Skip to main content

Jaka Lola 11 -> karya : kho ping hoo

Bukan main terharunya hati Yo Wan. Ingin dia menangis menggerung-gerung oleh kasih sayang yang besar, yang di-limpahkan mereka kepadanya. Akan tetapi dia maklum bahwa suhunya tidak suka akan sikap cengeng macam ini, maka dia menekan perasaannya, lalu berpamit. Takut kalau-kalau air matanya bercucuran, setelah mendapat ijin dia lalu melangkah ke luar dengan langkah lebar, lalu berlari-larian secepatnya me-ninggalkan tempat itu agar tidak ada orang melihat betapa air matanya bercucuran di sepanjang jalan. Akan tetapi sepasang suami isteri yang sakti itu tahu akan hal ini. Hui Kauw terisak menangis. "Dia anak baik....." katanya.
"Sebaliknya anak kita yang akan rusak kalau terus-terusan mendapat kemanjaan yang luar blasa di sini. Hui Kauw, kita harus pergi dari sini, kembali ke Liong thouw-san, sekarang juga."
Bukan main girangnya hati Hui Kauw mendengar ini. Memang inilah yang men-jadi idam-idaman hatinya, namun tadinya Kun Hong menaruh keberatan karena dia ingin membiarkan puteranya hidup ba-hagia, dekat saudara-saudara di Hoa-san-pai yang amat mencinta anak itu. Siapa tahu, terlalu banyak cinta kasih yang dilimpahkan membuat anak itu ti-dak pernah dan tidak mau tahu akan kesukaran, membuatnya manja dan selalu ingin dituruti kehendaknya karena semen-jak kecil tak pernah ada yang menolak keingmannya.
Perjalanan yang dilakukan Yo Wan amatlah sukar dan jauh. la mentaati pesan Kun Hong, juga dia teringat akan pesan Bhewakala bahwa pendeta itu se-lalu menanti kedatangannya di Anap'irna, yaitu sebuah puncak di Pegunungar Hi-malaya. Perjalanan yang amat jauh dan membutuhkan ketekadan yang bulat serta keuletan yang tahan uji. Baiknya dia membawa bekal sekantung uang emas pemberian Hui Kauw, kalau tidak, tentu akan lambat perjalanannya kalau dia harus berhenti-henti untuk bekerja se-kedar mencari pengisi perut. Kini dia dapat melakukan perjalanan dengan lan-car, terus ke barat, hanya mau berhenti kalau kemalarhan di jalan atau kalau sudah amat lelah.
Melakukan perjalanan ke timur atau ke selatan jauh lebih cepat daripada perjalanan ke barat atau ke utara. Hal ini adalah karena semua sungai mengalir ke selatan atau ke timur, dan pada masa itu, di waktu perjalanan darat amatlah sukarnya, jalan satu-satunya yang paling cepat adalah perjalanan melalui air.
Namun Yo Wan adalah seorang pe-muda yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Larinya cepat seperti kijang dan setiap kali melalui hutan atau gunung yang sukar, dia masih dapat berlari ce-pat. 3uga sebagal seorang pemuda yang berpakaian sederhana, tidak membawa apa-apa, dia terbebas daripada gangguan para perampok yang hanya memperhati-kan orang-orang yang membawa barang» barang berharga.
Setelah tiba di Pegunungan Himalaya, barulah pemuda itu mengalami kesukaran hebat. Beberapa kali hampir saja dia celaka ketika perjalanannya sampai di bagian yang tertutup salju. Dinginnya hampir tak tertahankan lagi. Pernah ada gunung es longsor, gugur dan kalau dia tidak cepat melompat ke dalam jurang dan berlindung, tentu dia akan terkubur hidup-hidup dalam salju. Kurang lebth sebulan dia melalui perjalanan yang amat sukar dan, sunyi ini. Hanya kadang- kadang dia berjumpa ,ke-lompok pengembara atau singgah di gu-buk pertama. Di tempat seperti ini, uang tidak ada artinya lagi, tidak dapat me-nolong seseorang daripada kesengsaraan. Hanya sikap yang baik dapat menolong-nya, karena pertolongan datang dari orang-orangyang tidak terbeli oleh harta, melainkan oleh keramahan. Dari para pertapa inilah Yo Wan akhirnya sampai juga di Anapurna, tem-pat pertapaan Bhewakala. Pendeta Itu amat girang melihat kedatangan Yo Wan yang berlutut di depannya dan menceri-takan semua pengalamannya di Hoa-san.
"Ha-ha-ha, Pendekar Buta memang hebat dan dia cukup menghargai orang lain maka dia menyuruh kau datang ke sini, muridku. Memang dia betul, biarpun ilmu-ilmu yang pernah kaulatih dan aku dan Sin-eng-cu telah mendarah daging pada tubuhmu, namun masih mentah karena kau belum dapat menyelami inti sarinya. Nah, mulai hari ini kau belajar-lah baik-baik muridku."
Ternyata Bhewakala tidak hanya menggembleng Yo Wan dalam ilmu silat untuk menyempurnakan ilmunya, akan tetapi juga memberi gemblengan-gemblengan ilmu batin kepada Yo Wan. Makin lama makin betah pemuda ini tinggal di Hima-laya, makin meresap ke dalam hatinya. pelajaran kebatinan dan biarpun dia ma-sih buta huruf karena tidak pernah mem-pelajarinya, namun kini mata hatinya sudah terbuka dan dapatlah dia meneropong ke dalam penghidupan manusia. Mengertilah dia kini akan ucapan Kun Hong tentang dendam dan balas-membalas, dan makin lama makin tipislah keinginan hatinya untuk mencari The Sun dan membunuhnya. Lenyap pula hasratnya untuk merantau di dunia ramai kare-na di samping gurunya, di tempat yang sunyi dan dingin ini, dia telah menemukan ketenteraman hidup, kebahagiaan sejati manusia yang tidak digoda kehen-dak nafsu, sedikit demi sedikit melepas-kan diri daripada lingkaran karma.
Waktu berjalan pesat seperti anak panah terlepas daripada busurnya, Sembilan tahun lamanya Yo Wan berada di Himalaya dan pada suatu hari Bhewakala yang sudah tua itu jatuh sakit. Pendcta ini maklum bahwa waktu hidupnya sudah tiba pada saat terakhir. la tidak ingin muridnya yang terkasih itu menyia-nyia-kan hidup sebagai pertapa selagi masih begitu muda. Dipanggilnya Yo Wan dan dengan suara lirih dan napas tinggal satu-satu pendeta inl meninggalkar pesan.
"Yo Wan, saat bagiku untuk mening-galkan dunia sudah hampir tiba. Aku girang dengan peristiwa ini, karena se-lain berarti kebebasanku, juga kau akan terlepas daripada ikatanmu dengan aku. Ilmu yang kaumiliki sudah cukup untuk bekal hidup. Bertahun-tahun kau tetap menolak perintahku untuk turun gunung dan merantau, dengan alasan ingin me-layani aku yang sudah tua sebagai pembalas budi. Kau masih terikat oleh budi, tentu tak mudah melepaskan diri daripada ikatan dendam. Akan tetapi kau sudah masak sekarang, matang lahir batin. Pesanku terakhir ini harus kautaati, Yo Wan. Apabila aku meninggal dunia, kau harus bakar jenazahku di pondok ini, bakar semua yahg berada di sini. Ke-mudian kau harus tinggalkan tempat ini, kembali ke timur."
"Tapi...... Guru".
"Tidak ada tapi, kau sebagai seorang anak tidak boleh menjadi anak yang pu-thouw (tidak berbakti). Ada kuburan ayah-mu, ada kuburan ibumu di sana, siapa yang akan merawatnya? Pula, kau bukan ditakdirkan hidup menjadi pertapa. Kau harus turun gunung, kembali ke dunia ramai, mencari jodoh, mempunyai turunan seperti manusia-manusia lain. Soal The Sun, terserah kebijaksanaanmu sendiri."
"Ah, Guru....."
Bhewakala tersenyum lebar. "Biarkan dirimu menjadi permainan hidup, men-jadi permainan kekuasan Tuhan, karena untuk itulah kau diberi hak hidup disertai kewajiban-kewajibannya. Kalau kau meng-ingkari pesanku ini, selamanya kau tak-kan dapat tenteram, karena kau tentu tidak akan suka mengecewakan aku."
Yo Wan tak dapat membantah lagi karena dia maklum bahwa apa yang dikatakan gurunya itu betul belaka. la tidak mungkin mau mengecewakan orang yang sudah begitu baik terhadap dirinya, sungguhpun masa depan di dunia ramai tidak menarik hatinya, bahkan meng-gelisahkan.
Pada malam harinya, Bhewakala meng-hembuskan napas terakhir di depan Yo Wan. Pemuda yang sekarang sudah ber-usia dua puluh lima tahun lebih hu menyambut kematian ini dengan wajar, tidak menangis, biarpun ada juga penyesalan akibat daripada perpisahan dengan orang yang disegani dan dihormati. la melaksanakan pesan gurunya itu de-ngan baik-baik, membakar jenazah berikut pondok dan segala benda yang berada di situ. Tiga hari tiga malam dia berkabung di tempat yang sudah menjadi gundul dan kosong itu, kemudian mulailah dia turun gunung, pagi-pagi berangkat ke arah munculnya matahari yang ke- merah-merahan. Bergidik dia melihat keindahan ini, karena dia merasa seakan-akan dia sedang berjalan menuju ke api neraka yang merah, dahsyat dan akan menelannya!
***
Kita tinggalkan dulu Yo Wan yang sedang turun dari Pegunungan Himalaya, memulai perjalanannya yang amat sunyi dan jauh serta sukar untuk mulai dengan perantauannya, dan mariJah kita kembali mengikuti perjalanan Siu Bi, gadis lincah dan berhati tabah itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Siu Bi, puteri tunggal The Sun, meninggalkan Go-bi-san dengan hati sakit. Setelah ia mengetahui bahwa la bukan puteri The Sun, bukan keturunan keluarga The, simpatinya tertumpah kepada mendiang Hek Lojin yang telah terbunuh oleh The Sun. Ia merasa menyesal dan kecewa. Kiranya ia bukan puterii The Sun. Siapakah orang tuanya? Apakah ia bukan anak ibunya pula? Mengingat ini, menangislah Siu Bi di sepanjang jalan.Ia amat mencinta ibunya, dan sekarang ia pergi tanpa pamit. Biarpun orang yang selama ini mengaku ayahnya telah mengecewakan hatinya dengan me-mukul mati Hek Lojin dan dengan kenyataan bahwa orang itu bukan ayahnya yang sejati, namun ibunya tak pernah melukai hatinya. Ibunya selalu sayang kepadanya sehingga andaikata ia bukan ibunya yang sejati, Siy Bi tetap akan mencintanya Betapapun juga, Siu Bi dapat me-nguasai perasaannya dan melakukan perjalanan dengan tabah. Tujuannya hanya satu, yaitu mencari dan membalas den-dam kepada Kwa Kun Hong! la akan inenantang Pendekar Buta itu sebagai wakil Hek Lojin dan berusaha sedapatnya untuk membuntungi sebelah lengan Pendekar Buta, juga lengan isterinya dan anak- anaknya. la sudah bersumpah di dalam hati kepada kong-kongnya, Hek Lojin. la merasa yakin akan dapat me-lakukan tugas ini. Setelah mewarisi Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dan Ilmu Pu-ku.lan Hek-in-kang, ia merasa dirinya cukup kuat dan tidak gentar menghadapl lawan yang bagaimanapun juga. Ingat akan hal ini, Siu Bi menjadi bersemangat dan di bawah sebatang pohon besar ia berhenti lalu berlatih dengan kedua ilmu silat itu. Memang hebat sekali ilmunya ini. Pedangnya, hanya sebatang pedang biasa saja, berubah menjadi gulungan sinar putih yang naik turun menyambar-nyambar, di antara awan menghitam yang merupakan uap dari pukulan-pukulan Hek-in-kang. Ketika ia berhenti berlatih sejam kemudian, di bawah pohon sudah penuh daun-daun pohon yang terbabat putus tangkainya oleh sinar pedangnya dan yang rontok oleh hawa pukulan Hek-in-kang! Siu Bi berdlri tegak, kepalanya tunduk memandangi daun-daun itu dengan hati puas. Pendekar Buta, pikirnya, le-nganmu dan lengan-lengan anak isterimu akan putus seperti daun-daun ini!
Sebagai seorang gadis remaja yang baru berusia tujuh belas tahun lebih, Siu Bi melakukan perjalanan yang amat jauh dan sulit. Go-bi-san merupakan pegunung-an yang luas dan jalan menuruni pegunungan ini sa'ma sukarnya dwgan jalan pendakiannya. Namun, dengan kepandaiarl-nya yang tinggi Siu Bi tidak menemui kesukaran. Tubuhnya bergerak lincah dan ringan, kadang-kadang dia harus me;lom-pat jurang. Dengan ginkangnya yang ting-gi ia dapat melompat bagaikan terbang saja, tubuhnya ringan meluncur di atas jurang, dilihat dari jauh tiada ubahnya seorang dewi dari kahyangan yang ter-bang melayang turun ke dunia. Pakaiah-nya yang terbuat daripada sutera halus berwarna merah muda, biru dan kuning itu berkibar-kibar tertiup angin ketika ia melompat. Ronce-ronce pedang yang tergantung di punggungnya menambah kecantikan dan kegagahannya.
Berpekan-pekan Siu Bi keluar masuk hutan, naik turun gunung, melalui banyak dusun-dusun di kaki gunung dan rnelalui beberapa kota pegunungan. Setiap kali dia bertemu orang, tentu dia menjadi pusat perhatian. Apalagi kaum pria, rnelihat seorang gadis remaja demikian cantik jelitanya, memandang penuh kekaguman. Namun tiada orang berani mengganggu, karena tidak hanya pedang di punggung Siu Bi yang membuktikan bahwa gadis remaja jelita itu seorang ahli silat, akan tetapi juga Siu Bi tidak menyembunyikan gerak-geriknya yang lincah dan ringan, sehingga setiap orang tahu bahwa dia adalah seorang pendekar wanita muda ;yang tidak boleh dibuat main-main!
Pada suatu hari sampailah ia di kota Pau-ling di tepi Sungai Huang-ho, setelah melakukan
perjalanan sebulan lebih ke selatan.
Sebetulnya Pau-ling tidak patut disebut kota, melainkan sebuah dusun yang menghasilkan banyak padi dan gandum. Tanah di lembah Sungai Huang-ho ini amat subur sehingga pertanian banyak maju, hasilnya berlimpah-limpah. Karena letaknya dekat dengan sungai besar, maka dusun ini makin lama makin ramai dengan perdagangan melalui sungai. Hasil- hasil sawah ladang diangkut melalui, sungai dengan perahu-perahu besar. Ketika Siu Bi lewat di pelabuhan sungai, ia melihat banyak orang mengangkat padi dan gandum berkarung-karung ke atas perahu-perahu besar. Orang-orang ini bekerja dengan wajah muram, tubuh mereka kurus-kurus dan pakaian mereka penuh tambalan. Beberapa orang yang memegang cambuk dan berpakaian sebagai mandor, membentak-bentak dan ada kalanya mengayun cambuk ke punggung seorang pengangkut yang kurang cepat kerjanya. Ada lima enam orang mandor yang galak-galak, dan melihat Siu Bi lewat, mereka tertawa-tawa dan memandang dengan mata kurang ajar. Ada yang bersiul-siul dan menuding-nuding ke arah Siu Bi.
Panas hati Siu Bi. Namun ia menahan sabar, karena ia tidak mau kalau per-jalanannya tertunda hanya karena ada beberapa orang laki-laki yang memperlihatkan kekaguman terhadap kecantikannya secara kurang ajar. la mempercepat langkahnya dan sebentar saja ia sudah tiba di luar dusun Pau-ling. Akan tetapi kembali di luar dusun, di kanan kiri jalan di mana sawah ladang membentang luas, ia disuguhi pemandangan yang amat menyolok mata. Belasan orang laki-laki yang keadaannya miskin dan kurus seperti para kuli angkut karung gandum dan padi tadi, bekerja di sawah, menuai gandum. Belasan orang wanita juga bekerja. Mereka bekerja dengan penuh semangat, akan tetapi jelas bukan semangat yang mengandung kegembiraan, melainkan semangat karena ketakutan. Beberapa orang mandor menjaga mereka dengan cambuk di tangart pula. Di sana-sini terdengar cambuk berbunyi ketika melecut punggung, diiringi jerit kesakitan.
Siu Bi berdiri terpaku. Hatinya mulai panas. Akan tetapi ia kiranya tidak akan sembarangan mau mencampuri urusan orang kalau saja tidak melihat kejadian yang membuat wajahnya yang jelita menjadi kemerahan saking marahnya. la melihat betapa seorang wanita setengah tua yang tampaknya sakit, roboh terpelanting setelah menerlma cambukan pada punggungnya. Seorang gadis yang usianya sebaya dengan dia menjerit dar menubruk wanita itu, menangisi ibunya yang sudah pingsan. Dua orang mandor cepat menghampiri mereka, yang seorang sekali sambar telah mengangkat tubuh gadis itu dan..... menciuminya sambil terkekeh-kekeh dan berkata,
"Ha-ha-ha, jangan mau besar kepala setelah terpakai oleh majikan! Lain hari kau tentu akan diberikan kepadah . Ha-ha-ha!"
Adapun mandor ke dua dengan marahnya menghajar wanita setengah tua itu dengan cambuk, memaki-maki, "Anjing betina! Siapa suruh kau pura-pura mampus di sini? Hayo berdiri dan bekerja, kalau tidalk kucambuki sampai hancur badanmu!"
Siu Bi tak dapat menahan kesabarannya lagi. "Keparat jahanam, lepaskan mereka!" Bagaikan seekor burung walet cepat dan ringannya, tubuh Siu Bi sudah melayang dekat orang yang menciumi gadis tani, sekali kakinya bergerak menendang terdengar suara "bukkk!" dan mandor yang galak dan ceriwis itu terlempar sampai empat meter lebih dan jatuh terbanting ke dalam lumpur. Hanya beberapa detik selisihnya, tahu-tahu terdengar suara "ngekkk!" ketika orang ke dua yang mencambuki wanita setengah tua itu terlempar pula oleh tendangan Siu Bi, hampir menimpa kawannya yang baru merangkak-rangkak bangun. Semua pekerja serentak menghentikan pekerjaan mereka, berdiri terpaku,. Muka mereka pucat dan hampir saja mereka tidak percaya apa yang mereka lihat tadi. Seperti dalam mimpi saja. Siapakah orangnya berani melawan para mandor? Kiranya hanya seorang gadis yang cantik jelita, seorang gadis remaja.
"Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwa" Im) menolong kita....." bisik seorang laki-laki tua dan serentak mereka menjatuhkan diri berlutut menghadapi Siu Bi Pada masa itu, kepercayaan orang-orang, terutama orang-orang dusun, tentang kesaktian Dewi Kwan Im yang sering kali muncul atau menjelma untuk membersihkan kekeruhan dunia dan menolong orang- orang sengsara, masih amat tebal. Dewi Kwan Im, terkenal sebagai Dewi Welas Asih, dewi lambang kasih sayang dan pe-nolong yang juga terkenal amat cantik jelita. Kini melihat seorang dara jelita berani melawan dua orang mandor, dan sekali tendang dapat membuat dua orang mandor galak itu terpelanting dan roboh, otomatis mereka menganggap bahwa Dewi Kwan Im yang menolong mereka.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed