Skip to main content

Pendekar Buta 26 -> karya : kho ping hoo

"Heee, nanti dulu!" Loan Ki menyetop dengan isyarat tangannya. "Kenapa kau menyimpan pedangmu? Kalau dalam sepuluh jurus kau tak mampu mengalahkan aku, tentu kau kelak memakai alasan bahwa kau bertangan kosong. Tak mau aku! Hayo kakek tua renta, kau boleh gunakan pedangmu dan aku akan menandingimu, bukan sepuluh jurus melainkan tiga puluh jurus. Tiga puluh jurus, kau dengar?"

"Iblis cilik, mulutmu benar jahat!" Song-bun-kwi membentak.

"Tapi kau yang menyebut diri tokoh besar dari barat, awas jangan kau menjilat ludahmu sendiri, ya? Kalau kau tidak bisa menangkan aku dalam tiga puluh jurus, kau harus pergi dari sini jangan mengganggu kami lagi. Ayah tidak mau bermusuh denganmu. Kalau tangan dan kepalamu merasa gatal-gatal ingin menerima gebukan, kau pergilah saja ke Ching-coa-to, nah, di sana banyak setan-setan bangkotan yang sama kwalitetnya denganmu. Tapi kau tentu tidak berani ya, memasuki Ching-coa-to. Huh, mana kau berani?"

"Cukup, jangan pentang mulut lagi, lihat seranganku!" Song-bun-kwi berseru dan mulai menyerang dengan tangan kosong. Dia pikir sekali bergerak tentu akan berhasil menangkap gadis ini. Biarpun membunuh bagi Song-bun-kwi bukan apa-apa, namun dia tidak sudi membunuh seorang dara cilik seperti Loan Ki. Niatnya hendak menangkap gadis itu dan membantingnya di depan Tan Beng Kui sampai kelenger (pingsan) agar tidak banyak mengoceh lagi sehingga dia dapat melanjutkan pertandingannya melawan Sin-kiam-eng. Maka begitu menyerang dia mencengkeram dengan tangan kiri ke arah pundak sedangkan tangan kanannya mendahului membuat gertakan memukul ke arah pusar. Pukulan ini mendatangkan angin dan tentu akan membuat gadis yang masih pelonco itu kebingungan sehingga memudahkan tangan kirinya mencengkeram pundak.

Agaknya kalau penyerangan kakek sakti ini terjadi beberapa hari yang lalu saja, kiranya akan berhasil. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa gadis lincah ini beberapa hari yang lalu telah mewarisi ilmu mujijat dari Kwa Kun Hong, yaitu yang diberi nama dua puluh empat langkah Hui-thian-jip-te (Terbang ke Langit Ambles ke Bumi). Maka melihat datangnya serangan yang hebat ini, tubuh Loan Ki terhuyung-huyung ke belakang seperti orang kena pukul.

Tan Beng Kui kaget sekali dan siap melompat untuk melindungi anaknya, akan tetapi dia heran mendengar seruan aneh kakek Song-bun kwi karena ternyata bahwa kedua pukulannya itu mengenai angin belaka! Dalam terhuyung ini ternyata gadis itu sudah berhasil menghindarkan diri secara aneh sekali.

Kembali kakek Song-bun-kwi menerjang maju, kali ini malah sekaligus dia mengembangkan kedua lengannya hendak menerkam pinggang yang ramping itu untuk diangkat dan dibanting. Tapi aneh bin ajaib. Gadis yang masih terhuyung-huyung itu malah melangkah maju memapakinya dan pada saat kedua lengannya hampir berhasil menyingkap pinggang, tahu-tahu tubuh gadis itu miring seperti akan jatuh dan........... sekali lagi berhasil lolos!

"Kakek tua bangka, sudah dua jurus. Hi-hik!" kata Loan Ki yang ternyata sudah melangkah ke kiri dan.......... berjongkok.

Kemarahan Song-bun-kwi menjadi-jadi. Dia mengira bahwa gadis itu menggunakan kegesitannya dan sekarang mengejek. Mana ada orang berkelahi memasang kuda-kuda dengan berjongkok? Dia tidak mengerti bahwa memang sebetulnya begitulah kedudukan sebuah langkah dari Hui-thian-jip-te yang dipelajari Loan Ki dari Kwa Kun Hong. Ilmu langkah ini bukan lain adalah sebagian dari ilmu langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun, maka tidak dikenal oleh Song-bun-kwi. Sambil mengeluarkan bentakan hebat dia menyerang Loan Ki yang masih berjongkok seperti orang mau buang air itu, kedua tangannya kini bergerak menyambak rambut.

Dengan tubuh masih berjongkok, kedua kaki Loan Ki main dengan gesitnya, sett-sett-sett dan........... kembali Song-bun-kwi yang menerjangnya hanya dapat menjambak bau harum dari rambut hitam panjang itu.

"Jurus ke tiga, Kakek!" Loan Ki mengejek sambil tersenyum dan kini ia sudah berdiri dengan tubuh membelakangi Song-bun-kwi, kaki kanan diangkat dengan tumit menempel paha kaki kiri, leher menoleh ke belakang dan berkedip-kediplah matanya kepada kakek itu, kedua tangannya dikembangkan, persis seperti seekor burung kuntul hendak terbang.

Tan Beng Kui kaget dan heran setengah mati melihat kejadian yang berlangsung di depan matanya. Dia sendirilah yang menjadi guru anaknya ini dan dia tahu betul bahwa tak pernah dia mengajari gerakan-gerakan menggila seperti yang dilakukan anaknya sekarang ini. Mana bisa dia mengajari kalau dia sendiri tidak mengenal dan tidak tahu akan gerakan-gerakan gila itu? Siapakah yang main gila ini, Loan Ki ataukah Song-bun-kwi? Dia tidak percaya bahwa dengan gerakan-gerakan gila itu anaknya dapat menghindarkan serangan kakek itu sampai tiga kali dan sudah tentu si kakek yang main gila, pura-pura tidak dapat mengenai tubuh Loan Ki. Kalau memang main gila, apa kehendaknya? Ah, jangan-jangan kakek itu sengaja berbuat demikian sambil menanti sampai sepuluh jurus atau tiga puluh jurus, kemudian merobohkan Loan Ki untuk membuat malu.

"Loan Ki, jangan kurang ajar! Kuda-kuda jurus apa itu pakai angkat-angkat sebelah kaki segala?" Tan Beng Kui membentak keras dengan maksud supaya Song-bun-kwi mengerti bahwa bukanlah dia yang mengajari gadisnya menggila seperti itu, karena betapapun juga malulah hatinya menyaksikan aksi anak gadisnya yang dianggapnya kosong melompong ini.

"Ayah, memang jurus ini harus mengangkat sebelah kaki. Habis, apa yang dapat kulakukan untuk merubahnya? Kalau kedua kakiku yang kuangkat, tentu aku akan jatuh." Terang bahwa ucapan ini hanya kelakar saja untuk lebih memanaskan hati Song-bun-kwi. "Ini namanya burung bangau tidur, tapi sebetulnya tidak tidur, melainkan sedang memancing katak tua di belakangnya."

Song-bun-kwi menggereng seperti seekor biruang dan kini dia betul-betul menyerang Loan Ki, tidak seperti tadi lagi. Tadi dia hanya hendak menangkap dan membantingnya kelenger di depan Tan Beng Kui, akan tetapi sekarang dia menyerang untuk merobohkannya dengan pukulan berbahaya. Dia menyerang dari belakang dengan amat hebat dan merasa yakin bahwa kali ini dia akan berhasil merobohkan Loan Ki.

"Ki-ji (anak Ki), awas..........!" Tan Beng Kui terpaksa berseru saking kaget dan khawatirnya menyaksikan penyerangan dahsyat itu.

"Tak usah khawatir, Ayah!" Gadis itu masih sempat membuka mulut, padahal ia kaget setengah mati dan cepat-cepat ia mengeluarkan ilmu langkah mujijat seperti yang ia pelajari dari Kun Hong. Hebat penyerangan Song-bun-kwi sehingga Loan Ki masih merasa angin pukulan menyerempet pundaknya, membuat kulit pundak di bawah pakaian itu terasa panas. Ia sampai mengeluarkan keringat dingin, namun dasar ia nakal, masih saja ia mengejek setelah pukulan itu gagal,

"Sudah empat jurus!"

Sekarang Song-bun-kwi tidak mau sungkan-sungkan lagi. Dia menerjang terus dan mengirim pukulan bertubi-tubi", malah dia mengisi pukulan-pukulannya dengan Iweekangnya yang dahsyat sehingga rambut dan pakaian Loan Ki berkibar-kibar seperti diserang angin besar. Loan Ki juga tidak berani main gila lagi. Ia cukup maklum akan kesaktian kakek ini, maka ia mengerahkan seluruh perhatiannya untuk menjalankan langkah-langkah Hui-thian-jip-te guna menyelamatkan dirinya.

Tan Ben Kui melongo sampai mulutnya terbuka lebar dan lupa ditutupnya kembali. Hebat terjangan-terjangan Song-bun-kwi yang kini benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk merobohkan Loan Ki, akan tetapi lebih hebat pula gerakan-gerakan Loan Ki yang tetap aneh seperti orang mabuk atau orang menari-nari menggila namun satu kalipun juga pukulan-pukulan kakek itu tak pernah menyinggung kulitnya!

"He, kakek Song-bun-kwi! Sudah empat puluh jurus lebih kau menyerangku dan tak mampu merobohkan, apakah kau tidak mau berhenti juga? Seorang kakek tua bangka mengejar-ngejar seorang gadis cilik, mau apa sih? Cih, tak tahu malu benar!"

Seketika Song-bun-kwi menghentikan penyerangannya. Matanya mendelik saking marahnya. Dia tahu bahwa gadis ini tak mampu menyerang kembali karena agaknya hanya memiliki ilmu mengelak yang luar biasa sekali itu. Diam-diam dia kagum bukan main dan teringatlah dia kepada Kwa Kun Hong. Dahulu Kun Hong juga membikin heran semua orang di Thai-san dengan ilmunya mengelak yang ajaib. Apakah sama dengan ilmu yang dipergunakan gadis ini? Tetapi dia malu untuk bertanya. Sambil bersungut-sungut dia membentak.

"Aku kalah janji, siapa kejar-kejar iblis cilik macammu? Tan Beng Kui, biarlah kali ini aku mengaku kalah bertaruh karena diakali anakmu si setan neraka. Tetapi lain kali aku akan mencari kesempatan, untuk melanjutkan pertandingan kita sampai puas tanpa diganggu setan ini!" Dia lalu mengibaskan lengan bajunya yang buntung dan melangkah pergi dari tempat itu.

"Hee, Song-bun-kwi kakek tukang pukul! Kalau gatal-gatal kepalamu minta dijotosi orang, pergilah ke Ching-coa-to, tentu kau akan berubah matang biru dan bengkak-bengkak sampai puas!" teriak Loan Ki.

Song-bun-kwi tidak menoleh tidak menjawab, akan tetapi diam-diam dia mencatat nama tempat ini. Ada apa sih di Ching-coa-to, pikirnya. Agaknya gadis itu hendak memamerkan kehebatan orang-orang tertentu di pulau itu. Hemm, pikirnya sambil memperlebar langkahnya. Kalau aku tidak bisa mengobrak-abrik Ching-coa-to, bocah itu tentu makin memandang rendah kepadaku. Kalau yang tinggal di sana itu orang-orang yang ia andalkan, biar kuhancurkan tempat itu, baru ia tahu rasa dan mengenal kehebatanku. Dengan pikiran ini kakek itu lalu melanjutkan perjalanannya sambil berlari cepat dan mulai mencari keterangan tentang letaknya Ching-coa-to.

******
Sudah terlalu lama kita tinggalkan Kwa Kun Hong, pendekar kita yang buta itu. Seperti telah dituturkan dalam bagian depan, setelah pertemuannya dengan Tan Hok dan mendengar keterangan-keterangan tentang kepahlawanan, bangkit semangat Kun Hong. Dia ingin sekali berdarma bakti terhadap nusa bangsa. Ingin sekali menyumbangkan tenaganya untuk tanah air. Dia tahu betapa penting arti mahkota kuno yang menyimpan rahasia besar itu dan alangkah akan baiknya kalau dia dapat merampas kembali benda itu dan memberikannya kepada Tan Hok. Akan tetapi apa dayanya. Dia seorang buta, bagaimana mungkin dapat pergi seorang diri ke pulau itu? Selain pulau itu penuh dengan rahasia-rahasia, yang amat berbahaya, ular-ular yang berbisa, juga di sana terdapat orang-orang yang amat lihai.

Kun Hong duduk termenung di dalam kuil rusak itu sepeninggal Tan Hok, menyesali keadaannya yang buta, bingung tak tahu apa yang harus dia lakukan mengenai niatnya hendak merampas kembali mahkota. Baru pertama kali ini semenjak dia buta, dia merasa menyesal bukan main. Teringat dia akan Cui Bi dan berkali-kali dia menarik napas panjang sambil di dalam hati menyebut nama kekasihnya yang telah tiada.

Siapapun juga yang melihat keadaan Kun Hong di saat itu tentu akan merasa kasihan. Seorang pemuda buta yang pakaiannya kotor dan kumal, rambutnya juga awut-awutan karena pembungkusnya tidak rapi lagi, sepatunya penuh lumpur dan sudah bolong-bolong pula, duduk bersandar di dalam sebuah kuil rusak yang juga kumal dan kotor seperti dirinya, menarik napas berkali-kali kelihatan susah sekali. Dia merupakan seorang jembel muda buta yang amat miskin. Padahal bukanlah demikian sifat Kun Hong. Dia amat benci akan keadaan yang kotor dan biarpun pakaiannya sederhana, biasanya amat bersih. Kali ini karena keributan dan pengalamannya di Pulau Chin-coa-to, maka pakaiannya menjadi seperti itu dan dia belum mendapat kesempatan untuk mencari pengganti pakaiannya.

Agaknya pada saat itu memang ada orang yang menaruh kasihan kepadanya, buktinya orang itu sejak tadi berdiri memandangi wajah orang buta yang duduk menarik napas panjang berkali-kali sambil menunduk itu. Orang ini menggeleng kepala dan mendesislah elahan napasnya. Elahah napas yang halus panjang namun cukup bagi Kun Hong untuk mengetahui bahwa ada orang yang secara diam-diam mengintainya. Tanpa bangkit dari tempat duduknya di lantai yang kotor itu, dia menoleh dan menegur lirih,

"Sahabat di luar kalau ada keperluan dengan aku si buta, masuklah saja." Pendengaran Kun Hong yang tajam menangkap bunyi napas tertahan, lalu sambaran angin meliuk masuk melalui jendela dan sepasang kaki yang amat ringan gerakannya turun di atas lantai dalam ruangan itu, di depannya. Dia kaget karena dapat menduga bahwa yang datang ini adalah seorang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi segera jantungnya berdebar tidak karuan ketika alat penggandanya bekerja. Lubang hidungnya kembang-kempis dan dia melompat bangun.

"Nona Hui Kauw........!" Kedua kakinya gemetar ketika dia berdiri dengan tubuh agak membungkuk memberi hormat. Orang yang baru masuk itu memang Hui Kauw adanya. Tentu saja Hui Kauw kaget dan heran bagaimana pemuda buta ini dapat mengenalnya sebelum ia membuka suara. Akan tetapi ia tidak perduli akan hal ini dan suaranya yang halus merdu itu terdengar penuh sesal,

"Kwa Kun Hong, aku datang untuk perhitungan. Mari ke luar dan pedang kita yang akan menentukan yang harus mati menebus hinaan."

Perih rasa hati Kun Hong. Dia menunduk, dahinya berkerut dan dia berkata, "Aku tahu, Nona tanpa kusadari, aku telah melukai hati dan perasaanmu, aku telah menimpakan hinaan besar kepada dirimu. Aku tak hendak menyangkal lagi. Kau maafkanlah aku, Nona."

Hui Kauw memandang tajam. "Apa maksudmu? Kau....... kau....... tahukah kau apa yang menyakitkan hatiku?"

Dengan kepala masih tunduk Kun Hong menjawab, suaranya lirih dan lambat, satu-satu seakan-akan amat sukar keluar dari lubuk hatinya, "Aku tahu, Nona, atau setidak-tidaknya aku dapat menduga. Karena bujukan dan tipuan, kau mau menjalani upacara sembahyangan perkawinan dengan aku, mengira bahwa akupun sudah tahu dan sudah setuju akan hal itu. Kemudian, di depan banyak orang, aku seakan-akan menolakmu. Inilah hinaan yang tiada taranya, yang paling besar yang dapat menimpa diri seorang gadis seperti Nona."

Tiba-tiba Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut di atas lantai, pedangnya berkerontangan jatuh dan ia menangis terisak-isak. Sedih sekali tangis ini dan Kun Hong maklum betapa perasaan gadis itu amat sakit, dendam dan penuh rasa malu, tertahan-tahan di dalam dada bagaikan api dalam sekam. Inilah berbahaya sekali bagi kesehatan, dan jalan terbaik untuk memberi jalan keluar adalah melalui tangis dan air mata. Karena itu, biarpun dia amat terharu dan berduka mendengar tangis ini, dia diam saja tak bergerak, hanya perlahan dia duduk bersila dan tunduk mendengarkan dengan kerut merut di antara kedua matanya yang buta.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed