Skip to main content

Pendekar Buta 42 -> karya : kho ping hoo

Kun Hong berlutut, tangannya meraba dan....... begitu menyentuh tubuh janda Yo, jari-jari tangannya cepat bergerak memeriksa nadi tangan, memeriksa detik jantung, meraba leher. Dia mengeluh panjang, melepaskan tangan mayat itu, lalu menutupi mukanya dengan tangan mulutnya berkata lirih.

"Yo-twaso....... kau telah berkorban untukku....... alangkah besar budi yang kau limpahkan kepadaku. Yo-twaso, biarlah aku bersumpah, aku tidak mau menjadi orang sebelum aku membalas ini semua kepada si keparat The Sun......."

"Tidak.......!" Tiba-tiba A Wan yang sudah siuman melepaskan diri dari pangkuan Hui Kauw yang juga menangis perlahan saking terharunya. A Wan lari menghampiri dan memeluk tubuh ibunya, lalu memandang Kun Hong dan berkata lagi. "Tidak, Paman, tidak boleh begitu. Akulah yang akan membalas dendam Ibu terhadap The Sun! Sebelum....... sebelum Ibu mati, ia sudah meninggalkan pesan kepadaku supaya membalas budi Paman dan membalas dendam kepada The Sun. Ah, Ibu..... Ibu.......!!"

Tiba-tiba Kun Hong yang sudah dapat menguasai perasaannya itu bangkit berdiri dan sekali tarik dia telah membuat A Wan berdiri pula. "Cukup bertangis-tangisan ini! Tanpa kegagahan, mana bisa kau membalas dendam itu? Dan kalau mempelajari kegagahan, harus pantang menangis kau dengar? A Wan, mulai sekarang kau menjadi muridku!"

"Suhu (guru)......." A Wan menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong, terisak-isak menahan tangisnya.

"Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi dengan ibumu!"

Sambil menahan isaknya A Wan lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia dan ibunya menolong Kun Hong yang sudah menggeletak pingsan di belakang rumah, kemudian betapa dia disuruh ibunya memanggil sinshe Thio akan tetapi biarpun dia membujuk-bujuk sinshe itu tidak mau menolong malah memaki dan memukulnya. Kemudian dia bercerita dengan air mata bercucuran akan tetapi tidak berani mengeluarkan suara tangisan betapa ketika dia pulang, dia mendengar jerit ibunya memanggil namanya dan pada waktu dia memasuki rumah, ibunya sudah menggantung lehernya dengan ikat pinggang.

Kun Hong menarik napas panjang dan menoleh kepada Hui Kauw, berkata d-ngan suara tergetar, "Dia mencuci noda dengan nyawa. Hui Kauw, adakah orang yang lebih mulia daripadanya?"

Hui Kauw tidak menjawab, hanya terisak perlahan menekan keharuan hatinya ketika ia memandang ke arah mayat nyonya Yo yang menggeletak di lantai. Perlahan ia melangkah maju, mengangkat mayat itu dengan hati-hati dan meletakkannya di atas pembaringan, lalu menggunakan selimut butut yang berada di situ untuk menutupi tubuh dan muka mayat itu. Semua ini ia lakukan penuh hormat dan dengan diam-diam, diikuti pandang mata A Wan dan pendengaran Kun Hong. Ketika menyingkap selimut tadi, Hui Kauw melihat tongkat Kun Hong, diambilnya tongkat itu dan diserahkannya kepada Kun Hong tanpa berkata-kata. Kun Hong merasa tangannya tersentuh tongkat, dengan hati lega dia menerima senjata ini.

"A Wan, dahulu kau dan ibumu diantar Lao Tui pergi ke kota Cin-an, bagaimana kau dan ibumu bisa tinggal di kota raja ini?"

Dengan singkat anak itu menuturkan pengalamannya yang penuh duka dan derita. Memang amatlah buruk nasib dia dan ibunya. Lao Tui yang berhati palsu itu kiranya berlaku curang. Anak dan ibu ini tidak diantar ke Cin-an sebagaimana yang dikehendaki nyonya Yo, melainkan diam-diam dia bawa ke kota raja! Setelah tiba di kota raja mereka menginap dalam sebuah rumah penginapan dan di tempat inilah diam-diam Lao Tui kabur membawa semua uang pemberian Song-wangwe, membiarkan janda muda itu bersama anaknya sendirian di kota raja yang besar dan ramai itu! Dapat dibayangkan betapa bingung dan susahnya hati nyonya janda Yo. Seorang wanita dari dusun seperti dia, kini tahu-tahu berada di kota besar tanpa uang tanpa sandaran! Dengan amat sengsara janda muda ini bekerja keras sebagai tukang cuci, sekedar untuk dapat mencegah kelaparan dan hidup dalam keadaan amat miskin dengan anaknya. Tentu saja banyak gangguan ia alami, namun janda muda ini berhati keras dan dapat menjaga diri sehingga biarpun ia dan anaknya hidup miskin dan serba kekurangan, menyewa sebuah pondok seperti gubuk, namun di dalam kemiskinan itu ia tetap dapat menjaga kebersihan diri dan namanya.

"Ibu dan teecu (murid) hidup dalam kemiskinan, Ibu bekerja mencuci pakaian dan teecu membantu dengan bekerja sebagai penggembala, sampai pada malam hari itu secara kebetulan sekali kami bertemu dengan Suhu," A Wan mengakhiri ceritanya yang didengarkan dengan penuh keharuan hati oleh Kun Hong dan Hui Kauw.

"Memang nasib ibumu amat buruk, akan tetapi besarkan hatimu, Wan-ji, karena segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bukanlah kehendak manusia. Sudah ditakdirkan ibumu pergi menyusul arwah ayahmu di waktu ia masih muda. Mereka itu, ayah bundamu itu, meninggalkan kau seorang diri di dunia, tentu mereka percaya dengan penuh keyakinan bahwa kau sebagai ahli waris mereka akan mewarisi pula budi pekerti ayahmu yang gagah perkasa wataknya dan ibumu yang suci budinya."

A Wan mendengarkan dengan muka tunduk untuk menyembunyikan mukanya yang menjadi merah lagi.

"Wan-ji (anak Wan), ketika kau dan ibumu menolongku ketika aku pingsan, apakah kau melihat buntalan pakaianku? Adakah kau melihat sesuatu dalam buntalan pakaian itu?"

"Suhu maksudkan sebuah benda seperti topi yang gilang-gemilang berwarna kuning?"

"Betul......." Kun Hong berdebar gembira. "Di mana berada benda itu?"

"Ada teecu simpan. Suhu jangan khawatir, teecu sembunyikan di tempat rahasia. Begitu melihat benda itu, teecu dapat menduga bahwa tentu Suhu memperebutkan benda itu dengan musuh-musuh Suhu, maka sengaja teecu sembunyikan selagi Suhu pingsan. Tunggu sebentar Suhu, teecu hendak mengambilnya, teecu di belakang rumah." Anak itu lalu keluar melalui pintu belakang.

"Kun Hong, cerdik sekali Wan-ji itu, pantas dia menjadi muridmu, pula sudah sepatutnya kalau kita membalas budi mendiang Yo twaso......" kata Hui Kauw terharu.

"Kau betul, Hui Kauw. Kita harus membantu Wan-ji mengurus penguburan jenazah Yo-twaso dan sambil menanti Wan-ji dan datangnya pagi, baik kau ceritakan pengalamanmu. Tadi itu rumah siapakah? Apakah kau berhasil bertemu dengan orang tuamu?"

Dua orang muda itu duduk berhadapan di atas lantai tanah yang hanya bertikar rombeng di rumah itu. Di dekat mereka, jenazah nyonya janda Yo terbaring kaku. Api lampu minyak kecil membuat ruangan itu remang-remang. Suara Hui Kauw yang halus itu terdengar ketika ia mulai menceritakan pengalamannya setengah berbisik-bisik. Sebaiknya kita ikuti saja pengalaman nona ini semenjak ia berpisah dari Kun Hong setelah membantu pemuda buta itu memperoleh kembali mahkota kuno dari tangan Hui Siang dan Bun Wan di Pulau Ching-coa-to.

Hui Kauw meninggalkan Pulau Ching-coa-to dengan hati penuh duka nestapa dan perasaan hancur. Memang, baginya pulau itu bukanlah kenangan yang mendatangkan kenangan indah dan andaikata ia dapat pergi meninggalkan pulau ini setahun yang lalu, agaknya ia akan merasa gembira, bahagia dan bebas seperti burung terlepas dari sangkarnya. Ching-toanio dan Hui Siang bukanlah merupakan orang orang yang mengasihinya, sungguhpun ia sendiri cukup berusaha untuk memaksa hati menyayang mereka untuk membalas budi mereka, terutama budi Ching-toanio yang telah memeliharanya semenjak ia kecil, sungguhpun wanita itu telah menculiknya dari tangan ayah bundanya yang aseli. Sesungguhnya, andaikata sebelum terjadi peristiwa keributan karena kedatangan Kun Hong di pulau itu, ia telah berhasil meninggalkan pulau, hal itu akan merupakan kebebasan dan kebahagiaan baginya.

Akan tetapi, apa hendak dikata. Nasibnya menghendaki lain. Nasib telah mempertemukan ia dengan Kun Hong Pendekar Buta itu, orang muda buta yang sekaligus menarik hatinya, menjatuhkan cinta kasihnya. Pengharapannya untuk dapat hidup berbahagia sebagai isteri Kwa Kun Hong timbul ketika Ching-toanio membujuknya untuk melakukan upacara pernikahan dengan Si Pendekar Buta. Menyaksikan wajah Si Pendekar Buta yang simpatik, budi pekertinya yang baik, sikapnya yang gagah perkasa dan kepandaiannya yang tinggi, di dalam hatinya Hui Kauw sudah jatuh benar-benar. Kebutaan mata Kun Hong tidak mengecewakan hatinya, malah merupakan hiburan baginya karena dengan demikian laki-laki yang ia harapkan menjadi suaminya itu tidak akan dapat melihat betapa wajahnya yang berkulit halus itu berwarna kehitaman yang menurut pandang mata setiap orang laki-laki tentu amat menjemukan dan buruk!

Siapa dapat mengira bahwa semua itu hanyalah tipuan belaka, siasat yang dijalankan oleh Ching-toanio dan kawan-kawannya untuk menjebak Kun Hong dan menarik pemuda perkasa itu ke pihak mereka. Tentu saja sebagai seorang laki-laki gagah, Kun Hong merasa terhina dan menolak pernikahan yang hanya merupakan siasat itu. Akibatnya perasaan Hui Kauw hancur luluh, remuk-redam dan buyarlah semua renungan yang muluk-muluk tentang hidup bahagia bersama Kun Hong.

Kini ia sudah terpisah dari Kun Hong, meninggalkan pemuda itu setelah membantunya mendapatkan mahkota kuno kembali. Sedikitnya hatinya telah terhibur. Tidak saja ia telah berjasa dan membalas budi Kun Hong, juga ia mendapat kenyataan bahwa Pendekar Buta itu sebetulnya menaruh hati cinta kasih pula kepadanya. Ia tidak bertepuk tangan sebelah. Kalau teringat akan ini, ingin rasanya Hui Kauw menari-nari saking bahagia rasa hatinya. Kun Hong juga mencintainya! Kebahagiaan apakah di dunia ini yang lebih besar daripada keyakinan bahwa orang yang dicintanya membalas dengan Cinta kasih yang sama besarnya pula?

Namun, duka dan suka memanglah sepasang saudara kembar. Masing-masing tak dapat berjauhan dan masing-masing siap menggantikan kedudukan saudara kembarnya. Rasa suka karena pengetahuan tentang cinta kasih Kun Hong kepadanya ini segera tertutup oleh duka yang amat besar, yaitu kenyataan bahwa Kun Hong tidak akan dapat mengawininya karena pemuda buta itu seluruh hati dan perasaannya masih terikat oleh cinta kasihnya kepada mendiang Cui Bi, dan perasaan ini memaksa Si Pendekar Buta untuk bersetia terus kepada mendiang kekasihnya itu!

Demikianlah, dengan dada kosong karena hatinya sudah tertinggal bersama Si Pendekar Buta, dan perasaan amat berat karena semenjak saat itu ia harus hidup sendiri, Hui Kauw melakukan perjalanan cepat sekali dengan tujuan kota raja. Selama hidupnya belum pernah ia melakukan perjalanan jauh, apalagi ke kota raja, karena ia seakan-akan "dikurung" oleh Ching-toanio di dalam pulau. Nenek itu kalau bepergian, tentu Hui Siang yang diajak serta. Justeru hal ini malah mendatangkan hiburan bukan kecil bagi Hui Kauw. Biasanya ia hanya melihat pemandangan di sekitar pulau saja, kali ini setelah melakukan perjalanan jauh melalui gunung-gunung, ia terpesona dan beberapa kali sampai terhenti untuk menikmati tamasya alam yang amat indahnya.

Tujuan perjalanannya ini selain minggat dari pulau Ching-coa-to, adalah untuk mencari ayah bundanya di kota raja. Hal ini sebenarnya telah menjadi niat hatinya semenjak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi ia selalu kurang berani melakukannya. Sekarang karena keadaan memaksanya, ia dapat melaksanakan niatnya itu. Betapapun perasaan ini mendatangkan kegirangan di hatinya, namun juga mendatangkan keraguan dan kekhawatiran. Ia sudah tidak ingat lagi bagaimana wajah ayah bundanya, juga tidak tahu nama mereka. Yang ia dengar dari pelayan tua di Ching-coa-to yang merasa sakit hati karena disiksa oleh Ching-toa-nio dan membuka rahasia ini kepadanya hanyalah bahwa ia bukanlah anak Ching-toanio, bahwa ketika masih amat kecil ia diculik oleh Ching-toanio dari kota raja dan bahwa dia adalah anak keluarga kaya raya she Kwee! Ia merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat berjumpa dengan ayah bundanya, apakah ia akan berhasil mencari seorang she Kwee di kota raja tanpa bahaya keliru cari? Bagaimana kalau ia bertemu dengan keluarga Kwee yang kaya raya di kota raja akan tetapi sebetulnya keluarga itu bukanlah keluarganya? Mungkinkah ayah bundanya akan dapat mengenal puterinya yang lenyap ketika masih amat kecil? Apalagi kalau ia ingat bahwa sekarang mukanya telah menjadi hitam! Kalau berpikir sampai di sini, Hui Kauw menjadi amat gelisah.

Para penjaga pintu gerbang tembok kota raja, tentu saja tidak membiarkan gadis ini lewat begitu saja tanpa diperiksa. Akan tetapi melihat sikap yang lemah lembut namun keren, melihat pedang yang tergantung di punggung Hui Kauw, mereka maklum bahwa gadis ini adalah seorang gadis kong-ouw yang berkepandaian, maka mereka tidak berani main gila. Tentu saja hal ini sebagian besar dikarenakan wajah Hui Kauw yang hitam dan karenanya tidak menarik, andaikata wajahnya yang sebetulnya amat cantik jelita itu tidak bercacat dengan warna kehitaman itu, kiranya ia takkan terluput daripada godaan dan kekurang ajaran para penjaga itu. Setelah diperiksa sebentar ia lalu diperbolehkan masuk. Dapat dibayangkan betapa kagum dan herannya hati gadis ini ketika ia telah memasuki kota raja dan melihat keramaian yang luar biasa itu. Bingung ia dibuatnya, dan hal pertama yang ia lakukan adalah mencari sebuah rumah penginapan.

Seorang pelayan muda dengan muka cengar-cengir menyambutnya. Pelayan rumah penginapan kota raja hampir semua mengenal orang-orang kang-ouw, maka pelayan muda ini pun tentu saja dapat menduga bahwa tamunya seorang wanita muda yang datang sendirian ini tentu seorang wanita kang-ouw.

"Nona mencari kamar? Kebetulan masih ada yang kosong di sebelah belakang. Silakan Nona mengikuti saja."

Hui Kauw tidak senang dan merasa sebal melihat muka pelayan muda yang mesam-mesem ini, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan berjalan perlahan mengikuti pelayan itu. Rumah penginapan itu cukup besar dan mereka berjalan melalui beberapa ruangan. Di ruangan sebelah dalam terdapat tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar sedang duduk bercakap-cakap. Ketika Hui Kauw lewat, mereka menghentikan percakapan itu dan tiga pasang mata dengan cara yang tidak sembunyi-sembunyi menatap gadis ini yang berjalan dengan tenang tanpa menoleh ke sana ke mari. Akan tetapi diam-diam Hui Kauw melirik dan memperhatikan keadaan di situ sehingga ia dapat tahu betapa kamar-kamar penginapan itu penuh dengan para tamu yang juga semua menengok dan memandangnya dari jendela atau pintu kamar mereka. Diam-diam ia mendongkol sekali dan menganggap bahwa para lelaki di kota raja adalah sebangsa laki-laki kasar dan tidak sopan terhadap wanita.

Kamar itu biarpun kecil tetapi cukup bersih, biarpun baunya apek dan menyebalkan hati Hui Kauw. Nona ini cepat mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan diberikannya kepada pelayan itu.

Otomatis berubah sikap pelayan ini setelah menerima persen yang besar ini, tubuhnya membungkuk-bungkuk mukanya berseri dan senyumnya melebar memperlihatkan deretan gigi menguning.

"Terima kasih, Nona yang gagah. Terima kasih. Adakah sesuatu perintah dari Nona? Barangkali Nona membutuhkan bantuan saya......." katanya menjilat.

Karena pelayan ini merupakan orang pertama yang dihubunginya dan yang dapat diajaknya bercakap-cakap, Hui Kauw segera berkata, "Barangkali kau dapat menunjukkan kepadaku di mana rumah keluarga Kwee yang kaya raya di kota raja ini."

Biarpun Hui Kauw sudah memandang tajam, ia merasa sukar untuk dapat menangkap perasaan pelayan itu karena mukanya berubah-ubah, matanya terbelalak seperti orang keheranan, kemudian terbayang ketakutan, keningnya berkerut seperti orang bercuriga, tapi mulutnya masih tersenyum.

"Keluarga Kwee......? Kaya raya.......? Ehmm, di mana, ya? Nona, di sini banyak sekali keluarga Kwee. Yang kaya raya juga banyak, apalagi yang miskin. Keluarga mana yang Nona maksudkan? Siapa nama hartawan itu?"

Mendengar ini saja Hui Kauw sudah kecewa. Mana dia bisa tahu namanya? Kalau ia sendiri tahu yang ia maksudkan, tentu ia takkan bertanya-tanya lagi, pikirnya mengkal. "Aku tidak tahu namanya, yang kuketahui hanya bahwa dia adalah seorang hartawan she Kwee."

Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang gepeng. "Wah, susah kalau begitu, Nona. Di sini banyak hartawan she Kwee, entah ada berapa puluh orang!"

Hui Kauw menggerakkan tangan dan di lain saat ia telah nnemperlihatkan dua potong uang emas. "Kau suka menerima hadiah ini?"

Pelayan itu bengong, tak dapat segera menjawab, hanya kalamenjing di lehernya yang kecil itu bergerak naik turun. Setahun bekerja penuh di penginapan itu, tak mungkin bisa mendapatkan emas dua potong itu, pikirnya mengilar. Saking kacau hatinya, dia tidak dapat menjawab, hanya mengangguk-angguk seperti ayam mematuki beras.

Hui Kauw menahan senyum. "Aku tidak mempunyai kenalan di kota raja ini, oleh karena itu aku membutuhkan bantuanmu. Kau carilah keterangan tentang keluarga hartawan Kwee yang pernah diculik anak perempuannya belasan tahun yang lalu. Nah, emas ini menjadi milikmu kalau kau bisa mendapatkan keterangan itu, malah akan kutambah kalau kelak ternyata bahwa keteranganmu tidak keliru."

"Boleh....... baik, Nona....... akan segera saya kerjakan perintah Nona setelah selesai pekerjaan saya nanti." Akhirnya si pelayan dapat juga menjawab dan cepat-cepat dia keluar dari kamar itu.

Hui Kauw juga melangkah ke luar kamar dan matanya bersinar-sinar ketika ia melihat berkelebatnya sesosok bayangan yang agaknya mempunyai niat tidak baik. Akan tetapi karena berada di tempat asing, ia diam saja, hanya bersiap menjaga diri daripada segala kemungkinan.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed