Skip to main content

Raja Pedang 29 (Kho Ping Hoo)


Karena perutnya memang lapar sekali, Beng San tanpa malu-malu lagi lalu makan hidangan itu dengan lahapnya. Setelah berada di tengah-tengah mereka ini, orang-orang gagah Pek-lian-pai, dia merasa aman dan tidak takut akan an-caman Song-bun-kwi. Akan tetapi setelah mengambil paku-paku Pek-lian-pai dari tempat itu, para anggauta Pek-lian-pai itu seorang demi seorang pergi dari tem-pat itu seperti setan-setan saja. Gerakan mereka cepat dan tidak mengeluarkan suara sehingga rombongan seperti ini dalam pertempuran dapat melayani mu-suh yang jauh lebih banyak jumlahnya. Kini hanya tinggal pemimpin pasukan yang tadi bicara dengan Beng San, yang masih duduk menghadapi anak itu.



"Ke mana perginya teman-teman tadi?" Beng San bertanya sehabis makan, karena kesunyian tempat itu betul-betul menyeramkan, apalagi setelah keadaan menjadi makin gelap.


"Ah, sudah menjadi kebiasaan klta tidak berkelompok, selalu siap untuk menggempur musuh, pasukan-pasukan Mongol yang lewat dekat daerah mi," pemimpin Pek-Uan-pai itu berkata.


Beng San mengangguk-angguk dan mengangsurkan kembali tempat air dan tempat roti yang sudah kosong. "Sekali lagi terima kasih, Twako..... eh, siapakah nama Twako?"


"Namaku 'Ciu Tek," jawab orang itu , singkat.


"She Ciu.....? kalau begitu Twako ini masih terhitung keluarga dengan pemimpm yang terkenal Ciu Goan Ciang?"


Orang itu nampak gugup, tapi karena keadaan gelap, sukar bagi Beng San untuk memperhatikan niukanya. "Aaahhh..... brang seperti aku ini, mana bisa disejajarkan dengan Ciu Goan Ciang? Eh, Adik Beng San, kau sudah tahu akan Ciu Goan Ciang, apakah kau pernah bertemu de-ngannya dan di rriaria dia sekarang?"


"Semua orang, dari pedagang sampai petani, memuji-muji nama besar Ciu Goan Ciang. Tentu saja aku pernah rneri-dengar nama itu disebut-sebut urang. Akan tetapi belum pernah aku bertemiu muka dengannya dan tentu saja akn tidak tahu di mana tempatnya. Ciu-twako, kau tadi bilang bahwa ada hal yang arriat penting yang menjadi alasan kau dan teman-teman tadi menolongku. Hal apakah yang amat penting itu?"


"Amat penting bagimu, Adik Beng San. Akan tetapi sebelurn aku memberi penjelasan, aku ingin rnendapat kepastian lebih dulu agar jangan mengecewakan dua orang sakti itu. Adikku yang baik, coba kaubuka baju atasmu, ingin aku membantu Beng San melepas bajunya yang sudah rombeng itu, yang di-lakukannya karena dia ingin segera mendengar apa yang akan dlceritakan oleh pemimpin Pek-lian-pai itu.


Dengan sebatang obor yang dinyalakan-nya Ciu Tek menerangi dada dan pundak Beng San. Tiba-tiba dia nampak gembira, tertawa-tawa dan menudingkan telunjuknya ke arah pundak Beng San. "Bagus, kaulah anak mereka! Ha-ha-ha, tak salah lagi sekarang. Tanda tahi lalat di pundakmu itu! Betul, kaulah Beng San anak suami isleri yang sakti itu!"


Beng San menjadi bengong, lalu me-makai kembali bajunya. "Ciu-twako, apa kaubiJang? Aku anak siapa? Harap kau-jelaskan, jangan main-main." Suara Beng San terdengar serak, hampir tak dapat dia mengeluarkan suara karena rasa keharuan yang besar. Jantungnya berdetak tidak karuan mendengar bahwa dia adalah anak mereka! Mereka siapa?


"Adik Beng San, jawab dulu. Bukankah kau seorang anak yang menjadi korban banjir Sungai Huang-ho dan tidak tahu lagi siapa ayah bundamu?"


Beng San mengangguk, membasahi , bibirnya dengan lidah. "Aku..... aku sudah lupa segala..... aku terdampar ombak air bah, lalu berkeliaran dan bekerja di kelenteng..... aku tidak ingat lagi siapa ayah bundaku. Ciu-twako yang baik, lekas kauberi penjelasan, apa artinya semua ini?"


Ciu Tek memegang kedua pundak Beng San dan berkata gembira, "Adik Beng San, kionghi (selamat)! Kau akan bertemu dengan ayah bundamu kembali. Mereka sudah lama mencari-carirnu ke mana-mana. Tak nyana aku yang me-nemukan kau disini. Ah, girang sekali hatiku!"


Beng San hampir pingsan saking ka-getnya, heran, dan gembiranya. Terlalu hebat, terlalu baik berita ini, sampai sukar untuk dapat dipercaya. Benarkah dia akan bertemu dengan ayah bundanya kembali? Bagaimanakah wajah ayah bun-danya itu? la sudah lupa sama sekali. Ingatannya disapu bersih oleh air bah yang mengamuk. Bahkan she-nya sendiri saja dia sampai lupa.


"Ciu-twako...... di mana..... dimana..... mereka itu.....?" Dengan sukar sekali Beng San mengajukan pertar /aan ini, dengan suara terputus-putus da.n mata berlinangan air mata.


"Sabarlah, Adik Beng San, mereka tidak jauh dari sini. Tunggu aku memberi kabar kepada mereka dan besok pagi kau sudah akan bertemu dengan ayah bundamu itu." Ciu Tek memberi isyarat de-ngan siutan. Muncullah seorang temannya, seorang anggauta Pek-lian-pai wa-nita yang sigap dan bermata sipit, di punggungnya membawa pedang.


"Kui-moi, kauantarkan suratku kepada Ouw-taihiap suami isteri, malam ini juga," kata Cin Tek yang segera mencorat-coret sehelai kertas dan memberikannya kepada wanita itu. Wanita itu hanya mengangguk menerima surat dan tak lama kemudian dari jauh terdengar derap lari seekor kuda.


"Ciu-twako, jadi aku she..... she Ouw? Ciu-twako, ceritakanlah tentang ayah bundaku, aku sudah lupa sama sekali. Dan bagaimana aku sampai hanyut di Huang-ho? Ah, Twako yang baik, cerita-kanlah, aku tak sabar menanti." Seperti anak kecil Beng San mengguncang-guncang lengan Ciu Tek yang tersenyum dan memandang terharu.


"Adikku yang baik, kau adalah putera tunggal sepasang suami isteri yang berkepandaian tinggi sekali. Orang tuamu adalah sepasang pendekar yang sukar dicari bandingnya untuk jaman ini. Ayahmu bernama Ouw Kiu, terkenal dengan julukannya Hui-sin-liong (Naga Sakti Ter-bang). Ibumu bernama Bhe Kit Nio berjuluk Bi-sin-kiam (Pedang Sakti Cantik)."


Beng San mendengarkan dengan hati berdebar bangga. Ah, kiranya orang tuanya adalah pendekar-pendekar gagah, terkenaJ di kaiangan Pek-lian-pai pula. Alangkah akan kaget dan herannya kalan kelak Tan-twako mendengar akan hal ini, pikirnya. Hemmm, orang tuanya tidak kalah terkenalnya oleh orang tua cinak-anak Hoa-san-pai itu. Diam-diam Beng San mengangkat dada terhadapThio Ki, Kui Lok, dan dua orang gadis cilik, Thio Bwee dan Kwa Hong. la tak merasa kalah oleh mereka itu!


"Ciu-twako," katanya dengan Suara gemetar, "kalau ayah bundaku begitu terkenal dan lihai, kenapa aku sampai bisa hanyut terbawa air bah?"


"Ketika itu banjir besar sedang mengamuk di sepanjang Sungai Huang-ho, ayah bundamu sibuk menolong para korban. Karena kesibukannya inilah mereka menjadi lalai dan kau yang masih kecil bermain-maiti di dekat songai lalu terseret banjir dan lenyap. Mereka tak dapat berbuat apa-apa karena tahu-tahu kau telah lenyap....."


Beng San termenung.Air matanya menitik turun. la sendiri tidak ingat sama srkali akan hal semua itu. Seingatnya, dia telah menjadi kacung di Hok-thian-tong. Baginya, hidup ini dimulai dari lantai Hok-thian-tong yang dia pel (cuci) setiap hari. Ingatannya hanya bisa dia pntar kembali sampai saat itu, saat ia menjadi kacung di kelenteng, diperlakukan dengan amat baik oleh para hwesio di kelenteng itu. Ia tidak dapat meng-ingat lagi waktu sebelum itu. Dan se-karang kelenteng itu sudah habis di ma-kan api, tak seorang pun hwesio dapat dia temukan sehingga awal hidupnya yang dapat dia ingat juga habis tersapu dari kenyataan, kini bukan tersapu air, melainkan tersapu habis oleh api! Tak di-sangka sama sekali bahwa di tempat ini dia akan bertemu dengan ayah bundanya! Tak tertahankan lagi Beng San menutupi mukanya dan menangis tersedu-sedu.


"Tidurlah, Adik Beng San. Tidurlah nyenyak dan besok kau akan bertemu dengan ayah bundamu."


Akan tetapi mana Beng San mau tidur? la tidak mau tidur karena takut kalau-kalau dia akan bangun dari tidur dan mendapatkan dirinya bahwa semua ini hanya mimpi belaka. Malah sekarang pun berkali-kali dia mencubit kulit le-ngan sendiri untuk menyatakan bahwa dia tidak sedang tidur. Kadang-kadang dia , hampir tak dapat percaya. la akan bertemu dengan ayah bundanya? Ah, terlalu baik, terlampau luar biasa baik nasibnya, sampai-sampai sukar untuk mempercayanya. Tak sabar lagi dia menanti datangnya pagi dan baru kali ini selama hidupnya Beng San tahu apa artinya rne-nunggu. Malam itu terasa amat panjang olehnya.


Akhirnya fajar menyingsing. Suara-suara dalam hutan sudah berubah, bukan lagi suara burung malam, jengkerik di-seling meraungnya binatang-binatang buas, suara yang seram menambah te-gelisahan hati Beng San yang tak sabar, melainkan sudah berubah menjadl suara burung-burung pagi berkicau ramai indah, menambah kegembiraan hati Beng San yang melihat bahwa apa yang dinaoti-nantikan akhirnya menjelang tiba.


Ciu Tek mengeluarkan sisa daging rusa yang masih disimpannya, lalu dipanggang dan memberi sebagian kepada Beng San. Akan tetapi dengan halus Beng San menolaknya, menyatakan bahwa dia tidak lapar. Memang, dia hanya lapar bertemu orang tuanya, yang lain-lain tidak peduli lagi.


Akhirnya, setelah matahari mulai menerobos cahayanya di antara daun-daun pohon, dari jauh terdengar derap kaki kuda dan tak lama kemudian mun-cullah dua orang. Seorang laki-laki tinggi tegap berusia empat puluh tahun yang bermuka pucat, bermata sipit dan dengan kumis melintang meloncat turun dari kudanya, diturut oleh seorang wanita cantik berpakaian indah, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Dua orang ini sambil tersenyum-senyum menghampiri Beng San dan Ciu Tek. Beng San segera bangkit berdiri, memandang kepada dua orang itu, ganti-berganti. Lehernya ter-kancing, seakan-akan ada hawa menyesak dari dada memenuhi kerongkongannya.


"Adik Beng San, itulah mereka, ayah dan ibumu. Sambutlah," kata Ciu Tek sambil tersenyum. "Baik-baiklah kau de-ngan ayah ibumu, aku harus pergi." Ciu Tek segera meninggalkan tenripat itu tanpa mendapat jawaban Beng San yang seakan-akan tidak mendengarnya, karena anak ini seperti terpukau berdiri meman-dang dua orang yang baru datang itu.


"Beng San, ahhh..... kau sudah begini besar..... ah, sampai pangling aku..... hampir delapan tahun kau lenyap..... ah, biarkan aku melihat tanda di pundakmu, Beng San. Betulkah kau Beng San anakku? Betulkah ada tahi lalat di pundakmu?" Wanita itu berkata dengan suara terputus-putus dan saputangannya digosok-gosokkan matanya yang bercucuran air mata.


Laki-laki itu pun melangkah maju, suaranya besar parau. "Tak salah lagi, inilah anak kita. Biar kita buktikan tandanya. Beng San, coba kaulepas bajumu....."


Gemetar seluruh tubuh Beng San. Entah apa yang dirasanya di saat itu, dia sendiri tidak tahu. Seperti dalam mimpi tangannya membuka kancing bajunya sehingga baju itu terbuka dan tampak dada dan pundaknya. Sebuah andeng-andeng (tahi lalat) kecil menghias pundak kirinya. Melihat ini wanita itu ialu me-nubruk dan merangkulnya.


"Ah, kau betul Beng San anakku....” Diciuminya pipi dan leher Beng San. Anak ini merasa jengah dan malu. Seharusnya dia tidak usah merasa malu bisik hati nuraninya, kan dia ibuku? Tapi entah, tanpa dia sengaja dia menjauhkan mukanya dan dia memandang muka cantik yang berbedak tebal dan berbau harum minyak wangi itu, memandang se-pasang mata yang bergerak liar dan genit, mulut yang dilapisi cat merah, indah bentuknya dan selalu tersenyum akan tetapi agak terlampau lebar itu, giginya yang kecil-kecil meruncing tampak ketika tersenyum.


"Beng San, anakku..mari sini, Nak... biarkan ibumu memelukmu....."


Beng San bergidik, akan tetapi dia j memaksa diri melangkah maju dan membiarkan ibunya merangkul dan mendekapnya. Ketika dia merasa betapa air mata yang hangat menjatuhi pipinya, hatinya menjadi terharu dan tak terasa pula dia pun menangis terisak-isak.


"Ayah..... Ibu.....??! Kenapa..... kenapa.." bibirnya berbisik, hatinya penuh keharuan ketika dia dipeluk ibunya dan kepalanya dibelai kedua tangan ayahnya yang sudah mendekat pula.


"Kenapa? Apa yang hendak kau tanyakan, Beng San.....?" Ibunya bertanya.


Sebetulnya hati Beng San berteriak-teriak kecewa, kenapa ayahnya tidak segagah ayah Kwa Hong dan kenapa ibunya begini..... pesolek, sama sekali tidak kelihatan agung seperti yang dia gambar-gambarkan semalam. Akan tetapi mulutnya tentu saja tidak berani meneriakkan suara hatinya ini dan dia hanya berbisik.


"Kenapa Ayah dan Ibu membiarkan anak terlunta-lunta sampai sembilan tahun?"


"Membiarkan terlunta-lunta? Ah, kau tidak tahu, Beng San. Kami telah men-cari-carimu setengah mati, malah me-ngerahkan semua kawan Pek-lian-pai untuk mencarimu," kata ibunya yang bernama Bhe Kit Nio. "Ah, pakaianmu begini kotor, sudah rombeng pula. Aku tadi membawa pakaian untukmu, anakku. Mari kugantikan kau dengan pakaian baru." la berlari ke arah kudanya dan mengambil satu stel pakaian dari sutera indah Iwr-warna biru muda untuk Beng San.


Tanpa disengaja Beng San tersipu-sipu malu. "Biarlah, Ibu, biar kupakai sendiri." la menerima pakaian itu dan lari sembunyi ke belakang sebatang po-hon besar, cepat-cepat dia memakai pa-kaian itu, akan tetapi tidak membuang pakaian lamanya. la hanya merangkapkan pakaian baru di luar pakaiannya yang lama. Setelah dia muncul kembali, ibunya berkata.


"Ah, coba lihat.Alangkah tampannya anak kita....." Sambi! tertawa ibu muda ini berlari dan memeluk lagi leher Beng San.


Beng San mendapat kenyataan betapa ayahnya semenjak tadi hanya diam saja. Agaknya ayahnya memang pendiam dan tidak bisa banyak bicara. la merasa tidak enak kalau didiamkannya saja. Sejak tadi hanya ibunya yang bicara terus. Temyata ibunya memang pandai bicara. la teringat akan Kwa Hong. Memang, kalau diban-dingkan, Kwa Hong jauh lebih pandai bicara daripada Kui Lok atau Thio Ki Bahkan Thio Bwee yang pendiam juga ! lebih pandai bicara. Apakah memang wanita sudah semestinya lebih pandai bicara daripada laki-laki?


"Ayah, aku pernah bertemu dengan Tan-twako, pemimpin Pek-lian-pai. Kena-pa dia tidak tahu bahwa aku anak Ayah Ibu?"


Ayahnya nampak bingung. "Tan-twa-ko.....? Siapa itu..... ah, ingat aku. Kau maksudkan Tan Hok?"


"Ketahuilah, Beng San," Ibunya menyambung cepat. "Tan Hok itu adalah pennmpin Pek-lian-pai cabang selatan, jadi berpisahan dengan kami. Ayahmu dan aku mempunyai hubungan dengan Pek-lian-pai cabang utara. Memang belum lama ini kami bertemu dengan Tan Hok dan dari dialah kami mengetahui tentang kau dan timbul dugaan bahwa kau adalah putera kami. Dan ternyata betul, terima kasih kepada para sianli (dewi) di kahyangan'"


Hemmm, iixinya menyatakan terima kasih kepada dewi. Agaknya ibunya ini penyennbah Kwan Im Pouwsat, pikir Beng San. la masih belum biasa dengan keadaan ini, keadaan berayah ibu, maka dia merasa canggung dan masih saja dia terasa dirinya asing.


”Sekarang ceritakanlah semua penga-lamanmu semenjak kau terbawa hanyut. oleh Sungai Huang-ho, anakku," Ibunya berkata sambil duduk di sebelahnya, me-megangi tangannya dengan sikap yang penuh kasih sayang. Terharu juga Beng San melihat sikap Ayahnya diam saja, hanya membuat api unggun dan memanggang daging yang agaknya tadi sengaja dibawa. Hal yang amat kecil ini saja tidak terluput dari perhatian Beng San. Kenapa ayahnya yang memanggang daging? Bukankah seharusnya ibunya yang melakukannya? Kenapa ibunya agaknya tidak mengacuhkan dan kenapa ayahnya kelihatan takut-takut kepada ibunya?


"Beng San, kenapa melamun? Aku minta kauceritakan pengalamanmu."


Ketika hendak mulai bercerita, Beng San tiba-tiba teringat bahwa keadaan dirinya amat berbahaya. la teringat akan pesan Lo-tong Souw Lee. Karena dia mengerti tentang Im-yang Sin-kiam-sut dan tahu di mana adanya Lo-tong Souw Lee, dirinya menjadi terancam, dicari oleh orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Kalau sekarang dia menceritakan semua itu kepada ayah bundanya, bukankah itu sama saja dengan menimpakan semua bahaya ini ke pundak orang tuanya juga?


"Aku tidak tahu bagaimana asal mulanya, tak ingat lagi," ia mulai menuturkan pengalamannya, "tahu-tahu aku sudah berada di Kelenteng Hok-thian-tong menjadi kacung melayani para hwesio di sana." la menarik napas panjang karena teringat lagi kepada kelenteng yang terbakar itu. "Aku tidak ingat apa-apa lagi, yang kuingat hanya bahwa aku hanyut oleh air bah Sungai Huang-ho dan bahwa namaku Beng San."


"Kasihan kau, anakku....." Bhe Kit Nio memeluknya dan kembali air matanya bercucuran. Beng San merasa heran be-tapa mudahnya air mata mengucur dari sepasang mata ibunya. "Lalu bagaimana lanjutannya, Nak?"


Sementara itu, Ouw Kiu sudah pula duduk di situ, mendengarkan cerita Beng San sambil nnemegang ujung ranting yang dipergunakan untuk menusuk dan me-manggang daging. Matanya yang bersinar suram itu lebih banyak menatap daging di dalam api, jarang sekali menatap wa-jah Beng San, bahkan agaknya menghindari pandang mata Beng San yang tajam luar biasa itu.


Beng San lalu menuturkan dengan suara perlahan semua pengalamannya, bahkan menuturkan dengan bangga bahwa dia telah diangkat sebagai murid dan ahli waris oleh mendiang Phoa Ti dan The Bok Nam yang tewas di dalam jurang.


Ketika dia bercerita sampai di sini, ayahnya nampak tenang saja, akan tetapi ibunya berseru kaget.


"Apa??" Kau diambil murid Thian-te Siang-hiap? Kalau begitu kau menjadi ahli warisnya dan mewarisi Im-yang Sin-kiam-sut?" Sepasang mata ibunya ter-belalak memandangnya, alisnya diangkat dan mulutnya terbuka. Kembali Beng San merasa bahwa ibunya ini dalam segala gerak-geriknya terlalu dibuat-buat. Ia lebih bangga akan sikap ayahnya yang pendiam dan seakan-akan tidak peduli, patut menjadi sikap seorang gagah perkasa, sungguhpun corak ayahnya lebih menakutkan daripada gagah. Betapapun juga, dia merasa bangga bahwa ibunya juga mengenal nama Thian-te Siang-hiap dan tahu akan Im-yang Sin-kiam-sut.


"Ah, aku hanya baru mempeiajari teorinya, Ibu, prakteknya sih masih jauh dari pada sempurna. Aku masih sedang melatihnya, baru pada tingkat permulaan."


"Bagus, anakku. Ah, kau anakku yang beruntung, anakku yang bernasib baik!" Ibunya memeluknya dan mencium kening-nya. Kembali Beng San merasa pipinya merah dan panas, hatinya malu dan jengah. "Teruskanlah, Nak, teruskan penuturanmu."


"Ah, Ibu, kau bilang aku beruntung dan bernasib baik. Sebaliknya daripada itu, setelah menerima warisan ilmu itu, hidupku seperti terkutuk. Aku dipakai rebutan antara orang-orang jahat, rnalah hampir saja beberapa kali aku dibunuh karena warisan ini, Beng San.berkata menyesal.


"Ehhh.....?? Siapa berani mengganggumu, siapa sih berani nnau membunuhmu? Keparat, kuhancurkan kepalanya nanti!" Nyonya muda itu mengepal tinjunya yang kiri sedangkan tangan kanannya meraba gagang pedangnya. Sikapnya mengancam dan gagah sekaii. Untuk sejenak hati Beng San terhibur. Bangga dia melihat sikap orang yang menjadi ibunya ini, yang demikian ganas hendak membelanya.


"Ah, Ibu..... itulah celakanya..... selama ini yang mengejar-ngejarku dan, mengancam keselamatanku adalah orang-orang yang layak disebut iblis, tokoh besar yang amat sakti dan tinggi kepandaiannya, sukar sekali dilawan....."


"Hemmm, siapa mereka? Katakan!" tiba-tiba Ouw Kiu yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suaranya yang parau. Kembali Beng San merasa bangga karena ayahnya ini pun agaknya marah men-dengar bahwa dia hendak diganggu orang. Baru sekarang dia merasa betapa enak dan senangnya berayah ibu, ada orangt meJindungi dan membelanya!


"Pertama adalah Song-bun-kwi, ke dua Hek-hwa Kiri-bo, dan masih banyak lagi, mungkin semua orang di dunia kang-ouw hendak menangkapku karena mereka hendak merebutkan Im-yang Sin-kiam-sut." Beng San memandang tajam ayah bunda-nya, dia takkan heran kalau melihat mereka kaget dan khawatir. Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat j ayahnya mengangguk-angguk dan ibunya malah tertawa nyaring!


"Ha-ha-ha, Beng San. Cuma orang-orang macam Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo saja kauanggap hebat? Ah, kukira tadi ibJis neraka yang mengganggu-mu. Kalau hanya mereka itu, andaikata ibumu ini tidak kuat melawannya, pasti mereka diganyang rnentah-mentah oleh ayahmu! Jangan khawatir, anakku. Kau belum tahu bahwa ayah ibumu juga bu-kan orang lemah, apalagt ayahmu. Hemmm, kiranya pasangan kami tak kalah terkenalnya. Kebetulan sekali kau segera dapat kami temukan, kalau tidak, ahhh..... amat berbahaya. Kau harus lekas beri-tahukan Im-yang Sin-kiam-sut kepada kami» Di bawah pimpinan ayahmu, kau akan dapat kemajuan pesat dan akan kuat membantu kami menghadapi musuh-musuhmu itu."


Tapi Beng San masih ragu-ragu. Betulkah ayah bundanya akan mampu menghadapi Hek-hwa Kui-bo atau Song-bun-kwi? la tidak mau menyeret ayahnya atau ibunya sehingga jiwa mereka terancam pula. la menggeleng kepala dan berkata, "Biarlah, Ibu. Biar aku sendiri saja yang mengerti ilmu sial itu, agar Ayah jangan ikut terancam keselamatannya”.


''Hemmmm, agaknya kau belum percaya akan kepandaian ayahmu. Biarlah lain waktu kau akan melihat sendiri buktinya. Sekarang, kaulanjutkan ceritamu."


Beng San lalu menceritakan penga-lamannya ketika dia ditolong Lo-tong Souw Lee dan kemudian menerima latih-an-latihan dari kakek buta itu dan men-dapat penjelasan-penjelasan bagaimana dia selanjutnya harus melatih diri untuk mempelajari Im-yang Sln-kiam-sut yang sudah dihafalnya di luar kepala itu.


"Ahhh..... kau malah bertemu dengan dia? Apakah Liong-cu Siang-kiam masih ada padanya?" tanya ibunya, nampak kaget dan terheran-heran.


"Masih ada. Bagaimana Ibu bisa tahu tentang Liong-cu Siang-kiam dan apakahai Ibu mengenal Lo-tong Souw Lee?"


"Hi-hi-hi, bocah bodoh. Siapa tidak tahu tentang Liong-cu Siang-kiam yang dicuri kakek itu dan menghebohkan orang seturuh negara? Dan tentang Lo-tong Souw Lee sendiri..... ah, dia itu adalah sahabat baik ayahmu!"


"Sahabat baik Ayah?" Beng San menengok kepada ayahnya yang sudah memandang panggang dagingnya dengan muka muram lagi. "Akan tetapi dia su-dah amat tua, dan malah sudah buta, sedangkan Ayah..... Ayah masih muda....."


"Dalam persahabatan orang tidak melihat perbedaan usia," bantah ibunya, "ayahmu sahabat baik Lo-tong Souw Lee. Kalau bukan sahabat baik, apakah ayah-mu tidak sudah pergi mencarinya untuk merampas kembali Liong-cu Siang-kiam seperti tokoh-tokoh lain? Karena sahabat baik, ayahmu segan melakukan itu. Sekarang kebetulan sekali, Beng San. Kalau Lo-tong Souw Lee sudah berlaku amat baik kepadamu, kepada anak kami, sudah selayaknya kalau kami membelanya dari ancaman orang-orang kang-ouw. Kuusul-kan supaya kita bertiga pergi mengun-junginya, di sana kau boleh memperdalam Ilmu Im-yang Sin-kiam-sut di bawah asuhan ayahmu sementara kita bersama menjaga keselamatan orang tua yang sudah buta itu." Ibunya laki meraba pundak ayahnya dan bertanya, "E.h, bagaimana pendapatmu?"


Ouw Kiu menoleh dan tersenyum masam kepada isterinya. "Boleh,.... bo-leh....."


"Beng San, kaukatakan di mana tempat sembunyinya kakek tua buta itu? Kita segera pergi mengunjunginya sekarang juga."


Beng San ragu-ragu. Benarkah kedua orang tuanya akan dapat melindungi Lo-tong Souw Lee? Kalau tidak betul, ber-arti mengunjunginya sama dengan me-mancing datangnya bahaya untuk kakek yang sudah buta itu. la harus melihat gelagat, jangan sampai membahayakan keselamatan Lo-tong Souw Lee juga keselamatan ayah bundanya.


Tiba-tiba Beng San terkejut sekali. Telinganya mendengar sesuatu, perasaannya tersentuh dan tahulah dia bahwa ada orang pandai di dekat situ. Sebelun. dia dapat bicara, tiba-tiba terdengar bentakan .


"Sin-siang-hiap (Sepasang Pendekar Sakti) Serahkan anakmu kepadaku!"


Dan tiba-tiba di situ sudah muncul ! Hek-hwa Kui-bo dengan sikap mengancam sekali. Beng San mernandang dengan mata terbelalak kaget dan penuh kekhawatiran. Ibunya segera melompat mendekatinya dan memeluknya. "Jangan takut, lihat saja ayahrnu menggempurnya," bisiknya.


Ouw Kiu, ayah Beng San, berdin dengan malas-malasan, memandang kepada Hek-hwa Kui-bo dan berkata.


"Hek-hwa-toanio, harap kau jangan mengganggu anakku." Sambil berkata demikian Ouw Kiu merangkapkan kedua tangan memberi hormat. Hek-hwa Kui-bo mengeiuarkan suara menyindir dan tiba-tiba tubuhnya melayang dan kedua tangannya sudah melakukan pukulan, mendorong ke arah dada Ouw Kiu. Ouw Kiu dengan tenang membuka kedua le-ngannya dan sepasang telapak tangannya menyambut serangan nenek itu. Terdengar suara keras dan..... tubuh nenek itu mencelat ke belakang lalu terhuyung-huyung, mukanya berubah pucat. Sedangkan Ouw Kiu masih berdiri tegak sambil tersenyum tenang, seperti tak pernah terjadl sesuatu. Sambil mengeluarkan pekik mengerikan, tubuh Hek-hwa Kui-bo berkelebat dan lenyap dari situ. Keadaan kembali sunyi dan Beng San memandang kepada ayahnya penuh kekagum-an, matanya melotot dan mulutnya melongo. Demikian mudah ayahnya menga-lahkan Hek-hwa Kui-bo. Padahal nenek itu ditakuti oleh seluruh dunia kang-ouw. Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian ayahnya. Saking girang, kagum dan bangganya, dia lari menghampiri ayahnya, memeluk pinggang ayahnya sambil terisak-isak. Baru kali ini dia berpelukan dengan ayahnya yang hanya mengelus-elus rambut kepalanya.


Kini Beng San tidak ragu-ragu lagi untuk mengajak kedua orang tuanya me-ngunjungi Lo-tong Souw Lee. Bertiga melakukan perjalanan cepat melalui sepanjang Sungai Huang-ho sambil melihat-lihat keindahan pemandangan. Memang, lembah Snngai Huang-ho menjadi taniasya atam yang amat indahnya di waktu air-nya tidak mengamuk. Akan tetapi kalau musim hujan tiba dan sungai itu meng-amuk, semna pemandangan indah akan lenyap dan berubah menjadi keadaan yang mengerikan. Dengan gembira ayah ibu dan anak ini melakukan perjalanan. Hati Beng San tenang dan tentpram. Ayahnya demtkian lihai, tentu ibunya juga. la tukut apa?


Bahkan ketika mereka bertiga pada suatu hari, beberapa pekan kemudian, tiba-tiba berhadapan muka dengan Song-bun-kwi, Beng San masih enak-enak dan malah tersenyum mengejek. "Eh, Song-bun-kwi, kalau sekarang kau masih berani menggangguku, barulah kau boleh membanggakan dirt sebagai seorang jagoan. Hayo, kaulawan ini Ayah dan Ibuku. Sin-siang-hiap!" Ayah dan ibunya dijuluki Sin-siang-hiap atau Sepasang Pendekar Sakti, karena bukankah keduanya memakai julukan yang ada huruf saktinya? Ayahnya berjuluk Naga Sakti Terbang, ibunya berjuluk Pedang Sakti Cantik, jadi kedua-nya mendapat julukan Sepasang Pendekar Sakti!


Song-bun-kwi berdiri bengong, seperti terheran-heran melihat anak yang selama ini dicari-carinya tak tersangka-sangka dapat bertemu dengannya di tepi Sungai Huang-ho dan begini enak-enak dan tenang saja, tidak lari seperti dulu. Sementara itu, Beng San menoleh kepada orang tuanya dan bukan main herannya ketika dia melihat orang tuanya itu nampak pucat sekali berhadapan dengan Song-bun-kwi. Lebih-lebih lagi herannya ketika dia melihat tubuh ayahnya menjadi gemetar, kedua kakinya menggigil. Ibunya jnga pucat dan hanya meraba gagang pedang tanpa mencabutnya.


"Sin-siang-hiap? Ha ha ha, Sin-siang-hiap?" Song-bun-kwi mengeluarkan suara mengejek dan tubuhnya berkelebat ke depan. Sekaligus dia telah menginm dua serangan ke. arah Ouw Kiu dan Bhe Kit Nio. Dua orang suami isteri ini cepat mengelak, akan tetapi tetap saja mereka keserempet angin pukulan Song-bun-kwi sampai terlempar beberapa meter dan bergulingan jauh. Kiranya mereka me-mang sengaja menggunakan Ilmu Treng-giling Turun Gunung itu, untuk meng-gelindingkan tubuhnya sampai jauh, ke-mudian sama-sama rneloncat bangun ; dan..... melarikan diri!


Beng San heran Can marah. Akan tetapi kemarahannya lebih besar lagi. Ia menerjang maju sambil memaki, "Iblis tua, berani kau memukul ayah bundaku!"


Song-bun-kwi mengelak dan hendak menangkap tangan Beng San, akan tetapi alangkah kagetnya ketika tangan itu menyelinap ke bawah dan tahu-tahu paha-nya kena dipukul oleh Beng San! Ia me-rasa seakan-akan tulang pahanya hendak patah dan terasa dingin seperti kemasukan es. la kaget sekali, maklum bahwa dia kena pukulan Im-sin-kiam dari boCah ! itu. Bukan main keder hatinya. Andaikata anak itu sudah lebih rnatang latihannya, i sangat boleh jadi pahanya akan patah. ! Hebat sekali, anak ini tak boleh dibuat main-main, pikirnya. la lalu rnengamuk dengan pukulan-pukulan aneh kalang-kabut. Kasihan sekali Beng San. Betul bahwa dia telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi sekali, akan tetapi justeru karena terlalu tinggi ilmu itu, sebelum dia melatihnya dengan sempurna, kepandaian siJatnya amat terbatas. Menghadapi seorang tokoh besar seperti Song-bun-kwi, mana dia bisa menandinginya? Dalam beberapa belas jurus saja dia sudah roboh tertotok jatan darahnya, tak mampu ber-gerak lagi karena lumpuh kaki tangannya! Sambil tertawa-tawa Song-bun-kwi me-ngempit tubuh Beng San dan membawa-nya lari pergi dari tempat itu, terus berlari di sepanjang tepi Sungai Huang-ho sampai dia tiba di daerah tepi sungai yang bertebing tinggi dan curam. Beng San masih tak dapat bergerak sedikit pun juga, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya dan berusaha membebaskan diri daripada totokan.


"Heh, bocah setan!" Song-bun-kwi berkata sambil tertawa-tawa. "Akhirnya kau terjatuh juga di tanganku. Hayo sekarang kauberikan Im-yang Sin-kiam-sut kepadaku dan beri tahu di mana tempat sembunyinya si nrialirlg Lo-tong Souw Le itu." ;


Beng San lumpuh hanya kaki tangannya, tapi dia mempergunakan panca inderanya, dapat pula bicara. Akan tetapi terhadap Song-bun-kwi dia tidak sudi membuka mulut, maka dia hanya memandang lalu menggeleng kepala.


"Bocah bandel, apakah kau lebih sayang Im-yang Sin-kiam-sut dan lebih sayang kakek buta mau mampus itu dari-pada nyawamu? Lihat ke bawah itu, air Sungai Huang-ho amat dalam dan deras di bawah itu. Kalau kau tetap membandel aku akan nielempar engkau ke sana!" la memegang tubuh Beng San sedemikian rupa di atas tebing sehingga muka anak itu menghadap ke bawah, melihat air yang mengalir deras dan berombak-ombak mengerikan. Dari atas, air itu kelihatan seperti air yang mendidih. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya perasaan ini, Beng San merasa ketakutan hebat me-lihat air itu. Baru kali ini selama hidup-nya dia merasa ketakutan yang amat sangat menyesakkan dadanya. Semua bulu di tubuhnya meremang dan mukanya menjadi pucat kehijauan. la melihat air yang bergolak itu seperti ribuan muka iblis yang amat menakutkan, yang akan menerkamnya, akan menghanyutkannya. Saking takutnya dia sampai tidak men-dengar ancaman-ancaman dan bujukan-bujukan Song-bun-kwi sehingga dia sama sekali tidak menjawab, hanya terbelalak memandang ke arah air di bawah itu.


"Iblis cilik, kalau begitu kau harus mampus. Agar rohmu tidak menjadi se-tan penasaran yang menggangguku, dengan apa sebabnya aku membunuhmu. Hal Pertama karena kau tidak mau membuka ? rahasia Im-yang Sin-kiam-sut dan tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee, kedua karena kau mengetahui rahasia Yang-sin-kiam yang kumiliki. Nah, jadilah setan Sungai Huang-ho!" Song-bun-kwi lalu melempar tubuh Beng San ke bawah! .


Beng San mengeluarkan pekik mengerikan saking takutnya. Dan pada saat itu terdengar pekik lain, pekik yang me-lengking tinggi dari bayangan merah yang berkelebat cepat ke tempat itu. Di lain saat, bayangan merah yang ternyata adaiah Bi Goat si bocah gagu itu telah melemparkan'segulung tambang ke bawah. Dengan gerakan istimewa, tambang yang meluncur seperti ular ini berhasil nieng-gulung tubuh Beng San pada ujungnya sehingga tubuh Beng San tergantung di udara, tidak terbanting ke air dan batu-batu karang. Bukan hal kebetulan saja Bi Goat membawa tambang, karena memang Song-bun-kwi mengajaknya berkeliaran di tepi sungai, di tebing-tebing tinggi itu untuk mencari sarang burung dan mereka memerlukan tambang yang panjang untuk mencari sarang ini di tempat-tempat yang sukar.


"Bi Goat, kurang ajar kau!" Song-bun-kwi berteriak dan sekali renggut dia telah merampas ujung tambang itu dan sekali dorong tubuh Bi Goat sudah terjengkang. Song-bun-kwi lalu mengulur tambang itu sehingga tubuh Beng San sekarang terapung di air yang mengamuk. Beng San masih menjerit-jerit ketakutan, apalagi sekarang setelah dia dipermainkan air yang berombak-ombak itu. la meronta-ronta, tanpa dia sadari dia telah bebas daripada totokan dan sekarang dia mencoba untuk berenang sambil menjerit-jerit. Akan tetapi tentu saja usaha-nya ini sia-sia karena tanibang itu masih mengikat pinggangnya dengan erat. Ketika dia melihat ke atas sambil terengah-engah, dia melihat Bi Goat berlutut sam-bil bergerak-gerak seperti menangis di depan Song-bun-kwi, telunjuknya menuding-nuding ke arah bawah, ke air di mana Beng San dipermainkan maut.


"Bi Goat...... tolong....."" Beng San menjerit sekerasnya dan suaranya nyaring sekali.


Bi Goat kini melompat berdiri, menjambak-jambak rambnt dan membanting-banting kaki di depan Song-bun-kwi yang hanya tertawa dan menggeleng kepala. Kemudian Song-bun-kwi menjenguk ke bawah dan berteriak, suaranya dikerah-kan dengan kekuatan khikang mengatasi suara air dan dapat terdengar oleh Beng San.


"He, Beng San iblis cilik! Bagaimana apakah kau menyerah? Kalau kau mau memenuhi permintaanku tadi, kau akan kunaikkan dan tidak jadi mampus ditelan air!"

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Silat Indonesia Download

Silahkan download Cerita Halaman ke 1 Serial Putri Hatum dan Kaisar Putri Harum dan Kaisar Jilid 1 Putri Harum dan Kaisar Jilid 2 dan 3 Putri Harum dan Kaisar Jilid 4 dan 5 Putri Harum dan Kaisar Jilid 6 dan 7 Putri Harum dan Kaisar Jilid 8 dan 9 Putri Harum dan Kaisar Jilid 10 dan 11 Putri Harum dan Kaisar Jilid 12 dan 13 Putri Harum dan Kaisar Jilid 14 dan 15 Putri Harum dan Kaisar Jilid 16 dan 17 Putri Harum dan Kaisar Jilid 18 dan 19 Putri Harum dan Kaisar Jilid 20 dan 21 Putri Harum dan Kaisar Jilid 22 dan 23 Putri Harum dan Kaisar Jilid 24 dan 25 Putri Harum dan Kaisar Jilid 26 dan 27 Putri Harum dan Kaisar Jilid 28 dan 29 Putri Harum dan Kaisar Jilid 30 dan 31 Putri Harum dan Kaisar Jilid 32 dan 33 Putri Harum dan Kaisar Jilid 34 dan 35 Putri Harum dan Kaisar Jilid 36 dan 37 Serial Pedang Kayu Harum Lengkap PedangKayuHarum.txt PKH02-Petualang_Asmara.pdf PKH03-DewiMaut.pdf PKH04-PendekarLembahNaga.pdf PKH05-PendekarSadis.pdf PKH06-HartaKarunJenghisKhan.pdf PKH07-SilumanGoaTengkor

Jaka Lola 21 -> karya : kho ping hoo

Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah berhasil nnelernparkan kedua orang tosu ke dalam air. "Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada para anggauta Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah berinaksud melepas anak panah,terpaksa membatal-kan niatnya.. Siu Bi juga merasa gembira. Ia Sudah membuktikan bahwa ia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam mepghadapi mu-suh besarnya. "Adik Siu Bi, bagarmana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang in-dah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!" Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-larian meng-hampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Bagaikan dua orang anak-anak sed

Pendekar Buta 3 -> karya : kho ping hoo

Pada saat rombongan lima belas orang anggauta Kui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai. Tiba-tiba dia miringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya kalau telinganya memperhatikan sesuatu. Dia terus berjalan, terus menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang makin mendekat dari belakang itu. "Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia amat berterima kasih kepada pemuda buta ini. Kun Hong menghentikan langka