Skip to main content

Jaka Lola 7 -> karya : kho ping hoo

Akan tetapl alangkah herannya ketika Sin-eng-cu menyambut jurus yang dia mainkan di depan kakek ini dengan tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha-ha! Pendeta koplok! Jurus cakar bebek beginian dipamerkan dl depanku? Wah, terlalu gam-pang untuk memecahkannya!"
Yo Wan hanya memandang dengan kagum dan diam-diam dia pun girang karena ternyata susiok-couwnya ini tidak kalah lihainya oleh Bhewakala. Sudah tentu saja dalam adu ilmu yang luar biasa ini se-dikit banyak dia berfihak kepada Sin-eng-cu dan mengharapkan kemenangan bagi kakek ini, karena betapapun juga kakek ini adalah paman guru daripada suhunya.
"Awas, dengarkan dan lihat baik-balk gerak tanganku. Sekaligus aku akan pa-tahkan daya serang jurus cakar bebek ini." Dengan gerak tangan dan keterang-an yang lambat dan jelas Sin-eng-cu mengajarkan jurusnya.
"Menghadapi serangan seorang beriimu seperti Bhewakala, kita harus bersikap waspada dan jangan mudah terpancing oleh gerak pertama, karena semua jurus ilmu silat tinggi selalu menggunakan pancingan dan makin tersernbunyi gerak pancingan ini lebih balfc. Gerak pertama menyerang anggauta tubuh bagian atas jangan dihadapi dengan perhatian sepenuh-nya, melainkan harus dielakkan sambil tnenanti munculnya gerak susulan yang merupakan gerak inti. Serangan tangan kanan ke arah mata dan leher, kita ha-dapi dengan merendahkan tubuh sehingga tusukan mata dan serangan siku kanan lewat di atas kepala. Serangan pukul-an tangan kiri pada pusar kita tangkis dengan tangan kanan dan apabila dia berani nnenggunakan lututnya, kita mendahului dengan pukulan sebagai tangkisan ke arah sambungan lutut. Inilah jurusku yang menghancurkan jurus Bhewakala itu, kunamai jurus Lo-han-pai-hud (Kakek Menyembah Buddha)."
Jurus ini dilatih oleh Yo Wan dengan susah payah, apalagi karena segera di-susul jurus ke dua yang merupakan se-rangan balasan dari Sin-eng-cu, yaitu jurus yang disebut Llong-thouw-coan-po (Kepala Naga Terjang Ombak). Dua buah jurus ini adalah jurus-jurus dari' ilmu silat ciptaan kakek ini yang dia beri nama Liong-thouw-kun (nmu Silat KepaJa Naga) atau ilmu siiat darl Lione-thouw-san tempat dia bertapa di bekas kediaman mendiang kakak seperguruan-nya, Bu Beng Cu.
Untuk dua buah jurus ini Yo Wan menggunakan waktu dua puluh hari Ia bangga sekali terhadap kakek itu dan mengira bahwa Bhewakala tentu akan repot menghadapi LIong-thouw-coan-po. Eh, kembali dia tercengang dan kecewa karena pendeta Nepal ini terkekeh-kekeh. memandang rendah sekali jurus serangan balasan Sin-eng-cu ini. "Uwah-hah-haha tua bangka bangkotan itu sudah gila kalau mengira bahwa jurusnya monyet menari ini bisa menggertak aku. Lihat baik-baik jurusku yang akan memecahkan rahasianya dan sekali ini dengan juru» seranganku ke dua, dia pasti akan mat! kutu!" Kakek pendeta Nepal ini lalu mengajarkan dua buah jurus lain yang lebih sulit dan aneh lagi.
Demikianlah, setiap hari, siang malam hanya berhenti kalau mengurus keperluan mereka bertiga, makan dan tidur, Yo Wan melayani mereka berdua ganti-ber-eanti. Mula-mula memang setiap jurus harus dia pelajari sampai hafal baru dapat dia mainkan setelah tekun mem-pelajarinya sampai beberapa hari, apalagi makin lama jurus-jurus yang dikeluarkan dua orang sakti itu makin sukar. Akan tetapi setelah lewat tiga bulan, dia mulai dapat melatihnya dengan lancar, dan dapat menyelesaikan setiap jurus dalam waktu sehari saja! Yo Wan tidak hanya harus menghaial dan dapat mainkan jurus-jurus ini untuk dimainkan di depan kedua orang sakti itu, akan tetapi karena tingkat itu makin tinggi, terpaksa dia harus menerima la-tihan siulian (samadhi), pernapasan dan cara menghimpun tenaga dalam tubuh.
"Tanpa mempelajari Iweekang danku, tak mungkin kaumainkan jurus ini," de-mikian kata Bhewakala dan karena dia sudah berjanji untuk membantu kedua orang itu menjadi perantara dalam adu ilmu, terpaksa Yo Wan tidak dapat mem-bantah dan mempelajari Iweekang yang aneh dari kakek Nepal ini. Demikian pula, dengan alasan yang sama, Sin-eng-cu menurunkan latihan Iweekang yang lain dan untuk latihan ini Yo Wan , ieng-alaml kelancaran karena Iweekang dari kakek ini sejalan dengan apa yang dia pelajari dari suhunya.
Tanpa terasa lagi, tiga tahun telah lewat! Ngo-sin-hoan-kun (Ilmu Silat Lima Lingkaran Sakti) dari Bhewakala yang berjumlah linna puluh jurus itu tela;, dia mainkan semua. Demikian pula Liong-thouw-kun darl Sin-eng-cu Lui Bok yang berjumlah empat puluh delapan jurus Bukan ini saja, dengan alasan bahwa Umu pukufan tangan kosong tak dapat menen-tukan kemenangan. Bhewakala menurun-kan ilmu cambuk yang dapat dimainkan dengan pedang telah dia ajarkan pula. Karena ilmu pedang ini pun berdasar pada Ngo-sin-hoan-kun, maka tidak sukar bag! Yo Wan untuk menghafal dan me-mainkannya. Sebagai imbangannya, Sin-eng-cu juga menurunkan ilmu pedangnya. Pada bulan ke dua dari tahun ketiga, Sin-eng-cu yang keadaannya sudah amat payah saking tuanya dan juga karena kelemahan tubuhnya akibat pertempuran tiga tahun yang lalu, menurunkan jurus yang tadinya amat dirahasiakan.
"Yo Wan..... Bhewakala hebat me-mang. Tapi coba kauperlihatkan jurus ini dan dia pasti akan kalah. Jurus itu di-sebut Pek-hong-ci-tiam (Bianglala Putih Keluarkan Kilat), jurus simpananku yang tak pernah kupergunakan dalam pertan-dingan karena amat ganas. Coba..... ban-tu aku berdiri, jurus ini harus kumainkan sendiri, baru kau dapat menirunya. Ke sinikah pedangmu....." Yo Wan yang tadinya berlutut menyerahkan pedangnya, pedang dari kayu cendana yang sengaja dibuat untuk perang adu ilmu itu, sambil membantu kakek yang sudah tua ren-ta itu bangkit berdiri. Diam-diam Yo Wan menyesal sekali mengapa kakek yang tua ini begini gemar mengadu ilmu. Sudah sering kali selama tiga tahun itu dia membujuk-bujuk mereka untuk meng-hentikan adu ilmu, namun sia-sia belaka, dan selain itu, dia mulai merasa senang sekali dengan pelajaran jurus-jurus itu.
"Nah, kaulihat baik-baik.....'." Kakek itu menggerakkan pedang kayu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya .mencengkeram dari atas. Memang gerak-an yang amat hebat dan dahsyat. Bahkan kakek yang sudah kehabisan tenaga itu, ketika mainkan jurus iru, kelihatan me-nyeramkan. Terdengar suara bercuitan dari pedang kayu dan tangan kirinya kemudian..... kakek itu roboh terguling.
"Susiok-couw.....!" Yo Wan cepat ne-nyambar tubuh kakek itu dan membantu-nya duduk sambll menempelkan telapak tangannya pada punggung kakek itu dan menyalurkan hawa murni sesuai dengan ajaran Sin-eng-cu.
"Sudah..... eh, balk sudah..... uh-uh-uh..... tua bangka tak becus aku ini..... Yo Wan, sudahkah kau dapat mengerti jurus tadl?"
Yo Wan mengangguk, dan maklum akan watak kakek ini, seperti biasa se-telah kakek itu duduk bersila, dia meng-ambil pedang kayu dan mainkan jurus tadi. Suara bercuitan lebih nyaring ter-dengar, dan kakek itu berseru gembira, tapi napasnya terengah-engah.
"Bagus, bagus! Nah, kalau sekali ini pendeta koplok itu dapat memecahkan jurusku Pek-hong-ci-kiam, dia benar-benar patut kaupuja sebagai gurumu!" Dengan napas terengah-engah kakek itu lalu melambaikan tangan, mengusir Yo Wan keluar dari kamarnya untuk segera mendemonstrasikan jurus itu kepada lawannya.
Dengan hati sedih karena ketika me-raba punggung tadi dia tahu bahwa kakek itu keadaannya amat payah, Yo Wan meninggalkan kamar, langsung memasuki kamar Bhewakala. Keadaan pendeta Ne-pa! ini tidak lebih baik daripada Sin-eng-cu Lui Bok. la pun amat payah ka-rena selain kekuatan tubuhnya makin mupdur akibat iuka dalam, juga dia harus mengerahkan tenaga dan pikiran setiap hari untuk mengajar Yo Wan. Ketika Yo ' Wan memasuki kamarnya dan mainkan ' jurus Pek-hong-ci-tiam, dia terkejut sekali dan sampai lama dia bengong saja, menggeleng-geleng kepalanya. Kemudian mengeluh.
"Hebat..... Sin-eng-cu Lui Bok henidak mengadu nyawa...." Akan tetapi selanjutnya dia termenung, kedua tangannya bergerak-gerak menirukan gerak jurus itu, bicara perlahan seorang diri, menge-rutkan kening dan akhirnya menggeleng kepala seakan-akan pemecahannya tidak tepat. la memberi isyarat dengan tangan supaya Yo Wan keluar dari kamarnya, pemuda ini lalu mengundurkan dir dan masuk ke kamar sendiri karena waku itu malam sudah agak larut.
Menjelang fajar, Yo Wan kaget men-dengar suara Bhewakala memanggij na-manya. la bangun dan cepat menuju ke kamar pendeta itu. Pintu kamarnya ter-buka dan pendeta itu duduk di atas pem-baringan. Cepat dia maju menghampiri.
"Yo Wan, jurus Sin-eng-cu ini hebat! Tak dapat aku menangkis atau mengelak-nya....." katanya dengan suara lesu.
Diam-diam Yo Wan menjadi girang. Akhirnya Sin-eng-cu yang menang, se-perti yang dia harapkan. "Kalau begitu, Locianpwe menyerah....." katanya per-lahan.
Mata yang lebar itu melotot. "Siapa menyerah? Karena Sin-eng-cu hendak mengadu nyawa, apa kaukira aku tidak berani? jurus itu memang tidak dapat kutangkis atau kuhindarkan, akan tetapi dapat kuhadapi dengan jurusku yang isti-mewa pula. Mungkin aku mati oleh jurus-nya, akan tetapi dia pun pasti mampus kalau melanjutkan serangannya. Kau lihat baik-baik!"
Bhewakala lalu mengajarnya sebuah jurus sebagai imbangan daripada Pek-hong-ci-tiam. Kemudian pendeta itu me-nyuruh Yo Wan mainkan cambuk dengan jurus itu. Hebat bukan main jurus ini. Cambuk melingkar-lingkar di atas udara kemudian melejit ke empat penjuru de-ngan suara nyaring sekali. "Tar-tar-tar-tar-tar!" Terjangan cambuk ini diiringi gempuran tangan kiri yang penuh dengan tenaga dalam ke arah pusar lawan.
"Cukup! Lekas kauperlihatkan kepada Sin-eng-cu," kata Bhewakala setelah dia merasa puas dengan gerakan Yo Wan. Pemuda ini keluar dari kamar Bhewakala memasuki kamar Sin- eng-cu. Waktu itu matahari telah naik agak tinggi, akan tetapi lampu di dalam kamar kakek ini masih menyala.
"Susiok-couw, Locianpwe Bhewakata tidak dapat memecahkan Pek-hong-ci-tiam, akan tetapi menghadapi jurus IBM dengan jurus penyerangan pula, seperti ini," kata Yo Wan sambil mainkan cam-buk yang memang sengaja dibawanya ke daiam kamar itu. Cambuknya melejit-i lejit dan tangan kirinya mengeluarkan angin yang mematikan lampu di atas meja ketika dia mainkan jurus itu.
Akan tetapi setelah dia berhenti main-kan jurus ini, Sin-eng-cu tidak memberi komentar apa-apa. Kakek itu tetap duduk bersila dengan tangan kanan terkepal di' atas pangkuan, telentang, dan tangan kiri diangkat ke depan dada jari-jari tfengah terbuka dan telapak tangan menghadap keluar.
"Susiok-couw, bagaimana sekarang...?" Yo Wan menegur lagi sambil maju mendekat dan berlutut.
"Susiok-couw.....!" la berseru agak keras sambil berdongak memandang. Kakek itu masih duduk bersila dengan mata meram. Ketika Yo Wan melihat sikap yang tidak wajar ini, berubah air muka-' nya. Dirabanya kepalan tangan kanan di atas pangkuan itu dan dia menarik kem-bali tangannya. Kepalan itu dingin sekali. Dirabanya lagi nadi, tidak ada denyutan. Kakeknya itu -seperti orang tidur tanpa bernapas.
"Susiok-couw.....!"
Tiba-tiba dia mendengar suara dt belakangnya, "Dia sudah mati. Ah, Sin-eng-cu, kau benar-benar hebat. Dengan jurus terakhir itu kau telah mengalahkan aku. Aku mengaku kalah!"
Yo Wan menoleh dengan heran. Bhewakala sudah berdiri di situ dan biarpun kelihatannya masih amat lemah, kiranya pendeta ini sudah dapat berjalan dengan ringan sehingga dia tidak mendengar kedatangannya. Akan tetapi dia segera menghadapi Sin-eng-cu lagi, berlutut dan memberi hormat sebagaimana layaknya sambil berkata, "Harap Susiok-couw sudi mengampuni teecu yang tidak mampu menolong Susiok-couw yang terluka se^ hingga hari ini Susiok-couw meninggal dunia."
la tidak dapat menangis karena memang dia tidak ingin menangis. "Yo Wan, orang selihai dia mana bisa mati karena luka pukulanku? Seperti juga pukulannya, mana bisa membikin mati aku? Kami berdua hanya terluka yang akibatnya melenyapkan tenaga daiam karena pusat pengerahan sinkang di tu'-buh kami rusak akibat pukulan. Tanpa pukulanku, hari ini dia akan mati uga, kematian wajar dari usia tua."
Bhewakala maju menghampiri kakek yang masih duduk bersila itu, lalu tiba-tiba pendeta Nepal ini memeluknya. "Sin-eng-cu, tua bangka..... terima kasih. Be-lum pernah selama hidupku merasa be-gitu senang dan gembira seperti selama tiga tahun kita mengadu Umu ini. Kau hebat, sahabatku, kau hebat. jurusmu terakhir tak dapat kupecahkan, biarlah sisa hidupku akan dapat kupergunakan untuk memecahkan jurus itu agar kelak kalau kita bertemu kembali, dapat ku-mainkan di depanmu....."
Pendeta ini Salu membaringkan tubuh Sin-eng-cu. Tangan dan kaki kakek itu sudah kaku, akan tetapi begitu disentuh Bhewakala pada jalan darah dan sambungan-sambungan tulang yang membeku itu, menjadi lemas kembali dan dapat ditelentangkan. Kemudian pendeta hitam Tni berpaling kepada Yo Wan yang memandang semua itu dengan mata terbelalak heran. Memang seorang yang aneh dan luar biasa pendeta hitam ini, pikirnya.
“Yo Wan, kau adalah murid Pendekar Buta akan tetapi tak pernah menerima warisan ilmu silatnya kecuali pelajaran langkah-langkah yang tiada artinya dalam menghadapi lawan. Kau bukan murid kami namun kau telah mewarisi inti sari daripada ilmu silat kami berdua. Memang lucu. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dalam hatiku, aku menganggap kau murid tunggalku dan selalu aku menanti kunjunganmu ke Anapurna di Himalaya. Selamat tinggal, muridku." Setelah berkata demikiar, Bhe-wakala berjalan ke luar dari pondok itu, wajahnya muram seakan-akan kegembiraannya lenyap bersama nyawa Sin-eng-cu.
Yo Wan tiba-tiba merasa dirinya amat kesunyian. Yang seorang menjadi mayat, yang seorang lagi telah pergi. Kembali dia hidup seorang diri di tempat sunyi itu. Namun dia segera dapat menguasai perasaannya. la bukan kanak-kanak lagi. Ketika suhu dan subonya pergi, delapan tahun yang lalu, dia baru berusia delapan tahun lebih. Sekarang dia sudah menjadi seorang pemuda, enam belas tahun usianya seperti dikatakan Sin-eng-cu beberapa hari yang lalu. Tadinya dia sendiri tidak tahu berapa usianya kalau saja bukan Sin-eng-cu yang menghitungnya. Seorang jejaka. Jaka Lola, tidak hanya yatim piatu, akan tetapi juga tiada sanak - kadang. Di dunia ini hanya ada suhu dan subonya, akan tetapi kedua orang itu sudah pergi meninggalkannya sampai delapan tahun tanpa berita.
Dengan hati berat Yo Wan mengubur jenazah Sin-eng-cu di belakang pondok. la tidak tahu bagaimana harus menghias kuburan ini, maka dia lalu mengangkuti batu-batu besar yang dia taruh berjajar di sekeliling kuburan. la masih belum sadar bahwa kini dia dapat mengangkat batu-batu yang demikian besarnya, tidak tahu bahwa setiap batu yang diangkatnya dengan ringan itu sedikitnya ada seribu kati beratnya!
"Aku harus menyusul suhu dan subo ke Hoa-san." Pikiran inilah yang pertama-tama memasuki kepalanya. Tenngat akan niatnya pergi menyusul ke Hoa-san tiga tahun yang lalu, dia merasa me-nyesal sekali. Mengapa dia dahulu ddak jadi menyusul? Kalau tiga tahun yang lalu dia sudah pergi ke Hoa-san, :entu saat ini dia sudah berada bersama suhu dan subonya. Akan tetapi, dia tenngat lagi betapa dua orang kakek yang meng-adu ilmu itu mennbuat dia betah, malah selama tiga tahun ini dia tidak merasa rindu kepada suhu dan subonya, juga membuat dia tak pernah meninggalkan puncak karena kedua orang itu melarang-nya. Biarpun bumbu-bumbu habis, mereka tidak membolehkan dia turun puncak, dan sebagai pengganti bumbu-bumbu itu, Bhe-wakala menyuruh dia mengambil bermacain-macam daun di puncak yang ter-nyata dapat mengganti bumbu dapur. Dengan pakaian penuh tambalan Yo Wan turun dari puncak. Cambuk Bhewakala yang ditinggalkan oleh pendeta itu dia gulung melingkari pinggangnya, ter-sembunyi di balik bajunya yang penuh tambalan dan tidak karuan potongannya. Juga pedang kayu buatan Sin-eng-cu yang . dipakai untuk bermain jurus di depan Bhewakala, dia bawa pula, dia selipkan di balik ikat pinggang.
Berangkatlah Yo Wan si jaka Lola meninggalkan puncak Liong-thouw-san, berangkat dengan hati lapang dan penuh harapan untuk segera bertemu kembali idengan dua orang yang amat dikasihi, yaitu suhu dan subonya. la tidak sadar ,sama sekali, betapa dirinya kini telah mengalami perubahan hebat berkat latihan Iweekang menurut ajaran Sin-eng-cu dan Bhewakala, betapa dirinya selain inemiliki tenaga sinkang yang hebat juga telah memiliki ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang tidak mudah didapat orang!
Ketika penduduk sekitar kaki gunung yaog sudah mengenalnya melihat Yo Wan, mereka segera menegur dan mempersilakan dia singgah. Mereka menyatakan penyesalan mengapa pemuda itu selama tiga tahun ini bersembunyi saja. Malah yang mempunyai kelebihan pakaian segera memberi beberapa buah celana dan baju kepada Yo Wan ketika dilihatnya betapa pakaian pemuda ini penuh tambalan. Yo Wan, menerima dengan penuh syukur dan terima kasih. la sendiri tidak ingin suhu dan subonya marah dan malu melihat dia berpakaian seperti jembel itu. Segera dia menukar pakaiannya dan kini biarpun pakaiannya sederhana dan terbuat daripada kain kasar, namun cukup rapi dan tidak robek, juga tidak ada tambalan menghiasnya.
***
Yo Wan melakukan perjalanan se-perti seorang yang linglung. Dia seperti seekor anak burung yang baru saja be-lajar terbang meninggalkan sarangnya. Semenjak usia delapan tahun, dunia-nya hanya puncak Bukit Liong-thouw-san dan perkampungan sekitar kaki gunung. Biarpun di waktu kecilnya dia per-nah melihat kota dan tempat-tempat ramai, namun selama delapan tahun dia seakan mengasingkan diri di puncak gu-nung, dan sekarang, melakukan perjalanan melalui kota-kota dan dusun-dusun yang ramai, dia seperti seorang dusun yang amat bodoh. Bangunan-bangunan besar mengagumkan hatinya. Melihat banyak orang membuat dia bingung. Apalagi ilmu membaca dan menulis. la seorang buta huruf yang melakukan perjalanan melalui tempat-tempat yang asing baginya, tanpa kawan tiada sanak kadang, tanpa bekal uang di saku!
Akan tetapi kekurangan-kekurangan ini sama sekali tidak membuat Yo Wan menjadi khawatir atau susah. Semenjak kecil dia sudah tergembleng oleh segala macam kesulitan hidup, biarpun masih muda, ji.wanya sudah matang oleh asam garam dan pahit getir penghidupan, mem-buatnya tenang dan dapat menghadapi segala macam keadaan dengan tabah. Tidak sukar baginya untuk mengatasi ke-kurangannya dalam perjalanan. Kadang-kadang dia hanya makan buah-buahan dan daun-daun muda di dalam hutan untuk berhari- hari. Ada kalanya dia makan dalam sebuah kelenteng bersama hwesio-hwesio yang baik hati dan yang tetap membagi hidangan sayur-mayur sekedarnya tanpa daging itu kepada Yo Wan. Tentu saja Yo Wan belum mau pergi meninggalkan kelenteng sebelum dia me-lakukan sesuatu, mencari air, menyapu lantai, membersihkan meja sembahyang dan lain pekerjaan untuk membalas budi. Kadang-kadang orang dusun atau kota ada yang mau menerima bantuan tenaga-nya untuk ditukar dengan makan sehari itu.
Dengan cara demikian, Yo Wan melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya jalan menuju ke Hoa-san. la berlaku hati-hati sekali, selalu menjauhkan diri daripada keributan, dan tak pernah dia memperlihatkan kepada siapapun )uga bahwa dia memiliki tenaga luar biasa dan kepandaian yang tinggi. Yo Wan sendiri sebetulnya belum mengerti betul bahwa dia telah mewarisi inti sari kepandaian dua orang kakek berilmu sung-guhpun dia mengetahui bahwa dia memiliki tenaga dan keringanan tubuh yang melebihi orang lain. Oleh karena inilah maka dia sama sekali tidak mempunyai keinginan mencari dan mernbalas musuhnya, The Sun, sebelum dia bertemu de-ngan suhunya dan menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari gurunya itu.
Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan, akhirnya pada suatu pagi sampai juga dia di kaki Gunung Hoa-san. Dengan hati berdebar tegang dia berdiri memandang ke arah puncak gu-nung itu, sebuah gunung yang tinggi dan hijau, tidak liar seperti Gunung Liong-thouw-san. membayangkan pertemuan dengan suhu dan subonya setelah berpisah selama delapan tahun, mendatangkan rasa haru dan membuatnya termenung di situ dengan jantung berdebar-debar. Betapa-pun juga, dalam kegembiraan ini, ada rasa tidak enak di dalam hatinya, rasa bahwa dia adalah seorang tamu di Hoa-san. Suhu dan subonya sendiri terhitung tamu di situ, bagaimana dia akan dapat merasa di rumah sendiri? Berpikir begiru,. timbul kegetiran. Mengapa suhunya membiarkan saja dia bersunyi sampai delapan tahun di Liong-thouw-san? Mengapa gurunya itu tidak kembali? Ya, mengapakah? Mengapa Kun Hong dan Hui Kauw tidak kembali ke Liong-thouw-san sampai delapan tahun lamanya, membiarkan murid mereka itu seorang diri saja di puncak gunung yang sunyi' Apakah terjadi sesuatu yang hebat atas, diri mereka? Sebetulnya tidak terjadi sesuatu yang buruk. Tak lama setelah Kun Hong dan Hui Kauw tiba di Hoa-san, Hui KauW melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Tentu saja peristiwa ini mendatangkan kegembiraan luar biasadi Hoa-san.Oleh kakeknya, anak itu diberi namaKwa Swan Bu.
Ketua Hoa-san-pai sekarang adalah Kui Lok yang berjuluk Kui-san-jin, seorane tokoh Hoa-san-pai yang paling lihai karena dia dan isterinya (Thio Bwee) adalah sepasang suami isteri yang mewarisi ilmu Silat Hoa-san-pai yang paling tinggi. Suami isteri ini memimpin Hoa-san-pai, dibantu oleh suhengnya bernama Thian Beng Tosu (Thio Ki) dan Lee Giok, dan diawasi oleh kakek Kwa Tin Siong dan isterinya. Kwa Tin Siong sudah amat tua dan sudah bosan mengurus Hoa-san-pai, maka dia dan isterinya menyerahkan tugas ini kepada Kui-san-Jin dan mereka sendiri tekun bertapa.
Kedatangan putera tunggal mereka, Kwa Kun Hong dan isterinya, tentu saja menggirangkan hati kedua orang tua ini, apalagi setelah isteri Kun Hong melahirkan seorang putera, kebahagiaan suami isteri tua ini menjadi sempurna. Perlu diketahui bahwa tokoh-tokoh Hoa-san-pai tidak ada yang mempunyai keturunan laki-laki kecuali Kwa Kun Hong seorang. Thian Beng Tosu hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Thio Hui Cu yang sudah menikah dengan Tan Sin Lee putera Raja Pedang Tan Beng San yang menjadi ketua Thai-san-pai. Juga Kui-san-jin hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Kui Li Eng yang sudah menikah pula dengan Tan Kong Bu, putera lain lagi dan Raja Pedang Tan Beng San. Semua ini dapat dibaca dalam cerita Rajawali Emas dan dan Pendekar Buta. Karena tidak ada keturunan lak.-laki di Hoa-san, tentu saja lahirnya Kwa Swan Bu amat menggirangkan hati Kakek Kwa. Juga Thian Beng Tosu dan Kui san jin ketua Hoa-san-pai amat girang. Orang-orang tua inilah yang minta dengan sangat kepada Kun Hong dan istrinya agar suami isteri itu tidak kembali ke Liong-thouw-san, setidaknya menanti kalau Swan Bu sudah besar.
Amat tidak baik membiarkan seorang anak laki-laki bersunyi d puncak bukit dengan kedua orang tuanya saja, kata Kwa Tin Siong kepada putera dan mantunya “Ia akan tumbuh besar dalam kesunnyian, kurang bergaul dengan sesama manusia. Di Hoa san pai ini adalah tempat tinggalmu sendiri sejak kau kecil, Kun Hong karena itu sebaiknya kau memmbiarkan puteramu tinggal disini pula. Disini merupakan keluarga Hoa san pai yang besar, dan puteramu tentu akan menerima kasih sayang dari semua orang. Juga aku dan ibumu sudah tua, biarkan-lah kami menikmati hari-hari akhir kami dengan cucu kami Swan Bu."
Inilah yang membuat Kun Hong dan isterinya tak dapat meninggalkan Hoa-san. Kun Hong berunding dengan isteri-nya tentang Yo Wan. Hui Kauw yang tentu saja menimpakan kasih sayang seluruhnya kepada puteranya, menyatakan bahwa Yo Wan tentu akan menyusul ke Hoa-san. "Bukankah dahulu kau sudah meninggalkan pesan bahwa dia harus menyusul ke Hoa-san kalau dalam waktu dua tahun kita tidak pulang? Dia sudah besar, tentu dapat mencari jalan ke sini. Pula, hal ini amat perlu bagi dia. Murid kita harus menjadi seorang yang tabah dan tidak gentar menghadapi kesukaran."
Kun Hong setuju dengan pendapat isterinya ini. Akan tetapi hatinya gelisah juga setelah
lewat dua tahun, bahkan sampai lima tahun, murid itu tidak datang menyusul ke Hoa-san.
"Jangan-jangan ada sesuatu terjadi disana?" Kun Hong menyatakan kekhawatirannya.
"Atau dia memang tidak ingin ikut dengan kita di sini," Hui Kauw berkata, keningnya berkerut. Diam-diam la merasa tidak senang mengapa Yo Wan tidak mentaati perintah suaminya. Seorang murid harus Wntaati perintah guru, kalau tidak, dia bukanlah murid yang baik, "Sudahlah, kita tidak perlu memikirkan Yo Wan. Kalau dia datang menyusul, berarti dia suka menjadi mund kita, kalau tidak, terserah kepadanya. Lebih baik kita melatih anak kita sendiri."

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka