukan mata Beng San. Silau dia akan kemanisan mu-ka gadis ini.
"Hi-hi-hi, kau ini laki-laki atau pe-rempuan?"
Beng San mempunyai dasar watak nakal di waktu kecilnya, biarpun dia sekarang sudah dewasa, kenakalan kanak-kanak masih ada padanya. la mendongkol mendengar kata-kata itu dan dengan suara merajuk dia menjawab.
"Kau melihat sendiri bagaimana? Laki-laki atau perempuan?" Ia cemberut.
Dara baju hijau itu tertawa lagi, se-karang agak lebar sehingga dari atas terlihat dalam mulutnya yang merah dan sepasang lesung pipit di kedua pipinya. Manis benar!
"Masa seorang laki-laki takut rne-loncat dari tempat itu ke sini? Seorang perempuan pun akan berani. Kau tak patut menjadi laki-laki atau perempuan, kiraku kau banci."
"Di mana Tan-hiante?" tanya penge-mis tua itu, sekarang tidak berpura-pura lagi minta sedekah seperti dulu.
"Dia selamat, minta kutinggalkan di tengah hutan, kurang lebih dua li dari sini. Harap kalian lekas menyusulnya dan merawat lukanya. Dua buah tulang rusuknya patah-patah. Akan tetapi keselamatan nyawanya tidak terancam," kata Beng San.
Kakek itu mengangguk-angguk dan melihat Beng San dengan kagum. "Kau masih muda, sudah begitu lihai. Pantas Tan-hiante mempercayaimu. Kalau tidak ada kau, kiranya kami semua sudah tewas. Hanya kami berlima, berenarn dengan Tan-hiante yang rnasih hidup. Orang muda, tentu kau sudah menerima tugas dari Tan-hiante pergi ke Hoa-san, bukan?"
Beng San mengangguk. Kakek itu memandangnya dari kepala sampai ke kaki penuh perhatian. "Tak baik.,..., pakaianmu itu. Seperti petani muda. Padahal setiap orang petani sekarang dicurigai. Kau bawa bekal uang?"
Beng San kali ini menggeleng kepala.
"Lebih tak baik lagi. Tanpa uang akan ;inudah dicap peniberontak. Orang muda yang gagah, kauterimalah beberapa stel pakaian ini dan sedikit uang untuk bekal. Tak boleh kautolak karena kau juga telah ynembantu perjuangan kami."
Tak enak hati Beng San untuk menolak karena dia sudah dapat menyelami watak orang-orang ini. Ia menerima se-bungkus besar pakaian dan sekantung uang perak, lalu menghaturkan terima kasih. Kemudian mereka berpisah.
Setelah di situ sunyi, Beng San hendak mentaati pesan kakek pengemis yang dia percaya sudah luas pengalamannya itu. Ia menanggalkan pakaiannya dan mengenakan satu stel pakaian pemberian mereka. Ternyata pas betul dan dia kini berubah sebagai seorang muda yang tampan dan pantas, mirip seorang pemuda terpelajar! Memandangi pakaiannya, Beng San merasa malu sendiri. Baru bisa ber-pakaian pantas kalau sudah diberi orang lain, pikirnya. Pemuda macam apa aku ini! Betapapun juga, dengan pakaian bersih menutupi tubuhnya, bahkan masih ada beberapa stel lagi digendong di punggung-nya, mengantongi bekal yang lumayan, dia merasa lebih lega. Semua ini akari melancarkan perjalananku, pikirnya. Dengan hati ringan dia lalu menyusuri tepi Sungai Yang-ce menuju ke Hoa-san.
Jalan yang .dilaluinya makin sunyi. Bukan merupakan jalan umum lagi. Jalan setapak yang liar dan makin jauh ke utara, makin sunyi dan dia harus membuka jalan di antara tetumbuhan liar pinggir sungai. la harus menyeberang dan "alangkah sukarnya menyeberangi sungai yang luar biasa lebarnya ini tanpa perahu. Tak mungkin itu. la berhenti di pinggir sungai, memandang kesana ke mari, mengharapkan adanya perahu agar dapat menyeberangkannya ke depan.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bernyanyi. Suara wanita, tak salah lagi, merdu dan nyaring. Makin lama suara itu makin jelas terdengar, Beng San berdiri terkesima ketika dia melihat seorang gadis berpakaian serba hijau mendayung perahu kecil di tengah sungai Mendayung perlahan tapi sengaja me-nimpakan. dayung ke air sehingga menimbulkan suara yang berirama, yang mengikuti irama lagunya. Merdu dan indah sekali bunyi dayung menimpa air memercik ke atas ini mengikuti suara nyanyiannya, indah dan aneh. Mulut yang kecil mungil dain berbibir merah itu bergerak-gerak menyanyi. Wajahnya manis sekali, dengan sepasang mata yang lebar dan hidung kecil mancung, sepasang pipi ke-merahan dan rambut yang dibiarkan ter-urai kacau ke kanan kiri itu menambah kemanisannya.
"Malam purnama sudah lalu,
bunga seruni sudah rontok,
aku yang merana seorang diri
kenapa belum mendapatkan yang kucari?"
Hanya demikian kata-kata yang di-nyanyikan, diulang-ulang lagi, tapi tidak iriembosankan. Beng San yang mendengar'» kan dengan teliti dapat menangkap hal-hal yang mengharukan hatinya. Di dalam nyanyian itu dia dapat membayangkan perasaan yang penuh harapan, penuh kemarahan, penuh sesal, penuh semangat dan juga penuh rahasia. Agaknya sudah lama nona itu mencari s-esuatu. Apakah sesuatu itu? Orangkah? Bendakah? Dia sudah mulai merasa habis sabar dan jengkel, juga berduka. Namun, masih sangat mengharapkan untuk dapat menemukan yang ia cari-cari. Siapakah nona itu? Demikianlah Beng San berpikir .Siapapun juga dia, bukankah dia memiliki perahu yang akan dapat menolongku menyeberang? Boleh kucoba.
"Eh, Nona yang berperahu.....'. la memanggil.
Kalau saja Beng San menjadi dewasa di kota, tentu dia sekali-kali tidak berani memanggil seorang gadis yang berperahu seorang din seperti ini. la tidak pernah bergaul dengan wanita, tidak mengerti pula akan tata cara kesopanan kota maka sikapnya terbuka dan jujur, sama sekali tidak mengerti bahwa sikap ini bisa dianggap kurang ajar atau ceriwis.
Nona berbaju hijau itu kaget mendengar teguran Beng San dan cepat menengok. Sepasang mata yang bersorot tajam dan galak menatap wajah Beng San yang memaksa diri tersenyum, biarpun hanya merasa tidak enak karena sikap nona itu seakan-akan hendak marah. la mengulangi kata-katanya.
"Nona berperahu yang baik hati. Tolonglah aku seorang pelancong menyeberang ke sana dengan perahu," la mengatur kata-katanya supaya terdengar halus. Sejenak nona baju hijau itu tidak menjawab, hanya sepasang matanya menatap tajam tak pernah berkedip sehingga Beng San merasa tidak makin tidak enak hatinya.
”Kuharap saja aku tidak terlalu mengganggumu dengan permintaan tolong ini," katanya lagi.
"Mengganggu katamu?" Bibir merah itu cemberut tapi tambah manisnya. "Kau laki-laki ceriwis! Laki-laki lancang mulut!"
Beng San menengok ke kanan kiri, mengira bahwa ada orang laki-laki lain yang bersikap kurang ajar berdiri di situ , dan dimaki oleh nona baju hijau ini. Tapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berada di situ hanya dia seorang bersama bayangannya, dia mulai percaya bahwa dialah yang dimaki.
"Ceriwis? Apa ceriwis itu? Bermulut lancang? Aku.....?" la bertanya penuh keheranan.
"Ya, kau kurang ajar dan bermulut lancang! Bcrani memanggil-manggil seorang wanita yang tak kaukenal!"
Beng San melengak, makin terheran. la memang ahli fiisafat, maka mendengar ucapan yang menyerangnya ini segera dia tangkis dengan kata-kata filsafat yang sifatnya berkelakar, "Kalau orang yang saling tak mengenal semua berdiam diri tak berani memanggil, alangkah akan sunyinya dunia ini! Kalau tadinya tidak mengenal, setelah dipanggil bukankah jadi kenal?"
"Kurang ajar kau ”. Gadis baju hijau itu makin marah.
"Kenapa kurang ajar? Aku minta tolong supaya diseberangkan ke sana. Aku butuh menyeberang, kau memiliki perahu, bukankah itu sudah cocok?"
"Kaukira aku ini gadis tukang menyeberangkan orang? Kaukira aku mencari nafkah dengan menyeberangkan segala orang?"
"Pakai biaya pun aku sanggup bayar, aku punya uang," jawab Beng San sejujurnya dan salah mengartikan kata-kata orang.
Sepasang mata itu berkilat-kilat, bibir yang tadinya cemberut agak tersenyum, seakan-akan ia mulai mengerti bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang tolol. Atau setidaknya, wajah yang tam-pan itu dan bentuk tubuh yang tegap, menimbulkan simpatinya.
"Kau bawa uang banyak?"
"Banyak sih tidak, kiranya kalau ha-nya seratus tail perak ada."
Dara baju hijau itu mengeluarkan suara mendengus seperti mengejek, lalu dengan dua kali mendayung saja perahu-nya meluncur seperti anak panah ke pinggir! Beng San diam-diam kaget se-kali. Itulah gerakan tangan yang amat kuatnya, gerakan seorang ahli ilmu silat tinggi. Apalagi setelah dia melihat se-batang pedang dengan gagang dan sarung-nya yang terukir indah menggeletak di perahu, tahulah dia bahwa dara baju hijau itu bukanlah orang sembarangan.
"Kau mau menyeberang? Nah, kau loncatlah ke perahu!"
Jarak antara perahu itu dengan tanah yang diinjak Beng San masih ada satu meter jauhnya, sedangkan tempat itu agak tinggi, ada dua meter. Beng San hendak menyembunyikan kepandaiannya, maka dia berpura-pura tidak berani dan berkata.
"Tolong dekatkan perahu sampai ke sini, agar mudah aku turun. Meioncat dan sini, setinggi ini, mana aku berani?" la sengaja memperlihatkan muka ketakutan.
Gadis itu tertawa kecil. Deretan gigi yang putih mengkilap menyilaukan mata Beng San. Silau dia akan kemanisan mu-ka gadis ini.
"Hi-hi-hi, kau ini laki-laki atau pe-rempuan?"
Beng San mempunyai dasar watak nakal di waktu kecilnya, biarpun dia sekarang sudah dewasa, kenakalan kanak-kanak masih ada padanya. la mendongkol mendengar kata-kata itu dan dengan suara merajuk dia menjawab.
"Kau melihat sendiri bagaimana? Laki-laki atau perempuan?" Ia cemberut.
Dara baju hijau itu tertawa lagi, se-karang agak lebar sehingga dari atas terlihat dalam mulutnya yang merah dan sepasang lesung pipit di kedua pipinya. Manis benar!
"Masa seorang laki-laki takut rne-loncat dari tempat itu ke sini? Seorang perempuan pun akan berani. Kau tak patut menjadi laki-laki atau perempuan, kiraku kau banci."
Comments