Skip to main content

Pendekar Buta 36 -> karya : kho ping hoo

Bagaimana akibatnya kalau para ningrat dan pembesar sudah tenggelam ke dalam gelombang perbuatan maksiat? Celakalah! Negara akan menjadi lemah, rakyat akan menjadi sengsara. Tanda-tanda tentang keadaan para pembesar yang demikian itu, selalu dapat dilihat dari keadaan di kota raja. Apabila seorang pembesar, baik dia berkedudukan tinggi sekali ataupun hanya rendahan, tenggelam dan mabuk akan kemewahan, itulah tanda bahwa pertahanan batinnya menjadi lemah dan dia akan mudah tergelincir ke dalam tindakan maksiat. Dan segala macam tindakan maksiat di dunia ini mempunyai pengaruh seperti madat. Diberi satu ingin dua, mendapat dua ingin empat dan seterusnya, tak kenal puas tak kenal kenyang. Sekali seorang manusia mabuk akan kedudukan, biar dia sudah menjadi kaisar sekalipun, dia akan merasa tak puas dan iri melihat kaisar-kaisar di negara lain yang lebih besar kedudukannya, dan andaikata dia sudah menjadi kaisar yang paling tinggi kedudukannya di dunia, agaknya dia masih akan mengiri akan kedudukan Tuhan! Sekali seorang manusia sudah mabuk akan wanita, biar dia sudah mempunyai isteri dan selir sebanyak seribu orang sekalipun, matanya yang berminyak kiranya akan masih selalu jelalatan (melotot ke sana-sini) untuk mencari seorang wanita lain yang belum dia miliki!

Setelah selesai mengubur mayat-mayat itu, Nagai Ici lalu diajak Loan Ki mengantar para gadis bekas tawanan itu. Untung bahwa perkampungan mereka tidak jauh dari hutan itu sehingga dalam waktu dua hari saja mereka telah dapat di rumah masing-masing. Tentu saja mereka dan orang-orang tua mereka girang dan terharu bukan main, berlutut menghaturkan terima kasih kepada Loan Ki dan Nagai Ici. Akan tetapi dua orang muda perkasa ini tidak mau menerima atau melayani penghormatan mereka dan cepat-cepat pergi tanpa pamit lagi.

Pada pagi hari berikutnya, Loan Ki dan Nagai Ici sudah menunggang kuda berendeng sambil bercakap-cakap. Nagai Ici kini sudah berubah pakaiannya, merupakan seorang pria muda yang berpakaian gagah, tidak aneh lagi kecuali pedang samurainya yang memang berbeda dengan pedang-pedang yang biasa dibawa oleh para ahli silat di situ. Loan Ki yang memaksanya berganti pakaian karena gadis ini tidak ingin melihat teman seperjalanannya menjadi pusat perhatian dan keheranan orang. Dengan sisa uang rampasan dari para perampok Hui-houw-pang, mereka membeli pakaian dan membeli dua ekor kuda karena Loan Ki bermaksud mengadakan perjalanan jauh, menyusul ayahnya di kota raja!

Nagai Ici yang tunduk betul kepadanya, penurut dan tidak pernah membantah, benar-benar menyenangkan hati Loan Ki. Senang dan gembira juga mendapatkan seorang pengiring yang selain gagah dan tampan, juga amat penurut dan setia seperti pemuda Jepang itu. Dalam perjalanan di pagi hari itu, Loan Ki minta kepada Nagai Ici untuk menceritakan keadaannya!

Menurut penuturan Nagai Ici, di Jepang pada waktu itu (sekitar tahun 1399-1400) baru saja terdapat perdamaian setelah puluhan tahun di negeri itu terjadi perebutan kekuasaan yang mengakibatkan perang saudara terus-menerus. Kemenangan terakhir pada tahun 1392 tercapai oleh Ashikaga Takauyi dan mulailah di tahun itu apa yang dinamakan jaman Maromaci karena Ashikaga Takauyi menempatkan markasnya di bagian kota Kyoto dan bernama Maromaci. Kekuasaan yang sesungguhnya berada di tangan Ashikaga Takauyi inilah, sungguhpun kaisarnya masih keturunan keluarga Tenno yang berada di istana Tenno tapi yang keadaannya tidak ubahnya boneka belaka.

Nagai Ici semenjak belasan tahun sudah menjadi yatim piatu dan selanjutnya dia dirawat dan dididik oleh gurunya, seorang daimyo (pendekar besar) yang membantu perjuangan Ashikaga Takauyi.

Setelah dalam usia lima belas tahun ikut pula mengayun samurai membantu perang saudara yang sudah hampir berakhir itu, Nagai Ici dinyatakan tamat dari perguruan dan diperbolehkan dia berdiri sendiri menjadi seorang di antara golongan Samurai! Sepak terjangnya sebagai seorang pendekar amat mengesankan sehingga beberapa tahun kemudian, dalam usia dua puluh tahun saja dia sudah dijuluki orang Samurai Merah.

Nagai Ici mempunyai darah perantau atau mungkin juga jiwa petualangnya ingin dia puaskan dengan perantauan. Seluruh negeri Jepang sudah dia jelajahi dan akhirnya karena pada jaman itu hubungan Jepang dan Tiongkok sudah amat baik, dia mendengar banyak tentang Tiongkok. Kebudayaan dari negara besar itu, termasuk ilmu silatnya, terbawa ke Jepang dan amat terkenal. Banyak dongeng yang sering didengar Nagai Ici dalam perantauannya betapa jago-jago silat di Tiongkok seperti dewa-dewa saja saktinya. Inilah mula-mula yang menjadi pendorong baginya untuk menyeberang laut menuju ke Tiongkok dengan cita-cita untuk mencari seorang guru seperti dewa dan mempelajari kesaktian!

Lama sekali, setelah beberapa tahun lagi, baru dia memperoleh kesempatan berlayar ke Tiongkok bersama perahu ikan yang dengan berani mati menempuh perjalanan berbahaya itu dengan perahu ikan yang kecil. Seperti telah kita baca dalam bagian terdahulu, begitu mendarat, Nagai Ici dibikin kecewa dan marah menyaksikan perbuatan para bajak laut bangsanya yang merampoki sebuah kota pelabuhan. Karena merasa malu akan perbuatan bangsanya yang di negerinya terkenal sebagai orang-orang kaya itu, Nagai Ici turun tangan membasmi dan mengusir para bajak laut Tengkorak Hitam kemudian dia menghilang karena tidak ingin dilihat orang lain bahwa dia, seorang Jepang juga, mengamuk dan membasmi bajak laut bangsanya sendiri.

Dalam perjalanan selanjutnya sampai berpekan-pekan, Nagai Ici mulai kecewa karena ternyata bahwa di negara besar yang dahulunya dia sangka segalanya pasti serba hebat itu, kiranya tidak banyak bedanya dengan negerinya sendiri, kalau tidak mau dibilang lebih buruk. Para petani demikian miskinnya sampai-sampai hidupnya tidak layak sebagai manusia. Di mana-mana banyak terdapat perampok dan penjahat-penjahat, Penghuni-penghuni dusun demikian sederhana hidupnya dan amatlah bodoh sehingga kadang-kadang Nagai Ici kehabisan harapan dapat bertemu dengan seorang sakti seperti dewa di antara bangsa malah amat miskin ini. Demikianlah, tentu saja pertemuan dengan Loan Ki amat mengagumkan dan mengirangkan hatinya. Mulailah timbul harapannya. Kalau ada seorang gadis remaja sehebat ini, tidak mustahil dia akan bertemu dengan seorang guru sesakti dewa. Baru gadis ini saja, bukan main! Belum pernah dia mendengar, apalagi menyaksikan seorang dara remaja memiliki kepandaian seperti ini. Samurainya itu tidak berdaya sama sekali terhadap gadis ini yang bertangan kosong! Bukankah ini aneh sekali? Gurunya sendiri, Daimyo Matsgmori yang amat terkenal di Jepang, belum tentu berani menghadapi tiga puluh jurus serangan samurainya dengan tangan kosong tanpa membalas!

Inilah yang membuat Nagai Ici menjadi penurut. Biasanya, di negerinya kaum wanita tidaklah mendapat tempat terlalu tinggi, dianggap sebagai mahkluk lemah yang tugasnya hanya menjadi penghibur kehidupan pria belaka. Kini dia bertemu "batunya", seorang dara lincah yang hebat, yang sekaligus membangkitkan harapannya untuk mendapatkan guru pandai di samping sekaligus menjatuhkan hatinya pula, membuat dia bertekuk lutut di dalam hati, tak kuasa menentang sinar mata jeli dari si juita itu.

Anehkah kalau jago muda dari Jepang itu tersenyum-senyum gembira, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar ketika dia mengendarai kuda di samping Loan Ki?

******

Setelah Kian Bun Ti menduduki singgasana menjadi kaisar dan terkenal juga dengan nama Hui Ti (pada tahun 1399), timbullah persaingan hebat di kota raja untuk memperebutkan kedudukan. Sebagian banyak pangeran tua merasa tidak puas melihat Hui Ti menjadi kaisar, karena mereka sudah mengenal Pangeran Kian Bun Ti sebagai seorang muda yang hanya mengejar kesenangan belaka. Akan tetapi, para pangeran muda dan para pembesar yang mendapat kedudukan baik setelah Kian Bun Ti naik tahta, tentu saja mati-matian membela kaisar baru ini. Dengan demikian, maka diam-diam terjadilah permusuhan. Keadaan kota raja seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu tentu akan meletus.

Biarpun kaisar Hui Ti yang muda itu sendiri adalah seorang yang keahliannya hanya mengejar wanita cantik dan bersenang-senang, namun para pembantunya yang juga mempertahankan kedudukan mereka masing-masing, adalah orang-orang pandai yang banyak pengalaman. Karena itu, untuk memperkuat kedudukan kaisar baru ini, para menteri dan pembesar tinggi, terutama golongan bu (militer) segera memperkuat penjagaan, memperkuat barisan dan mendatangkan banyak ahli-ahli dari luar. Selain itu, setiap hari diadakan pembersihan untuk membasmi mereka yang dianggap sebagai lawan, mereka yang dianggap membahayakan kedudukan Hui Ti dan para pembesar pendukungnya.

Seperti sudah lazim terjadi, bilamana angin puyuh bertiup, yang rontok bukan hanya daun-daun kering dan buah-buan busuk, juga daun-daun segar dan buah-buah muda bisa saja terlanda angin puyuh dan rontok semua. Dalam keadaan negara pun demikian. Bilamana keributan terjadi, yang menjadi korban bukan hanya mereka yang memang tersangkut, juga yang tidaktahu apa-apa bisa saja menjadi korban. Sudah tentu saja menurut rencana para pembesar yang mengatur ini semua, yang harus dibersihkan adalah mereka yang berbahaya, mereka yang diam-diam mempunyai niat untuk melawan dan menumbangkan kekuasaan kaisar baru untuk diganti dengan kaisar pilihan mereka sendiri. Akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak sekali terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan sehingga terjadilah pemerasan, penyelewengan dan kejahatan yang berdasafkan fitnah. Bisa saja terjadi seorang petugas kecil mendatangi seorang hartawan dan melancarkan fitnah keji bahwa hartawan itu termasuk anti kaisar baru. Kemudian dengan alasan "melindungi", si petugas kecil itu menerima "uang jasa" yang jumlahnya melebihi besarnya jumlah upahnya sepuluh tahun! Ini baru contoh kecil-kecilan saja, banyak terjadi hal yang lebih hebat daripada contoh itu.

Kota raja goncang karena pertentangan-pertentangan ini. Penduduk kota raja dicekam kekuatiran. Banyak malah yang pergi mengungsi keluar daerah, memilih tempat tinggal di dusun-dusun jauh dari kota raja, di mana rakyatnya tidak sedikit pun merasai akibat ketegangan politik di kota raja. Akan tetapi ketenteraman ini pun hanya sementara saja mereka rasakan, karena tak lama kemudian pembersihan dilakukan sampai ke dusun-dusun pula di mana tangan-tangan iseng dari manusia-manusia berbatin rendah itu menyebar fitnah ke sana ke mari sambil mencari kesempatan mengeduk kekayaan sebanyak mungkin. Kota raja dijaga ketat. Semua pintu gerbang kota raja dijaga oleh para pasukan pilihan, dan di dalam kota raja sendiri penuh dengan mata-mata yang melakukan penyelidikan agar jangan sampai kota raja diselundupi kaki tangan lawan. Memang paling repot menghadapi lawan yang tidak diketahui dari mana datangnya ini. Lawan-lawan yang bisa saja menyelundup ke dalam golongan pedagang, pengemis, buruh, seniman, malah bisa jadi menyelundup ke dalam golongan pembesar dan perajurit sendiri.

Pada suatu pagi, pagi-pagi sekali di luar pintu gerbang sebelah utara, tampak seorang laki-laki muda yang pakaiannya sederhana tapi bersih, berdiri dengan tongkat di tangan dan kepala tunduk. Orang ini bukan lain adalah Si Pendekar Buta, Kwa Kun Hong. Telah kita ketahui bahwa setelah berpisah dari Song-bun-kwi, Pendekar Buta ini pergi ke kota raja. Banyak hal yang harus dia selidiki, selain persoalan yang menyangkut Thai-san-pai juga soal mahkota kuno yang mengandung rahasia kenegaraan besar itu, yang kini berada dalam bungkusan pakaian yang digendongnya. Biarpun dia buta, namun karena kepandaiannya yang tinggi, dia dapat juga melakukan perjalanan cepat. Sambil bertanya-tanya di sepanjang jalan, akhirnya dia sampai juga di luar pintu gerbang sebelah utara. Baru saja dia mendengar keterangan bahwa tidaklah mudah untuk memasuki kota raja, karena setiap orang dicurigai dan pintu gerbang dijaga keras. Sedikit saja menimpulkan kecurigaan para penjaga, tentu akan ditangkap dan dimasukkan tahanan. Inilah yang membuat Kun Hong ragu ragu dan hati-hati. Dia tidak takut dicurigai, tidak takut pula ditangkap. Akan tetapi karena mahkota kuno itu berada padanya, amatlah tidak baik kalau sampai dia tertawan. Mahkota itu harus dia jaga, kalau perlu berkorban nyawa.

Betapapun juga, Kun Hong sudah mempunyai dasar watak berhati-hati, tidak mau sembarangan mempercaya berita yang didengamya tentang keburukan seseorang. Dia sudah mendengar dari Tan Hok tentang Pangeran Kian Bun Ti yang sekarang sudah menjadi kaisar dan bahwa hal ini amatlah buruk akibatnya, karena pangeran itu bukanlah seorang yang patut menjadi kaisar. Karena itulah maka mendiang kaisar tua telah meninggalkan surat rahasia yang disimpan di dalam mahkota kuno itu, surat rahasia yang memberi kuasa kepada Pangeran Tua Yung Lo di utara untuk bertindak terhadap kaisar baru. Akan tetapi, Kun Hong tidak merasa puas kalau tidak mendengar sendiri keadaan di kota raja. Karena ini, dia sengaja pergi ke kota raja hendak melakukan penyelidikan dan mencari sahabat-sahabatnya, yaitu perkumpulan Hwa I Kaipang. Dia dapat mempercayai Hwa I Kaipang, karenanya dia hendak minta bantuan mereka ini, selain menyelidiki tentang keadaan kaisar baru, juga menyelidiki tentang musuh-musuh Thai-san-pai itu.

Selagi Kun Hong berdiri ragu-ragu di luar pintu gerbang tembok kota raja, menimbang-nimbang bagaimana dia dapat memasuki kota raja yang terjaga kuat itu, tiba-tiba dia mendengar langkah kaki dua orang mendekatinya dari arah belakang.

Dia mengira bahwa dua orang itu tentulah orang-orang yang lewat dan akan memasuki pintu gerbang, maka dia tidak menaruh perhatian. Baru dia kaget dan heran ketika dua orang itu berhenti di depannya dan terdengar suara halus seorang laki-laki muda,

"Aduh kasihan, semuda ini menanggung derita, tak pandai melihat! Saudara yang buta, kau hendak pergi ke manakah? Biarlah aku menunjukkan jalan yang hendak kau tuju."

Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang pria muda, paling banyak beberapa tahun lebih tua daripadanya, seorang yang gerak-gerik dan tutur bahasanya halus, pantasnya seorang muda terpelajar, akan tetapi di dalam suara itu juga terkandung tenaga seorang ahli tenaga dalam, seorang yang biasa melakukan samadhi dan menguasai peraturan bernapas. Dia cepat-cepat menjura dengan hormat dan berkata sambil tersenyum,

"Terima kasih banyak. Anda baik hati benar, sudi memperhatikan seorang buta seperti saya."

Orang itu tertawa, suara ketawanya lembut seperti ketawa wanita. "Aku dapat menduga bahwa kau bukanlah seorang buta biasa saja. Wajah dan pakaianmu menunjukkan bahwa kau seorang yang berpengetahuan dan terdidik. Kata-kata yang kau ucapkan memperkuat dugaanku. Sahabat, jangan kau curiga. Aku The Sun bermaksud baik terhadap seorang buta yang menarik hatiku. Apakah kau hendak memasuki kota raja? Hayo, boleh bersamaku dan aku tanggung kau takkan diganggu para penjaga goblok itu. Aku sudah mereka kenal baik."

Berdebar hati Kun Hong, dia memang tadinya menaruh hati curiga, akan tetapi mendengar penawaran ini, dia benar-benar bersyukur di dalam hati. Kesempatan terbaik baginya.
Cepat-cepat dia menjura lagi dan berkata, "Saudara The benar-benar budiman. Aku Kwa Kun Hong seorang buta amat berterima kasih kepadamu. Sesungguhnyalah, aku bermaksud memasuki kota raja mengadu untung, siapa tahu di kota raja aku dapat menolong banyak orang dan mendapat banyak rejeki."

Hening sejenak, agaknya The Sun itu mengamat-amatinya baik-baik, lalu terdengar dia berkata, "Ah, saudara Kwa, apakah kau seorang tukang gwamia (ahli nujum)!" Memang banyak terdapat orang-orang buta yang membuka praktek sebagai ahli nujum, menceritakan nasib orang-orang dengan meraba telapak tangan mereka. Tentu saja, seperti biasa, ahli-ahli nujum ini sebagian besar hanya tukang bohong belaka, mencari korban di antara orang-orang bodoh yang mudah "dikempongi" dan ditarik uangnya.

Kun Hong menggeleng kepala. "Bukan, aku hanyalah seorang tukang obat biasa, saudara The."

"Ah, begitukah? Baiklah, mari kita memasuki kota raja dan kau akan kuantarkan di pusat kota yang paling ramai. Mudah-mudahan saja kau akan dapat menyembuhkan banyak orang sakit dan mendapatkan banyak rejeki seperti yang kau harapkan."

Sambil berkata demikian, orang itu menggerakkan tangan hendak menangkap tongkat Kun Hong, akan tetapi ternyata dia hanya menangkap angin karena seperti tanpa disengaja, Kun Hong sudah lebih dahulu menarik tongkatnya sambil tertawa, "Terima kasih atas kebaikanmu. Marilah, aku akan mengikuti di belakangmu."

The Sun tertawa, lalu berjalanlah dia perlahan-lahan menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh Kun Hong. Dengan pendengaran telinganya Kun Hong tahu bahwa orang ke dua juga berjalan di samping The Sun dan diam-diam dia terkejut juga karena orang itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat, akan tetapi masih juga tidak mampu menandingi kepandaian The Sun yang muda karena jejak kaki The Sun ini sama sekali tidak mengeluarkan suara dan oleh pendengarannya yang amat tajam sekalipun hanya terdengar sedikit seperti langkah seekor kucing saja. Mulailah dia menaruh curiga. Terang bahwa orang yang mengaku bernama The Sun bersama temannya yang tidak diperkenalkan kepadanya ini adalah dua orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Kebetulankah The Sun ini seorang yang berbudi dan menaruh kasihan kepadanya? Ataukah memang sengaja hendak mendekatinya? Dia harus berhati-hati. Karena kehati-hatiannya pula inilah maka tadi dia sengaja tidak membiarkan tongkatnya dipegang orang itu. Tongkatnya adalah senjata yang paling diandalkan.

Ketika mereka melewati pintu gerbang memasuki kota raja, Kun Hong melangkah dengan hati-hati dan telinganya mendengarkan penuh perhatian. Tidak terjadi sesuatu, kecuali seorang di antara para penjaga agaknya yang menegur dengan suara menghormat.

"Sepagi ini The-kongcu (tuan muda The) baru pulang, agaknya mendapatkan kesenangan malam tadi. Selamat pagi, Kongcu!"

Lalu disusul suara penjaga ke dua, "Lo-ji, kau benar lancang mulut! Seorang siucai (lulusan pelajar) seperti The-kongcu mana bisa kau samakan dengan kau yang suka keluyuran di waktu malam? Kongcu, kalau Kongcu kehendaki, biar saya mewakili Kongcu menampar muka Lo-ji yang kurang ajar ini!"

The Sun itu tertawa perlahan, agaknya dia amat dihormat, disegani, juga disukai para penjaga, terbukti dari keramahannya dan dari sikap para penjaga yang biarpun amat menghormatinya dan amat takut kepadanya, namun berani pula bermain-main. "Sudahlah, sepagi ini sudah berkelakar. Jaga saja baik-baik sampai kalian diganti penjaga baru. Aku mengajak sahabat buta tukang obat ini memasuki pintu gerbang, aku yang menanggung dia."

"Silakan........... silakan..........." bak mulut penjaga berkata ramah.

Setelah mereka berhasil melewati pintu gerbang dan tiga lapis penjagaan, Kun Hong mendengar The Sun berkata, "Mulai sekarang tidak ada penjagaan lagi."

Kun Hong menjura dengan hormat, "Saudara ternyata adalah seorang kongcu dan seorang siucai pula, harap suka memaafkan karena mata saya buta, saya tidak tahu dan telah berlaku kurang hormat. Budi Kongcu amat besar, Kongcu amat baik kepada saya dan terima kasih saya ucapkan."

"Ah, saudara Kwa Kun Hong, kenapa begini banyak sungkan? Biarpun kau seorang yang menderita kebutaan, akan tetapi aku pun dapat menduga bahwa kau bukan seorang biasa yang tidak tahu apa-apa, Sikapmu penuh sopan dan kau tahu aturan, tanda bahwa kau pun seorang yang pernah mempelajari kebudayaan. Marilah, mari kuantar kau ke tempat yang ramai agar di sana kau dapat mulai dengan pekerjaan itu."

Kembali Kun Hong menjura, di dalam hati dia merasa amat curiga, akan tetapi di luarnya dia pura-pura bersikap tidak enak. "Mana saya berani mengganggu Kongcu lebih lama lagi? Budi Kongcu membawa saya masuk saja sudah amat besar. Harap Kongcu meninggalkan saya di sini saja, biar saya berjalan perlahan mencari-cari langganan. Dengan tanya-tanya agaknya saya akan sampai juga ke tempat ramai."

"Ih, mana bisa begitu? Aku pun hendak menuju sejalan denganmu. Marilah, tak usah sungkan."

Telinga Kun Hong yang tajam mendengar betapa orang ke dua yang sejak tadi berjalan bersama The Sun, kini berjalan cepat sekali meninggalkan tempat itu. Dia heran, akan tetapi tidak bertanya dan pura-pura tidak tahu.

Karena The Sun mendesaknya, tak dapat pula dia menolak dan terpaksa Kun Hong mengikuti pemuda itu menuju ke tengah kota. Makin lama makin ramailah orang hilir-mudik dan makin ramai orang bercakap-cakap. Biarpun sepasang mata Kun Hong tak dapat melihat lagi, akan tetapi dahulu sebelum dia menjadi buta kedua matanya, pernah dia datang ke kota raja, malah pernah dia menjadi tamu dari Pangeran Kian Bun Ti yang sekarang menjadi kaisar (baca Rajawali Emas). Oleh karena itu, sekarang dia dapat membayangkan keadaan kota raja ini dengan hanya mendengar keramaian di sekelilingnya dengan pendengaran saja.

"Saudara Kwa, mari kita masuk rumah makan ini dulu. Makan dulu sebelum bekerja adalah hal yang paling baik," kata The Sun sambil tertawa gembira.

Kun Hong mengerutkan keningnya. Terlalu baik orang ini. Apakah dia benar-benar baik terhadapnya, ataukah ada sesuatu tersembunyi di balik keramahan ini? Mana ada seorang siucai yang agaknya kaya raya dan berpengaruh di kota raja, suka menolong, malah sekarang hendak menjamu seorang buta seperti dia? Akan tetapi, semua ini baru dugaan dan amatlah tidak baik kalau dia menolak tawaran dan keramahan orang, apalagi memang dia merasa tertarik hatinya untuk mengetahui apa gerangan yang menjadi dasar keramahan orang ini. Sambil mengangguk-angguk dan berucap terima kasih dia mengikuti The Sun memasuki rumah makan yang sudah menyambut mereka dengan asap dan uap yang gurih dan sedap. Diam-diam timbul pula harapannya untuk dapat bertemu dengan seorang anggauta Hwa I Kaipang, karena bukankah sudah lazim kalau pengemis-pengemis berada di dekat rumah makan untuk mengemis sisa makanan?

Pesanan masakan The Sun cepat dilayani oleh para pelayan yang juga menyebutnya kongcu dan melayaninya dengan sikap hormat,

"Mari silakan, saudara Kwa," kata pemuda itu sambil mengisi cawan arak dan menyerahkannya kepada Kwa Kun Hong. Orang buta ini dengan berterima kasih tetapi tetap berhati-hati segera mulai makan minum dengan pengundangnya yang aneh dan ramah.

Rumah makan itu tidak banyak didatangi tamu pada saat itu. Kun Hong mendengar ada beberapa orang tamu saja di meja sebelah kanannya. Tiba-tiba dia mendengar beberapa orang memasuki rumah makan itu. Dari bunyi derap langkah mereka tahulah dia bahwa orang orang ini adalah ahli-ahli silat, malah beberapa orang di antaranya adalah ahli silat tinggi. Dia mulai waspada. Sukar menghitung tepat di tempat gaduh itu, akan tetapi dia tahu bahwa sedikitnya tentu ada lima orang yang datang ini. Lalu terdengar ribut-ribut di sebelah kanannya,
dan terdengar suara keren berkata, "Diam semua, duduk di tempat. Buka semua buntalan, kami datang melakukan penggeledahan!"

Kun Hong mengerutkan keningnya dan bertanya lirih kepada The Sun, "Saudara The Sun, apakah yang terjadi di sana?"

The Sun tertawa, "Ah, tidak apa-apa biasa saja terjadi di kota raja. Penggeledahan, apalagi? Di kota raja sekarang ini banyak terdapat orang-orang jahat, dan semenjak kaisar muda menggantikan mendiang kaisar tua, banyak terjadi keributan. Hampir setiap hari ada orang ditangkap dan dihukum mati karena dia menjadi mata-mata musuh dan pengkhianat."

Kun Hong kaget sekali, "Kalau begitu, kita nanti juga akan digeledah?" Dia tahu bahwa kalau buntalannya digeledah dan mahkota itu dilihat oleh para pemeriksa, tentu dia akan ditangkap. Ini tidak hebat, lebih celaka lagi mahkota itu tentu akan dirampas dan dengan demikian, surat rahasia itu terampas pula sehingga segala yang telah dia lakukan selama ini untuk mendapatkan kembali mahkota itu sia-sia belaka!

"Ah, terhadap aku mereka takkan menggeledah," kata The Sun tertawa, "karena mereka semua sudah mengenalku. Hanya orang-orang asing yang datang ke kota raja dan orang-orang yang mencurigakan saja yang digeledah."
Biarpun Kun Hong tidak gentar menghadapi para penggeledah itu, akan tetapi dia juga merasa tidak enak kalau belum apa-apa dia harus menimbulkan keributan di kota raja. Sebelum dia dapat menemukan orang-orang Hwa I Kaipang dan masih membawa mahkota itu, tidak baik menimbulkan keributan dan menjadi perhatian para penjaga kota. Dia segera bangkit berdiri dan berkata,

"Saudara The, banyak terima kasih atas segala kebaikanmu. Aku sudah kenyang dan hendak pergi saja, mulai dengan pekerjaanku."

The Sun memperdengarkan suara kaget, "Eh, saudara Kwa. Kenapa tergesa-gesa? Apakah kau takut digeledah? Kau kan hanya tukang obat, yang kau bawa di buntalanmu, tentu hanya pakaian dan obat-obatan. Mengapa takut kelihatannya?"

"Tidak........... tidak takut. Akan tetapi segan juga aku kalau harus digeledah. Siapa tahu obat-obatku bisa hilang sebagian."

Tiba-tiba The Sun memegang tangan kiri Kun Hong. "Saudara Kwa, percayalah kepadaku. Aku akan melindungimu dari tangan anjing-anjing itu," bisiknya. Kun Hong berdebar hatinya. Tak salahkah pendengarannya? Siapa yang menyebut para pembantu kaisar dengan sebutan "anjing" atau "anjing penjilat", berarti orang itu termasuk golongan anti kaisar? Betulkan The Sun ini seorang yang segolongan dengan Tan Hok? Segolongan dengan Pek-lian-pai dan para orang gagah yang menentang kaisar baru yang dikatakan tidak tepat menduduki singgasana karena wataknya yang tidak baik? Dia tidak mau percaya begitu saja karena suara orang muda ini mengandung getaran yang sukar ditangkap dasarnya.

The Sun meneriaki pelayan dan cepat membayar harga makanan sambil memberi persen besar kepada pelayan. Kemudian dia menggandeng tangan Kun Hong diajak keluar. Bisiknya perlahan, "Saudara Kwa, apakah kau membawa sesuatu yang kau tidak suka dilihat oleh anjing-anjing itu?"

Sukar bagi Kun Hong untuk menjawab, maka dia diam saja. Selagi mereka berdua berjalan menuju ke pintu, tiba-tiba terdengar oleh Kun Hong orang membentak,

"Hei, orang buta! Berhenti dulu kau, tidak boleh ke luar sebelum digeledah!"

Kun Hong berhenti, siap melawan untuk menyelamatkan surat rahasia di dalam mahkota. The Sun segera berkata, nyaring, "Sahabat Kwa yang buta ini datang bersamaku, apa kalian tidak lihat? Dia tamuku, seorang ahli pengobatan yang hanya akan membawa pakaian dan obat-obatan. Apa perlunya digeledah kalau aku sudah menanggungnya?"

Terdengar oleh Kun Hong suara pimpinan para penggeledah itu yang keras dan mengandung tenaga, "Maaf The-kongcu. Kami mendapat perintah atasan agar hari ini kami menggeledah setiap orang yang belum pernah kami geledah. Orang buta ini belum pernah kami lihat, terpaksa kami tidak berani lepaskan sebelum digeledah karena kalau kami lakukan hal ini, tentu kami akan mendapat hukuman."

The Sun berkata mengejek, "Hemmm, kalau begitu lekas selesaikan penggeledahan orang- orang itu, kami menanti di sini." Dia menarik tangan Kun Hong diajak duduk di atas bangku di pojok. Lalu berbisik.

"Lekas, kau titipkan surat rahasia itu kepadaku!"

Kun Hong kaget dan heran bukan main. Apa yang dimaksudkan oleh The Sun? Apakah yang dimaksudkan surat rahasia yang berada di dalam mahkota?

Bagaimana orang ini bisa tahu? Dia sendiri yang selalu membawa mahkota itu, tidak tahu di mana disimpannya surat itu.

"Apa maksudmu?" bisiknya tak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti. "Aku tidak membawa surat apa-apa."

"Ah, Saudara Kwa yang baik, masih tidak percayakah kau kepadaku?" bisik The Sun, lalu ditambahkan lebih lirih lagi, "Aku segolongan denganmu...... aku membantu perjuangan....... aku membantu utara......"

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed