Skip to main content

Pendekar Buta 20 -> karya : kho ping hoo

Beng San menggigit bibir, menahan suaranya yang hendak menjerit-jerit. Hampir tak kuat dia menahan gelora hatinya yang kalang-kabut menghadapi malapetaka ini. Seluruh batinnya diliputi kemarahan hebat. Kemudian kakinya menendang. Sebuah batu besar terlempar bergulingan. Pedangnya dikerjakan. Pohon-pohon roboh malang melintang. Beng San terus menyerbu pondoknya yang masih terbakar. Ditendangnya, dihantamnya, dibabatnya sehingga hiruk-pikuk suara pondok itu roboh. Batu-batu beterbangan, tidak ada sebatang pun pohon utuh, semua dibabat rata dengan tanah! Dia mengarnuk terus, dari kerongkongannya terdengar suara menggereng-gereng, matanya liar dan semalam itu dia membuat puncak yang tadinya indah menjadi tempat yang rusak binasa. Tanam-tanaman bunga ludas, pondok habis, pohon-pohon ambruk, batu-batu malang melintang, banyak yang hancur.

Dalam keadaan seperti inilah tiga orang murid kepala mendapatkan gurunya. Beng San masih berdiri sepcrti patung, pedang di tangan, muka beringas mata liar.

"Suhu.....!" tiga orang murid itu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar mereka terisak menangis.

Beng San menoleh, menunduk, matanya dikejap-kejapkan mengusir dua butir air mata yang sejak tadi menggantung tak mau jatuh. Seperti orang baru sadar dari mimpi buruk dia menengok ke kanan kiri, melihat kerusakan yang diakibatkan oleh kemarahannya. Diam-diam dia bersyukur bahwa tidak ada seorang pun manusia di situ malam tadi. Kalau ada, entah apa akan jadinya. Dia menarik napas panjang, terasa sakit di dada. Tahu bahwa dia terluka oleh hawa amarahnya sendiri! Cepat dia menyalurkan hawa murni ke dada, bernapas panjang-panjang memulihkan tenaga dan kesehatan. Dia insyaf akan kegilaannya. Boleh jadi Li Cu tak dapat menahan hantaman nasib seperti ini. Dia tidak menyalahkan isterinya. Seorang wanita bagaimanapun juga lebih lemah daya tahan batinnya. Apalagi pernah kehilangan Cui Bi, kini kehilangan Cui San. Amat berat tentu. Tapi dia seorang laki- laki. Hampir lima puluh tahun hidupnya. Banyak sudah pengalaman. Masa belum juga matang jiwanya oleh gemblengan pengalaman hidup yang pahit getir? Kesadaran tak boleh tertutup kegelapan nafsu. Dia harus tetap berpendirian. Seorang gagah takkan mudah goyah imannya. Sekali lagi dia menarik napas panjang.

"Ki Han, siapa saja di antara adikmu yang tewas dan berapa yang terluka?" tanyanya, suaranya sudah biasa kembali. Beng San sudah pulih menjadi ketua Thai-san-pai yang berwibawa.

Sambil menangis Ki Han menyebutkan nama sembilan orang adik seperguruannya yang tewas dan empat orang yang luka-luka. Kembali Beng San menarik napas panjang untuk menyedot hawa murni guna menguatkan batinnya yang kembali terpukul kedukaan.

"Murid-muridku, kuharap kalian suka mengubur jenazah adik-adikmu baik-baik. Kemudian bubarlah kalian, pulang ke rumah masing masing. Mereka yang tak mempunyai rumah boleh saja tinggal di pegunungan ini. Akan tetapi ingat, mulai saat ini tidak ada Thai-san-pai lagi......"

"Suhu......!" Ki Han terisak. "Di mana subo (ibu guru) dan adik Cui Sian?"

"Adikmu diculik orang. Subomu pergi mengejar. Aku pun akan turun gunung menyusul mereka. Ingat, Thai-san-pai tidak ada lagi......."

"Suhu.......!" Kini terdengar seruan mereka serentak menyatakan keberatan hati.

"Atau....... biarlah untuk sementara ini Thai-san-pai dibekukan. Tunggu sampai aku pulang. Kalau aku tidak pulang selamanya, berarti Thai-san-pai tidak akan bangun lagi. Beri tahu kepada semua adikmu yang tidak tinggal di sini. Terserah kalian mencari jalan hidup masing-masing. Aku tidak akan mengurus sepak terjang kalian selama kalian tidak menggunakan nama Thai-san-pai. Akan tetapi, percayalah akan kemurahan Thian. Kalau Thian menghendaki, aku akan kembali membangun lagi Thai-san-pai yang rusak binasa di hari ini. Nah, selamat tinggal, murid-muridku......." Suara terakhir ini mengandung isak dan semua murid menangis. Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan suhu mereka berkelebat pergi dan lenyap. Murid-murid itu saling rangkul dan bertangisan. Keadaan di pagi hari itu amat menyedihkan. Thai-san-pai yang dibangun selama empat tahun dan tadinya terkenal sebagai partai baru yang kuat dan disegani, dalam semalam runtuh dan hancur binasa!

Kita tinggalkan dulu keadaan Thai-san-pai yang rusak binasa dan ketuanya yang rusak pula ketenteraman rumah tangganya. Mari kita menengok keadaan di puncak Min-san. Telah dituturkan di bagian depan bahwa Tan Kong Bu putera Tan Beng San bersama isterinya, Kui Li Eng dan kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun, setelah menikah lalu pindah ke Min-san di mana dia dibantu oleh isterinya menerima murid-murid yang berbakat dan berusaha mendirikan sebuah perkumpulan baru, yaitu Min-san-pai.

Belum banyak murid yang diterima oleh suami isteri ini karena mereka masih muda, lagi pula mereka tidak mau menerima sembarangan murid. Kalau ada anak yang benar-benar berbakat barulah mereka mau menurunkan ilmu silat sehingga dalam waktu empat tahun, baru mempunyai murid sebanyak dua belas orang saja, terdiri dari anak-anak muda laki perempuan berusia antara sepuluh sampai lima belas tahun. Suami isteri ini hidup rukun saling mencinta dan di samping mengajar silat kepada murid-murid cilik ini mereka hidup sebagai petani, bercocok tanam sayur-sayur dan buah-buahan yang dapat hidup subur di Min-san. Song-bun-kwi juga hidup tenang tenteram di Min-san. Kakek ini sekarang menjadi gemuk dan sehat. Akan tetapi lewat empat tahun, dia mulai mengeluh dan menjadi malas karena kerjanya hanya makan tidur belaka. Berkali-kali dia mengeluh dan menyatakan ketidak puasan dan kebosanan hatinya di depan cucunya dan cucu mantunya.

Pagi hari itu dia nampak marah-marah dan gelisah. Sejak subuh tadi Kong Bu dan isterinya melihat dengan cemas betapa kakek itu tidak hentinya berlatih silat di kebun belakang. Dan tidak seperti biasanya, terdengar suara keras. Ketika mereka lari menengok, kiranya dua batang pohon besar roboh dipukul dan ditendang kakek itu! Masih saja Song-bun-kwi bersilat. Angin pukulannya mendesir desir dan dia sama sekali tidak perdulikan munculnya cucu dan cucu mantunya. Wajahnya cemberut matanya sayu.

Kong Bu saling pandang dengan Li Eng. Menarik napas panjang lalu menggandeng tangan isterinya diajak masuk rumah. Dia masgul sekali, duduk bertopang dagu, teringat akan percekcokan dengan kakek itu semalam. Seperti biasa, malam tadi Song-bun-kwi makan bersama Kong Bu dan Li Eng yang juga melayani suami dan kakeknya. Song-bun-kwi sudah berbeda daripada biasanya, menenggak arak dan selalu minta tambah.

Akhirnya, selesai makan Song-bun-kwi menggebrak meja sampai mangkok-mangkok menari-nari di atas meja.

"Kau anak sial! Tidak becus!!!" dia memaki Kong Bu.

Tidak heran Kong Bu melihat kakeknya seperti itu. Sudah sejak kecil dia tahu akan keanehan watak kakek ini yang mudah marah dan mudah gembira, kadang-kadang bagi yang tidak tahu tentu disangka gila. Dengan tenang dia tersenyum dan bertanya,

"Apalagi yang tak menyenangkan hatimu, Kong-kong (kakek)? Kesalahan apakah kali ini yang kulakukan?"

"Kesalahan apa? Bocah tolol! Aku ingin punya buyut, kau dengar? Aku ingin punya buyut dan kau tidak becus!!" Mendengar omongan ini seketika wajah Li Eng menjadi merah dan dengan pura-pura membawa mangkok-mangkok kotor ia cepat-cepat lari ke belakang, namun telinga kakek dan cucu yang lihai itu masih dapat mendengar isaknya tertahan-tahan.

Kong Bu mengerutkan heningnya. Terlalu kakeknya ini. Sudah melewati batas sekarang. Sudah berkali-kali kakeknya ini marah-marah kepadanya, memakinya tidak becus, tidak mampu segala macam, hanya karena dia dan Li Eng sampai sekarang belum juga punya keturunan, belum punya anak! Kakeknya memang orang aneh, ini dia tahu. Akan tetapi kalau sudah mencelanya tentang tak punya anak di depan Li Eng, tentu saja isterinya merasa tersinggung sekali.

"Kakek, lagi-lagi kau ribut-ribut soal cucu buyut!" tegurnya dengan suara agak kasar. "Soal keturunan adalah soal yang ditentukan oleh Thian. Manusia mana dapat menentukan? Mengapa kakek ribut-ribut saja urusan buyut? Apakah tidak tahu bahwa ucapanmu tadi amat menyakiti hati Li Eng?"

"Aaahh, dasar kau yang tidak becus! Laki-laki goblok kau, sudah menikah empat tahun belum juga punya anak. Uuhhh!" kakek itu mencak mencak dengan amat berangnya.

Kong Bu tak dapat menahan kesabarannya. Suara kakeknya terlalu keras sehingga biarpun Li Eng berada di belakang, tentu isterinya itu dapat mendengar jelas.

"Kong-kong, kau terlalu sekali! Kau ingin punya cucu buyut untuk apa sih?"

"Wah, untuk apa katanya? Tentu saja untuk kuwarisi kepandaian yang kulatih puluhan tahun ini. Untuk apalagi? Aku takkan mati meram sebelum kepandaianku kuwariskan kepada buyutku. Tahu kau?"

Kong Bu tertawa, berusaha mendinginkan hati kakeknya. "Ah, kalau hanya untuk itu saja, mengapa Kong-kong susah-susah menanti buyut yang tak tentu kapan datangnya? Bukankah cucu muridmu ada dua belas orang di sini, boleh kau pilih mana yang kau sukai untuk dijadikan murid-muridmu. Bukankah ini baik sekali, Kong-kong?"

"Murid-murid tahi kerbau!!" Kakek itu makin marah. "Kalau memang mau cari murid, aku bisa cari sendiri. Ah, sudahlah, dasar kau yang tolol dan tidak becus!"

Demikianlah keributan malam tadi, keributan berdasarkan soal yang itu-itu juga yang membuat Song-bun-kwi Kwee Lun murung. Pagi itu sejak subuh dia sudah bersilat dan dengan pukulan saktinya merobohkan pohon besar.

Biasanya, setelah matahari terbit, kakek ini tentu akan masuk ke ruangan depan, berjemur sinar matahari melalui jendela ruangan itu sambil menghadapi minuman hangat yang disediakan oleh Li Eng. Dia akan duduk di bangku panjang ah berbaring, meram melek nikmat seperti seekor singa tua bermalasan.

Akan tetapi pagi itu dia tidak masuk ke ruangan. Sampai matahari naik tinggi, kakek itu tidak nampak pulang. Kong Bu merasa heran dan mencari ke belakang. Tidak ada. Ke depan lalu ke sekeliling tempat itu. Tidak ada. Kakek itu tidak nampak bayangannya lagi.

Isterinya ikut mencari dan memanggil-manggil. Namun kakek itu tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Kong Bu mendekati isterinya. Mereka saling pandang.

"Dia kumat penyakitnya, dasar berdarah perantauan!" kata Kong Bu.

Li Eng mengerutkan kening, menunduk. "Karena aku......."

Kong Bu kaget, memandang isterinya. Dilihatnya dua titik air mata membasahi pipi Li Eng. Dia merangkulnya. "Hushh, siapa bilang karena kau? Tentang itu, tak perlu kita pikirkan, isteriku. Kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha Kuasa."

Li Eng memang bukan seorang pemurung. Semenjak gadisnya, ia amat periang, kocak dan jenaka. Sekarang pun hanya sebentar ia digerumuti rasa kecewa dan duka. Di lain saat sambil tersenyum manis ia berkata,

"Hemm, dunia kang-ouw tentu bakal geger dan heboh karena munculnya kakek!"

Kong Bu juga tersenyum. "Tentu saja, boleh kita pastikan itu! Kita dengar-dengar saja, tentu terjadi keonaran. Memang kakekku itu tukang mencari geger. Ha-ha-ha!" Mereka tertawa-tawa dan seketika lenyaplah awan mendung yang mengancam sinar kebahagiaan mereka.

Benar dugaan Kong Bu. Kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun memang sudah pergi dari Min-san. Kekesalan hatinya karena belum juga dia dapat menimang seorang buyut yang dinanti-nantikan, membangkitkan rindunya akan dunia ramai, membuat penyakitnya suka merantau kambuh kembali. Seperti telah menjadi wataknya semenjak dahulu, dia selalu pergi tanpa pamit dan pulang tanpa memberitahukan.

Tapi, tidak seperti dugaan Kong Bu "Bahwa di dunia ramai kakeknya tentu akan menimbulkan kegemparan, kali ini Song-bun-kwi melakukan perjalanan dengan tenteram, Tidak mempunyai nafsu untuk mencari perkara. Hal ini adalah karena hatinya sudah menjadi dingin karena mengingat bahwa tokoh-tokoh setingkat dengannya seperti Siauw-ong-kui, Pak-thian Lo-cu, atau Hek-hwa Kui-bo dan Toat beng Yok-mo, semua sudah mati. Kalau ada mereka, terutama Siauw-ong-kui, tentu dia akan mencarinya dan diajak berkelahi sampai tiga hari tiga malam!

Hanya tinggal seorang tokoh yang setingkat, atau setidaknya hampir setingkat dengannya, yaitu Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, itu tokoh besar pantai timur. Karena teringat akan orang tua inilah maka kini Song-bun-kwi melakukan perjalanan ke timur, ke pantai timur untuk mencari Tai-lek-sin. Keperluannya hanya satu, mencari orang tua itu dan kalau sudah berjumpa, diajak berkelahi mengadu ilmu!

Pada suatu hari kakek ini memasuki sebuah kota pelabuhan di pantai timur yang cukup ramai, karena kota ini selain menjadi pusat perdagangan para pedagang laut yang datang dari selatan dan utara, juga terkenal sebagai pintu mengeluarkan hasil-hasil bumi dan akar-akar obat. Sayangnya seringkali kota ini diganggu bajak laut Jepang sehingga sebagian besar pedagangnya datang dari lain kota dan jarang yang mendirikan bangunan di situ. Dan sudah menjadi kebiasaan setiap orang pedagang keliling yang membawa banyak barang berharga, selalu mesti ada saja pengawal-pengawalnya terdiri dari jagoan-jagoan pengawal bayaran yang lajim disebut piauw-su. Pengawal-pengawal bayaran dan para pedagang inilah yang meramaikan restoran-restoran yang banyak dibuka di situ sehingga begitu memasuki kota ini, Song-bun-kwi segera mengembang kempiskan hidungnya karena mencium bau masakan sedap dan gurih.

"Gurih....... gurih....... wah sedapnya.......!" dia menggerutu berkali-kali kemudian matanya mencari-cari dan akhirnya dia melangkah lebar memasuki sebuah restoran yang paling besar yang berada di pinggir jalan besar dekat tempat pemberhentian perahu- perahu. Bau amis perahu-perahu yang membawa muatan ikan malah menambah sedap.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed